HEGEMONI BUDAYA DALAM NOVEL ROMANTIS LAM

HEGEMONI BUDAYA DALAM NOVEL ROMANTIS
L’AMANT DE LA CHINE DU NORD
KARYA MARGUERITE DURAS: KAJIAN RESEPSI SASTRA
Tania Intan, Ferli Hasanah
Universitas Padjadjaran
Email: tania.intan@unpad.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membincangkan hegemoni di dalam novel
romantis L’Amant de la Chine du Nord karya Marguerite Duras. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis dengan pendekatan
kajian resepsi sastra sinkronis. Teori Gramsci diapropriasi untuk menunjukkan
keberadaan hegemoni di dalam novel tersebut. Dari hasil penelitian terhadap
sejumlah responden, diketahui bahwa novel yang meraih Prix Goncourt pada
tahun 1984 tersebut dianggap memiliki kekuatan tema berkaitan dengan
kompleksitas hubungan lintas budaya, ras, kelas sosial dan usia, yang masih
relevan serta menarik untuk dibaca hingga sekarang. Dari penelitian ini juga
terbukti bahwa L’Amant memperlihatkan adanya hegemoni dalam konteks
masyarakat poskolonial di wilayah Indocina frankofon sekitar tahun 1930.
Kata Kunci:

L’Amant de la Chine du Nord, novel romantis, resepsi sastra,


hegemoni.
Abstract
This study aims to discuss the hegemony in the romantic novel L'Amant de
la Chine du Nord by Marguerite Duras. The research method used is
descriptive with recitation approach of synchronous literature. Gramsci's
theory was adapted to show the existence of hegemony in the novel. From
the results of research on a number of respondents, it is known that the
novel who won Prix Goncourt in 1984 is considered to have the power of
themes related to the complexity of relationships across ages, races and
classes, which are still relevant and interesting to read until now. From this
research also proved that L'Amant shows the existence of hegemony in the
context of post colonial society in the region of Indochine francophone
around 1930.
Keywords: L'Amant, romantic novel, literary receptions, hegemony.
Pendahuluan

Marguerite Duras adalah seorang penulis novel, drama, essay dan
naskah film berkebangsaan Prancis yang lahir di Saigon pada tahun 1914
(1994:8). Menurut Djokosujatno, Zaimar & Indonesiatera (2003:133-134),

perempuan ini merupakan salah satu sastrawan terpenting pada masa paruh
kedua abad XX yang kerap memaparkan cerita pada periode kolonisasi. Ia
meraih kesuksesan terutama berkat karya otobiografisnya L’Amant ‘Kekasih’
dengan meraih Prix Goncourt tahun 1984 dan Prix Ritz-Paris-Hemingway
tahun 1986, yang mengungkapkan pengalaman cinta dan seksual pada
masa remajanya di Indocina tahun 1930. Buku tersebut ia tulis kembali
dengan judul L’Amant de la Chine du Nord tahun 1991. Karya-karya lainnya
yang terkenal di antaranya Moderato Cantabile, Hiroshima Mon Amour, dan
Un Barrage contre le Pacifique. Ia juga memproduksi sejumlah film dari
naskah yang ditulisnya seperti India Song, Le Camion, dan Les Enfants.
Dalam penelitian ini, novel l’Amant de la Chine du Nord, yang
selanjutnya disebut ACN, dikaji dengan menggunakan metode resepsi sastra.
Resepsi sastra mempelajari bagaimana pembaca memberi makna atau
interpretasi

pada

karya

sastra


yang

telah

dibacanya,

berdasarkan

pengalaman-pengalaman hidup dari pembaca itu sendiri. Oleh karena itu,
resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap
sebuah karya sastra yang hasilnya bisa jadi akan berbeda di antara pembaca
yang satu dengan yang lain. Situasi ini disebabkan oleh perbedaan
cakrawala harapan (Femia), yaitu harapan-harapan seorang pembaca
terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207). Cakrawala ini merupakan konsep
awal yang dimiliki pembaca ketika ia membaca sebuah karya sastra.
Harapannya, karya sastra yang dibaca akan sejalan dengan konsep sastra
yang dimiliki pembaca yang masing-masingnya tentu akan berbeda.
Perbedaan ini terjadi karena cakrawala harapan seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi

karya sastra.
Responden pembaca novel ACN untuk penelitian ini merupakan
mahasiswa semester VI Program Studi Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Padjadjaran, yang terdiri dari tujuh orang perempuan dan empat
orang laki-laki. Data yang dihasilkan dari responden ini menjadi data primer,
sedangkan data sekunder terdiri dari sumber-sumber informasi dan literatur
yang berkaitan dengan penelitian (Ritzer, 2011). Teknik yang digunakan
untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini adalah pengisian
angket/kuesioner. Angket terdiri dari empat bagian, yaitu (1) identitas
responden,

(2)

pengetahuan

responden

mengenai


pengarang,

(3)

pemahaman responden mengenai isi cerita novel ACN, dan (4) resepsi
responden

mengenai

hegemoni

dalam

novel

ACN.

