Kuda Nil Pernah Menjelajah Pulau Jawa

A mankah pasokan energi kita, minimal dalam

periode 2010-2014 atau bahkan hingga 2025? Pertanyaan seputar kita itu tak mudah untuk

dijawab. Selain harus mempertimbangkan dua sifat yang berlawanan sekaligus, yaitu laten dan dinamis, pembahasan isu strategis idealnya juga berlandaskan pada hasil analisis perubahan lingkungan strategis dan paradigma langkah organisasi,dan dilakukan dengan benchmarking kepada literatur akademis yang ada atau hasil-hasil sebelumnya.

Suatu isu atau permasalahan yang strategis akan berdampak panjang, mencakup baik yang positif atau menguntungkan, maupun yang negatif atau merugikan. Namun, isu itu tidaklah selalu berupa sesuatu yang baru. Terdapat permasalahan strategis yang bersifat laten, seperti permasalahan ketahanan energi yang setiap saat kita hadapi. Isu strategis juga mungkin muncul dari kebutuhan yang sifatnya mendesak (trigged by urgency) atau sesuatu yang tidak terikat kepada hasil-hasil sebelumnya atau hasil yang lama terbuka untuk direvisi. Setelah melihat gambaran kondisi energi Indonesia dari sisi pasokan primer, isu dan kebijakan yang terkait, kita akan melihat tantangan isu energi itu terhadap bidang geologi.

Kondisi Pasokan Energi Primer Ketersediaan

energi idealnya

selalu

dalam

keadaanmelebihi konsumsi atau kebutuhan energi. Dari sisi hulu, hal itu berarti ketersediaan harus siap untuk produksi yang mampu memasok kebutuhan konsumsi. Tentu saja, tautan bidang geologi lebih dominan pada aspek ketersediaan pasokan energi primer, khususnya sumber daya dan cadangan migas, batubara dan panas bumi. Meskipun demikian, bidang geologi, sisi hulu energi itu, sangatlah penting untuk memperhatikan juga sisi hilir energi, mulai dari pasokan, harga, aksesibilitas,konsumsi, hingga peranannya dalam ekonomi. Kondisi umum energi primer yang disajikan dibawah ini disarikan dari sumber informasiPusdatin (Handbook of Energy and Economic of Statistic of Indonesia ) dan Ditjen Migas (www.migas.esdm.go.id) dan Badan Geologi. Konsumsi yang dimaksud di sini adalah konsumsi primer, yaitu total penggunaan domestik dan ekspor.

Antara 2005-2009, ekspor minyak bumi turun dari 159.703 ribu barrel pada 2005 menjadi, 133.282 ribu barrel pada 2009 (1barrel setara dengan 159 liter). Konsumsi gas, sebaliknya, mengalami kenaikan pada ekspor gas dan domestik, yaitu masing-masing dari 251.303 dan 808.641 pada 2005 menjadi 294.109 dan 1.335.019 pada 2009; namun mengalami penurunan pada ekspor LNG, yaitu dari 1.136.484,72 pada 2005 menjadi 956.779,30 pada 2009 (semua satuan dalam MMSCF).

Di sisi lain, konsumsi batubara dan panas bumi antara 2005 ke 2009 meningkat cukup penting. Ekspor batubara naik dari 110,79 menjadi 198,37 sedangkan konsumsi domestik naik dari 42,03 menjadi 57,88 (semua satuan dalam juta ton). Konsumsi panas bumi yang direpresentasikan oleh kapasitas terpasang meningkat dari 807 MW pada 2005 menjadi 1.189 MW pada 2009. Sebagai catatan, konsumsi batubara domestik masih jauh lebih kecil dibanding ekspornya (25% hingga 30% ekspor); dan panas bumi, sesuai karakteristik sumbernya, seluruhnya dialokasikan untuk pasokandomestik.

