POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MA

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MASA ORDE LAMA:
POLITIK KURIKULUM
Oleh: Azhar
A. Pendahuluan
Dalam sejarah perjalanan pendidikan yang dialami negeri ini, cukup banyak
hal yang membuat pendidikan kita disusupi kepentingan politik golongan tertentu.
Sederhana saja, kurikulum yang berganti-ganti merupakan potret tidak jelasnya arah
pendidikan. Pendidikan yang diharapkan memiliki tujuan pasti demi mengubah
kondisi bangsa menuju kemajuan, telah diboncengi sekian banyak kepentingan.
Masyarakat tidak memiliki kekuatan politik untuk mencegahnya. Rakyat tidak
mempunyai wewenang untuk mengupayakan sebuah konsistensi atas kurikulum.
Berbicara tentang sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia, maka
hal itu tidak terlepas dari sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia itu
sendiri. Sejak zaman kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal sekolah, yang
tentu saja juga ada kurikulum. Setiap generasi memiliki sejarah kurikulum yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa
berubah sesuai dengan zamannya. Bahkan tak jarang juga terdapat keterkaitan dengan
unsur-unsur politis yang mengiringinya. Dalam pengertian bahwa kurikulum di
Indonesia kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa ketika itu. Ketika
masa kolonialisme, maka kurikulum yang berkembang disesuaikan dengan tujuan
melanggengkan imprialisme. Begitupula dengan beberapa masa setelahnya.

Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka atau tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,
1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006, ( bahkan rencananya akan kembali terjadi
perubahan kurikulum di 2013 ini ). Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis
dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana

1

pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan
yang terjadi di masyarakat.
Atas dasar inilah penulis membuat makalah yang mengupas tentang
perkembangan sejarah kurikulum di Indonesia masa orde lama.
B. Pembahasan
1. Politik Pendidikan dan Politik Kurikulim
a. Pengertian Politik Pendidikan

Kata politik berasal dari bahasa Inggris, politics yang berarti permainan
1


politik. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, politik diartikan pengetahuan tentang
ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan dan sebagainya, dan
dapat pula berarti segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya
mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.2
Collin memberikan definisi politik sebagai berikut: “the theory and practice of
governing, a country local politics or national politics the practice of governing a
local area, or of governing a country,” (teori dan praktek dalam memerintah sebuah

negara, politik lokal atau politik nasional adalah suatu praktek pemerintahan daerah
setempat, atau pemerintahan suatu negara).3
Freire memberikan pandangan bahwa politik pendidikan “Education becomes
an idea and a referent for change in the service of a new kind of society or education
speaks to a form of cultural politics that transcends the theoretical boundaries of any

one specific political doctrine.” (Pendidikan menjadi ide dan rujukan untuk perubahan
dalam pelayanan jenis baru masyarakat atau pendidikan berbicara kepada bentuk
politik budaya yang melampaui batas-batas teoritis salah satu doktrin politik tertentu).4

1


John M. Echols Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), cet. VIII, 437
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, 763
3
P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government 3 rd Edition, (London: Bloomsbury Publishing,
2004), cet. III, 194
4
Paulo Freire, The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, (USA: Greenwood
Publishing, 1985), cet. I, xiii
2

2

Gushee memberikan definisi politik pendidikan “Education is inherently an
ethical and political act.” (Pendidikan secara inheren merupakan tindakan etis dan

politik).5
Dalam bahasa Arab, kata politik dikenal dengan istilah al-siyasah yang berarti
reka cipta, upaya-upaya strategis dan pengaturan tentang sesuatu.6
Sedangkan kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pendan akhiran an-, dan berarti perbuatan, hal, cara, dan sebagainya mendidik,
pengetahuan tentang mendidik, dan berarti pula pemeliharaan, latihan-latihan dan

sebagainya.7 Dalam pengertian yang umum digunakan, pendidikan berarti sebagai
usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan
jasmaniah juga harus berlangsung setahap demi setahap.8 Selain itu pula ada yang
mengatakan bahwa pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tingkah laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
pengajaran dan latihan.9
Dengan demikian, politik pendidikan adalah segala usaha, kebijakan dan siasat
yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya politik
pendidikan adalah penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa
pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan
perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan yang beraneka ragam beserta tujuan
dan program untuk merealisasikannya.10 Dengan demikian politik pendidikan adalah
segala kebijakan pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan yang berupa
peraturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi
tercapainya tujuan negara.

