KONSEP ETIKA LINGKUNGAN DALAM KEARIFAN L

BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Krisis lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini berakar pada kesalahan
perilaku manusia, dan kesalahan perilaku manusia berakar pada kesalahan cara
pandang manusia dengan alam atau tempat manusia dalam keseluruhan alam
semesta. Oleh karena itu krisis lingkungan hanya bisa diatasi dengan merubah
perilaku fundamental pada cara pandang dan perilaku manusia.
Kemajuan industri yang tidak disertai dengan kepedulian kemanusiaan
atau kepedulian terhadap lingkungan akan membawa kehidupan di bumi ini
sedikit demi sedikit mendekati kehancuran. Salah satu contoh yang sedang marak
terjadi sekarang adalah eksploitasi terhadap sumber daya alam sebagai komoditas
untuk memenuhi kebutuhan pasar. Contoh kerusakan lingkungan yang dewasa ini
sering menjadi perbincangan khalayak umum salah satunya adalah kebakaran
lahan hutan di beberapa daerah di Indonesia, antara lain adalah di Riau, Sumatra
Selatan, dan Kalimantan Tengah yang menyebabkan terjadinya bencana kabut
asap yang pada akhirnya akan sangat merugikan bagi manusia. Pembangunan
PLTU di Batang yang bila itu di realisasikan akan menyebabkan terjadinya
degradasi kesuburan tanah, sedang hal itu mengancam mata pencaharian
penduduk sekitar yang menggantungkan hidupnya pada pertanian. Reklamasi
Tanjung Benoa yang merubah fungsi hutan mangrove menjadi daerah pariwisata

yang tidak ramah terhadap lingkungan, karena mengancam keberlangsungan
mangrove yang akan segera tergerus oleh berbagai timbunan dan bangunanbangunan
Bila diamati sederetan kerusakan lingkungan hidup, maka penyebab pokok
kerusakan dan penyelamatan lengkungan hidup adalah manusia itu sendiri.
Dengan demikian bagi bangsa Indonesia pendekatan, pengembangan lingkungan
hidup sasaran pokoknya adalah manusia sendiri, oleh karena itu menurut Emile
Salim (1985) perlu dikembangkan etika tentang lingkungan hidup yang

1

merangsang manusia untuk memperhatikan dan mempertimbangkan segala
dampak yang ditimbulkan dalam pengelolahan lingkungan hidup (Widayanti
2012:7).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka usaha-usaha penyelamatan lingkungan
hidup dimulai dari hal yang fundamental yaitu perubahan cara pandang manusia
terhadap alam. Merefleksikan kerangka pikir yang sudah ada, sehingga diperoleh
pandangan yang menghormati kehidupan dan menjaga keberlanjutan hidup.
Manusia bukan bagian yang terpisah dari alam, melainkan satu komponen yang
terdapat di dalam alam itu sendiri. Manusia harus paham, bahwa ketika alam
krisis dan rusak, maka dampaknya juga secara langsung akan dirasakan oleh

mereka.
Kerusakan lingkungan hidup salah satunya berkaitan dengan bagaimana
manusia memelihara lingkungan disekitarnya. Pemeliharaan lingkungan hidup
telah banyak diterapkan, misalnya salah satu hal yang biasa dilakukan adalah
penghijauan. Alangkah baiknya jika upaya pemeliharaan lingkungan hidup
becermin pada keadaan sosial budaya masyarakat. Potensi-potensi budaya yang
dimiliki oleh masyarakat dapat dijadikan rujukan untuk membuat suatu konsep
pemeliharaan lingkungan hidup yang berbasis pengetahuan lokal. Hal ini bisa
dilakukan dengan menggali kearifan lokal yang terdapat dalam dinamika
kehidupan masyarakat. Sangat penting kiranya bagi kita mengetahui setiap potensi
atau kemampuan yang ada dalam masyarakat atau dengan local genius. seperti
yang dikatakan oleh Soejanto Poespowardojo (Ayatrohaedi, 1986:33) bahwa local
genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap
unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masamasa mendatang. Hilang atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya
kepribadian suatu masyarakat.
Perlu dipahami, walaupun teori Arne Naees merupakan hasil pemikiran
barat, tapi pandangan ini berangkat dari kritiknya terhadap antroposentrisme dan
berusaha mencari etika lingkungan yang tidak berpusat pada manusia, melainkan
komunitas ekologi seluruhnya. Konsep yang ditawarkan oleh Deep Ecology
2


sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena pandangan ini berakar dari rasa
penghormatan terhadap alam, yang kita tahu pandangan ini ada dalam dimensi
pemikiran timur. Masalah lingkungan adalah masalah universal yang juga
merupakan masalah kehidupan. Baik dalam pemikiran Barat maupun Timur,
sama-sama menghadapi masalah ini, penulis memahami bahwa konsep Deep
Ecology bisa digunakan untuk melihat konsep etika lingkungan dalam kearifan
lokal dalam masyarakat tertentu.
Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul
dengan lingkungannya. Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang
menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan
lingkungan tetap terjaga. Dalam penerapan etika lingkungan yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehngga
perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri.
b. Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk
menjaga terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam.
c. Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan
energi.
d. Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk

makhluk hidup yang lain.
Di samping itu, etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku
manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan
alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak
pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam
secara keseluruhan.
Dalam etika lingkungan Arne Naess, etika lingkungan harus diterjemahkan
dalam aksi nyata dan kongkret. Etika ini menyangkut gerakan yang jauh lebih
dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis
sebagaimaa ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. Etika ini

