MAKALAH BIOMOLEKULER DAN SEL STUDI PUSTA
MAKALAH BIOMOLEKULER DAN SEL
STUDI PUSTAKA
PENGGUNAAN METODE PCR SEBAGAI ALTERNATIF DAN/ATAU
PENUNJANG METODE KONVENSIONAL UNTUK DIAGNOSIS TB
PADA PASIEN TB HIV DAN PASIEN TB ANAK
RONALD PRATAMA A.
(011514253002)
Pembimbing
Prof. RETNO HANDAJANI, dr., MS, PhD
Prof. Dr. HARIANTO NOTOPURO, dr., MS
Prof. SOETJIPTO, dr., MS, PhD
S2 ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………..1
Daftar Isi………………………………………………………………………...2
Pendahuluan…………………………………………………………………….3
Tinjauan Pustaka………………………………………………………………..5
Pembahasan dan Kesimpulan…………………………………………….........38
Daftar Pustaka………………………………………………………………….41
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
WHO(World Health Organization) telah menetapkan strategi DOTS di
tahun 1993 yang bertujuan menanggulangi penularan global tuberculosis(TB).
Strategi ini menekankan desentralisasi diagnosis dan terapi dengan tujuan untuk
meningkatkan akses masyarakat akan layanan kesehatan, sembari
mempertahankan kualitas pelayanan kesehatan melalui supervisi, kontrol
kualitas dan monitoring.
Sasaran WHO adalah deteksi 70% pasien-pasien TB aktif, dengan
keberhasilan terapi setidaknya 85% dari kasus yang terdeteksi. Negara-negara
yang mencapai implementasi strategi DOTS pada level tinggi berhasil
meningkatkan laju keberhasilan terapi dengan rentang 60%-82%, namun deteksi
kasus masih stabil pada kisaran 43%.
Peningkatan keberhasilan deteksi kasus TB paru menjadi sasaran
tambahan pada periode 2006-2009. Mayoritas studi yang mengevaluasi teknikteknik biologi molekuler untuk diagnosis TB sudah dilakukan pula di negaranegara maju, namun hanya beberapa dari studi-studi tersebut yang
mengevaluasi kemanfaatan klinis dari teknik-teknik biomolekuler untuk
prosedur rutin.
Negara-negara berkembang sendiri belum terlalu memprioritaskan
analisis teknik biologi molekuler untuk ranah diagnostik, sebagian besar
disebabkan karena masalah biaya, kesukaran-kesukaran teknis dan operasional
bahkan di laboratorium rujukan sekalipun. Kurangnya informasi mengenai
relevansi klinis dan efesiensi biaya menjadi hambatan utama.
Evaluasi penggunaan metode-metode molekuler baru untuk diagnosis TB
oleh negara-negara berkembang didasarkan pada kriteria diagnostik laboratoris
dan informasi klinis untuk mengevaluasi hasil-hasil yang bertentangan, terlebih
lagi beberapa laboratorium tidak secara konsisten mengaplikasikan biosafety
controls. Data mengenai rasio cost-effectiveness dari metode-metode ini untuk
prosedur rutin hanya baru-baru ini dideskripsikan oleh suatu studi di Afrika.
Hasil studi ini menyatakan bahwa penggunaan PCR lebih cost-effective
dibandingkan metode-metode tradisional.
Diagnosis TB sendiri memiliki beberapa penyulit, terutama pada populasi
pasien anak dan pasien dengan HIV/AIDS. Beberapa studi telah dilakukan
untuk mempelajari lebih lanjut akurasi PCR pada diagnosis TB paru, dengan
3
menggunakan berbagai jenis spesimen baik berupa sputum penderita, darah,
maupun jenis spesimen lainnya. Pemeriksaan PCR dapat menjadi kandidat
untuk prosedur diagnostik TB yang akurasinya diteliti dan dibandingkan dengan
prosedur diagnostik rutin TB.
1.2 POKOK BAHASAN
Aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB dalam populasi pasien TB
khusus (pasien TB dengan HIV dan pasien anak).
1.3 RUANG LINGKUP KAJIAN
1. Apakah TB itu?
2. Apa sajakah karakteristik epidemiologi TB?
3. Apa saja kriteria diagnosis TB?
4. Bagaimanakah diagnosis TB pada pasien HIV/AIDS?
5. Bagaimanakah diagnosis TB pada pasien anak?
6. Apa saja diagnosis penunjang (non konvensional) TB?
7. Bagaimana aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB pada pasien
HIV/AIDS?
8. Bagaimana aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB pada pasien
anak?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. (Kemenkes RI, 2011)
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara, 33 % dari seluruh
kasus TB di dunia. Apabila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus TB
per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara
yaitu 350 per 100.000 penduduk.
2.2 Karakteristik Epidemiologis TB
Karakteristik epidemiologis TB terdiri dari:
a. Agen penyakit TB
1. Morfologi dan Strukur Bakteri M.tb
Agen penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb).
M.tb berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1
– 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%).
Komponen penyusun utama dinding sel M.tb ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam faktor
virulensinya. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang
(C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida
seperti arabinogalaktan dan arabinomanan (Kemenkes RI,2011).
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan
bakteri M. Tuberculosis memiliki sifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam – alkohol (Kemenkes RI, 2011).
5
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada
pula literatur yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain sebagainya
(Kemenkes RI, 2011).
2. Aspek Biomolekuler M.tb
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base)
dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil
pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik
yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen
DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target,
kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein,
sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen
sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan
posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock
protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase
dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen
rpoB menyandi RNApolimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS / Insertion Sequence) adalah elemen
genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain
IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (Kemenkes RI,
2011).
b. Lingkungan
Parameter faktor lingkungan yang mendukung terjadinya
penularan penyakit TBC, meliputi tingkat kepadatan penghuni rumah,
lantai, pencahayaan, ventilasi, serta faktor kelembaban. Pada faktor
kepadatan penghuni dapat dijelaskan, bahwa semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara akan semakin
mudah dan cepat. Sesuai standard Depkes, tingkat kepadatan rumah
minimal 10 m2 per orang, jarak antar tempat tidur satu dengan lainnya 90
6
cm. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya TB Paru
jauh lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang tidak
memenuhi standar kepadatan hunian (IPH, 2015).
Faktor lantai terkait dengan dengan tingkat kelembaban ruangan,
sehingga pada kondisi lantai rumah terbuat dari tanah, cenderung
mempengaruhi viabilitas kuman TBC di lingkungan yang pada akhirnya
dapat memicu daya tahan kuman TBC di udara semakin lama (IPH,
2015).
Faktor Ventilasi akan terkait dengan sirkulasi pergantian udara
dalam rumah serta proses pengurangan tingkat kelembaban. Standar luas
ventilasi sesuai Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah
10% dari luas lantai. Ventilasi selain berperan sebagai tempat masuk sinar
matahari, juga mempengaruhi dilusi udara, yang dapat mengencerkan
konsentrasi kuman TBC atau kuman lain, yang dapat terbawa keluar
ruangan, yang pada akhirnya dapat mati oleh sinar ultra violet matahari
(IPH, 2015).
Faktor Pencahayaan. Menurut penelitian semua cahaya pada
dasarnya dapat membunuh kuman TBC, tergantung jenis dan
intensitasnya. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali
terkena TBC dibanding yang memenuhi syarat Rumah memerlukan
cahaya cukup, khususnya sinar matahari dengan ultra violet nya.
Pemenuhan pencahayaan rumah selain dipenuhi dari sumber buatan
seperti lampu, juga oleh keberadaan ventilasi dan genteng kaca di rumah
kita (IPH, 2015).
Faktor Kelembaban. Tingkat kelembaban masih terkait erat
dengan tingkat kepadatan dan ventilasi rumah. Kelembaban merupakan
sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk TBC.
Namun kelembaban juga dipengaruhi oleh topografi sehingga wilayah
lebih tinggi cenderung memiliki kelembaban yang lebih rendah. Menurut
penelitian, penghuni rumah menempati rumah dengan tingkat
kelembaban ruang lebih besar dari 60% berisiko terkena TB Paru 10,7
kali dibanding yang tinggal pada rumah dengan kelembaban lebih kecil
atau sama dengan 60% (IPH, 2015).
c. Penderita
Berikut ini adalah beberapa faktor penderita yang berpengaruh
terhadap kerentanan infeksi TB:
7
1. Jenis kelamin (gender)
Masniari dkk. (2007) memaparkan bahwa secara epidemiologi
dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal prevalensi infeksi, perburukan gejala sakit, angka
insidensi dan mortalitas akibat TB. Progresivitas penyakit juga
mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu
perempuan cenderung mempunyai penyakit yang lebih berat
pada saat datang ke rumah sakit. Perempuan lebih sering
terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan
laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa
malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki.
Perempuan juga lebih sering mengalami kekhawatiran akan
dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya.
Hambatan ekonomi dan faktor sosioekonomi kultural turut
berperan termasuk pemahaman tentang penyakit TB paru.
2. Usia
Di negara berkembang mayoritas individu yang
terinfeksi M.tb adalah golongan usia di bawah 50 tahun,
sedangkan di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada
mereka yang berusia di bawah 50 tahun namun masih tinggi
pada golongan yang lebih tua. Masniari dkk. (2007) melaporkan
bahwa di RS Persahabatan penderita TB paru yang paling
banyak adalah usia produktif kerja yaitu kelompok usia 15 – 40
tahun. Pada usia tua, TB mempunyai tanda dan gejala yang
tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis.
Patogenesis TB paru pada usia tua agaknya berasal dari
reaktivasi fokus dorman yang telah terjadi berpuluh tahun
lamanya. Reaktivasi berkaitan dengan perkembangan faktor
komorbid yang dihubungkan dengan penurunan imunitas
selular(cell mediated immunity) seperti pada penderita penyakit
keganasan, penggunaan obat imunosupresif dan faktor
penuaan(aging).
