BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian - Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 T
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Perjanjian
1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian
Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti
perikatan, persetujuan dan bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata , suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pengertian ini dapat dilihat salah satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri.” Sejalan dengan
pengertian tersebut dalam Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.
Menurut Subekti, suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian/persetujuan adalah jelas bahwa perjanjian menerbitkan perikatan antara dua orang/pihak yang membuatnya.
Terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, definisi Perjanjian menurut
Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain 36 Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatang yang
Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum 37 Bandingkan dengan kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua orang atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim, op.cit, hlm. 42; kontrak adalah di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis dalam buku Abdul R. Saliman, et.al, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 41 38 Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umumnya,
Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum 39 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1984), hlm. 1 dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Selain dari pengertian yang diberikan KUH Perdata dan Undang-Undang tersebut, dapat dilihat juga pengertian lain dari istilah perjanjian.
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Maka dari peristiwa itulah timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan.
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya Harahap mengartikan Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk
menunaikan prestasi. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur perjanjian antara lain, hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak kepada satu
pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.
R. Setiawan dalam bukunya lebih condong memakai istilah perikatan sebagai terjemahan dari verbintenis, karena dari segi terminologis sendiri
verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Perikatan
mengandung pengertian suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek- subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak 40 41 Ibid 42 Ibid 43 M. Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6 44 Ibid
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 1
yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak lain berkewajiban atas
suatu prestasi.
Menurut Subekti, perikatan memilki arti yang lebih luas dari kata “Perjanjian”, sebab dalam buku III KUH Perdata juga diatur masalah perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan atau
perjanjian (zaakwaarneming). Dapat dilihat juga bahwa perikatan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari ialah perikatan yang bersumber dari perjanjian, bukan yang bersumber dari undang-undang. Sedangkan kontrak memiliki arti yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau
persetujuan yang tertulis.
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata yang berbunyi: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal.” 45 Ibid, hlm.2, diterjemahkan dari buku L.C. Hofmann, Het Nederlands
Verbintenissenrecht, eerste gedeelte Wolters-Noordhoff 46 Ibid, diterjemahkan dari buku A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands Burgerlijk Wetboek 47 48 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm. 122 49 Subekti, Hukum Perjanjian, loc.cit
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Kata sepakat disini harus diberikan secara bebas oleh kedua pihak,
sehingga tercapai persesuaian/persetujuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian
kehendak, yaitu: 1.
Bahasa yang sempurna dan tertulis 2. Bahasa yang sempurna secara lisan 3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan 4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya 5. Diam atau membisu, tetapi asal bisa dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannnya, adalah cakap
menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1. Orang-orang yang belum dewasa 2.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
50 51 Subekti, Hukum Perjanjian ,op. cit, hlm. 17 A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta Perkembangannya , (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 10 52 Salim, H.S, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), hlm. 33 53 Subekti, Hukum Perjanjian, loc.cit
3. Orang perempuan dalam hal-hal yag ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Suatu perjanjian harus memliki objek tertentu. Setidaknya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti aka nada. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dll, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian, barang tersebut juga harus dapat ditentukan jenisnya.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan syarat kempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan
dengan sebab yang halal itu ialah isi dari perjanjian itu sendiri. Selain itu, yang tidak hala maksudnya yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
2. Jenis-Jenis Perjanjian secara Umum
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma 54 55 Ibid, hlm. 20 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 80
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.
3. Perjanjian atas beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari piahk yang lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4. Perjanjian bernama Perjanjian ini termasuk perjanjian khusus karena ia memiliki nama sendiri.
Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-sehari.
5. Perjanjian tidak bernama Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula pernjain tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini pada prakteknya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
6. Perjanjian obligatoir Perjanjian obligatoir merupakan perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
7. Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri merupakan penyerahan kebendaan.
8. Perjanjian konsensual Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut pasal 1338 KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.