3

menuntuk suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam alam
semesta ini disertai adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis.
Filsafat pokok Deep Ecology disebut Naess sebagai Ecosophy T yang
mengombinasi antara eco yang berarti rumah tangga dan sophy yang berarti
kearifan. Sedangkan T disini tidak memiliki makna apapun, karena sebagaimana
yang dikatakan oleh Naess bahwa kita bisa saja menyebutnya dengan X, Y, atau Z.
Dalam Deep Ecology norma utamanya adalah Self-realisation. Manusia adalah

bagian dari alam sehingga dia harus merealisasikan dirinya dalam komunitas
ekologis menjadi self ecology.
Repong dalam terminologi Kec. Sumber Jaya adalah sebidang lahan kering
yang ditumbuhi beraneka-ragam jenis tanaman produktif, umumnya tanaman tua
(perennial crops), seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, tangkil, manggis,
kandis dan beragam jenis kayu yang bernilai ekonomis serta beragam jenis
tumbuhan liar yang dibiarkan hidup. Disebut Repong damar karena pohon damar
merupakan tegakan yang dominan jumlahnya pada setiap bidang repong.
( Suwito: 2001)
Repong damar adalah fase final dalam tahapan linier sistem pengelolaan
lahan kering (darak) di daerah Kec. Sumber Jaya, yaitu fase ketika lahan hutan
baik hutan primer maupun hutan sekunder yang dibuka dan dibabat kandas akan
mencapai format seperti hutan alam kembali setelah 20 tahun kemudian. Michon
& de Foresta (1994) menyebutkan bahwa secara ekologis fase perkembangan
Repong damar tersebut menyerupai tahapan suksesi hutan alam dengan segala
keuntungan ekologisnya seperti perlindungan tanah, evolusi iklim mikro, dan lain
sebagainya.
a. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kearifan lokal Repong damar yang terdapat dalam masyarakat desa
TriBudi Syukur, Kec. Sumber Jaya, Lampung?

2. Bagaimana analisis Deep Ecology Arne Naees tentang konsep etika lingkungan
Repong damar yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat desa TriBudi

4

Syukur, Kec. Sumber Jaya, Lampung?

b. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang etika lingkungan sudah pernah dilakukan. Adapun
penelitian yang menggunakan etika lingkungan sebagai objek formal dalam
penelitiannya pernah dilakukan sebelumnya oleh Irman Putra pada tahun 1995
dengan judul "Etika Lingkungan Hidup Masyarakat kerinci dan relevansinya
terhadap Pembangunan Taman Nasional Kerinci-Seblat". Selain itu teori etika
lingkungan terutama Deep Ecology terdapat juga dalam skripsi yang di susun
oleh Fatmawati Indah L.G pada tahun 2007 dengan judul " Konsep Ekofeminisme
Vandana Shiva (suatu alternatif pemecahan permasalahan lingkungan hidup)
sedangkan dalam hal kearifan lokal yang kaitannya dengan lingkungan hidup
adalah konsep etika lingkungan dalam kearifan lokal masyarakat lereng utara
Gunung Arjuna ditinjau dari deep ecology Arne Naess oleh Ayu Tyas Fitriani,
pada 9 Juli 2008 yang sangat dipengaruhi budaya Jawa. Analisis Deep Ecology

tentang konsep etika dalam kearifan lokal masyarakat lereng utara Gunung
Arjuna.
Sampah plastik sebagai masalah lingkungan hidup ditinjau dari Deep
Ecology Arnr Naess oleh Warisma Tri Wulansari, 7 oktober 2009 memang
membahas Arne Naess dengan konsep Deep Ecology menawarkan perubahan
terhadap gaya hidup manusia yang konsumtif. Pola hidup konsumtif manusia
dalam menggunakan plastik menyebabkan semakin meningkatnya tumpukan
sampah plastik.
Adapun Untuk kajian tentang Repong damar, memang ada beberapa
terutama di bidang kehutanan dan bidang teknis lainnya. Sedangkan kajian
terhadap kearifan lokal masyarakat desa Tri Budi Syukur, Kec. Sumber Jaya,
Lampung sebatas dokumentasi potensi budaya yang dilakukan oleh beberapa
media televisi yang meliput disana. Beberapa penelitian tersebut diatas memiliki
5

objek formal dan material yang berbeda. Objek formal penelitian ini adalah teori
ekosentrisme dan objek materialnya adalah konsep Repong damar sebagai bentuk
pelestarian lingkungan alam di Desa Tri Budi Syukur, Kec. Sumber Jaya,
Lampung.


c. Manfaat Penelitian
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan dan filsafat dalam bidang etika lingkungan
2. Bagi masyarakat, memberikan sebuah sumbangan pemikiran bagi masyarakat
pada umumnya dan aktivis pada khususnya terutama penggiat pengelamatan
lingkungan hidup agar lebih kritis dalam melaksanakan upayaupaya penyelamatan
lingkungan.
3. Bagi peneliti, memperkaya pengetahuan dan pengalaman bagi penulis
sendiri mengenai tema yang bersangkutan.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penulisan ini memiliki tujuan untuk menjawab rumusan permasalahan
diatas, yaitu:
1. Untuk mengetahui kearifan lokal Repong damar yang terdapat dalam
masyarakat desa Tri Budi Syukur, Kec. Sumber Jaya, Lampung.
2. Untuk mengetahui analisis Deep Ecology Arne Naees tentang konsep etika
lingkungan Repong damar yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat desa Tri
Budi Syukur, Kec. Sumber Jaya, Lampung?

C. TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunnya, yang

6

mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya (Soeharto, 1997). Lingkungan hidup juga bisa diartikan
sebagai suatu sistem kompleks yang berada di luar individu yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan organisme. Lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan

perilakunya

yang

mempengaruhi

kelangsungan

perikehidupan


dan

kesejahteraan manusia serta makhluk lain. (Sugandhy, 2009)
Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup yang akhirnya akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Manusia terbentuk dan
dibentuk oleh lingkungan hidup karena manusia hidup dari unsur-unsur
lingkungan hidup, misalnya udara untuk bernafas, air untuk minum. Manusia
adalah bagian integral dari lingkungan hidup dan di antara keduanya tidak dapat
dipisahkan (Soemarwoto, 1997)
Lingkungan juga termasuk dalam kajian moral yaitu dalam etika
lingkungan. Etika lingkungan adalah refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip
atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk
diterapkan secara lebih luas dalam komunitas ekologi (Keraf, 2002). Etika
lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam.
Etika lingkungan juga berbicara mengenai relasi si antara semua kehidupan alam
semesta (Keraf, 2002). Dalam perkembangan teori etika lingkungan, terdapat
teori-etika lingkungan, terdapat beberapa teori antara lain antroposentrisme,
biosentrisme, ekosentrisme, dan ecofeminisme (Keraf, 2002). Perbedaan yang
paling menonjol dalam teori lingkungan tersebut di atas adalah bagaimana

manusia memposisikan dirinya di alam semesta. Misalnya ekosentrisme, dalam
teori ini etika diperluas untuk mencangkup komunitas ekologis seluruhnya (Keraf,
2002).

