MACAM MACAM CARA TRANSAKSI DALAM MODEL U
MACAM-MACAM CARA TRANSAKSI DALAM
MODEL UNCERTAINTY CONTRACT
MAKALAH
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok dalam
Mata Kuliah Ekonomi Syari’ah
Kelas Ilmu Hukum A
Dosen Pengampu :
M. Yazid Affandi
Disusun oleh Kelompok III:
1. M. Zahman
2. Ibnu Rohadi
3. Amimah Nabila
13340007
4. Maman Setiawan
13340012
5. M. Toha Yahya
13340026
6. Nur Anwar
13340029
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, Penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan hingga kini sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul:
Macam – Macam Transaksi dalam Model Uncertainty Contract
Meskipun dengan usaha maksimal penulis merasa makalah ini masih jauh dari pada
sempurna, oleh karena keterbatasan waktu dan tenaga, serta literatur bacaan. Namun dengan
ketekunan, tekad serta rasa keingintahuan akan ilmu pengetahuan, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dosen pembimbing maupun teman-teman
sejawat. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak yang telah penulis
terima tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis susun ini masih jauh dari sempurna
dan masih memerlukan penyempurnaan dan karenanya penulis harapkan agar materi makalah
ini dapat disempurnakan.
Dalam kesempatan ini penulis memohon maaf sebesar-besarnya pada semua pihak
apabila dalam proses penyusunan makalah ini ada kesalahan yang telah penulis lakukan baik
yang sengaja maupun tidak sengaja.
Yogyakarta,
November 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak diberlakukannya Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memosisikan bank Syariah sebagai
bank umum dan bank perkreditan rakyat telah memberikan angin segar kepada sebagian
umat muslim yang anti-riba. Meskipun UU No. 10 Tahun 1998 tersebut tidak secara
eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya,
kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan
pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud
dan kandungan peraturan tersebut. Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 7 Tahun
1992 tidak mencantumkan baik secara implisit maupun eksplisit mengenai konsep syariah
dalam kegiatan perbankan di Indonesia.
Pasal 1 angka 13 tentang Ketentuan Umum dalam Undang - Undang No.10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memberikan
definisi mengenai Prinsip Syariah yang mulanya tidak diatur dalam UU No. 7 Tahun
1992. Meskipun dalam UU No. 10 Tahun 1998 hanya sebatas mengatur Prinsip Syari’ah
saja, tetapi dalam penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1998 memberikan penjelasan
bahwa dengan dimuatnya
peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk
membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip
Syariah.
Pembukaan kantor cabang atau kantor Unit yang melaksanakan prinsip Syariah
tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha secara Konvensional lagi. Pengaturan
lebih lanjut diatur berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 dilakukan dengan Keputusan
Bank Indonesia. Keputusan tersebut antara lain PBI No.9/19/PBI/2007 tentang
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana
serta pelayanan jasa bank syariah dan PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas
3
peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Selain dengan keputusan Bank Indonesia Dewan Fatwa MUI pada tahun 2000 juga
telah mengeluarkan Fatwa berkaitan dengan Prinsip Syariah. MUI sebagai salah satu
lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah untuk
mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait
dengan perbankan syariah. Salah satunya adalah fatwa yang dirumuskan oleh Komisi
Fatwa Dewan Syariah Nasional yaitu Fatwa No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqishah yang masih ada kaitannya juga dengan akas dasarnya terkait
Musyarakah yaitu Fatwa No. 08/DSN-MUI/IV/2000.
Tahun 2003 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 2003 yang menggantikan UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan
perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran
operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem.
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini
muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan
yang signifikan. Pada bab I Pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang
ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan
bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat”
sedangkan Pasal 1 angka 9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Islam melarang praktik muamalah yang mengandung dan dapat menimbulkan
unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim yang tidak sesuai dengan prinsip dasar
ajaran Islam. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba, dan
karena itu hukumnya haram. Oleh karena itu, untuk melayani umat Islam yang begitu
besar jumlahnya, diusahakan adanya sistem perbankan yang beroperasi tidak mengenakan
bunga kepada nasabahnya atau lazim disebut perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Perbuatan akad merupakan suatu perikatan yang ditetapkan melalui ijab dan qabul
berdasarkan prinsip syariat yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Kemudian berdasarkan al-Qur’an Surat al- Baqarah ayat 275 tentang kehalalan jual beli
dan keharaman riba, maka para penulis ekonomi Islam modern sepakat bahwa
reorganisasi dalam lembaga keuangan Islam perlu dilakukan dengan mengacu kepada
prinsip akad jual beli (al-ba’i) dan kemitraan (syirkah).
4
Akad jual beli, dapat dilakukan pembiayaan dengan pengadaan atau pembelian
suatu barang yang dibutuhkan. Barang yang dibeli dari lembaga keuangan oleh nasabah
kemudian digunakan sebagai modal usaha atau keperluan lainnya yang memberikan
manfaat. Dalam rangka menentukan macam dan jenis akad, dapat dilakukan melalui
berbagai sudut pandang. Tetapi berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang
diperolehnya, kontrak/akad dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu Natural certainty
contracts dan Natural Uncertainty contracts.
Natural Certainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Di
lain pihak, Natural Uncertainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak
memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun
waktu (timing)-nya. Tingkat return-nya bisa positif, negatif, atau nol. Yang termasuk
dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak-kontrak investasi ini secara
“sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi
sifatnya tidak fixed and predetermined.1
Natural uncertainty contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak
memberikan kepastiaan pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun
waktu (timing)-nya. Tingkat return-nya bisa positif, negative atau nol. Natural
uncertainly contracts ini dapat diterangkan dalam sebuah teori umum yang diberi nama
teori percampuran.
Sistem yang dipakai untuk membiayai aktivitas bisnis didasarkan pada konsep bagi
hasil (profit and loss sharing) melalui model pembiayaan mudharabah (kemitraan pasif),
dan musyarakah (kemitraan aktif). Jual-beli tangguh dan pinjaman tanpa bunga (Qardh al
Hasan) juga dipakai untuk pembiayaan konsumtif dan transaksi bisnis.
Makalah ini akan berfokus pada Natural uncertainty contracts yang secara umum
dapat dilakukan dengan empat akad utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzhara’ah,
musaqah. Namun prinsip yang paling banyak dipakai adalah musyarakah dan
mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah dipergunakan khusus untuk plantation
financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
Banyak masyarakat umum yang tidak memahami definisi dari Natural uncertainty
contracts dan macam – macam transaksi yang masuk dalam model uncertainty contracts,
banyak juga masyrakat yang menganggap sama antara musyarakah dan mudharabah.
1
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008), hlm. 51-52.
5
Inilah salah satu alasan yang melatar belakangi kami menyajikan makalah ini yaitu untuk
mengetahui secara jelas definisi dari Natural uncertainty contracts, macam – macam
transaksi yang masuk dalam model uncertainty contracts serta syarat-syarat dan rukunrukun serta ketentuan berlaku. Sehingga pembaca dapat mengetahui lebih jelas tentang
Natural uncertainty contracts yang melatar belakangi makalah ini, juga sebagai bahan
tambahan untuk fiqih muamalah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan beberapa rumusan masalah sebagaimana tersebut di bawah ini :
1. Apakah definisi dari Natural uncertainty contracts?
2. Apa saja jenis – jenis atau macam – macam dari Prinsip Natural uncertainty
contracts?
3. Apa saja yang menjadi syarat dan rukun serta ketentuan yang berlaku pada
prinsip Natural uncertainty contracts?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan Permasalahan sebagaimana yang diungkapkan tersebut di atas, maka
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dari Natural uncertainty contracts.
2. Mengetahui jenis – jenis atau macam – macam dari Prinsip Natural uncertainty
contracts.
3. Mengetahui dan memahami syarat dan rukun serta ketentuan yang berlaku pada
prinsip Natural uncertainty contracts.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Natural uncertainty contracts
Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial assets) menjadi satu kesatuan,
dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini,
keuntungan dan kerugian ditangguang bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberiakn
kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalh kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi
ini secara “Sunatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti.
Jadi sifatnya tidak fixed and predetermined.
