PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENINGKATAN (1)

1

PERAN IAIN MANADO
DALAM MENGANTISIPASI RADIKALISME BERAGAMA
Oleh: Dr. Muhammad Idris, M.Ag.
Peran IAIN Manado sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan hal yang
sangat strategis dan generis guna mewujudkan kenyamanan, ketenangan dan
kedamaian pada masyarakat luas. Sebagai lembaga pendidikan Islam sangat subtantif
dan objektif dalam peningkatan kualitas sumberdaya umat (mahasiswa) yang unggul
ke depan. Dengan kualitas
Mari kita melirik sejenak komplik yang masi hangat saat ini terjadi di daerah
Temanggung Jawa Tengah, dan Pandeglang Banten, setiap kelompok agama dengan
simbol-simbol agama dimanfaatkan untuk menyemangati umatnya masing-masing,
mendorong semangat setiap umat untuk melakukan penyerangan, pembantaian
bahkan pembakaran untuk penghancuran apa saja yang ditemuinya, anak-anak, dan
wanita harus menjadi korban dari perilaku yang tidak lagi menghargai hak hidup
setiap manusia.
Sebuah contoh yang tentunya tidak perlu menjadi contoh bagi generasi
mendatang, baik di daerah Jawa Tengah dan Banten bahkan dimanapun di bumi ini.
Saling menghargai dan melindungi bagi segenap manusia harus dikedepankan,
khusunya Manado selalu menjadikan bumi nyiur melambai tempat yang damai bagi

setiap manusia yang datang, bahkan makhluk hidup lainnya.
Al-Qur’ān mendidik kita untuk mengakui pluralitas dalam kehidupan manusia
dan pluralitas syari’at di bawah kesatuan agama yang satu. Al-Qur’ān mengisyaratkan
perbedaan syari‘at itu untuk mendapatkan keselamatan dengan prinsip-prinsip, 1)
Keimanan kepada Tuhan Yang maha Esa. 2) Keimanan akan hari akhirat,
pembangkitan, hisab dan pembalasan amal baik dan buruk, dan 3) Beramal shaleh
dalam kehidupan dunia.1 seperti dinyatakan dalam Al-Qur’ān:

1

Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai

Persatuan, Terjemahan dari al-Islam wa al-Taaddudīyah al-Ikhtilāfu wa al-Tanawwu’ fi ithār al-Wihda,

2

َ ‫ﺻﺎ ِﻟ ًﺤﺎ ﻓَﻠَ ُﮭ ْﻢ أَﺟْ ُﺮ ُھ ْﻢ ِﻋ ْﻨﺪ‬
‫ﺎرى َواﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺼﺎﺑِﺌِﯿﻦَ َﻣ ْﻦ َءا َﻣﻦَ ﺑِﺎ ﱠ ِ َو ْاﻟﯿَ ْﻮ ِم ْاﻵ ِﺧ ِﺮ َو َﻋ ِﻤ َﻞ‬
َ ‫ﺼ‬

َ ‫إِ ﱠن اﻟﱠﺬِﯾﻦَ َءا َﻣﻨُﻮا َواﻟﱠﺬِﯾﻦَ ھَﺎد ُوا َواﻟﻨﱠ‬
َ‫ف َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ َو َﻻ ُھ ْﻢ َﯾﺤْ ﺰَ ﻧُﻮن‬
ٌ ‫َر ِﺑّ ِﮭ ْﻢ َو َﻻ ﺧ َْﻮ‬
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shābi’īn, siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.(QS. al-Baqarah/2:62)
Inti ajaran agama yang disampaikan kepada manusia adalah beriman kepada
Allah SWT, walaupun kenyataan manusia berbeda-beda dalam agama-agama yang
dibawa oleh para nabi utusan Allah swt. bagaimana membuat manusia beriman
dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang ada disekelilingnya
bahkan mengubah fakta-fakta menjadi sesuatu yang lebih mendekatkan manusia
kepada Allah SWT. untuk mendapatkan kedamaian dan keselamatan, baik dunia
dalam hubungan manusia sesama, maupun di akhirat sebagai tanggung jawab yang
dijalaninya.
Disinilah pentingnya kualitas pendidikan, semakin tinggi mutu pendidikan
seseorang akan semakin merasakan dan membutuhkan kawan yang berbada
pandangan. Karena perbedaan pandangan akan medapatkan sudut pandang keilmuan
yang baru dan semuanya itu atas izin Allah Swt untuk kita kembangkan. Sedangkan

sahabat dekat yang tidak mau berbeda pandangan apalagi hanya memuji-memuji
pemikiran yang ada justru sebuah kemunduran, karena kita tidak mendapatkan
inspirasi baru. Bukankah dalam kehidupan ini kita membutuhkan inspirasi dan
pandangan baru guna memahami dan memaknai akan eksistensi alam ini dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Seseorang yang mengandalkan pikirannya,
kedudukannya bahkan pangkatnya, karena ada kesan mengabaikan hukum-hukum

Oleh: Abdul Hayyi al-Qattaniy, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 15. Lihat pula Abd Rahman Ismail
Marasabessy, Pluralisme Agama Perspektif Al-Qur’ān (Disertasi UIN Jakarta 2005), h 15

3

Tuhan (sombong), Maka Tuhan mengujinya melalui ciptaannya (manusia) untuk
mengingatkannya

akan

kesalahan

yang


dilakukannya.