D. LANDASAN TEORI
Etika mempunyai pengertian, secara etimologis, etika berasal dari Yunani

7

yang berarti ethos (jamaknya:ta etha), yang berarti adat istiadat atau kebiasaan.
Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup
yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik
ini kemudian dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain
(Keraf, 2002). Dengan demikian persoalan etia itu tidak sekedar ingin mengetahui
apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga
mempersoalkan bagaimana seharusnya menjadi baik dan bagaimana seharusnya
meninggalkan yang buruk.
Etika lingkungan Hidup merupakan thema yang meletakkan etika sebagai
praaksiologidan melibatkan secara langsung persoalan-persoalan kehidupan
manusia. Penilaian moral bagi tingkah laku manusia meliputi seluruh aspek dan
segi kehidupannya. Dalam hal ini segi yang menyangkut tanggung jawab etika
manusia terhadap lingkungan hidupnya. Disini terkait tanggung jawab manusia
terhadap diri sendiri, Manusia lain (sesama manusia), serta Tuhan pencipta
(Widayanti, 2012)
Etika lingkungan merupakan bagian dari etika yang mengkaji tentang
masalah moral, kaitannya dengan lingkungan hidup. Dalam hal ini moral tidak
berlaku pada hubungan antar manusia saja, tapi juga berlaku pada hubungan
manusia manusia dengan sekitarnya atau alam sebagai tempat tinggalnya. Bisa
dikatakan tidak hanya berlaku pada komunitas manusia saja akan tetapi juga
berlaku pada komunitas ekologi (Keraf, 2002) inilah pokok dari ekosentrisme
yang akan penulis gunakan sebagai pisau analisis dalam menganalisa konsep etika
lingkungan yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat desa Tribudi Syukur.
Ekosentrisme adalah kelanjutan dari teori etika biosentrisme, ekosentrisme
memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun
tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling
terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral
tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral
yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. (Keraf, 2002)

8

Salah satu versi teori ekosentrisme ini adalah teori etika lingkungan yang
Sekarang ini popular dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai sebuah istilah, Deep
Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf norwegia,
tahun 1973. Naess kemudian dikenal sebagai salah seorang tokoh utama gerakan
Deep Ecology hingga sekarang. (Keraf, 2002)

E. METODE PENELITIAN
1. Bahan dan Materi Penelitian
Penelitian ini adalah kombinasi antara penelitian di lapangan dan pustaka.
Objek material didapatkan dari dokumentasi yang ada di media sosial youtube dan
melalui observasi di lapangan yang dilakukan dengan wawancara secara informal
dengan masyarakat di daerah setempat serta dengan melalukan riset perpustakaan.
Sedangkan objek formalnya, penulis menggunakan buku berjudul Etika
Lingkungan karangan Sony Keraf sebagai buku primer.
Sedangkan untuk pustaka pendukung adalah beberapa buku yang berkaitan
dengan tema yang bersangkutan terutama yang bersangkutan dengan tema
penelitian, yaitu etika, etika lingkungan, Deep Ecology Arne Naees dan Repong
damar.
2. Analilis Penelitian
Penelitian ini juga menggunakan unsur metodis filosofis untuk melakukan
peninjauan secara filosofis khusunya Etika. Unsur metodis itu antara lain
1. Deskripsi : Peneliti menguraian secara teratur hal-hal yang menjadi objek formal
maupun objek material dalam penelitian. Yaitu hal-hal yang bersangkutan dengan
etika, etika lingkungan, Deep Ecology, kearifan Repong damar.
2.

Kesinambungan Historis : Dilihat dari kedudukannya dengan konsepsi dalam
pengembangan pikiran tokoh. Baik dengan lingkungan historisnya dan pengaruh-

9

pengaruh yang dialaminya, maupun dalam perjalanan hidupnya sendiri. (Anton
Bakker. 1990:70)
3. Interpretasi : Pemikiran Deep Ecology Arne Naess dan konsep Repong damar di
selami, untuk kemudian dengan setepat mungkin menangkap arti dan nuansa
uraian yang disajikan desertai dengan
4. Koherensi Internal : Agar dapat memberikan interpretasi tepat mengenai
penelitian, semua konsep-konsep dan aspek-aspek dilihat menurut keselarasannya
satu sama lainnya. Ditetapkan inti dasar pikiran, dan topik sentral di dalamnya.
(Anton Bakker. 1990 : 69)
5. Holistika : Untuk memahami konsep-konsep dan konsepsi filosofis tentang objek
material dan formal dengan betul-betul, mereka dilihat dalam rangka keseluruhan
visi mengenal manusia, dunia, dan Tuhan, sejauh yang dapat ditemukan. (Anton
Bakker. 1990 : 69)
F. HASIL YANG AKAN DICAPAI
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah publikasi ilmiah yang
memuat Konsep Etika Lingkungan Dalam Repong damar Dalam Tinjauan Deep
Ecology Arne Naees.

10

G.

BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1 Anggara Biaya
No

Jenis Pengeluaran

Biaya (Rp)

.
1.

Peralatan Penunjang (35%)

Rp. 3.500.000

2.

Bahan Habis Pakai (40%)

Rp. 4.000.000

3.

Perjalanan (15%)

Rp. 1.500.000

4.

Lain-lain (10%)

Rp. 1.000.000
Jumlah

Rp. 10.000.000

4.2 Jadwal Kegiatan
No.

Jenis Kegiatan

1.

Survei dan observasi awal

2.

