IMPLEMENTASI IJARAH DI LEMBAGA KEUANGAN

IMPLEMENTASI IJARAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (DALAM
PERSPEKTIF FIQIH)
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah: Fiqih Kontemporer
Dosen Pengampu :Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun oleh:
Eva Nur Sa’adah (141262810)
Kelas A

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI METRO
2017

A. Pendahuluan
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah
ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Di zaman sekarang
sudah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan, baik yang bersifat syariah
atau konvensional. Badan usaha yang tumbuh subur di negara ini adalah
perbankan syariah. Sebagai umat muslim kita semua sudah tahu bahwa ijarah itu

adalah diperbolehkan, dan ini merupakan salah satu transaksi dalam muamalah.
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak
dilakukan

masyarakat

untuk

memenuhi

kebutuhan

hidupnya.

Didalam

pelaksanaan ijarah ini yang menjadi objek transaksinya adalah manfaat yang
terdapat pada sebuah zat.
Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari baik
dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar. Oleh sebab itu kita harus

mengetahui apa pengertian dari ijarah, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum
ijarah, manfaat ijarah dan sebagainya mengenai ijarah.
Pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktifitas antara dua
pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau saling
meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong-menolong yang diajarkan
agama dan ijarah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hajat manusia.

1

B. Pengertian Ijarah
Ijarah secara etimologi adalah masdar dari kata (ajara-ya’jiru), yaitu upah
yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Al-ajru berarti upah atau
imbalan untuk sebuah pekerjaan. Al-ajru makna dasarnya adalah pengganti, baik
yang bersifat materi maupun immateri.1
Ijarah adalah akad untuk memberikan pengganti atau kompensasi atas
penggunaan manfaat suatu barang. Ijarah merupakan akad kompensasi
terhadap suatu manfaat barang atau jasa yang halal dan jelas. Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) pasal 20 mendefinisikan ijarah, “Ijarah adalah sewa
barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran”.2
Menurut Fatwa dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan

hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan
kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan
kepada penyewa.3
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan
yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu,
mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk
diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab itu semua
bukan manfaatnya, tetapi bendanya.4
Dalam menanggapi pendapat diatas, Wahhab Al-juhaili mengutip pendapat
Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah
sebagaimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasiq (rusak) sebab tidak ada
landasannya, baik dari Al-Qur’an, As-Sunah, ijma’ maupun qiyas yang sahih..
menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit,
asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap
1 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2016), h. 101.
2


Ibid., h. 102.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2014), h. 138.
4 Mardhiyah Hayati, “Pembiayaan Ijarah Multijasa Sebagai Alternatif Sumber
Pembiayaan Pendidikan (Kajian Terhadap Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 44/DSNMUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa)” dalam jurnal Asas, Vol. 6, No.2, Juli 2014,
(79-85), h. 80.
3

2

ada dan dapat dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk
mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang
diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara
umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit,
tetapi asalnya tetap ada.5
Ijarah dalam perbankan dikenal dengan operational lease, yaitu kontrak
sewa antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa, dimana pihak
penyewa harus membayar sewa sesuai dengan perjanjian, dan pada saat jatuh
tempo, aset yang disewa harus dikembalikan kepada pihak yang menyewakan.
Biaya pemeliharaan atas aset yang menjadi objek sewa menjadi menjadi

tanggungan pihak yang menyewakan.6
Undang-undang Sipil Islam kerajaan Jordan dan Uni Emirat Arab (UEA)
mendefinisan ijarah sebagai berikut: ”Ijarah atau sewa yaitu memberi penyewa
kesempatan untuk mengambil pemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka
waktu tetentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama”.7
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan
perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja
dengan jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada
jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya barang
maupun jasa.8
Akad ijarah ada dua macam, yaitu ijarah atau sewa barang dan sewa
tenaga atau jasa (pengupahan). Sewa barang pada dasanya adalah jual beli
manfaat barang yang disewakan, sementara sewa jasa atau tenaga adalah jual
beli atas jasa atau tenaga yang disewakan tersebut. keduanya boleh dilakukan
bila memenuhi syarat ijarah.9

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 123.
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011), h. 160.
7 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII
Press, 2008), h. 33.

