PERBANDINGAN DELIK PERCOBAAN DALAM HUKUM

PERBANDINGAN DELIK PERCOBAAN DALAM HUKUM PIDANA
INGGRIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA

1. Sejarah dan Perkembangan Hukum Pidana di Inggris
Inggris merupakan negara tempat lahirnya sistem common law. Sistem
common law secara orisinil berkembang di bawah pengaruh sistem yang bersifat
adversial dalam sejarah Inggris yang berdasarkan pada keputusan pengadilan
sesuai dengan tradisi, custom dan precedent.1 Istilah common law digunakan
untuk menunjukkan hukum yang umum bagi seluruh wilayah kerajaan karena
diterapkan oleh pengadilan kerajaan (royal courts). Ini dikarenakan bangsa
Inggris mulanya masih mengakui hukum yang diterapkan oleh pengadilanpengadilan khusus, seperti eccesiastical courts (pengadilan gereja) dan feudal
courts (pengadilan oleh bangsawan).2
Dengan adanya pengaruh sifat adversial, sistem hukum inggris
memiliki karakteristik yang sangat khas. Karakteristik khas yang dimiliki oleh
bangsa Inggris sangat berbeda dengan karakter bangsa-bangsa yang ada di Eropa
Daratan. Hal itu disebabkan karena perjalanan sejarahnya yang sangat khusus.
Kebudayaan dan sistem pemerintahannya yang feudal tidak mengalami banyak
perubahan antara zaman abad pertengahan dan abad modern. Ini karena suku
bangsa Angle, Saxon dan Yut adalah juga bangsa Germania yang datang dari
Eropa Barat sehingga tidak ada perubahan-perubahan yang mencolok seperti yang
terjadi di negara-negara Eropa Kontinental. 3 Keadaan tersebut masih tampak pada

1

Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
Raja Graindo Persada, Jakarta, Halaman 75.
“Precedent artinya adalah hal yang telah ada lebih dahulu dan yang
diikuti. Dapat dkatakan ini adalah doktrin terhadap hakim bahwa hakim terikat
pada putusan yang telah ada lebih dahulu dan telah dipublikasikan. Secara
teknis pengarahan hakim mengenai hukum kepada jury telah membentuk
precedent untuk masa depan. Meskipun precedent tidak diatur dalam suatu
undang-undang namun ketentuan-ketentuan umum hukum pidana Inggris
tetap hanya dapat disimpulkan dari putusan-putusan hakim.”
2
Frans Faramis, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, Halaman 34.
3
Ibid, halaman 35.

1

parlemen Inggris yang terdiri dari House of Lord of Common sesuai dengan

susunan masyarakatnya yang didasarkan pada golongan aristokrat dan rakyat
jelata dalam abad pertengahan.4
Sebelum adanya stabilitas institusional yang diterapkan oleh William
tahun 1066, warga negara inggris tunduk dan diatur oleh kebiasaan lokal yang
tidak tertulis dan bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lainnya dan
diterapkan sewenang-wenang. Ini merupakan hukum Germania yang diberlakukan
pada masa Anglo-Saxon. Hukum Anglo-Saxon itu sendiri merupakan campuran
antara keimanan dan ketahayulan.
Dibawah kekuasan William, sistem feodal lebih banyak dibangun
dibawah kekuasaan atau kontrol raja. Dilahirkan bentuk pelayanan di bidang
pengadilan, yaitu kewajiban mereka untuk menghadiri king’s court yang hanya
menangani perkara-perkara terpenting dari orang-orang terpenting saja.5 William
mengutamakan usaha melakukan sentralisasi kekuasaan atas Inggris dan Wales
tanpa melakukan perubahan-perubahan hukum.
Pada tahunn 1154, Raja Henry II merupakan raja pertama yang
melakukan pencapaian signifikan berupa melembagakan common law dengan
menciptakan uniffied system of law common to the country dengan melalui
penggabungan dan elevasi kebiasaan lokal menjadi nasional, mengakhiri kontrol
lokal dan kejanggalan-kejanggalan, mengeliminasi aturan yang sewenang-wenang
dan membentuk suatu sistem juri yang disumpah untuk menginvestigasi perkara

sipil maupun kriminal.6
Melalui kewenangan Raja Henry II, hukum pidana mengalami
perkembangan dengan didirikannya royal courts. Royal courts pada masa awalnya
terdiri dari:7

4
Wardah cheche, 2014, Perbandingan Hukum inggris dan Jerman,
wardahcheche.blogspot.com.
5
Loc. Cit.
6
Ade M.S, Op. Cit, Halaman 76.
7
Frans, Op. Cit, Halaman 37.