Kontrak-kontrak perbankan konvensional dengan nasabahnya menyatakan besaran
nilai suku bunga tertentu untuk jangka waktu tertentu. Nilai suku bunga tersebut dapat
diubah dalam periode masa kontrak yang berlaku oleh pihak bank, berdasarkan pada
pertimbangan atas kondisi tingkat suku bunga di pasar dan hal-hal lainnya yang relevan
tanpa mempertimbangkan kondisi aset riil yang dibiayai oleh dana pinjaman dari bank
tersebut.
Di sisi lain, dalam perbankan syariah terdapat dua jenis kontrak bila dibedakan dari
sifat alami pengembalian atas kontrak-kontrak tersebut. Disinilah muncul istilah NCC dan
NUC yaitu Natural Certainty Contracts dan Natural Uncertainty Contracts. Dalam NCC,
terdapat kesamaan dengan sistem bunga dalam hal tingkat pengembaliannya yang dapat
dipastikan oleh pihak bank, yang dalam hal ini dengan cara menentukan margin
keuntungan yang akan diperoleh bank. Oleh karena itu ciri khas perbankan syariah yang
membedakannya dari sistem perbankan konvensional adalah dalam NUC yaitu yang
tingkat pengembaliannya tidak dapat dipastikan oleh bank karena tergantung pada
perkembangan aset di sektor riil yang dibiayai olehnya. NUC yang menjadi ciri khas
perbankan syariah ini juga merupakan jenis kontrak yang sesuai dengan filosofi yang
mendasari sistem ekonomi Islam yaitu memajukan perekonomian ummat melalui
pemberdayaan di sektor riil. Sehingga penulis merasa bahwa tema ini perlu diangkat
dalam sebuah penelitian, melalui pengkhususan salah satu unsur saja dalam NUC di
perbankan syariah ini, yaitu NUC dalam sisi pembiayaan.
Pembedaan antar natural certainty contacts (NCC) dengan Natural Uncertainty
Contacts (NUC) ini sangat penting karena keduanya memiliki karakteristik khas yang
7
tidak boleh dicampuradukan. Bila Natural Certainty Contract di ubah menjadi Uncertain.
Terjadilah gharar (ketidakpastian, unknown to both parties). Dengan kata lain, kita
mengubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Hal ini melanggar “Sunatullah”.
Karena itu dilarang.
Konsep bisnis Natural Uncertainty Contracts, di mana cash flow, timing-nya, dan
tingkat return investasinya tidak dapat dipastikan karena sangat bergantung pada hasil
investasi. Konsep bisnis ini menggunakan Teori Percampuran, yang bila ditinjau dari segi
objek percampurannya, dapat didentifikasi atas 3 jenis, yaitu :
1. Percampuran real asset (ayn) dengan real asset (ayn) = ayn + ayn
2. Percampuran real asset (ayn) dengan financial asset (dayn) = ayn + dayn
3. Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) = dayn+dayn
a. Percampuran ayn dengan ayn :
Percampuran ayn dengan ayn misalnya terjadi pada syirkah ‘abdan, yaitu
seorang tukang batu bekerjasama dengan tukang kayu dalam membangun
sebuah proyek perumahan, keduanya sama-sama menggabungkan tenaga
dan keahliannya. Keuntungan dan kerugian ditnggung bersama berdasarkan
nisbah yang telah ditentukan di awal kerjasama.
b. Percampuran Ayn dengan Dayn.
Percampuran ayn (real asset) dengan dayn (financial asset) dapat berbentuk
syirkah mudharabah dan syirkah wujuh.
Syirkah Al-Mudharabah artinya dua orang yang berserikat mencampurkan
modal mereka. Seorang yang memiliki modal harta (dayn) disebut sahibul
maal dengan seorang yang memiliki modal jasa keahlian atau keterampilan
(ayn) yang disebut mudharib, dirumuskan ( Rp x + A). Keuntungan yang
diperoleh dari usaha kerjasama ini dibagi berdasarkan nisbah, Sedangkan
kerugian usaha hanya dibebankan kepada sahibul maal. Mudharib hanya
menderita kerugian jasa (tenaga dan keahlian tidak mendapat imbalan).
Syirkah Wujuh pihak yang berserikat mencampurkan modal dengan
reputasi atau nama baik seseorang ( Rp x + *F). Pemilik modal memperoleh
keuntungan bagi hasil dengan pemilik modal jasa berupa reputasi baik
berdasarkan nisbah yang telah ditentukan di awal kerja sama, bila usaha
mengalami kerugian maka kerugian hanya dibebankan kepada sahibul
maal.
Demikian juga pada Al-Muzara’ah, Al-Mukhabarah dan Al-
Musaqat = perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap.
8
c. Percampuran dayn dengan dyan.
Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) dapat
berbentuk syirkah mufawadah, syirkah ‘inan.
Syirkah Mufawadah artinya dua pihak atau lebih yang berserikat
mencampurkan modal yang sama jumlahnya, masing-masing memperoleh
keuntungan atau bagi hasil yang sama besarnya dan kerugian juga sama
besarnya, dirumuskan ( Rp x + Rp x).
Syirkah inan pihak yang berserikat mencampurkan modal yang tidak sama
jumlahnya, dirumuskan (Rp x + Rp Y), keuntungan bagi hasil tidak sama
besarnya berdasarkn nisbah dan kerugian juga secara proporsional dengan
jumlah modal yang disetorkan
Syirkah dayn dengan dayn lainnya adalah financial asset non uang (surat
berharga) yang digabungkan, misalnya saham PT x dengan saham PT Y.2
B. macam – macam transaksi Natural uncertainty contracts
Natural uncertainty contracts yang secara umum dapat dilakukan dengan empat
akad utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzhara’ah, musaqah. Namun prinsip yang
paling banyak dipakai adalah musyarakah dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan
musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh
beberapa bank islam.
1. Musyarakah
a. Pengertian
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti
mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain
sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab
berasal
dari
kata
syarika
(fi’il
madhi),
yashruku
(fi’il
mudhari’)
syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
syarikat (kamus al Munawar) Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti
mencampurkan dua bahagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu
bagian dengan bagian lainnya.3
Musyarakah atau shirakah dapat didefinisikan sebagai bentuk kemitraan di
mana dua atau lebih orang menggabungkan modal atau usaha mereka, untuk
berbagi rugi laba, dan di mana mereka memiliki hak dan tanggung jawab yang
2
3
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam …, hlm. 70.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuanangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), hlm. 67
9
sama.4 Menurut Zuhaily, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk usaha tertentu yang masing masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan kesempatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.5
Sedangkan Pasal 19 huruf c UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah memberikan definisi tentang “Akad musyarakah” adalah Akad kerja
sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masingmasing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan
porsi dana masing-masing.6 Sementara itu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah meberikan definisi
pembiayaan musyarakah sebagai pembiayaan yang berdasarkan akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing
pihak memberikan konstribusi dana dengan ketetuan bahwa keuntungan dan
resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa
dana, barang perdagangan (trading assets), kewiraswastaan (entrepreneurship),
kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible
assets seperti hak paten atau goodwill, kepercayaan / reputasi (creditworthiness)
dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum
seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa
batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
b. Landasan Hukum
1) Firman Allah QS. Shad [38]: 24:
…
…
“…dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan Amat sedikitlah mereka ini.."
2) Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
...
4
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik, cet. ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 118.
5
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan
Sosial, Cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 151
6
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf c Undang – Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah
10
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
3) Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Allah swt. Berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika
salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud,
yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)
4) Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamain
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dak kaum
muslilin terikat dngan syarat-syarat mereka kecuali syarat yag mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”7
5) Kaidah Fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dialakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
6) Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
7) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah
c. Jenis – Jenis Musyarakah
Secara garis besar, Zuhaily menyatakan musyarakah dibagi menjadi dua
jenis, yakni musyarakah kepemilikan dan musyarakah akad. Syirkah kepemilikan
tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan
satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua
orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang
dihasilkan asset tersebut. Musyarakah akad tercipta karena kesepakatan dua orang
atau lebih yang menyetujui bahwa tiap tiap orang dari mereka memberikan
kontribusi dari modal musyarakah, merekapun sepakat berbagi keuntungan dan
7
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah
11
kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi syirkah al inaan, al mufadhah, al
amail, dan syirkah al wujud.8
Pembagian syirkah yang disampaikan oleh Zuhaily tersebut senada dengan
syirkah yang disampaikan oleh Firdaus bahwa para ulama membagi syirkah ke
dalam bentuk berntuk di jelaskan di bawah ini:9
1) Perserikatan dalam pemilikan (syirkah al-amlak), yaitu dua orang atau
lebih yang memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad
syirkah. Musyarakah dalam kategori ini ada dua bagian, yaitu:
a) Syirkah ihktiar adalah perserikatan yang muncul akibat tindakan
hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat
membeli suatu barang atau mereka menerima hibah, wasiat atau
wakaf dari orang lain. Mereka menerima pemberian hibah, wakaf
ataupun wasiat tersebut dan menjadi milik mereka secara
berserikat.
b) Syirkah jahar (Ijbariyah) adalah sesuatu yang ditetapkan menjadi
milik dua orang atau lebih tanpa kehendak. Artinya, perserikatan
itu terjadi secara paksa, bukan atas keinginan orang yang
berserikat. Contoh, menerima warisan dari orang yang meninggal.