Dari sisi ketersediaan atau pasokan primer, antara tahun 2005-2009 tampak bahwa cadangan minyak bumi dan gas bumi (migas) terus menurun. Bahkan untuk minyak, produksinya pun sudah turun.Produksi gasmeningkat sebagaimana sumber daya, cadangan dan produksi batubara. Hal yang sama, meskipun kurang begitu signifikan terjadi pada panas bumi, kecuali sumberdayanya. Produksi minyak bumi pada 2005 sebesar 386.483 menjadi 346.469 pada 2009; sementara itu, cadangannya sebesar 8.626.960 pada 2005 berkurang menjadi 7.998.490 pada 2009 (semua satuan dalam ribu barel). Impor minyak periode 2005-2009 mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat kembali pada 2009. Gas bumi pada periode yang sama, produksinya meningkat dari 2.985.341 MMSCF menjadi 3.060.879 MMSCF; dan

cadangannya menurun dari 185.800x10 3 MMSCF

menjadi 159.630 x 10 3 MMSCF.

Pada 2005, sumber daya batubara, total untuk semua kualitas, tercatat 61.365,86 juta ton (JT), sedangkan cadangannya 6.758,90 JT, dan produksinya 152,72 JT. Pada tahun 2009, sumber daya, cadangan dan produksi batubara berturut-turut menjadi 104.940,22 JT, 21.131,84 JT, dan 256,18 JT atau meningkat masing-masing sebesar 71,01%, 2,13%, dan 67,74% dibanding 2005. Impor batubara yang kecil, berkisar pada angka 0,1 JT per tahun, kurang signifikan.

Panas bumi pada 2005 memilik sumber daya sebesar 13.543 MW yang berkurang menjadi 13.486 MW pada 2009, sementara cadangannya sedikit meningkat dari 13.490 pada 2005 menjadi 15.042 MW pada 2009. Hasil tersebut diperoleh dari 253 lokasi panas bumi pada 2005 yang bertambah menjadi 265 lokasi panas bumi pada 2009. WKP (wilayah kerja panas bumi) total dari 2005 hingga 2009 sebesar 23 WKP. Kapasitas terpasang panas bumi meningkat dari 807 MW (dari lapangan-lapangan yang telah ada sebelumnya) pada 2005 menjadi total (kumulatif) 1.189 MW pada 2009.

Pada akhir 2010 diperkirakan kondisi energi tersebut diatas tidak mengalami banyak perubahan dibanding

tahun 2009. Cadangan minyak status Januari 2010, misalnya, tercatat sebesar 7.764,48 MMSTB atau 7.764.480 ribu barel, yang berarti mengalami penurunan dibanding 2009 (7.998.490 ribu barel). Demikian pula, cadangan gas bumi pada 2010

tercatat sebesar 157,14 TSCF atau 157.140 x 10 3

MMSCF (cadangan pada 2009 sebesar 159.630 x 10 3 MMSCF) yang berarti mengalami penurunan.

Batubara pada 2010 mencapai sekitar 105.187 juta ton (JT) sumber daya, 21.132 JT cadangan; 275 JT produksi, dan 67 JT konsumsi domestik. Ekspor batubara 2010 yang diprediksikan lebih dari 208 JT naik dibanding 2009.Peningkatan pada 2010 dibanding 2009 terjadi pada energipanas bumi, kecuali pada sumber dayanya. Perkiraan posisi panas bumi pada 2010 adalah 276 lokasi potensi, sumber daya dan cadangan masing-masing sebesar 13.171 MW dan 15.867 MW, tambahan WK3 lokasi, dan total (kumulatif) kapasitas terpasang sebesar 1.196 MW. Paparan diatas menunjukkan bahwa masalah penurunan pasokan energi primermenjadi salah satu isu ketahanan energi kita.

Isu Ketahanan Energi Ketahanan energi secara eksternal berarti kemampuan

untuk merespon dinamika perubahan energi global, sedangkan secara internal ketahanan energi adalah kemampuan untuk menjamin ketersediaan energi dengan harga yang wajar. Dalam rumusan para ahli energi global, kemandirian energi meliputi tiga aspek,yaitu (i) ketersediaan energi atau kemampuan menjamin pasokan energi; (ii) aksesibilitas energi atau kemampuan mendapatkan akses terhadap energi; dan (iii) daya beli atau kemampuan menjangkau harga energi. Ketahanan energi dan kemandirian energi memiliki hubungan timbal balik.

