RATNO LUKITO HUKUM DAN POLITIK PASCA KEM (1)

RATNO LUKITO :
HUKUM DAN POLITIK PASCA-KEMERDEKAAN INDONESIA :
Studi Kasus Antara Peradilan Agama & Adat 1
Terjemahan oleh: Aulia Rahmat2
PROLOG
Perubahan dari bentuk Negara penjajahan ke pemerintahan yang berdaulat tidak
langsung membawa perubahan atau menghasilkan pengaturan hukum secara menyeluruh di
Republik Indonesia3. Pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
hukum di Indonesia pada dasarnya sudah mulai mengalami perubahan sedikit demi sedikit,
semenjak Jepang tiba di pulau Jawa4. Karena sebagian besar elit bangsa, pada awal
kemerdekaan adalah para elit yang sudah mendominasi panggung perpolitikan sejak masa
penjajahan, ide-ide revolusioner sifatnya dari elemen masyarakat kalangan bawah belum
mampu terpenetrasikan menjadi jargon umum. Para elit politik ini memang belum begitu
tertarik dengan elemen-elemen sosial radikal yang dibutuhkan dalam pranata sosial warusan
penjajahan. Strategi untuk melakukan revolusi sosial atau segenap perubahan sosial hampir
tidak disebutkan secara resmi di antara sektor hukum pada masa ini5. Indikasi gejala tersebut
terlihat dalam ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan bahwa;
“Semua badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, Pemerintah yang
baru telah memaksakan untuk memperkenalkan kembali berbagai hukum yang diwarisi dari

masa kolonial. Sebagai salah satu contoh adalah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
Wetboek van Starfrecht (WvS) yang dibuat pada Tahun 1915, yang kemudian dilanjutkan
menjadi peraturan hukum pidana di Indonesia, kecuali untuk wilayah yang berada di luar
pulau Jawa, di mana berbagai peradilan adat masih tetap beroperasi. Pada akhirnya, hanya
ada beberapa pasal hukum yang diwarisi dari Belanda yang diberlakukan melalui aturan
hukum nomor 80 tahun 19326.
Perubahan iklim perpolitikan negara dipengaruhi oleh kedua peradilan, yaitu
peradilan agama dan peradilan adat, kendati pun kekakuan pada kedua tradisi hukum
tersebut dapat bertahan dalam pergolakan politik pada setengah abad pertama. Pada
akhirnya, penempatan keduanya, antara peradilan adat dan agama pasca-kemerdekaan
Indonesia akan dianalisis dengan menyoroti perubahan perpolitikan masing-masing. Bagian
Pertama akan menjelaskan perdebatan berkenaan dengan kelompok “pluralis” dan
“uniformis” pembangunan hukum pada Republik muda Indonesia, sementara itu pembahasan
kedua berisikan perdebatan antara “nasionalis sekuler” dengan “muslim”. Pembahasan yang
Telah diterbitkan sebelumnya sebagai “Hukum dan Politik Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Studi Kasus
Agama dan Hukum Adat”, Studia Islamika: Jurnal Kajian Islam Indonesia 6, Nomor 3 (1999): 65-86. Dicetak ulang
berdasarkan izin dari pemilik hak paten dan percetakan, Inststitut Agama Islam Negeri. Lihat dalam Ratno Lukito,
“Law and Politics in Post-Independence Indonesia: a Case Study of Religious and Adat Courts” Shari’a and Politics in
Modern Indonesia, ed. Askal Salim and Azyumardi Azra (Singapore: ISEAS Publishing, 2003), 17. Tulisan ini pada
dasarnya adalah bagian dari Tesis Ratno Lukito untuk menyelesaikan jenjang Magister di Institute of Islamic

Studies Mc. Gill University. Proses penulisan tesis ini dibimbing oleh Prof. Wael B. Hallaq. Untuk lebih lengkapnya,
silahkan baca lebih lanjut: Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta:
INIS, 1998).
2
Tenaga Pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang
3
Pergantian kedaulatan berarti lepas dari rezim lama maupun perangkat-perangkat sosialnya. Namun,
sejarah membuktikan bahwa pergantian kekuasaan tidak mesti berarti terjadinya peralihan revolusioner dalam
institusi-institusi Negara. Hal ini benar sekali dalam kasus Indonesia, khususnya pada masa awal kemerdekaan
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan lebih menandakan pergantian kekuasaan sistem politik daripada sistem
budaya. Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum
Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), 227.
4
R. Subekti, Law in Indonesia (Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1982), 6.
5
Daniel S. Lev, “Judical Unification in Post Collonial Indonesia” Indonesia 16 (October 1973), 13.
6
R. Subekti, Law in Indonesia (Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1982), 7.
1


disajikan pada bagian tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pemahaman terjadinya
kontroversi hukum yang tidak diharapkan muncul sebagai hasil dari pergeseran filsafat
hukum kolonial ke filsafat hukum nasional.
ISU-ISU HUKUM PADA KEMERDEKAAN INDONESIA7
Terdiri dari beribu-ribu pulau8, kepulauan Indonesia dihuni oleh berbagai etnis, sosial,
agama dan kelompok kebudayaan, yang masing-masingnya mempunyai kebiasaan
khas/budaya dan jalan hidup9. Untuk merangkul keberagaman ini, Republik Indonesia telah
membuat sebuah semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, atau “bersatu dalam perbedaan”.
Perbedaan ini terlihat jelas dalam dualisme hukum yang berlaku di Negara yang
dipersatukan. Pada pertengahan masa pasca-kolonial, beberapa kategori hukum bertahan
dalam era transisi dari pemerintahan kolonial Belanda: (1) hukum-hukum yang mengatur
tentang kependudukan, seperti; Hak Milik Industri dan Hak Paten; (2) hukum adat setempat
yang dipakai untuk penduduk pribumi Indonesia; (3) hukum Islam yang dipakai untuk seluruh
warga Negara Indonesia yang beragama Islam; (4) hukum yang dikhususkan untuk komunitas
tertentu di Indonesia, seperti; hukum perkawinan bagi warga Negara Indonesia yang
beragama Kristen; dan (5) ketentuan-ketentuan Burgelijk Wetboek dan Wetboek van
Koophandel, yang ada dasarnya diberlakukan bagi warga negara Eropa saja, namun kemudian
mengalami perluasan bagi warga Negara Cina. Ketentuan-ketentuan tertentu yang pada
akhirnya, walau bagaimana pun diumumkan agar diberlakukan bagi warga pribumi Indonesia.
Semangat bangkit dari keterpurukan karena kekuatan kolonial, dan tuntutan

