JUAL BELI DI DUNIA MAYA E COMMERCE (1)
REVISI
JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun oleh:
KHOTRIAH (1502100068)
Kelas: A
PROGRAM STUDI S1-PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO
STAIN JURAI SIWO METRO
2016
JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
A. PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang “JUAL BELI DI DUNIA MAYA (ECOMMERCE)”. Pada zaman serba modern ini, dunia teknologi semakin canggih.
Banyak sekali aplikasi-aplikasi yang tersedia untuk melakukan transaksi jual beli
melalui dunia maya seperti, facebook, twiter, BBM, dan aplikasi-aplikasi lainnya.
Dengan adanya jual beli online memudahkan kita untuk memilah-milah barang yang
kita sukai tanpa harus pergi ke pusat perbelanjaan. Namun di kalangan masyarakat
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, mereka masih bertanya-tanya,
apakah jual beli di dunia maya (e-commerce) tersebut di perbolehkan dalam Islam
atau tidak? Banyak sekali keraguan-keraguan tentang jual beli melalui media
internet tersebut karena sering terjadi unsur-unsur penipuan.
Kajian tentang jual beli di dunia maya (e-commerce) ini penting untuk
disajikan pada kelas A S1-Perbankan Syariah, karena dengan adanya makalah ini
kita semua bisa mengetahui apakah dalam Islam jual beli melalui internet tersebut
diperbolehkan atau tidak. Kajian dalam makalah ini berdasarkan kajian dalam buku,
tesis, jurnal, artikel dan skripsi yang berkaitan langsung dengan masalah jual beli di
dunia maya (e-commerce).
Pembahasan dalam makalah ini di mulai dari pengertian jual beli di dunia
maya (e-commerce), jenis-jenis e-commerce, strategi dalam jual beli di dunia maya
(e-commerce), hukum (fiqih) e-commerce, syarat-syarat sahnya e-commerce
menurut fiqih, manfaat jual beli di dunia maya (e-commerce).
B. PENGERTIAN JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Pada umumnya transaksi secara online merupakan transaksi pesanan dalam
model bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer data lewat
dunia maya (data interchange) via internet, yang mana kedua belah pihak, antara
originator dan adresse (penjual dan pembeli), atau menembus batas system
pemasaran dan bisnis online dengan menggunakan sentral shop, sentral shop
merupakan sebuah rancangan web e-commerce smart dan sekaligus sebagai
Business Intelligent yang sangat stabil untuk digunakan dalam memulai,
menjalankan, mengembangkan, dan mengontrol bisnis. Perkembangan teknologi
inilah yang bisa memudahkan transaksi jarak jauh, dimana manusia bisa dapat
berinteraksi secara singkat walaupun tanpa face to face, akan tetapi di dalam bisnis
adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari keuntungan.1
E-commerce seringkali diartikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui
media elektronik, khususnya melalui internet. Dalam bisnis ini, dukungan dan
pelayanan
terhadap
konsumen
menggunakan
e-mail sebagai alat bantu,
mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya. Sebenarnya
definisi mengenai
e-commerce. Tetapi yang pasti,
setiap kali
ada
banyak
masyarakat
berbicara tentang e-commerce, mereka biasanya memahaminya sebagai bisnis
yang berhubungan dengan internet.
Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh berbagai
kalangan,
terdapat
kesamaan
dari
setiap
definisi
tersebut. Kesamaan ini
menunjukkan bahwa e-commerce memiliki karakteristik:
1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
3) Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut.2
Yasinta Devi, “Analisis Hukum Islam Tentang Jual Beli Gold Pada Game Online Jenis
World Of Warcraft (WOW)”. Skripsi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
(2010), h. 35.
2
M. Husaini, “Bisnis E-Commerce Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ilmu Dakwah dan
Pengembangan Komunitas, (Vol. 9 No.2, Juli 2014), h. 189.
1
Dalam Islam, transaksi apapun dan bagaimanapun kreasinya, selama tidak
mengandung hal-hal yang menyebabkan terjadinya kerugian pada salah satu pihak
yang bertransaksi dan barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang terlarang
dan dilarang baik oleh hukum agama (syariat Islam) seperti halnya barang atau
benda yang najis dan haram semisal narkoba dan ataupun oleh hukum negara
seperti halnya barang hasil curian, korupsi, pencucian uang (money laundry) maka
diperbolehkan.3
Dalam dunia e-commerce dikenal dua pelaku, yaitu merchant/pelaku usaha
yang melakukan penjualan dan buyer/customer/konsumen yang berperan sebagai
pembeli. Selain pelaku usaha dan konsumen, dalam transaksi jual beli melalui media
internet juga melibatkan provider sebagai penyedia jasa layanan jaringan internet
dan bank sebagai sarana pembayaran.4
Pada e-commerce dikenal istilah pengiriman barang. Hal itu terjadi karena
biasanya antara penjual dan pembeli tidak tinggal berdekatan, bahkan bisa sangat
jauh terpisah kota, daerah bahkan negara. Pengiriman ini dilakukan setelah
pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal
ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang
yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan
biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.5
Bagi perusahaan yang melibatkan barang secara fisik, perusahaan akan
mengirimkannya melalui kurir ke tempat pemesanan berada. Jalur kedua adalah
jalur yang menarik karena disediakan bagi produk atau jasa yang dapat digitalisasi
(diubah menjadi sinyal digital). Produk-produk yang semacam teks, gambar, video
dan audio secara fisik tidak perlu lagi dikirimkan, namun dapat disampaikan melalui
Shofiyullah Mz, “E-Commerce Dalam Hukum Islam”, Jurnal Penelitian Agama, (Vol XVII,
No. 3, September-Desember 2008 ), h. 579.
4
Lia Catur Muliastuti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Melalui Media Internet”, Tesis di Universitas Diponegoro Semarang, (2010 ), h. 65.
5
Azhar Muttaqin, “Transaksi E-Commerce dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam”, Jurnal
Ulumuddin,
(Fakultas Agama Islam UMM, Volume VI, No. IV, Januari – Juni 2010 ), h. 465.
3
jalur internet, contohnya electronic newspapers, digital library, virtual school dan
sebagainya.
Dalam islam dituntut untuk lebih jelas dalam memberikan suatu landasan
hukum, maka dari itu Islam melampirkan sebuah dasar hukum yang terlampir dalam
Al-Qur’an, Hadis ataupun ijma’. Perlu diketahui sebelumnya mengenai jual beli
online ini secara khusus dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menjelaskan, yang
selama ini dijadikan landasan hukum adalah transaksi jual beli secara global.
Pelaksanaan transaksi bisnis e-commerce, secara sekilas hampir serupa
dengan transaksi as-salam dalam hal pembayaran dan penyerahan komoditi yang
dijadikan sebagai obyek transaksi. Oleh karena itu, untuk menganalisis dengan jelas
apakah transaksi dalam e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan
dengan prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi as-salam maka masingmasing dapat dicermati melalui pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, proses
pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek transaksi.
Dalam permasalahan e-commerce, fiqih memandang bahwa transaksi bisnis
di dunia maya diperbolehkan karena mashlahah. Mashlahah adalah mengambil
manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’. Bila ecommerce dipandang seperti layaknya perdagangan dalam islam, maka dapat
dianalogikan bahwa pertama penjualannya adalah merchant (Internet Service
Provider atau ISP), sedangkan pembelinya akrab dipanggil customers. Kedua,
obyek adalah barang dan jasa yang ditawarkan (adanya pemesanan seperti assalam) dengan berbagai informasi, profile, mencantumkan harga, terlihat gambar
barang, serta resminya perusahaan. Dan ketiga, sighat (ijab-qabul) dilakukan
dengan payment gateway yaitu system/software pendukung (otoritas dan monitor)
bagi acquirer, serta berguna untuk service online.6
6
Yasinta Devi, “Analisis Hukum… , h. 35-38, 41.