2) Syirkah al-uqud adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan. Akad tersebut
tercipta karena kesepakatan dua orang atau lebih yang setuju bahwa tiap
orang diri mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakah
berbagi keuntungan dan kerugian.
Kerjasama dalam kategori ini terbagi menjadi: al-inan, mufawadhah,
a’mal, dan wujud. Para ulama berbeda pendapat tentang mudharabah,
apakah ia termasuk musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap
mudharabah termasuk kategori musyarakah, karena memenuhi rukun dan
syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah. Ulama lain menganggap bahwa
mudharabah tidak termasuk sebagai musyarakah. Syirkah akad dibedakan
dengan penjelasan di bawah ini.
a) Kontrak antara dua orang atau lebih (syirkah al-‘inan) adalah kontrak
setiap pihak memberikan suatu posisi dari keseluruhan dana dan
8
9
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah …, hlm. 153
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah ..., hlm. 153-154
12
berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan
dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka.Namun
porsi masing masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi
hasil, berbeda sesuai dengan kesepakatan mereka. Semua ulama
membolehkan jenis musyarakah ini.
Mazhab Hanafi dan Hambali mengizinkan salah satu dari
alternatif berikut. Pertama, keuntungan dari kedua pihak dibagi
menurut porsi dana mereka. Kedua, keuntungan bias dibagi secara
sama tapi kontribusi dana masing masing pihak mungkin berbada.
Ketiga, keuntungan bisa dibagai secara tidak sama tapi dana yang
diberikan sama. Ibnu Qudamah mengatakan, “Pilihan dalam
keuntungan dibolehkan dengan adanya kerja, karena seorang dari
mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari yang lain dan ia
mungkin lebig kuat ketimbang yang lainnya dalam melaksanakan
pekerjaan. Karenannya, ia diizinkan untuk menuntut lebih dari
bagian keuntungan.nya”. Mazhab Maliki dan Syafi’i menerima jenis
musyarakah ini dengan syarat keuntungan dan kerugian dibagi secara
proporsional sesuai dana yang ditanamkan. Dalam pandangan
mereka, keuntungan jenis musyarakah ini dianggap keuntungan
modal.
b) Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang
atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat
utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana yang
diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh
masing masing pihak. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan
musyarakah jenis ini tetapi memberikan banyak batasan terhadapnya.
Yang paling penting dalam perserikatan ini, baik modal, kerja,
keuntungan meupun kerugian, mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Sementara menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak
membolehkan akad seperti ini, karena sulit untuk menetapkan prinsip
kesamaan modal, kerja, dan keuntungan dalam perserikatan ini.
13
c) Syirkah a’mal (Abdan) adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi
kentungan dari pekerjaan. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali
membolehkan musyarakah ini, baik kedua orang tersebut satu profesi
maupun tidak. Mereka merujuk kapada bukti bukti termasuk
persetujuan terbuka dari Nabi. Lagipula hal ini didasarkan kepada
perwakilan yang juga dibolehkan. Dalam musyarakah, musyarakah
jenis ini telah lama dipraktekkan.
d) Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang tidak
memiliki modal sama sekali, tetapi mempunyai keahlian dalam
bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan,
dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai
yang disediakan oleh tim mitra. Jenis musyarakah ini tidak
memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan
jaminan tersebut. Maka, kontrak ini pun lazim disebut sebagai
musyarakah piutang.
Para ulama memperselisihkan perserikatan seperti ini, ulama
Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh,
karena masing masing pihak bertindak sebagai walidari pihak lain,
sehingga pihak lain tersebut terikat pada transaksi yang telah
dilakukan oleh mitra serikatnya. Akan tetapi, menurut ulama
Malikiyah, Syafi’iah, Zahidiyah, dan Syi’ah Imamiyah, perserikatan
ini tidak sah dan tidak diperbolehkan. Alasannya, objek dalam
perserikatan ini adalah modal dan kerja, sedangkan dalam syirkah alwujud, baik modal maupun kerja yang diadakan tidak jelas.
e) Kontrak kerja sama antara pemilik modal dan seorang pekerja untuk
mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu
(Syirkah al-mudharabah) keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan
bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggungan
pemilik modal. Menurut mazhab Hanabilah, mudharabah termasuk
salah satu bentuk perserikatan. Tetapi menurut jumhur ulama tidak
14
memasukkan transaksi mudharabahsebagai salah satu bentuk
perserikatan, karena akad ini merupakan akad yang tersendiri.10
2. Mudharabah
a. Pengertian
Pada umumnya kata mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti
memukul atau berjalan. Pengertian dari memukul atau berjalan diatas yang
maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan
usahanya11.
Menurut istilah syarak, mudharabah berarti akad antara dua pihak untuk
bekerja sama dalam usaha perdagangan di mana salah satu pihak memberikan
dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan
dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.12
Pasal 19 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
memberikan dua makna tentang Mudharabah yaitu pada huruf b dan huruf c. Pasal
19 huruf b memberikan definisi tentang “Akad mudharabah” dalam menghimpun
dana sebagai Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau
Nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank
Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan
usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad. Sedangkan Pasal
19 huruf c memberikan definisi “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan sebagai
Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau
Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil,
mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad,
sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak
kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.13
Sementara
itu
Fatwa
Dewan
Syariah
Nasional
Nomor:
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) mendefinisikan
pembiayaan mudharabah sebagai akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Lembaga Keuangan Syari’ah)
10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah …, hlm. 92-93
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, (Yogyakarta: akademi manajemen perusahaan
YKPN. 2005.), hlm 102.
12
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, cet.ke-3, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 11.
13
Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah
11
15
menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang populer dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama
antara dua pihak atau lebih dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam
paduan kontribusi 100% modal kas dari shahibul maal dan keahlian dari
mudharib. Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal
dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggungjawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat
kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal. Perbedaan
yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi
atas manajemen dan keuangan atau salah satu di antara itu. Dalam mudharabah,
modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal
dari dua pihak atau lebih.
Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan
prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan
sekurang-kurangnyaoleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan
menyediakan modal, disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan
bertanggung jawab atas pengelolaan dana / menejemen usaha halal tertentu,
disebut mudhorib14.
b. Landasan Hukum
1) Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
…
…
“… Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …”
2) Firman Allah QS. al-Nisa [4]: 29:
…
14
Makhalul ilmi SM, Teori Dan Praktik Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: UII press
Yogyakarta, 2002), hlm. 32.
16
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…”
3) Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas
didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari
Ibnu Abbas)
4) Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidah secara
tunai, muqaradhah (Mudharabah), dan mecampur gandum dengan jemawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majah dari
Shuhaib).
5) Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
6) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip
Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syari’ah
c. Jenis-jenis Mudharabah
1) Mudharabah Muthlaqah, merupakan akad perjanjian antara dua pihak yaitu
shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola), yang mana
shahibul maal menyerahkan sepenuhnya atas dana yang diinvestasikan kepada
mudharib untuk mengelola usahanya sesuai dengan prinsip syariah.