2

a. Court of King’s Bench untuk pelanggaran-pelanggaran berat.
b. Court of Exchequer untuk perbendaharaan/pajak.
c. Court of Common Pleas untuk persoalan yang menyangkut hak

milik.
Court of King’s Bench pada mulanya hanya mengadili pelanggaranpelanggaran berat. Putusan-putusan hakim Court of King’s Bench dari abad 12
hingga abad 14 telah menciptakan pelanggaran-pelanggaran berat yang dikenal
dengan felonies. Felonies pada pokoknya mengatur tentang pelanggaran perbuatan
yang menyebabkan kematian (homicide), perkosaan (rape), pencurian (theft),
perampokan (robbery), pencurian yang memasuki pekarangan atau bangunan
yang bukan untuk umum (burglary) dan pembakaran (arson). Pidana untuk felony
(pelaku) adalah pidana mati dan perampasan harta benda yang disita oleh dewan
(crown) serta kepemilikan tanah yang dialihkan kepada feudal lord. Pada masa
ini penangkapan dan penahanan tanpa adanya surat perintah.8
Kualifikasi tindak pidana lainnya adalah treason yang biasanya diulas
sebagai jenis pelanggaran tersendiri karena mempunyai prosedur-prosedur khusus.
Treason merupakan pelanggaran yang diancam dengan pidana mati jika
melakukan pelanggaran merancang kematian raja, ratu atau anak/ahli waris
mereka, pemberontakan terhadap kerajaan, dan berpihak pada musuh kerajaan.
Treason sendiri pada awalnya diatur melalui Treason Act 1351.
Dengan makin meluasnya wewenang hakim Court of King’s Bench,
dengan putusan-putusan pada abad 14 terbentuklah misdemeanours, yaitu
pelanggaran-pelanggaran yang kurang berat dengan dihilangkannya ancaman
hukuman mati dan mengharuskan penangkapan serta penahanan melalui prosedur

dan surat perintah serta dalam pengadilan harus ada surat dakwaan (indichtment).
Semakin berkembangnya hukum di Inggris berdasarkan putusan-putusan hakim
akhirnya melahirkan jenis pelanggaran summary offence yang merupakan
pelanggaran paling ringan dan diadili oleh magistrate court tanpa surat dakwaan
dan tanpa jury.
8

Ibid.

3

Perkembangan terpenting pada hukum pidana di Inggris adalah pada
abad 19 dan abad 20. Perkembangan itu bukanlah mengenai rumusan-rumusan
delik tindak pidana maupun hukum acaranya, melainkan dalam hal pemidanaan.
Konsep pemidanaannya selain pidana mati dan pidana penjara terdapat juga
penderaan (whipping), pembuangan serta penyitaan barang dan tanah.
Dalam masa ini juga peran undang-undang pidana makin besar dengan
dibuatnya berbagai undang-undang. Undang-undang pidana yang dibuat
bermacam-macam pula sifatnya, yaitu:9
a. Menentukan batas pemidanaannya hanya dengan menyebutkan

nama tindak pidana tanpa merumuskannya.
b. Menggantikan tindak pidana yang semula merupakan common law
offence.
c. Menciptakan tindak pidana baru yang semula tidak dikenal dalam
common law offence.
Sekalipun peran undang-undang makin besar, namun mengenai
ketentuan-ketentuan umum hukum pidana Inggris hampir seluruhnya dapat
disimpulkan dari putusan-putusan hakim.10
2. Sumber Hukum Pidana Inggris
Seperti yang telah diulas sebelumnya, hukum pidana Inggris hampir
seluruhnya dapat disimpulkan dari putusan-putusan hakim. Hal ini kemudian
menjadi sumber hukum pidana Inggris yang mempunyai karakteristik khas. Tidak
hanya itu, sumber hukum Inggris terdiri atas:

a. Common Law
Common law merupakan bagian dari hukum yang bersumber
pada kebiasaan atau adat-istiadat masyarakat yang dikembangkan
9

Ibid, Halaman 41.