C. JENIS-JENIS E-COMMERCE
Transaksi
membedakannya
E-commerce
perlu
dibagi
meliputi
dalam
banyak
jenis-jenis
hal,
maka
E-commerce.
untuk
jenis-jenis
transaksi dari suatu kegiatan E-commerce adalah sebagai berikut :
1) Business to Business (B2B)
Transaksi yang terjadi antara perusahaan dalam hal ini, baik
pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan
perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah
saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut
dilakukan untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.
2) Business to Consumer (B2C)
Transaksi antara perusahaan dengan konsumen/individu. Pada
jenis ini transaksi disebarkan secara umum, dan konsumen yang
berinisiatif melakukan
transaksi.
Produsen
harus
siap
menerima
respon dari konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan
adalah
sistem web karena sistem ini yang sudah umum dipakai
dikalangan masyarakat.
3) Consumer to Consumer (C2C)
Transaksi jual beli yang terjadi antar individu dengan individu yang
akan saling menjual barang.
4) Consumer to Business (C2B)
Transaksi
yang
memungkinkan
individu
menjual
barang
pada
perusahaan.7
Munir Fuadi sebagaimana dikutip oleh Daniel Alfredo Sitorus, “Perjanjian Jual Beli Melalui
Internet (E-Commerce) Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”, Skripsi di Universitas Atmajaya
Yogyakarta Fakultas Hukum (2015), h. 8.
7
D. STRATEGI DALAM JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Langkah 1: Set Strategy
Hal yang pertama kali harus dilakukan adalah menyusun suatu strategi
dengan berpegang pada suatu prinsip, yaitu bagaimana memudahkan konsumen
dalam
melakukan
bisnis
dengan
perusahaan.
Perlu
diperhatikan,
konsumenlah yang akan menjadi sumber pendapatan perusahaan
bahwa
karena
merekalah yang akan mengkonsumsi produk atau jasa yang ditawarkan.
Perusahaan harus memastikan bahwa cara berbisnis yang ditawarkan
tidak
merepotkan atau menyulitkan mereka, sebaliknya justru mempermudah mereka
dalam mendapatkan produk atau jasa yang dibutuhkan. Jalan yang paling mudah
untuk mulai membangun strategi perdagangan melalui dunia maya yaitu dengan
cara berempati, yaitu berfikir seperti layaknya seorang konsumen.
Langkah 2: Focus on the End-Customer
Setiap proses bisnis pasti memiliki konsumen
yang secara
langsung
maupun tidak langsung “menkonsumsi” produk atau jasa yang ditawarkan. Pada
tahapan ini, adalah penting bagi perusahaan untuk mengkaji dan mendefinisikan
siapa sebenarnya konsumen langsung (end-customer) dari produk atau jasa yang
ditawarkan.
Langkah 3: Redesigning Customer-Focus Business Process
Ketika konsep Business Process Reengineering (BPR) diperkenalkan sejalan
dengan perkembangan
teknologi informasi, banyak perusahaan yang mulai
melakukan rancang ulang terhadap proses dan aktivitas internalnya agar tercipta
suatu alur yang efisien. Hanya saja ada kesalahan prinsip yang sering dilakukan,
yaitu dimulainya melakukan proses perancangan dari dalam ke luar (from inside to
outside), padahal tujuan akhir dari perubahan proses bisnis tersebut adalah untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan, yang notabene berada di luar perusahaan
(eksternal). Proses perancangan ulang yang benar adalah dengan memualinya dari
aktivitas terluar, yaitu yang menghubungkan
perusahaan dengan konsumennya
(customer focus business process).
Langkah 4: Wire Company for Profit
Setelah proses bisnis selesai dirancang ulang untuk menyesuaikan dengan
karakteristik
bertransaksi
mempersiapkan
di
infrastruktur
dunia
maya,
perusahaan
untuk
langkah
selanjutnya
memungkinkan
adalah
terjadinya
mekanisme bisnis yang diinginkan. Yang paling penting untuk diketahui di sini
adalah bagaimana mentransformasikan kebutuhan bisnis dengan spesifikasi
teknologi informasi yang ada (business and information technology alignment).
Langkah 5: Foster Customer Loyalty
Langkah yang terakhir adalah berusaha untuk membuat konsumen loyal
terhadap perusahaan e-commerce yang ada, hanya karena dengan loyalitas mereka
sajalah maka profitabilitas usaha dapat tercapai.8
E. HUKUM (FIQIH) E-COMMERCE
Transaksi elektronik penjualan barang yang ditawarkan melalui internet
merupakan transaksi tertulis. Jual beli dapat menggunakan transaksi secara lisan
dan tulisan. Keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqihiyah:
“Tulisan (mempunyai kekuatan hukum) sebagaimana ucapan”9
Akad jual beli yang dilakukan secara tertulis sama hukumnya dengan akad
yang dilakukan secara lisan. Berkaitan dengan kaidah ini al-Dasuqi mengatakan:
“Sah hukumnya akad dengan tulisan dari kedua belah pihak atau salah satu dari
mereka menggunakan ucapan sementara yang lain menggunakan tulisan”10
Richardus Eko Indrajit, “E-Commerce (Lima Langkah Sukses E-Commerce)”, Artikel Sistem
dan Teknologi Informasi (2012), h. 1-5.
9
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 35.
8
Kalangan Malikiyah, Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyah bahwa tulisan sama
halnya dengan lisan dalam hal sebagai indikasi kesuka-kerelaan, baik saat para
pihak yang melakukan akad hadir (ada) maupun tidak. Namun demikian, hal
ini tidak berlaku untuk akad nikah.11
Transaksi menggunakan tulisan merupakan transaksi kinayah yang
kebasahannya sama dengan transaksi dengan lisan, selama maksud masingmasing pihak yang berakad tercapai.12 Al-Syarwani menyatakan bahwa tulisan
selama dapat menyampaikan pesan dan maksud pihak yang melaksanakan
akad maka dapat diterima: “Tulisan bukan pada zat zair atau udara termasuk
kinayah. Maka jual beli dengan tulisan yang jelas bila disertai dengan niat maka
hukumnya sah. Meskipun bertransaksi dengan orang yang hadir dalam majelis akad,
maka ia harus menerima akad tersebut ketika mengetahuinya. Khiyar mereka
berlaku sampai majelis menerima (qabul) tersebut berakhir”.13
Selain penjelasan tentang kekuatan transaksi secara tertulis di atas,
perlu ditekankan bahwa yang menjadi acuan hukum suatu perbuatan adalah
maksud dan tujuannya, bukan zhahirnya. Transaksi elektronik sebagai suatu
perbuatan
hukum, maka yang menjadi acuan adalah niat dan
tujuan masing-
masing pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.14 Dalam hal ini berlaku kaidah
fiqihiyah:
“Acuan dalam suatu akad adalah tujuan dan substansinya, bukan bentuk dan
lafazhnya”
Anonim sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 35.
Ibid., h. 35.
12
Imam Mustofa sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 36.
13
Al-Syarwani sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 36.
14
Imam Mustofa sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 37.