17
2) Mudharabah Muqayyadah, merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak
yang mana pihak pertama sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan pihak
kedua sebagai pengelola dana (mudharib). Shahibul maal menginvestasikan
dananya kepada mudharib, dan memberikan batasan atas penggunaan dana
yang diinvestasikannya. Batasannya antara lain tentang :
a) Tempat dan cara berinvestasi
b) Jenis investasi
c) Objek investasi
d) Jangka waktu
Mudharabah Muqayyadah terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mana mudharib
ikut menanggung resiko atas kerugian dana yang diinvestasikan
oleh shahibul maal.
b) Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mana pihak
shahibul maal memberikan batasan yang jelas, baik batasan tentang
proyek yang diperbolehkan, jangka waktu, serta pihak pelaksana
pekerjaan.15
3. Muzara’ah
Definisi Muzara’ah adalah menyerahkan tanah kepada seseorang yang
menanaminya, atau menyerahkan tanah dan bibit kepada orang yang menanam dan
merawatnya di tanah tersebut, dengan memberikan kepadanya sebagian hasil yang
diperoleh sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya. Terkadang bagian yang
disepakati adalah untuk pemilik tanah, sedangkan sisanya adalah untuk si pekerja.16
4. Musaqah
Definisi musaqah menurut para ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah
atau belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yang menanam dan
merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah).
Lalu pekerja mendapatkan bagian yang disepakati dari buah yang dihasilkan,
sedangkan sisanya untuk pemiliknya.17
C. Syarat, rukun, dan ketentuan yang berlaku pada prinsip Natural uncertainty contracts
15
Ismail, Perbankan Syariah, cet.ke-1, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 86-88.
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet.ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 477.
17
Ibid., hlm. 476.
16
18
1. Musyarakah
a. Rukun18
1) Ucapan (Sighah) penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul).
2) Dua atau lebih pihak yang berakad (‘aqidani).
3) objek aqad yang disebut juga ma’qud alaihi, yang mencakup modal atau
pekerjaan.
b. Syarat dan Ketentuan
1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengadakan kontrak (akad) antara lain
yaitu, penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
kehendak atau tujuan kontrak (akad); penerimaan penawaran dilakukan pada
saat
kontrak;
dan
akad
dapat
dituangkan
secara
tertulis,
melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara korespondensi modern.
2) Kecakapan para pihak yang berkontrak dengan memperhatikan beberapa hal
seperti, orang yang memberikan dan diberikan perwakilan Kompeten dalam
bidangnya dan memiliki kewenangan untuk itu; perlu diperhtikan pula bahwa
detiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3) Objek akad (modal, kerja, keuntugan dan kerugian)19
a) Modal, beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan modal
dalam akada musyarakah antara lain; modal yang diberikan darus uang
tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal ini dapat terdiri dari
aset perdagangan yang harus dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para
mitra. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan
Syariah danpat meminta jaminan.
b) Kerja, Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah
merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak
dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya. Namun dalam melaksanakan kerja dalam
musyarakah setiap mitra atas nama pribadi dan wakil dari mitranya
18
19
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah…, hlm. 155
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah
19
sehingga kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus
dijelaskan dalam kontrak.
c) Keuntungan, dalam akad musyarakah keuntungan harus dikuantifikasi
dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu
alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah; Setiap keuntungan
mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan
dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra. Namun, jika terjadi keuntungan melebihi jumlah tertentu,
seorang mitra dapat menguulkan kelebihan itu dinerikan kepadanya dan
sitem pempagian keuntungan ini harus dituangkan dengan jelas dalam
akad.
d) Kerugian dalam akad musyarakah harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
2. Mudharabah
a. Rukun dan Syarat
Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya yang memiliki tiga rukun:
1) Dua Pihak yang melakukan Akad20
Kedua pihak ini adalah investor dan pengelola modal. Keduanya
disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas.Yaitu orang yang tidak dalam
keadaan bangkrut terlilit utang.Orang yang gila, orang yang bangkrut terlilit
utang, orang idiot, semuanya tidak boleh melakukan transaksi ini. Tidak ada
larangan melakukan akad atau kerja sama dengan orang yang non muslim.
Dengan syarat orang non muslim tersebut dapat dipercaya dan keduanya
menghindari yang namanya riba.
2) Objek Akad
Objek akad dalam kerja sama bagi hasil ini tidak lain adalah modal, jenis
usaha, dan keuntungan.
a) Modal
Dalam modal harus disyaratkan harus merupakan alat tukar
misalnya, uang, emas, perak.Penanaman modal dalam hal ini tidak
boleh dilakukan menggunakan barang, kecuali bila disepakati untuk
20
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq,
2004), hlm. 170.
20
menetapkan nilai harganya dengan uang.Sehingga itulah yang
menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha.
b) Jenis Usaha
Asal dari usaha dalam bisnis bagi hasil (penanaman modal) adalah di
bidang perniagaan atau bidang terait lainnya. Jenis usaha dalam
islam tidak boleh menjual barang-barang haram berdasarkan
kesepakatan ulama, seperti jual beli bangkai, darah, daging babi, dan
minuman keras21.
c) Hukum-hukum Laba (Keuntungan)
Keuntungan dalam sistem penanaman modal (bagi hasil) adalah
hendaknya diketahui secara jelas.Hendaknya dalam transaksi
ditegaskan prosentase tertentu bagi investor dan pengelola modal 22.
Beberapa kode etik sehubungan dengan keuntungan:
1) Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak;
2) Keuntungan usaha juga sebagai cadangan modal usaha;
3) Pengelola hanya dapat mengambil keuntungan melalui
pembagian;
4) Boleh dilakukan pembagian keuntungan awal, namun
nantinya dihitung pada perhitungan akhir23.
3) Pelafalan perjanjian (ijab dan qobul) atau offer and acceptence. Shighat akad
(transaksi), yaitu adanya ijab dan qobul.Pelafalan ini dapat dilakukan dengan
segala cara yang dapat mengindikasikan ke arah terlaksananya perjanjian,
baik berupa ucapan tindakan24.
3. Muzaraah
a. Rukun
Rukun muzara’ah adalah :
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Obyek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
4) Ijab qabul
b. Syarat
21
22
23
24
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...., hlm. 173.
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...,hlm. 176.
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...,hlm. 194.
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...,hlm.189.
21
Adapaun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut
orang yang berakad (telah baliq dan berakal serta bukan orang yang murtad),
benih yang akan ditanam (harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,
benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan), tanah yang dikerjakan
(boleh digarap dan menghasilkan, batas-batasnya jelas, dan diserahkan
sepenuhnya kepada petani untuk digarap), hasil yang akan dipanen (pembagian
hasil harus jelas, benar-benar milik bersama, ditentukan setengah, sepertiga, atau
seperempat sejak awal dan tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara
mutlak), dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad (harus jelas,
penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat).25
4. Musaqah
a. Rukun
1) Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
2) Tanah yang dijadikan obyek musaqah
3) Jenis usaha yang akan dilakuka petani penggarap
4) Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah
5) Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
b. Syarat
1) Kedua belah pihak yang bertransaksi telah akil balig dan berakal.
2) Obyek harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad
berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4) Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama,
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
5) Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan
transaksi sewa-menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian.26
25
26
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet.ke-2, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 278-279.
Ibid., hlm. 283-285.
22
BAB IV
Kesimpulan
Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial assets) menjadi satu kesatuan, dan
kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini,
keuntungan dan kerugian ditangguang bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberiakn
kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya.
Yang termasuk dalam kontrak ini adalh kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini
secara “Sunatullah” (by their nature)tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi
sifatnya tidak fixed and predetermined.
Natural uncertainty contracts yang secara umum dapat dilakukan dengan empat akad
utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzhara’ah, musaqah. Namun prinsip yang paling
banyak dipakai adalah musyarakah dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah
dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa
bank islam.
23
Daftar Pustaka
A. Buku
Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, cet.ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Al-Mushih, Abdullah, dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta :
Darul Haq, 2004.
Azwar Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, cet.ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ilmi SM, Makhalul, Teori Dan Praktik Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, Yogyakarta:
UII press Yogyakarta, 2002.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, cet.
ke-1, Jakarta: Kencana, 2008.