8
3. Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes melitus merupakan salah satu keadaan yang
mempermudah reaktivasi infeksi TB paru dengan risiko relatif
berkembangnya TB paru bakteriologik positif sebesar 5 kali
lebih tinggi. Disamping itu DM secara bermakna juga berkaitan
dengan MDR TB (Masniari dkk., 2007).
Hiperglikemi kronik oleh karena DM akan menyebabkan
gangguan fungsi paru melalui mekanisme glikosilasi dan glikasi
asam amino dan lemak. Glikosilasi dan glikasi akan
mengakibatkan penebalan serta perubahan struktur jaringan ikat
membran basalis sehingga terjadi gangguan migrasi serta
diferensiasi sel radang. Gangguan ini akan diperberat apabila
terjadi asidosis karena kemampuan mobilisasi PMN,
kemampuan fagositosis yang ditunjukkan melalui indeks
kemotaktik pada penderita DM menurun. Pada penderita DM
didapatkan defisiensi cell mediated immunity (imunitas selular)
dan paling banyak berpengaruh dengan abnormalitas lekosit
polimorfonuklear (PMN), monosit, dan limfosit. Kadar gula
darah yang tinggi akan memicu terjadinya defek imunologis
yang akan menurunkan fungsi netrofil, monosit maupun
limfosit.
4. HIV
TB merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk
penderita HIV/AIDS. TB sering merupakan manifestasi dini
dari AIDS. HIV atau AIDS adalah penyakit infeksi yang
gejalanya mencerminkan defisiensi imunitas selular akibat
infeksi retrovirus. Ciri utama dari infeksi HIV adalah
menurunnya serta terjadinya disfungsi sel-sel CD4 secara
progresif dibarengi dengan terjadinya defek fungsi makrofag
dan monosit. Diketahui bahwa sel-sel CD4 dan makrofag
mempunyai peran sentral dalam pertahanan tubuh terhadap
mikobakterium. Infeksi TB meningkatkan risiko terjadinya
reaktivasi infeksi TB laten disamping meningkatkan risiko
penyakit menjadi progresif pada infeksi paru dan reinfeksi. Jadi
antara infeksi HIV dan TB terjadi interaksi patogenik dua arah
9
(bidirectional pathogenic interaction) yang memperburuk
prognosis penderita.
2.3Diagnosis TB
2.3.1. Kriteria Diagnosis TB Paru
Kriteria diagnosis TB Paru terdiri dari (Kemenkes RI, 2011):
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang
terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
• batuk ≥ 3 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai
tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung
dari luas lesi.
Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke
luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa
terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
b. Gejala sistemik
• Demam
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun
10
2. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan
segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”.
3. Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH).
b. Cara Pengumpulan dan Pengiriman Spesimen
Cara pengambilan spesimen dahak sebanyak 3 kali, setiap
pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
11
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila tersedia fasilitas
pemeriksaan yang memadai, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum
dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus
kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan
uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas
objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan
dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas penderita yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari
klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat
dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat
agar terlihat bagian tengahnya
• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di
bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan
melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan
dahak
• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di
tempat yang aman, misal di dalam dus
• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan
dalam kantong plastik kecil
• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara)
dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan
menggunakan lidi
• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan
tanggal pengambilan dahak
• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos
ke alamat laboratorium.
c. Cara Pemeriksaan Dahak dan Bahan Lain
12
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan
bahan lain (cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(BAL/BronchoAlveolar Lavage), urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk Biopsi Jarum Halus) dapat dilakukan
dengan cara:
1) Pemeriksaan Mikroskopik
2) Pembiakan/Kultur
ad 1) Pemeriksaan mikroskopik:
1. Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen,
pewarnaan Kinyoun Gabbett.
2. Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening).
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan
lebih dahulu dengan cara sebagai berikut :
• Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung
sentrifus dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
• Kocoklah tabung tersebut selama 5 – 10 menit atau sampai
dahak mencair sempurna
• Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000
rpm
• Buanglah supernatan dan tambahkan 1 tetes indicator
fenol-merah pada sedimen yang ada dalam tabung tersebut,
warnanya akan berubah menjadi merah
• Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati
meneteskan larutan HCl 2% ke dalam tabung sampai
tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan
• Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan
pulasan (boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis).
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
13
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran
tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT, bagi pasien dengan HIV negatif.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
ad 2) Pembiakan/Kultur
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis
konvensional ialah dengan cara :
dengan
metode
• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
• Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan
diagnosis pasti(sebagai pemeriksaan baku emas), dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik
dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik,
14
oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat
memberi
gambaran bermacam-macam
bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (lebih sering didapatkan) atau bilateral
(jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke (terdiri dari lesi Ghon dan kalsifikasi hilus
ipsilateral)
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru .
Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik
untuk memastikan aktivitas proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA
dahak negatif) :
• Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau
dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
• Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
2.3.2. Diagnosis TB pada ODHA(Orang Dengan HIV/AIDS)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan
sebagai
berikut:
15
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan
dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan
gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif
dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari
jaringan tubuh yang terkena.
2.3.3. Diagnosis TB anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor.
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak
dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk
diagnosis TB anak.
Gambar 1. Sistem Skoring TB Anak IDAI.
16
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
· Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
· Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).-->
lampirkan tabel berat badan.
· Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
· Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7
hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.
· Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
· Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal,
17
pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain
lainnya.
2.4 Metode non konvensional Diagnosis TB
Metode non konvensional TB terdiri dari beberapa metode diagnosis, yaitu
(Kemenkes RI, 2011):
1. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah
dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi.
Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih
memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR
dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan
tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan
organ yang terlibat.
Visualisasi produk PCR terdiri dari beberapa metode yaitu:
a. Elektroforesis Gel Agarosa atau Gel Agarosa Poliakrilamida
Metoda elektroforesis gel agarosa didasarkan pada
pergerakan molekul bermuatan dalam media penyangga matriks
stabil di bawah pengaruh medan listrik. Media yang umum
digunakan adalah gel agarosa atau poliakrilamid. Elektroforesis
gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang
berukuran lebih besar dari 100 pb dan dijalankan secara
18
horizontal, sedangkan elektroforesis poliakrilamid
memisahkan 1 pb dan dijalankan secara vertikal.
dapat
Elektroforesis poliakrilamid biasanya digunakan untuk
menentukan urutan DNA (sekuensing). Molekul organik yang
dapat dielektroforesis antara lain DNA, RNA, dan protein.
Molekul-molekul yang bermuatan positif akan bergerak menuju
elektroda negatif, sedangkan molekul bermuatan negatif akan
bergerak ke elektroda positif melalui gel elektroforesis.
Lokasi fragmen DNA yang terbentuk seperti pita-pita pada
elektroforesis dapat diamati secara spesifik dengan menggunakan
pewarna. Indikator yang digunakan adalah etidium bromida yang
dapat menyisip di antara basa-basa pada DNA. Gel yang diberi
etidium bromida dan disinari dengan UV akan memperlihatkan
lokasi DNA sebagai untai berwarna merah-jingga. Etidium
bromida merupakan senyawa karsinogenik sehingga dalam
melaksanakan percobaan yang menggunakan etidium bromida
harus menggunakan sarung tangan.
b. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain:
1). Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi
yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.
2). Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan
19
(LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir
plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai
dengan aktivitas penyakit, maka akan timbul perubahan warna
pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.
3). Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.
4). ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam
serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa.
Kelima antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranya digabung dalam 1 garis) di samping garis kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen
dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif
bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu
dari empat garis antigen pada membran.
20
c. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme
asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat
menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis.
d. Pemeriksaan Cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk
membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta
positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan kadar glukosa rendah.
e. Pemeriksaan Histopatologis
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans
thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura,
biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru.
Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH
=biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru
memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan
(nekrosis kaseosa).
21
f. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
pewarna yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah
( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini
sangat penting sebagai pewarna tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis.
g. Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi
infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila positivitas dari
uji yang didapat besar sekali atau bula.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif,
terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif
mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan
hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog
dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target
organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu
yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang
bersangkutan (M.tuberculosis).
22
2.5 Aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB dalam populasi pasien TB khusus
(pasien TB dengan HIV dan pasien anak).
2.5.1 Studi-studi mengenai aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB dalam
populasi pasien TB-HIV
1. Comparison of PCR with the Routine Procedure for Diagnosis of
Tuberculosis in a Population with High Prevalences of Tuberculosis and
Human Immunodeficiency Virus
Studi oleh Ndugga et. al. yang dilakukan di Nairobi, Kenya, Afrika
pada kurun waktu Maret 2000 sampai Maret 2001 adalah studi prevalensi
dengan tujuan diagnostik, yaitu untuk membandingkan akurasi PCR dengan
prosedur diagnostik rutin untuk menegakkan diagnosis TB, di daerah
endemis TB dengan prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi. Prosedur
diagnostik rutin TB yang dimaksud ini adalah pemeriksaan BTA
mikroskopis, dan rontgen toraks untuk pasien dengan hasil pemeriksaan
BTA mikroskopis negatif. Pemeriksaan ini semuanya akan dibandingkan
dengan pemeriksaan baku emas yaitu kultur pada media LowensteinJensen(LJ).
Populasi studi ini adalah seluruh pasien TB di Nairobi. Sampel studi
adalah 1.398 individu suspek TB di Rhodes Chest Clinic, suatu pusat
diagnostik yang besar di Nairobi. Kriteria inklusi adalah suspek TB yaitu
batuk lebih dari 2 minggu dan/atau adanya hemoptysis. Pasien-pasien
suspek TB tersebut kemudian diminta menyerahkan tiga spesimen sputum,
yang pertama adalah saat pasien datang pertama kali di klinik, yang kedua
adalah spesismen sputum pagi hari, dan yang ketiga adalah spesimen
sputum yang diambil saat pasien datang kembali klinik untuk menyerahkan
spesimen sputum yang kedua.
