MAKALAH KESETARAAN GENDER DI NEGARA MESI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara Politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional,
tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap
negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja.
Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang, bukan hanya kepada kaum laki-laki,
tetapi juga kepada kaum perempuan. Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan
melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbedabeda dan mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara
tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan
perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat
kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran
menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam
memandang perempuan.1

Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan
dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan
penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta
supremasi sipil.2

Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik
sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat
dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di
1 Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.
2 Randa El-Tahawy,

Kantor Berita Common Ground (CG.News), 6 Juli 2012,
www.commongroundnews.org
1

sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka
adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang
belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki.
Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan
feminitas[2]
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengetahui Islam dan Kesetaraan Gender
2. Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender
di Mesir

3. Mengetahui Pandangan Qasim Amien di antara Pergumulan Pemikiran Islam di Mesir
4. Mengetahui Dari Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan
5. Mengetahui Pembebasan Perempuan melalui Tradisi “Kritik Teks”
6. Mengetahui Pemberdayaan Perempuan melalui Pendidikan
7. Mengetahui Dari Konservatifisme Menuju Liberalisme
1.2 Manfaat Penulisan
Dalam kesempatan ini penulis membahas tentang Kerasetaraan Gender Di Negara Mesir.
Setelah membahas permasalahan ini, penulis mengharapkan kita semua dapat mengetahui
bagaimana kesetaraan dan kondisi gender itu sendiri di Negara Mesir khususnya, sehingga
dengan mengetahui seluk beluk kondisi kesetaraan gender di Negara Mesir, kita akan lebih
mendapat gambaran yang jelas terkait permasalahan-permasalahn Gender itu sendiri yang
khususnya di Negara Mesir. Dalam hal lain kita juga dapat mengetahui apa sebenarna tujuan dari
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir.

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Islam dan Kesetaraan Gender
Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia Arabia

selaluterkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual
ekstrem kanandan ekstrem kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan
imperium. Oleh karenanya, pembahasan feminis muslim ini harus dikaji dari sisi
historis, framework feminis muslim, dan isu-isu yang diperdebatkannya.3
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah Pertama–tama dilakukan oleh dua
bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang keduanya sedang bersaing sebagai imperium.
Inggris terlebih dahulu menguasai di India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih
dahulu harus menguasai Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain
Perancis menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan penyediaan
bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil industrinya ke wilayah
Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak
Alexander the great dari Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India.
Persaingan antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus
berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke dunia
muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan agama dalam proses
politik penjajahan Barat atas dunia Islam.
Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa umat
Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan
pembaharuan,yang didorong oleh faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam
dari unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba

gagasan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787
M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di Afrika Utara
yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya, pergerakan ini memasuki ranah
3 Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur

Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.
3

politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah gagasan Pan-Islamisme sebagai gagasan
persatuan Islam sedunia yang disuarakan secara lantang oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897
M).4
Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan Islam sedunia ini, seperti yang
dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang terjadi dewasa ini dibutuhkan
penghargaan/penghormatan karakter universal dan posisi sentral agama dalam kehidupan umat
Islam. Oleh karena itu, gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas
sejarah Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan dalam
perjuangannya.
Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang pengikut al-Afghani dan Abduh
mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah al-ikhwan al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk
mendidik rakyat,meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam alIslam). Gerakan ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat, dan dalam waktu yang

bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan kemerdekaan untuk menggulingkan
monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin merupakan fenomena baru sebagai gerakan yang
didukung oleh massa, gerakan terorganisir, dan berorientasi pada masyarakat urban untuk
mengatasi kemunduran Islam di dunia modern. Meskipun
Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar negeri dianggap sebagai gerakan
fundamentalis yang ingin mendirikan kembali Negara Islam.6 Komunitas Ikhwanul Muslimin
saat itu hendak mendirikan devisi Muslim Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab alGazali memimpinnya dan menggabungkan dengan Muslim Women’s Association, tetapi
ditolaknya dan tetap menjalin kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam dan
bergerak di bawah tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7
Kajian pergerakan perempuan di Mesir (Egypt) dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya
aktivis feminis yang tergabung dengan the Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda
Sha’rawi.5
Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status
perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami (the personal satus law),
4 Saparinah

Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita
dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.14
5 Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita
dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.23

4

persamaan akses pendidikan baik ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai
pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas
pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.
Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam pengembangan intelektual dan prinsipprinsip ideologinya hampir diilhami oleh reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afghani, dan yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun
1919 berkaitan dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai
aktivitas perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal
sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat tentang isu-isu sosial seperti
pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan hak-hak perempuan.6
Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint elNile(Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang
baru dan menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak politik
secara penuh bagi perempuan.
Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya, berkampanye perbaikan
budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin, mempertinggi
pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare). Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak
politik perempuan dipertautkan kampanye reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para
feminis seperti Inji Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau
komunis dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial

equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada
masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak
organisasi perempuan.[1]
Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno tampaknya telah dilembagakan seiring
dengan kebangitan, masyarakat perkotaan dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya.
Bertolak belakang dengan teori-teori androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial
inferior wanita didasarkan pada biologi dan “alam ” dan dengan demikan, sudah ada selma
dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan bahwa wanita di hormati sebelum bangkitnya
6 Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis, (15/12).

5

masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan
dan negara kota. Para sering kali mengutip catal huyuk, sebuah pemukiman zaman Neolitik di
Asia kecil yang berasal dari sekitar tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan dan
tertinggi wanita ( sebagian orang berargumen demikian). Di dalam pemukiman ini, bagian lebih
besar dari panggung pemakaman yang di temukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan
berbagai lukisan dan dekorasi di dinding banyak pemakaman dengan jelas menggambarkan
sosok wanita. Catal Huyuk Bukan satu-satunya kebudayaan awal di kawasan itu yang
memberikan bukti tentang posisi luhur dan mungkin terhormat yang dimiliki wanita.temuan

temuan arkeologis menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan

diseluruh Timur Tengah

menghormati dewi Ibu dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum Masehi di
beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan itu menunjukkan
bahwa supremasi sosok dewi dan status tinggi bagi wanita adalah aturan alih-alih kekecualian
di Mesopotamia, Elam, Mesir, Kreta, misalnya, dan di kalangan bangsa yunani, phoenicia, dan
lain-lainya. 7
2.2 Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di
Mesir
Pada abad ke-6 Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah,
kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan
sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin
jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat
menggandrungi wanita wanita), yang dijumpai di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa
kelahiran Muhammad (kira kira pada abad 570 M) wanita tetap tinggal bersamanya, dan anakanak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat
matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa
wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada

7 E- book, Penulisan Tesis dari Sulkhan Chakim (Dosen STAIN Purwokerto) “Interkoneksitas

Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah “hal. 1-2
6

sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini.
Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang
agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan
adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi
mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab
Jahiliyah dengan jenis kelamin.8[1]
Kairo adalah Salah satu potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para lelaki dan
perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan
bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi,
para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan
banyak sekutu.
Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum
memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu
sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah
intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang

ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan
mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes
keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik.
Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan
konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan
tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini.
Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon
presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya
gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia
memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa
berpartisipasi dalam politik.9
Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki
yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah
8 Patrick

Kirk, Partisipasi Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press,
Surabaya : 1994
9 Sadli Saparinah, Pengantar tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1995
7


bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki
telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah
berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi
perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang
mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu,
memiliki banyak relawan pria.
Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka
panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk
dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi
berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang
bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi
konstitusi yang lebih peka Gender.
Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi
baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara
ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang
dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasiorganisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat
Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut
ditiru di Mesir.
Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota
perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran
penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan
Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di alIkhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri
dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat
tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki
kondisi para perempuan Mesir.
Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan
dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi,
Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha
mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini.
8

Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan
sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.
Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi
pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis
dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang
patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya
tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan
itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal
warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik
tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh
perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu,
hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan
hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku
adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus
perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai
memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi.
Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesiasiaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa
Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah
status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum
perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[2]

2.3 Pandangan Qasim Amien di antara Pergumulan Pemikiran Islam di Mesir

9

Dalam kajian sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari pergerakanpergerakan pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga usul-usul (fundamen), tradisi dan agama
secara rigid dan

tertutup,

varian

ini

biasanya

dikenal

dengan

Front

Tradisionalis-

konservatif. Kedua, Front Reformis-liberal adalah gerakan yang mengkaji agama dan tradisi
secara kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di satu
sisi terdapat kelompok yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum terdahulu (alSâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas apakah warisan tersebut merupakan syariat murni atau hasil
ijtihad manusia terhadap masalah-masalah kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan berusaha
mencari terobosan-terobosan baru, guna menyelesaikan problem kontekstual dengan mengkaji
tradisi agama dan sosial secara kritis tanpa mengenyampingkan tradisi dan pengalaman hidup
leluhurnya.10
Jika kita mencoba mengklasifikasikan posisi para feminis ke dalam dua golongan tersebut, yaitu
Tradisionalis-konservatif dan Reformis-liberal, maka Qasim Amien masuk pada kelompok
kedua. Ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di bidang sosial,—di antaranya
permasalahan kaum perempuan— beliau menafsirkan kembali (reinterpretasi), dengan jalan
mengkritisi, “dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu
timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.
Dalam menyikapi pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah menjadi dua
kubu. Pertama, kubu yang sangat mendukung pemikiran-pemikiran dan agenda pergerakan
Qasim, secara penuh dan total yang akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap pemikiran Qasim
Amien. Menurut mereka, pemikiran Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang benar-benar
positif, mengentaskan umat manusia dari Zaman Kegelapan (‘Ashr al-Dlalâm)menuju Zaman
Terang-benderang (‘Ashr Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa identitas, di antaranya
kebebasan kaum perempuan dari kekangan-kekangan dan terlepas dari pandangan negatif
dan nyinyir dari kaum laki-laki.
Kedua, kubu yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim Amien dengan sikap skeptis, apatis
bahkan antipati. Bagi mereka, pemikiran dan pergerakan tersebut tidak lain hanyalah bentuk lain
10 Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur

Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim, hlm 18.
10

dari westernalisasi terhadap budaya-budaya Timur, yang akan mengikis habis identitas budaya
Timur itu sendiri.
Sedangkan penulis sendiri tidak mau terjebak di dua sisi ini, karena, akan melahirkan pemikiran
yang memihak, tidak objektif dan ekstrim. Seyogyanya pemikiran seorang tokoh diapresiasi
sedemikian rupa, dengan “pisau analisis” yang “steril” terbebas dari “karat-karat” ideologi dan
kepentingan kelompok.
2.4 Dari Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan
Dalam menyusun tesa-tesa pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa yang siap
disuguhkan, Qasim Amien lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan menggunakan
piranti-piranti analisa sosial dan data empirik dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Bagi
beliau, teori-teori sosial dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari “atas meja” akan melahirkan
teori dan kesimpulan yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis, dan bahkan jauh dari nilai
kebenaran. Kita bisa melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas terhadap tulisan D’Harcouri
tentang kondisi sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat Muslim yang terpuruk. Menurutnya,
tesa-tesa dalam tulisan D’Harcouri itu—dapat dikatakan— sama sekali tidak mendekati
kebenaran, karena ia (D’Harcouri) tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat Mesir
sehingga tidak tahu persis keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika realitanya demikian,
bagaimana mungkin tesa-tesa D’Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa kita katakan bahwa
pemikiran-pemikiran seseorang bermula dari analisa sosial yang tajam dan kritis dengan tetap
melihat fenomena-fenomena sosial yang nampak. Selanjutnya, ia boleh “berijtihad” untuk
menyusun tesa-tesa demi memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan sosial yang
dianggap wajib untuk diperbarui.11
Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu nampaknya lebih memberikan
kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Qasim juga
merupakan salah seorang yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial. Namun,
syarat utama suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa
direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat
direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain, karena tergantung pada kemaslahatan
11 Muhammad Imarah, Qasim Amîn wa Tahrîr al-Mar’ah, Kairo: Kitâb Al-Hilâl, th. 1980,
hlm 10,