Ismail, Perbankan Syariah, cet.ke-1, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 86-88.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, cet.ke-3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, Yogyakarta: Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN, 2005.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi,
Bisnis, dan Sosial, Cet. 1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuanangan Syariah, Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori ke praktek, Jakarta: Gema Insani
perss, 2001.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang – Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh)
24
MODEL UNCERTAINTY CONTRACT
MAKALAH
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok dalam
Mata Kuliah Ekonomi Syari’ah
Kelas Ilmu Hukum A
Dosen Pengampu :
M. Yazid Affandi
Disusun oleh Kelompok III:
1. M. Zahman
2. Ibnu Rohadi
3. Amimah Nabila
13340007
4. Maman Setiawan
13340012
5. M. Toha Yahya
13340026
6. Nur Anwar
13340029
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, Penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan hingga kini sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul:
Macam – Macam Transaksi dalam Model Uncertainty Contract
Meskipun dengan usaha maksimal penulis merasa makalah ini masih jauh dari pada
sempurna, oleh karena keterbatasan waktu dan tenaga, serta literatur bacaan. Namun dengan
ketekunan, tekad serta rasa keingintahuan akan ilmu pengetahuan, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dosen pembimbing maupun teman-teman
sejawat. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak yang telah penulis
terima tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis susun ini masih jauh dari sempurna
dan masih memerlukan penyempurnaan dan karenanya penulis harapkan agar materi makalah
ini dapat disempurnakan.
Dalam kesempatan ini penulis memohon maaf sebesar-besarnya pada semua pihak
apabila dalam proses penyusunan makalah ini ada kesalahan yang telah penulis lakukan baik
yang sengaja maupun tidak sengaja.
Yogyakarta,
November 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak diberlakukannya Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memosisikan bank Syariah sebagai
bank umum dan bank perkreditan rakyat telah memberikan angin segar kepada sebagian
umat muslim yang anti-riba. Meskipun UU No. 10 Tahun 1998 tersebut tidak secara
eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya,
kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan
pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud
dan kandungan peraturan tersebut. Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 7 Tahun
1992 tidak mencantumkan baik secara implisit maupun eksplisit mengenai konsep syariah
dalam kegiatan perbankan di Indonesia.
Pasal 1 angka 13 tentang Ketentuan Umum dalam Undang - Undang No.10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memberikan
definisi mengenai Prinsip Syariah yang mulanya tidak diatur dalam UU No. 7 Tahun
1992. Meskipun dalam UU No. 10 Tahun 1998 hanya sebatas mengatur Prinsip Syari’ah
saja, tetapi dalam penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1998 memberikan penjelasan
bahwa dengan dimuatnya
peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk
membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip
Syariah.
Pembukaan kantor cabang atau kantor Unit yang melaksanakan prinsip Syariah
tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha secara Konvensional lagi. Pengaturan
lebih lanjut diatur berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 dilakukan dengan Keputusan
Bank Indonesia. Keputusan tersebut antara lain PBI No.9/19/PBI/2007 tentang
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana
serta pelayanan jasa bank syariah dan PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas
3
peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Selain dengan keputusan Bank Indonesia Dewan Fatwa MUI pada tahun 2000 juga
telah mengeluarkan Fatwa berkaitan dengan Prinsip Syariah. MUI sebagai salah satu
lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah untuk
mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait
dengan perbankan syariah. Salah satunya adalah fatwa yang dirumuskan oleh Komisi
Fatwa Dewan Syariah Nasional yaitu Fatwa No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqishah yang masih ada kaitannya juga dengan akas dasarnya terkait
Musyarakah yaitu Fatwa No. 08/DSN-MUI/IV/2000.
Tahun 2003 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 2003 yang menggantikan UU No.23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan
perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran
operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem.
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini
muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan
yang signifikan. Pada bab I Pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang
ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan
bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat”
sedangkan Pasal 1 angka 9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Islam melarang praktik muamalah yang mengandung dan dapat menimbulkan
unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim yang tidak sesuai dengan prinsip dasar
ajaran Islam. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa bunga bank itu adalah riba, dan
karena itu hukumnya haram. Oleh karena itu, untuk melayani umat Islam yang begitu
besar jumlahnya, diusahakan adanya sistem perbankan yang beroperasi tidak mengenakan
bunga kepada nasabahnya atau lazim disebut perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Perbuatan akad merupakan suatu perikatan yang ditetapkan melalui ijab dan qabul
berdasarkan prinsip syariat yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Kemudian berdasarkan al-Qur’an Surat al- Baqarah ayat 275 tentang kehalalan jual beli
dan keharaman riba, maka para penulis ekonomi Islam modern sepakat bahwa
reorganisasi dalam lembaga keuangan Islam perlu dilakukan dengan mengacu kepada
prinsip akad jual beli (al-ba’i) dan kemitraan (syirkah).
4
Akad jual beli, dapat dilakukan pembiayaan dengan pengadaan atau pembelian
suatu barang yang dibutuhkan. Barang yang dibeli dari lembaga keuangan oleh nasabah
kemudian digunakan sebagai modal usaha atau keperluan lainnya yang memberikan
manfaat. Dalam rangka menentukan macam dan jenis akad, dapat dilakukan melalui
berbagai sudut pandang. Tetapi berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang
diperolehnya, kontrak/akad dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu Natural certainty
contracts dan Natural Uncertainty contracts.
Natural Certainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Di
lain pihak, Natural Uncertainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak
memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun
waktu (timing)-nya. Tingkat return-nya bisa positif, negatif, atau nol. Yang termasuk
dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak-kontrak investasi ini secara
“sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi
sifatnya tidak fixed and predetermined.1
Natural uncertainty contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak
memberikan kepastiaan pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun
waktu (timing)-nya. Tingkat return-nya bisa positif, negative atau nol. Natural
uncertainly contracts ini dapat diterangkan dalam sebuah teori umum yang diberi nama
teori percampuran.
Sistem yang dipakai untuk membiayai aktivitas bisnis didasarkan pada konsep bagi
hasil (profit and loss sharing) melalui model pembiayaan mudharabah (kemitraan pasif),
dan musyarakah (kemitraan aktif). Jual-beli tangguh dan pinjaman tanpa bunga (Qardh al
Hasan) juga dipakai untuk pembiayaan konsumtif dan transaksi bisnis.
Makalah ini akan berfokus pada Natural uncertainty contracts yang secara umum
dapat dilakukan dengan empat akad utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzhara’ah,
musaqah. Namun prinsip yang paling banyak dipakai adalah musyarakah dan
mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah dipergunakan khusus untuk plantation
financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
Banyak masyarakat umum yang tidak memahami definisi dari Natural uncertainty
contracts dan macam – macam transaksi yang masuk dalam model uncertainty contracts,
banyak juga masyrakat yang menganggap sama antara musyarakah dan mudharabah.
1
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008), hlm. 51-52.
5
Inilah salah satu alasan yang melatar belakangi kami menyajikan makalah ini yaitu untuk
mengetahui secara jelas definisi dari Natural uncertainty contracts, macam – macam
transaksi yang masuk dalam model uncertainty contracts serta syarat-syarat dan rukunrukun serta ketentuan berlaku. Sehingga pembaca dapat mengetahui lebih jelas tentang
Natural uncertainty contracts yang melatar belakangi makalah ini, juga sebagai bahan
tambahan untuk fiqih muamalah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan beberapa rumusan masalah sebagaimana tersebut di bawah ini :
1. Apakah definisi dari Natural uncertainty contracts?
2. Apa saja jenis – jenis atau macam – macam dari Prinsip Natural uncertainty
contracts?
3. Apa saja yang menjadi syarat dan rukun serta ketentuan yang berlaku pada
prinsip Natural uncertainty contracts?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan Permasalahan sebagaimana yang diungkapkan tersebut di atas, maka
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dari Natural uncertainty contracts.
2. Mengetahui jenis – jenis atau macam – macam dari Prinsip Natural uncertainty
contracts.
3. Mengetahui dan memahami syarat dan rukun serta ketentuan yang berlaku pada
prinsip Natural uncertainty contracts.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Natural uncertainty contracts
Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial assets) menjadi satu kesatuan,
dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini,
keuntungan dan kerugian ditangguang bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberiakn
kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalh kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi
ini secara “Sunatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti.
Jadi sifatnya tidak fixed and predetermined.
Kontrak-kontrak perbankan konvensional dengan nasabahnya menyatakan besaran
nilai suku bunga tertentu untuk jangka waktu tertentu. Nilai suku bunga tersebut dapat
diubah dalam periode masa kontrak yang berlaku oleh pihak bank, berdasarkan pada
pertimbangan atas kondisi tingkat suku bunga di pasar dan hal-hal lainnya yang relevan
tanpa mempertimbangkan kondisi aset riil yang dibiayai oleh dana pinjaman dari bank
tersebut.