kedaulatan, para pemimpin baru Indonesia cenderung memandang bahwa hukum adalah
bagian “rasional-legal” dari sebuah Negara. Sebuah politik hukum baru secara natural harus
dibentuk untuk menggantikan politik hukum kolonial10. Namun demikian, kenyataannya
pluralisme hukum negeri ini memberikan semangat untuk melakukan reformasi hukum yang
terasa masih terlalu dini. Berbagai kontroversi hukum yang tidak diharapkan muncul di antara
kubu yang saling berlawanan antara kelompok “pluralis” dengan kelompok “uniformis” pada
satu sisi; dan kelompok “nasionalis-sekuler” dengan kelompok “muslim” pada sisi lainnya.
Pada masa sebelumnya, perdebatan berpusat pada gagasan unifikasi hukum dan/atau
pluralisme antara dalam hukum terhadap hubungannya dengan hukum adat yang pada
akhirnya terfokus pada perbincangan mengenai hukum Islam.
PLURALIS VS. UNIFORMIS
Konsep kenegaraan biasanya dihubungkan dengan penyebaran keseragaman
peraturan bagi pemerintah pusat, tidak tergantung dari etnis, agama dan status sosialnya11.
Bagi kebanyakan pemimpin, hal ini hanya bisa dicapai dengan mengadakan unifikasi hukum.
Berdasarkan tindakan ini, Indonesia –telah mempunyai alasan—untuk bergegas menuju
modernisasi. Dengan prinsip “persamaan hak hukum/equality before the law” sebagai
semboyannya, pemerintahan yang baru dijauhkan dari pelengseran keputusan oleh
7
Hukum pada masa setelah kemerdekaan bagaimanapun membuktikan bahwa lamanya proses
penerapan hukum kolonial telah berhasil menananmkan model hukum dan institusi hukum Eropa di tanah air.

Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia
(Jakarta: Alvabet, 2008), 228.
8
Dalam naskah asli tesisnya, Ratno Lukito menyebutkan bahwa Indonesia terdiri dari kurang lebih 7.900
pulau. Lihat dalam Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: INIS, 1998),
58.
9
Gouwgioksiong, “The Marriage Laws in Indonesia with Special Reference to Mixed Marriage” Rabels
Zeithschrift 28 (1964), 711-31.
10
Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru (Bandung: Binacipta, 1987), 52-53.
11
Pluralisme merupakan term yang sering dipergunakan untuk menggambarkan Indonesia. Sebagai
Negara, Indonesia tidak hanya plural dalam budaya dan tradisi, namun juga hal agama, kepercayaan dan golongan
agama yang tersebar luas di seluruh nusantara. Karena itu tidak heran jika Negara menerapkan ideologi pluralisme
hukum dan bukannya ideologi uniformisme. Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik
dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), 230.

kekuasaan kolonial Jepang untuk menghapuskan komposisi penganut paham dualisme
dalam sistem peradilan. Dualisme struktur peradilan dengan mengadakan pembedaan orangorang Eropa dari pribumi sudah diganti dengan sebuah hirarki tiga lembaga peradilan dengan

menggunakan sebuah undang-undang prosedural bagi seluruh warga Negara Indonesia12.
Kendatipun terjadi kemajuan seperti yang dijelaskan di atas, penghapusan hukum
kolonial secara mutlak beserta penggantiannya dengan sebuah peraturan perundangundangan yang seragam adalah sebuah tugas berat untuk dilaksanakan dalam keberagaman
negeri seperti Indonesia. Ditambah lagi dengan ketidak-stabilan iklim perpolitikan pascakolonial yang mengharuskan pemimpin negeri ini untuk memberikan fokus lebih terhadap
penyelesaian masalah persatuan nasional daripada masalah inovasi kelembagaan. Sebagai
konsekuensinya, unifikasi hukum di Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan terbukti
tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Proses unifikasi hukum telah dilakukan, sebagai buktinya isu pertama yang diangkat
oleh pemimpin baru republik ini dipenuhi dengan keinginan untuk menghapus hukum
kolonial. Fakta yang terjadi ternyata strategi-strategi teoritis unifikasi hukum di Indonesia
terhalang untuk diberlakukan dalam prakteknya. Berbagai kesulitan menjadi sebuah
konsekuensi, tidak hanya pluralitas keagamaan dan nilai-nilai kebudayaan yang mengakar
dalam masyarakat; akan tetapi faktanya sistem peradilan modern yang telah digambarkan
oleh aparat kolonial13. Di samping itu, hukum kebudayaan pribumi yang dikemukakan oleh
para hakim Indonesia pada saat itu, berselisih dengan keinginan untuk membangun
“persamaan hukum”. Jadi, sementara mereka mungkin sedang menyajikan diri mereka
sendiri sebagai orang yang menerangkan hukum Islam atau hukum adat, visi mereka
terhadap hukum nasional jarang melampaui batas-batas filsafat hukum kolonial.
Upaya mempertahankan kerangka sistem hukum terdahulu pada dasarnya
merupakan suatu kewajiban jika republik muda ini ingin menghindari terjadinya kekosongan