Namun

dia

tidak

menghiraukannya selalu merasa benar yang ujung-ujungnya masuk penjara atau jiwa
terancam baru sadar akan fitrah Tuhan yang diberikannya.
Disinilah perang penting yang generis dan strategis kualitas pendidikan
seseorang karena dapat memahami pandangan-pandangan seseorang. A.Malik Fadjar
berpendapat bahwa “sumber daya umat sebagai panglima”.2 Diyakininya bahwa
pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana
penyiapan sumber daya umat dalam pembangunan di daerah dan kota. Umat Islam
merupakan mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendekiawan harus
terpanggil untuk tampil sebagai pelopor.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan dasar pembenaran pemikiran
A.Malik Fadjar dalam membuka wawasan keislaman yang lebih luas dan lues3 dalam

bingkai pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, dari segi ajaran agama Islam telah menempatkan penguasaan ilmu
pengetahuan sebagai instrumen untuk meraih keunggulan hidup (the supremacy of
life). Pandangan semacam ini diikuti oleh manusia modern dewasa ini, terutama
mereka yang bukan Islam. Karena dengan keilmuan kita dapat memahami perbedaan
2

A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h.38. Lihat Pula, Harun Nasution,
Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), h. 253-256. Lihat juga, Seyyed
Hossein Nasr, Theology, Philosophy and Spiriyuality, diterjemah oleh Suharsono dkk, Intelektual
Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, (Yogyakarta: CIIS Press, 1995), h. 38. Bandingkan pula, A.M.
Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1987), h. 126. Kategori
kualitas manusia yang potensial dapat di lihat ciri-cirinya sebagai berikut: Memberi kedudukan akal
yang tinggi; Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan; Kebebasan berfikir hanya diikat oleh
ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya; Percaya adanya
sunnatullah dan kausalitas; Mengambil arti metaforis dari teks wahyu. Dengan demikian umat akan
mengalami akselerasi berfikir yang lebih maju dan produktif.
3

Luas artinya memiliki pandangan yang visioner ke depan dalam rangka memajukan

mengembangkan nilai-nilai luhur rasionalitas dan religiusitas guna mencapai cita-cita luhur demi
kepentinagan agama bangsa dan negara secara universal. Lues artinya mampu memposisikan diri dari
berbagai aspek sehingga santun mengambil sikap dan tindakan guna mengubah suasana kultur yang
lebih maju, moderen, dan dinamis.

4

dari berbagai aspek, baik dari sisi kemanusiaan, keagamaan, kebahasaan dan lain
sebagainya. Orang yang memahami hal tersebut dapat meraih kualitas kehidupan
yang unggul dan damai. .
Kedua, Islam dalam perkembangan sejarahnya telah cukup memberikan
acuan dan dorongan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Terdapat mata rantai yang erat
antara kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya pernah dicapai oleh dunia
Islam. Karena memang diyakini oleh dunia bahwa Islamlah yang mula-mula
menyebarluaskan pemikiran Yunani klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Barat dewasa ini.4
Di sini dapat dimaknai bahwa kualitas merupakan keharusan dalam
mencerahkan dan mendamaikan umat. Hal ini dapat dilihat dan dicatat dalam sejarah
di Amerika saat ini bahwa orang yang berkulit hitam dapat menjadi Presiden seperti

Barrac Obama dan dapat memberikan keputusan yang tepat sesuai konstitusi
meskipun sebagian rakyatnya menetang termasuk mendirikan Masjid di tengah Kota
yang strategis. Langkah-langkah strtegis tersebut diputuskan secara objektif dan
bertanggung jawab didasarkan dengan kualitas yang unggul dimilikinya. Kualitas
yang unngul inilah membuat Barat mampu menggeser peradaban karena adanya arus
"migrasi otak",5 yang dalam sejarah selalu mendahului terjadinya pergeseran peradaban dunia yang dinamis.

4
5

A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 40.

A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 40. Lihat pula, Ahmad Syafii Maarif,
“Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan”, Dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam di
Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), h. 22. Posisi subordinat
secara intelektual ini, harus secepatnya diubah melalui 'bengkel-bengkel' kerja intelektual yang bernilai
strategis untuk memenangkan masa depan. Jalan untuk “migrasi otak” sebenarnya terbuka lebar bagi
kita. Yang diperlukan sekarang adalah kemauan dan kesungguhan agar masalahnya cair secara
intelektual. Bila kualifikasi ini telah dimiliki, maka khazanah ilmu akan menjadi akrab dengan kita.
Tetapi sebaliknya, jika kita masih beku secara intelektual dan wawasan berfikir kita masih tetap sempit

dan didominasi oleh 'berhala' golongan, maka jangan heran jika posisi sebagai konsumen
masih tetap berlangsung lebih lama. Di sini akan sangat tergantung pada kecerdasan kita dalam
menentukan pilihan yaitu sebagai pilihan yang cerdas dan selalu bersifat kritis.

5

Ketiga, umat Islam Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga
pendidikannya. Lembaga yang dimiliki ini adalah "bank" sumber daya manusia yang
tak ternilai harganya. Memang masalahnya terpulang kepada umat Islam sendiri,
yaitu agar mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan lembagalembaga pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan.
Untuk itu lembaga-lembaga pendidikan Islam harus semakin menyadari akan
posisinya dalam upaya membuat satu komitmen strategis, yaitu menjadikan dirinya
sebagai "bank" sumber daya manusia untuk mengukur kemajuan manusia.
Untuk menciptakan kriteria riil dalam menilai sukses atau tidaknya sistem
pendidikan Islam yang damai adalah tumbuhnya pemikiran Islam yang asli, orisinal
dan mencukupi (adequate).6 Pemikiran itu mampu menjadi perangsang secara aktif
dalam mencari ide-ide baru, gagasan baru, solusi yang tepat terhadap problemproblem yang dihadapi masyarakat saat ini. Pemikiran itu selalu mencari celah-celah
untuk mendapatkan jawaban terhadap persoalan yang dihadapi seseorang. Pemikiran
Islam yang senantiasa dikembangkan akan mampu mendinamisasikan dan
memajukan peradaban Islam melalui al-Qur’ ān sebagai sumber pendidikan.


6

Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 235. Dalam kontek pendidikan Islam tumbuhnya pemikiran
orisinal benar-benar menjadi tumpuhan harapan. Ada banyak problem pendidikan Islam yang harus
dipecahkan melalui pemikiran yang mendalam. Problem pemikiran ini tidak akan pernah habis
meskipun diupayakan mendapat penyelesaian melalui pemikiran, karena pendidikan sarat dengan
muatan masalah, dengan adanya masalah pendidikan, baru fungsional. Penulis terobsesi dengan
pemikiran Suwito bila ingin maju maka logikanya banyak masalah, rintangan, tantangan bahkan
hambatan sekalipun dalam suasana seperti itu keadaan semakin pusing dan bingung, dari sinilah akal
baru bekerja, semangat pendidikan baru muncul untuk mecari solusi guna memecahkan masalah
tersebut. Bila belajar pada sejarah masa lalu orang-orang besar terdahulu selalu diselimuti masalah
bahkan maut sekalipun, tetapi dengan masalah tersebut akal dan wahyu baru berfungsi untuk menuju
solusi yang lebih baik. Semakin banyak penderitaan, cobaan maka pendidikan semakin bermakna
dalam kehidupan. Hal itu harus dilalui sebagai bukti bahwa dia adalah hamba yang terpilih. Oleh
karena itu A. Malik Fadjar menekankan bahwa pemikiran harus diperkuat dasar-dasarnya, dengan
dasar yang kuat ibarat pohon akar yang kuat maka masalah apapun dapat diselesaikan secara arif dan
bijaksana.