Pengisian

angket


dilakukan pada tanggal 20 Maret 2018 di lingkungan kampus.
Untuk menganalisis tema hegemoni dalam novel ACN, akan digunakan
teori dari Antonio Gramsci (1891-1937). Yang membedakan gagasan Gramsci
dengan ide-ide para pemikir Marxis lain seperti Karl Marx, Sigmund Freud,
dan Sigmund Simmel di antaranya adalah; Pertama, ia menerapkan konsep
hegemoni secara lebih luas untuk menunjukkan supremasi satu kelompok
atau

lebih

atas

lainnya

dalam

setiap

hubungan


sosial,

sedangkan

sebelumnya istilah hegemoni hanya menunjuk pada relasi antara proletariat
dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci juga mengkarakterisasikan hegemoni
dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam
sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu
(Kaye, 1983:106-107). Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi
penguasa,

yang

dikuasai

tidak

hanya


harus

merasa

memiliki

dan

menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu, mereka
juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang
dimaksud

Gramsci

dengan

“hegemoni”

atau


“menguasai

dengan

kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensual. Dalam konteks ini,
Gramsci mendudukkan hegemoni sebagai bentuk supremasi satu kelompok
atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain
yang ia namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan
fisik (Sugiono, 1999:31).

Melalui

konsep

hegemoni,

Gramsci

beragumentasi


bahwa

agar

kekuasaan abadi, dibutuhkan setidaknya dua perangkat kerja. Pertama,
perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat
memaksa, atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja
yang bernuansa law enforcement. Perangkat ini biasanya diberlakukan oleh
pranata negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer,
polisi dan bahkan penjara. Kedua, perangkat kerja yang mampu membujuk
masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa
melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga
keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh
pranata masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga masyarakat
seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, dan kelompok-kelompok
kepentingan (interest groups). Kedua level ini pada satu sisi berkaitan
dengan

fungsi


hegemoni

di

mana

kelompok

dominan

menangani

keseluruhan masyarakat, dan di sisi lain berkaitan dengan dominasi
langsung

atau

pemerintahan

perintah
yuridis.

yang

Dengan

dilaksanakan
demikian,

di

seluruh

kekuasaan

negara

hegemoni

dan
lebih

merupakan kekuasaan melalui “persetujuan” (konsensus), yang mencakup
beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas tatanan sosial
politik yang ada. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat
lebih melalui mekanisme konsensus daripada melalui penindasan terhadap
kelas sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui sarana
yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak
langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat itu. Itulah sebabnya
hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar
menilai

dan

memandang

problematika

sosial

dalam

kerangka

yang

ditentukan. Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih menekankan pada aspek
kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satusatunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik secara moral
maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasi
antarnegara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan di antara berbagai

kelas sosial yang ada dalam suatu negara. Singkatnya, hegemoni satu
kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian
bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni itu harus diraih melalui
upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan
bersama bagi seluruh masyarakat.
Untuk

membahas

tema

hegemoni,

dalam

bagian

pembahasan

penelitian ini, pertama-tama akan diuraikan sekuen cerita novel ACN,
kemudian akan dibahas hasil kajian resepsi pembaca terhadap novel ACN,
dan pada bagian terakhir, akan dipaparkan analisis mengenai hegemoni
dalam konteks masa poskolonial Prancis di Indocina tahun 1930an.
Pembahasan
A. Ringkasan Cerita Novel L’Amant de la Chine du Nord
Sekuen-sekuen di bawah ini dikutip dari novel L’Amant de la Chine du
Nord (1991) serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia The Lover (2004).
Cerita dimulai dengan deskripsi mengenai seorang gadis Prancis yang tidak
disebutkan

namanya,

yang

sedang

berada

di

atas

kapal

untuk

menyeberangi sungai Mekong. Di tepi sungai, seorang laki-laki Cina yang
tampan berada di dalam sebuah mobil hitam dan berbusana ala Barat,
memperhatikan gadis itu. Berbekal kemampuannya berbahasa Prancis, lakilaki itu lalu mengajaknya berkenalan dan menawarkan untuk mengantar si
gadis ke tempat tujuannya. Setelah menempuh perjalanan, mereka pun tiba
di SMA Vinh-Long di kota Saigon, sebuah sekolah dan asrama untuk warga
berkulit putih. Pertemuan yang singkat itu ternyata membuat keduanya
saling jatuh hati. Mereka kemudian bertemu kembali dan berkencan di flat
milik laki-laki Cina itu di wilayah Cholen.
Hubungan asmara di antara mereka tidak dapat dilakukan secara
terbuka, karena mereka menyadari pandangan dari lingkungan yang
tentunya tidak akan berpihak pada mereka. Walaupun demikian, laki-laki
Cina itu ingin mengenal keluarga gadis Prancis itu, sehingga pada suatu hari
ia mengundang mereka dalam perjamuan makan di sebuat restoran Cina