5

Susan Gushee, Politics of Education: Essays from Radical Teacher, (USA: State University of New
York Press, 1990), ix

6
Jamil Saliba, Mu‟jam al-Falsafi, (Mesir: dar al-Fikr, 1978), cet. VII, 45
7
Poerwadarminta, Kamus, 250
8
Lihat H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. IV, 11
9
Lihat Anton Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 694
10
Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. I, 9

3

b. Pengertian Politik Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.11
Sukmadinata dalam Dede Rosada memberikan definisi kurikulum,12 sebagai
berikut:

1) Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana
kegiatan belajar para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan,
bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar.
2) Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian
konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan
memiliki keterkaitan secara koheren dengan lainnya.
3) Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum
merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta
penyesuaian-penyesuaian dengan tuntunan pasar atau tuntunan idealisme
pengembangan peradaban umat manusia.
Kelly memberikan definisi kurikulum sebagai berikut: “the term „curriculum‟
can be, and is, used, for many different kinds program of teaching and instruction.
Defined in terms of what teaching and instruction is to be offered and also what its
purposes.” (Istilah 'kurikulum' bisa, dan, digunakan, untuk berbagai jenis program

yang berbeda dari pengajaran dan instruksi. didefinisikan dalam hal apa pengajaran
dan instruksi yang akan ditawarkan dan juga apa tujuannya).13

11


Lihat Undang-undang No. 20 Tahun 2003
Dede Rosada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. II, 26
13
A.V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice, (London: Sage Publications, 2004), cet. V, 2
12

4

Beyer mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan politik
kurikulum,14 sebagai berikut:
1) Epistemological. What should count as knowledge? As knowing? Should we take a
behavioral position and one that divides knowledge and knowing into cognitive,
affective, and psycho-motor area, or do we need a less reductive and more
integrated picture of knowledge and the mind, one the stresses knowledge as
process? (Epistemologis. Apa yang harus dihitung sebagai pengetahuan? Seperti

mengetahui? Haruskah kita mengambil posisi perilaku dan salah satu yang
membagi pengetahuan dan mengetahui ke kognitif, afektif, dan daerah psikomotor, atau kita perlu gambaran yang kurang reduktif dan lebih terintegrasi
pengetahuan dan pikiran, tekanan pengetahuan seseorang sebagai proses?
2) Political. Who shall control the selection and distribution of knowledge? Through

what institutions? (Politik. Siapa yang akan mengontrol pemilihan dan distribusi

pengetahuan? Melalui lembaga apa?)
3) Economic. How is the control of knowledge linked to the existing and unequal
distribution of power, goods, and services of society? (Ekonomi. Bagaimana

kontrol pengetahuan terkait dengan distribusi yang ada dan kekuasaan yang tidak
setara, barang, dan jasa masyarakat?)
4) Ideological. What knowledge is of most worth? Whose knowledge is it? (Ideologis.
Apa pengetahuan yang paling berharga?)
5) Technical. How shall curricular knowledge be made accessible to students?
(Teknis. Bagaimana pengetahuan akan kurikuler dapat diakses oleh siswa?)
6) Aesthetic. How do we link the curriculum knowledge to the biography and
personal meanings of the students? How do we act “artfully” as curriculum
designer and teachers in doing this? (Estetika. Bagaimana kita menghubungkan

pengetahuan kurikulum biografi dan makna pribadi siswa? Bagaimana kita
bertindak "berseni" sebagai perancang kurikulum dan guru dalam melakukan ini?)
14