6

Al-Qur’ān, pada dasarnya adalah kitab keagamaan, namun isi informasi yang
terkandung di dalamnya tidak terbatas pada bidang-bidang keagamaan semata, tetapi
meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Pembahasan Al-Qur’ān terhadap
berbagai aspek atau masalah tidak tersusun secara sistimatis, sebagaimana layaknya
sebuah buku ilmiyah, Al-Qur’ān jarang menginformasikan suatu masalah secara rinci,
dan global, lebih pada prinsip-prinsip pokok. Hal tersebut tidak mengurangi nilai AlQur’ān, justru disanalah letak keunikan sekaligus keistimewaannya. Dengan
demikian, Al-Qur’ān sebagai sumber insfirasi yang mendidik manusia, menjadi
obyek kajian yang tidak pernah kering dari para ilmuan muslim maupun non muslim,
sehingga ia tetap aktual sejak diturunkan sampai kini.7
Al-Qur’ān berulangkali menamakan dirinya sebagai sebuah peringatan atau
yang memperingatkan manusia agar tetap berada dalam suasana damai dan
membahagiakan. Sebagai individu, manusia harus menyadari bahkan merenungkan
dari mana asal kejadian dan akan kearah mana dia akan berjalan di alam ini, dan
untuk apa semua yang dilakukan berupa kebaikan dan keburukan menguntungkan
maupun merugikan. Dari mana akan menyadarkan manusia pada proses
penciptaannya, bahwa manusia diciptakan Allah SWT. dalam bentuk yang paling
indah dan sempurna , ‫ﺴ ِﻦ ﺗ َ ْﻘ ِﻮ ٍﯾﻢ‬
َ ْ‫ﺴﺎنَ ﻓِﻲ أَﺣ‬

َ ‫اﻹ ْﻧ‬
ِ ْ ‫ ﻟَﻘَﺪْ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ‬ayat ini menyatakan bahwa manusia
telah diciptakan dengan sebaik-baik ‫ﺗ َ ْﻘ ِﻮ ٍﯾﻢ‬. Ayat tersebut dengan bentuk lahiriah
manusia , kemampuan berkehendak dan berbuat, serta keindahan dan kecerdasannya.8
Penjelasan yang telah dikemukakan di atas memberi pemahaman bahwa manusia
memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain, baik fisik maupun
kemampuan intelektual yang dimiliki, memberi kemampuan manusia berusaha untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Harus didukung dengan prinsip manusia diciptakan
7

Lihat, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’ān suatu kajian teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik,(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5.
8

h. 15.

Lihat, al-‘Aqqād, ‘Abbas Mahmud. Al-Insān fī Al-Qur’ān. (Al-Qāhirah , Dār al-Hilāl, t.th).

7

dengan memperoleh kemuliaan dan keutamaan dibanding dengan makhluk-makhluk
lain. Sebagaimana disebutkan pada ayat Al-Qur’ān:
‫َوﻟَﻘَﺪْ ﻛ ﱠَﺮ ْﻣﻨَﺎ َﺑﻨِﻲ َءادَ َم َو َﺣ َﻤ ْﻠﻨَﺎ ُھ ْﻢ ﻓِﻲ ْاﻟﺒَ ِ ّﺮ َو ْاﻟﺒَﺤْ ِﺮ َو َرزَ ْﻗﻨَﺎ ُھ ْﻢ ِﻣﻦَ اﻟ ﱠ‬
ً ‫ﻀ‬
‫ﯿﻼ‬
ِ ‫ﻄﯿِّﺒَﺎ‬
ِ ‫ﯿﺮ ِﻣ ﱠﻤ ْﻦ َﺧ َﻠ ْﻘﻨَﺎ ﺗ َ ْﻔ‬
ٍ ِ‫ت َوﻓَﻀ ْﱠﻠﻨَﺎ ُھ ْﻢ َﻋﻠَﻰ َﻛﺜ‬
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.(QS. al-Isrā’/17:70)
Secara eksplisit ayat di atas mengungkapkan bahwa manusia telah diberi
kemuliaan (karāmah) dan diciptakan dengan kodrat melebihi makhluk lainnya. Selain
itu juga menegaskan karunia Tuhan berupa kemampuan mengarungi lautan dan
daratan dan dijadikannya segala yang baik sebagai rezeki bagi manusia.9 Dengan
begitu manusia harus dapat bekerjasama untuk menciptakan kedamaian dalam hidup
bersama, antara umat manusia.
Sesungguhnya inti agama yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul adalah
‫ ﻓَ َﻤ ْﻦ َﯾ ْﻜﻔُ ْﺮ ِﺑﺎﻟ ﱠ‬dan َ‫ﻏﻮت‬
‫ أ َ ِن ا ُ ْﻋﺒُﺪ ُوا ا ﱠ َ َواﺟْ ﺘَﻨِﺒُﻮا اﻟ ﱠ‬yaitu Keimanan.10
ُ ‫ﻄﺎ‬
ُ ‫ﻄﺎ‬
sama ِ ‫ت َوﯾُﺆْ ِﻣ ْﻦ ِﺑﺎ ﱠ‬
ِ ‫ﻏﻮ‬
Pendidikan keagamaan memiliki peran yang sangat strategis dalam mempertahankan
posisi manusia supaya tidak jatuh ketingkat yang lebih rendah sesuai dengan fitrah
manusia potensial dan energik luar biasa yang memungkinkan dikembangkan atau
menjadi sesuatu yang tak berarti bagi manusia itu sendiri.
Kehidupan manusia pada era globalisasi dan teknolgi informasi modern yang
semakin maju dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bahkan batas-batas
wilayah, maka manusia diperhadapkan kepada serangkaian tantangan baru, seperti
bebas mengeluarkan pendapat, keterbukaan dan demokratisasi. Hal tersebut
membuktikan bahwa kita telah ditakdirkan hidup dalam suatu bangsa

yang

9

Lihat, Abdul Muin Salim Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’ān, Makassar: Lembaga Studi
Kebudayaan Islam(LSKI) Ujungpandang yang sekarang Makassar 1990, h. 24
10