Pasien-pasien suspek TB tersebut juga diminta persetujuan untuk
diambil sampel darah untuk tes HIV secara sukarela. Pasien-pasien yang
tidak bersedia untuk dites HIV tetap diikutkan dalam studi ini.
Studi ini mendapatkan persetujuan etik dari komite etik The Kenya
Medical Research Institute(KEMRI). Informed consent juga telah
didapatkan dari semua partisipan studi ini.
HASIL
Total sampel studi ini adalah 1.398 individu. Hasil kultur, ZN, dan
pemeriksaan PCR berhasil didapatkan dari 867(62%) suspek, termasuk juga
hasil rontgen toraks untuk memperoleh diagnosis pada suspek dengan hasil
23
apusan-negative. 490(57%) dari 867 suspek ini hasil kulturnya positif,
sedangkan 377(43%) negatif. 217 dari 1.398 individu ini setuju untuk
dilakukan pemeriksaan HIV, dengan 77(35%) HIV positif, dan 140(65%)
HIV negatif.
Hasil pemeriksaan prosedur diagnostik rutin didapatkan 302 suspek
TB apusan-positif dan 278 suspek TB apusan-negatif. 2.3% dari suspek TB
dengan apusan-positif dan 44.2% dari suspek TB dengan apusan-negatif
didapatkan hasil kultur yang negatif (overdiagnosis). Sedangkan 40(13.9%)
dari 287 suspek dengan label bukan TB ternyata hasil kulturnya positif
(underdiagnosis).
Tabel 1. Perbandingan diagnosis rutin (pengecatan BTA ZN diikuti rontgen
toraks) dengan hasil kultur sebagai merode baku emas.
Hasil dari
Diagnosis
Rutin(Diagnosis
dibuat oleh
klinikus
berdasarkan
prosedur
diagnostik rutin)
Jumlah(%) hasil yang
diperoleh dari kultur
Jumlah(%) yang
diperoleh dari
prosedur diagnostik
rutin
Positif
Negatif
TB apusanpositif
302(34.8)
295(97.7)
7(2.3)
TB apusannegatif
278(32.1)
155(55.8)
123(44.2)
Bukan TB
287(33.1)
40(13.9)
247(86.1)
867(100)
490(56.5)
377(43.5)
Total
PCR memberikan hasil positif untuk 514 suspek, 60(11.7%)
diantaranya dengan hasil kultur negatif. 36 dari 60 suspek ini menghasilkan
2 atau 3 spesimen PCR yang positif; hanya 1 pasien yang memberikan hasil
positif pada pemeriksaan BTA mikroskopis. Sedangkan dari 353 suspek
dengan hasil PCR negatif, 36(10.2%) memberikan hasil kultur positif. 2 dari
36 hasil kultur yang positif ini teridentifikasi Mycobacterium
mucogenicum,sedangkan 34 lainnya teridentifikasi M.tuberculosis.
24
Tabel 2. Perbandingan diagnostik PCR pada ketiga spesimen dengan
kultur sebagai metode baku emas.
Hasil PCR
Jumlah(%)yang
diperoleh dari PCR
Jumlah(%) hasil yang
diperoleh dari kultur
Positif
Negatif
Positif
514(59.3)
454(88.39)
60(11.7)
Negatif
353(40.7)
36(10.2)
317(89.8)
867(100)
490(56.5)
377(43.5)
Total
Perbandingan prosedur diagnostik rutin dan PCR, PCR memiliki
sensitivitas yang lebih baik(98%) daripada pemeriksaan ZN(60%) maupun
kombinasi ZN dan rontgen toraks. Spesifisitas PCR(84%) lebih rendah
daripada ZN(98%) namun lebih baik daripada spesifisitas kombinasi ZN
dan rontgen toraks(pada apusan-negatif) yang hanya 66%. PCR dengan
tepat mengidentifikasi 294(99.7%) dari 295 apusan-positif sejati(positif baik
kultur maupun dan ZN).
Tabel 3. Sensitivitas dan spesifisitas PCR dan prosedur diagnostik
rutin.
Prosedur Diagnostika Sensitifitas(%)b Spesifisitas(%)c
Pemeriksaan ZN saja
pada 3 apusan(TB60(57-63)
98(97-99)
apusan positif)
Pemeriksaan ZN dan
rontgen toraks(TB
92(90-94)
66(62-69)
apusan-positif dan
TB apusan-negatif)
Pemeriksaan PCR
93(91-94)
84(82-87)
pada 3 apusan.
a
Tes dilakukan pada 867 suspek, 490 di antaranya memberikan hasil
kultur positif dan 377 memberikan hasil kultur negatif.
b
95% IK(Interval Kepercayaan).
2. PCR-based Detection of The Mycobacterium tuberculosis complex in
Urine of HIV-infected and uninfected pulmonary and extrapulmonary
tuberculosis patients in Burkina Faso
25
Studi yang dilakukan oleh Torrea et.al. di Burkina Faso tahun
2000 sampai 2001 menganalisis metode otnPCR(one tube nested PCR)
dengan sampel urin pada 331 pasien TB dari 4 center di Burkina Faso
yaitu: Pusat Tuberkulosis Regional dan Unit Pneumologi Rumah Sakit
Nasional Sanou Sourou di kota Bobo-Dioulasso(kota terbesar kedua di
Burkina Faso), serta Pusat Tuberkulosis Nasional dan Departemen
Pneumologi di Rumah Sakit Nasional Yalgado Ouedraogo di
Ouagadougou(ibukota Burkina Faso).
Burkina Faso termasuk salah satu negara di Afrika dengan beban
sakit TB yang besar, dengan rata-rata 2000 kasus baru TB setiap
tahun(menurut Register Program Nasional Kontrol TB Burkina), dengan
kasus TB-smear negatif sebanyak 12% (World Health Organization,
2004). Data tahun 2001 diperkirakan sebanyak 7.2% populasi di Burkina
Faso terinfeksi HIV (data dari Register Program Nasional Kontrol
HIV/AIDS, 2001).
Metode mikrobiologis klasik untuk mendiagnosis PTB(Pulmonary
TB) dan Extrapulmonary TB(EPTB) memiliki kelemahan yang mencolok
dalam hal sensitivitas dan spesivisitasnya. Sensitivitas pemeriksaan
smear mikroskopis berkisar antara 50-60%, sedangkan kultur
membutuhkan waktu 3-6 minggu untuk mendeteksi spesimen yang
positif.
Hasil smear negatif pada individu suspek TB menjadi sangat
problematik terutama pada situasi tidak tersedianya metode diagnosis
yang lain. Terlebih lagi PTB dengan pengecatan BTA memiliki assosiasi
kuat dengan infeksi HIV (Torrea, 2001). Pada pasien-pasien ini bahkan
abnormalitas foto rontgen toraks maupun gejala klinis yang klasik sering
tidak nampak. Atas dasar inilah pengobatan pada pasien-pasien ini sering
terlambat karena penegakan diagnosis yang sering juga terlambat.
EPTB sendiri juga sangat sulit dideteksi tanpa pemeriksaan
sitologis dan histologis, yang sering tidak tersedia di Burkina Faso.
Penggunaan metode-metode diagnostik molekuler yang sederhana untuk
mendeteksi sedikit BTA dari M. tb complex sangat bermanfaat untuk
medeteksi kasus-kasus semacam ini.
Sputum tidak bermanfaat dalam mendeteksi kasus EPTB, bahkan
jarang dapat diperoleh dari pasien-pasien terinfeksi HIV. Sementara itu
pengolahan sampel darah untuk diagnosis TB berbahaya (dalam
penularannya) dan deteksi basili oleh PCR dengan spesimen darah tidak
cukup sensitif karena keberadaan inhibitor seperti DNA
26
Eukariota(inang). Sementara itu sampel urin lebih mudah diperoleh dan
basili dapat dikonsentrasikan dengan sentrifugasi. Terlebih lagi penelitian
sebelumnya oleh Sechi et. al.(1997) dan Aceti et. al. (1999) melaporkan
bahwa M. tuberculosis dapat dideteksi pada sampel urin dengan otnPCR
menggunakan sekuens IS6110 sebagai target.
Tujuan studi ini adalah untuk evaluasi sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif(NPP), dan nilai prediksi negatif(NPN) dari analisis
otnPCR dengan sampel urin. Populasi studi ini adalah pasien TB baik
PTB dan EPTB di RS Nasional dan Pusat Tuberkulosis Regional di dua
kota terbesar di Burkina Faso. Sampel studi ini adalah sampel urin
pasien-pasien TB tersebut yang terpilih sebagai sampel, yaitu sebanyak
301 pasien.
Kriteria inklusi adalah pasien dengan suspek PTB dari hasil
pemeriksaan mikrobiologis pengecatan BTA dari sampel sputum positif 2
dari 3 sampel sputum (kelompok pasien PTB smear-positif), dan/atau 1
dari 3 sampel sputum didapatkan hasil positif pada pengecatan BTA,
namun setidaknya satu sampel sputum memberikan hasil kultur positif
(kelompok pasien PTB smear-negatif). Kriteria eksklusi adalah pasien
yang sedang mendapatkan pengobatan TB sebelum dimulainya studi ini.
Dari setiap pasien diambil tiga sampel urin pagi selama tiga hari
berturut-turut (untuk pemeriksaan otnPCR) dan dua sampel sputum pagi
(satu untuk pemeriksaan mikroskopis dan satu lagi untuk kultur) serta 5
ml darah (untuk pemeriksaan antibodi HIV).
Studi ini mendapatkan persetujuan etik dari komite etik Center
Muraz, Burkina Faso. Informed consent tertulis telah didapatkan dari
setiap pasien sebelum diikutkan dalam studi ini.
METODE
1. Analisis Mikrobiologis
Pengecatan BTA(Basil Tahan Asam) dikerjakan dengan
metode ZN pada dua spesimen sputum yang diperoleh dua hari
berturut-turut.