terkemuka di Cholen. Ibu gadis Prancis mencurigai adanya hubungan khusus
di antara putrinya dan pria Cina itu. Ia juga telah mendengar laporan dari
sekolah bahwa putrinya itu sering tidak pulang ke asrama karena menginap
di flat pria tersebut. Ibu gadis Prancis pun memutuskan untuk melarang
berjalannya hubungan tidak lazim ini.
Hambatan terhadap percintaan itu juga terjadi dari pihak keluarga lakilaki Cina, yang mengadakan perjodohan dengan seorang perempuan Cina
dari keluarga terkemuka agar keturunan mereka tetap murni. Laki-laki Cina
itu berusaha menolak dan mengungkapkan niatnya untuk menikahi si gadis
Prancis, tapi usahanya itu sia-sia karena perjodohan telah diatur oleh
keluarganya.
Gadis Prancis dan kekasihnya pun bertemu untuk terakhir kalinya
membicarakan kehidupan mereka selanjutnya. Ayah laki-laki Cina memberi
uang kepada ibu gadis Prancis agar mereka pulang ke negara asalnya
dengan kapal. Keluarga itu pun kembali ke Prancis dengan perasaan sedih
dan terluka harga dirinya, namun kesedihan terdalam dialami gadis Prancis
yang menyadari bahwa ia sangat mencintai laki-laki Cina itu.
Sesaat setelah keluarga itu tiba kembali di Prancis, berakhirnya
pendudukan Prancis atas Vietnam dan wilayah Indocina lainnya diumumkan.
Beberapa waktu berlalu, gadis Prancis dan laki-laki Cina itu berkomunikasi
melalui telepon untuk menceritakan kisah hidup mereka masing-masing,
mengenai perkawinan dan perpisahan yang mereka jalani.
B. Kajian Resepsi Pembaca Novel L’Amant de la Chine du Nord
Untuk mengetahui pendapat pembaca mengenai novel ACN, penelitian
dengan kajian resepsi dilakukan terhadap sebelas orang responden yang
terdiri dari tujuh perempuan dan empat laki-laki, pada tanggal 20 Maret
2018. Dosen pengampu mata kuliah Kajian Prosa Prancis (Ferli Hasanah,
M.Hum.) telah meminta mereka untuk membaca novel tersebut pada tanggal
13 Maret 2018, dengan demikian, para responden memiliki waktu satu
minggu untuk menyelesaikan bacaannya.

Berdasarkan hasil pengisian angket, diketahui bahwa menurut (1)
identitasnya, para responden rata-rata berumur 20-21 tahun, yang berarti
telah berada dalam fase dewasa dan dua orang di antaranya mengaku telah
memiliki pasangan. Informasi ini merupakan dasar yang penting bagi peneliti
dalam mengenal situasi psikologis dan sosial responden, karena berdasarkan
hasil paparan sekuensial, diketahui terdapat sejumlah adegan seksual yang
digambarkan dengan cukup eksplisit oleh pengarang. Kesiapan, keterbukaan
dan

kedewasaan

responden

dalam

menanggapi

hal

tersebut

akan

berpengaruh pada cara mereka menjawab pertanyaan dalam angket
penelitian.
Pada bagian (2) berkaitan dengan pengetahuan responden mengenai
pengarang, seluruh responden menyatakan mengenal Marguerite Duras
sebagai pengarang perempuan Prancis yang terkenal. Berkaitan dengan
karya-karyanya,

54%

responden

dapat

menyebutkan

judul-judul

dan

kekhasan penulis tersebut, yaitu kerap menjadikan kehidupannya sebagai
sumber inspirasi dan mengangkat novel-novelnya ke layar perak. Meskipun
cukup mengenal Marguerite Duras, tidak ada responden yang pernah
membaca karyanya selain ACN, namun 54% di antaranya sudah menonton
versi film dari ACN/ L’Amant di Youtube.
Berkaitan dengan pertanyaan angket bagian (3) tentang pemahaman
responden mengenai isi cerita novel ACN, ternyata seluruh responden
tidak/belum menyelesaikan proses pembacaannya karena berbagai alasan
(jenuh membaca, sudah menonton filmnya, sudah tahu akhirnya dari teman,
sulit membacanya atau tidak ada waktu). Kondisi tersebut dapat dipahami
sebagai hambatan membaca yang umum terjadi pada generasi muda saat
ini. Sebanyak 72% responden menyatakan memilih menonton film l’Amant
daripada membaca novel ACN yang merupakan tugas tidak terikat dari
dosen pengampu mata kuliah. Seluruh responden menjawab menemui
kesulitan dalam membaca novel berbahasa Prancis tersebut karena masalah
kompetensi bahasa, tidak adanya nama pada tokoh-tokoh dalam cerita, serta
alur kisah yang lambat. Meskipun tidak menuntaskan bacaannya, 63%

responden memahami bahwa tokoh utama gadis Prancis dalam cerita itu
adalah Marguerite Duras sendiri dan tokoh laki-laki Cina adalah kekasihnya.
Yang menjadi permasalahan utama dalam novel