Dalam salah satu hadis Nabi, disebutkan bahwa iman itu meliputi enam hal, yakni beriman
kepada 1) Tuhan, 2)Para malaikat-Nya, 3) Segenap kitab suci-Nya, 4) Rasul-rasul-Nya, 5) Hari
kemudian, 6) Takdir baik dan buruk-Nya. Lihat dalam al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi,
(Mesir: al-Matba’ah al- Misrīyāt, t.th), .Jilid I, h. 157

8

masyarakatnya dapat dikatakan sangat

pluralistik,11 bahkan dikalangan bangsa-

bangsa lain dinilai sebagai keunikan, penangannya pun memerlukan keunikan.
Pandangan lain dikatakan bahwa pluralisme bukanlah keunikan suatu masyarakat
atau bangsa tertentu. Sebab dalam kenyataan tidak ada suatu masyarakat pun yang
benar-benar tunggal, tanpa ada perbedaan di dalamnya.
Kemajemukan sebagai suatu realitas alami, atau dalam bahasa agama disebut
sunnatullah,12 tetapi apapun namanya manusia dalam perkembangannya tidak bisa
melepaskan diri dari lingkungan pergaulan yang dimungkinkan untuk terjadinya
pengaruh, sehingga dapat dilihat manusia telah tererosi oleh perkembangan pemikiran
dan kebudayaan, atas nama memenuhi kebutuhan hidup manusia, sebagaimana telah
diperingatkan Allah SWT. bahwa telah terjadi kerusakan di darat dan di laut akibat
ulah tangan-tangan manusia.13
Pluralisme tidak semata menunjuk kepada kenyataan adanya kemajemukan,
tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan.”Dalam tiga dekade
terakhir, agama muncul sebagai sumber penting imperatif moral yang diperlukan
untuk memelihara kohesi sosial. Komitmen religius tidak sekedar memobilisasi rasa
amarah rakyat dalam melawan kekuatan otokratis negara, melainkan juga memainkan
peranan konstruktif dalam pembangunan bangsa dan rekonsiliasi nasional”14

11

Kita di negeri ini biasa menyebut bahwa masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat
majemuk (plural) dalam kenyataan tidak jarang terselip kesan, seolah-olah kemajemukan masyarakat
adalah suatu keunikan dikalangan masyarakat lain. Dan karena keunikannya, maka masyarakat
memerlukan perlakuan yang unik pula yaitu, perlakuan berdasarkan paham kemajemukan pluralisme,
Lihat, Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakap Paramadina, 1992),
h. 159
12

Nurcholis Madjid, berpandangan bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan
(sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari, barangsiapa yang
mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul penomena pergolakan yang tiada
berkesudahan. Lihat, M.Quraish Shihab dkk. Atas Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog Bebas
Komplik. (kemudian disebut Bebas Komplik), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 66
13
14

ِ ِ ِ ‫ﻇَﻬﺮ اﻟْ َﻔﺴﺎد ِﰲ اﻟْﺒـ ِﺮ واﻟْﺒﺤ ِﺮ ِﲟﺎ َﻛﺴﺒﺖ أَﻳ ِﺪي اﻟﻨ‬
Lihat, QS. Al-Rūm/30:41 ‫ﺾ اﻟﱠ ِﺬي َﻋ ِﻤﻠُﻮا ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَْﺮِﺟ ُﻌﻮ َن‬
َ ‫ﱠﺎس ﻟﻴُﺬﻳ َﻘ ُﻬ ْﻢ ﺑـَ ْﻌ‬
ْ ْ ََ َ ْ َ َ ّ َ ُ َ َ َ

Lihat, Abdulaziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman, Akar Pluralisme Demokratis
Dalam Islam, terjemahan dari: The Islamic Roots of Demokratic, Pluralism,(2001) Penerjemah: Satrio
Wahono, (Jakarta: Pt. Serambi Ilmu Semesta, 2002) h.17

9

Pluralisme agama dapat dijumpai di mana-mana, baik di tingkat rejional, nasional
terlebih dalam pergaulan internasional, yang dapat dilihat di dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, perkantoran tempat bekerja, di sekolah tempat belajar, dan
tempat-tempat lainnya. Setiap pemeluk agama dituntut untuk tidak saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga berusaha mengalami dan memahami
perbedaan dan persamaan untuk terciptanya kerukunan dalam kebinekaan. Hal ini
sebagaimana digambarkan Al-Qur’ān:
.‫ت‬
ِ ‫اﺣﺪَة ً َوﻟَ ِﻜ ْﻦ ِﻟﯿَ ْﺒﻠُ َﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻲ َﻣﺎ َءاﺗ َﺎ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺎ ْﺳﺘ َ ِﺒﻘُﻮا ْاﻟ َﺨﯿ َْﺮا‬
ِ ‫ِﻟ ُﻜ ٍّﻞ َﺟﻌَ ْﻠﻨَﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﺷ ْﺮ َﻋﺔً َو ِﻣ ْﻨ َﮭﺎ ًﺟﺎ َوﻟَ ْﻮ ﺷَﺎ َء ا ﱠ ُ ﻟَ َﺠﻌَﻠَ ُﻜ ْﻢ أ ُ ﱠﻣﺔً َو‬
Tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang,
sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya umat yang satu, tetapi
Allah hendak menguji terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan.(QS.al-Mā‘idah/5:48)
Ketika menjelaskan kata ً ‫اﺣﺪَة‬
ِ ‫ أ ُ ﱠﻣﺔً َو‬mufassir banyak menghubungkan dengan
penjelasan terhadap surah Yūnus/10:19, bahwa manusia pada dasarnya hanya satu
umat dalam kepercayaan tauhid, tetapi setelah itu tidak lagi demikian, karena mereka
berselisih.15 Mereka sejak dahulu hingga kini baru dapat hidup jika bantu-membantu
sebagai satu umat, yaitu kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan.16
Olehnya manusia harus berlomba-lomba berbuat kebajikan, sebagai tanggung jawab
kepada Allah SWT.
15