hukum yang pada akhirnya akan menimbulkan pertikaian kelompok sosial mungkin akan
membantu terjadinya persaingan perpolitikan dan doktrin hukum. Hal ini menjelaskan alasan
mengapa Pasal II Aturan Peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang menaruh
kepercayaan pada pluralisme hukum, merupakan suatu kebutuhan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Lev, hal ini “bukan hanya berkaitan dengan
kenyamanan semata … juga bukan karna tidak sesorang pun yang mempunyai ide”; lebih dari
itu “… hukum kolonial menyajikan sebuah ketersediaan dan kerangka yang tepat”, dan
hukum ini “… adalah sebuah … sekulerisme netral di antara konflik keagamaan dan kelompok
sosial … hal ini akan menjaga keberadaan dominasi elit dalam melakukan pengawasan
terhadap institusi nasional”14.
Bagaimanapun, revolusi disajikan sebagai daya dorong nasional untuk melucuti
kekuatan kolonial dalam segala bentuknya15. Di beberapa daerah, hal ini ditandai dengan
mobilisasi yang mengakar untuk mengikis elit setempat melalui adopsi terhadap institusi
nasional. Momentum dalam pergerakan ini memudahkan langkah pertama yang sebenarnya
dalam melakukan unifikasi hukum.

12
Daniel S. Lev, “Judical Institutions and Legal Culture” in Culture and Politics in Indonesia, ed. Claire Holt
(New York: Cornell University Press, 1972), 257.
13

Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 176.
14
S. Lev, “Judical Unification in Post Collonial Indonesia” Indonesia 16 (October 1973), 13.
15
Sistem kolonial sudah mulai mengadakan pembagian wilayah. Hal ini terlihat dari adanya wilayah
pemerintahan swapraja (zelfsbestuurd gebied) di luar pulau Jawa, daerah yang langsung berada di bawah
administrasi gubernemen (rechtsreeksbestuur gebied) di Jawa dan Madura (selain Yogyakarta dan Surakarta yang
menjadi pola induk). Susunan pemerintahan kabupaten (regentschaap) diatur menurut kepangkatan yang sesuai
dengan adat istiadat pribumi (onder zoodanigen ambtstitel als de Indlandsche gebruiken medebrengen pasal 126
ayat 1 IS). Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah
Ahmad (Jakarta: Gema INsani Press, 1996), 70.

Sebagai sebuah harapan, dekolonialisasi dan nasionalisasi hukum di Indonesia
mempunyai konsekuensi langsung terhadap institusi hukum adat. Terutama untuk wilayah di
luar pulau Jawa, ledakan peradilan hukum adat yang berproses berangsur-angsur sedikit
demi sedikit namun berlangsung terus menerus, sebuah mobilisasi sosial membantu
pembangunan instansi-instansi nasional. Reorganisasi institusi peradilan bisa dikategorikan
sebagai sebuah strategi politik yang bertujuan untuk unifikasi tingkat awal, negeri pluralis
berada di bawah payung kekuatan yang terpusat. Dalam lingkungan peradilan, hal ini

membuat pemerintah pusat berada di bawah tekanan untuk memaksakan penyederhanaan
sistem peradilan dan terlebih lagi untuk menghapus semua lembaga peradilan yang berada di
bawah kekuatan daerah. Hal ini sangat kontras untuk diberlakukan di pulau Jawa, di mana
para aparat pemerintah relatif biasa dengan keinginan untuk adanya unifikasi hukum. Di luar
pulau Jawa, iklim perpolitikan seperti yang berkaitan dengan usaha unifikasi hukum terbukti
bermasalah.
Tujuan pemerintah yang berkenaan dengan unifikasi hukum, berarti adanya unifikasi
pada tingkat nasional dijelaskan dengan pengundang-undangan Undang-undang Nomor 7
pada tanggal 27 Februari 1947. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1947 diundangundangkan Undang-undang Nomor 23 yang menerangkan penghapusan peradilan adat untuk
wilayah Jawa dan Sumatera. Lev mencatat bahwa klarifikasi undang-undang ini menunjukkan
pengesahan yang kuat tentang politik persatuan.
Perubahan lebih jauh pada unifikasi peradilan ditandai dengan pengundangundangan undang-undang pada bulan Juni 1948. Berkaitan dengan reasumsi kekuatan
tentara Belanda di negeri ini, undang-undang ini tidak pernah mendatangkan pengaruh, akan
tetapi gagasan untuk melakukan unifikasi hukum sudah mengakar di masyarakat16. Hal yang
paling signifikan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 194817 hanya memperkenalkan 3
lingkungan peradilan pemerintah, yaitu; peradilan umum, peradilan pemerintah dan peradilan
militer. Peradilan umum terdiri dari tiga tingkatan sebagai berikut: Pengadilan Negeri pada
tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi pada tingkat banding dan Mahkamah Agung pada tingkat
kasasi. Anehnya, tidak satupun ditemukan baik pengadilan agama18 ataupun pengadilan adat
dalam ketetapannya. Seperti sebuah penghilangan mengkhianati sebuah tindakan tidak