Ibid, Halaman 42.

10

4

berdasarkan keputusan pengadilan. Seluruh hukum kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat tidak melalui parlemen akan tetapi
dilakukan oleh para hakim, sehingga dikenal dengan istilah judge-made
law.11 Dapat diartikan bahwa hukum pidana Inggris bersumber dari
hukum yang tidak tertulis dalam memecahkan kasus-kasus tertentu pada
waktu tertentu yang telah dikembangkan dan diunifikasi dalam bentuk
putusan-putusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent.
Common law ini juga sering disebut sebagai case law atau hukum
preseden.12
Adanya pemberlakuan asas stare decisis atau asas the
binding force of precedents di Inggris pada akhirnya mengembangkan
sumber hukum common law yang berdasarkan keputusan-keputusan
pengadilan ini mempunyai kedudukan yang kuat. Pada intinya asas ini
mewajibkan hakim untuk mengikuti keputusan hakim yang ada

sebelumnya dengan memiliki kekuatan mengikat dan berlaku untuk
keputusan pengadilan yang lebih tinggi dan keputusan pengadilan yang
setingkat dengan ketentuan tidak ada preseden yang saling bertentangan
dan tidak terjadi kekeliruan dalam hukum (per incuriam).
Precedent ini hanya mempunyai kekuatan mengikat pada
kasus konkret dengan putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi
dasar dari suatu putusan tersebut. Penyebutan fakta-fakta di pengadilan
yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang berlangsung
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sistem precedent ini tidak terlalu mengikat seperti apa yang
telah dijelaskan sebelumnya. Hakim diperbolehkan atau dapat
menghindari kekuatan mengikat dari precedent jika ia dapat
membuktikan bahwa perkara yang sedang disidangkan ada perbedaan
dengan perkara yang telah diputus sebelumnya. Pembeda itu sendiri
11

Romli Atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju,
Bandung, Halaman 36.
12
Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafndo

Persada, Jakarta, Halaman 23.

5

tidak hanya dapat digunakan oleh hakim untuk melumpuhkan kekuatan
mengikat dari precedent, melainkan advokat memiliki kewenangan
yang sama asalkan pembeda itu dapat dibuktikan dalam beracara di
pengadilan.
Konsekuensi

diberlakukannya

hukum

preseden/case

law/judge-made law/common law dalam hukum pidana Inggris,
mengakibatkan asas legalitas sepenuhnya tidak diterapkan. Hal ini
dibuktikan dengan lahirnya statute law sebagai sumber hukum pula.
Jika perkara yang sama terdapat pertentangan antara common law atau

yang

disebut

precedent

dengan

statute

law,

maka

common

law/precedent akan digunakan dan mengenyampingkan statute law.
Dalam hal demikian, hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai
dengan


kebiasaan-kebiasaan

atau

melaksanakan

asas

decisis

sepenuhnya.
Terlalu luasnya kekuasaan hakim dalam memberikan
penafsiran terhadap suatu kasus tertentu berimplikasi pada terciptanya
hukum baru sehingga dalam hal ini kepastian hukum sangat
dikesampingkan.13
b. Statute Law
Statute law merupakan sumber hukum yang berasal dari
perundang-undangan. Statute law juga memiliki kekuatan mengikat
(binding authority) seperti halnya sumber hukum common law.
Hukum pidana materiil yang berbentuk statute law (undangundang) di Inggris hanya memuat perumusan delik pidana yang berupa
kejahatan

tertentu.