Lihat,M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol, 1, h. 425, kita perlu tahu lebih sungguhsungguh lagi dalam menghayati tanggung jawab mondial atau prinsip kemanusiaan bersama: “satu
dunia untuk semua.” Sehingga, keterpecahan hampir menjadi kendala terbesar yang siap menghadang
tugas kita untuk menciptakan era baru bagi sistem dunia yang benar-benar beradab. Dunia yang
bergerak serempak menuju tatanan yang saling menghormati dan melindungi, saling membantu dan
mendukung, guna terbentuknya “komonitas internasional” yang beradab, adalah dunia yang kita
rindukan bersama. Lihat, Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h.372.
16

Lihat,M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1 h.425. Kesatuan agama para Nabi dan
Rasul itu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, adalah karena semua berasal dari pesan atau
ajaran Allah (QS.al-Syūrā/42:13). Jadi, sudah seharusnya kita menghormati keberadaan agama-agama
itu tanpa membeda-bedakannya. Justru perasaan berat untuk bersatu dalam agama itu disebutkan
sebagai sikap kaum musyrik, penyembah berhala, sedangkan perbedaan antarberbagai agama itu
hanyalah dalam bentuk-bentuk jalan (syir’ah atau syari’ah) dan cara (manhaj) menempuh jalan itu.
Tetapi menjadi pangkal berlomba-lomba menuju kebaikan. Manusia tidak perlu mempersoalkan
perbedaan itu. Lihat, Nurkholis Madjid, ,Fat Soen, (Jakarta: Republika, 1422 H.-2002 M), cet,-1 h.77

10

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu, agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Sesungguhnya (agama tauhid) ini
adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka
bertakwalah kepada-Ku.(Lihat QS. al-Mu’minūn/23:52) Dan sekiranya bukan karena
hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah
Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah,
loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang
mereka menaikinya.(QS. al-Zuhruf/43:33)
Kenyataan menunjukkan perbedaan pendapat terkadang meruncing sampai
pada titik terendah, yaitu terjadinya konflik horisontal antara umat beragama, saling
membantai, menjarah dan membakar apa saja yang ditemukan, tidak terkecuali rumah
ibadah sekalipun.17 Semua itu dilakukan dengan alasan mempertahankan umat
masing-masing.
Kualitas manusia sangat menentukan dalam memahami agama tersebut.
Maka yang sangat berperan disini adalah Tuhan sebagai sumber pendidik maka
manusia pasrah untuk memohon agar dapat selalu diberi pemahaman yang berkualitas
untuk memahami Tuhan, dirinya, orang lain dan alam disekitarnya. Dengan demikian
akan fokus untuk meningkatkan kualitas kehidupannya melalui semangat etos kerja
yang tinggi yang akan membawa perubahan yang damai dan hal itu sebagai cerminan
hamba Allah yang bertaqwa.
Menurut Azyumardi Azra, Islam memberikan perhatian dan penekanan yang
kuat kepada etos kerja (work ethics). Bahkan dapat dikatakan, Islam adalah agama
yang menjunjung tinggi nilai kerja. Islam menghargai semua bentuk pekerjaan yang
17

Dapat diamati konflik Maluku, menyebabkan konflik yang sangat multi demensional
sehingga konflik relatif sulit diselesaikan akibat konflik begitu lama menyebabkan korban besar, baik
korban nyawa maupun harta benda, menyebabkan terjadinya pengungsian besar ditempat yang
dianggap aman yang menimbulkan dendam antara dua komunitas yang berhadapan di Maluku dan
menjadikan simbol-simbol agama sebagai pemicunya. Lihat, Maluku Baru Satu wujud Ideal
Masyarakat Maluku Pasca Konflik, Hasil Rumusan Pokja Maluku yang di Edit oleh: Suaidi
Marasabessy, SIP.(Jakarta: Pt. Abadi, 2002). h. 165

11

halal; sejak dari mereka yang bekerja dengan ilmunya (ulama, cendekiawan,
ilmuwan), penguasa dan birokrat (ulu al-amri), pedagang, petani, tukang, perajin
dan sebagainya. Semua pekerjaan ini dipandang baik; tingkatan manusia bahkan
dalam Islam, tidak didasarkan pada status pekerjaan, tetapi pada ketaqwaan.18
Lebih lanjut Azyumardi Azra menyatakan bahwa dalam Islam setiap manusia
diberikan kebebasan berusaha dan bekerja untuk kepentingan hidupnya dengan
sebaik-baiknya. Tetapi, di samping menekankan hak dan kebebasan individu, Islam
juga mementingkan semangat kebersamaan (jama’ah). Karena itu setiap individu tadi
harus mengelola kegiatan-kegiatan hidupnya dalam semangat kerja sama dan tolongmenolong (ta’awun), dan sebaliknya Islam tidak menyukai semangat kompetisi yang
tidak sehat atau rivalitas yang tak terkendali. Muslim yang baik, karena itu,
seyogianya tidak menanamkan semangat pertarungan bebas (laissez faire) dengan
mengorbankan kebersamaan (jama’ah) tadi, sehingga pada akhirnya hanya mereka
yang kuat yang akan bertahan (survival of the fifttes), sebagaimana menjadi prinsip
dari banyak masyarakat Barat.19
18

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokrasi,
h.229. Lihat pula, Azhar Arsyad, Dimensi Budaya Kerja dan Paham Teologi: Hubungannya dengan
Pendidikan dan Implikasinya terhadap Manajemen Kerja, (Disertasi PPs. IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 1999), h.66. Allah telah menjadikan manusia fii ahsani taqwim. Ini mengandung suatu
pengertian bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik; mempunyai
perawakan tegap, bertulang tumit indah, mampu mencapai maksud yang diinginkannya dengan
tangannya; tidak seperti hewan yang memungut segala sesuatu dengan mulutnya. Terlebih lagi, Allah
mengistimewakan manusia dengan akal, kesanggupan membedakan dan kesanggupan menerima ilmu
serta berbagai pengetahuan, sehingga mampu melahirkan gagasan-gagasan baru, yang sekaligus
menjadikannya mampu menguasai alam wujud. Di samping itu manusia juga mempunyai kemampuan
dan jangkauan untuk meraih segalanya.
19

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokrasi,
h.230. Islam memberi semangat untuk selalu berbuat kebajikan. Kewajiban seorang Muslim yang baik
memegang prinsip bahwa kewajiban agama dan moral untuk membantu rekan-rekan sekerja mereka
dalam mencapai kehidupan yang lebih baik; atau sekurang-kurangnya tidak menghalangi mereka
dalam perjuangan mereka untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik tersebut. Sikap
seperti ini memunculkan semangat kasih sayang, kerja sama, tolong-menolong, pengorbanan dan
persaudaraan di antara individu-individu, membawa kepada usaha-usaha produktif dalam masyarakat
secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan mendatangkan kesejahteraan dan kebaikan bagi
semuanya.