Ketahanan energi adalah isu strategis Nasional karena kebutuhan energi yang semakin meningkat, produksi migas yang menurun, dan perkembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang belum optima.Permasalahan pasokan dan kebutuhan energi primer ini semakin diperberat oleh posisi target lifting migas, pertumbuhan ekonomi, asumsi harga minyak, elastisitas energi, dan subsidi BBM dalam APBN yang sangat menentukan ekonomi kita. Sebagai contoh, setiap penurunan produksi minyak dalam orde ribuan barrel per hari dari asumsi dalam APBN dapat menyebabkan defisit anggaran dalam orde ratusan milyar rupiah. Distribusi sumber energi yang tidak merata dan respon terhadap isu perubahan iklim merupakan permasalahan lainnya dalam isu ketahanan energi.

Konsumsi energi kita, jika pasokan dari biomassa diabaikan, masih dominan (> 90%) berasal dari energi primer migas dan batubara. Hingga tahun 2020, kebutuhan energi kita diperkirakan tumbuh rata- rata sebesar 5,2% per tahun. Angka tersebut sejalan

dengan angka pertumbuhan pasokan energi primer antara 2005-2009. Di sisi lain, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sesuai arah RPJMN, diperlukan pertumbuhan pasokan energi sekitar 6,37% per tahun. Seiring dengan perkembangan di tingkat global, permintaan migas dan batubara kita tetap akan tumbuh hingga 2030 bahkan 2050.

Sementara itu, pasokan minyak kita diperkirakan hanya sampai 20 tahunan lagi, gas bumi diperkirakan bertahan sampai sekitar 50 tahun, dan batubara

70 tahun ke depan. Namun, beberapa kalangan meragukan

angka-angka tersebut. Faktanya cadangan dan produksi minyak kita telah mengalami penurunan pada periode 2005-2009 dan diperkirakan akan berlanjut pada beberapa tahun ke depan. Kondisi batubara sedikit berbeda namun masih dibayangi dengan besarnya volume ekspor dibanding penggunaan dalam negeri. Sementara pasokan dari EBT masih belum berkembang pesat.

Penurunan produksi migas antara lain dipicu oleh penurunan produksi alamiah dari cekungan- cekungan minyak yang hingga kini mencapai 7-12% per tahun karena sebagian besar lapangan migas itu sudah berada dalam tahapan mature. Namun, selain masalah kontrak dan perizinan lahan, ada masalah lain yang sama pentingnya, yaitu masalah data wilayah kerja (WK) atau blok migas yang ditenderkan. Sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media, pada lelang WK migasdi awal tahun 2008 sebanyak 21 lokasi dan akhir Mei 2008 dengan 25 lokasi, di saat harga minyak dunia mencapai US$ 147 per barel, ternyata jumlah WK yang menarik investor hanya separuhnya. Salah satu alasan investor yang mengemuka pada saat itu adalah kurang yakinnya mereka terhadap data cekungan migas dari masing- masing blok yang ditawarkan.

Hingga akhir 2009, terdapat 232 WK produksi dan eksplorasi, meningkat 14% dibandingkan dengan 2008 yang hanya 203 blok. Namun potensi blok yang dapat berproduksi sebetulnya masih banyak. Pada tahun 2010 Pemerintah masih akan menawarkan 35 WK migas. Tingkat keberhasilan pengeboran migas di blok-blok yang sudah dieksplorasi juga masih tinggi, mencapai 46%. Selain itu, pada saat ini sudah teridentifikasi sebanyak 128 cekungan sedimen yang berpeluang memiliki kandungan migas cukup berarti. Persoalan data migas yang meliputi sumber daya dan cadangan menjadi isu selanjutnya dalam ketahanan energi.