8 Adiwarman A. Karim, Bank Islam..., h. 137.
9 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah..., h. 102.
5

6

3

C. Dasar Hukum Ijarah
Ulama bersepakat bahwa ijarah diperbolehkan. Ulama memperbolehkan
ijarah berdasarkan legitimasi dari Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’.10
1. Al-Qur’an
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”11
b. Firman Allah dalam surat Al-Talaq ayat 6:
“...Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya...”12

c. Firman Allah dalam surat Al-Qur’an Al-Qassas ayat 26-27
“Salah seorang dari kedua orang itu berkata: “Ya bapakku ambillah iya
sebagian orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah (Syu’aib): “Sesungguhnya
aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua
anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun
dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan
kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik.”13
Kedua ayat diatas telah melukiskan dua konteks dimana si
majikan telah menyewa tenaga pekerjaannya dengan bayaran berupa
upah tertentu.14

10

Ibid.., h. 103.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2): 233
12 Al-Qur’an Surat Al-Talaq :6

13 Al-Qur’an Surat Al-Qassas :26-27
14 Muhammad, Sistem dan Prosedur..., h. 33.
11

4

2. Dasar Hukum dari Al-Sunnah
a. Hadist riwayat dari Abdullah bin Umar
“Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: Berikanlah
upah orang yang bekerja sebelum keringatnya mengering”
b. Hadis riwayat Abu Hurairah
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Ada tiga kelompok yang aku
menjadi musuh mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang
bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang
menjual orang yang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan
(mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang mempekerjakan
seseorang, lalu kewajiban itu memenuhi kewajibannya, sedangkan
orang itu tidak membayarkan upahnya”.15
c. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,

“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada
tukang bekam”.16
3. Ijma’
Ijarah juga diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama atau ijma’.17
Pakar-pakar keilmuan dan cendekiawan sepanjang sejarah diseluruh negeri
telah sepakat akan legitimasi ijarah (Mughni Ibnu Qudamah 6/6).18
ijarah juga dilaksanakan berdasarkan qiyas. Ijarah diqiyaskan dengan jual
beli, dimana keduanya sama-sama ada unsur jual beli, hanya saja dalam
ijarah yang menjadi objek jual beli adalah manfaat barang.19
4. Kaidah Fiqh
a.

Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamknnya.

15

Imam Mustofa, Fiqih Muamalah..., h. 104
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani, 2013), h. 118.

17 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah..., h. 105.
18 Muhammad, Sistem dan Prosedur..., h. 34.
19 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah..., h. 105.
16

5

b.

Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas
mendatangkan kemaslahatan.20

5.

Fatwa DSN-MUI dan KHES
Pembiayaan atas dasar akad ijarah (Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000

tentang pembiayaan ijarah dan Fatwa DSN No. 27/ DSN-MUI/III/2002 tentang
al-ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik).21
Praktik ijarah di Indonesia juga mendapat legitimasi dari Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 251-277.22
D. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun Ijarah
Umumnya dalam kitab fiqih disebutkan bahwa rukun ijarah adalah pihak
yang menyewa (musta’jir), pihak yang menyewakan (mu’jir, ijab kabul (sighat),
manfaat barang yang disewakan dan upah. KHES menyebutkan dalam pasal
251 bahwa rukun ijarah adalah: 1) pihak yang menyewa; 2) pihak yang
menyewakan; 3) benda yang diijarahkan; dan 4) akad.23
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain
dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Menurut ulama Mazhab Hanafi rukun ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan
qabul. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijarah itu ada
empat, sebagai berikut:
a. ‘Aqid (orang yang berakad), ‘Aqid adalah orang yang melakukan
perjanjian/transaksi, yaitu orang yang menyewakan (mu’jir) dan orang
yang menyewa (musta’jir).
b. Sighat akad, adalah pernyataan yang menyatakan kerelaan atau
kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau transaksi.

Mila Sartika dan Hendri Hermawan Adinugraha, “Implementasi Ijarah dan IMBT
Pada Bank BRI Syariah Cabang Yogyakarta” dalam Jurnal Economica, Vol VII, Edisi 1,
Mei 2016, (97-116), h. 105.
21 Ahyar Ari Gayo dan Ade Irawan Taufik, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan
Syariah (Perspektif Hukum Perbankan Syariah)”, dalam Jurnal Rechts Vinding Media
Pembinaan Hukum Islam, Vol 1 Nomor 2, Agustus 2012, (257-275), h. 270.
22 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah..., h. 105.
23 Ibid., h. 105
20