ACN menurut 54%

responden adalah perbedaan ras, 36% menjawab masalah perbedaan kelas
sosial, dan sisanya menyebutkan bahwa perbedaan umur yang terlalu jauh
menjadi masalah dalam hubungan gadis Prancis dengan laki-laki Cina itu.
Sebanyak 81% responden menyatakan bahwa latar tempat dan waktu cerita
terjadi di wilayah Indocina masa pendudukan Prancis sekitar tahun 1930an.
Secara umum, 81% responden menyatakan meskipun terkendala dalam
menuntaskan bacaannya, mereka menyukai novel ACN, dan sisanya (yang
terdiri dari responden laki-laki) mengakui tidak terlalu menyukai ceritanya
yang lambat.
Menurut 63% responden, kekuatan novel ACN terutama adalah pada
penggambaran mengenai hegemoni yang sangat kuat yang meliputi banyak
aspek sehingga mampu memisahkan hubungan dua orang yang benar-benar
saling mencintai. Hegemoni itulah yang membuat kerumitan karena
berkaitan dengan hal-hal yang sulit diatasi, seperti budaya, ras, kelas, dan
usia. Penggambaran hubungan seksual di antara tokoh gadis Prancis dan
laki-laki Cina yang eksplisit dinilai ‘agak vulgar tapi dapat dipahami karena
novel ini ditulis oleh pengarang Prancis’ merupakan pernyataan dari 72%
responden. Sejumlah 27% responden tidak menganggap novel ACN sebagai
novel romantis karena menurut mereka ‘terlalu banyak sekuen yang
menggambarkan

hubungan

fisik

dibandingkan

dengan

suasana

hati’.

Sebaliknya, dengan genre otobiografis, ACN disebut oleh 54% responden
sebagai novel romantis karena melibatkan dua tokoh utama yang terdiri dari
tokoh perempuan dan tokoh laki-laki yang menghadapi masalah dan
berjuang untuk menyelesaikannya. Meskipun pada akhir cerita mereka tidak
dapat bersama, namun setidaknya mereka tetap saling mencintai.
Sebagai penutup angket bagian (3), seluruh responden menegaskan
bahwa kisah dalam novel ini masih dapat terjadi di masa kini, dan novel ACN
masih cukup relevan untuk dibaca dan dipelajari. Terlebih menurut 81%

responden, ada pesan moral yang kuat yang disampaikan pengarang bahwa
dalam cinta, perbedaan apapun seharusnya menjadi tidak berarti dalam
suatu hubungan percintaan.
Pada bagian (4) angket, yang dibahas adalah resepsi responden
mengenai hegemoni dalam novel ACN. Sebanyak 54% pembaca novel ini
sepakat bahwa di dalam cerita terungkap adanya hegemoni. Perbedaan ras
menjadi masalah utama dalam novel tersebut, dinyatakan oleh 63%
responden memiliki potensi mendatangkan konflik karena berhubungan
dengan pandangan masyarakat dan situasi politik saat itu. Berkaitan dengan
rentang usia yang cukup jauh di antara tokoh gadis Prancis (15 tahun)
dengan

laki-laki

Cina

(27

tahun),

hal

ini

juga

dapat

menimbulkan

problematika tersendiri dalam konteks kedewasaan dan dominasi pria atas
perempuan. Karena perbedaan usia yang cukup jauh itu pula, ada kekuatiran
21% responden pembaca terhadap hubungan seksual yang dilakukan kedua
tokoh tersebut karena menyentuh wilayah pelanggaran hukum (pedofilia),
namun responden lain menyatakan bahwa atas nama kebebasan dan hak
pribadi, dalam budaya Barat hal itu mungkin saja dilakukan.
Sejumlah 81% responden beranggapan bahwa hubungan antaretnis
dan antarusia seperti yang dilakukan tokoh gadis Prancis dan laki-laki Cina
itu bisa saja berjalan dengan baik bila tidak ada faktor lain yang
menghalangi. Ternyata keluarga masing-masing tokoh tidak menyetujui
hubungan mereka, dan menurut 54% responden, hal inilah yang menjadi
penyebab perpisahan di antara keduanya, seperti yang dinyatakan 72%
pembaca bahwa hubungan percintaan yang tidak direstui orang tua tidak
akan berjalan dengan baik. Setidaknya ada tiga penyebab perpisahan kedua
tokoh utama, yaitu (1) penentangan dari keluarga perempuan yang
dinyatakan oleh 27% responden, (2) penentangan dari keluarga laki-laki
menurut 27% responden, dan (3) bagi 45% responden, pola pikir masyarakat
kolonial. Terungkap pula adanya hubungan di antara ketiga penyebab
tersebut, yaitu bahwa penentangan dari keluarga tokoh perempuan maupun
tokoh laki-laki dilatarbelakangi oleh pola pikir masyarakat kolonial, bahwa