Penulusuran Pustaka awal

3.

Izin Penelitian

4.

Wawancara dan observasi

5.

Analisis data

6.

Penyusunan laporan akhir

7.

Publikasi jurnal dan seminar penelitian

Bulan
1

2

3

PIC
4

5

11

BAB II
KEARIFAN LINGKUNGAN MASYARAKAT DESA TRIBUDI
SYUKUR
A. Sejarah Desa Tribudi Syukur
Pada tanggal 14 November 1952, Presiden Republik Indonesia Ir
Soekarno, melakukan peletakan batu pertama pendirian Tugu Peringatan yang
sekarang terletak di Kelurahan Tugu Sari depan Koramil Kecamatan Sumberjaya.
Tugu tersebut sebagai tanda diresmikannya keseluruhan wilayah Way Tenong dan
Way Tebu menjadi wilayah yang bernama Sumberjaya. Oleh Presiden Soekarno
dinamakan Sumberjaya karena beliau menginginkan wilayah itu sebagai sumber
kejayaan.
Wilayah kecamatan Sumberjaya sebelumnya merupakan hutan belantara
yang termasuk bagian dari wilayah Kerajaan/Marga Kenali (sekarang masuk
wilayah kecamatan Belalau) kemudian datanglah penduduk baru yang berasal dari
Marga Balik Bukit dan Sumatera Selatan, tetapi sekarang belum diketahui secara
pasti kapan penduduk tersebut datang dan membuka wilayah hutan belantara
tersebut. Penduduk dari Marga Balik Bukit membuka wilayah hutan Way Tebu
yang sekarang menjadi Pekon Muarajaya I & Muarajaya II. Setelah wilayahwilayah ini berkembang dengan pesat maka Pasirah Kenali dengan Upacara Adat
meresmikan wilayah tersebut menjadi marga yang berdiri sendiri, yang berada di
wilayah Way Tenong diberi nama Marga Way Tenong dan yang berada di Way
Tebu diberi nama Way Tebu.
Perkembangan berikutnya, Biro Rekontruksi Nasional BRN mengadakn
penelitian di daerah tersebut apakah ada kemungkinan untuk menempatkan
penduduk baru yang berasal dari Jawa. Atas dasar tersebut pada tahun 1950/1951
dengan ijin Residen Lampung waktu itu Mr. Gele Harun didatangkanlah
penduduk baru dari Jawa Barat ( Tasik Malaya, Garut, Ciamis, Kerawang dan
sekitarnya). Rombongan transmigrasi dibagi dua: Pertama, Partisan Siliwangi
dibawah pimpinan Raden Ama Puradireja, dengan membuka hutan di wilayah
Way Tenong dan Way Tebu yang sekarang menjadi Pekon Sukajaya, Purajaya,
12

Purawiwitan, Simpangsari dan Puralaksana. Rombongan ini berasal dari
kabupaten Tasikmalaya dibawah pimpinan Bandaniji Suja'i Kanta Atmaja dan
Tanu Wijaya dan membuka hutan yang sekarang menjadi pekon Tribudi Syukur
dan Sukapura.
Untuk menghindari persengketaan wilayah Way Tebu dan wilayah Way
tenong yang semula merupakan wilayah kekuasaan Bukit Kemuning maka
diresmikanlah keseluruhan wilayah Way Tebu dan wilayah Way tenong tersebut
menjadi wilayah yang berdiri sendiri di beri nama Sumberjaya oleh Presiden RI Ir
Soekarno. (http://www.mahamerulambar.com/2010/12/tugu-ir-soekarno-sumberjaya-lampung.html)
B. Kondisi Geografis
Sumberjaya adalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten
Lampung Barat, Propinsi Lampung, yang pada tahun 2000 dimekarkan menjadi
dua kecamatan yaitu, Kecamatan Sumberjaya dan Kecamatan Way Tenong.
Dalam tulisan ini daerah Sumberjaya mengacu pada keadaan sebelum tahun 2000,
yaitu terdiri atas 28 desa dengan total luas wilayah 54.194 hektar atau 10,9% dari
total luas Kabupaten Lampung Barat.
Kecamatan Sumberjaya merupakan salah satu kecamatan tertua dari 26
kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Barat. Letak geografis Kecamatan
Sumberjaya adalah sebagai berikut:
-

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan banjit
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kebun Tebu
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Way Tenong
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bukit Kemuning Lampung Utara
Topografi Kecamatan Sumberjaya merupakan daerah perbukitan dan
pegunungan. Sebagian besar wilayah kecamatan Sumberjaya masih merupakan
Hutan kawasan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai area perkebunan kopi
dan yang lainnya merupakan hutan rakyat.

13

Dilihat dari topografinya, Sumberjaya sebagain besar berbukit dan
bergelombang, dengan ketinggian antara 700-1600 m, suhu udara berkisar 18-24O
C. Dengan curah hujan rata-rata 2500-3250mm per tahun, dengan jumlah bulan
basah

8-9

bulan,

dan

bulan

kering

3-4

bulan

dalam

setahun.

(http://lampungbaratkab.bps.go.id/)
C. Sosial Masyarakat
Bagi seseorang yang baru pertama kali datang ke Kecamatan Sumberjaya,
kesan teduh akan segera dirasakan ketika memandang repong damar yang
berdampingan dengan petak-petak sawah di tepi pantai yang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia itu. Bahkan, bagi yang belum pernah melihat pohon
damar, bukan tidak mungkin akan menyangka bahwa repong-repong damar
tersebut adalah hutan alam bagian dari kawasan TNBBS (Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan).
Secara fisik, kenampakan tegakan repong damar dewasa memang tidak
jauh berbeda dengan hutan alam. Batang pohonnya yang menjulang tinggi dan
tajuknya yang rimbun nampak jelas menggambarkan eksotika hutan tropika. Di
bawahnya, terlihat berbagai pohon buah-buahan yang ditanam di sela-sela damar
seperti petai, durian, nangka, cempedak, dan duku. Burung pun tampak nyaman
berterbangan dari pohon ke pohon tanpa kuatir gangguan manusia. Secara
ekologis, keberadaan repong damar mempunyai nilai tinggi. Selain berfungsi
sebagai daerah tangkapan air, repong damar juga dikenal sebagai zone penyangga
atau pelindung kawasan TNBBS untuk konservasi keragaman hayati. Di samping
itu, masyarakat Tribudi Syukur masih kokoh memegang aturan adat tak tertulis
bahwa masyarakat tidak dibenarkan menebang pohon damar untuk diambil
kayunya kecuali pohon yang tumbang secara alami.
Bagi masyarakat sendiri, repong damar lebih dari sebuah mata
pencaharian. Keinginan untuk menjaga warisan leluhur acap kali membentuk
ikatan yang kuat antara masyarakat dengan repongnya. Di saat kerusakan hutan di
daerah lain semakin parah serta adanya alternatif penggunaan lahan lain yang
lebih menjanjikan, sebagian besar masyarakat masih bertahan dengan budidaya
14