12

Deliar Noer berpendapat bahwa nilai-nilai pendidikan Islam adalah
kemandirian (independency) dalam bentuk kemampuan membuat dan mengambil
keputusan sendiri setelah matang memperhitungkan berbagai situasi dan kondisi
lingkungan. Dilihat dari proses pendidikannya, nilai inti dari kemandirian dalam
meningkatkan kreatifitas kerja berpijak pada pemberdayaan.20 Sesungguhnya
kemandirian baik di tingkat individu, kolektif maupun di tingkat nasional hanyalah
tejadi dengan dukungan kualitas SDM.21 Dengan matang dan mapannya kualitas
sumber daya manusia maka akan membangkitkan semangat kreativitas kerja yang
inovatif dan produktif.
Nilai inti yang ideal untuk masa depan manusia adalah keunggulan
(excellence). Filosuf besar Socrates (469-399), sebagaimana dikutip Syaukani HR. 22
mengatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya telah mempunyai pengetahuan dan
yang perlu dilakukan adalah bagaimana menggali pengetahuan yang ada itu, sehingga
melahirkan kreativitas

kerja yang tinggi. Atas dasar itu, kemajemukan berfikir

menjadi dialektika tersendiri dalam kehidupan guna menemukan kebenaran. Dengan
metode ini diyakini bahwa kita akan menemukan kebenaran dalam diri setiap orang.
Socrates memandang orang lain bukan sebagai "bejana kosong", melainkan subjek
yang berpengetahuan.
20

Deliar Noer, Kadernisasi Kepemimpinan Umat, (Jakarta: Titian Ilahi, 1993), h. XX. Lihat
juga Suyanto dan Djihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta:
Adicita Karya, 2000), h.25. Pemberdayaan merupakan proses pembekalan isi dan perluasan wawasan
yang dikembangkan melalui pendidikan, kreativitas individu dan satuan social yang ditumbuhkan
sehingga secara jeli dan cerdas mampu mekondisikan dan mewarnai lingkungannya ke arah yang
lebih baik. Profil manusia seperti ini anatara lain adalah: mandiri, kritis, berpijak pada kebenaran dan
menegakkannya, mempunyai pendirian yang teguh (istiqamah), peduli terhadap masyarakat, ini berarti
bahwa kualitas itu (intelektual) tidak mesti berorientasi ke atas, tidak ikut arus, tidak tergiur oleh
berbagai godaan dunia, pangkat, kedudukan harta wanita dan fasilitas, menghargai pendapat orang
lain.
21

Dengan semangat SDM dapat melahirkan kesadaran akan kemampuan diri, pemahaman
yang sehat terhadap realitas kehidupan. Pola kehidupan yang sehat dan nyaman, bebas dari perasaan
takut dari manpun datangnya. Kemampuan untuk berfikir dan bertindak, memiliki informasi yang
memadai dan menyampaikannya orang senag hati dalam menjalani hidup, dan memiliki keteguhan
pendirian.
22

Syaukani HR., Pendidikan Paspor Masa Depan; Prioritas Pembangunan Dalam Otonomi
Daerah, h. 44-45. Otonomi pendidikan bermuara pada wilayah bebas dari budaya verbal yang serba
naif dan membosankan; bebas dari budaya otoriter yang mendikte dan memerintah. Semua ini,
merupakan suatu budaya yang mematikan daya kritis dan daya kreativitas manusia.

13

Oleh karena itu penting melakukan penelitian dan menelaah peran STAIN
Manado dalam merespon tantangan globalisasi dan otonomisasi pada masyarakat
majemuk agar dapat mengantisipasi terjadinya konflik antar agama, etnis, bahasa
suku, dan semacamanya. Mahasiswa sebagai kaderisasi dan harapan umat, bangsa
dan negara kedepan diupayakan agar dapat unggul dalam kualitas dan dewasa
menyikapi perbedaan. Karena pemikiran tersebut menggeliat secara nasional dan
sangat kompatibel saat ini untuk diriset guna menemukan model-model baru agar
umat dapat hidup rukun, damai dan harmonis dalam berbangsa dan bernegara.
B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang diteliti dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1) Visi dan Misi STAIN agar mahasiswa menjadi unggul dan dewasa
2) Pengembangan wawasan Ketuhanan agar mahasiswa semakin sadar akan
keberadaannya di bumi
3) Peningkatan Manajemen Ketauladanan
4) Penataan kurikulum yang kompetitif dan saling menyapah antar umat
beragama
5) Membangun etos kerja

agar dapat mewujudkan kebersamaan dan

kehadiran Tuhan dalam kehidupan
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada visi
pengembangan STAIN yang akan memprodak mahasiswa lebih unggul, kompetif dan
santun dalam pengembangan pendidikan Islam. Sedangkan sumbernya dibatasi pada
wilyah pendidikan Islam yang relevan dengan obyek penelitian.
Pemilihan masalah ini didasarkan kepada suatu pemikiran bahwa yang
berperan besar bagi kehidupan manusia adalah lembaga pendidikan Islam, agar
mahasiswa semakin terdidik dalam lingkungan kemasyarakatan. Pendidikan yang