anggota komunitas suatu etnis hanya dapat menikahi sesamanya. Orang
kulit putih (gadis Prancis) tidak seharusnya berhubungan dengan orang kulit
berwarna (laki-laki Cina) terlebih mereka berasal dari status sosial berbeda
(miskin >< kaya), dan ada rentang usia yang cukup jauh di antara keduanya
(12 tahun).
Hasil kajian resepsi responden menunjukkan bahwa secara umum,
mereka cukup dapat memahami isi cerita novel ACN dan permasalahan
hegemoni di dalamnya. Bentuk-bentuk hegemoni budaya dalam kisah
tersebut akan dipelajari dengan lebih sistematis pada bagian berikut ini.
C. Hegemoni Budaya dalam Konteks Masa Poskolonial Prancis di
Indocina Tahun 1930an
Ketika terjadi kontak di antara masyarakat dari dua bangsa atau lebih,
dalam satu wilayah pada saat yang sama, aspek budaya yang berpotensi
mengalami hegemoni adalah bahasa. Dalam konteks poskolonial, bahasa
penguasa selalu dianggap memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan bahasa
yang dikuasai karena memuat ide-ide dan konsep yang lebih rumit dan lebih
filosofis. Dengan demikian tindak mengajarkan bahasa penguasa dianggap
meningkatkan harkat atau bahkan ‘memanusiakan’ pihak yang dikuasai. Hal
tersebut ditunjukkan dalam sitasi di bawah ini.
[…] Dan kemudian, Thanh bernyanyi dalam bahasa yang tidak dikenal,
kisah masa kecilnya di perbatasan Siam ketika Ibu menemukannya dan
kembali ke bungalow dengan anak-anaknya yang lain. Untuk
mengajarinya bahasa Prancis, katanya, dan dibersihkan, dan diberi
makan dengan baik, dan hal seperti itu dilakukan setiap hari (hal. 34).
Kuasa yang dimiliki ibu gadis Prancis dilegitimasi melalui sikap pasrah
tokoh Thanh, seorang anak laki-laki Indocina yang diadopsi wanita itu. Ia rela
diajari bahasa Prancis, diberi informasi mengenai gaya hidup, dan diberi
makan dengan baik. Kekuasaan ibu gadis Prancis juga diamini dengan
kesediaan Thanh untuk

mengurus

pekerjaan rumah tangga. Hal ini

menunjukkan adanya relasi simbiosis mutualisme di antara pihak dominan
dan yang didominasi.
Dalam sitasi di atas, disebutkan adanya un langage inconnu ‘bahasa
yang tidak dikenal’ oleh narator, ketika Thanh sedang bernyanyi dalam
bahasa daerahnya (Thai). Stereotipe ini menunjukkan bahwa selain bahasa
Prancis,

bahasa

lain

dianggap

liyan,

cenderung

dianggap

rendah.

Superioritas Barat melalui pengajaran bahasa Prancis pun diterima dengan
tanpa perlawanan oleh Thanh dan memperkuat hegemoni yang berlaku
umum dalam masyarakat Indocina.
Selain menyentuh aspek bahasa, hegemoni budaya juga terjadi dalam
aspek pendidikan. Gadis Prancis tokoh utama novel ACN bersekolah di SMA
Chasseloup-Laubat di Saigon. Sekolah ini milik pemerintah Prancis yang
dilengkapi dengan asrama perempuan Lyautey di Vinh-Long dan dikhususkan
bagi bangsa kulit putih yang tinggal di Indocina. Dia dapat bersekolah di
tempat tersebut karena almarhum ayahnya adalah seorang kulit putih dan
ibunya

seorang

pengajar

SD

untuk

pribumi

(hal.

180).

Situasi

ini

memperlihatkan adanya upaya pembatasan untuk menghindari pembauran
antara orang-orang Barat (Prancis) dari masyarakat lokal, dan di saat yang
sama, sebagian orang Prancis juga ditugasi untuk memberi pendidikan ala
Barat pada masyarakat lokal. Konsensus pun dapat dicapai dalam kondisi
win-win solution ini, semua pihak merasa diuntungkan sehingga hegemoni
yang terjadi tidak dirasa memberatkan salah satu pihak.
Laki-laki Cina, kekasih gadis Prancis, menunjukkan bahwa sekalipun
dirinya adalah orang Timur, dia telah mengenyam pendidikan dari Barat
yang berarti dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding orang
Indocina lainnya. Karena kelebihannya itulah, tokoh laki-laki Cina itu merasa
percaya diri untuk mendekati gadis Prancis yang disukainya.
- Kamu belajar itu semua dari mana?
- Dari ayahku, beliau mengajariku. Dan juga ketika aku di Paris, aku
telah membaca beberapa buku-buku referensi (hal. 92-93).