pantas terhadap pembangunan hukum baru Indoesia dalam menyerap kompleksitas konflik
yang diwariskan antara orang yang memperjuangkan keberadaan hukum adat dan hukum
agama.
Berkaitan dengan hukum adat, pasal 10 Undang-undang Nomor 19 tahun 1948
menetapkan bahwa kekuasaan hukum residen pada sebuah wilayah diizinkan untuk
melanjutkan menengahi konflik-konflik tertentu dan kejahatan yang melingkupi “hukum
kebiasaan masyarakat”19. Secara berangsur-angsur namun berkesinambungan setiap
kejadian atau peristiwa yang memarginalisasikan pengadilan adat telah dilakukan oleh
penegak hukum. Kenyataannya, apa yang disebut dengan “hukum kebiasaan masyarakat”
juga dikamuflasekan “sebuah ketegangan isu yang meningkat antara pihak-pihak yang
diawasi oleh pemerintahan nasional dan kekuatan Islam”. Konflik yang terjadi antara
Daniel S. Lev, “Judical Unification in Post Collonial Indonesia” Indonesia 16 (October 1973), 20.
Peliknya permasalahan perkebunan di Jawa Tengah dijawab oleh Presisden dengan membentuk
Panitia Tanah Konversi pada tanggal 6 Maret 1948. Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan
Melawan Petani (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1991), 41. Komisi ini bertugas memperbaiki peraturan mengenai
Sewa Tanah Atas Tanah Milik Pangeran. Imam Sutiknyo, Politik Agraria Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1990), 4.
18
Secara historisnya, Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pristerraad (Pengadilan
Agama) yang didasarkan pada teori Van den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa

hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan
Hukum Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul
Arifin, S.H., ed. Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema INsani Press, 1996), 55.
19
Dalam pandangan Lev, ketidak-jelasan bahasa yang menunjukkan institusi hukum adat sebagai
sebuah “hukum kebiasaan masyarakat” bukan sebagai “hukum adat” berimplikasi terhadap “sebuah tingkat
kekhawatiran yang mengawali beban penegak hukum dan perluasan konflik-konflik politik”.
16

17

sekelompok orang yang memperlakukan konsep receptie Belanda --yang tidak dikenal dalam
Islam—hanya untuk memperluas bahwa hal ini telah diserap oleh hukum adat, dan kelompok
lain yang mengakui bahwa hukum Islam merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di
masyarakat, paling kurang untuk beberapa waktu terdiam. Melihat kenyataan bahwa term
“hukum kebiasaan masyarakat” bisa dipergunakan untuk pengertian hukum Islam atau adat,
pemerintah mengambil inisiatif dengan memberikan izin pemberlakuan kedua status hukum
–hukum Islam dan hukum adat—ini, dengan harapan bisa menghilangkan sumber terjadinya
konflik.
Situasi ini terus berlangsung sampai munculnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
Tahun 1949. Pada tanggal 17 Agustus 1950, pemreintahan RIS pun dibubarkan. Berdasarkan
kedaulatan, usaha untuk memperluas yuridiksi institusi nasional telah berlaku di wilayah
Indonesia. Apakah dilemma ini akan menjadi ide unifikasi semangat perjuangan nasional, atau
keberadaan realisme-pluralisme telah ditentukan oleh ideologi dan kosiderasi politik yang
membuka jalan kemenangan bagi kelompok yang menghendaki unifikasi. Unifikasi hukum
pada kenyataannya dipahami tidak hanya sebagai sebuah argumen sosial atau argumen
yuridis, tapi di sisi lain juga menciptakan pemusatan kekuatan politik, ketika hukum adat
berada dalam makna sebenarnya20. Perselisihan yang meletus pada saat ini tiak hanya isu
unifikasi hukum vis-à-vis pluralisme hukum per se, akan tetapi sudah melibatkan berbagai
argumentasi menantang dalam usaha sentralisasi kekuatan Negara vis-à-vis yang pada saat
ini sedang ter-desentralisasi. Seperti itu, hukum pada saat ini telah terkait erat dengan
politik.
Sejak tahun 1950-an, para pemimpin Indonesia telah dihadapkan pada tantangan
untuk membangun suatu sistem hukum yang koheren dengan realitas pluralisme negeri ini
tanpa mengenyampingkan keberagaman etnis, kebudayaan dan praktek sosial yang berlaku
di kalangan masyarakat. Kelompok terdahulu dipresentasikan sebagai orang-orang yang
berusaha keras untuk melakukan modernisasi Indonesia, perdebatan bahwa negeri akan
menyesuaikan dirinya sendiri dalam bentuk Negara merdeka “modern” jika pertumbuhan dan
perkembangan mereka didukung sepenuhnya. Hal ini hanya dapat terjadi apabila “… jika
suatu sistem hukum terartikulasi dengan baik yang semaksimalnya dapat merefleksikan
kesatuan Indonesia”21 ditempatkan dengan tepat. Oleh karena itu, hukum adat sebagai
sebuah simbol otonomi daerah bagi mereka seolah-olah “terbelakang” dan anti-modern.
Kalangan pluralis, berpendapat bahwa praktek hukum yang mungkin diberlakukan pada
masyarakat seperti Indonesia bersifat pluralistis. Kalangan pendukung hukum adat
menyetujui perubahan kondisi sosial semata-mata merupakan proses pembangunan hukum
karena pada tingkatan fungsional, hukum harus bisa mengakomodasikan dirinya sendiri pada
kondisi sosial. Lebih penting lagi, mereka membantah ketidak-mungkinan memulai usaha
unifikasi hukum ketika kondisi sosial yang membantu perkembangannya terpecah menjadi
beberapa kepingan. Bagi kalangan ini, hukum adat dilanjutkan untuk dihormati sebagai
sebuah simbol kebanggaan nasional yang menggaris-bawahi identitas masyarakat pribumi
Indonesia yang harus dihargai dan tetap dipelihara. Itulah dua argumen yang memonopoli
perdebatan mengenai hukum di Indonesia sampai akhir tahun 1950-an; tentu saja, sebagai
jantung sebuah Negara “perkembangan alami hukum di Indonesia yang independen sebagian
besar sudah dideterminasi oleh opini-opini --para pengacara Indonesia—tentang peran
hukum adat”22.
Perkembangan selanjutnya sebagaimana yang terlihat tentu saja akan memudahkan
pengenalan hukum adat. Di tengah ledakan konflik antara Indonesia dengan Belanda perihal
pembebasan Irian Barat, semangat untuk menghapus semua sisa-sisa kolonial dari Indonesia
20