10
11
Dua
kaidah
di
atas menunjukkan bahwa yang menjadi acuan suatu
perbuatan adalah niat dan tujuannya, bukan
zhahirnya
atau
bahkan
bukan
wasilah atau medianya. Dalam sebuah akad, maka lafazh dan media tidak
menjadi pertimbangan atau acaun hukum.15 Berkaitan dengan hal ini Ibnu alQoyyim al-Jauziyah mengatakan:
“kaidah fiqih dan usul fiqih mengakui bahwa yang menjadi acuan utama dalam akad
adalah tujuan dan hakikatnya, bukan bentuk dan lafazhnya”
Berkaitan dengan hal di atas, maka berlaku juga kaidah:
“Toleransi dalam akad tidak berlaku pada kesalahan substansial, toleransi
(kesalahan) hanya berlaku pada masalah media atau sarana akad”
Maksud kaidah ini adalah hukum perantara terhadap suatu tindakan
atau peristiwa hukum berbeda dari hukum tujuannya. Contohnya, apabila orang
hendak melaksanakan jual beli, maka yang menjadi perhatian hukumnya adalah
tujuan dan maksud dari transaksi jual beli tersebut. adapun perantara atau
media untuk melaksanakan transaksi tersebut tidak dipermasalahkan.16
Jual beli yang rusak dan batil menurut mazhab Mâlikî adalah mencakup
lima aspek, yaitu:
1) yang berkaitan dengan dua belah pihak yang melakukan akad (âqidayin),
2) yang berkaitan dengan harga,
3) yang berkaitan dengan gharar,
4) yang berkaitan dengan pembahasan tentang ribâ,
5) yang berkaitan dengan jual beli yang dilarang.17
15
Ibid., h. 37.
Ibid., h. 39-39.
17
Ika Yunia Fauzia, “Akad Wakalah dan Samsarah sebagai Solusi atas Klaim Keharaman
Dropship dalam Jual Beli Online”, Jurnal Studi Keislaman, (Surabaya: Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Perbanas Surabaya, Indonesia, Volume 9, No. 2, Maret 2015), h. 335.
16
F. SYARAT-SYARAT SAHNYA E-COMMERCE MENURUT FIQIH
Keabsahan e-commerce sebagai bentuk transaksi jual beli tergantung
pada terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat yang berlaku dalam jual beli. Apabila
rukun dan syarat terpenuhi maka e-commerce sah sebagai sebuah transaksi yang
mengikat, dan sebaliknya, apabila tidak terpenuhi maka tidak sah. Akad dalam
transaksi elektronik berbeda dengan akad secara langsung. Transaksi elektronik
biasanya menggunakan akad secara tertulis, (E-mail, Short Message Service/SMS,
Black Barry Messanger/BBM dan sejenisnya) atau menggunakan lisan (via telepon)
atau video seperti teleconference. Umumnya, penawaran dan akad dalam transaksi
elektronik dilakukan secara tertulis, dimana suatu barang dipajang dilaman internet
dengan dilabeli harga tertentu. Kemudian bagi konsumen atau pembeli yang
menghendaki
maka mentransfer uang sesuai dengan harga yang tertera dan
ditambah ongkos kirim. Suatu akad dilakukan dengan isyarat saja bisa absah,
terlebih dengan menggunakan tulisan, gambar dan ilustrasi yang lebih jelas.
Isyarat dalam akad pada dasarnya mempunyai kekuatan hukum sebagaimana
penjelasan dengan lisan. Hal ini berdasarkan kaidah:18
“Isyarat (yang dapat dipahami) bagi orang bisu (hukumnya) sama dengan
penjelasan dengan lisan”
Sementara
mengenai
syarat
adanya
barang
dan
uang
sebagai
pengganti harga barang, maka dalam transaksi elektronik atau e-commerce
tidak dilakukan secara langsung dalam dunia nyata. Dalam hal bentuk dan
wujud barang yang menjadi obyek transaksi, dalam e-commerce biasanya
hanya
berupa
gambar
(foto
atau
video) yang menunjukkan barang aslinya
kemudian dijelaskan spesifikasi sifat dan jenisnya. Pembeli dapat dengan bebas
memilih barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Barang akan dikirim
setelah uang dibayar.
Imam Mustofa, “Transaksi Elektronik (E-Commerce) dalam Perspektif Fikih”, Jurnal Hukum
Islam (JHI), (STAIN Metro Lampung, Lampung Indonesia, Volume 10, Nomor 2, Juni 2012),
h. 171.
18
Mengenai sistem pembayaran atau penyerahan uang pengganti barang,
maka umumnya adalah dilakukan dengan cara transfer. Bila sistem yang
berlaku seperti ini, maka pada dasarnya jual beli ini adalah jual beli salam.
Pembeli memilih barang dengan spesifikasi tertentu, kemudian membayarnya,
setelah itu
barang akan diserahkan atau dikirim kepada pembeli. Hanya saja
dalam transaksi salam, uang yang dibayarkan di muka sebagaimana jual beli
salam.
Apabila sistem salam yang dilaksanakan dalam e-commerce, maka
rukun dan syaratnya juga harus sesuai dengan transaksi salam. Rukun salam yaitu:
a. Muslim (pembeli atau pemesan);
b. Muslam ilaih (penjual atau penerima pesanan);
c. Muslam fih (barang yang dipesan);
d. Ra’sul mal (harga pesanan atau modal yang dibayarkan);
e. Shighat ijab-qabul (ucapan serah terima).
Adapun mengenai syarat salam, secara umum sama dengan syarat akad
jual beli, yaitu: barang yang dipesan merupakan sepenuhnya milik penjual, bukan
barang najis dan bisa diserahterimakan. Hanya saja dalam akad salam tidak ada
syarat bagi pemesan untuk melihat barang yang dipesan,
ia hanya disyaratkan
menentukan sifat-sifat dan jenis atau spesifikasi barang yang dipesan secara jelas.19
Beberapa ulama menentukan syarat transaksi yang dilakukan dengan
perantara:
1. Kesinambungan antara ijab dan qabul. Menurut jumhur, selain Syafi’iyah
qabul tidak harus langsung.
2. Qabul dilakukan di tempat sampainya ijab.
3. Kesesuaian antara ijab dan qabul.
4. Tidak adanya penolakan dari salah satu pihak yang bertransaksi.
19
Ibid., h. 175.
Model transaksi jarak jauh yang dilakukan dengan perantara menurut
kalangan ulama kontemporer, seperti Muhammad Buhats al-Muthi’i, Mushthafa
al-Zarqa, Wahbah al-Zuhaili, Syaikh Abdullah bin Muni’ adalah sah secara hukum
fikih. Alasan ulama tersebut adalah:
1) Ulama masa lalu telah membolehkan transaksi yang dilakukan dengan
perantara, ijab sah saat pesan telah sampai kepada penerima pesan;
2) Maksud dari satu majelis (ittihadul majlis) dalam syarat transaksi adalah
satu waktu dimana kedua belah pihak melakukan transaksi, bukan
berarti satu lokasi atau tempat, dan hal ini dapat berlangsung dengan
menggunakan telepon atau internet dan media lainnya.20
Hukum transaksi via teknologi modern seperti Handphone, I-Pad, internet
dan telah dibahas pada muktamar VI Fikih Islam yang dilaksanakan di Jeddah Saudi
Arabia tanggal 14-20 Maret 1990. Melihat perkembangan teknologi modern
yang berdampak pada segala bidang, termasuk transaksi perdagangan demi
kecepatan kegiatan bisnis dan ekonomi lainnya, maka perlu diputuskan hukum
tentang penggunaan media
tersebut
dalam
perspektif
fikih
Islam. Hal
ini
tentunya dengan tetap berpegang pada persyaratan-persyaratan transaksi yang
telah ditetapkan oleh fuqaha, baik transaksi secara lisan, tulisan maupun via surat,
persyaratan bertemunya para pihak dalam satu forum (ruang dan waktu),
kontekstualitas antara ijab dan qobul, tidak adanya maksud salah satu pihak
untuk melakukan
wanprestasi
dan kesinambungan antara ijab dan qabul.