Keyakinan tokoh laki-laki Cina itu pada sistem pendidikan Barat yang
telah diterimanya menunjukkan adanya sikap menyetujui tanpa paksaan,
sesuai

pandangan

manipulasi

atau

Gramsci

indoktrinasi

bahwa

hegemoni

langsung,

tetapi

dicapai

bukan

berdasarkan

melalui

penalaran

masyarakat.
Selain bahasa dan pendidikan, dominasi kolonial di wilayah yang
dikuasai juga ditunjukkan dalam aspek budaya lain seperti struktur
bangunan serta peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Akibat

pembiasaan,

masyarakat

Indocina

yang

terhegemoni

pun

menganggap biasa keberadaan budaya Barat di ruang hidup mereka. Dalam
novel ACN, misalnya kondisi tersebut diperlihatkan melalui sitasi di bawah
ini.
Itu adalah sebuah kamar tidur kolonial. Remang-remang. Tanpa meja di
sisi ranjang. Hanya ada sebuah bola lampu di plafon. Barang-barang
mebel berupa sebuah ranjang besar yang terbuat dari besi untuk dua
orang, sangat tinggi dan sebuah lemari kaca. Ranjangnya bernuansa
kolonial, dicat vernis hitam, dihiasi dengan bola-bola tembaga di
keempat sudutnya yang keseluruhan berwarna hitam. Dapat dikatakan
seperti sebuah kandang. Ranjangnya tertutup kelambu berwarna putih
salju, menjuntai hingga ke tanah. Tanpa bantal namun dengan
beberapa guling yang keras yang berisi rambut binatang. Tanpa sprei
di atasnya. Kaki-kaki ranjang dari besi tempa dalam tempat berisi air
dan hujan es yang digunakan untuk melindungi diri dari malapetaka
koloni, yaitu nyamuk-nyamuk saat malam di daerah tropis (hal.23).
Deskripsi kamar tidur beserta peralatan yang ada di dalamnya pada
sitasi di atas memperlihatkan barang-barang yang lazim digunakan oleh
masyarakat kolonial Barat, mulai dari meja di samping ranjang, ranjang
besar, bola lampu, hingga kelambu putih. Hal ini diinterpretasikan sebagai
kecerdasan bangsa Barat untuk beradaptasi dalam lingkungan yang buruk di
daerah jajahan. Hegemoni yang muncul dari situasi ini adalah anggapan
bahwa peralatan hidup yang digunakan oleh orang Barat lebih baik daripada
milik orang Timur. Demikian pula keberadaan tempat-tempat hiburan yang
bernuansa Barat di Vietnam, mendorong terjadinya perubahan-perubahan
pada selera seni penduduk, seperti yang ditunjukkan dalam sitasi berikut.

Melintasi daerah ini. Dua atau tiga tempat untuk mengenal daerah ini:
Gedung Pertunjukan Charner, Katedral, Bioskop Éden, sebuah restoran
Cina khusus untuk orang kulit putih, Continental, hotel tercantik yang
ada di dunia (hal. 99).
Dalam perjalanannya dari sekolah di Saigon menuju ke flat sang
kekasih di Cholen, gadis Prancis melintasi beberapa tempat yang dibangun
dengan gaya arsitektur Barat, mencerminkan selera Barat, seperti Gedung
Pertunjukan Charner dan Bioskop Éden yang menampilkan pentas seni dan
memutar film-film karya Barat. Selain itu ada Katedral yang mencerminkan
religiusitas bangsa Barat di daerah koloni, karena mayoritas bangsa Barat
beragama Katolik. Ada pula sebuah hotel yang luar biasa megah, yang
digambarkan oleh narator sebagai hotel tercantik yang ada di dunia. Semua
hal tersebut mengangkat ide kolonial Prancis yang direalisasikan di tanah
jajahan. Sebuah restoran Cina pun dibangun dan dikhususkan bagi
masyarakat kulit putih. Dengan klasifikasi ini terungkap adanya hegemoni
kelas pasar atau tingkatan konsumen dari restoran tersebut. Penamaan
tempat umum di daerah koloni dengan nama-nama tokoh Prancis juga
merupakan suatu bentuk hegemoni dan kebanggaan bangsa penjajah atas
prestasi penguasaan wilayah dan masyarakat yang telah dilakukan. Hal
tersebut merupakan penanda bahwa tempat tersebut telah mereka kuasai
dan memperkuat jejak keberadaan mereka.
Harsojo

(1986:198)

menyatakan

bahwa

sistem

kemasyarakatan

merupakan organisasi sosial, yaitu salah satu aspek budaya yang mengatur
penyusunan

manusia

dalam

berbagai

kelompok

yang

ada

dalam

masyarakat. Dalam novel ACN, sebagai bagian dari organisasi sosial
masyarakat

Barat

di

daerah

koloni,

kehidupan

ibu

gadis

Prancis

mencerminkan hegemoni. Dengan berprofesi sebagai guru di Sadec, ia hidup
miskin bersama anak-anaknya. Ada ambiguitas yang tercermin dalam situasi
dirinya sebagai orang kulit putih, memiliki pekerjaan terhormat, tapi tanpa
harta.
-

Dia adalah seorang ibu yang patah semangat (hal. 15).