repong damar. Berbagai keunikan dalam repong damar ini sering dijadikan
sebagai bahan penelitian para mahasiswa dan ilmuwan. Banyak sarjana sampai
doktor baik dari dalam maupun luar negeri yang terlahir dengan mengambil
repong damar Krui sebagai obyek studi mereka. Terakhir kali, seorang mahasiswa
S3 dari Belanda datang untuk mempelajari mata pencaharian & kepemilikan lahan
petani

di

sini.(http://my-journey-blog.blogspot.com)

Repong damar di Lampung Barat adalah sebuah potret keserasian hidup
manusia dengan alam. Di tengah maraknya kerusakan hutan yang muncul akibat
konflik kepentingan, repong damar masyarakat Pesisir Lampung Barat seolah
memberikan pelajaran bahwa keserasian antara manusia dan lingkungan bukan
suatu hal yang tidak mungkin diwujudkan. Akan tetapi, gambaran indah itu juga
bukan hal yang mudah diperoleh. Untuk membuat repong damar, perlu upaya
kerja keras dan keuletan.
D. Repong Damar
Repong dalam terminologi Krui adalah sebidang lahan kering yang
ditumbuhi beraneka-ragam jenis tanaman produktif, umumnya tanaman tua
(perennial crops), seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, tangkil, manggis,
kandis dan beragam jenis kayu yang bernilai ekonomis serta beragam jenis
tumbuhan liar yang dibiarkan hidup. Disebut repong damar karena pohon damar
merupakan tegakan yang dominan jumlahnya pada setiap bidang repong.
Repong damar adalah fase final dalam tahapan linier sistem pengelolaan
lahan kering (darak) di daerah Krui, yaitu fase ketika lahan hutan (baik hutan
primer maupun hutan sekunder) yang dibuka dan dibabat kandas akan mencapai
format seperti hutan alam kembali setelah 20 tahun kemudian. Michon & de
Foresta (1994) menyebutkan bahwa secara ekologis fase perkembangan repong
damar tersebut menyerupai tahapan suksesi hutan alam dengan segala keuntungan
ekologisnya seperti perlindungan tanah, evolusi iklim mikro, dan lain sebagainya.
Dari segi teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif
(mulai dari tanaman subsistem sampai tanaman (tua) berikut perawatannya,
15

disengaja atau tidak oleh sang petani, ternyata berlangsung dalam kondisi ekologis
yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga proses-proses
produksi yang terkait dalam seluruh tahapan pengembangan repong bisa
membuahkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Pada gilirannya,
kegiatan produktif yang berlangsung secara bertahap itu akan memberikan
kontribusi ekonomi bagi petani secara terus-menerus dalam jangka panjang. Resin
damar yang dipanen secara berkala memberi pendapatan tunai secara rutin untuk
nafkah keluarga. Dari repong juga bisa dipetik hasil tanaman lainnya, serta juga
bisa digunakan sebagai kayu bakar, bahan bangunan dan juga beragam jenis
tumbuhan obat.
Repong damar, yaitu areal yang ditanami secara campuran dengan jenis
tanaman utama pohon damar (Shorea javanica). Repong damar, seperti yang
ditulis oleh Suwito merupakan asosiasi tanaman pepohonan dengan struktur
vegetasi kompleks yang menyerupai hutan alam, dan strukturnya didominasi oleh
pohon damar. Repong damar adalah sebuah contoh pengelolaan sumber daya alam
yang penting, di mana penduduk setempat menjinakkan pohon liar secara mandiri
tanpa bantuan dari pihak luar. Manfaatnya adalah jaminan terhadap kebutuhan
ekonomi penduduk dengan melindungi tanah dan sumber-sumber air, serta
konservasi sejumlah besar jenis-jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan dari hutan
alam (Suwito. 2001).
Sedangkan menurut Zulkifli Lubis (1996), berbagai publikasi yang ada
telah menunjukkan adanya kesalahan asumsi di mana lalu, yang memandang
sepele kemampuan penduduk lokal dalam mengelola sumber daya hutan secara
baik dan berkelanjutan. Untuk membuat repong damar, masyarakat membuka
hutan (pulan) untuk ditanami padi ladang. Areal tanaman padi ini mereka sebut
darak. Sesudah panen padi mereka mengubah darak menjadi kebun dengan cara
menanam kopi, lada atau cengkeh, dengan harapan memberi penghasilan untuk
selama 10 sampai 15 tahun. Fase kebun ini mereka sebut batin kejutan, yang
mencerminkan harapan mereka memperoleh hasil yang besar dari tanaman
tersebut.Bersamaan dengan itu mereka juga menanam damar disertai beberapa

16

jenis pohon yang akan menghasilkan buah dalam umur yang agak panjang seperti
duku, durian, petai, jengkol dan sebagainya. Sistim wanatani repong damar akan
berproduksi secara ekonomis mulai umur kira-kira 20 tahun sejak membuka hutan
dan berlangsung terus sampai selama puluhan atau mungkin lebih dari seratus
tahun. Kombinasi pulan dan repong yang menghijau menutupi gugusan
perbukitan di sepanjang pantai barat propinsi Lampung hingga ke batas Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan.