Muktamar tersebut memutuskan sebagai berikut:
1. Apabila transaksi telah dilakukan oleh dua pihak yang tidak bertemu langsung
secara fisik, tidak saling melihat dan mendengar satu sama lain, dan hanya
menggunakan perantara surat, faksmili, atau internet, maka transaksi tersebut
telah sah dan mengikat secara hukum dengan syarat kedua belah pihak saling
memahami dan menerima maksud transaksi secara tepat;
20
Ibid., h. 176.
2. Apabila transaksi dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan dengan perantara
telepon atau media teknologi modern lainnya, maka transkasi kedua belah
pihak tersebut berlaku sebagaimana transaksi yang dilakukan secara langsung
(face to face);
3. Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap transaksi yang
dilakukan dengan alat teknologi modern tersebut dengan batasan waktu
tertentu, maka dia tidak dapat menarik kembali transaksi yang telah dilakukan;
4. Transaksi via teknologi modern tersebut tidak berlaku pada akad nikah,
karena dalam akad nikah diisyaratkan adanya saksi, tidak berlaku pada
tukar menukar, karena adanya syarat penyerahan, dan jual beli inden,
karena disyaratkan down painment;
5. Apabila terjadi pemalsuan, pengingkaran atau kekeliruan, maka hukum yang
berlaku sama dengan transaksi yang dilakukan secara langsung (face to
face).21
Transaksi jual beli via media elektronik dianggap sebagai ittihad al-majlis,
sehingga akad jual beli tersebut sah, karena masing-masing muta’aqqidain saling
mengetahui dan mengetahui obyeknya (al-mabi’) sehingga tidak terjadi gharar
(ketidakjelasan). Dengan demikian maka akan terealisasi ijab dan qabul yang di
dasari suka sama suka. 22
Ittihad al-majlis bisa bermakna ittihad al-zaman (satu waktu), ittihad al-makan
(satu lokasi) dan ittihad al-haiah (satu posisi). Perbedaan tempat yang dapat
disatukan melalui media komunikasi modern, membuat tempat yang berjauhan bisa
dianggap menyatu (ta’addud al-makan fi al-manzilah ittihad al-makan).23
21
Ibid., h. 177.
Tim Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr Ahkamul Fuqaha sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,
Fiqih Muamalah…, h.48.
23
Ibid., h. 48.
22
Berdasarkan berbagai pendapat
ulama
dan penjelasan yang
telah
dipaparkan diatas, maka cukup jelas, bahwa transaksi perdagangan atau jual beli
yang dilakukan via media elektronik hukumnya sah. Kecanggihan media elektronik
dapat membuat suasana dalam dunia maya menjadi seolah nyata. Namun demikian,
transaksi tersebut dikategorikan sebagai transaksi kinayah yang keabsahannya dan
kekuatan hukumnya sama dengan transaksi yang dilakukan secara langsung
(sarih).24
G. MANFAAT JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Manfaat untuk pelanggan, yaitu:
a. Nyaman
b. Akses dan pilihan produk yang lebih besar
c. Interaktif dan segera
d. Memberi akses kebanyak informasi
Manfaat untuk penjual atau pemasar, yaitu:
a. Alat untuk menjalin hubungan dengan pelanggan
b. Waktunya dapat ditentukan agar dapat menjakau calon pelanggan
pada saat yang tepat
c. Biaya murah dan meningkatkan kecepatan serta efesiensi
d. Fleksibel25
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 48-49.
Anita B. Wandayana, “Pengaruh Pemasaran Online Terhadap Keputusan Pembelian
Produk”, (Volume 5, No. 2, Januari 2012), h. 178-179.
24
25
H. PENUTUP
Dengan demikian jual beli di dunia maya (e-commerce) dalam islam
diperbolehkan, Dalam Islam, transaksi apapun dan bagaimanapun kreasinya,
selama tidak mengandung hal-hal yang menyebabkan terjadinya kerugian pada
salah satu pihak yang bertransaksi dan barang yang diperjualbelikan bukanlah
barang yang terlarang dan dilarang baik oleh hukum agama (syariat Islam) seperti
halnya barang atau benda yang najis dan haram semisal narkoba dan ataupun oleh
hukum negara seperti halnya barang hasil curian, korupsi, pencucian uang (money
laundry) maka diperbolehkan.
Dalam islam dituntut untuk lebih jelas dalam memberikan suatu landasan
hukum, maka dari itu islam melampirkan sebuah dasar hukum yang terlampir dalam
Al-Qur’an, Hadis ataupun ijma’. Perlu diketahui sebelumnya mengenai jual beli
online ini secara khusus dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menjelaskan, yang
selama ini dijadikan landasan hukum adalah transaksi jual beli secara global.
Pelaksanaan transaksi bisnis e-commerce, secara sekilas hampir serupa
dengan transaksi as-salam dalam hal pembayaran dan penyerahan komoditi yang
dijadikan sebagai obyek transaksi. Oleh karena itu, untuk menganalisis dengan jelas
apakah transaksi dalam e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan
dengan prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi as-salam maka masingmasing dapat dicermati melalui pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, proses
pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek transaksi.
I.
DAFTAR PUSTAKA
Anita B. Wandayana, “Pengaruh Pemasaran Online Terhadap Keputusan Pembelian
Produk”, Jurnal (Dosen Jurusan Teknik Informatika, STMIK Raharja, Volume 5, No.
2, Januari 2012).
Azhar Muttaqin, “Transaksi E-Commerce dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam”,
Jurnal Ulumuddin, (Fakultas Agama Islam UMM, Volume VI, No. IV, Januari – Juni
2010 ).
Daniel Alfredo Sitorus, “Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce) Ditinjau
Dari Aspek Hukum Perdata”, Skripsi di Universitas Atmajaya Yogyakarta Fakultas
Hukum, 2015.
Ika Yunia Fauzia, “Akad Wakalah dan Samsarah sebagai Solusi atas Klaim
Keharaman Dropship dalam Jual Beli Online”, Jurnal Studi Keislaman, (Surabaya:
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya, Indonesia, Volume 9, No. 2,
Maret 2015).
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Imam Mustofa, “Transaksi Elektronik (E-Commerce) dalam Perspektif Fikih”, Jurnal
Hukum Islam (JHI), (STAIN Metro Lampung, Lampung Indonesia,
Volume 10,
Nomor 2, Juni 2012).
Lia Catur Muliastuti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Jual
Beli Melalui Media Internet”, Tesis di Universitas Diponegoro Semarang, 2010.
M. Husaini, “Bisnis E-Commerce Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ilmu Dakwah dan
Pengembangan Komunitas, (Vol. 9 No.2, Juli 2014).
Richardus Eko Indrajit, “E-Commerce (Lima Langkah Sukses E-Commerce)”, Artikel
Sistem dan Teknologi Informasi, 2012.
Shofiyullah Mz, “E-Commerce Dalam Hukum Islam”, Jurnal Penelitian Agama, (Vol
XVII, No.3, September-Desember 2008 ).