Berkaitan dengan batubara, mengemuka isu status sumber daya dan cadangan. Berapa sesungguhnya cadangan batu bara kita? Dan amankah cadangan tersebut jika jumlah dan pertumbuhan produksi seperti saat ini? Kriteria penilaian dan bagaimana cara memperoleh data sumber daya dan cadangan menjadi isu berikutnya. Data periode 2005-2009 menunjukkan masih kurang berimbangnya cadangan Berkaitan dengan batubara, mengemuka isu status sumber daya dan cadangan. Berapa sesungguhnya cadangan batu bara kita? Dan amankah cadangan tersebut jika jumlah dan pertumbuhan produksi seperti saat ini? Kriteria penilaian dan bagaimana cara memperoleh data sumber daya dan cadangan menjadi isu berikutnya. Data periode 2005-2009 menunjukkan masih kurang berimbangnya cadangan

Isu lain berkaitan pada batubara adalah alokasi wilayah Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang merupakan amanah UU No 4 Tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi dan pengamanan pasokan energi nasional memerlukan strategi dan penetapan WP dan WPN batubara dengan mempertimbangkan konservasi dan diversifikasi energi. Apalagi tren ekspor batubara dari tahun ke tahun terus meningkat dan penggunaan domestik ke depan ditargetkan naik.

Isu EBT, Panas Bumi, dan Perubahan Iklim Salah satu upaya untuk kemandirian energi adalah

optimalisasi pemanfaatan energi setempat di luar energi konvensional; atau diversifikasi energi. Percepatan pemanfaatan panas bumi dan EBT lainnya menjadi isu yang strategis. Penyediaan data geosains dan informasi sumber daya untuk WKP panas bumi dirasakan masih kurang. Demikian pula percepatan pengungkapandan penilaian potensi coal bed methane (CBM), oil shale, dan shale gas masih masih sedikit. Salah satu penyebabnya, sebagaimana masalah dalam peningkatan WK migas, adalah keterbatasan sumber daya manusia, teknologi, dan anggaran survei dan eksplorasi.

Khususnya untuk EBT panas bumi, kendala lainnya berkaitan dengan masalah tumpang tindih lahan untuk WKP atau potensi konflik lahan, khususnya dengan kehutanan dan Daerah. Saat ini terdapat 81 daerah panas bumi yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, dengan total potensi sebesar 12.069 MW atau 42,9% total potensi MW saat ini. Permasalahan lahan untuk pengembangan panas bumi, sebagaimana untuk energi konvensional, menjadi isu yang penting. Permasalahan konflik lahan ini berkaitan dengan penataan ruang kawasan pertambangan yang diakomodir dalam konsep kawasan peruntukan pertambangan (KPP). Isu KPP dan percepatannya menjadi isu berikutnya.

Berkaitan dengan isu perubahan iklim, saat ini komitmen Pemerintah adalah pengurangan emisi gas

CO 2 hingga tahun 2020 sebesar 26% dengan biaya sendiri atau hingga 41% jika mendapat bantuan finansial luar negeri, untuk mitigasi perubahan iklim. Komitmen ini jika tidak diiringi dengan aksi-aksi untuk pencapaiannya dapat menurunkan produksi migas dan

batubara. Sebaliknya, dilihat dari sisi pengembangan panas bumi, komitmen itu merupakan peluang besar. Berkaitan dengan modeliklim yang masih berubah secara dinamis, semakin tingginya persaingan pasokan energi dunia, dan kemungkinan bencana alam yang menghancurkan fasilitas pasokan energi,

maka batasan-batasan emisi CO 2 itu kedepan dapat

saja berubah.Isu climate change proof bergandengan dengan percepatan penggunaan energi baru yang lebih ramah lingkungan, dan implementasi carbon capture storage (CCS) menjadi isu-isu yang relevan. Isu-isu tersebut juga merupakan bagian dari isu resilince to climate change issue yang diperlukan guna menghindari sisi politis dari isu perubahan iklim.

Secara umum, kendala atau permasalahan energi Indonesia meliputi ketergantungan yang masih tinggi pada minyak bumi, penggunaan EBT yang belum optimal, kebutuhan energi cukup besar dan terus naik, dan persaingan global dalam akses pasokan minyak yang semakin ketat, serta tuntutan komitmen respon atas perubahan iklim. Sementara itu, sumber daya energi fosil masih cukup memadai namun perlu investasi, teknologi dan sumber daya manusia dalam pengembangannya, dan potensi energi terbarukan cukup besar dan tersebar. Disamping demand side yang sekarang mulai menjadi prioritas, sisi pasokan (supply side) ini masih memegang peran penting dalam keamanan energi kita.