Kultur mikobakteria dikerjakan pada media Lowenstein Jensen
dan uji-uji identifikasi biokimiawi untuk M. tuberculosis complex
dilakukan pada isolat yang dikultur tersebut.
2. Uji-uji Serologis
Antibodi-antibodi terhadap HIV tipe 1(HIV-1), HIV-1 grup O
dan HIV tipe 2 (HIV-2) dideteksi dengan menggunakan uji
27
imunoasai enzim komersial (Murex HIV-1.2,O dari Abbott). Pada
kasus di mana hasil uji ini reaktif, pembedaan infeksi oleh HIV-1
atau HIV-2 dilakukan dengan menggunakan dua uji monospesifik
komersial, Wellcozyme HIV Recombinant dari Abbott untuk HIV-1
dan Murex HIV-2 untuk HIV-2.
3. Analisis otnPCR
Meliputi beberapa tahapan yaitu:
I. Pengolahan sampel urin
Tiga spesimen urin ditampung dan disentrifus pada
kecepatan 3000 g selama 20 menit. Supernatan dihilangkan dan
nedapan yang timbul diresuspensi dalam 1 volume NaOH 4%.
Setelah diinkubasi selama 15 menit pada suhu 377 C, 30 ml PBS
ditambahkan dan sampel-sampel tersebut disentrifus pada
kecepatan 3000 g selama 20 menit. Endapan yang timbul
diresuspensi dalam 1 ml PBS, dan alikuot sebanyak 500 µL
disimpan dalam suhu -207C sampai digunakan untuk analisis.
II. Ekstraksi DNA kromosomal
Alikuot pada ad.I diinaktivasi pada suhu 1007 C selama 10
menit. Debris yang timbul dicuci sekali dengan air suling steril
dan disentrifus pada kecepatan 16000g selama 5 menit.
Supernatan yang timbul disingkirkan dan endapan yang ada
diresuspensi dalam 50 µL 0.5% Tween 20 dalam air suling steril.
Kemudian dilanjutkan pemanasan pada 1007 C dan pendinginan
pada -807 C selama 5 menit sebanyak dua kali, untuk selanjutnya
dipanaskan kembali pada suhu 1007 C selama 5 menit.
Selanjutnya sampel-sampel tersebut disentrifus pada
kecepatan 9000 g selama 5 menit dan supernatan yang timbul
dipindahkan ke tabung mikrosentrifus. Satu volume kloroform
ditambahkan pada sampel kemudian dicampur dengan vortexing
selama 2 menit. Setelah sentrifugasi pada 9000 g selama 2 menit,
10 µL dari supernatan digunakan untuk prosedur amplifikasi
DNA.
III.
otnPCR(one tube nested PCR)
Dua pasang primer yang digunakan untuk amplifikasi
diturunkan dari sekuens gen yang mengkode sekuens insersi
IS6110 yaitu:
28
Pasangan primer eksternal adalah TB290 (5’GGCGGGACAACGCCGAATTGCGAA-3’) dan TB856 (5’CGAGCGTAGGCGTCGGTGACAAG-3’), sedangkan primer
internalnya adalah TB431 (5’-TACTACGACCACATCAACCG3’) dan TB740c (5’-GGGCTGTGGCCGGATCAGCG-3’).
Campuran reaksinya terdiri dari 20mM Tris/HCl (pH8.0), 50 mM
KCl, 1.5 mM MgCl2, 0.3 mM (masing-masing) dATP, dGTP,
dCTP, dan dTTP, 0.01 µM primer eksternal, 0.1 µM primer
internal, dan 2 U Taq DNA polymerase (Invitrogen) dalam
volume reaksi total 30 µL. untuk reaksi amplifikasi, kondisi siklus
temperatur terdiri dari 4 tahap yang berurutan yaitu:
1. satu siklus dalam 947 C selama 5 menit;
2. 40 siklus dalam 947 C selama 40 detik; 6 47 C selama 40 detik;
kemudian 727 C selama 1 menit;
3. 25 siklus dalam 947 C selama 40 detik, 5 47 C selama 40 detik
dan 727 C selama 1 menit;
4. Siklus terakhir yaitu 727 C selama 10 menit.
Kontrol positif dan negatif disertakan pula dalam setiap
tahap, dan tindakan kehati-hatian untuk mencegah kontaminasi
juga dikerjakan dengan saksama. Produk PCR divisualisasikan
dalam 2% gel agarosa dalam buffer Tris-Borate-EDTA. Pita-pita
target dengan ukuran sekitar 500 dan 300 bp divisualisasikan
dengan indikator EtBr(Ethidium Bromida).
4. Analisis Statistik
Data dikumpulkan dan diolah menggunakan program Epi
Info6 versi 6.04. Sensitivitas, spesifisitas, NPP(Nilai Prediksi Positif)
dan NPN(Nilai Prediksi Negatif) dengan interval kepercayaan
sebesar 95% juga dikalkulasi. Proporsi-proporsi yang ada diperoleh
dengan metode Binomial Eksak(IK 95%) dan uji statistik yang
digunakan adalah chi square dan korelasi momen produk Pearson.
HASIL
1. Kasus
Kelompok kasus adalah 301 pasien yang terdiagnosis sebagai
pasien TB dengan 145 pasien terinfeksi HIV. 301 pasien ini
dikelompokkan menjadi 3(tiga) kategori yaitu 217 pasien (termasuk di
dalamnya 82 terinfeksi HIV) telah dikonfirmasi melalui uji
mikrobiologis(kultur dan pengecatan BTA ZN) dengan perincian sebagai
berikut: 210 pasien dikonfirmasi dengan kultur dan pengecatan BTA ZN
29
(termasuk 82 kasus terinfeksi HIV) dan tujuh diantarnya BTA smearnegatif dan kultur-positif (termasuk empat pasien yang terinfeksi HIV).
Lokasi infeksi selain paru-paru juga didapatkan pada beberapa
pasien PTB, seperti 2 dari 210 pasien PTB yang merupakan kelompok
dengan hasil pengecatan BTA-smear positif dan kultur positif (1 kasus
TB milier, 1 kasus pleural TB), dan 2 dari 7 pasien yang merupakan
kelompok dengan pengecatan BTA-smear negatif dan kultur positif
(keduanya pleural TB). Sedangkan kelompok PTB dengan hasil
pemeriksaan mikrobiologis negatif (pengecatan BTA dan sputum negatif)
terdiri dari 30 pasien (16 diantaranya terinfeksi HIV), 7 dari 30 pasien ini
juga terkena infeksi EPTB selain juga PTB (4 kasus pleural TB, 1 TB
milier, 1 penyakit Pott’s, dan 1 peritonitis TB).
160 pasien PTB adalah laki-laki (dari 247 pasien PTB), dan 87
pasien wanita. Rerata usia pasien PTB laki-laki adalah 36.8 tahun;
rentang usia 15-75 tahun. Sedangkan rerata usia pasien PTB wanita
adalah 35.6 tahun, rentang usia 15-70 tahun.
2. Kontrol
74 pasien(termasuk 31 pasien terinfeksi HIV) dikategorikan
sebagai kelompok kontrol, namun 19 pasien dalam analisis lanjutan
dikeluarkan dari kelompok kontrol karena beberapa alasan berikut: 5
pasien hilang dalam periode follow-up, 12 pasien positif TB, satu pasien
tinggal dengan penderita TB, dan satu pasien lagi meninggal karena efusi
pleura sugestif TB. Akhirnya 55 pasien kontrol(termasuk 22 terinfeksi
HIV) yang dimasukkan dalam analisis.
M. tuberculosis complex otnPCR positif didapatkan pada
88(40.6%) sampel urin dari 217 pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB positif, 20 dari 30 pasien(66.7%) dengan
pemeriksaan mikrobiologis PTB negatif dan 48 dari 84 pasien dengan
EPTB. Deteksi M. tuberculosis lebih pada pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis TB negatif dan kelompok EPTB daripada kelompok
dengan pemeriksaan mikrobiologis PTB positif (chi-square test,
P=0.003). Perbedaan antara kelompok pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB negatif dengan kelompok EPTB tidak signifikan
(P>0.05).
Tingkat deteksi otnPCR pada kelompok pasien dengan
pemeriksaan mikrobiologis TB positif didapatkan tertinggi pada pasienpasien dengan pemeriksaan BTA smear negatif namun kultur positif,
30
yaitu 6 dari 7 hasil positif pada sampel urinnya (3 pasien HIV positif dan
3 pasien HIV negatif).
Kelompok pasien EPTB juga menunjukkan tingkat deteksi
otnPCR dengan sampel urin yang baik, dengan 6 dari 7 sampel terdeteksi
positif pada kelompok dengan pemeriksaan mikrobiologis PTB negatif
dan 3 dari 4 sampel urin pada kelompok pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB positif.
Sensitivitas otnPCR dengan sampel urin berkisar antara 40.6%
(95% IK, 34.0-47.4) pada kelompok pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB positif sampai dengan 66.7% (95% IK, 47.1-82.1)
pada kelompok pasien dengan pemeriksaan mikrobiologis TB negatif.
Spesifisitas uji ini pada seluruh kelompok pasien adalah 98.2% (95% IK,
89.9-99.9).
Nilai Prediksi Positif (NPP) pada seluruh kelompok pasien
didapatkan di atas 95%. Nilai Prediksi Negatif (NPN) didapatkan lebih
rendah yaitu 29.5% (95% IK, 23.1-36.8) pada kelompok pasien dengan
pemeriksaan mikrobiologis PTB positif sampai dengan 84.4% (95% IK,
72.7-91.9) pada kelompok pasien dengan pemeriksaan mikrobiologis TB
negatif.
Sensitivitas uji ini lebih tinggi pada pasien-pasien dengan infeksi
HIV daripada pasien-pasien tanpa infeksi HIV pada kelompok pasien
dengan pemeriksaan mikrobiologis PTB positif (53.5% versus 32.1%,
95% IK, 42.4-64.2).