9. Perjanjian riil Dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang sudah berlau sesudah terajadi penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
10. Perjanjian liberatoir Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang.
11. Perjanjian pembuktian Perjanjian pembuktian merupakan perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
12. Perjanjian keuntung-untungan Perjanjian ini merupakan perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian keasuransian.
13. Perjanjian publik Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan- bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang setara, kisalnya perjanjian ikatan dinas.
14. Perjanjian campuran Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung beberapa unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan.
B. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
1. Latar belakang Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5
Tahun 1999)Sejarah lahirnya UU No.5 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari fenomena keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi baik yang berlangsung dari negara lain di dunia maupun yang dari dalam negeri; di mana sejak tahun 1930-an orang baru memulai menggunakan kacamata hukum ekonomi atau Droit
Economique yang pada waktu itu baru mencakup peraturan-peraturan administrasi
negara. Tumbuhnya hukum ekonomi ini berpangkal pada konsepsi negara kesejahteraan, yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak hanya menyerahkan kepada warga negara sendiri saja untuk memenuhi segala kebutuhan (sebagaimana pendirian paham liberal).
Untuk itu Prancislah yang pertama mengusahakan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan umum tersebut melalui kaidah-kaidah administrasi
negaranya. Keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi ini menjadikannya suatu bidang yang berhubungan langsung dengan kebijakan ketahanan nasional
dan politik negara.
Demikian juga halnya dengan sejarah hukum ekonomi di Indonesia yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Landasan hukum bagi struktur ekonomi Indonesia yang dualistis tercantum dalam Pasal 131dan 163 Indische Staatregeling (Stb. 1854:2 dan Stb. 1855:2). Pasal-pasal tersebut merupakan kaidah yang sesungguhnya menunjang kebijaksanaan ekonomi yang dualistis, karena memberi peran yang dominan kepada golongan Eropa dalam sektor bisnis internasional, industri dan perbankan. Golongan Bumiputera dalam sektor agraris atau penghasil bahan mentah dan Golongan Timur Asing sebagai pedagang
perantara bagi kedua golongan tersebut.
Kebijaksanaan yang dualistis ini menyebabkan terjadinya kesenjangan pada tata kehidupan ekonomi, sehingga peluang-peluang usaha yang tercipta dalam kenyataanya belum dapat membuat masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di sektor ekonomi. Meskipun Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat dalam bidang perekonomian saat era booming minyak berlalu dan dimulainya era investasi asing di Indonesia sekitar tahun
1970-an.
56 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.
21 57 58 Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 277 59 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, op.cit, hlm. 22 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 186 60 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 3
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia sangat rapuh dan tidak mau
bersaing. Fakta menyebutkan bahwa reformasi dipicu oleh gejolak akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan yang merupakan kesalahan manajemen ekonomi pemerintahan Orde Baru, meskipun tuntutan agar Indonesia mempunyai suatu undang-undang antimonopoli sudah muncul pada tahun 1990-an namun tidak
didukung oleh political will dari pemerintah saat itu. Krisis terjadi karena rusaknya pilar ekonomi dalam segi perbankan, kebijakan moneter dan pinjaman
utang luar negeri yang tinggi.
Dalam upaya mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan Januari 1998 Indonesia menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari program bantuan International Monetary Fund (IMF). Dari 50 butir memorandum maka serangkaian kebijakan deregulasi segera dilakukan pemerintah pada waktu
itu, beberapa diantaranya yang bersinggungan dengan persaingan usaha adalah:
a. Butir (31) bulan November, pemerintah menyusun strategi ambisius untuk reformasi structural yang bertujuan untuk membawa ekonomi kembali ke arah pertumbuhan yang cepat dengan mengubah ekonomi berbiaya tinggi ke ekonomi yang lebih terbuka, efisien dan kompetitif. Untuk itu strategi yang ditujukan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing, deregulasi
61 62 Hermansyah, op.cit, hlm. 11 63 Ibid, hlm. 10 64 Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm.23 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 7-9 kegiatan domestic dan mempercepat program swastanisasi sekaligus mempertimbangkan langkah menghadapi kemiskinan.