11

dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata lain, teori sosialsosial tersebut—termasuk di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan
“otoriter”.
Norma-norma agama yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya,
kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks al-Quran, bukanlah sematamata syariat agama Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang
diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam Islam, teori hijâb ini menjadi syariat karena
sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka,
tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Dan ini berarti, jika hijab sudah tidak lagi mengandung
unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantikannya dengan solusi lain yang sesuai
dengan zaman kita sekarang ini.
Qasim Amien juga memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Baginya, kondisi ekonomi sangat mempengaruhi keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi,
ekonomi memiliki faktor dominan yang mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada faktorfaktor lain, seperti; pendidikan, agama dan budaya. Dari kondisi ekonomi, kita bisa melacak
sebab-sebab terjadinya diskriminasi perempuan. Misalnya, dalam skup permasalahan yang lebih
sempit, yaitu, poligami. Komunitas masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke atas akan
lebih termotivasi melakukan poligami. Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir. Masyarakat
pedesaan yang kondisi ekonominya lemah dan pas-pasan, akan mengurangi kemungkinan
menjamurnya tradisi poligami. Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai pendapatan
perkapita lebih besar. Premis ini dapat dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan pendapatan
perkapita

yang

hanya

bisa

untuk

mencukupi

kebutuhan

primernya,

tidak

akan

terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Jangankan untuk kebutuhan yang sekunder,
untuk kebutuhan primer saja mereka harus berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan
masyarakat yang telah mencukupi kebutuhan primernya, mereka memiliki kesempatan lebih
banyak memikirkan kebutuhan-kebutuhan sekunder.12
Namun, premis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor ekonomi bukanlah satusatunya faktor penentu bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial masyarakat, tetapi, di samping

12 Muhammad Imarah, Qasim Amîn wa Tahrîr al-Mar’ah, Kairo: Kitâb Al-Hilâl, th. 1980,
hlm 15.

12

itu masih banyak lagi terdapat variabel-veriabel yang lain, seperti tingkat pendidikan, ideologi
masyarakat, dan budaya.
Pada masa Qasim Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih
hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan
bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami,
mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal
tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan
menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang
pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, kualitas generasi umat sangat tergantung pada
pendidikan anak, khususnya pendidikan yang ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan
awal.
Sedangkan nasib perempuan pada saat itu dalam kondisi yang terpuruk dan mengenaskan.
Pendidikan sekolah hampir tidak pernah dirasakan kaum perempuan, pendidikan nonformal dari
pihak keluarga dan lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk mengatur urusan dapur
dan rumah tangga saja. Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat itu dengan masyarakat
luas hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di antara dinding-dinding
rumah mereka sendiri. Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan kaum perempuan,
baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap
insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi inilah yang
menyentuh hati Qasim dan mendorongnya untuk berjuang demi melakukan pembaruan sosial ke
arah yang lebih “memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa fenomena seperti ini merupakan
salah satu sebab utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat Islam di Arab.
Menurut Qasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan.
Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang
memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang
ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi
dengan kerangka syariat agama dan etika sosial. Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa
disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hakhaknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah

13

sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik
untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.
2.5 Pembebasan Perempuan melalui Tradisi “Kritik Teks”
Seperti diketahui, pembebasan adalah agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Jauh-jauh
hari Qasim Amien telah membidik teks-teks agama yang menjadi “momok” perempuan lewat
karyanya Tahrîr Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan poligami.
Sebelum terlalu jauh membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya jika kita mencoba
mengetahui terlebih dahulu pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut Qasim Amien
hijab mempunyai dua makna.Pertama, hijab secara makna hakiki, berfungsi menutup aurat
perempuan hingga wajah dan telapak tangan (penutup wajah disebut niqâb [cadar]). Bagi
masyarakat Mesir pada waktu itu, hijab dalam makna di atas dianggap sebagai syariat
Islam. Kedua, adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara” kaum perempuan dalam
rumahnya sendiri. Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” masyarakat Mesir di
atas, Qasim juga mencoba membuat analisa dan studi kritik tentang hijab ini dari dua sudut
pandang; agama dan sosial.13
Dalam perjalanan sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum perempuan sangat memainkan
peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan sebenarnya hijab bukan saja
merupakan ciri khas masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada
masyarakat Yunani waktu itu juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini
berlanjut sampai pada abad pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai pada abad ke-XIII.
Namun, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan kemodernan maka
adat ini-pun di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi punah.
Menurut Qasim Amien masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah kaprah” terhadap
hijab ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab hanya dianggap sebagai
pesan syariat agama an sich. Sehingga agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai hijab.
Padahal—menurut Qasim—tidak ada satupun nash-nash sharîh yang mewajibkan pemakaian
hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30, difirmankan secara jelas, bahwa kaum perempuan yang
beriman diperintahkan untuk menjaga kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya
13 Muhammad Imarah, Qasim Amîn wa Tahrîr al-Mar’ah, Kairo: Kitâb Al-Hilâl, th. 1980,
hlm 20,

14

(tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat bahwa yang
dimaksud dengan anggota tubuh yang mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang
diperlukan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika
pemakaian hijab bertujuan menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru hijab—dalam makna
masyarakat Mesir di atas lengkap dengan antribut cadarnya—yang berpotensi menimbulkan
fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar
sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang
perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan
keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.
Jadi, etika dan perilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya dengan pemakaian hijab,
karena yang lebih menentukan baik atau tidaknya moral seseorang adalah dari nurani dan
hatinya, bukanlah dari penampilan lahiriyah.
Pada sisi sosial, Qasim melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi
pemakainya untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, dalam hal kriminalitas
dan kesaksian dalam pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi
terbuka lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua puhak yang beselisih.
Begitu juga dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti perdagangan dan pertanian.
Masyarakatpertanian di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit banyak ikut berperan dalam
cocok tanam, akan lebih banyak menemukan kesulitan dari pada perempuan yang tidak berhijab.
Bahkan secara lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan
lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya.
Dalam masalah poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam kelompok yang paling menentang
adanya poligami dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami menurut Qasim adalah bentuk
penghinaan bagi kaum perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia, seorang perempuan tidak
akan pernah rela jika suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, demikian halnya sang
suami, tidak akan rela jika ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian cinta istrinya.
Sisi negatif yang disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah permusuhan batin antara istri
yang satu dengan yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan antara mereka diwariskan kepada
anak-anak mereka. Karena bisa jadi seorang ibu—secara tidak sadar— menyulut api permusuhan
15

dan kedengkian antara anak-anak dan keluarganya kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang
istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia berusaha untuk memendam perasaannya akan
mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak
dan menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi antara mereka adalah persaingan yang tidak
sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara sesama
manusia,—karena poligami ini—akan cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan
permusuhan.
Walaupun secara radikal Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih memberikan
“pengecualian”. Menurutnya, poligami “diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya seorang
istri tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Namun—menurut Qasim—dalam
kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar, karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika
sang suami tetap bersikeras untuk menihak lagi, maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang
istri minta cerai, maka sang suami harus menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, poligami
adalah bentuk dari pemuasan nafsu binatang dan tanda-tanda dari dekadensi moral.
2.6 Pemberdayaan Perempuan melalui Pendidikan
Dalam hal pendidikan, Qasim mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga tingkatan secara
berurutan. Pertama, adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya
sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya (kebutuhan primer setiap
individu). Kedua, adalah pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya. Ketiga, pendidikan yang
bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya. Nah,pendidikan kaum perempuan
yang diperjuangkan oleh Qasim pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis pendidikan yang
pertama dan kedua. Karena pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh jangkauannya jika
diterapkan bagi kaum perempuan Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum perempuan
dan kondisi sosiologis masyarakat yang masih memprihatinkan dan belum siap. Namun
walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga jenis pendidikan tersebut merupakan
kewajiban dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa terkecuali.14