Yasinta Devi, “Analisis Hukum Islam Tentang Jual Beli Gold Pada Game Online
Jenis World Of Warcraft (WOW)”. Skripsi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun oleh:
KHOTRIAH (1502100068)
Kelas: A
PROGRAM STUDI S1-PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JURAI SIWO METRO
STAIN JURAI SIWO METRO
2016
JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
A. PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang “JUAL BELI DI DUNIA MAYA (ECOMMERCE)”. Pada zaman serba modern ini, dunia teknologi semakin canggih.
Banyak sekali aplikasi-aplikasi yang tersedia untuk melakukan transaksi jual beli
melalui dunia maya seperti, facebook, twiter, BBM, dan aplikasi-aplikasi lainnya.
Dengan adanya jual beli online memudahkan kita untuk memilah-milah barang yang
kita sukai tanpa harus pergi ke pusat perbelanjaan. Namun di kalangan masyarakat
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, mereka masih bertanya-tanya,
apakah jual beli di dunia maya (e-commerce) tersebut di perbolehkan dalam Islam
atau tidak? Banyak sekali keraguan-keraguan tentang jual beli melalui media
internet tersebut karena sering terjadi unsur-unsur penipuan.
Kajian tentang jual beli di dunia maya (e-commerce) ini penting untuk
disajikan pada kelas A S1-Perbankan Syariah, karena dengan adanya makalah ini
kita semua bisa mengetahui apakah dalam Islam jual beli melalui internet tersebut
diperbolehkan atau tidak. Kajian dalam makalah ini berdasarkan kajian dalam buku,
tesis, jurnal, artikel dan skripsi yang berkaitan langsung dengan masalah jual beli di
dunia maya (e-commerce).
Pembahasan dalam makalah ini di mulai dari pengertian jual beli di dunia
maya (e-commerce), jenis-jenis e-commerce, strategi dalam jual beli di dunia maya
(e-commerce), hukum (fiqih) e-commerce, syarat-syarat sahnya e-commerce
menurut fiqih, manfaat jual beli di dunia maya (e-commerce).
B. PENGERTIAN JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Pada umumnya transaksi secara online merupakan transaksi pesanan dalam
model bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer data lewat
dunia maya (data interchange) via internet, yang mana kedua belah pihak, antara
originator dan adresse (penjual dan pembeli), atau menembus batas system
pemasaran dan bisnis online dengan menggunakan sentral shop, sentral shop
merupakan sebuah rancangan web e-commerce smart dan sekaligus sebagai
Business Intelligent yang sangat stabil untuk digunakan dalam memulai,
menjalankan, mengembangkan, dan mengontrol bisnis. Perkembangan teknologi
inilah yang bisa memudahkan transaksi jarak jauh, dimana manusia bisa dapat
berinteraksi secara singkat walaupun tanpa face to face, akan tetapi di dalam bisnis
adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari keuntungan.1
E-commerce seringkali diartikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui
media elektronik, khususnya melalui internet. Dalam bisnis ini, dukungan dan
pelayanan
terhadap
konsumen
menggunakan
e-mail sebagai alat bantu,
mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya. Sebenarnya
definisi mengenai
e-commerce. Tetapi yang pasti,
setiap kali
ada
banyak
masyarakat
berbicara tentang e-commerce, mereka biasanya memahaminya sebagai bisnis
yang berhubungan dengan internet.
Dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh berbagai
kalangan,
terdapat
kesamaan
dari
setiap
definisi
tersebut. Kesamaan ini
menunjukkan bahwa e-commerce memiliki karakteristik:
1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
3) Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut.2
Yasinta Devi, “Analisis Hukum Islam Tentang Jual Beli Gold Pada Game Online Jenis
World Of Warcraft (WOW)”. Skripsi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
(2010), h. 35.
2
M. Husaini, “Bisnis E-Commerce Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ilmu Dakwah dan
Pengembangan Komunitas, (Vol. 9 No.2, Juli 2014), h. 189.
1
Dalam Islam, transaksi apapun dan bagaimanapun kreasinya, selama tidak
mengandung hal-hal yang menyebabkan terjadinya kerugian pada salah satu pihak
yang bertransaksi dan barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang terlarang
dan dilarang baik oleh hukum agama (syariat Islam) seperti halnya barang atau
benda yang najis dan haram semisal narkoba dan ataupun oleh hukum negara
seperti halnya barang hasil curian, korupsi, pencucian uang (money laundry) maka
diperbolehkan.3
Dalam dunia e-commerce dikenal dua pelaku, yaitu merchant/pelaku usaha
yang melakukan penjualan dan buyer/customer/konsumen yang berperan sebagai
pembeli. Selain pelaku usaha dan konsumen, dalam transaksi jual beli melalui media
internet juga melibatkan provider sebagai penyedia jasa layanan jaringan internet
dan bank sebagai sarana pembayaran.4
Pada e-commerce dikenal istilah pengiriman barang. Hal itu terjadi karena
biasanya antara penjual dan pembeli tidak tinggal berdekatan, bahkan bisa sangat
jauh terpisah kota, daerah bahkan negara. Pengiriman ini dilakukan setelah
pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal
ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang
yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan
biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.5
Bagi perusahaan yang melibatkan barang secara fisik, perusahaan akan
mengirimkannya melalui kurir ke tempat pemesanan berada. Jalur kedua adalah
jalur yang menarik karena disediakan bagi produk atau jasa yang dapat digitalisasi
(diubah menjadi sinyal digital). Produk-produk yang semacam teks, gambar, video
dan audio secara fisik tidak perlu lagi dikirimkan, namun dapat disampaikan melalui
Shofiyullah Mz, “E-Commerce Dalam Hukum Islam”, Jurnal Penelitian Agama, (Vol XVII,
No. 3, September-Desember 2008 ), h. 579.
4
Lia Catur Muliastuti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Melalui Media Internet”, Tesis di Universitas Diponegoro Semarang, (2010 ), h. 65.
5
Azhar Muttaqin, “Transaksi E-Commerce dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam”, Jurnal
Ulumuddin,
(Fakultas Agama Islam UMM, Volume VI, No. IV, Januari – Juni 2010 ), h. 465.
3
jalur internet, contohnya electronic newspapers, digital library, virtual school dan
sebagainya.
Dalam islam dituntut untuk lebih jelas dalam memberikan suatu landasan
hukum, maka dari itu Islam melampirkan sebuah dasar hukum yang terlampir dalam
Al-Qur’an, Hadis ataupun ijma’. Perlu diketahui sebelumnya mengenai jual beli
online ini secara khusus dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menjelaskan, yang
selama ini dijadikan landasan hukum adalah transaksi jual beli secara global.
Pelaksanaan transaksi bisnis e-commerce, secara sekilas hampir serupa
dengan transaksi as-salam dalam hal pembayaran dan penyerahan komoditi yang
dijadikan sebagai obyek transaksi. Oleh karena itu, untuk menganalisis dengan jelas
apakah transaksi dalam e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan
dengan prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi as-salam maka masingmasing dapat dicermati melalui pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, proses
pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek transaksi.
Dalam permasalahan e-commerce, fiqih memandang bahwa transaksi bisnis
di dunia maya diperbolehkan karena mashlahah. Mashlahah adalah mengambil
manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’. Bila ecommerce dipandang seperti layaknya perdagangan dalam islam, maka dapat
dianalogikan bahwa pertama penjualannya adalah merchant (Internet Service
Provider atau ISP), sedangkan pembelinya akrab dipanggil customers. Kedua,
obyek adalah barang dan jasa yang ditawarkan (adanya pemesanan seperti assalam) dengan berbagai informasi, profile, mencantumkan harga, terlihat gambar
barang, serta resminya perusahaan. Dan ketiga, sighat (ijab-qabul) dilakukan
dengan payment gateway yaitu system/software pendukung (otoritas dan monitor)
bagi acquirer, serta berguna untuk service online.6
6
Yasinta Devi, “Analisis Hukum… , h. 35-38, 41.