17

BAB III
PEMIKIRAN ETIKA LINGKUNGAN
A. Etika
Seperti halnya dengan banyak istilah lain yang menyangkut konteks
ilmiah, istilah “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos
dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu : tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti
terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh
filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukan
filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika”
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
(Bartens, 1994).
Dalam memberikan sebuah definisi etika Menurut K. Bertens, dalam
bukunya yang berjudul Etika (1994). yaitu secara umumnya sebagai berikut:
1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. .
2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang
sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan
baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
4. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.
a. Menurut Maryani & Ludigdo : etika adalah seperangkat aturan atau norma atau
pedoman yang mengatur perilaku manusia,baik yang harus dilakukan maupun
yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan
masyarakat atau prifesi.
b. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: etika adalah nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
18

c. Menurut Aristoteles: di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia,
Pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika
dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau
tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya
membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang
melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan
pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
d. Menurut Kamus Webster: etika adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa
yang baik dan buruk secara moral.
e. Menurut Ahli filosofi: Etika adalah sebagai suatu studi formal tentang moral.
f. Menurut Ahli Sosiologi: Etika adalah dipandang sebagai adat istiadat,kebiasaan
dan budaya dalam berperilaku.

B. Etika Lingkungan
Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika
berasal dari bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat, kebiasaan dan
praktek. Ada tiga teori mengenai pengertian etika, yaitu: etika Deontologi, etika
Teologi, dan etika Keutamaan. Etika Deontologi adalah suatu tindakan di nilai
baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan
kewajiban. Etika Teologi adalah baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan
atau akibat suatu tindakan. Sedangkan Etika keutamaan adalah mengutamakan
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. (Keraf, 2006)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk
hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Etika lingkungan
merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya.
Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan
dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

19

Hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan etika
lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehngga perlu
menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri.
b. Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk
emnjaga terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam.
c. Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan
energy.
d. Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk
hidup yang lain.
Etika Lingkungan memiliki beberapa perbedaan-perbedaan. Tetapi bukan
berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawaban langsung atas
pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan
adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma
mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini.
Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan
beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan.tuhan ekonomi.
Etika lingkungan sangat diperlukan sebagai akibat dari kurangnya muatan
moral dalam hubungan manusia dengan alam. Manusia cenderung memandang
alam dari segi ekonomis dan instrumentalistik. Alam bernilai hanya untuk
menambang kebutuhan ekonomi modern yang menekankan segi pertumbuhan
ekonomi sebagai kriteria kebehasilan pembangunan. Pengeksploitasian sumberr
daya alam dan pencemaran lingkungan adalah bukti-bukti sekaligus dampak dari
sikap materialistis tersebut (Borrong. 2000).
C. Biografi Arne Naess
Arne Naess memiliki nama lengkap Arne Dekke Eide Naess, lahir pada
tanggal 27 Januari 1912

di Oslo. Arne Naess merupakan salah satu intelek

Norwegia yang paling terkemuka setelah masa perang. Sebagai peneliti, ideolog,

20

penulis buku pelajaran, komentator sosial dan filosof, karya-karyanya
mencangkup berbagai subyek dan telah menarik minat pembaca dalam skala luas.
Sebagai pendaki yang gigih dan telah memimpin beberapa ekspedisi Norwegia,
Naess merupakan pendukung ekologi yang terkenal. Sebagai kaum intelektual,
kehidupan Naess tidak terlepas dari aktivitas keilmuan di universitas, kehidupan
Naess tidak terlepas dari kehidupan keilmuan di universitas. Pada tahun 1933 dia
lulus dari Universitas Oslo, kemudian melanjutkan studinya di Paris, Vienna, dan
Barkeley. Di Vienna, dia terlibat di Vienna Circle, belajar psikoanalisis selama 14
bulan dengan Edward Hitschmann (sekolah kepribadian milik Freud). Di Berkeley
ia bekerja dengan seorang psikologi yang brilian dan belajar teorinya E.C Tolman.
Pada tahun 1936 menyelesaikan kuliah S2 dengan judul thesis Erkenntnis und
wissenschaftliches Verhalten. Naess menjadi proffesor pada umur 27 tahun, lalu
dia menjadi profesor di Universitas Oslo dari 1939-1969, kemudian menjalani
kehidupannya sebagai seorang filsuf dan naturalis. Dari tahun 1970 beraktivitas
sebagai aktivis lingkungan dan sejak tahun 1991 bekerja di SUM (Senter for
Utvikling og Mijo) atau The Centre for Development and the Environment.
Arne Naess berpartisipasi dalam gerakan perdamaian khususnya pada
tahun 1940-1955 dan gerakan gerakan kepedulian lingkungan yang dalam atau
“the deep ecology movement” terutama pada tahun 1970 sampai akhir hayatnya
yaitu pada tanggal 12 Januari 2009. Dia memimpin sebuah proyek UNESCO pada
kontroversi timur atau barat (Perang dingin) di Paris pada tahun 1948-1949. Naess
menjadi pendukung politik hijau di Eropa. Pada tahun 1958, Naess mengenalkan
sebuah jurnal filsafat intedisipliner yang bernamakan Inquiry.
Naess tercatat sebagai seorang pendaki gunung, pada tahun 1950 dia
memimpin ekspedisi pendakian pertama Gunung Tirich Mir. Sebuah gunung yang
paling tinggi di kawasan Hindu Kush di wilayah Pakistan bagian utara. Pondok
Tvergastein di Gunung Hallingskarvet yang terletak di sekelompok gunung tinggi
berperan penting dalam keehidupan Naess. Hallingskarvet adalah sebuah
rangkaian pegunungan di selatan Norwegia. Antara Naess dan gunung telah
mengisyaratkan suatu terminologi yang kuat selama hampir 100 tahun. Naess