M.M. Djojodigoeno, Hukum Adat di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1952), 42.
Sultan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social dan Cultural Revolution (Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1966), 67.
22
John Ball, Indonesian Law Commentary and Teaching Maerials (Sydney: University of Sydney, 1985),
1986.
21

mendapatkan momentumnya. Pada area hukum, keinginan untuk memelihara hukum adat
sebagai sebuah simbol semangat nilai-nilai pribumi secara mendadak dapat dipercaya.
Pergeseran ini ditandai dengan perubahan simbol resmi sistem hukum di Indonesia. Dewi
Yustisia, sebuah simbol keadilan Eropa diganti dengan simbol pohon beringin pada tahun
1960 yang dalam kebudayaan Jawa diartikan dengan pengayoman. Pada Tahun yang sama,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor II/MPRS/1960,
secara eksplisit memperkenalkan hukum adat sebagai sumber perkembangan dan elaborasi
hukum di Indonesia23.
Surat ketetapan yang memperkenalkan hukum adat tidak dengan “tegas”; di situlah
ditegaskan bahwa hukum adat “tidak menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan
makmur”. Sebuah frase ambigu, tentu saja tidak dapat dielakkan akan mengundang
persaingan interpretasi dan pernyataan dari para sarjana terkemuka. Muhammad Koesnoe,
mencontohkan penolakan pengakuan merupakan salah satu belenggu bagi hukum adat pada
waktu itu. Sebagai tokoh terkemuka dalam kelompok ini, ia membantah bahwa kondisi yang
dipaksakan untuk hukum adat adalah tidak relevan sebagai kondisi mereka sendiri dalam
ungkapan karakteristik hukum yang mendesak. Hukum adat adalah suatu hukum dinamis
yang berkembang dalam hubungannya dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Dalam konsepsinya, hukum adat akan disajikan sebagai dasar hukum nasional, bukan dalam
pengertian substanstif, tapi dalam hal prinsip, postulat, dan nilai-nilai dasar. Argumen
penentang menyebutkan bahwa karakteristik hukum adat itu “terbelakang” dan tidak jelas
karena bisa jadi ia diakibatkan kesalahan dalam membaca dan memahami hukum. Sarjana
lain yang tidak menentang ketetapan secara terbuka, mengajukan argumen melawan
kelompok pro-adat. Sebagai contoh adalah Simorangkir, ia membantah bahwa hukum adat
terhambat oleh modernisasi masyarakat, sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis,
hukum adat hanya akan melahirkan ketidak-pastian hukum24.
Walau bagaimanapun, pro dan kontra argumen untuk atau melawan pemasukan
hukum adat dalam kehidupan publik Indonesia, ambivalensi antara para pemimpin nasional
dalam pertanyaan mengenai pluralitas vis-à-vis keseragaman hukum bisa dikesampingkan.
Aktualnya, dilema yang dihadapi oleh pemimpin baru Indonesia pada dasarnya masih sama
dengan pembuat politik kolonial yang dihadapi setengah abad sebelumnya, ketika argumenargumen yang dibicarakan pada hari ini adalah antara kelompok liberal dengan konservatif
atau universalis dan partikularis. Perubahan simbol hukum nasional, pergeseran dari
lambang Dewi Yustisia menjadi pohon beringin terbukti lebih mudah dibandingkan usaha
mengganti substansi hukum itu sendiri25.
Antusiasme pemimpin nasional akan upaya rekonstruksi hukum disambut dengan
TAP MPR RI Nomor II/MPRS/1960 yang bisa terlihat dalam pembentukan Undang-undang
Agraria pada Tahun 1960. Undang-undang ini mampu merefleksikan berbagai kesulitan yang
ditemui oleh para sarjana hukum terkemuka yang mencoba membangun hukum “nationally
law oriented” yang sebenarnya. Secara teoritis, hukum ini menggantikan hukum kolonial
yang berkaitan dengan ke-agraria-an. Gautama menegaskan pada waktu itu, “prinsip-prinsip
orang Barat telah diadopsi ‘secara diam-diam’ … oleh pihak legislator”. Penyesuaian kepada
prinsip-prinsip modern dan penyelenggaraan di antara sebuah model modern Barat dalam
reformasi agraria seperti dikatakan bahwa “undang-undang baru berarti bahwa resepsi
hukum Barat akan berlanjut di Indonesia …”26.

23
R. Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan
(Jakarta: Gunung Agung, 1982), 24-30. Lihat juga Soerjono Soekanto, Kedudukan Peranan Hukum Adat di Indonesia
(Jakarta: Kurnia Elsa, 1987), 73-74.
24
B. Simorangkir, “Adat Versus Emansipasi”, Sinar Harapan (10 Agustus 1968).
25
Daniel S. Lev, “The Lady and The Banyan Tree: Civil Law Change in Indonesia” American Journal of
Comparative Law 14 (1965), 282.
26
Soedarto Gautama, “Law Reform in Indonesia” Rabels Zeitshrift 26 (1961), 535.