Di sisi lain, dalam perbankan syariah terdapat dua jenis kontrak bila dibedakan dari
sifat alami pengembalian atas kontrak-kontrak tersebut. Disinilah muncul istilah NCC dan
NUC yaitu Natural Certainty Contracts dan Natural Uncertainty Contracts. Dalam NCC,
terdapat kesamaan dengan sistem bunga dalam hal tingkat pengembaliannya yang dapat
dipastikan oleh pihak bank, yang dalam hal ini dengan cara menentukan margin
keuntungan yang akan diperoleh bank. Oleh karena itu ciri khas perbankan syariah yang
membedakannya dari sistem perbankan konvensional adalah dalam NUC yaitu yang
tingkat pengembaliannya tidak dapat dipastikan oleh bank karena tergantung pada
perkembangan aset di sektor riil yang dibiayai olehnya. NUC yang menjadi ciri khas
perbankan syariah ini juga merupakan jenis kontrak yang sesuai dengan filosofi yang
mendasari sistem ekonomi Islam yaitu memajukan perekonomian ummat melalui
pemberdayaan di sektor riil. Sehingga penulis merasa bahwa tema ini perlu diangkat
dalam sebuah penelitian, melalui pengkhususan salah satu unsur saja dalam NUC di
perbankan syariah ini, yaitu NUC dalam sisi pembiayaan.
Pembedaan antar natural certainty contacts (NCC) dengan Natural Uncertainty
Contacts (NUC) ini sangat penting karena keduanya memiliki karakteristik khas yang
7
tidak boleh dicampuradukan. Bila Natural Certainty Contract di ubah menjadi Uncertain.
Terjadilah gharar (ketidakpastian, unknown to both parties). Dengan kata lain, kita
mengubah hal-hal yang sudah pasti menjadi tidak pasti. Hal ini melanggar “Sunatullah”.
Karena itu dilarang.
Konsep bisnis Natural Uncertainty Contracts, di mana cash flow, timing-nya, dan
tingkat return investasinya tidak dapat dipastikan karena sangat bergantung pada hasil
investasi. Konsep bisnis ini menggunakan Teori Percampuran, yang bila ditinjau dari segi
objek percampurannya, dapat didentifikasi atas 3 jenis, yaitu :
1. Percampuran real asset (ayn) dengan real asset (ayn) = ayn + ayn
2. Percampuran real asset (ayn) dengan financial asset (dayn) = ayn + dayn
3. Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) = dayn+dayn
a. Percampuran ayn dengan ayn :
Percampuran ayn dengan ayn misalnya terjadi pada syirkah ‘abdan, yaitu
seorang tukang batu bekerjasama dengan tukang kayu dalam membangun
sebuah proyek perumahan, keduanya sama-sama menggabungkan tenaga
dan keahliannya. Keuntungan dan kerugian ditnggung bersama berdasarkan
nisbah yang telah ditentukan di awal kerjasama.
b. Percampuran Ayn dengan Dayn.
Percampuran ayn (real asset) dengan dayn (financial asset) dapat berbentuk
syirkah mudharabah dan syirkah wujuh.
Syirkah Al-Mudharabah artinya dua orang yang berserikat mencampurkan
modal mereka. Seorang yang memiliki modal harta (dayn) disebut sahibul
maal dengan seorang yang memiliki modal jasa keahlian atau keterampilan
(ayn) yang disebut mudharib, dirumuskan ( Rp x + A). Keuntungan yang
diperoleh dari usaha kerjasama ini dibagi berdasarkan nisbah, Sedangkan
kerugian usaha hanya dibebankan kepada sahibul maal. Mudharib hanya
menderita kerugian jasa (tenaga dan keahlian tidak mendapat imbalan).
Syirkah Wujuh pihak yang berserikat mencampurkan modal dengan
reputasi atau nama baik seseorang ( Rp x + *F). Pemilik modal memperoleh
keuntungan bagi hasil dengan pemilik modal jasa berupa reputasi baik
berdasarkan nisbah yang telah ditentukan di awal kerja sama, bila usaha
mengalami kerugian maka kerugian hanya dibebankan kepada sahibul
maal.
Demikian juga pada Al-Muzara’ah, Al-Mukhabarah dan Al-
Musaqat = perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap.
8
c. Percampuran dayn dengan dyan.
Percampuran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) dapat
berbentuk syirkah mufawadah, syirkah ‘inan.
Syirkah Mufawadah artinya dua pihak atau lebih yang berserikat
mencampurkan modal yang sama jumlahnya, masing-masing memperoleh
keuntungan atau bagi hasil yang sama besarnya dan kerugian juga sama
besarnya, dirumuskan ( Rp x + Rp x).
Syirkah inan pihak yang berserikat mencampurkan modal yang tidak sama
jumlahnya, dirumuskan (Rp x + Rp Y), keuntungan bagi hasil tidak sama
besarnya berdasarkn nisbah dan kerugian juga secara proporsional dengan
jumlah modal yang disetorkan
Syirkah dayn dengan dayn lainnya adalah financial asset non uang (surat
berharga) yang digabungkan, misalnya saham PT x dengan saham PT Y.2
B. macam – macam transaksi Natural uncertainty contracts
Natural uncertainty contracts yang secara umum dapat dilakukan dengan empat
akad utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzhara’ah, musaqah. Namun prinsip yang
paling banyak dipakai adalah musyarakah dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan
musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh
beberapa bank islam.
1. Musyarakah
a. Pengertian
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti
mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain
sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab
berasal
dari
kata
syarika
(fi’il
madhi),
yashruku
(fi’il
mudhari’)
syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
syarikat (kamus al Munawar) Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti
mencampurkan dua bahagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu
bagian dengan bagian lainnya.3
Musyarakah atau shirakah dapat didefinisikan sebagai bentuk kemitraan di
mana dua atau lebih orang menggabungkan modal atau usaha mereka, untuk
berbagi rugi laba, dan di mana mereka memiliki hak dan tanggung jawab yang
2
3
Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam …, hlm. 70.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuanangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), hlm. 67
9
sama.4 Menurut Zuhaily, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk usaha tertentu yang masing masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan kesempatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.5
Sedangkan Pasal 19 huruf c UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah memberikan definisi tentang “Akad musyarakah” adalah Akad kerja
sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masingmasing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan
porsi dana masing-masing.6 Sementara itu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah meberikan definisi
pembiayaan musyarakah sebagai pembiayaan yang berdasarkan akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing
pihak memberikan konstribusi dana dengan ketetuan bahwa keuntungan dan
resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa
dana, barang perdagangan (trading assets), kewiraswastaan (entrepreneurship),
kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible
assets seperti hak paten atau goodwill, kepercayaan / reputasi (creditworthiness)
dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum
seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa
batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
b. Landasan Hukum
1) Firman Allah QS. Shad [38]: 24:
…
…
“…dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan Amat sedikitlah mereka ini.."
2) Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
...
4
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik, cet. ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 118.
5
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan
Sosial, Cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 151
6
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf c Undang – Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah
10
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
3) Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Allah swt. Berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika
salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud,
yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)
4) Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamain
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dak kaum
muslilin terikat dngan syarat-syarat mereka kecuali syarat yag mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”7
5) Kaidah Fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dialakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
6) Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
7) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah
c. Jenis – Jenis Musyarakah
Secara garis besar, Zuhaily menyatakan musyarakah dibagi menjadi dua
jenis, yakni musyarakah kepemilikan dan musyarakah akad. Syirkah kepemilikan
tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan
satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua
orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang
dihasilkan asset tersebut. Musyarakah akad tercipta karena kesepakatan dua orang
atau lebih yang menyetujui bahwa tiap tiap orang dari mereka memberikan
kontribusi dari modal musyarakah, merekapun sepakat berbagi keuntungan dan
7
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah
11
kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi syirkah al inaan, al mufadhah, al
amail, dan syirkah al wujud.8
Pembagian syirkah yang disampaikan oleh Zuhaily tersebut senada dengan
syirkah yang disampaikan oleh Firdaus bahwa para ulama membagi syirkah ke
dalam bentuk berntuk di jelaskan di bawah ini:9
1) Perserikatan dalam pemilikan (syirkah al-amlak), yaitu dua orang atau
lebih yang memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad
syirkah. Musyarakah dalam kategori ini ada dua bagian, yaitu:
a) Syirkah ihktiar adalah perserikatan yang muncul akibat tindakan
hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat
membeli suatu barang atau mereka menerima hibah, wasiat atau
wakaf dari orang lain. Mereka menerima pemberian hibah, wakaf
ataupun wasiat tersebut dan menjadi milik mereka secara
berserikat.
b) Syirkah jahar (Ijbariyah) adalah sesuatu yang ditetapkan menjadi
milik dua orang atau lebih tanpa kehendak. Artinya, perserikatan
itu terjadi secara paksa, bukan atas keinginan orang yang
berserikat. Contoh, menerima warisan dari orang yang meninggal.