C. JENIS-JENIS E-COMMERCE
Transaksi
membedakannya
E-commerce
perlu
dibagi
meliputi
dalam
banyak
jenis-jenis
hal,
maka
E-commerce.
untuk
jenis-jenis
transaksi dari suatu kegiatan E-commerce adalah sebagai berikut :
1) Business to Business (B2B)
Transaksi yang terjadi antara perusahaan dalam hal ini, baik
pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan
perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah
saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut
dilakukan untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.
2) Business to Consumer (B2C)
Transaksi antara perusahaan dengan konsumen/individu. Pada
jenis ini transaksi disebarkan secara umum, dan konsumen yang
berinisiatif melakukan
transaksi.
Produsen
harus
siap
menerima
respon dari konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan
adalah
sistem web karena sistem ini yang sudah umum dipakai
dikalangan masyarakat.
3) Consumer to Consumer (C2C)
Transaksi jual beli yang terjadi antar individu dengan individu yang
akan saling menjual barang.
4) Consumer to Business (C2B)
Transaksi
yang
memungkinkan
individu
menjual
barang
pada
perusahaan.7
Munir Fuadi sebagaimana dikutip oleh Daniel Alfredo Sitorus, “Perjanjian Jual Beli Melalui
Internet (E-Commerce) Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata”, Skripsi di Universitas Atmajaya
Yogyakarta Fakultas Hukum (2015), h. 8.
7
D. STRATEGI DALAM JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Langkah 1: Set Strategy
Hal yang pertama kali harus dilakukan adalah menyusun suatu strategi
dengan berpegang pada suatu prinsip, yaitu bagaimana memudahkan konsumen
dalam
melakukan
bisnis
dengan
perusahaan.
Perlu
diperhatikan,
konsumenlah yang akan menjadi sumber pendapatan perusahaan
bahwa
karena
merekalah yang akan mengkonsumsi produk atau jasa yang ditawarkan.
Perusahaan harus memastikan bahwa cara berbisnis yang ditawarkan
tidak
merepotkan atau menyulitkan mereka, sebaliknya justru mempermudah mereka
dalam mendapatkan produk atau jasa yang dibutuhkan. Jalan yang paling mudah
untuk mulai membangun strategi perdagangan melalui dunia maya yaitu dengan
cara berempati, yaitu berfikir seperti layaknya seorang konsumen.
Langkah 2: Focus on the End-Customer
Setiap proses bisnis pasti memiliki konsumen
yang secara
langsung
maupun tidak langsung “menkonsumsi” produk atau jasa yang ditawarkan. Pada
tahapan ini, adalah penting bagi perusahaan untuk mengkaji dan mendefinisikan
siapa sebenarnya konsumen langsung (end-customer) dari produk atau jasa yang
ditawarkan.
Langkah 3: Redesigning Customer-Focus Business Process
Ketika konsep Business Process Reengineering (BPR) diperkenalkan sejalan
dengan perkembangan
teknologi informasi, banyak perusahaan yang mulai
melakukan rancang ulang terhadap proses dan aktivitas internalnya agar tercipta
suatu alur yang efisien. Hanya saja ada kesalahan prinsip yang sering dilakukan,
yaitu dimulainya melakukan proses perancangan dari dalam ke luar (from inside to
outside), padahal tujuan akhir dari perubahan proses bisnis tersebut adalah untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan, yang notabene berada di luar perusahaan
(eksternal). Proses perancangan ulang yang benar adalah dengan memualinya dari
aktivitas terluar, yaitu yang menghubungkan
perusahaan dengan konsumennya
(customer focus business process).
Langkah 4: Wire Company for Profit
Setelah proses bisnis selesai dirancang ulang untuk menyesuaikan dengan
karakteristik
bertransaksi
mempersiapkan
di
infrastruktur
dunia
maya,
perusahaan
untuk
langkah
selanjutnya
memungkinkan
adalah
terjadinya
mekanisme bisnis yang diinginkan. Yang paling penting untuk diketahui di sini
adalah bagaimana mentransformasikan kebutuhan bisnis dengan spesifikasi
teknologi informasi yang ada (business and information technology alignment).
Langkah 5: Foster Customer Loyalty
Langkah yang terakhir adalah berusaha untuk membuat konsumen loyal
terhadap perusahaan e-commerce yang ada, hanya karena dengan loyalitas mereka
sajalah maka profitabilitas usaha dapat tercapai.8
E. HUKUM (FIQIH) E-COMMERCE
Transaksi elektronik penjualan barang yang ditawarkan melalui internet
merupakan transaksi tertulis. Jual beli dapat menggunakan transaksi secara lisan
dan tulisan. Keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqihiyah:
“Tulisan (mempunyai kekuatan hukum) sebagaimana ucapan”9
Akad jual beli yang dilakukan secara tertulis sama hukumnya dengan akad
yang dilakukan secara lisan. Berkaitan dengan kaidah ini al-Dasuqi mengatakan:
“Sah hukumnya akad dengan tulisan dari kedua belah pihak atau salah satu dari
mereka menggunakan ucapan sementara yang lain menggunakan tulisan”10
Richardus Eko Indrajit, “E-Commerce (Lima Langkah Sukses E-Commerce)”, Artikel Sistem
dan Teknologi Informasi (2012), h. 1-5.
9
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 35.
8
Kalangan Malikiyah, Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyah bahwa tulisan sama
halnya dengan lisan dalam hal sebagai indikasi kesuka-kerelaan, baik saat para
pihak yang melakukan akad hadir (ada) maupun tidak. Namun demikian, hal
ini tidak berlaku untuk akad nikah.11
Transaksi menggunakan tulisan merupakan transaksi kinayah yang
kebasahannya sama dengan transaksi dengan lisan, selama maksud masingmasing pihak yang berakad tercapai.12 Al-Syarwani menyatakan bahwa tulisan
selama dapat menyampaikan pesan dan maksud pihak yang melaksanakan
akad maka dapat diterima: “Tulisan bukan pada zat zair atau udara termasuk
kinayah. Maka jual beli dengan tulisan yang jelas bila disertai dengan niat maka
hukumnya sah. Meskipun bertransaksi dengan orang yang hadir dalam majelis akad,
maka ia harus menerima akad tersebut ketika mengetahuinya. Khiyar mereka
berlaku sampai majelis menerima (qabul) tersebut berakhir”.13
Selain penjelasan tentang kekuatan transaksi secara tertulis di atas,
perlu ditekankan bahwa yang menjadi acuan hukum suatu perbuatan adalah
maksud dan tujuannya, bukan zhahirnya. Transaksi elektronik sebagai suatu
perbuatan
hukum, maka yang menjadi acuan adalah niat dan
tujuan masing-
masing pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.14 Dalam hal ini berlaku kaidah
fiqihiyah:
“Acuan dalam suatu akad adalah tujuan dan substansinya, bukan bentuk dan
lafazhnya”
Anonim sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 35.
Ibid., h. 35.
12
Imam Mustofa sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 36.
13
Al-Syarwani sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 36.
14
Imam Mustofa sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 37.