b. Butir (32) pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih terbuka dan meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli Bulog untuk program gandum, kedelai, bawang putih. Importer diperkenankan menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri, kecuali gandum.
c. Butir (33) Harga Patokan Sementara (HPS) semen dihapus serta penurunan harga bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tariff produk kimia akan diturunkan menjadi 5% mulai 1 Januari 1999. Dengan demikian tariff maksimum produk-produk ini ditargetkan mencapai 10% pada tahun 2003.
d. Butir (41) terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang produk pertanian seperti cengkeh, jeruk dan vanilla akan memiliki kebebasan menjual dan membeli komoditinya tanpa ada batasan wilayah. BPPC akan dibubarkan pada bulan Juni 1998.
e. Butir (43) monopoli Bulog aqkan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1 Februari 1998, semua pedaganag akan diizinkan untuk mengimpor gula dan memasarkannya pada pasar domestic, dan petani akan dibebaskan dari ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu.
Salah satu yang diatur dalam Letter of Intent tersebut adalah untuk menjamin adanya iklim persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun istilah monopoli
dalam undang-undang tersebut dipakai merupakan refleksi akibat yang terjadi di Indonesia seperti telah disebutkan sebelumya adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai atau memonopoli bidang-bidang tertentu sama halnya dengan di beberapa negara seperti Amerika Serikat yang menggunakan Antitrust Law yang merupakan ketidaksetujuan terhadap gabungan (trust) dari beberapa perusahaan besar yang mengakibatkan persaingan terganggu.
2. Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999
Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Di mana dalam prinsip per se illegal (per se violation atau per se rule) dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.
Sedangkan prinsip rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalusi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian
atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan.
Kedua prinsip ini terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yang berbunyi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga” di mana kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian lebih lanjut. Selain itu klausul yang menggambarkan prinsip per se
65 66 Ibid, hlm. 9-10 Emmy Yuhassarie, et.al, Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.5/1999 dan KPPU, 17-18 Mei 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 104
illegal juga terdapat yaitu adanya istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang
dapat mengakibatkan”.
Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua prinsip tersebut tetapi sebenarnya kedua prinsip ini saling melengkapi dan tidak merupakan
inkonsistensi. Karena per se illegal di satu sisi mempunyai manfaat besar dalam penerapannya yaitu kemudahan dan kejelasannya dalam proses admnistratif, selain itu juga pendekatan ini memiliki daya mengikat yang lebih luas daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai kondisi pasar yang
kompleks, yang menyelidiki situasi serta karakteristik pasar. Namun di sisi lain, dalam menghadapi kasus-kasus perjanjian, terutama perjanjian yang tidak tertulis/lisan, terdapat kesusahan dalam hal pembuktian bahwa telah terjadinya perjanjian yang merusak persaingan. Seperti contoh pada kasus Barber Shop
Association, tidak terdapat bukti langsung bahwa asosiasi tersebut menetapkan
suatu “harga standar” kepada para anggotanya. Namun, asosiasi melakukan tekanan kepada para anggotanya untuk mengatur harga senilai 300 yen dengan cara mengumumkan hasil penelitian kuesioner yang telah dijawab oleh para
anggota.
Sedangkan konsep rule of reason memilki keunggulan dengan digunakannya analisi ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan 67 68 Ibid Ibid, hlm.117, di mana Hakim Burger telah mengantisipasi untuk mengakhiri
perdebatan tentang perbedaan yang jelas antara analisis per se illegal dan rule of reason dalam
dissenting opinion- nya pada kasus Topco, dengan menyatakan bahwa “per se rules... are
complimentary to, and no way incossistent with, ... ” 69 70 Ibid, hlm. 106 Kegiatan ini dievaluasi sebagai bukti tidak langsung sebagai bentuk penetapan harga.Ibid, hlm. 108 pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap
persaingan. Dan di sisi lain, seperti telah disebutkan di atas, bahwa konsep ini juga terdapat kelemahan, yaitu bahwa rule of reason yang digunakan para hakim (atau juri) mensyaratkan pengetahuan tentang ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu memilki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna
mendapat keputusan yang rasional.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus persaingan usaha dalam kenyataannya tidak mudah diterapkan prinsip mana yang harus diberlakukan, karena tidak semua orang memiliki persepsi yang sama tentang pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah
melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya (reasonableness). Terdapat beberapa cara atau analisis dalam membuktikan prinsip atau konsep mana yang harus diberlakukan atau untuk memisahkan secara tegas kedua prinsip ini, antara
lainnya : a.