Perkembangan lebih jauh ditandai dengan adanya pergeseran kekuasaan
pemerintahan dari Soekarno ke pemerintahan orde baru pada tahun 1966 yang dalam
pandangan politik berarti menimbulkan perubahan pola hukum. Jika hukum dalam era
sebelumnya berbentuk “hukum sebagai alat revolusi”, hukum pada orde baru diasumsikan
sebagai “hukum sebagai alat pembangunan”, hukum sebagai roda untuk mempercepat
pembangunan. Lebih jauh lagi, kata “pembangunan” dalam orde baru mempunyai konotasi
progress ekonomi, hukum nasional dirasakan meningkat dalam artian seperti itu. Pada titik
waktu ini, artikulasi hukum difungsikan sebagai alat untuk pembangunan sosial, gagasan
tersebut dengan cepat menjadi popular. Gagasan ini pada kenyataannya pertama kali
dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, orang yang membatah untuk kebutuhan akan
kombinasi antara konsiderasi sosiologis dengan kajian hukum dalam pembangunan negeri
dalam sebuah usaha untuk mengurangi atau meredakan masalah ekonomi yang mereka
hadapi27.
Mochtar Kusumaatmadja diasumsikan sebagai sikap netral sebagai penghormatan
kepada apakah hukum akan diseragamkan atau dibedakan, kendatipun peran hukum adat
dirasakan bertentangan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Ia juga mempertanyakan
tentang keuntungan meng-impor hukum Barat yang telah ia rasakan pada waktu tersebut
“beberapa efek pada proses modernisasi adalah sebuah keniscayaan”. Ini merupakan konsep
hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja yang mempunyai banyak kontribusi dalam
pembentukan hukum baru sebagai sarana modernisasi pada orde baru28. Konsep selektifnya
dalam unifikasi hukum diadopsi menjadi politik pemerintah dalam hukum modern di
Indonesia.
Hal penting yang harus dicatat mengenai politik baru ini adalah hukum sekarang
secara aktual menjadi alat pemerintah dalam melakukan social control. Pemerintah dengan
kekuatan hukum penuh dengan pertimbangan dari kelompok pro-adat yang menolak
pemahaman bahwa hukum tidak datang dari atas (kekuatan Negara), melainkan muncul dan
lahir dari masyarakat.
NASIONALIS SEKULER VS. MUSLIM
Kontras dengan hukum adat yang telah dilemahkan oleh proses unifikasi hukum,
posisi hukum Islam terlihat tidak begitu terpengaruh. Hukum adat didukung oleh kekuatan
daerah, sedangkan hukum Islam didukung oleh kekuatan nasional. Hasilnya, pemusatan
kekuatan berpengaruh terhadap posisi hukum Islam.
Allan Christelow dalam analisisnya mengenai keterkaitan antara politik dan agama
Islam, ia menyatakan bahwa titik tegangan maskimum di antara keduanya terletak pada
lembaga qadi29. Sejak kemerdekaan, perkembangan sistem peradilan terefleksikan dalam
perlawanan antara kelompok nasionalis yang merepresentasikan kekuatan Negara dan
kelompok muslim.
Pada awal kemerdekaan, pengadilan melanjutkan tugasnya dalam kapasitas yuridis,
sebagai pengadilan kolonial yang telah dibentuk, ketika semua usaha yang dilakukan untuk
memperluasnya terbentur30. Peradilan yang sudah terorganisir di bawah Menteri Hukum
sejak keberadaan Jepang, masuk dalam yuridiksi Menteri Agama pada Tahun 1946. Dua tahun
setelah itu, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 19 yang menetapkan bahwa
peradilan agama digabungkan di bahwa peradilan umum. Hal yang penting untuk dicatat
27
Mochtar Kusumaatmadja, “The Role of Law in Development: The Need for Reform of Legal Education in
Developing Countries” Role of Law in Asian Society, makalah pada Special Congress Session in 28th International
Congress of Orientaslist (1973) sebagaimana yang dikutip dari Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 231.
28
Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru (Bandung: Binacipta, 1987), 65-68. Lihat juga Sunaryati Hartono,
Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), 1-2.
29
Allan Christelow, Muslim Law Courts and French Collonial State in Algeria (New Jersey: Princeton
University Press, 1985), 262.
30
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), 62.