10
11
Dua
kaidah
di
atas menunjukkan bahwa yang menjadi acuan suatu
perbuatan adalah niat dan tujuannya, bukan
zhahirnya
atau
bahkan
bukan
wasilah atau medianya. Dalam sebuah akad, maka lafazh dan media tidak
menjadi pertimbangan atau acaun hukum.15 Berkaitan dengan hal ini Ibnu alQoyyim al-Jauziyah mengatakan:
“kaidah fiqih dan usul fiqih mengakui bahwa yang menjadi acuan utama dalam akad
adalah tujuan dan hakikatnya, bukan bentuk dan lafazhnya”
Berkaitan dengan hal di atas, maka berlaku juga kaidah:
“Toleransi dalam akad tidak berlaku pada kesalahan substansial, toleransi
(kesalahan) hanya berlaku pada masalah media atau sarana akad”
Maksud kaidah ini adalah hukum perantara terhadap suatu tindakan
atau peristiwa hukum berbeda dari hukum tujuannya. Contohnya, apabila orang
hendak melaksanakan jual beli, maka yang menjadi perhatian hukumnya adalah
tujuan dan maksud dari transaksi jual beli tersebut. adapun perantara atau
media untuk melaksanakan transaksi tersebut tidak dipermasalahkan.16
Jual beli yang rusak dan batil menurut mazhab Mâlikî adalah mencakup
lima aspek, yaitu:
1) yang berkaitan dengan dua belah pihak yang melakukan akad (âqidayin),
2) yang berkaitan dengan harga,
3) yang berkaitan dengan gharar,
4) yang berkaitan dengan pembahasan tentang ribâ,
5) yang berkaitan dengan jual beli yang dilarang.17
15
Ibid., h. 37.
Ibid., h. 39-39.
17
Ika Yunia Fauzia, “Akad Wakalah dan Samsarah sebagai Solusi atas Klaim Keharaman
Dropship dalam Jual Beli Online”, Jurnal Studi Keislaman, (Surabaya: Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Perbanas Surabaya, Indonesia, Volume 9, No. 2, Maret 2015), h. 335.
16
F. SYARAT-SYARAT SAHNYA E-COMMERCE MENURUT FIQIH
Keabsahan e-commerce sebagai bentuk transaksi jual beli tergantung
pada terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat yang berlaku dalam jual beli. Apabila
rukun dan syarat terpenuhi maka e-commerce sah sebagai sebuah transaksi yang
mengikat, dan sebaliknya, apabila tidak terpenuhi maka tidak sah. Akad dalam
transaksi elektronik berbeda dengan akad secara langsung. Transaksi elektronik
biasanya menggunakan akad secara tertulis, (E-mail, Short Message Service/SMS,
Black Barry Messanger/BBM dan sejenisnya) atau menggunakan lisan (via telepon)
atau video seperti teleconference. Umumnya, penawaran dan akad dalam transaksi
elektronik dilakukan secara tertulis, dimana suatu barang dipajang dilaman internet
dengan dilabeli harga tertentu. Kemudian bagi konsumen atau pembeli yang
menghendaki
maka mentransfer uang sesuai dengan harga yang tertera dan
ditambah ongkos kirim. Suatu akad dilakukan dengan isyarat saja bisa absah,
terlebih dengan menggunakan tulisan, gambar dan ilustrasi yang lebih jelas.
Isyarat dalam akad pada dasarnya mempunyai kekuatan hukum sebagaimana
penjelasan dengan lisan. Hal ini berdasarkan kaidah:18
“Isyarat (yang dapat dipahami) bagi orang bisu (hukumnya) sama dengan
penjelasan dengan lisan”
Sementara
mengenai
syarat
adanya
barang
dan
uang
sebagai
pengganti harga barang, maka dalam transaksi elektronik atau e-commerce
tidak dilakukan secara langsung dalam dunia nyata. Dalam hal bentuk dan
wujud barang yang menjadi obyek transaksi, dalam e-commerce biasanya
hanya
berupa
gambar
(foto
atau
video) yang menunjukkan barang aslinya
kemudian dijelaskan spesifikasi sifat dan jenisnya. Pembeli dapat dengan bebas
memilih barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Barang akan dikirim
setelah uang dibayar.
Imam Mustofa, “Transaksi Elektronik (E-Commerce) dalam Perspektif Fikih”, Jurnal Hukum
Islam (JHI), (STAIN Metro Lampung, Lampung Indonesia, Volume 10, Nomor 2, Juni 2012),
h. 171.
18
Mengenai sistem pembayaran atau penyerahan uang pengganti barang,
maka umumnya adalah dilakukan dengan cara transfer. Bila sistem yang
berlaku seperti ini, maka pada dasarnya jual beli ini adalah jual beli salam.
Pembeli memilih barang dengan spesifikasi tertentu, kemudian membayarnya,
setelah itu
barang akan diserahkan atau dikirim kepada pembeli. Hanya saja
dalam transaksi salam, uang yang dibayarkan di muka sebagaimana jual beli
salam.
Apabila sistem salam yang dilaksanakan dalam e-commerce, maka
rukun dan syaratnya juga harus sesuai dengan transaksi salam. Rukun salam yaitu:
a. Muslim (pembeli atau pemesan);
b. Muslam ilaih (penjual atau penerima pesanan);
c. Muslam fih (barang yang dipesan);
d. Ra’sul mal (harga pesanan atau modal yang dibayarkan);
e. Shighat ijab-qabul (ucapan serah terima).
Adapun mengenai syarat salam, secara umum sama dengan syarat akad
jual beli, yaitu: barang yang dipesan merupakan sepenuhnya milik penjual, bukan
barang najis dan bisa diserahterimakan. Hanya saja dalam akad salam tidak ada
syarat bagi pemesan untuk melihat barang yang dipesan,
ia hanya disyaratkan
menentukan sifat-sifat dan jenis atau spesifikasi barang yang dipesan secara jelas.19
Beberapa ulama menentukan syarat transaksi yang dilakukan dengan
perantara:
1. Kesinambungan antara ijab dan qabul. Menurut jumhur, selain Syafi’iyah
qabul tidak harus langsung.
2. Qabul dilakukan di tempat sampainya ijab.
3. Kesesuaian antara ijab dan qabul.
4. Tidak adanya penolakan dari salah satu pihak yang bertransaksi.
19
Ibid., h. 175.
Model transaksi jarak jauh yang dilakukan dengan perantara menurut
kalangan ulama kontemporer, seperti Muhammad Buhats al-Muthi’i, Mushthafa
al-Zarqa, Wahbah al-Zuhaili, Syaikh Abdullah bin Muni’ adalah sah secara hukum
fikih. Alasan ulama tersebut adalah:
1) Ulama masa lalu telah membolehkan transaksi yang dilakukan dengan
perantara, ijab sah saat pesan telah sampai kepada penerima pesan;
2) Maksud dari satu majelis (ittihadul majlis) dalam syarat transaksi adalah
satu waktu dimana kedua belah pihak melakukan transaksi, bukan
berarti satu lokasi atau tempat, dan hal ini dapat berlangsung dengan
menggunakan telepon atau internet dan media lainnya.20
Hukum transaksi via teknologi modern seperti Handphone, I-Pad, internet
dan telah dibahas pada muktamar VI Fikih Islam yang dilaksanakan di Jeddah Saudi
Arabia tanggal 14-20 Maret 1990. Melihat perkembangan teknologi modern
yang berdampak pada segala bidang, termasuk transaksi perdagangan demi
kecepatan kegiatan bisnis dan ekonomi lainnya, maka perlu diputuskan hukum
tentang penggunaan media
tersebut
dalam
perspektif
fikih
Islam. Hal
ini
tentunya dengan tetap berpegang pada persyaratan-persyaratan transaksi yang
telah ditetapkan oleh fuqaha, baik transaksi secara lisan, tulisan maupun via surat,
persyaratan bertemunya para pihak dalam satu forum (ruang dan waktu),
kontekstualitas antara ijab dan qobul, tidak adanya maksud salah satu pihak
untuk melakukan
wanprestasi
dan kesinambungan antara ijab dan qabul.