14 Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur

Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim, hlm 16.
16

Dalam memperjuangkan hak pendidikan perempuan ini, Qasim menemui banyak kendala yang
justru timbul akibat dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat perempuan. Asumsi-asumsi ini
berasal dari teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak, seperti, asumsi masyarakat bahwa
perempuan adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah (Nâqishah al-Dîn wa al-‘Aql). Pada
hakikatnya asumsi ini terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab dulu, di mana perang
menjadi kebiasaan. Tidak sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari barang-barang rampasan
perang-perang ini. Dengan keadaan yang seperti ini maka peran kaum perempuan tidak banyak
diperhitungkan, sehingga keadaan yang berlangsung lama ini akhirnya menjadikan perempuan
dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama seperti harta
rampasan perang lainnya. Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa saat perang sudah
tidak menjadi kebanggaan masyarakat Arab.
Menghadapi adat istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap bersikukuh pada prinsip dan
perjuangannya dalam membela hak pendidikan bagi kaum perempuan, karena baginya
pendidikan adalah hak setiap manusia, kaya atau miskin, lemah atau kuat, bodoh atau pandai
karena ia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi mereka
semua tanpa pandang bulu.
Menurut sebagian ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam menuntut ilmu itu hanya berkutat
pada masalah ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada mengatur rumah tangga dan tetek
bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah secara mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam
pemahaman ini, pendidikan bukan hal yang mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali
mempertanyakan asumsi-asumsi di atas. Kalau sejenak kita melihat realitas kehidupan
masyarakat, kita sering menyaksikan fenomena yang bertolak belakang dengan fenomena dan
asumsi tersebut.
Tidak sedikit kita mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau ayah) yang penghasilannya
tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan tidak sedikit kaum
perempuan hidup tanpa sistem herarki kepala keluarga seperti ini, karena beberapa hal, misalnya
perceraian ataupun meninggalnya suami dan ayah. Maka bagaimana dengan nasib kaum
perempuan dalam keadaan yang seperti itu? Bagaimana caranya ia mampu mencukupi kebutuhan
pribadi dan anak-anaknya, sedangkan bekal pengetahuan untuk itu tidak sedikitpun ia dapatkan?
Bagaimana ia dapat mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia sendiri adalah seorang
17

yang lemah, miskin dan bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia lakukan? Fenomenafenomena tersebut yang terjadi dalam masyarakat kala itu dan sangat menyentuh hati nurani
Qasim Amien. Dari sinilah, beliau melihat pentingnya pembekalan kaum perempuan dengan
pendidikan yang layak dan memadai agar mereka dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan dari
ayah atau suami mereka dan dapat mempertahakan kelangsungan hidupnya sendiri dan keluarga.
Kemudian, jika kita tengok posisi kaum perempuan yang menjadi pengasuh dan pendidik bagi
anak-anaknya, maka pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks ini sangat
urgen bahkan menjadi kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat dan bangsa ditentukan
anak-anak mereka. Maka, pendidikan tunas-tunas bangsa ini dimulai dari proses pendidikan
mental dan pembentukan kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka
menjadi sumber daya manusia yang unggul dan sempurna. Nah, agenda-agenda dan harapanharapan di atas akan sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan dan nurani ibu-ibu pendidik
yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang memadai. Bagaiamana kita akan membentuk
dan membina generasi yang unggul dan tangguh jika kaum ibu saja masih terbelakangan tanpa
pendidikan? Bagaimana bangsa dan umat akan maju jika mereka masih terseret fenomenafenomena ini?
2.7 Dari Konservatifisme Menuju Liberalisme
Jika kita runtut dan cermati lebih lanjut pemikiran Qasim Amien dalam memperjuangkan
agenda-agenda kaum perempuan di Mesir, ada satu hal yang menarik sekali untuk kita kaji
berkaitan dengan metaformosa (perubahan) pola pikirnya sangat mencolok dan dahsyat.
Dalam karya perdananya “Les Egyptiens” (Mashriyyûn), Qasim termasuk pemikir dari kelompok
konservatif. Ketika itu, kondisi sosial masyarakat Mesir digambarkan secara negatif oleh Duc
D’harcouri—dalam

