ILMU ILMU SOSIAL DALAM ISLAM

ILMU-ILMU SOSIAL DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Sejak awal permulaan sejarah umat manusia, agama sudah terdapat pada semua
lapisan masyarakat, dan seluruh tingkat kebudayaan. Dewasa ini kehadiran agama
semakin dituntut untuk terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh dijadikan sekedar
lambang kesalahan.
Tuntunan terhadap agama seperti itu dapat di jawab manakala pemahaman agama
yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi
dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara
operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Kenyataan ini merangsang timbulnya minat para ahli untuk mengamati dan
mempelajari agama, baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui kewahyuan
maupun sebagai bagian dari masyarakat. Minat orang untuk mengamati dan
mempelajari agama itu didasarkan atas anggapan dan pandangan bahwa agama

merupakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan pribadinya dan untuk manusia.
Akan tetapi, juga ada yang didasarkan atas pandangan yang negatif dengan
anggapan yang sinis terhadap agama karena agama baginya merupakan khayal,
ilusi dan merusak masyarakat.
Berkenaan dengan pemikiran tersebut, kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan
tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami masyarakat, tidak fungsional
dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama dan
hal ini tidak boleh terjadi.[1]

B.
1.

Rumusan Masalah
Apa yang di maksud dengan pendekatan?

2.

Bagaimanakah pendekatan sosiologi dalam agama Islam?


3.

Bagaimanakah pendekatan antropologi dalam agama Islam?

C.

Tujuan Masalah

1.

Untuk mengetahui pengertian pendekatan!

2.

Untuk mengetahui pendekatan sosiologi dalam agama Islam!

3.

Untuk mengetahui pendekatan antropologi dalam agama Islam!


D.

Sasaran Yang Ingin Di Capai

Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi
penulis sendiri dan bagi pembaca lainnya serta menambah wawasan dalam bidang
karya ilmiah.

BAB II
PENDEKATAN ILMU-ILMU SOSIAL DALAM STUDI ISLAM
A.

Pengertian Pendekatan

Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi
dari agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai

dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah
penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan
paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di
sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan
normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan
pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan
hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang
diberikan Allah kepadanya.[2]

B.

Pendekatan Sosiologi

Sosiologi dalam pengertian secara luas adalah ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat dan gejala sosial yang terjadi di masyarakat.[3] Pendekatan sosiologi

dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama karena
banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara tepat apabila
menggunakan pendekatan sosiologi.

Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan sosiologi merupakan alat yang
cukup sempurna dalam memahami dan mempelajari studi Islam. Adapun yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari studi Islam melalui pendekatan sosiologi, terletak
pada fungsinya di dalam masyarakat.[4] Dilihat dari fungsinya dalam kehidupan
manusia, agama dituntut untuk dapat merumuskan kembali pemikiranpemikirannya secara jelas.
Oleh karena itu studi Islam dalam pendekatan sosiologi dipandang sangat penting
untuk tercapainya pemahaman secara luas dan menyeluruh (kafah) terhadap studi
Islam. Hal ini dilakukan khususnya agar masyarakat awam juga dapat menerapkan
studi Islam dengan berkualitas.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam buku yang
berjudul Islam alternatif, karangan Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa
besarnya perhatian agama, dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial dengan
mengajukan lima alasan berikut:
Pertama, dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, kedua sumber hukum Islam itu
kebanyakan berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni
dalam bukunya al-Hukuman al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat
mengemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang
menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus untuk satu ayat
ibadah, dan seratus ayat muamalah (masalah sosial). Ciri-ciri orang mukmin

sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-9:

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang memelihara
sembahyangnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-9)

Misalnya adalah orang yang shalatnya khusyuk, dan menghindari diri dari
perbuatan yang tidak bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya dan dapat
menjaga kehormatannya dari perbuatan maksiat.
Kedua, ditekannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan),
tetapi dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
dari pada ibadah yang bersifat perseorangan. Oleh karena itu, shalat yang

dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang
dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, kifaratnya
(tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan
membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri
bercampur siang hari pada bulan Ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid,
tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin. Dalam hadits qudsi
dinyatakan bahwa salah satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah orang yang
menyantuni orang miskin, anak yatim, janda, dan yang mendapat musibah.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa awal baik dalam bidang
kemasyarakatan mendapat ganjaran yang lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Dalam hubungan ini, kita misalnya membaca hadits yang artinya sebagai
berikut, “Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin,
adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti yang
terus menerus shalat malam dan terus-menerus berpuasa’. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW menyatakan sebagai berikut, ”Maukah kamu aku
beri tahukan derajat apa yang lebih utama dari pada shalat, puasa, dan sedekah

(sahabat menjawab), “tentu”, yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar’.
Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah
karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an
misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya,
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebabsebab yang menyebabkan kesengsaraan, semua itu jelas baru dapat dijelaskan
apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu
diturunkan.