STUDI PUSTAKA
PENGGUNAAN METODE PCR SEBAGAI ALTERNATIF DAN/ATAU
PENUNJANG METODE KONVENSIONAL UNTUK DIAGNOSIS TB
PADA PASIEN TB HIV DAN PASIEN TB ANAK
RONALD PRATAMA A.
(011514253002)
Pembimbing
Prof. RETNO HANDAJANI, dr., MS, PhD
Prof. Dr. HARIANTO NOTOPURO, dr., MS
Prof. SOETJIPTO, dr., MS, PhD
S2 ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………..1
Daftar Isi………………………………………………………………………...2
Pendahuluan…………………………………………………………………….3
Tinjauan Pustaka………………………………………………………………..5
Pembahasan dan Kesimpulan…………………………………………….........38
Daftar Pustaka………………………………………………………………….41
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
WHO(World Health Organization) telah menetapkan strategi DOTS di
tahun 1993 yang bertujuan menanggulangi penularan global tuberculosis(TB).
Strategi ini menekankan desentralisasi diagnosis dan terapi dengan tujuan untuk
meningkatkan akses masyarakat akan layanan kesehatan, sembari
mempertahankan kualitas pelayanan kesehatan melalui supervisi, kontrol
kualitas dan monitoring.
Sasaran WHO adalah deteksi 70% pasien-pasien TB aktif, dengan
keberhasilan terapi setidaknya 85% dari kasus yang terdeteksi. Negara-negara
yang mencapai implementasi strategi DOTS pada level tinggi berhasil
meningkatkan laju keberhasilan terapi dengan rentang 60%-82%, namun deteksi
kasus masih stabil pada kisaran 43%.
Peningkatan keberhasilan deteksi kasus TB paru menjadi sasaran
tambahan pada periode 2006-2009. Mayoritas studi yang mengevaluasi teknikteknik biologi molekuler untuk diagnosis TB sudah dilakukan pula di negaranegara maju, namun hanya beberapa dari studi-studi tersebut yang
mengevaluasi kemanfaatan klinis dari teknik-teknik biomolekuler untuk
prosedur rutin.
Negara-negara berkembang sendiri belum terlalu memprioritaskan
analisis teknik biologi molekuler untuk ranah diagnostik, sebagian besar
disebabkan karena masalah biaya, kesukaran-kesukaran teknis dan operasional
bahkan di laboratorium rujukan sekalipun. Kurangnya informasi mengenai
relevansi klinis dan efesiensi biaya menjadi hambatan utama.
Evaluasi penggunaan metode-metode molekuler baru untuk diagnosis TB
oleh negara-negara berkembang didasarkan pada kriteria diagnostik laboratoris
dan informasi klinis untuk mengevaluasi hasil-hasil yang bertentangan, terlebih
lagi beberapa laboratorium tidak secara konsisten mengaplikasikan biosafety
controls. Data mengenai rasio cost-effectiveness dari metode-metode ini untuk
prosedur rutin hanya baru-baru ini dideskripsikan oleh suatu studi di Afrika.
Hasil studi ini menyatakan bahwa penggunaan PCR lebih cost-effective
dibandingkan metode-metode tradisional.
Diagnosis TB sendiri memiliki beberapa penyulit, terutama pada populasi
pasien anak dan pasien dengan HIV/AIDS. Beberapa studi telah dilakukan
untuk mempelajari lebih lanjut akurasi PCR pada diagnosis TB paru, dengan
3
menggunakan berbagai jenis spesimen baik berupa sputum penderita, darah,
maupun jenis spesimen lainnya. Pemeriksaan PCR dapat menjadi kandidat
untuk prosedur diagnostik TB yang akurasinya diteliti dan dibandingkan dengan
prosedur diagnostik rutin TB.
1.2 POKOK BAHASAN
Aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB dalam populasi pasien TB
khusus (pasien TB dengan HIV dan pasien anak).
1.3 RUANG LINGKUP KAJIAN
1. Apakah TB itu?
2. Apa sajakah karakteristik epidemiologi TB?
3. Apa saja kriteria diagnosis TB?
4. Bagaimanakah diagnosis TB pada pasien HIV/AIDS?
5. Bagaimanakah diagnosis TB pada pasien anak?
6. Apa saja diagnosis penunjang (non konvensional) TB?
7. Bagaimana aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB pada pasien
HIV/AIDS?
8. Bagaimana aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB pada pasien
anak?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. (Kemenkes RI, 2011)
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara, 33 % dari seluruh
kasus TB di dunia. Apabila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus TB
per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara
yaitu 350 per 100.000 penduduk.
2.2 Karakteristik Epidemiologis TB
Karakteristik epidemiologis TB terdiri dari:
a. Agen penyakit TB
1. Morfologi dan Strukur Bakteri M.tb
Agen penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb).
M.tb berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1
– 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%).
Komponen penyusun utama dinding sel M.tb ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam faktor
virulensinya. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang
(C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida
seperti arabinogalaktan dan arabinomanan (Kemenkes RI,2011).
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan
bakteri M. Tuberculosis memiliki sifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam – alkohol (Kemenkes RI, 2011).
5
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada
pula literatur yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain sebagainya
(Kemenkes RI, 2011).
2. Aspek Biomolekuler M.tb
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base)
dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil
pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik
yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen
DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target,
kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein,
sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen
sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan
posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock
protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase
dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen
rpoB menyandi RNApolimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS / Insertion Sequence) adalah elemen
genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain
IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (Kemenkes RI,
2011).
b. Lingkungan
Parameter faktor lingkungan yang mendukung terjadinya
penularan penyakit TBC, meliputi tingkat kepadatan penghuni rumah,
lantai, pencahayaan, ventilasi, serta faktor kelembaban. Pada faktor
kepadatan penghuni dapat dijelaskan, bahwa semakin padat maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara akan semakin
mudah dan cepat. Sesuai standard Depkes, tingkat kepadatan rumah
minimal 10 m2 per orang, jarak antar tempat tidur satu dengan lainnya 90
6
cm. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya TB Paru
jauh lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang tidak
memenuhi standar kepadatan hunian (IPH, 2015).
Faktor lantai terkait dengan dengan tingkat kelembaban ruangan,
sehingga pada kondisi lantai rumah terbuat dari tanah, cenderung
mempengaruhi viabilitas kuman TBC di lingkungan yang pada akhirnya
dapat memicu daya tahan kuman TBC di udara semakin lama (IPH,
2015).
Faktor Ventilasi akan terkait dengan sirkulasi pergantian udara
dalam rumah serta proses pengurangan tingkat kelembaban. Standar luas
ventilasi sesuai Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah
10% dari luas lantai. Ventilasi selain berperan sebagai tempat masuk sinar
matahari, juga mempengaruhi dilusi udara, yang dapat mengencerkan
konsentrasi kuman TBC atau kuman lain, yang dapat terbawa keluar
ruangan, yang pada akhirnya dapat mati oleh sinar ultra violet matahari
(IPH, 2015).
Faktor Pencahayaan. Menurut penelitian semua cahaya pada
dasarnya dapat membunuh kuman TBC, tergantung jenis dan
intensitasnya. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali
terkena TBC dibanding yang memenuhi syarat Rumah memerlukan
cahaya cukup, khususnya sinar matahari dengan ultra violet nya.
Pemenuhan pencahayaan rumah selain dipenuhi dari sumber buatan
seperti lampu, juga oleh keberadaan ventilasi dan genteng kaca di rumah
kita (IPH, 2015).
Faktor Kelembaban. Tingkat kelembaban masih terkait erat
dengan tingkat kepadatan dan ventilasi rumah. Kelembaban merupakan
sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk TBC.
Namun kelembaban juga dipengaruhi oleh topografi sehingga wilayah
lebih tinggi cenderung memiliki kelembaban yang lebih rendah. Menurut
penelitian, penghuni rumah menempati rumah dengan tingkat
kelembaban ruang lebih besar dari 60% berisiko terkena TB Paru 10,7
kali dibanding yang tinggal pada rumah dengan kelembaban lebih kecil
atau sama dengan 60% (IPH, 2015).
c. Penderita
Berikut ini adalah beberapa faktor penderita yang berpengaruh
terhadap kerentanan infeksi TB:
7
1. Jenis kelamin (gender)
Masniari dkk. (2007) memaparkan bahwa secara epidemiologi
dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal prevalensi infeksi, perburukan gejala sakit, angka
insidensi dan mortalitas akibat TB. Progresivitas penyakit juga
mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu
perempuan cenderung mempunyai penyakit yang lebih berat
pada saat datang ke rumah sakit. Perempuan lebih sering
terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan
laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa
malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki.
Perempuan juga lebih sering mengalami kekhawatiran akan
dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya.
Hambatan ekonomi dan faktor sosioekonomi kultural turut
berperan termasuk pemahaman tentang penyakit TB paru.
2. Usia
Di negara berkembang mayoritas individu yang
terinfeksi M.tb adalah golongan usia di bawah 50 tahun,
sedangkan di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada
mereka yang berusia di bawah 50 tahun namun masih tinggi
pada golongan yang lebih tua. Masniari dkk. (2007) melaporkan
bahwa di RS Persahabatan penderita TB paru yang paling
banyak adalah usia produktif kerja yaitu kelompok usia 15 – 40
tahun. Pada usia tua, TB mempunyai tanda dan gejala yang
tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis.
Patogenesis TB paru pada usia tua agaknya berasal dari
reaktivasi fokus dorman yang telah terjadi berpuluh tahun
lamanya. Reaktivasi berkaitan dengan perkembangan faktor
komorbid yang dihubungkan dengan penurunan imunitas
selular(cell mediated immunity) seperti pada penderita penyakit
keganasan, penggunaan obat imunosupresif dan faktor
penuaan(aging).