Landon E. Beyer, The Curriculum: Problems, Politics, and Possibilities, (USA: State University of
New York Press, 1998), cet. II, 5

5

Sedangkan Klein berpendapat bahwa politik kurikulum “Curriculum is chaos,
inconsistency, and inequity often have been an accompaniment of local decision
making, advocates of local control might respond with accusations of using isolated
cases or distorted data to advance self-interests.” (Kurikulum adalah kekacauan,

inkonsistensi, dan ketidakadilan yang terjadi dalam pengambilan keputusan lokal,
pendukung kontrol lokal mungkin menanggapi dengan tuduhan menggunakan kasus
terisolasi atau data terdistorsi untuk merealisasikan kepentingan pribadi suatu
kelompok penguasa).15
Dengan demikian politik kurikulum adalah sebuah kebijakan yang ada dalam
domain pemerintah (bukan legislatif). Pemerintah wajib merencanakan, melaksanakan
(implementasi) dan evaluasi sebuah kebijakan yang ada dalam domain pemerintah
(bukan legislatif) sebagai sebuah rencana dunia pendidikan. Namun, kurikulum
disusun menggunakan capaian-capaian kompetensi tertentu. Namun, pada tataran
implementasi selalu menjadi persoalan besar atau dapat dikatakan gagal.

2. Politik Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
a. Masa Orde Lama

Orde secara harfiyah dapat diartikan zaman, atau masa. Secara kontekstual,
orde lama biasanya diartikan sebagai zaman pemerintahan presiden Soekarno, yang
berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1965, yaitu sejak diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan digantikannya
Soekarno oleh Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1965 yang selanjutnya
dikenal sebagai Supersemar.
b. Keadaan Pendidikan Islam Masa Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat
perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk
itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang
dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 27
15

M. frances Klein, The Politics of Curriculum Decision Making, (USA: State University of New York
Press, 1991), 15


6

Desember 1945.16
Sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan agama, maka pada tanggal 3
Januari 1946 mulai diresmikan Kementerian Agama yang menangani urusan
keagamaan dan pendidikan agama, selain itu juga mengurusi bidang pendidikan yang
berhubungan dengan agama.17
Disamping itu, pemerintah juga mendirikan kementerian pendidikan dan
kebudayaan, sehingga menimbulkan pengelolaan pendidikan yang dikotomis yang
selanjutnya berdampak buruk terhadap nasib pendidikan agama yaitu berupa adanya
perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap pemberian anggaran
pendidikan agama, sumber daya manusia dan sarana prasarana. Keadaan yang
diskriminatif sebagai akibat dari kebijakan yang dikotomis ini belum sepenuhnya
dapat diatasi sampai saat ini.18
Selain mendirikan departemen agama tersebut, pemerintah orde lama juga
telah merumuskan peraturan dan undang-undang terkait dengan pendidikan agama.
yaitu undang-undang nomor 12 tahun 1950. Pada Bab XII Pasal 20 undang-undang ini
misalnya ditetapkanlah pelajaran agama di dalam sekolah-sekolah negeri. Sampai di
sini pemerintah orde lama juga telah menaruh perhatian terhadap perkembangan dan
pertumbuhan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren.19
3. Penerapan Politik Kurikulum Pada Masa Orde Lama.
a. Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan
Islam

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa
pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat / Sekolah Dasar)
sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap
sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah
16

Dra. Hj. Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 65
Ibid.,
18
Ibid., 67
19
Ibid., 68
17

7

di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama mulai kelas I SR.
Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun
1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof.
Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan
dan pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh
Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin
disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud
yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia
itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
1) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
2) Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya, di Sumatera,
Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR
dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang
dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai
kelas IV.
3) Disekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan
pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4) Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam
satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
5) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan
agama ditanggung oleh Departemen Agama.
b. Pembentukan UU Pokok Pendidikan dan Pengajaran

Menjelang lahirnya Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran,
Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran (1946) melapor kepada menteri PP
dan K (Mr. soewandi) untuk membentuk Panitia Penyelidik Pendididikan dan
Pengajaran yang diketuai K.H. Dewantara. Mereka diberi tugas untuk meninjau
kembali dasar-dasar isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan / pengajaran.