14

dimaksudkan di sini terutama di arahkan pada visi pengembangan wawasan teologis,
filosofis dan sosiologis beragama. Dengan pendidikan Islam diharapkan umat Islam
memiliki kemandirian dan selalu memiliki komitmen dalam membangun perbedaan
dan kebersamaan sehingga akan melahirkan manusia yang kreatif dalam mengisi
kemerdekaan agar bangsa dan agama ini lebih maju. Dalam rangka memajukan
bangsa dan agama ini, wahana yang representatif dan efektif dalam membangun dan
mengembangkan ilmu adalah lembaga pendidikan. Pengembangan lembaga
pendidikan merupakan tumpuan harapan bangsa ke depan karena pendidikan akan
mengalami dinamika seiring dengan kemajuan zaman.
Oleh karena itu penting direkonstruksi elemen-elemen yang berada di
lembaga pendidikan Islam baik dari aspek, wawasan teologisnya, manajemen
ketauladanannya, SDM-nya, dan kurikulumnya. Dengan demikian lembaga
pendidikan akan selalu eksis mengembangkan kualitas yang unggul dan kompetitif
sebagai cerminan masyarakat muslim yang memiliki nilai-nilai luhur yang damai
dan humanis di masa depan.
Hanya pengembangan lembaga pendidikan dan kualitas yang unggul dan
kompetitif, yang akan menjaga dan membawa bangsa ini maju dan berkompetisi
dengan bangsa-bangsa lain di era global. 23
3. Perumusan Masalah
Pendidikan Islam diharapkan mampu merespons kebutuhan masyarakat luas
yang penuh perbedaan dan dinamika. Namun masalah yang dihadapi lembaga
pendidikan untuk sampai ke sana tidak semudah membalik telapak tangan. Dalam
kaitan itu, berbagai masalah yang berkaitan dengan

pendidikan Islam seperti,

manajemen ketauladanan, sumber daya manusia, kreativitas kerja, dan kurikulum,
perlu segera tata dan dibenahi.
Sistem pendidikan Islam masih mengidap berbagai persoalan yang krusial,
sehingga kita dituntut berfikir kreatif dan inovatif dalam melakukan perubahan yang
23

A.Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam Dodi Nandika, Pendidikan di Tengah Gelombang
Perubahan, h.xix.

15

diikuti dengan pertumbuhan dan pembaruan atau perbaikan serta peningkatan secara
terus menerus untuk dibawa ke arah yang lebih baik. Dari mana perubahan dimulai
dan aspek-aspek mana yang perlu diinovasi agaknya memerlukan perenungan dan
penyikapan yang konstruktif dan positif.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan
menganalisis visi pengembangan STAIN agar mahasiswa semakin unggul dalam
kualitas dan dewasa dalam perbedaan. Hal tersebut tentunya memerlukan informasi
dari berbagai sumber guna melengkapi data dari penelitian ini.
Maka dapat dipahami bahwa objek masalah yang akan di kaji dalam
penelitian ini adalah Mengapa konflik keberagamaan pada masyarakat majemuk
dapat terjadi, bukankah keberagaman itu indah dan damai serta mendapatkan
sudut pandang ilmu yang baru ?
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu kepada perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
ini dimaksudkan untuk menemukan bentuk pengembangan pendidikan Islam yang
kompetitif, etis dan harmonis pada masyarakat di Manado.
D. Manfaat/ Signifikansi Penelitian
Pada prinsipnya penelitian dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi peneliti khususnya dan bagi dunia keilmuan pada umumnya. Secara
akademis, hasil penelitian ini dapat mengungkap visi dan sisi kekuatan pendidikan
Islam dalam pengembangan keilmuan untuk mewujudkan kedamaian.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penerapan
desain pengembangan pendidikan yang lebih mandiri, humanis dan modern guna
menata SDM yang lebih unggul, kompetitif dan produktif. Sehingga proses belajar
dan pembelajaran di Manado dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki
kompetensi yang unggul dalam kualitas dan dewasa dalam menyikapi perbedaan.

16

E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Metode utama yang dipakai untuk menghimpun data yang dibutuhkan
penelitian ini adalah metode penelitian lapangan sesuai dengan objek penelitian dan
dilengkapi dengan informasi dari data-data kepustakaan dengan menggunakan
sumber-sumber yang ada kaitannya dengan masalah pokok penelitian yang telah
dirumuskan baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sebagai sumber primer
yang digunakan adalah karya-karya yang telah membahas aspek pendidikan dalam
penigkatan kualitas keberagamaan baik ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan
kemasyarakatan. Penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan keagamaan dan birokrat. Sebagai bahan
analisa perbandingan dalam melihat visi pengembangan pendidikan Islam
digunakan data-data dari sumber sekunder berupa tulisan atau karya orang lain
yang relevan dengan pengembangan pendidikan.
2. Analisis Data
Dalam penulisan ini diperlukan penelitian kualitatif yang menghasilkan
data deskriptif24 sehingga memerlukan pendekatan deskriptif analisis dan
preskriptif analisis sehingga kajian ini seutuhnya menghendaki telaah terhadap
karya-karya dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam dan komparasi
dengan para pakar dalam bidang pendidikan Islam. Studi teks dalam makna studi
pustaka ini memerlukan olahan uji kebermaknaan empirik di lapangan melalui
hasil penelitian yang telah ada, dan studi pustaka yang lebih menekankan olahan
filosofik dan teoritik daripada uji empirik. Kedua model studi pustaka ini
digunakan dalam kajian ini. Kajian pustaka ini akan dipandu dengan menggunakan
pendekatan transdisipliner25 yang menyatukan pendekatan interdisipliner26 dan
24

h. 3.
25

Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997),

Pendekatan transdisipliner menghendaki kajian pendidikan Islam dengan kata lain, studi
Islam yang interdisipliner dan multidisipliner dapat menyatu dengan studi Islam teologik. Dipandu
dengan dimensi moral kemudian dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lain yang ujung-ujungnya dapat

17

multidisipliner27 dengan studi Islam teologik.28 Pada akhirnya telaah visi
pendidikan