2) Syirkah al-uqud adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan. Akad tersebut
tercipta karena kesepakatan dua orang atau lebih yang setuju bahwa tiap
orang diri mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakah
berbagi keuntungan dan kerugian.
Kerjasama dalam kategori ini terbagi menjadi: al-inan, mufawadhah,
a’mal, dan wujud. Para ulama berbeda pendapat tentang mudharabah,
apakah ia termasuk musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap
mudharabah termasuk kategori musyarakah, karena memenuhi rukun dan
syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah. Ulama lain menganggap bahwa
mudharabah tidak termasuk sebagai musyarakah. Syirkah akad dibedakan
dengan penjelasan di bawah ini.
a) Kontrak antara dua orang atau lebih (syirkah al-‘inan) adalah kontrak
setiap pihak memberikan suatu posisi dari keseluruhan dana dan
8
9
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah …, hlm. 153
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah ..., hlm. 153-154
12
berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan
dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka.Namun
porsi masing masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi
hasil, berbeda sesuai dengan kesepakatan mereka. Semua ulama
membolehkan jenis musyarakah ini.
Mazhab Hanafi dan Hambali mengizinkan salah satu dari
alternatif berikut. Pertama, keuntungan dari kedua pihak dibagi
menurut porsi dana mereka. Kedua, keuntungan bias dibagi secara
sama tapi kontribusi dana masing masing pihak mungkin berbada.
Ketiga, keuntungan bisa dibagai secara tidak sama tapi dana yang
diberikan sama. Ibnu Qudamah mengatakan, “Pilihan dalam
keuntungan dibolehkan dengan adanya kerja, karena seorang dari
mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari yang lain dan ia
mungkin lebig kuat ketimbang yang lainnya dalam melaksanakan
pekerjaan. Karenannya, ia diizinkan untuk menuntut lebih dari
bagian keuntungan.nya”. Mazhab Maliki dan Syafi’i menerima jenis
musyarakah ini dengan syarat keuntungan dan kerugian dibagi secara
proporsional sesuai dana yang ditanamkan. Dalam pandangan
mereka, keuntungan jenis musyarakah ini dianggap keuntungan
modal.
b) Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang
atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan
dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat
utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana yang
diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh
masing masing pihak. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan
musyarakah jenis ini tetapi memberikan banyak batasan terhadapnya.
Yang paling penting dalam perserikatan ini, baik modal, kerja,
keuntungan meupun kerugian, mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Sementara menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak
membolehkan akad seperti ini, karena sulit untuk menetapkan prinsip
kesamaan modal, kerja, dan keuntungan dalam perserikatan ini.
13
c) Syirkah a’mal (Abdan) adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi
kentungan dari pekerjaan. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali
membolehkan musyarakah ini, baik kedua orang tersebut satu profesi
maupun tidak. Mereka merujuk kapada bukti bukti termasuk
persetujuan terbuka dari Nabi. Lagipula hal ini didasarkan kepada
perwakilan yang juga dibolehkan. Dalam musyarakah, musyarakah
jenis ini telah lama dipraktekkan.
d) Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang tidak
memiliki modal sama sekali, tetapi mempunyai keahlian dalam
bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan,
dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai
yang disediakan oleh tim mitra. Jenis musyarakah ini tidak
memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan
jaminan tersebut. Maka, kontrak ini pun lazim disebut sebagai
musyarakah piutang.
Para ulama memperselisihkan perserikatan seperti ini, ulama
Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh,
karena masing masing pihak bertindak sebagai walidari pihak lain,
sehingga pihak lain tersebut terikat pada transaksi yang telah
dilakukan oleh mitra serikatnya. Akan tetapi, menurut ulama
Malikiyah, Syafi’iah, Zahidiyah, dan Syi’ah Imamiyah, perserikatan
ini tidak sah dan tidak diperbolehkan. Alasannya, objek dalam
perserikatan ini adalah modal dan kerja, sedangkan dalam syirkah alwujud, baik modal maupun kerja yang diadakan tidak jelas.
e) Kontrak kerja sama antara pemilik modal dan seorang pekerja untuk
mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu
(Syirkah al-mudharabah) keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan
bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggungan
pemilik modal. Menurut mazhab Hanabilah, mudharabah termasuk
salah satu bentuk perserikatan. Tetapi menurut jumhur ulama tidak
14
memasukkan transaksi mudharabahsebagai salah satu bentuk
perserikatan, karena akad ini merupakan akad yang tersendiri.10
2. Mudharabah
a. Pengertian
Pada umumnya kata mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti
memukul atau berjalan. Pengertian dari memukul atau berjalan diatas yang
maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan
usahanya11.
Menurut istilah syarak, mudharabah berarti akad antara dua pihak untuk
bekerja sama dalam usaha perdagangan di mana salah satu pihak memberikan
dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan
dibagi di antara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.12
Pasal 19 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
memberikan dua makna tentang Mudharabah yaitu pada huruf b dan huruf c. Pasal
19 huruf b memberikan definisi tentang “Akad mudharabah” dalam menghimpun
dana sebagai Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau
Nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank
Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan
usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad. Sedangkan Pasal
19 huruf c memberikan definisi “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan sebagai
Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau
Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil,
mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad,
sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak
kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.13
Sementara
itu
Fatwa
Dewan
Syariah
Nasional
Nomor:
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) mendefinisikan
pembiayaan mudharabah sebagai akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Lembaga Keuangan Syari’ah)
10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah …, hlm. 92-93
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, (Yogyakarta: akademi manajemen perusahaan
YKPN. 2005.), hlm 102.
12
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, cet.ke-3, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 11.
13
Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah
11
15
menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang populer dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama
antara dua pihak atau lebih dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam
paduan kontribusi 100% modal kas dari shahibul maal dan keahlian dari
mudharib. Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal
dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggungjawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat
kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal. Perbedaan
yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi
atas manajemen dan keuangan atau salah satu di antara itu. Dalam mudharabah,
modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal
dari dua pihak atau lebih.
Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan
prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan
sekurang-kurangnyaoleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan
menyediakan modal, disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan
bertanggung jawab atas pengelolaan dana / menejemen usaha halal tertentu,
disebut mudhorib14.
b. Landasan Hukum
1) Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
…
…
“… Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …”
2) Firman Allah QS. al-Nisa [4]: 29:
…
14
Makhalul ilmi SM, Teori Dan Praktik Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: UII press
Yogyakarta, 2002), hlm. 32.
16
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…”
3) Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas
didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari
Ibnu Abbas)
4) Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidah secara
tunai, muqaradhah (Mudharabah), dan mecampur gandum dengan jemawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majah dari
Shuhaib).
5) Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
6) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip
Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syari’ah
c. Jenis-jenis Mudharabah
1) Mudharabah Muthlaqah, merupakan akad perjanjian antara dua pihak yaitu
shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola), yang mana
shahibul maal menyerahkan sepenuhnya atas dana yang diinvestasikan kepada
mudharib untuk mengelola usahanya sesuai dengan prinsip syariah.