Perumusan

delik

pidana

di

Inggris

tidak

dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang secara tunggal (single
code) atau yang dikenal dengan kodifikasi tunggal yang bersifat
tertutup, tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang. Dalam statute
law juga tidak memuat ajaran-ajaran umum mengenai hukum pidana.
13

Romli .A, Op. Cit, Halaman 37.

6

Perumusan delik pidana yang tersebar di beberapa undangundang hukum pidana di Inggris dapat dilihat dari beberapa contoh
undang-undang sebagai berikut:
1) Offences Againts The Person Acts 1861 (Undang-Undang
mengenai tindak pidana terhadap orang);
2) Perjury Act 1911 (Undang-Undang mengenai sumpah
palsu);
3) Sexual Offences Act 1956 (Undang-Undang mengenai
tindak pidana seksual);
4) Homicide

Act

1957

(Undang-Undang

mengenai

1938

(Undang-Undang

mengenai

pembunuhan);
5) Infanticide

Act

pembunuhan anak);
6) Murder/Abolition of Death Penalty Act 1965 (UndangUndang mengenai pembunuhan berencana atau undangundang mengenai penghapusan pidana mati);
7) Abortion Act 1967 (Undang-Undang mengenai aborsi);
8) Theft Act 1968 (Undang-Undang mengeni pencurian);
9) The Dangerous Drugs Act 1965 (Undang-Undang
mengenai obat-obatan berbahaya);
10) Hijacking

Act

1971

(Undang-Undang

mengenai

pembajakan pesawat udara).
c. Textbook yang Memuat Doktrin
Dalam hukum pidana Inggris textbook atau pendapat atau
yang dapat juga disebut sebagai doktrin juga merupakan menjadi bagian
dari sumber hukum di Inggris. Textbook ini tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat (binding authority) seperti halnya sumber hukum
common law/precedent dan sumber hukum statute law (undangundang) melainkan bersifat persuasive authority yaitu kekuatan hukum

7

yang bersifat memberikan keyakinan dan dorongan yang kuat terhadap
pembenaran suatu hukum pada kasus konkret dan fakta-fakta dalam
pembuktian di depan pengadilan.
Beberapa textbook yang telah dijadikan sebagai sumber
hukum yang memuat ajaran-ajaran umum hukum pidana Inggris antara
lain:
1) Hale’s History of The Pleas of The Crown Tahun 1736;
2) Foster’s Crown Law Tahun 1762;
3) Blackstone’s Commentaries Tahun 1765.
3. Rumusan Percobaan Menurut KUHP Inggris dan KUHP Indonesia
Dalam sistem hukum pidana Inggris, perrcobaan dikategorikan sebagai
misdemenor meskipun percobaan tersebut ditujukan pada suatu kejahatan (crime)
yang berarti bahwa percobaan tetap termasuk dalam suatu bentuk pelanggaran
hukum yang ringan.14
Perrcobaan dalam KUHP Inggris diatur dalam Criminal Attempts Act
1981 yang rumusannya sebagai berikut:15
a. Mencoba untuk melakukan kejahatan.
1. Jika dengan maksud untuk melakukan kejahatan yang diatur
oleh pasal ini maka seseorang yang melakukan tindakan lebih
dari sekedar persiapan untuk memuncukan suatu tindak pidana,
ia bersalah karena mencoba untuk melakukan pelanggaran.
a) Tunduk

pada

ketentuan

pasal

8

dari

Penyalahgunaan

Komputer

1990

(relevansi

Undang
hukum

eksternal), jika ayat ini berlaku untuk suatu tindakan, apa
yang

orang

lakukan

itu

dipandang

sebagai

suatu

pelanggaran maka ketentuan ini berlaku.
14
15

Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 47.
Criminal Attempts Act 1981, legislation.gov.uk