Dia bercerita padaku: gadis itu adalah putri seorang direktur di Sekolah
Dasar. Ia memiliki dua orang saudara laki-laki. Mereka sangat miskin.
Ibunya telah bangkrut (hal. 75).
[…] Kita tidak pernah melihat orang-orang kulit putih sejak beberapa
tahun terakhir ini. Orang-orang kulit putih, mereka merasa malu pada
kita (hal. 101).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ibu gadis Prancis mengalami
patah semangat karena kebangkrutan yang dialaminya sepeninggal sang
suami, sehingga orang-orang kulit putih merasa enggan bergaul dengan
keluarga gadis Prancis itu. Ada kritik yang diungkapkan pengarang, bahwa
sebuah keluarga Prancis yang hidup miskin di tanah jajahan tidak dijamin
kesejahteraan hidup warga negaranya. Selain itu, warga Prancis lain yang
ada di Indocina tidak mau mengenal apalagi membantu mereka. Kemiskinan
keluarga

itu

membuat

kelas

sosial

mereka

menurun.

Dampak

dari

kolonialisme ternyata tidak hanya dialami oleh bangsa terjajah, namun juga
bangsa penjajah.
Pengaruh hegemoni karena penurunan kelas sosial ini tidak hanya
dialami sang ibu tapi juga putrinya, si gadis Prancis yang dikucilkan temanteman sekolah, terlebih karena ia bergaul dan berpacaran dengan laki-laki
Cina. Hal tersebut ditunjukkan kutipan berikut:
Gadis itu mengatakan kepadanya kekasihnya tentang isolasi sehingga
ia menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Dia pun tertawa:
- Aku dan teman-teman tidak saling bicara di sekolah karenamu.
- Itu kan ide yang kamu buat sendiri.
- Tidak. Ada juga beberapa keluhan dari ibu guru dan wali murid.
Laki-laki itu tertawa dengannya. Dia bertanya apa dia gadis itu takut
dengan kehidupan di sekitar ini. (hal. 118).
Berdasarkan kutipan dialog di atas, meskipun berusaha tenang, gadis
Prancis itu merasa resah karena hubungan mereka berdua. Teman-temannya
di lingkungan sekolah yang seluruhnya berkulit putih, mulai mengucilkan dan
mengisolasi gadis itu dari pergaulan mereka. Ada perasaan terasing dalam
dirinya karena dijauhi komunitasnya sendiri.

Hubungan di antara gadis

Prancis dan laki-laki Cina dalam konteks kolonial dipahami sebagai hubungan

antara seorang penjajah dan terjajah. Selain kelas, perbedaan ras dan situasi
ekonomi juga berpengaruh pada terlarangnya hubungan mereka, seperti
tampak dalam sitasi berikut ini:
- Itulah sebabnya dia ditolak, ayahmu tidak ingin ada pernikahan?
Laki-laki Cina itu melihat pada kakak laki-laki gadis Prancis dalam
keheningan dan tersenyum:
- Tidak hanya itu saja. Karena dia bukan Cina.
Sang ibu menambahkan:
- Dan dia miskin ... (hal. 133)
Bila pihak keluarga perempuan menolak hubungan itu karena mereka
berbeda ras, keluarga laki-laki Cina menolak hibriditas terjadi karena
perbedaan ras dan situasi ekonomi. Selamanya akan selalu demikian.
Keyakinan

mengenai

keberhasilan
mendorong

superioritas

ditanamkannya
terjadinya

Barat

struktur

penjajahan.

atas

Timur

intelektual

Kekuasaan

menggambarkan

dan

penjajah

filsafat
tidak

yang
hanya

membangun hubungan yang berpengaruh pada kelompok-kelompok sosial
saja, namun juga membangun suatu prestise tersendiri. Prestise memiliki arti
penting dalam praktek pelaksanaan penjajahan secara efektif dan yang
berimbas pada kehidupan sosial masyarakat.
Adanya situasi sosial berlapis yang diciptakan Barat berakibat pada
isolasi yang diterima gadis Prancis itu disebabkan oleh hubungannya dengan
laki-laki Cina, seperti yang dijelaskan dalam sitasi berikut ini:
Laki-laki itu tersenyum bersamanya. Dia bertanya mengapa gadis itu
takut pada lingkungan sosial tersebut. Gadis Prancis itu pun berujar:
- Penyakit sifilis. Wabah pes. Kudis. Kolera. Bangsa Cina.
- Mengapa orang Cina?
- Mereka (orang-orang Cina) bukan kolonial Cina, mereka berada di sini
seperti mereka di Amerika, mereka melakukan perjalanan. Kita tidak
bisa menangkap mereka untuk menjajah, kami juga menyesal. (hal.
119)
Lingkungan

sosial

yang

ditakuti

gadis

Prancis

tersebut

adalah

komunitas masyarakat kulit putih yang mengucilkan dirinya karena bergaul

dengan orang Cina, mereka menganggap bahwa orang Barat lebih tinggi
kedudukan dibanding orang Timur. Penyakit-penyakit yang merebak pada
tahun 1930-an seperti sipilis, pes, kudis, kolera, juga menimbulkan ketakutan
tersendiri bagi masyarakat masa kolonial. Ketika gadis Prancis menyebutkan
des Chinois ‘orang-orang Cina’ sebagai salah satu penyebab ketakukan
mereka, tanpa sadar ia mensejajarkan bangsa itu ke dalam golongan
penyakit yang mengerikan. Hal ini menunjukkan adanya hegemoni tentang
bangsa Timur yang telah tertanam dalam benak bangsa Barat, yang disebut
Orientalisme.