dalam hal ini adalah politik ini menunjukkan sikap awal pemerintah dalam mewarisi konflik
politik antara nasionalis sekuler dengan muslim. Sepanjang tahun 1948, undang-undang
tidak pernah diimplementasikan, semangat dan naskah undang-undang berefek pada
pengenyampingan muslim. Keadaan ini semakin diperburuk dengan penghapusan Pengadilan
Kesultanan di luar Jawa dan Madura pada Tahun 1951, sehingga menimbulkan kebingungan
dalam penyelesaian perselisihan keagamaan.
Enam tahun kemudian, keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957,
penyelesaian perselisihan keagamaan di luar pulau Jawa dan Madura diselesaikan
pemerintah dengan cara pembangunan ulang peradilan agama. Peraturan yang dibangun
pemerintah ini berisikan perluasan yuridiksi peradilan agama yang tidak hanya terbatas pada
Jawa, Madura atau Kalimantan Selatan. Pada waktu ini pluralisme hukum agama dilanjutkan
untuk menegaskan term pengadilan agama dalam struktur, prosedur dan tujuannya.
Pengadilan di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan melanjutkan penggunaan hukum yang
diwarisi dari Belanda, sementara Pemerintah menyelesaikan peraturan Tahun 1957 untuk
pengadilan yang berada di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan.
Perkembangan sistem pengadilan agama selanjutnya tidak begitu rumit. Pemikiran
teori receptie yang diwarisi dari Belanda dipengaruhi oleh ahli hukum Indonesia sehingga
mendorong rasa antagonis mereka terhadap pengadilan agama. Ahli yang paling mencolok
adalah Dr. Raden Soepomo penasehat nasionalis pada Departemen Kehakiman yang terlihat
sangat menentang Islam dan mempunyai pengaruh besar dalam persiapan pengenalan UUD
194531. Kenyataannya, sebagian besar pejabat pada Departemen Kehakiman dan Peradilan
Umum adalah alumnus sekolah hukum di Belanda yang tidak begitu banyak mengetahui
hukum Islam. Mereka hanya mengetahui hukum Islam dari pesantren yang ada pada
kehidupan masyarakat tradisional. Mereka dilalaikan, walau bagaimanapun, untuk
memperkenalkan diri mereka sendiri prinsip dasar Islam. Konsekuensinya, mereka merasa
diasingkan dari Islam dan muslim yang berkeinginan untuk adanya praktek hukum Islam.
Permasalahan ini juga semakin diperburuk dengan keberadaan hakim pengadilan
agama yang masih mempunyai pemikiran klasik dan tradisional karena hanya mempelajari
fiqih klasik mazhab Syafi’i pada pesantren tradisional. Hal ini tidak dapat dielakkan lagi akan
menimbulkan jarak yang lebar di antara hakim dengan hukum yang dipelajari di Belanda,
antara sarjana yang sangat “Barat” dengan hakim muslim yang belajar pada sekolah Islam
tradisional. Keadaan tersebut hanya akan memperlebar jurang pemisah antara kalangan
nasionalis dan kelompok muslim.
Polarisasi ini muncul sejak disahkannya UU Nomor 17 tahun 1970 yang menggantikan
UU Nomor 19 Tahun 1964 yang menyatakan dan menyokong eksistensi pengadilan agama
pada orde baru. Pasal 10 dalam UU tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman harus
dijalankan oleh Mahkamah Agung dalang lingkungan agama, militer dan administrasi Negara.
Pada prakteknya, prinsip persamaan di antara badan peradilan tersebut diterlaksana
sepenuhnya. Regulasi kolonial, menetapkan menetapkan bahwa semua putusan pengadilan
agama harus diratifikasi pada pengadilan umum sebelum diimplementasikan. Kesanggupan
untuk melaksanakan “executoire verklaring” hanya dibutuhkan jika pembanding tidak
menerima Keputusan pengadilan tersebut. Penempatan posisi pengadilan agama seperti ini
dilanjutkan untuk menggaris-bawahi ketegangan dan kegelisahan antara kelompok
nasionalis dengan muslim pada awal orde baru.
Perdebatan di antara politikus dan pakar hukum Indonesia tentang eksistensi
pengadilan agama berlangsung hingga Tahun 1980-an. Situasi ini mengindikasikan bias
pertentangan terhadap kedudukan Islam dalam Negara. Hazairin, yang paling dikenal dengan
kritik secara terang-terangan terhadap teori receptie32, pada suatu kesempatan
menyampaikan ketidak-setujuannya terhadap pengadilan ini33.
31

Deliar Noer, The Administration of Islam in Indonesia (New York: Cornell University, 1978), 45.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas, 1982), 7-10.
33
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), 88.
32

Kendatipun ada banyak halangan, pengadilan agama dapat diterapkan secara parsial
dalam menyelesaikan perselisihan dalam perkawinan. Pemerintah Indonesia mengejutkan
para peneliti dengan mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 198934 tentang peradilan agama
dengan meresmikan perubahan terbaru terhadap peradilan agama sebagai sebuah institusi.
Kontras dengan sistem peradilan yang dipikirkan oleh Belanda, hukum baru ini memberikan
keseragaman nama untuk peradilan agama di Indonesia. Lebih penting lagi, yuridiksi
peradilan agama lebih diperluas lagi dalam menyelesaikan perkara dalam hukum keluarga.
Sederhananya, peradilan agama pada saat ini mempunyai kedudukan yang sama dengan
peradilan umum sehingga “executoire verklaring” tidak berlaku lagi.
Banyak tulisan dipublikasikan tentang perkembangan terbaru Islam di Indonesia.
Sebagian besar literatur terkesan menyatakan bahwa ada pendekatan antara Islam dan
Negara pada paruh kedua tahun 1980-an. Perkembangan seperti adanya KHI, UU Pendidikan
dan kelahiran ICMI memberikan indikasi adanya pendekatan antara Islam dengan Negara.
Hubungannya tidak lagi terlihat sebagai musuh, namun sebagai partner penuh dalam usaha
pembanguan nasional pada masa orde baru.
Sikap melemahnya rezim terhadap Islam mengejutkan banyak peneliti. Namun,
sebenarnya tarik ulur masalah ini masih terjadi seperti yang terlihat dalam sidang MPR pada
akhir Tahun 1980-an. Kalangan nasionalis dan kelompok non-Muslim menunjukkan
perlawanan terhadap draft UU Nomor 7 tahun 198935. Menariknya, mereka mencurigai hal ini
sebagai usaha untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Dalam pandangan mereka,
penetapan UU Nomor 1 Tahun 1989 adalah usaha kelompok muslim untuk membangun
Negara Islam.
Kecurigaan yang terlihat tak beralasan tersebut berbeda dengan kenyataan bahwa
kalangan idealis muslim yang mengemukakan gagasan Negara yang didasarkan pada
ideologi Islam yang secara konsisten telah dikalahkan oleh kalangan muslim akomodasionis
pada dekade sebelumnya36. Bagian sebagian muslim, gagasan Negara Islam telah
disingkirkan. Kenyataannya, digabungkan dalam adopsi oleh semua partai politik dan
organisasi massa dengan prinsip pancasila sebagai landasan dasar tunggal mereka,
mengantarkan sebagian kalangan muslim terkemuka akan sebuah pertanyaan tentang
relevansi perselisihan di Indonesia. Diskusi kalangan pro dan kontra tidak lagi dalam hal ini,
namun bergerak menuju usaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam ideologi
nasional. Sebagaimana yang dilontarkan oleh pemikir Islam terkemuka pada tahun 1965, “…
kita tidak lagi berbicara mengenai negara Islam, akan tetapi alangkah baiknya kita berbicara
tentang masyarakat Islam”.