Tantangan Sisi Hulu Ketahanan energi dan kemandirian energi merupakan

prioritas Pembangunan Nasional. Dalam rangka mencapai ketahanan energi, lebih khusus lagi keamanan pasokan energi dalam negeri dan sebagai tindak lanjut UU tentang Energi, telah terbit Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam KEN telah ditetapkan antara lain sasaran terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional melalui peran minyak bumi berkurang menjadi kurang dari (<) 20%, peran gas bumi menjadi lebih dari 30%, peran batubara menjadi lebih dari 33%; peran biofuel, panas bumi, dan EBT lainnya masing-masing menjadi lebih dari 5%, dan bahan bakar lainnya yang berasal dari pencairan batubara menjadi lebih dari 2%

Untuk kebutuhan perencanaan dan langkah strategis ke depan, sasaran dalam KEN itu perlu diperinci lebih lanjut menjadi sasaran 5 tahunan hingga tahunan dalam hal jumlah, kualitas, distribusi (termasuk infrastruktur yang diperlukan) dan prediksi kebutuhan energi skenario BaU berbanding skenario

KEN termasuk komitmen pengurangan emisi CO 2

sebesar 26%. Berdasarkan hasil proyeksi di tahun 2007, misalnya, kebutuhan minyak pada 2014 sebesar 400 juta barrel (skenario pesimis) dan gas total sebesar 2.000 TSCF perlu dikaji ulang sekaitan dengan tren penurunan produksi minyak 2005-

2009. Demikian juga untuk batubara, target produksi sekitar 300 juta ton dan panas bumi sekitar 4500- 5000MW (kumulatif) mungkin perlu dikaji ulang, baik dari sisi pasokan maupun kebutuhan. Proyeksi kebutuhan dan pasokan tersebut tentu saja harus sudah mengalokasikan kebutuhan energi primer untuk masyarakat seperti pembangkit listrik 10.000 MW Tahap I dan Tahap II, energi primer untuk industri manufaktur, pupuk, kebutuhan rumah tangga, dan lainnya yang terangkum dalam DMO (domestic market obligation ).

Dalam jangka pendek dan jangka menenga yang menjadi acuan kegiatan tentu saja adalah rencana tahunan dan jangka lima tahunan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tantangan untuk sisi hulu energi ini adalah memenuhi target-target sesuai perencanaan tersebut. Dalam jangka panjang, tantangan dari kebijakan dan strategi sebagaimana dalam KEN perlu diperinci kedalam langkah-langkah yang strategis guna mencapai tujuan dan sasaran ketahanan pasokan energi. Untuk jangka panjang, sisi hulu energi berpeluang untuk lebih berperan dalam menajamkan atau bahkan merivisi KEN dari sisi pasokan.

Dalam jangka pendek dan jangka menengah, muncul tantangan untuk meningkatkan kualitas data cekungan migas pada WK atau blok yang akan dikembangkan di luar 17 cekungan produksi saat ini, sehingga dapat mengurangi risiko hulu eksplorasi sumber energi migas. Cadangan yang ada perlu ditingkatkan statusnya menjadi terbukti (proven). Untuk itu, perlu pengkajian geosains migas yang meliputi kajian data seismik dan eksplorasi migas pada WK atau calon WK yang akan dilelangkan. Prioritas juga perlu diberikan untuk WK yang berada di wilayah Indonesia bagian Timur.

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, kajian goesains migas ini perlu ditingkat di cekungan- cekungan migas baru di daerah frontier dan cekungan migas lainnya diluar blok yang sudah dikerjakanpada 128 cekungan sedimen, dan prioritas ke WIT. Berkaitan dengan meningkatnya perhatian terhadap energi yang lebih bersih, prioritas kajian juga perlu diberikan pada pengembangan energi yang berasal dari CBM, baik pada WK CBM yang akan dilelangkan, maupun lapangan CBM baru yang potensial. Kajian dan penelitian CBM berkaitan dengan sumber daya dan cadangan batubara, pengurangan risiko ledakan gas methan dalam penambangan batubara, bahkan berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim apabila formasi CBM yang sudah dikerjakan itu digunakan untuk lokasi CCS.