8
3. Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes melitus merupakan salah satu keadaan yang
mempermudah reaktivasi infeksi TB paru dengan risiko relatif
berkembangnya TB paru bakteriologik positif sebesar 5 kali
lebih tinggi. Disamping itu DM secara bermakna juga berkaitan
dengan MDR TB (Masniari dkk., 2007).
Hiperglikemi kronik oleh karena DM akan menyebabkan
gangguan fungsi paru melalui mekanisme glikosilasi dan glikasi
asam amino dan lemak. Glikosilasi dan glikasi akan
mengakibatkan penebalan serta perubahan struktur jaringan ikat
membran basalis sehingga terjadi gangguan migrasi serta
diferensiasi sel radang. Gangguan ini akan diperberat apabila
terjadi asidosis karena kemampuan mobilisasi PMN,
kemampuan fagositosis yang ditunjukkan melalui indeks
kemotaktik pada penderita DM menurun. Pada penderita DM
didapatkan defisiensi cell mediated immunity (imunitas selular)
dan paling banyak berpengaruh dengan abnormalitas lekosit
polimorfonuklear (PMN), monosit, dan limfosit. Kadar gula
darah yang tinggi akan memicu terjadinya defek imunologis
yang akan menurunkan fungsi netrofil, monosit maupun
limfosit.
4. HIV
TB merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk
penderita HIV/AIDS. TB sering merupakan manifestasi dini
dari AIDS. HIV atau AIDS adalah penyakit infeksi yang
gejalanya mencerminkan defisiensi imunitas selular akibat
infeksi retrovirus. Ciri utama dari infeksi HIV adalah
menurunnya serta terjadinya disfungsi sel-sel CD4 secara
progresif dibarengi dengan terjadinya defek fungsi makrofag
dan monosit. Diketahui bahwa sel-sel CD4 dan makrofag
mempunyai peran sentral dalam pertahanan tubuh terhadap
mikobakterium. Infeksi TB meningkatkan risiko terjadinya
reaktivasi infeksi TB laten disamping meningkatkan risiko
penyakit menjadi progresif pada infeksi paru dan reinfeksi. Jadi
antara infeksi HIV dan TB terjadi interaksi patogenik dua arah
9
(bidirectional pathogenic interaction) yang memperburuk
prognosis penderita.
2.3Diagnosis TB
2.3.1. Kriteria Diagnosis TB Paru
Kriteria diagnosis TB Paru terdiri dari (Kemenkes RI, 2011):
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang
terlibat) dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
• batuk ≥ 3 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai
tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung
dari luas lesi.
Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke
luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa
terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
b. Gejala sistemik
• Demam
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun
10
2. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan
segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada
perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”.
3. Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH).
b. Cara Pengumpulan dan Pengiriman Spesimen
Cara pengambilan spesimen dahak sebanyak 3 kali, setiap
pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak Pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
11
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila tersedia fasilitas
pemeriksaan yang memadai, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum
dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus
kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan
uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas
objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan
dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas penderita yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari
klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat
dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat
agar terlihat bagian tengahnya
• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di
bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan
melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan
dahak
• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di
tempat yang aman, misal di dalam dus
• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan
dalam kantong plastik kecil
• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara)
dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan
menggunakan lidi
• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan
tanggal pengambilan dahak
• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos
ke alamat laboratorium.
c. Cara Pemeriksaan Dahak dan Bahan Lain
12
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan
bahan lain (cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(BAL/BronchoAlveolar Lavage), urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk Biopsi Jarum Halus) dapat dilakukan
dengan cara:
1) Pemeriksaan Mikroskopik
2) Pembiakan/Kultur
ad 1) Pemeriksaan mikroskopik:
1. Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen,
pewarnaan Kinyoun Gabbett.
2. Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening).
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan
lebih dahulu dengan cara sebagai berikut :
• Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung
sentrifus dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
• Kocoklah tabung tersebut selama 5 – 10 menit atau sampai
dahak mencair sempurna
• Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000
rpm
• Buanglah supernatan dan tambahkan 1 tetes indicator
fenol-merah pada sedimen yang ada dalam tabung tersebut,
warnanya akan berubah menjadi merah
• Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati
meneteskan larutan HCl 2% ke dalam tabung sampai
tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan
• Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan
pulasan (boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis).
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
13
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran
tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT, bagi pasien dengan HIV negatif.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
ad 2) Pembiakan/Kultur
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis
konvensional ialah dengan cara :
dengan
metode
• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
• Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan
diagnosis pasti(sebagai pemeriksaan baku emas), dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik
dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik,
14
oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat
memberi
gambaran bermacam-macam
bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (lebih sering didapatkan) atau bilateral
(jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke (terdiri dari lesi Ghon dan kalsifikasi hilus
ipsilateral)
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru .
Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik
untuk memastikan aktivitas proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA
dahak negatif) :
• Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau
dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
• Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
2.3.2. Diagnosis TB pada ODHA(Orang Dengan HIV/AIDS)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan
sebagai
berikut:
15
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan
dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan
gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif
dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari
jaringan tubuh yang terkena.
2.3.3. Diagnosis TB anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor.
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak
dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk
diagnosis TB anak.
Gambar 1. Sistem Skoring TB Anak IDAI.
16
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
· Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
· Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).-->
lampirkan tabel berat badan.
· Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
· Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7
hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.
· Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
· Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal,
17
pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain
lainnya.
2.4 Metode non konvensional Diagnosis TB
Metode non konvensional TB terdiri dari beberapa metode diagnosis, yaitu
(Kemenkes RI, 2011):
1. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah
dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi.
Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih
memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR
dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan
tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan
organ yang terlibat.
Visualisasi produk PCR terdiri dari beberapa metode yaitu:
a. Elektroforesis Gel Agarosa atau Gel Agarosa Poliakrilamida
Metoda elektroforesis gel agarosa didasarkan pada
pergerakan molekul bermuatan dalam media penyangga matriks
stabil di bawah pengaruh medan listrik. Media yang umum
digunakan adalah gel agarosa atau poliakrilamid. Elektroforesis
gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang
berukuran lebih besar dari 100 pb dan dijalankan secara
18
horizontal, sedangkan elektroforesis poliakrilamid
memisahkan 1 pb dan dijalankan secara vertikal.
dapat
Elektroforesis poliakrilamid biasanya digunakan untuk
menentukan urutan DNA (sekuensing). Molekul organik yang
dapat dielektroforesis antara lain DNA, RNA, dan protein.
Molekul-molekul yang bermuatan positif akan bergerak menuju
elektroda negatif, sedangkan molekul bermuatan negatif akan
bergerak ke elektroda positif melalui gel elektroforesis.
Lokasi fragmen DNA yang terbentuk seperti pita-pita pada
elektroforesis dapat diamati secara spesifik dengan menggunakan
pewarna. Indikator yang digunakan adalah etidium bromida yang
dapat menyisip di antara basa-basa pada DNA. Gel yang diberi
etidium bromida dan disinari dengan UV akan memperlihatkan
lokasi DNA sebagai untai berwarna merah-jingga. Etidium
bromida merupakan senyawa karsinogenik sehingga dalam
melaksanakan percobaan yang menggunakan etidium bromida
harus menggunakan sarung tangan.
b. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain:
1). Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi
yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.
2). Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan
19
(LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir
plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai
dengan aktivitas penyakit, maka akan timbul perubahan warna
pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.
3). Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.
4). ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam
serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa.
Kelima antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranya digabung dalam 1 garis) di samping garis kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen
dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif
bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu
dari empat garis antigen pada membran.
20
c. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme
asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat
menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis.
d. Pemeriksaan Cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk
membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta
positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan kadar glukosa rendah.
e. Pemeriksaan Histopatologis
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans
thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura,
biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru.
Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH
=biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru
memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan
(nekrosis kaseosa).
21
f. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
pewarna yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah
( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini
sangat penting sebagai pewarna tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis.
g. Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi
infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila positivitas dari
uji yang didapat besar sekali atau bula.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif,
terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif
mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan
hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog
dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target
organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu
yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang
bersangkutan (M.tuberculosis).
22
2.5 Aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB dalam populasi pasien TB khusus
(pasien TB dengan HIV dan pasien anak).
2.5.1 Studi-studi mengenai aplikasi metode PCR untuk diagnosis TB dalam
populasi pasien TB-HIV
1. Comparison of PCR with the Routine Procedure for Diagnosis of
Tuberculosis in a Population with High Prevalences of Tuberculosis and
Human Immunodeficiency Virus
Studi oleh Ndugga et. al. yang dilakukan di Nairobi, Kenya, Afrika
pada kurun waktu Maret 2000 sampai Maret 2001 adalah studi prevalensi
dengan tujuan diagnostik, yaitu untuk membandingkan akurasi PCR dengan
prosedur diagnostik rutin untuk menegakkan diagnosis TB, di daerah
endemis TB dengan prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi. Prosedur
diagnostik rutin TB yang dimaksud ini adalah pemeriksaan BTA
mikroskopis, dan rontgen toraks untuk pasien dengan hasil pemeriksaan
BTA mikroskopis negatif. Pemeriksaan ini semuanya akan dibandingkan
dengan pemeriksaan baku emas yaitu kultur pada media LowensteinJensen(LJ).
Populasi studi ini adalah seluruh pasien TB di Nairobi. Sampel studi
adalah 1.398 individu suspek TB di Rhodes Chest Clinic, suatu pusat
diagnostik yang besar di Nairobi. Kriteria inklusi adalah suspek TB yaitu
batuk lebih dari 2 minggu dan/atau adanya hemoptysis. Pasien-pasien
suspek TB tersebut kemudian diminta menyerahkan tiga spesimen sputum,
yang pertama adalah saat pasien datang pertama kali di klinik, yang kedua
adalah spesismen sputum pagi hari, dan yang ketiga adalah spesimen
sputum yang diambil saat pasien datang kembali klinik untuk menyerahkan
spesimen sputum yang kedua.