C.

Pendekatan Antropologi

Antropologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri adalah hasil kegiatan
dan penciptaan batin manusia.
Maka antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka
warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.
[5] Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji masalah
manusia dan budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman
totalitas manusia sebagai makhluk hidup, baik di masa lampau maupun masa

sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari suatu usaha untuk memahami keseluruhan
pengalaman sosialnya. Maka hasil maksimum yang diperoleh dari antropologi
adalah fenomena yang menunjukkan adanya Tuhan.[6]
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang
digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan
pula untuk memahami agama.
Melalui pendekatan antropologis di atas, maka melihat bahwa agama ternyata
berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja
seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamannya.
[7] Tampaknya, agak sulit untuk melukiskan garis pemisah yang jelas antara
antropologi dan sosiologi karena kedua macam ilmu ini dibagi bukan karena metode
yang dipakai oleh para sarjana, melainkan metode yang dipakai oleh
tradisi. Bagaimanapun antropologi telah memusatkan perhatiannya kepada
kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak bisa baca tulis dan tanpa teknik.
Melalui pendekatan antropologis, sebagaimana tersebut di atas, terlihat dengan

jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan
itu pula, agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan
manusia. Dengan demikian, pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabangcabangnya.[8]
Pendekatan antropologis dan studi agama membuahkan antropologi agama yang
dapat dikatakan sebagian dari antropologi budaya, bukan antropologi sosial. Metode
antropologi pada umumnya adalah objek sekelompok manusia sederhana dalam
kebudayaan hidupnya. Jadi, studi antropologis terhadap agama saat ini tidak

didasarkan pada data penentuan laporan, melainkan hanya berdasarkan dari tulisan
dan laporan kisah perjalanan ahli antropolog.[9]
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh berkembang dimasyarakat. Melalui perndekatan ini agama tampak lebih
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dalam berbagai penelitian antropologi, agama dapat ditemukan adanya hubungan
positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan
masyarakat yang kurang mampu. Pada umumnya mereka lebih tertarik kepada

gerakan-gerakan keagamaan yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran
tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada daratan empirik
akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama
tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara
agama dengan berbagai pranata yang terjadi di masyarakat.[10]
Salah satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni
pandangan bahwa praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial
dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang
sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian,
kekeluargaan dan politik, magic dan pengobatan secara bersama-sama, maka
agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh
praktik-praktik sosial lainnya.[11]

Antropologi sebagai pendekatan dalam mempelajari studi Islam dapat
diklarifikasikan menjadi beberapa bagian diantaranya:
1.
Pendekatan antropologis fenomenologis; pendekatan ini dapat melihat
hubungan antara agama dan negara.
2.
Pendekatan antropologis yang kaitannya antara agama dengan
psikoterapi.
3.
Pendekatan antropologis yang kaitannya antara agama dengan
mekanisme pengorganisasian.
Dalam pengklarifikasian di atas, jelas bahwa agama sangat erat kaitannya dengan
cabang-cabang ilmu antropologi, sehingga dalam hal ini agama dapat melakukan
hubungan secara fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.

Melalui pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak pernah berdiri sendiri, antropologi
berupaya untuk dapat melihat hubungan antara agama dengan berbagai fenomena
sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik.
Adapun metode yang digunakan melalui pendekatan antropologi adalah metode
holistik, artinya dalam melihat suatu fenomena sosial harus diteliti dalam konteks
totalitas kebudayaan masyarakat yang dikaji. Sedangkan teknik pengumpulan
datanya menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam (terjun
langsung ke dalam masyarakat).

A.

Kesimpulan

Maksud dari pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan
paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di
sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan
normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan
pendekatan dan kesanggupannya.
Pendekatan Sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama baru
dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
dari ilmu sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara
terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta
pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup
bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Antropologi dalam kaitannya dengan hal ini, sebagaimana dikatakan Dewan Raharjo
lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat paratisipatif. Dari sini,
timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa terpijak pada atau setidak-setidaknya dengan upaya membebaskan
diri dari kungkuman teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang
menggunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian histori