8

Laporan panitia tersebut tadak dapat disiarkan secara luas karena adanya
serbuan tentara Belanda, maka secara diam-diam mereka mengadakan:
1) Kongres pendidikan di Solo (Pada tahun 1947)
Tanggal 4 sampai 7 maret 1947 di Solo diadakan Kongres Pendidikan
Indonesia, di bawah pimpinan Prof. Sunaryo Kalapaking. Tujuannya ialah
meninjau kembali berbagai masalah pendidikan dan pengajaran. Kongres ini
mendapat perhatian besar dari para cendekiawan.20
Pada tahun 1948 Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) membentuk
panitia pembentukan Rencana Undang-Undang pokok Pendidikan dan
Pengajaran. Panitia itu diketuai oleh K.H. Dewantara yang ditugaskan untuk
menyusun rencana UUPP di sekolah. Panitia bekerja dengan memperhatikan
hasil pekerjaan panitia terdahulu dan hasil kongres pendidikan di Solo.21
2) Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Pada tahun 1949)
Pada tanggal 24 juli 1949 di bawah pimpinan K.H. Dewantara dan
sekretarisnya S. Brodjonegoro dilangsungkan kongres pendidikan di Yogyakarta.
Menteri PP dan K (Ki. S. Mangunsarkoro) mengharapkan agar kongres ini dapat
menghasilkan bahan-bahan bermanfaat yang dapat dipergunakan untuk
menyusun UUPP, yang sesuai dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Maka
dengan kerja keras para panitia penyelidik pendidikan pengajaran dicetuskan UU
tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh
Indonesia (1950).
Setelah panitia bekerja dengan giat, rencana Undang-Undang dapat
diselesaikan dan diajukan kepada BP KNIP dan dengan suara terbanyak
diterimalah rencana Undang-Undang itu. Setelah disahkan oleh Acting President
Mr. Asaat di Yogyakarta dan Menteri PP dan K, maka RUU itu diresmikan
menjadi UU No.4 tahun 1950 dengan nama UU tentang dasar-dasar pendidikan

20

Mustafa dan Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997),
110
21
Ibid.,

9

dan pengajaran di sekolah (UUPP). Untuk sementara UUPP hanya berlaku di
daerah Yogyakarta. Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibentuk, maka UUPP diterima oleh DPR pada tanggal 27 januari 1954, dan
diberlakukan pada tanggal 18 maret 1954. Kini UUPP menjelma menjadi UU
No.12 tahun 1954 tentang Pernyataan berlakunya UU No.4 tahun 1950 dari
Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah untuk Indonesia. UUPP tersebut seluruhnya terdiri dari 17 Bab dan 30
pasal.
UU tersebut belum sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangannya.
Masih terlampau ringkas dan singkat, untuk menyempurnakannya dibentuk suatu
komisi, yang diketahui oleh Katopo. Komisi ini ternyata tidak dapat memberikan
hasil usahanya yang kongkrit.22
c. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah Zaman Orde Lama

Mempelajari perkembangan madrasah tentunya berkaiatan erat dengan peran
Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi
madrasah sehingga memperoleh perhatian secara terus-menerus dari kalangan
pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang
sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan
Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam
mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Perkembangan madrasah pada Orde Lama adalah berdirinya madrasah
Pendidikan Guru Agama (PGA) yang sudah ada sebelum kemerdekaan terutama
di wilayah Minangkabau dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga proposional yang siap untuk
mengembangkan pendidikan madrasah sekaligus ahli agama yang proposional
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departement
Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab
bagian pendidikan. Pada tahun 1950 bagian tersebut membuka dua lembaga
22