21

telah tinggal disana selama kurang lebih 20 tahun dan kemudian dia bertempat
tinggal berpindah-pindah selama hampir 70 tahun (Cocola, 2006).
Gunung bagaikan ayah bagi seorang Naess, saat dia kehilangan seorang
ayahnya di masa kecil. Di saat seorang ayah telah tiada, keberadaan gunung
menjadi pengganti bagi Naess dan menjadi tempat berbagi secara spiritual tentang
sebuah pertlian keluarga (Drengson, 1992). Sejak kecil Naess sangat tertarik dan
terbiasa dengan kondisi alam terutama gunung. Gunung menjadi tempat terbaik
bagi Naess untuk berefleksi dan mengungkapkan pemikiran-pemikirannya dalam
sebuah karya.
Pada tahun 1972 Naess mendapatkan Honorary Doktorates dari
Universitas Stockholm dan Universitas Pendidikan Olahraga dan Jasmani Negeri
Norwegia tahun 1995. Naess juga menjadi anggota kehormatan dari The
Norwegian Alpine Club dan tahun 2002 dan The Norwegian Tourist Association
tahun 2002.
D. Konsep Deep Ecology
Deep ecology merupakan salah satu versi teori ekosentrisme. Sebagai
sebuah istilah, deep ecology pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973 oleh
Arne Naess, seorang filsuf Norwegia. Deep ecology menuntut suatu etika baru
yang tidak terpusat pada manusia (antroposentrisme), tetapi berpusat pada
makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan
lingkungan hidup. Etika baru ini tidak mengubah sama sekali hubungan antara
manusia dengan manusia. Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi
segala sesuatu yang lain (Keraf. 2006)
Ekologi dalam (Deep ecology) merupakan etika yang memandang bahwa
manusia merupakan bagian integral dari lingkungannya. Konsep ini menempatkan
sistem etika baru dan memiliki implikasi positif dalam kelestarian alam.
Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan
memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan
karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah

22

bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan
komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah
komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Secara umum Deep ecology dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam.
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh
manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang.
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan
sewenang-wenang.
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk.
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai.
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati.
7. Menghargai dan memelihara tata alam.
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem.
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu
sistem mengambil sambil memelihara.

23

BAB IV
ANALISIS DEEP ECOLOGY ARNE NAESS TERHADAP
REPONG DAMAR DI DESA TRIBUDI SYUKUR
A. Telaah Deep ecology arne naess terhadap kearifan lokal Repong damar di
Desa Tribudi Syukur.
1. Self-Realisation
Relasi instrinsik antar spesies-spesies dalam jaringan biosfer. Repong
damar merupakan Salah satu cara pengelolaan hutan secara efesien dan efektif.
Dikatakan begitu karena dalam pengelolaannya terdapat tahap-tahap penanaman
tanaman produktif (mulai dari tanaman subsistem sampai tanaman tua) berikut
perawatannya yang disengaja atau tidak oleh sang petani, ternyata berlangsung
dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain.
Sehingga proses-proses produksi yang terkait dalam seluruh tahapan repong bisa
membuahkan efesiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Pada gilirannya,
kegiatan produktif yang berlangsung secara bertahap itu akan memberikan
kontribusi ekonomi bagi petani secara terus menerus dalam jangka panjang. Resin
damar yang dipanen secara berkala memberi pendapatan tunai secara rutin untuk
menafkahi keluarga. Dari repong juga bisa dipetik hasil tanaman lain, ditambah
lagi kayu bakar, bahan bangunan dan juga beragam jenis tumbuhan obat yang
biasanya hidup di bawah pohon damar..
Pohon damar bersifat dominan, tumbuh normal, berbunga, berbuah dan
menghasilkan getah secara berkelanjutan. Hal ini menunjukan bahwa fase
perkembangan Repong damar berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai
dan saling mendukung satu sama lain.
Keterpaduan Repong damar dengan agro ekosistem lain dalam satu
sumberdaya, antara lain ditunjukkan oleh peran penting Repong damar dalam
sistem tata air, sehingga menjamin ketersediaan air sepanjang tahun untuk sawah
dan kolam. Selain itu, Repong damar juga memerankan fungsi zona penyangga
bagi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

24

2. Biospheric egalitarianism
Pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota
yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai
martabat yang sama. Dia tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak
pencemaran bagi kesehatan manusia, tetapi juga pada pada kehidupan secara
keseluruhan.
Repong damar memiliki komposisi spesies yang mirip dengan hutan alam
di Taman Nasional, baik komposisi spesies tanaman, satwa liar seperti mamalia
kecil dan burung. Repong damar Krui merupakan sebuah potret keserasian hidup
manusia dengan alam. Di tengah maraknya kerusakan hutan yang muncul akibat
konflik kepentingan, repong damar masyarakat Pesisir Lampung Barat seolah
memberikan pelajaran bahwa keserasian antara manusia dan lingkungan bukan
suatu hal yang tidak mungkin diwujudkan. Akan tetapi, gambaran indah itu juga
bukan hal yang mudah diperoleh. Untuk membuat repong damar, perlu upaya
kerja keras dan keuletan.
Selain itu, sebelum menjadi sebuah kebun damar yang dewasa dan stabil,
banyak fase yang harus dilalui. Di tahun pertama atau yang disebut juga tahapan
darak dilakukan dengan pembukaan lahan belukar atau hutan rimba yang diikuti
dengan penanaman padi pertama beserta sayuran dan buah-buahan. Tahap ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan mendapatkan penghasilan
tunai. Pada tahun ke-2 atau fase kebun, dilakukan penanaman padi kedua &
penanaman kopi diantara padi, dengan tujuan komersil dimana hasil kopi dapat
dijual dan menghasilkan uang tunai. Tahun ke-3 sampai ke-7 atau 8 (fase repong),
adalah untuk penanaman bibit damar, pohon buah-buahan, dan tanaman kayu di
sela-sela tanaman kopi. Sedangkan tahun ke-8 sampai 20 hingga 25 adalah
pemeliharaan repong dimana pohon lainnya (buah-buahan) sudah dapat dipanen
hasilnya.