Islam bukan saja yang bersumber dari sistem pendidikan Islam,

melainkan juga dari sistem pendidikan lainnya. Untuk mendukung hal itu
diperlukan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi melalui content
analysis yang mempunyai tiga syarat yaitu obyektifitas, sistimatis dan
generalisasi. Objektifitas dengan berlandaskan aturan yang dirumuskan secara
eksplisit. Sistematis, karena kategorisasi isi harus menggunakan kriteria tertentu.
Sedangkan generalisasi artinya temuannya haruslah mempunyai sumbangan
teoretik. Temuan yang hanya deskriptif rendah nilainya.29 Di samping itu
digunakan pula studi kontekstual30 dengan tiga model. Pertama, kontekstual
sebagai upaya pemaknaan menanggapi masalah kini yang umumnya mendesak
(situasional). Kedua, kontekstual dengan melihat keterkaitan masa lalu, kini dan
mendatang. Dalam hal ini uraian akan menampilkan suasana yang lalu kemudian
melahirkan temuan-temuan baru dalam kerangka pendidikan Islam. Pendekatan transdisipliner ini
secara kontekstual dikemukakan para ahli antara lain Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam
Muljanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 23,
Mattulada, “Studi Islam Kontemporer” dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian
Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 9-10. Secara tekstual dikemukakan Noeng
Muhajir dalam Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 182.
26

Pendekatan interdisipliner adalah pendekatan yang digunakan dengan mengaitkan disiplin
ilmu tertentu dengan satu disiplin ilmu lain seperti pendidikan dengan teori sosiologi. Lebih lanjut
dapat dibandingkan Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, h. 182.
27

Multidisipliner adalah pendekatan yang dipakai dengan menghubungkan disiplin ilmu
tertentu dengan berbagai disiplin ilmu lainnya misalnya studi pendidikan dengan titik tekan pendidikan
Islam hendaknya mengaitkan dengan dimensi sosial, ekonomi dan politik, bandingkan Noeng
Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, h. 182.
28

Studi Islam teologik merupakan studi Islam dengan pendekatan monodisipliner, pendekatan
satu ke cabang ilmu pengetahuan dalam hal ini pendidikan. Lihat Noeng Muhajir, Metode Penelitian
Kualitatif, h. 173.
29

Content analysis ini mempunyai upaya membuat prediksi yang oleh Kraucer menyatakan,
bahwa content analysis kualitatif lebih mampu menyajikan nuansa dan lebih mampu melukiskan
prediksinya secara lebih baik. Lihat Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, h. 49.
30

Studi kontekstual ini diterapkan juga oleh Mukti Ali khususnya model ketiga yang disebutnya
pendekatan ilmiah cum doktriner; pendekatan scientific cum suigeneris dengan metode sintetis yang dalam
membahas masyarakat dan budayanya digunakan metode historik-sosiologik ditambah dengan metode
doktriner. Lihat kembali Taufik Abdullah & Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar, h. 47-48.

18

dikontekskan dalam suasana kekinian. Ketiga, pemaknaan kontekstual berarti
mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dengan yang perifer.31
Adapun teknik interpretasi data dengan berpikir induktif seperti argumentasi,
kausalitas atau perbandingan dan berpikir deduktif seperti analogi terjadi secara
reflektif dan terus menerus selama proses menuangkan pikiran-pikiran dan hasil
bacaan berlangsung.32 Namun hendaknya pemahaman intelektual dan kemampuan
berargumentasi secara logik perlu didukung dengan data empirik yang relevan agar
produk ilmu yang melandaskan diri pada rasional adalah ilmu bukan fiksi.
3. Langkah-Langkah Penelitian
Langkah-langkah

yang

dilakukan

dalam

penulisan

riset

ini

yaitu

menginventarisasi konsep-konsep visi pendidikan Islam serta segala yang berkaitan
dengan pembahasannya, mengkategorisasi, menggabungkan, mendiskripsikan data.
Sesudah itu diinterpretasi dan dianalisis kemudian disimpulkan berdasarkan
pemaknaan penulis.
Langkah pertama yang dilakukan setelah membaca semangat STAIN Manado
yang mencoba mewujudkan mahasiswa yang unggul dalam kualitas dan dewasa
dalam meyikapi perbedaan dan buku-buku lain yang relevan dengannya adalah
dengan merumuskan permasalahan dan judul penelitian serta mengemukakan hal-hal
yang mendorong untuk melakukan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta
menetapkan metode yang digunakan.
Selanjutnya pokok-pokok pikiran dalam pengembangan kebersamaan dan
kedamaian dam satu rumpun beragama yang terkait dengan pendidikan dikaji secara
mendalam untuk kemudian dielaborasi secara deskriptif, analitis, dan kritis untuk
melihat keutuhan konseptual teori pendidikan yang dimilikinya. Kemudian
dilanjutkan dengan kajian terhadap pemikiran pendidikan dalam pengembangan
pendidikan Islam.

31

Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, h. 178.

32

Azhar Arsyad, Pokok-Pokok Manajemen, h. 55.

19

Guna mempertajam analisa, pendapat-pendapat dalam pengembangan
pendidikan keberagamaan di Manado juga akan dibandingkan dengan lembaga
pendidikan di luar Manado. Dengan demikian diharapkan akan tampak saling
melengkapi

dalam pengembangan pendidikan, maupun relevansi pemikirannya

dengan pengembangan dunia pendidikan di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Studi ini terdiri dari enam bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang
menguraikan latar belakang pemikiran yang melandasi penelitian, permasalahan yang
akan diangkat dalam penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan.
Bab kedua membahas visi pengembangan Pendidikan Islam (STAIN
Manado). Untuk itu terlebih dahulu diuraikan visi, misi dan tujuan dalam
pengembangan Pendidikan Islam,

pola dasar pendidikan Islam, transformasi

pendidikan Islam, dan diakhiri dinamika pendidikan Islam di masyarakat.
Bab ketiga membahas Tantangan pendidikan Islam.

Bab ini dibagi atas

empat bagian. Bagian pertama membicarakan tentang Globalisasi Pendidikan Islam,
Modernisasi Pendidikan Islam, Dualisme Pendidikan Islam dan Otonomisasi
Pendidikan Islam
Bab, keempat membicarakan refleksi pendidikan keagamaan. Hal ini terdiri
dari enam bagian. Bagian pertama fokus pada teologi pendidikan, tahudisasi
pendidikan, liberalisasi pendidikan, fikih keberagamaan, pendidikan etis dan dinamis
dan pendidikan kedamaian.
Bab kelima membahas rekonstruksi

lembaga pendidikan Islam. Bagian

pertama membahas tentang pengembangan manajemen ketauladanan, kurikulum
yang berobsesi keberagamaan, peningkatan sumber daya manusia dan peningkatn
etos kerja.
Bab keenam merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-saran
yang ditarik dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dalam rangka menjawab
masalah-masalah pokok yang dirumuskan di bagian pendahuluan.

20