Pasien-pasien suspek TB tersebut juga diminta persetujuan untuk
diambil sampel darah untuk tes HIV secara sukarela. Pasien-pasien yang
tidak bersedia untuk dites HIV tetap diikutkan dalam studi ini.
Studi ini mendapatkan persetujuan etik dari komite etik The Kenya
Medical Research Institute(KEMRI). Informed consent juga telah
didapatkan dari semua partisipan studi ini.
HASIL
Total sampel studi ini adalah 1.398 individu. Hasil kultur, ZN, dan
pemeriksaan PCR berhasil didapatkan dari 867(62%) suspek, termasuk juga
hasil rontgen toraks untuk memperoleh diagnosis pada suspek dengan hasil
23
apusan-negative. 490(57%) dari 867 suspek ini hasil kulturnya positif,
sedangkan 377(43%) negatif. 217 dari 1.398 individu ini setuju untuk
dilakukan pemeriksaan HIV, dengan 77(35%) HIV positif, dan 140(65%)
HIV negatif.
Hasil pemeriksaan prosedur diagnostik rutin didapatkan 302 suspek
TB apusan-positif dan 278 suspek TB apusan-negatif. 2.3% dari suspek TB
dengan apusan-positif dan 44.2% dari suspek TB dengan apusan-negatif
didapatkan hasil kultur yang negatif (overdiagnosis). Sedangkan 40(13.9%)
dari 287 suspek dengan label bukan TB ternyata hasil kulturnya positif
(underdiagnosis).
Tabel 1. Perbandingan diagnosis rutin (pengecatan BTA ZN diikuti rontgen
toraks) dengan hasil kultur sebagai merode baku emas.
Hasil dari
Diagnosis
Rutin(Diagnosis
dibuat oleh
klinikus
berdasarkan
prosedur
diagnostik rutin)
Jumlah(%) hasil yang
diperoleh dari kultur
Jumlah(%) yang
diperoleh dari
prosedur diagnostik
rutin
Positif
Negatif
TB apusanpositif
302(34.8)
295(97.7)
7(2.3)
TB apusannegatif
278(32.1)
155(55.8)
123(44.2)
Bukan TB
287(33.1)
40(13.9)
247(86.1)
867(100)
490(56.5)
377(43.5)
Total
PCR memberikan hasil positif untuk 514 suspek, 60(11.7%)
diantaranya dengan hasil kultur negatif. 36 dari 60 suspek ini menghasilkan
2 atau 3 spesimen PCR yang positif; hanya 1 pasien yang memberikan hasil
positif pada pemeriksaan BTA mikroskopis. Sedangkan dari 353 suspek
dengan hasil PCR negatif, 36(10.2%) memberikan hasil kultur positif. 2 dari
36 hasil kultur yang positif ini teridentifikasi Mycobacterium
mucogenicum,sedangkan 34 lainnya teridentifikasi M.tuberculosis.
24
Tabel 2. Perbandingan diagnostik PCR pada ketiga spesimen dengan
kultur sebagai metode baku emas.
Hasil PCR
Jumlah(%)yang
diperoleh dari PCR
Jumlah(%) hasil yang
diperoleh dari kultur
Positif
Negatif
Positif
514(59.3)
454(88.39)
60(11.7)
Negatif
353(40.7)
36(10.2)
317(89.8)
867(100)
490(56.5)
377(43.5)
Total
Perbandingan prosedur diagnostik rutin dan PCR, PCR memiliki
sensitivitas yang lebih baik(98%) daripada pemeriksaan ZN(60%) maupun
kombinasi ZN dan rontgen toraks. Spesifisitas PCR(84%) lebih rendah
daripada ZN(98%) namun lebih baik daripada spesifisitas kombinasi ZN
dan rontgen toraks(pada apusan-negatif) yang hanya 66%. PCR dengan
tepat mengidentifikasi 294(99.7%) dari 295 apusan-positif sejati(positif baik
kultur maupun dan ZN).
Tabel 3. Sensitivitas dan spesifisitas PCR dan prosedur diagnostik
rutin.
Prosedur Diagnostika Sensitifitas(%)b Spesifisitas(%)c
Pemeriksaan ZN saja
pada 3 apusan(TB60(57-63)
98(97-99)
apusan positif)
Pemeriksaan ZN dan
rontgen toraks(TB
92(90-94)
66(62-69)
apusan-positif dan
TB apusan-negatif)
Pemeriksaan PCR
93(91-94)
84(82-87)
pada 3 apusan.
a
Tes dilakukan pada 867 suspek, 490 di antaranya memberikan hasil
kultur positif dan 377 memberikan hasil kultur negatif.
b
95% IK(Interval Kepercayaan).
2. PCR-based Detection of The Mycobacterium tuberculosis complex in
Urine of HIV-infected and uninfected pulmonary and extrapulmonary
tuberculosis patients in Burkina Faso
25
Studi yang dilakukan oleh Torrea et.al. di Burkina Faso tahun
2000 sampai 2001 menganalisis metode otnPCR(one tube nested PCR)
dengan sampel urin pada 331 pasien TB dari 4 center di Burkina Faso
yaitu: Pusat Tuberkulosis Regional dan Unit Pneumologi Rumah Sakit
Nasional Sanou Sourou di kota Bobo-Dioulasso(kota terbesar kedua di
Burkina Faso), serta Pusat Tuberkulosis Nasional dan Departemen
Pneumologi di Rumah Sakit Nasional Yalgado Ouedraogo di
Ouagadougou(ibukota Burkina Faso).
Burkina Faso termasuk salah satu negara di Afrika dengan beban
sakit TB yang besar, dengan rata-rata 2000 kasus baru TB setiap
tahun(menurut Register Program Nasional Kontrol TB Burkina), dengan
kasus TB-smear negatif sebanyak 12% (World Health Organization,
2004). Data tahun 2001 diperkirakan sebanyak 7.2% populasi di Burkina
Faso terinfeksi HIV (data dari Register Program Nasional Kontrol
HIV/AIDS, 2001).
Metode mikrobiologis klasik untuk mendiagnosis PTB(Pulmonary
TB) dan Extrapulmonary TB(EPTB) memiliki kelemahan yang mencolok
dalam hal sensitivitas dan spesivisitasnya. Sensitivitas pemeriksaan
smear mikroskopis berkisar antara 50-60%, sedangkan kultur
membutuhkan waktu 3-6 minggu untuk mendeteksi spesimen yang
positif.
Hasil smear negatif pada individu suspek TB menjadi sangat
problematik terutama pada situasi tidak tersedianya metode diagnosis
yang lain. Terlebih lagi PTB dengan pengecatan BTA memiliki assosiasi
kuat dengan infeksi HIV (Torrea, 2001). Pada pasien-pasien ini bahkan
abnormalitas foto rontgen toraks maupun gejala klinis yang klasik sering
tidak nampak. Atas dasar inilah pengobatan pada pasien-pasien ini sering
terlambat karena penegakan diagnosis yang sering juga terlambat.
EPTB sendiri juga sangat sulit dideteksi tanpa pemeriksaan
sitologis dan histologis, yang sering tidak tersedia di Burkina Faso.
Penggunaan metode-metode diagnostik molekuler yang sederhana untuk
mendeteksi sedikit BTA dari M. tb complex sangat bermanfaat untuk
medeteksi kasus-kasus semacam ini.
Sputum tidak bermanfaat dalam mendeteksi kasus EPTB, bahkan
jarang dapat diperoleh dari pasien-pasien terinfeksi HIV. Sementara itu
pengolahan sampel darah untuk diagnosis TB berbahaya (dalam
penularannya) dan deteksi basili oleh PCR dengan spesimen darah tidak
cukup sensitif karena keberadaan inhibitor seperti DNA
26
Eukariota(inang). Sementara itu sampel urin lebih mudah diperoleh dan
basili dapat dikonsentrasikan dengan sentrifugasi. Terlebih lagi penelitian
sebelumnya oleh Sechi et. al.(1997) dan Aceti et. al. (1999) melaporkan
bahwa M. tuberculosis dapat dideteksi pada sampel urin dengan otnPCR
menggunakan sekuens IS6110 sebagai target.
Tujuan studi ini adalah untuk evaluasi sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif(NPP), dan nilai prediksi negatif(NPN) dari analisis
otnPCR dengan sampel urin. Populasi studi ini adalah pasien TB baik
PTB dan EPTB di RS Nasional dan Pusat Tuberkulosis Regional di dua
kota terbesar di Burkina Faso. Sampel studi ini adalah sampel urin
pasien-pasien TB tersebut yang terpilih sebagai sampel, yaitu sebanyak
301 pasien.
Kriteria inklusi adalah pasien dengan suspek PTB dari hasil
pemeriksaan mikrobiologis pengecatan BTA dari sampel sputum positif 2
dari 3 sampel sputum (kelompok pasien PTB smear-positif), dan/atau 1
dari 3 sampel sputum didapatkan hasil positif pada pengecatan BTA,
namun setidaknya satu sampel sputum memberikan hasil kultur positif
(kelompok pasien PTB smear-negatif). Kriteria eksklusi adalah pasien
yang sedang mendapatkan pengobatan TB sebelum dimulainya studi ini.
Dari setiap pasien diambil tiga sampel urin pagi selama tiga hari
berturut-turut (untuk pemeriksaan otnPCR) dan dua sampel sputum pagi
(satu untuk pemeriksaan mikroskopis dan satu lagi untuk kultur) serta 5
ml darah (untuk pemeriksaan antibodi HIV).
Studi ini mendapatkan persetujuan etik dari komite etik Center
Muraz, Burkina Faso. Informed consent tertulis telah didapatkan dari
setiap pasien sebelum diikutkan dalam studi ini.
METODE
1. Analisis Mikrobiologis
Pengecatan BTA(Basil Tahan Asam) dikerjakan dengan
metode ZN pada dua spesimen sputum yang diperoleh dua hari
berturut-turut.