34

Sekalipun undang-undang ini lahirnya agak terlambat dibanding peraturan untuk lingkungan peradilan
lainnya, namun hal ini tidak akan mengurangi makda kehadirannya di tengah-tengah upaya pembangunan hukum
nasional. Bahkan keterlambatan ini boleh jaid mengandung kematangan dan kejernihan dibandingkan jika
kelahirannya dipaksakan dan terburu-buru. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama: UU No. 7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), ed-2, 1.
35
Zuffran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila: Dialog tentang RUUPA (Jakarta:
Pustaka Antara, 1990), 124.
36
Pada masa sebelumnya, Panitia Sembilan berhasil mencapai kompromi pada tanggal 22 Juni 1945
dengan menyetujui sebuah naskah “Mukaddimah” UUD 1945 yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta atau
Jakarta Chartered. Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Grafindo Press, 2010), edisi
revisi, 37. Pemberian nama itu diberikan oleh Muhammad Yamin. Hasil kesepakatan atau modus vivendi Panitia
Sembilan dinyatakan diterima dalam Sidang II BPU PKI tanggal 11 Juli 1945. Endang Saifuddin Anshari, Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” tentang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), 30.

EPILOG
Kemunculan pola baru dalam pembentukan politik hukum sudah tidak dapat
dielakkan lagi mengundang debat panas yang terkadang disertai dengan amarah dan rasa
dendam di antara kelompok tertentu di Indonesia. Kritik politik ini menerima bahwa peradilan
secepatnya bergabung dengan kekuatan lokal di luar kekuatan politik formal pemerintah
pusat. Dalam cara ini, iklim yang menonjolkan pembuangan hukum adat sebagai hasil akhir
dapat dipahami. Di sisi lain, peradilan agama tidak terlihat begitu terpengaruh dengan usaha
unifikasi hukum di negeri ini. Meskipun pergolakan dunia perpolitikan pada awal
kemerdekaan ditujukan untuk melemahkan aturan peradilan pada sistem peradilan di
Indonesia. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa kekuatan institusi politik nasional
akan berpengaruh dan lebih bertenaga jika disokong oleh nilai-nilai keagamaan. Hasilnya,
pemusatan kekuatan mempengaruhi status peradilan agama. Kegembiraan peradilan agama
di Indonesia merubah iklim politik, terkhusus sejak paruh kedua tahun 1980-an, hal ini juga
merupakan hasil penyesuaian antara Negara dan Islam pada masa kejayaan perselisihan
antara kalangan nasionalis yang mewakili kekuatan Negara dan kelompok muslim.
Oleh karena itu, walaupun konstilasi perubahan politik nasional sudah tidak bisa
dielakkan pengaruhnya dalam posisi dua sistem peradilan, dengan pembuangan salah satu
peradilan adat merupakan salah satu hasil perubahan tersebut, aturan politik yang dimainkan
oleh sistem peradilan agama yang terlihat tidak bisa dihalangi. Ketika peradilan adat “mau
tak mau” harus tersisih37, peradilan agama terpelihara dan kedudukannya mempunyai
segenap kekuatan dalam hubungannya dengan peningkatan dominasi kekuatan pusat dan
penyesuaiannya terhadap Islam.

37
Hukum Adat adalah korban utama proyek unifikasi yang dilakukan oleh rezim baru. Karena
pembangunan kesatuan hukum nasional dipandang sebagai bagian terpenting dalam usaha modernisasi Negara,
maka hukum dan tradisi komunitas adat pribumi dinilai sebagai keterbelakangan dan tanda keprimitifan. Jadi,
walaupun merupakan ekspresi budaya asli Indonesia, adat dianggap sebagai “sesuatu yang kuno” dan tidak sesuai
lagi dengan keinginan masyarakat modern yang diimpikan. Hal ini cukup mengejutkan karena rezim penjajahan
Belanda dan Jepang --khususnya pada tahun-tahun terakhir penjajahan mereka—cenderung mendukung ambisi
masyarakat pribumi untuk melestarikan adat asli mereka sebagai sumber utama pembentukan hukum. Ratno
Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia
(Jakarta: Alvabet, 2008), 232.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Rujukan Utama
Lukito, Ratno, “Law and Politics in Post-Independence Indonesia: a Case Study of Religious and
Adat Courts” Shari’a and Politics in Modern Indonesia, ed. Askal Salim and Azyumardi
Azra (Singapore: ISEAS Publishing, 2003)

Rujukan Tambahan
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional
Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959 (Bandung: Penrbit Pustaka, 1983).
Aulawi, A. Wasit, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah
Ahmad (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Lukito, Ratno, “Hukum dan Politik Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Studi Kasus Agama dan
Hukum Adat”, Studia Islamika: Jurnal Kajian Islam Indonesia 6, Nomor 3 (1999).
-----------------, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: INIS,
1998).
-----------------, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam
Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008).
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun 1989
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), ed-2.
M.D., Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Grafindo Press, 2010), Edisi
Revisi.
Noeh, Zaini Ahmad, “Kepustakaan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum
Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun
Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema Insani Press,
1996).
Pelzer, Karl J., Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta Pustaka
Sinar Harapan, 1991).
Sutiknyo, Imam, Politik Agraria Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).