17
2) Mudharabah Muqayyadah, merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak
yang mana pihak pertama sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan pihak
kedua sebagai pengelola dana (mudharib). Shahibul maal menginvestasikan
dananya kepada mudharib, dan memberikan batasan atas penggunaan dana
yang diinvestasikannya. Batasannya antara lain tentang :
a) Tempat dan cara berinvestasi
b) Jenis investasi
c) Objek investasi
d) Jangka waktu
Mudharabah Muqayyadah terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mana mudharib
ikut menanggung resiko atas kerugian dana yang diinvestasikan
oleh shahibul maal.
b) Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mana pihak
shahibul maal memberikan batasan yang jelas, baik batasan tentang
proyek yang diperbolehkan, jangka waktu, serta pihak pelaksana
pekerjaan.15
3. Muzara’ah
Definisi Muzara’ah adalah menyerahkan tanah kepada seseorang yang
menanaminya, atau menyerahkan tanah dan bibit kepada orang yang menanam dan
merawatnya di tanah tersebut, dengan memberikan kepadanya sebagian hasil yang
diperoleh sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya. Terkadang bagian yang
disepakati adalah untuk pemilik tanah, sedangkan sisanya adalah untuk si pekerja.16
4. Musaqah
Definisi musaqah menurut para ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah
atau belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yang menanam dan
merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah).
Lalu pekerja mendapatkan bagian yang disepakati dari buah yang dihasilkan,
sedangkan sisanya untuk pemiliknya.17
C. Syarat, rukun, dan ketentuan yang berlaku pada prinsip Natural uncertainty contracts
15
Ismail, Perbankan Syariah, cet.ke-1, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 86-88.
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet.ke-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 477.
17
Ibid., hlm. 476.
16
18
1. Musyarakah
a. Rukun18
1) Ucapan (Sighah) penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul).
2) Dua atau lebih pihak yang berakad (‘aqidani).
3) objek aqad yang disebut juga ma’qud alaihi, yang mencakup modal atau
pekerjaan.
b. Syarat dan Ketentuan
1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengadakan kontrak (akad) antara lain
yaitu, penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
kehendak atau tujuan kontrak (akad); penerimaan penawaran dilakukan pada
saat
kontrak;
dan
akad
dapat
dituangkan
secara
tertulis,
melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara korespondensi modern.
2) Kecakapan para pihak yang berkontrak dengan memperhatikan beberapa hal
seperti, orang yang memberikan dan diberikan perwakilan Kompeten dalam
bidangnya dan memiliki kewenangan untuk itu; perlu diperhtikan pula bahwa
detiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3) Objek akad (modal, kerja, keuntugan dan kerugian)19
a) Modal, beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan modal
dalam akada musyarakah antara lain; modal yang diberikan darus uang
tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal ini dapat terdiri dari
aset perdagangan yang harus dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para
mitra. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan
Syariah danpat meminta jaminan.
b) Kerja, Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah
merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak
dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya. Namun dalam melaksanakan kerja dalam
musyarakah setiap mitra atas nama pribadi dan wakil dari mitranya
18
19
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah…, hlm. 155
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah
19
sehingga kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus
dijelaskan dalam kontrak.
c) Keuntungan, dalam akad musyarakah keuntungan harus dikuantifikasi
dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu
alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah; Setiap keuntungan
mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan
dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra. Namun, jika terjadi keuntungan melebihi jumlah tertentu,
seorang mitra dapat menguulkan kelebihan itu dinerikan kepadanya dan
sitem pempagian keuntungan ini harus dituangkan dengan jelas dalam
akad.
d) Kerugian dalam akad musyarakah harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
2. Mudharabah
a. Rukun dan Syarat
Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya yang memiliki tiga rukun:
1) Dua Pihak yang melakukan Akad20
Kedua pihak ini adalah investor dan pengelola modal. Keduanya
disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas.Yaitu orang yang tidak dalam
keadaan bangkrut terlilit utang.Orang yang gila, orang yang bangkrut terlilit
utang, orang idiot, semuanya tidak boleh melakukan transaksi ini. Tidak ada
larangan melakukan akad atau kerja sama dengan orang yang non muslim.
Dengan syarat orang non muslim tersebut dapat dipercaya dan keduanya
menghindari yang namanya riba.
2) Objek Akad
Objek akad dalam kerja sama bagi hasil ini tidak lain adalah modal, jenis
usaha, dan keuntungan.
a) Modal
Dalam modal harus disyaratkan harus merupakan alat tukar
misalnya, uang, emas, perak.Penanaman modal dalam hal ini tidak
boleh dilakukan menggunakan barang, kecuali bila disepakati untuk
20
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq,
2004), hlm. 170.
20
menetapkan nilai harganya dengan uang.Sehingga itulah yang
menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha.
b) Jenis Usaha
Asal dari usaha dalam bisnis bagi hasil (penanaman modal) adalah di
bidang perniagaan atau bidang terait lainnya. Jenis usaha dalam
islam tidak boleh menjual barang-barang haram berdasarkan
kesepakatan ulama, seperti jual beli bangkai, darah, daging babi, dan
minuman keras21.
c) Hukum-hukum Laba (Keuntungan)
Keuntungan dalam sistem penanaman modal (bagi hasil) adalah
hendaknya diketahui secara jelas.Hendaknya dalam transaksi
ditegaskan prosentase tertentu bagi investor dan pengelola modal 22.
Beberapa kode etik sehubungan dengan keuntungan:
1) Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak;
2) Keuntungan usaha juga sebagai cadangan modal usaha;
3) Pengelola hanya dapat mengambil keuntungan melalui
pembagian;
4) Boleh dilakukan pembagian keuntungan awal, namun
nantinya dihitung pada perhitungan akhir23.
3) Pelafalan perjanjian (ijab dan qobul) atau offer and acceptence. Shighat akad
(transaksi), yaitu adanya ijab dan qobul.Pelafalan ini dapat dilakukan dengan
segala cara yang dapat mengindikasikan ke arah terlaksananya perjanjian,
baik berupa ucapan tindakan24.
3. Muzaraah
a. Rukun
Rukun muzara’ah adalah :
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Obyek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
4) Ijab qabul
b. Syarat
21
22
23
24
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...., hlm. 173.
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...,hlm. 176.
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...,hlm. 194.
Abdullah Al-Mushih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh...,hlm.189.
21
Adapaun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut
orang yang berakad (telah baliq dan berakal serta bukan orang yang murtad),
benih yang akan ditanam (harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu,
benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan), tanah yang dikerjakan
(boleh digarap dan menghasilkan, batas-batasnya jelas, dan diserahkan
sepenuhnya kepada petani untuk digarap), hasil yang akan dipanen (pembagian
hasil harus jelas, benar-benar milik bersama, ditentukan setengah, sepertiga, atau
seperempat sejak awal dan tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara
mutlak), dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad (harus jelas,
penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat).25
4. Musaqah
a. Rukun
1) Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
2) Tanah yang dijadikan obyek musaqah
3) Jenis usaha yang akan dilakuka petani penggarap
4) Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah
5) Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
b. Syarat
1) Kedua belah pihak yang bertransaksi telah akil balig dan berakal.
2) Obyek harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad
berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4) Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama,
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
5) Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan
transaksi sewa-menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian.26
25
26
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet.ke-2, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 278-279.
Ibid., hlm. 283-285.
22
BAB IV
Kesimpulan
Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun finansial assets) menjadi satu kesatuan, dan
kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini,
keuntungan dan kerugian ditangguang bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberiakn
kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya.
Yang termasuk dalam kontrak ini adalh kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini
secara “Sunatullah” (by their nature)tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi
sifatnya tidak fixed and predetermined.
Natural uncertainty contracts yang secara umum dapat dilakukan dengan empat akad
utama yaitu musyarakah, mudharabah, muzhara’ah, musaqah. Namun prinsip yang paling
banyak dipakai adalah musyarakah dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah
dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa
bank islam.
23
Daftar Pustaka
A. Buku
Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, cet.ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Al-Mushih, Abdullah, dan Shalah Ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta :
Darul Haq, 2004.
Azwar Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, cet.ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ilmi SM, Makhalul, Teori Dan Praktik Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, Yogyakarta:
UII press Yogyakarta, 2002.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, cet.
ke-1, Jakarta: Kencana, 2008.
Ismail, Perbankan Syariah, cet.ke-1, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 86-88.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, cet.ke-3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, Yogyakarta: Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN, 2005.
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi,
Bisnis, dan Sosial, Cet. 1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuanangan Syariah, Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori ke praktek, Jakarta: Gema Insani
perss, 2001.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang – Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh)
24