8

b) Ayat (1A) di atas berlaku untuk tindakan jika
1) Tindakan tersebut dilakukan di Inggris dan Wales, dan
2) Pada ayat (1) di atas diangggap sebagai pebuatan lebih
dari sekedar persiapan untuk pelaksanaan suatu tindak
pidana menurut pasal 3 dari Undang Penyalahgunaan
Komputer 1990 tapi berdasarkan fakta bahwa terjadi
suatu pelanggaran, jika selesai, tidak dapat dihukum
pelanggaran di Inggris dan Wales.
b. Seseorang mungkin bersalah karena mencoba untuk melakukan
kejahatan yang diatur oleh pasal ini berlaku meskipun adanya fakta
sedemikian rupa terhadap suatu perbuatan tindak pidana yang tidak
mungkin.
c. Dalam hal apapun di mana;
1. terlepas dari ayat ini niat seseorang tidak akan dianggap telah
mencapai suatu maksud untuk melakukan kejahatan, tetapi
2. jika fakta-fakta dari kasus tersebut karena ia telah berkeyakinan
untuk selesai, niatnya akan dianggap telah melakukan
percobaan,
Kemudian, untuk tujuan ayat (1) di atas, ia akan dianggap telah
memiliki maksud untuk melakukan tindak pidana tersebut.
d. Bagian

ini

berlaku

untuk setiap

pelanggaran

yang, jika

diselesaikan, akan dapat dihukum di Inggris dan Wales sebagai
pelanggaran dituntut, selain;
1. konspirasi (common law atau di bawah ayat 1 Undang-Undnag
M1 Criminal Act 1977 atau diberlakukannya lainnya);
2. membantu, bersekongkol, konseling, pengadaan atau suborning
komisi suatu tindak pidana;
3. pelanggaran menurut pasal 4 (1) (membantu pelaku) atau 5 (1)
(menerima atau menyetujui untuk menerima pertimbangan

9

untuk tidak mengungkapkan informasi tentang pelanggaran
arrestable) Undang-Undang M2 Criminal Act 1967.
Percobaan diatur dalam Criminal Attempts Act 1981 yang mengatur
hukuman tentang percobaan adalah hukuman maksimum pada tindak pidana yang
terselesaikan. Actus reus ada jika pelaku telah melakukan lebih dari sekedar
perbuatan persiapan. Elemen yang paling penting dalam percobaan adalah adanya
niat.16 Percobaan masuk dalam kategori tindak pidana yang tidak lengkap atau
baru pada taraf permulaan. Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan
pembuktian bahwa terdakwa telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum
dan ia telah melakukan beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari
percobaan jahat yang dapat dipidana tanpa memperhatikan apakah tindakan
tersebut selesai karena keinginannya ataupun karena orang lain.17
Untuk adanya percobaan, unsur yang paling esensial terpenuhi adalah
adanya mens rea.18 Mens rea tetap ada sekalipun seseorang berbuat secara jujur
ataupun dengan kesadaran jiwa yang bersih serta meyakini bahwa perbuatannya
sesuai dengan moral dan benar menurut hukum.19 Mens rea sendiri dapat berupa
intention

(kesengajaan),

recklessness

(kesembronoan),

dan

negligence

(kealpaan/kurang hati-hati).20
Dalam hukum pidana di Inggris, recklessness diartikan sebagai tindakan
yang mengambill resiko dengan sengaja dan resiko tersebut tidak dapat
dibenarkan.21

Recklessness

dapat

disamakan

dengan

bewuste

schuld

(kealpaan/kesalahan yang disadari) atau disebut juga advertent neglience
(kealpaan yang penuh perhatian/kehati-hatian).22 Untuk membuktikan telah
terjadinya suatu recklessness, harus dilihat keadaan si pelaku sebenarnya

16
17
18
19
20
21
22

Ibid, hlm. 48.
Ibid.
Ibid.
Ibid, hlm. 27.
Ibid.
Ibid.
Ibid, hlm. 28.