Muktamar tersebut memutuskan sebagai berikut:
1. Apabila transaksi telah dilakukan oleh dua pihak yang tidak bertemu langsung
secara fisik, tidak saling melihat dan mendengar satu sama lain, dan hanya
menggunakan perantara surat, faksmili, atau internet, maka transaksi tersebut
telah sah dan mengikat secara hukum dengan syarat kedua belah pihak saling
memahami dan menerima maksud transaksi secara tepat;
20
Ibid., h. 176.
2. Apabila transaksi dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan dengan perantara
telepon atau media teknologi modern lainnya, maka transkasi kedua belah
pihak tersebut berlaku sebagaimana transaksi yang dilakukan secara langsung
(face to face);
3. Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap transaksi yang
dilakukan dengan alat teknologi modern tersebut dengan batasan waktu
tertentu, maka dia tidak dapat menarik kembali transaksi yang telah dilakukan;
4. Transaksi via teknologi modern tersebut tidak berlaku pada akad nikah,
karena dalam akad nikah diisyaratkan adanya saksi, tidak berlaku pada
tukar menukar, karena adanya syarat penyerahan, dan jual beli inden,
karena disyaratkan down painment;
5. Apabila terjadi pemalsuan, pengingkaran atau kekeliruan, maka hukum yang
berlaku sama dengan transaksi yang dilakukan secara langsung (face to
face).21
Transaksi jual beli via media elektronik dianggap sebagai ittihad al-majlis,
sehingga akad jual beli tersebut sah, karena masing-masing muta’aqqidain saling
mengetahui dan mengetahui obyeknya (al-mabi’) sehingga tidak terjadi gharar
(ketidakjelasan). Dengan demikian maka akan terealisasi ijab dan qabul yang di
dasari suka sama suka. 22
Ittihad al-majlis bisa bermakna ittihad al-zaman (satu waktu), ittihad al-makan
(satu lokasi) dan ittihad al-haiah (satu posisi). Perbedaan tempat yang dapat
disatukan melalui media komunikasi modern, membuat tempat yang berjauhan bisa
dianggap menyatu (ta’addud al-makan fi al-manzilah ittihad al-makan).23
21
Ibid., h. 177.
Tim Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr Ahkamul Fuqaha sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,
Fiqih Muamalah…, h.48.
23
Ibid., h. 48.
22
Berdasarkan berbagai pendapat
ulama
dan penjelasan yang
telah
dipaparkan diatas, maka cukup jelas, bahwa transaksi perdagangan atau jual beli
yang dilakukan via media elektronik hukumnya sah. Kecanggihan media elektronik
dapat membuat suasana dalam dunia maya menjadi seolah nyata. Namun demikian,
transaksi tersebut dikategorikan sebagai transaksi kinayah yang keabsahannya dan
kekuatan hukumnya sama dengan transaksi yang dilakukan secara langsung
(sarih).24
G. MANFAAT JUAL BELI DI DUNIA MAYA (E-COMMERCE)
Manfaat untuk pelanggan, yaitu:
a. Nyaman
b. Akses dan pilihan produk yang lebih besar
c. Interaktif dan segera
d. Memberi akses kebanyak informasi
Manfaat untuk penjual atau pemasar, yaitu:
a. Alat untuk menjalin hubungan dengan pelanggan
b. Waktunya dapat ditentukan agar dapat menjakau calon pelanggan
pada saat yang tepat
c. Biaya murah dan meningkatkan kecepatan serta efesiensi
d. Fleksibel25
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah… , h. 48-49.
Anita B. Wandayana, “Pengaruh Pemasaran Online Terhadap Keputusan Pembelian
Produk”, (Volume 5, No. 2, Januari 2012), h. 178-179.
24
25
H. PENUTUP
Dengan demikian jual beli di dunia maya (e-commerce) dalam islam
diperbolehkan, Dalam Islam, transaksi apapun dan bagaimanapun kreasinya,
selama tidak mengandung hal-hal yang menyebabkan terjadinya kerugian pada
salah satu pihak yang bertransaksi dan barang yang diperjualbelikan bukanlah
barang yang terlarang dan dilarang baik oleh hukum agama (syariat Islam) seperti
halnya barang atau benda yang najis dan haram semisal narkoba dan ataupun oleh
hukum negara seperti halnya barang hasil curian, korupsi, pencucian uang (money
laundry) maka diperbolehkan.
Dalam islam dituntut untuk lebih jelas dalam memberikan suatu landasan
hukum, maka dari itu islam melampirkan sebuah dasar hukum yang terlampir dalam
Al-Qur’an, Hadis ataupun ijma’. Perlu diketahui sebelumnya mengenai jual beli
online ini secara khusus dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menjelaskan, yang
selama ini dijadikan landasan hukum adalah transaksi jual beli secara global.
Pelaksanaan transaksi bisnis e-commerce, secara sekilas hampir serupa
dengan transaksi as-salam dalam hal pembayaran dan penyerahan komoditi yang
dijadikan sebagai obyek transaksi. Oleh karena itu, untuk menganalisis dengan jelas
apakah transaksi dalam e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan
dengan prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi as-salam maka masingmasing dapat dicermati melalui pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, proses
pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek transaksi.
I.
DAFTAR PUSTAKA
Anita B. Wandayana, “Pengaruh Pemasaran Online Terhadap Keputusan Pembelian
Produk”, Jurnal (Dosen Jurusan Teknik Informatika, STMIK Raharja, Volume 5, No.
2, Januari 2012).
Azhar Muttaqin, “Transaksi E-Commerce dalam Tinjauan Hukum Jual Beli Islam”,
Jurnal Ulumuddin, (Fakultas Agama Islam UMM, Volume VI, No. IV, Januari – Juni
2010 ).
Daniel Alfredo Sitorus, “Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce) Ditinjau
Dari Aspek Hukum Perdata”, Skripsi di Universitas Atmajaya Yogyakarta Fakultas
Hukum, 2015.
Ika Yunia Fauzia, “Akad Wakalah dan Samsarah sebagai Solusi atas Klaim
Keharaman Dropship dalam Jual Beli Online”, Jurnal Studi Keislaman, (Surabaya:
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya, Indonesia, Volume 9, No. 2,
Maret 2015).
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Imam Mustofa, “Transaksi Elektronik (E-Commerce) dalam Perspektif Fikih”, Jurnal
Hukum Islam (JHI), (STAIN Metro Lampung, Lampung Indonesia,
Volume 10,
Nomor 2, Juni 2012).
Lia Catur Muliastuti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Jual
Beli Melalui Media Internet”, Tesis di Universitas Diponegoro Semarang, 2010.
M. Husaini, “Bisnis E-Commerce Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ilmu Dakwah dan
Pengembangan Komunitas, (Vol. 9 No.2, Juli 2014).
Richardus Eko Indrajit, “E-Commerce (Lima Langkah Sukses E-Commerce)”, Artikel
Sistem dan Teknologi Informasi, 2012.
Shofiyullah Mz, “E-Commerce Dalam Hukum Islam”, Jurnal Penelitian Agama, (Vol
XVII, No.3, September-Desember 2008 ).
Yasinta Devi, “Analisis Hukum Islam Tentang Jual Beli Gold Pada Game Online
Jenis World Of Warcraft (WOW)”. Skripsi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.