sebuah

tulisannya—masyarakat

Mesir

terbelakang,

terisolir,

dari

kemodernan dan kemajuan. Sebagai seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme tinggi,
Qasim merasa “tidak rela” jika sisi-sisi negatif dari keadaan masyarakat di negerinya harus
dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi kepada masyarakat asing (Perancis). Dan demi
mengembalikan nama baik masyarakatnya yang sempat tercemari itu, ia menuliskan sebuah
tanggapan yang cenderung bersifat membela diri. Dalam tulisan inilah, Qasim dengan
18

konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi negatif tersebut menjadi nilai-nilai yang
positif. Misalnya, ketika D’harcouri memandang tradisi hijab—dalam makna majazi, yaitu
masyarakat yang benar-benar memisahkan antara kelompok perempuan dan laki-laki—sebagai
sebuah tradisi yang negatif dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru menganggapnya
sebagai tradisi yang sangat positif. Dengan dalih, tradisi hijab ini merupakan identitas
masyarakat yang beretika, lebih terjaga dan lebih sesuai dengan ajaran agama.15
Lima Tahun kemudian, 1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya yang sederhana dan
—dalam prediksinya—tidak terlalu berharga, namun ternyata berhasil menimbulkan ledakan
besar bagi masyarakat Mesir dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial. Subtansi buku
ini; Tahrîr al-Mar’ahini sangat bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya. Jika
dalamMashriyyûn beliau sangat konservatif, anti barat dan membabi buta, dalam karya ini, ia
menjadi seorang yang sangat liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada masyarakat barat
untuk melakukan kritik terhadap situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu itu. Misalnya
saja ketika mengangkat masalah disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum lelaki karena
dibatasi hijab. Awalnya, beliau menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai positif. Namun pada
buku Tahrîr al-Mar’ah ini, Qasim Amien malah mengkritik tradisi hijab ini dan meminta tradisi
tersebut “ditinggalkan” karena tidak ada lagi kemaslahatan di sana. Pendapat ini dipertegas dan
diperkuat dengan karyanya yang ketiga, al-Mar’ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern) sebagai
“terminal akhir” dari pikiran-pikirannya.
Kita bisa bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat (lima tahun), Qasim Amien merubah
cara pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang melatar belakangi ini semua? Benarkan
ini pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat latar belakang lahirnya buku yang pertama
itu, adalah refleksi dari pembelaan diri ketika masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan
serta merta Qasim Amien melakukan pembelaan diri dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia
sangat subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa melakukan introspeksi. Jadi, dengan kata lain,
pemikirannya dalamMashriyyûn ini belum bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari tuntutantuntutan psikologis yang mendesak.

15 Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur

Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.
19

Sedangkan nafas-nafas pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr Al-Mar’ah, beliau lebih
menekankan pada sisi reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi sebab subordinasi kaum
lelaki terhadap kaum perempuan. Padahal, Qasim bukanlah seorang pemerhati, pakar agama dan
ahli syariat. Apakah dalam waktu yang relatif singkat itu, beliau benar-benar mendalami syariat
Islam dengan membaca buku-buku referensi utama(ummahât al-kutb) yang berjilid-jilid
sehingga dapat menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi terjadi plagiasi dalam karyakarya ini?
Menurut Muhammad ‘Imarah, Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing partner Qasim—
memiliki kontribusi dalam penulisan karya ini, karena pemikiran dan pembaruan yang menjadi
subtansi buku ini sejalan nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad ‘Abduh.
Buku Tahrîr Al-Mar’ah ini bukan seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun bisa
dikatakan karya berdua bersama Muhammad Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr AlMar’ah ini mengandung dua dimensi; agama dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi
buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis
dimensi sosial budaya yang menjadi keahliannya.

Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus di kalangan
ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para
ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk
membebaskan kaum wanita sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak,
dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar
moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan berjejak pada
kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali
dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak.23 Karena itulah ia menyarankan adanya
perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Qasim Amin melihat wanita pada waktu itu bagaikan budak dan hidup di penjara yang
kehilangan kebebasan untuk berbuat dan beraktivitas. Banyak kaum pria yang masih
menganggap bahwa mengurung wanita di rumahnya merupakan jalan agar wanita menjadi
manusia yang terbaik. Bagi Qasim Amin, memberikan hak kepada lelaki untuk mengurung

20

isterinya jelas bertentangan dengan hak kebebasan wanita yang tidak bisa dicabut dan sekaligus
merupakan hak natural.16
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan wanita sederajat dengan pria dalam hal tanggung
jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika wanita melakukan tindak kriminal,
bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan
pengurangan hukuman padanya. Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap wanita
memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan
pembunuhan, sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas wanita ketika
kebebasannya dirampas.
Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum wanita akan membahayakan kesucian mereka,
menurut Qasim Amin, tidak berdasarkan

pada kenyataan

yang kuat. Pengalaman

mengindikasikan bahwa kebebasan wanita bisa menambah pengertian akan tanggung jawab dan
kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat
analisisnya, Qasim Amin menyajikan data statistik bahwa kaum
Jika dalam masyarakat Barat terdapat sikap merendahkan derajat perempuan sehingga
menimbulkan gerakan feminisme dan persamaan gender, maka berlainan dengan agama Islam
yang sangat memuliakan perempuan. Kitab suci al-Quran memberikan hak-hak perempuan dan
menempatkan perempuan pada kedudukan terhormat yang sama dengan hak dan kedudukan
lelaki.
Ketegangan bertentangan nilai-nilai tradisional dan modern juga mempengaruhi
hubungan sosial di luar keluarga . Media massa dan pendidikan modern mempopulerkan ide-ide
seperti kesetaraan sosial , keterbukaan antara pasangan , cinta romantis , dan persahabatan
platonis antara kedua jenis kelamin , konsep bahwa pria dan wanita dengan nilai-nilai tradisional
menemukan keberatan namun anak-anak remaja mereka mungkin menemukan menarik . Selain
itu , sedangkan beberapa wanita muda telah readopting jilbab dan pakaian sederhana untuk
menunjukkan komitmen mereka terhadap Islam , orang lain telah tertarik pada mode Barat

16 Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.

21

terbaru dalam pakaian dan kosmetik , yang tradisionalis anggap sebagai bukti penurunan umum
dalam moralitas perempuan .17
Pria dan wanita umumnya merupakan subsocieties sebagian besar terpisah , masingmasing dengan nilai-nilai sendiri , sikap , dan persepsi dari yang lain . Bahkan di antara urban
modern , peran gender membatasi hubungan sosial . Misalnya , persahabatan antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terkait pada umumnya tidak dapat diterima . Di antara kaum muda elit ,
laki-laki dan perempuan bertemu secara sosial dan kencan modis , tapi orang tua mencoba untuk
memantau hubungan tersebut dan mencegah anak-anak perempuan mereka dari terlibat dengan
pria manapun kecuali pernikahan dimaksud . Di antara keluarga yang lebih tradisional , kencan
akan merusak reputasi seorang wanita muda dan tidak menghormati keluarganya

17 Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur

Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim, hlm 25.
22

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dua karya besar yang menjadi magnum opus Qasim Amin adalah Tahrîr alMar