Kajian, survei, dan penelitian batubara itu sendiri dalam jangka pendek dan jangka menengah perlu diarahkan guna menjamin target produksi dan alokasi penggunaan batubara untuk pasokan pembangkit proyek 10.000 MW tahap I dan tahap II dan DMO

lainnyapada periode tersebut. Dalam hal ini, data kuantitas (status cadangan) dan kualitas beserta distribusi terkait aksesibilitas yang reliable untuk sumber daya batubara yang ada menjadi tantangan. Dalam periode itu, juga diperlukan percepatan penyiapan WP batubara berikut turunannya (WUP, WPR, dan WPN). Suatu roadmap penyelidikan atau eksplorasi sumber daya batubara menjadi penting guna mendukung KEN.Tantangan dalam jangka panjang antara lain peningkatan kualitas data yang diperoleh pada periode japen dan jamen, penemuan sumber daya dan cadangan baru, dan rekomendasi penajaman KEN.

Untuk panas bumi, tantangannya adalah pemenuhan target pasokan sekitar 5000 MW hingga 2015, diantaranya dialokasikan untuk pembangkit listrik 10.000 MW tahap II. Untuk itu, perlu percepatan penyiapan WKP terkait seiring dengan penyiapan road map penyusunan WKP.Tujuannya dalam jangka panjang adalah menjamin pasokan untuk prioritas penggunaan panas bumi dalam ketahanan energi kita. Bersama dengan hasil-hasil riset geosains terkait climate change proof , langkah peningkatan pasokan energi panas bumi ini dapat diangkat ke dunia internasional sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Bersamaan dengan itu, penyiapan rekomendasi KPP juga perlu segera dipercepat.

Dalam jangka panjang, peran sisi hulu dalam ketahanan energi akan lebih banyak dituntut oleh permintaan energi yang ramah lingkungan. Dalam hal ini, akselerasi penyiapan WKP panas bumi dan WK CBM serta penemuan sumber daya dan cadangan energi primer tersebut menjadi tantangan yang sudah muncul sejak sekarang akan terus berlanjut ke depan. Untuk itu, basis geosains guna menjamin peningkatan pasokan energi primer tersebut perlu terus ditingkatkan. Selain itu, dalam rangka ketahanan energi, kemungkinan adanya percepatan energi baru lainnya terkait sumber daya geologi, juga perlu mulai dipertimbangkan sejak sekarang. Sumber-sumber energi atau mineral yang diperlukan untuk itu, seperti panas bumi dari hot dry rock, nuklir reaksi fusi yang relatif lebih aman, dan mineral untuk sel surya yang lebih efisien sudah harus mulai mendapat perhatian seiring dengan perhatian terhadap sumber energi konvensional yang perannya hingga tahun 2025 masih tetap masih besar.

Salam, Oman Abdurahman

Warta Geologi Desember 2010

Geologi Populer

P residen Republik Indonesia, Susilo

pidato pembukaan Sidang Tingkat Tinggi Konferensi Para Pihak ke-13 (COP-13) Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), Selasa, 12 Desember 2007 di Nusa Dua, Bali, mengatakan, Indonesia akan mengurangi peran energi fosil dalam komposisi penggunaan energi, dari 52% menjadi 20% pada tahun 2025, termasuk di dalamnya rencana peningkatan

pemanfaatan

energi

panas bumi sebesar 5%. Tekad untuk mengembangkan energi panas bumi

ini diungkap kembali dalam pidato pembukaan Kongres Panas Bumi Tingkat Dunia di Hotel Westin, Nusa Dua, Senin (26/4/2010). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Indonesia akan menjadi pengguna energi terbesar panas bumi”. Penggunaan energi panas bumi juga sejalan dengan target Pemerintah untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Dari pemanfaatan panas bumi, Indonesia dapat mengurangi emisi karbon hingga 17,3 juta ton per tahun.