Bright line test (per se rules); dengan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan.
b.
Dichotomy model; cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang dilakukan dengan batasan yang jelas antara per se atau rule of reason dan hasilnya dianalisis dengan memperbandingkan alasan dan konsekuensi yang ditimbulkannya.
71 72 Ibid, hlm. 111 73 Ibid, hlm. 111-112 Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 102 74 Ibid, hlm. 104-111 c.
Truncated analysis of rule of reason (quick look theory); pendekatan ini lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat anti persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anti persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian akan dilanjutkan dengan menggunakan analisis rule of reason.
d.
Model Tradisional 6 Sel; mekanisme ini utnuk menentukan kasus persaingan untuk melihat dulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boikot.
e.
Rule of reason versi Hakim Old White-Brandies; dengan pendekatan konsekuensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan biaya dan keuntungan, maka pengadilan dapat mengukur beralasankah tindakan yang telah dilakukan.
f.
Direct-Indirect versi Hakim Peckham; ia menetapkan suatu standar bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan, maka dinyatakan dengan per se illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dilakukan untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat tambahan (ancillary). g.
Rule of reason versi Hakim Taft; beliau menyarankan pendekatan Hakim Peckham tetapi dengan menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan harus tetap dievaluasi. Pendekatan ini mempertanyakan apakah semua hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Hakim Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal atau horizontal.
h.
Presumptive (Kemungkinan); analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan fungsi ekonomi dari hambatan, keberadaan hambatan yang sifatnya internal atau eksternal, kedudukan para pihak yang relative independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan bila memang sifatnya mutlak, apakah ada pengecualian yang dibolehkan undang- undang.
3. Asas dan tujuan UU No. 5 tahun 1999
Tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 terdapat dalam Pasal 3 dan konsiderans secara implisit. Pada bagian konsiderans, dapat ditarik tiga tujuan umum yang hendak dicapai dalam penyusunan undang-undang ini. Pertama, di dalam konsiderans tercantum tujuan yang sangat umum dan klise bahwa undang- undang ini ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi pada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
Kedua, di dalam konsiderans juga disebutkan bahwa undang-undang ini disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang ikut serta dalam proses
75 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, op.cit, hlm. 187
produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar secara wajar. Ketiga, secara tersirat juga dinyatakan bahwa undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah pemusatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
Secara lebih tegas, tujuan UU No. 5 Tahun 1999 ini dicantumkan dalam Pasal 3 yang bersama-sama dengan Pasal 2 berada di bawah bab tentang asas dan
tujuan.
Tujuan UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam Pasal 3
adalah: 1.
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Asas UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas dicantmkan dalam Pasal 2. Menurut pasal tersebut, asas kegiatan usaha di Indonesia adalah, “demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara pelaku usaha dan kepentingan umum.”
4. Subjek hukum dalam UU No. 5 tahun 1999 76 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 75-
76 77 Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut subjek hukum sesuai dengan yang dimaksud dengan kata “orang” dalam
78 KUHPerdata Buku I Bab I. Jadi, dapat dikatakan bahwa tiap manusia baik
warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaanya adalah subjek hukum. Di samping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang
disebut Badan Hukum. Subjek hukum ini dapat mengadakan hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajibannya dalam lalu lintas hukum.
Dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1999 sebagai landasan kebijakan dari Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, maka yang dapat dikatakan subjek hukum
adalah pelaku usaha mana menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 merupakan setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Definisi pelaku usaha tersebut tidak membedakan antara perusahaan terbuka dan perusahaan tertutup. Sepanjang pelaku usaha itu melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Repulik Indonesia, Undang-Undang Antimonopoli dapat
78 79 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 139 80 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 227 M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2007), hlm. 279
diterapkan jika pelaku usaha melanggar ketentuannya. Selain itu, pelaku usaha ini melakukan kegiatannya dalam pasar yang pada terminologi ekonominya dapat disamakan dengan pelaku dalam pasar. Produsen (perusahaan) adalah pemegang peranan kunci dalam memproduksi barang yang akan dijual di pasar untuk para konsumen. Dimana pelaku dalam pasar atau ekonomi ini akan berupaya mencapai keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya dengan
mempertimbangkan variabel biaya atau cost yang harus dikeluarkan.
5. Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia
Dalam pembahasan mengenai pengawasan atau penegakan hukum
persaingan usaha di Indonesia maka tidak terlepas dari lembaga independen atau
non-struktural yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dalam menangani dugaan pelanggaran dan upaya penegakan hukum, KPPU dapat memperoleh sumber-sumber informasi atau bukti-bukti, baik dari luar, misalnya laporan dari pihak ketiga, maupun yang dilakukan dari dalam yang berdasarkan
inisiatif anggota KKPU sendiri.
Apabila informasi adanya pelanggaran itu diperoleh dari pihak luar, maka KPPU berkewajiban memprosesnya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dan ia diwajibkan pula
81 82 Ibid, hlm.280 83 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 50-51
Pasal 30 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999: “Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekeuasaan pemerintah serta pihak lain ” 84 Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha: “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan lembaga non-struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.” 85 86 Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999
Pasal 38 UU No. 5 Tahun 1999
menjaga kerahasiaan pihak yang melaporkannya.
Inisiatif pemeriksaan tentang
dugaan adanya pelanggaran undang-undang ini juga dapat dilakukan oleh KPPU meskipun tidak didahului adanya laporan dari siapapun.
Jika terjadi pelanggaran, maka pihak yang diduga melakukannya itu
berkewajiban memenuhi panggilan KPPU, termasuk pula menyerahkan bukti- bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, apabila KPPU menganggap alat bukti itu merupakan dokumen yang penting dan dapat membuktikan terjadinya atau tidak terjadinya pelanggaran. Dan bagi pihak yang menolak bekerjasama maka akan dikenakan sanksi.
1. Pemeriksaan Pendahuluan Tahapan-tahapan pemeriksaan di KPPU dapat dibagi menjadi dua tahap pemeriksaan, yaitu: Pengertian pemeriksaan pendahuluan dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat
(14) Peraturan Komisi No. 1/2006
2. Pemeriksaan Lanjutan , yang berbunyi sebagai berikut:
“pemeriksaaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan.”
Pemeriksaan lanjutan pertama kali disebutkan di dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, dan dijelaskan secara detail dalam Pasal 1 ayat (15) yang berbunyi sebagai berikut: “serangkaian kegiatan yang dilakukan 87 Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1999 88 Pasal 40 UU No.5 Tahun 1999 89 Pasal 41 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 90 Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran.” Pemeriksaan lanjutan biasanya dilakukan apabila KPPU telah menemukan indikasi adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan
pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada.
Setelah KPPU menyelesaikan pemeeriksaan lanjutan, KPPU diwajibkan untuk memutuskan telah terjadi atau tidak pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dalam tenggang waktu 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan
lanjutan. Adapun putusan tersebut harus dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang juga harus diberitahukan kepada pelaku usaha terkait.
Apabila terbukti bersalah dan pelaku usaha tersebut tidak menerima putusan tersebut, maka dapat diajukan upaya keberatan selambat-lambatnya 14 hari
setelah menerima pemberitahuan putusan dari KPPU.
91 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 19 92 93 Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999