10

menyadari hukum dan mengetahui kemungkinan terjadinya suatu akibat dari
perbuatan sembrononya itu.23
Suatu putusan oleh hakim edmund davies dalam perakara R. V. Easom
pada tahun 1971 menyatakan bahwa tidak ada penghukuman yang sah terhadap
terdakwa yang dituduhkan percobaan pencurian, kecuali terbukti ia melakukan hal
itu karena digerakkan oleh niat yang sama untuk merampas barang-barang polisi
itu untuk selama-lamanya seperti diperlukan untuk menetapkan tindak pidana
yang lengkap.24
Jadi untuk membuktikan bahwa seseorang itu telah melakukan suatu
percobaan kejahatan, haruslah dilihat kehendak dan pengetahuan sebelumnya
akibat-akibat dari perbuatan yang terkandung dalam rumusan kejahatan yang
bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa kehendak dan pengetahuan
merupakan unsur kesengajaan, maka untuk membuktikan percobaan itu haruslah
dibuktikan unsur kesengajaan tidak hanya semata-mata membuktikan adanya
recklessness.
4. Rumusan Percobaan Menurut KUHP Indonesia
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang
Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan
54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen
Kehakiman adalah sebagai berikut:

a. Pasal 53
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak

23
24

Ibid.
Ibid, hlm. 48.

11

selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan
dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan
selesai.
b. Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang
dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya
dalam tulisan ini disebut dengan percobaan. Jika mengacu kepada arti kata seharihari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak
sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu,
sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh
orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak
sampai dapat mengambil barang itu.
Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan
Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
“Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide
uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van
uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.”

yang artinya adalah

12

“Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan
itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu
kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah
diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan.”
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan
kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena
bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari
pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan
melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan
akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini
menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan
percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran
tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan
percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang
telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,
dapat dipidana.
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat
dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan
menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal
184 ayat (5).
13

5. Kesimpulan
Dalam hukum pidana Inggris, unsur pertama kali yang melekat dalam
suatu percobaan adalah niat (kehendak), sama halnya seperti unsur percobaan
yang ada di Indonesia. Niat (kehendak) dinilai apakah perbuatan tersebut memang
dikehendaki atau tidak berdasarkan actus reus yang dimiliki pembuatnya. Tetap
diihat bahwa berkehendak merupakan unsur dari kesengajaan, maka dari itu
pembuktian terhadap percobaan tidak sebatas pada kesembronoan/kealpaan yang
membentuk suatu perbuatan, melainkan sikap berkendak dan mengetahui
merupakan komponen yang harus dibuktikan apakah percobaan tersebut benarbenar tidak terselesaikan secara sengaja ataupun tidak.
Hukum pidana Inggris mengatur terpisah mengenai percobaan diluar penal
code, mengatur secara tegas mengenai percobaan seperti apa yang dapat dianggap
sebagai bentuk perbuatan yang tidak selesai. Percobaan dikategorikan sebagai
pelanggaran, bukanlah suatu kejahatan. Pengaturan percobaan dalam hukum
pidana di Inggris diatur dengan jelas, mulai dari percobaan terhadap tindak pidana
dengan hukuman terberat hingga tindak pidana yang termasuk dalam kategori
pelanggaran. Perbedaan mendasar dalam hukum pidana di indonesia, percobaan
diatur dalam kodifikasi, dan sanksinya mengikuti sepertiga sanksi hukuman
terhadap perbuatan apa yang dilakukan. Hal sedemikian tidak efektif, karena jika
kembali pada tujuan pemidanaan kontemporer yang ditujukan pada rehabilitasi,
jelas sekali bahwa hukum pidana di inggris yang mengatur mengenai percobaan
dikategorikan sebagai pelanggaran ringan dan tertuang di dalam peraturan
tersendiri lebih efektif, karena pada dasarnya, perbuatan yang tidak selesai tanpa
menimbulkan akibat apapun tidak seharusnya dihukum pula sepertiga mengikuti
sanksi yang ada pada hukuman tersebut. Di Indonesia, percobaan masih belum
jelas apakah termasuk dalam suatu bentuk delik atau tidak, sedangkan di Inggris,
secara tegas bahwa percobaan telah dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA

14

Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta:
Raja Graindo Persada.
Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Criminal Attempts Act 1981, legislation.gov.uk
Frans Faramis, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Michael Bogdan, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Bandung: Nusa
Media.
Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law dan
Socialist Law), Bandung: Nusa Media.
Romli Atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar
Maju.
Wardah

cheche,

2014,

Perbandingan

Hukum

inggris

dan

Jerman,

wardahcheche.blogspot.com.

15