Bangsa

Barat

memandang

des

Chinois

sebagai

suatu

masyarakat yang harus dihindari, terlebih karena kedudukan orang Cina di
Vietnam sebagai pendatang yang tidak dapat dipercaya.
Menurut Said (2004:8), dunia Timur dengan mudahnya dilihat sebagai
masyarakat

yang

korup,

mistis,

bodoh,

eksotis,

dan

penuh

dengan

gambaran-gambaran negatif, yang pada saat itu memperbesar kontruksi
gambaran kebesaran kekuasaan Barat, terutama Prancis. Bangsa Barat
beranggapan bahwa segala sumber penyakit dan hal buruk bersumber dari
Timur. Masyarakat Timur dianggap bodoh karena minimnya pengetahuan
masyarakat dan kepercayaan mereka pada tahyul, sehingga wabah pes
semakin menyebar dan menyerang pribumi karena kawasan pemukiman
tempat tinggal mereka kumuh dan kotor.
Walau mengenal dan mengakui stereotipe tentang orang Timur
sedemikian rupa, ternyata gadis Prancis tidak merasa keberatan untuk
menjalin hubungan dengan laki-laki Cina itu. Ia merasa dirinya sendiri tidak
memenuhi kriteria orang Barat pada umumnya yang superior dalam segala
hal. Gadis muda itu kurus, tubuhnya lemah, dan keluarganya sangat miskin.
Itulah sebabnya ia mengagumi tokoh laki-laki Cina yang berumur jauh lebih
tua darinya, tampak dewasa, dan kaya raya. Namun demikian, mereka tidak
dapat terus berhubungan karena keluarga laki-laki itu telah menjodohkan
putranya dengan gadis Cina. Tindakan ini sejalan dengan pemikiran Ritzer
(2011), bahwa masyarakat etnis Cina dipersatukan oleh ikatan kekerabatan
yang erat dalam bentuk wangsa. Wangsa adalah entitas mandiri, sehingga

tidak banyak berinteraksi dengan komunitas di luar wangsa, termasuk
bangsa Barat.
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis resepsi sastra terhadap responden pembaca
novel ACN, didapatkan informasi bahwa cerita dalam novel romantis tersebut
dapat dipahami dengan baik oleh pembaca dan memuat tema yang menarik.
Kisah cinta di antara tokoh utama, gadis Prancis dengan kekasihnya, laki-laki
Cina, tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya berbagai hambatan
berkaitan dengan hegemoni dalam masyarakat Indocina dan masyarakat
kulit putih. Perbedaan budaya, ras, kelas sosial, dan juga usia di antara
pasangan tersebut menjadi kendala yang menghalangi kelanjutan hubungan
mereka. Namun tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan keduanya
karena mereka menyadari keharusan untuk tunduk pada norma.
Dalam pengertian Gramscian, hegemoni di antara satu kelompok atas
kelompok-kelompok lainnya bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni
harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna
menciptakan pandangan bersama yang disepakati dan diinternalisasi oleh
seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Djokosujatno, A., Zaimar, O. K. S., & Indonesiatera. (2003). Wanita dalam
kesusastraan Prancis. Magelang: Indonesiatera.
Duras, M. (1991). L'Amant de la Chine du Nord. Paris: Gallimard.
Duras, M. (2004). The Lover (S. Ferniati, Trans.). Bandung: Jalasutra.
Femia, J. (1983). Gramsci's Patrimony. British Journal of Political Science,
13(3), 327-364.
Harsojo. (1986). Pengantar Antropologi. Jakarta: Binacitra.
Heryanto, A. (1997). Hegemoni Kekuasaan Versi Gramsci. Forum Keadilan,
II(6).
Kaye, H. J. (1983). [Gramsci's Political Thought: Hegemony, Consciousness,
and the Revolutionary Process, Joseph V. Femia; The Sociology of
Political Praxis: An Introduction to Gramsci's Theory, Leonardo
Salamini].
Contemporary
Sociology,
12(1),
106-107.
doi:
10.2307/2068238

Pradopo, R. D. (2007). Prinsip-prinsip kritik sastra : teori dan penerapannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ritzer, G. D. J. G. (2011). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media
Group.
Said, E. W. (2004). Orientalism. New York: Vintage Books.
Sugiono, M. (1999). Kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia
ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Vircondelet,
A.
(1994).
Duras
:
a
biography.
from
http://books.google.com/books?id=XoxcAAAAMAAJ