Ibid., 112-114

10

pendidikan dan madrasah professional keguruan: Sekolah Guru Agama Islam
(SGAI) dan sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI memiliki dua
jenjang yaitu: (a). Jangka panjang yang ditempuh salama 5 tahun untuk siswa
tamatan SR/MI dan (b). Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun
untuk lulusan SMP/MTs. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun untuk
lulusan SMP/MTs yang memiliki 4 bagian yaitu:
1) Bagian “a” untuk mencetak guru kesusatraan
2) Bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
3) Bagian “c” untuk mencetak guru agama
4) Bagian “d” untuk mencetak guru pendidikan agama
d. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Zaman Orde Lama

Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum,
dicantumkan dalam UU Pendidikan tahun 1950 No.4 dan UU Pendidikan tahun
1954 No. 20 yang berbunyi:
1) Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama. Dan
orang tua murid berhak menetapkan apakah anaknya mengikuti
pelajaran tesebut atau tidak.
2) Cara menyelenggarakan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah negeri
diatur melalui menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan (PPK)
bersama menteri agama.
Pada tahun 1960 sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama
diselenggarakan di Perguruan Tinggi Umum dan memberikan kebebasn kepada
mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (pada awal
orde baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata
kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam sistem penilaian.
e. Lembaga Pendidikan Islam Zaman Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka
secara instransional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung
jawab tehadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam

11

lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam yang berstatus
negeri dan ada yang berstatus swasta.
Pendidikan agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah
umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan
Menteri P dan K. sebagai tindak lanjutnya, ialah penyediaan dan pengadaan
tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum.
C. Penutup
Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan sejarah
perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Ketika Indonesia dalam cengkeraman
kolonial, maka kurikulum pendidikan yang dikembangkan adalah demi
kepentingan penjajah itu sendiri, baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Masa
kolonialisme yang panjang dan begitu mengakar dalam kebudayaan Indonesia,
disadari ataupun tidak, turut pula memberikan pengaruh terhadap pola pendidikan
Indonesia

ketika

merdeka

meskipun

dalam

hal

ini

nuansanya

lebih

keindonesiaannya.
Pendidikan di Indonesia juga tidak jarang masuk dalam bidikan politisi. Ketika
orde lama berkuasa, pertentangan ideologi juga menyusupi dalam kurikulum
pendidikan di Indonesia. Sekolah sempat dijadikan wahana ideologisasi, praktek
ini dilakukan pemerintah dengan mendirikan kementerian pendidikan dan
kebudayaan, sehingga menimbulkan pengelolaan pendidikan yang dikotomis yang
selanjutnya berdampak buruk terhadap nasib pendidikan agama yaitu berupa
adanya perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap pemberian anggaran
pendidikan agama, sumber daya manusia dan sarana prasarana. Keadaan yang
diskriminatif sebagai akibat dari kebijakan yang dikotomis ini belum sepenuhnya
dapat diatasi sampai saat ini.

12

DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Rujukan
Abdullah, dan Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka
Setia, 1997.
Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. IV, 1994.
Moeliono, Anton, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.
XII, 1991.
Rosada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Prenada Media, cet. II,
2003.
Rukiati, Enung K. Hj. Dra, dkk, Sejarah Pendidikan Di Indonesia, Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Shadily, John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. VIII,
1980.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
B. Sumber Rujukan Bahasa Asing
Beyer, Landon E., The Curriculum: Problems, Politics, and Possibilities, USA: State
University of New York Press, cet. II, 1998.
Collin, P.H., Dictionary of Politics and Government 3rd Edition, London: Bloomsbury
Publishing, cet. III, 2004.
Freire, Paulo, The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, USA:
Greenwood Publishing, cet. I, 1985.
Gushee, Susan, Politics of Education: Essays from Radical Teacher, USA: State
University of New York Press, 1990.
Kelly, A.V., The Curriculum Theory and Practice, London: Sage Publications, cet. V,
2004.
Klein, M. Frances., The Politics of Curriculum Decision Making, USA: State
University of New York Press, 1991.
Saliba, Jamil, Mu‟jam al-Falsafi, Mesir: dar al-Fikr, cet. VII, 1978.

13