25

3. Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas
ekologis dalam hubungan simbiosis
Prinsip ini menekankan pada nilai, kualitas, cara hidup yang baik, bukan
menekankan pada sikap rakus dan tamak. Ada batas untuk hidup secara layak
sebagai manusia, yang selaras dengan alam.
Repong damar, yaitu areal yang ditanami secara campuran dengan jenis
tanaman utama pohon damar (Shorea javanica). Repong damar, seperti yang
ditulis oleh Suwito merupakan asosiasi tanaman pepohonan dengan struktur
vegetasi kompleks yang menyerupai hutan alam, dan strukturnya didominasi oleh
pohon damar. Repong damar adalah sebuah contoh pengelolaan sumber daya alam
yang penting, di mana penduduk setempat menjinakkan pohon liar secara mandiri
tanpa bantuan dari pihak luar. Manfaatnya adalah jaminan terhadap kebutuhan
ekonomi penduduk dengan melindungi tanah dan sumber-sumber air, serta
konservasi sejumlah besar jenis-jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan dari hutan
alam.
Sedang untuk membuat repong damar, masyarakat membuka hutan
(pulan) untuk ditanami padi ladang. Areal tanaman padi ini mereka sebut darak.
Sesudah panen padi mereka mengubah darak menjadi kebun dengan cara
menanam kopi, lada atau cengkeh, dengan harapan memberi penghasilan untuk
selama 10 sampai 15 tahun. Fase kebun ini mereka sebut batin kejutan, yang
mencerminkan harapan mereka memperoleh hasil yang besar dari tanaman
tersebut.Bersamaan dengan itu mereka juga menanam damar disertai beberapa
jenis pohon yang akan menghasilkan buah dalam umur yang agak panjang seperti
duku, durian, petai, jengkol dan sebagainya. Sistim wanatani repong damar akan
berproduksi secara ekonomis mulai umur kira-kira 20 tahun sejak membuka hutan
dan berlangsung terus sampai selama puluhan atau mungkin lebih dari seratus
tahun.
4.

Eco-lifestyle

26

Ecolifestyle pada dasarnya adalah hidup sederhana dan tidak berlebihan.
Seperti istilah yang diutarakan Naess “ sederhana dalam sarana, tapi kaya tujuan”
(simple in means but rich in end).
Dalam Pengelolaan Repong damar memerlukan biaya dan tenaga kerja
yang relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses produksi yang
terkait dalam seluruh tahapan pengembangannya bisa membuahkan efesiensi
penggunaan faktor-faktor produksi. Pada fase Repong damar, pengeluaran biaya
untuk pengelolaan hampir tidak ada, dan tenaga kerja yang digunakan untuk
pemeliharaan repong, dalam bentuk pembabatan ringan semak sekitar pohon
damar dan pemeliharaan lubang sadap, dapat dilakukan oleh tenaga anggota
keluarga. Petani pada umumnya berpendapat bahwa semak belukar yang ada di
repong akan lebih meningkatkan produksi getah damar.
Bagi seseorang yang baru pertama kali datang ke wilayah Sumberjaya,
kesan teduh akan segera dirasakan ketika memandang repong damar yang
berdampingan dengan petak-petak sawah di tepi pantai yang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia itu. Bahkan, bagi yang belum pernah melihat pohon
damar, bukan tidak mungkin akan menyangka bahwa repong-repong damar
tersebut adalah hutan alam bagian dari kawasan TNBBS.
Secara fisik, kenampakan tegakan repong damar dewasa memang tidak
jauh berbeda dengan hutan alam. Batang pohonnya yang menjulang tinggi dan
tajuknya yang rimbun nampak jelas menggambarkan eksotika hutan tropika. Di
bawahnya, terlihat berbagai pohon buah-buahan yang ditanam di sela-sela damar
seperti petai, durian, nangka, cempedak, dan duku. Burung pun tampak nyaman
berterbangan dari pohon ke pohon tanpa kuatir gangguan manusia. Secara
ekologis, keberadaan repong damar mempunyai nilai tinggi. Selain berfungsi
sebagai daerah tangkapan air, repong damar juga dikenal sebagai zone penyangga
atau pelindung kawasan TNBBS untuk konservasi keragaman hayati yang selain
untuk menjaga kelestarian alam, masyarakat desa juga menganggapnya sebagai
bagian dari kehidupan.

27

28

BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Keberhasilan sistem pengelolaan Repong damar sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor ekologi, ekonomi-bisnis, dan sosial-budaya. Faktor ekologi yang
paling berpengaruh adalah tempat tumbuh yang sesuai untuk pertumbuhan
tanaman, kemampuan peran dan fungsi ekosistem Repong damar terhadap
ekosistem-ekosistem lain sebagai faktor pendukungnya, dan keadaan komposisi
jenis yang beranekaragam.
Deep Ecology hadir untuk menuntut suatu pemahaman etika baru yang
tidak terpusat pada manusia dan kebutujannya, melainkan berpusat pada makhluk
hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan
hidup. Etika baru ini tidak mengubah sama sekali hubungan antara manusia
dengan manusia. Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain.
Arne Naess dalam konsep Deep Ecology membagi pemikirannya dalam
istilah platformnya seperti Self Realisation, Biospheric Egalitarianism, Pengakuan
dan penghargaan terhadap keanekaragaman, serta Eco-lifestyle yang merupakan
salah satu dasar terbentuknya keadaan ekologi dalam yang lestari dan
b.

berkelanjutan.
Saran
Berbagai publikasi yang ada bahkan telah menunjukkan kesalahankesalahan asumsi masa lalu, yang memandang sepele kemampuan penduduk lokal
dalam mengelola sumber daya hutan secara baik dan berkelanjutan. Kajian
mereka mengungkapkan bahwa komunitas lokal sebenarnya memiliki dan mampu
mengembangkan institusi-institusi yang kondusif bagi pengelolaan sumber daya
berkelanjutan secara teknologi, ekonomis maupun sosial budaya. Pengelolaan
Repong damar di desa Tribudi Syukur, Lampung Barat, Propinsi Lampung, adalah
satu contoh pengelolaan lahan hutan yang telah banyak dan masih terus mendapat
perhatian para peneliti.

29