Kultur mikobakteria dikerjakan pada media Lowenstein Jensen
dan uji-uji identifikasi biokimiawi untuk M. tuberculosis complex
dilakukan pada isolat yang dikultur tersebut.
2. Uji-uji Serologis
Antibodi-antibodi terhadap HIV tipe 1(HIV-1), HIV-1 grup O
dan HIV tipe 2 (HIV-2) dideteksi dengan menggunakan uji
27
imunoasai enzim komersial (Murex HIV-1.2,O dari Abbott). Pada
kasus di mana hasil uji ini reaktif, pembedaan infeksi oleh HIV-1
atau HIV-2 dilakukan dengan menggunakan dua uji monospesifik
komersial, Wellcozyme HIV Recombinant dari Abbott untuk HIV-1
dan Murex HIV-2 untuk HIV-2.
3. Analisis otnPCR
Meliputi beberapa tahapan yaitu:
I. Pengolahan sampel urin
Tiga spesimen urin ditampung dan disentrifus pada
kecepatan 3000 g selama 20 menit. Supernatan dihilangkan dan
nedapan yang timbul diresuspensi dalam 1 volume NaOH 4%.
Setelah diinkubasi selama 15 menit pada suhu 377 C, 30 ml PBS
ditambahkan dan sampel-sampel tersebut disentrifus pada
kecepatan 3000 g selama 20 menit. Endapan yang timbul
diresuspensi dalam 1 ml PBS, dan alikuot sebanyak 500 µL
disimpan dalam suhu -207C sampai digunakan untuk analisis.
II. Ekstraksi DNA kromosomal
Alikuot pada ad.I diinaktivasi pada suhu 1007 C selama 10
menit. Debris yang timbul dicuci sekali dengan air suling steril
dan disentrifus pada kecepatan 16000g selama 5 menit.
Supernatan yang timbul disingkirkan dan endapan yang ada
diresuspensi dalam 50 µL 0.5% Tween 20 dalam air suling steril.
Kemudian dilanjutkan pemanasan pada 1007 C dan pendinginan
pada -807 C selama 5 menit sebanyak dua kali, untuk selanjutnya
dipanaskan kembali pada suhu 1007 C selama 5 menit.
Selanjutnya sampel-sampel tersebut disentrifus pada
kecepatan 9000 g selama 5 menit dan supernatan yang timbul
dipindahkan ke tabung mikrosentrifus. Satu volume kloroform
ditambahkan pada sampel kemudian dicampur dengan vortexing
selama 2 menit. Setelah sentrifugasi pada 9000 g selama 2 menit,
10 µL dari supernatan digunakan untuk prosedur amplifikasi
DNA.
III.
otnPCR(one tube nested PCR)
Dua pasang primer yang digunakan untuk amplifikasi
diturunkan dari sekuens gen yang mengkode sekuens insersi
IS6110 yaitu:
28
Pasangan primer eksternal adalah TB290 (5’GGCGGGACAACGCCGAATTGCGAA-3’) dan TB856 (5’CGAGCGTAGGCGTCGGTGACAAG-3’), sedangkan primer
internalnya adalah TB431 (5’-TACTACGACCACATCAACCG3’) dan TB740c (5’-GGGCTGTGGCCGGATCAGCG-3’).
Campuran reaksinya terdiri dari 20mM Tris/HCl (pH8.0), 50 mM
KCl, 1.5 mM MgCl2, 0.3 mM (masing-masing) dATP, dGTP,
dCTP, dan dTTP, 0.01 µM primer eksternal, 0.1 µM primer
internal, dan 2 U Taq DNA polymerase (Invitrogen) dalam
volume reaksi total 30 µL. untuk reaksi amplifikasi, kondisi siklus
temperatur terdiri dari 4 tahap yang berurutan yaitu:
1. satu siklus dalam 947 C selama 5 menit;
2. 40 siklus dalam 947 C selama 40 detik; 6 47 C selama 40 detik;
kemudian 727 C selama 1 menit;
3. 25 siklus dalam 947 C selama 40 detik, 5 47 C selama 40 detik
dan 727 C selama 1 menit;
4. Siklus terakhir yaitu 727 C selama 10 menit.
Kontrol positif dan negatif disertakan pula dalam setiap
tahap, dan tindakan kehati-hatian untuk mencegah kontaminasi
juga dikerjakan dengan saksama. Produk PCR divisualisasikan
dalam 2% gel agarosa dalam buffer Tris-Borate-EDTA. Pita-pita
target dengan ukuran sekitar 500 dan 300 bp divisualisasikan
dengan indikator EtBr(Ethidium Bromida).
4. Analisis Statistik
Data dikumpulkan dan diolah menggunakan program Epi
Info6 versi 6.04. Sensitivitas, spesifisitas, NPP(Nilai Prediksi Positif)
dan NPN(Nilai Prediksi Negatif) dengan interval kepercayaan
sebesar 95% juga dikalkulasi. Proporsi-proporsi yang ada diperoleh
dengan metode Binomial Eksak(IK 95%) dan uji statistik yang
digunakan adalah chi square dan korelasi momen produk Pearson.
HASIL
1. Kasus
Kelompok kasus adalah 301 pasien yang terdiagnosis sebagai
pasien TB dengan 145 pasien terinfeksi HIV. 301 pasien ini
dikelompokkan menjadi 3(tiga) kategori yaitu 217 pasien (termasuk di
dalamnya 82 terinfeksi HIV) telah dikonfirmasi melalui uji
mikrobiologis(kultur dan pengecatan BTA ZN) dengan perincian sebagai
berikut: 210 pasien dikonfirmasi dengan kultur dan pengecatan BTA ZN
29
(termasuk 82 kasus terinfeksi HIV) dan tujuh diantarnya BTA smearnegatif dan kultur-positif (termasuk empat pasien yang terinfeksi HIV).
Lokasi infeksi selain paru-paru juga didapatkan pada beberapa
pasien PTB, seperti 2 dari 210 pasien PTB yang merupakan kelompok
dengan hasil pengecatan BTA-smear positif dan kultur positif (1 kasus
TB milier, 1 kasus pleural TB), dan 2 dari 7 pasien yang merupakan
kelompok dengan pengecatan BTA-smear negatif dan kultur positif
(keduanya pleural TB). Sedangkan kelompok PTB dengan hasil
pemeriksaan mikrobiologis negatif (pengecatan BTA dan sputum negatif)
terdiri dari 30 pasien (16 diantaranya terinfeksi HIV), 7 dari 30 pasien ini
juga terkena infeksi EPTB selain juga PTB (4 kasus pleural TB, 1 TB
milier, 1 penyakit Pott’s, dan 1 peritonitis TB).
160 pasien PTB adalah laki-laki (dari 247 pasien PTB), dan 87
pasien wanita. Rerata usia pasien PTB laki-laki adalah 36.8 tahun;
rentang usia 15-75 tahun. Sedangkan rerata usia pasien PTB wanita
adalah 35.6 tahun, rentang usia 15-70 tahun.
2. Kontrol
74 pasien(termasuk 31 pasien terinfeksi HIV) dikategorikan
sebagai kelompok kontrol, namun 19 pasien dalam analisis lanjutan
dikeluarkan dari kelompok kontrol karena beberapa alasan berikut: 5
pasien hilang dalam periode follow-up, 12 pasien positif TB, satu pasien
tinggal dengan penderita TB, dan satu pasien lagi meninggal karena efusi
pleura sugestif TB. Akhirnya 55 pasien kontrol(termasuk 22 terinfeksi
HIV) yang dimasukkan dalam analisis.
M. tuberculosis complex otnPCR positif didapatkan pada
88(40.6%) sampel urin dari 217 pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB positif, 20 dari 30 pasien(66.7%) dengan
pemeriksaan mikrobiologis PTB negatif dan 48 dari 84 pasien dengan
EPTB. Deteksi M. tuberculosis lebih pada pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis TB negatif dan kelompok EPTB daripada kelompok
dengan pemeriksaan mikrobiologis PTB positif (chi-square test,
P=0.003). Perbedaan antara kelompok pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB negatif dengan kelompok EPTB tidak signifikan
(P>0.05).
Tingkat deteksi otnPCR pada kelompok pasien dengan
pemeriksaan mikrobiologis TB positif didapatkan tertinggi pada pasienpasien dengan pemeriksaan BTA smear negatif namun kultur positif,
30
yaitu 6 dari 7 hasil positif pada sampel urinnya (3 pasien HIV positif dan
3 pasien HIV negatif).
Kelompok pasien EPTB juga menunjukkan tingkat deteksi
otnPCR dengan sampel urin yang baik, dengan 6 dari 7 sampel terdeteksi
positif pada kelompok dengan pemeriksaan mikrobiologis PTB negatif
dan 3 dari 4 sampel urin pada kelompok pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB positif.
Sensitivitas otnPCR dengan sampel urin berkisar antara 40.6%
(95% IK, 34.0-47.4) pada kelompok pasien dengan pemeriksaan
mikrobiologis PTB positif sampai dengan 66.7% (95% IK, 47.1-82.1)
pada kelompok pasien dengan pemeriksaan mikrobiologis TB negatif.
Spesifisitas uji ini pada seluruh kelompok pasien adalah 98.2% (95% IK,
89.9-99.9).
Nilai Prediksi Positif (NPP) pada seluruh kelompok pasien
didapatkan di atas 95%. Nilai Prediksi Negatif (NPN) didapatkan lebih
rendah yaitu 29.5% (95% IK, 23.1-36.8) pada kelompok pasien dengan
pemeriksaan mikrobiologis PTB positif sampai dengan 84.4% (95% IK,
72.7-91.9) pada kelompok pasien dengan pemeriksaan mikrobiologis TB
negatif.
Sensitivitas uji ini lebih tinggi pada pasien-pasien dengan infeksi
HIV daripada pasien-pasien tanpa infeksi HIV pada kelompok pasien
dengan pemeriksaan mikrobiologis PTB positif (53.5% versus 32.1%,
95% IK, 42.4-64.2).