6

c. Ujrah (upah), adalah memberi imbalan sebagai bayaran kepada
seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan
tertentu dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah
disepakati bersama.
d. Manfaat.24
Dalam pasal 251 Kompilasi Hukum Ekonomi Syaria, rukun ijarah
adalah:
a. Pihak yang menyewa;
b. Pihak yang menyewakan;
c. Benda yang diijarahkan; dan
d. Akad
Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai
rukun ijarah yaitu:
a. Sigah ijarah yaitu ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah
pihak yang berakad (berkontrak) baik secara verbal atau bentuk lain.
b. Pihak-pihak yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
c. Objek akad ijarah; yaitu:
1) Manfaat barang dan sewa; atau
2) Manfaat jasa dan upah.25
2. Syarat Ijarah
Secara garis besar, syarat ijarah ada empat macam, yaitu syarat
terjadinya akad (syurut al-in’iqad), syarat pelaksanaan ijarah (syurut alnafadz), syarat sah (syurut al-Sihhah), dan syarat mengikat (syurut al-luzum).
adanya syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa ijarah yang
dilakukan akan membawa kebaikan bagi para pihak yang melakukannya.26
Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah dianggap sah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum

24

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah..., h.125
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah..., h. 105
26 Ibid..., h. 106.
25

7

dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai
berikut.27
a.

Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidin), menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanbaliah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh
sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak
kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka
(sebagai buruh), menurut mereka al-ijarah-nya tidak sah. Akan tetapi,
ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang
berakad itu tidak harus mencapai usia balig, tetapi anak yang telah
mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun, mereka
mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz melakukan akad
al-ijarah terhadap harta atau dirinya, maka itu dianggap sah apabila
disetujui oleh walinya.28

b.

Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa
melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah.

c.

Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui secara
sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
Apabila manfaat yang akan menjadi objek al-ijarah itu tidak jelas, maka
akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan
menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat
ditangan penyewa.29

d.

Obyek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung
dan tidak bercacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh
diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya,
apabil seseorang menyewa rumah, maka rumah itu langsung ia terima
kuncinya dan langsung boleh ia manfaatkan. Apabila rumah itu masih
berada di tangan orang lain, maka akad al-ijarah hanya berlaku sejak
rumah itu boleh diterima dan dan ditempati oleh penyewa kedua.30

27

Nasrun Harun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 232.
Ibid., h. 232.
29 Ibid., h. 232.
30 Ibid., h. 233.
28

8

e.

Obyek al-ijarah itu sesuatu yng dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu,
para ulama fiqih sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang
untuk mengajarkan sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang
kain (pembunuh bayaran).

f.

Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya,
menyewa orang untuk melaksanakan salat untuk diri penyewa dan
menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa.31

g.

Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti
rumah, mobil dan hewan tunggangan.

h.

Upah/sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang
bernilai harta.

i.

Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan
manfaat yang disewa. Misalkan, dalam sewa menyewa rumah. Jika
sewa rumah dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka alijarah seperti ini dibolehkan.32
Syarat yang berkaitan dengan manfaat barang atau jasa seseorang ada

delapan yaitu:
a.

Manfaat barang harus mubah atau tidak dilarang;

b.

Manfaat barang atau jasa bisa diganti dengan materi;

c.

Manfaat barang atau jasa merupakan suatu yang berharga dan
bernilai;

d.

Manfaat merupakan suatu yang melekat pada brang yang sah
kepemilikannya;

e.

Manfaat barang objek sewa bukan untuk menghasilkan barang, seperti
menyewa pohon untuk diambil buahnya;

f.

Manfaaat dapat diserahterimakan;

g.

Manfaat harus jelas dan dapat diketahui.33

31

Ibid., h. 233-234.
Ibid., h. 235.
33
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah..., h. 109.
32

9

DAFTAR PUSTAKA
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Jakarta: PT Grafindo Persada,
2016
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2014
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta: UII
Press, 2008
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2013.
Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Mardhiyah Hayati, “Pembiayaan Ijarah Multijasa Sebagai Alternatif Sumber
Pembiayaan Pendidikan (Kajian Terhadap Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No. 44/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa)” dalam jurnal
Asas, Vol. 6, No.2, Juli 2014
Mila Sartika dan Hendri Hermawan Adinugraha, “Implementasi Ijarah dan IMBT
Pada Bank BRI Syariah Cabang Yogyakarta” dalam Jurnal Economica, Vol
VII, Edisi 1, Mei 2016
Ahyar Ari Gayo dan Ade Irawan Taufik, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam Mendorong Perkembangan Bisnis
Perbankan Syariah (Perspektif Hukum Perbankan Syariah)”, dalam Jurnal
Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Islam, Vol 1 Nomor 2, Agustus
2012

10

11