Oleh: R Sukhyar

Energi Andalan Indonesia

Masa Datang

Panas Bumi,

Tekad itu sangat beralasan, karena penyebaran sumber daya panas bumi di Indonesia sebagian besar mengikuti jalur gunung api di Pulau Sumatera, Jawa, Bali-NTB-NTT, Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara. Hal ini tidak terlepas dari posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar, yaitu lempeng Hindia Australia, Eurasia, dan Pasifik, menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Subduksi antar lempeng benua dan samudra menghasilkan suatu proses peleburan magma dalam bentuk partial melting batuan mantel dan magma mengalami diferensiasi pada saat perjalanan ke permukaan. Proses tersebut membentuk kantong-kantong magma berkomposisi asam hingga basa yang berperan dalam pembentukan jalur gunung api yang dikenal sebagai lingkaran api Pasifik (ring of fire ). Keberadaan rentetan gunung api beserta aktivitas tektoniknya ini yang dijadikan dasar dalam penyusunan model konseptual pembentukan sistem panas bumi Indonesia.

Selain itu, Indonesia diberkahi juga sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah non vulkanik, seperti di Pulau Kalimantan, Pulau Bangka- Belitung, Sulawesi Tengah, dan Papua. Berdasarkan asosiasi terhadap tatanan geologi, sistem panas bumi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe utama, yaitu: vulkanik, graben (vulkano- tektonik), dan non-vulkanik. Pengelompokan tipe ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengestimasi awal besarnya potensi energi dalam suatu sistem panas bumi. Hingga tahun 2009, telah teridentifikasi 265 daerah panas bumi di seluruh Indonesia dengan total potensi 28,5 GW. Data tersebut terus diperbaharui setiap tahunnya seiring dengan kegiatan penemuan daerah-daerah panas bumi baru.

Mengingat sumber daya panas bumi di Indonesia yang menjanjikan, maka panas bumi akan menjadi energi andalan Indonesia di masa mendatang. Selain memiliki potensi terbesar di dunia, juga memiliki keunggulan, yaitu panas bumi merupakan energi ramah lingkungan, terbarukan, dengan biaya investasi yang lebih murah dalam mengembangkannya.

Saat ini, Indonesia menjadi negara pengguna energi panas bumi terbesar ketiga di dunia. Namun, melihat potensi dan kebijakan bidang energi, Indonesia di masa depan akan menjadi pemain dan pengguna panas bumi terbesar. Potensi panas bumi Indonesia mencapai 40% dari potensi panas bumi dunia. Saat ini potensi

itu baru dimanfaatkan sebesar 1.189 Megawatt electric (MWe), atau sekitar 4,2% dari cadangan panas bumi Indonesia. Saat ini, Indonesia masih belum dapat menyamai Amerika Serikat yang sudah memanfaatkan 4.000 MWe, atau Filipina yang telah memanfaatkan sekitar 2.000 MWe. Ke depan, energi panas bumi akan menjadi energi utama bersama batubara, minyak, dan gas bumi. Karena teknologi yang semakin maju, panas bumi dapat dikembangkan di berbagai daerah di wilayah Indonesia. Sangat beralasan bila panas bumi akan menjadi energi masa depan yang berumur panjang. Dengan mengelola lingkungan alamnya dengan baik, panas bumi akan terus terbarukan.

Pemanfaatkan panas bumi secara optimal berdasar pada dua pertimbangan utama, yaitu: cadangan minyak bumi terus menipis, dan potensi panas bumi Indonesia yang luar biasa. Cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan tersedia untuk jangka waktu sekitar 15-23 tahun ke depan, bila tingkat konsumsi minyak seperti sekarang, dengan tingkat pertumbuhan konsumsi sebesar 5-6% per tahun. Prakiraan itu akan semakin singkat, bila gaya hidup masyarakat dalam menggunakan energi fosil terus meningkat.

Saatnya Mengembangkan Panas Bumi Rasanya tidak ada lagi alasan untuk tidak mendorong pengembangan panas bumi di Indonesia. Potensi terbesar di dunia, kebutuhan listrik yang terus meningkat, UU Panas Bumi sudah ada dan paling baru adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G20-Summit, Pittsburgh, Amerika. Indonesia, menurut Presiden SBY, secara suka rela telah mentargetkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26% hingga 2020. Untuk itu, selain mengurangi penggundulan hutan dan pengalihan pemanfaatan lahan, Indonesia segera melakukan investasi pengembangan energi terbarukan antara lain pemanfaatan sumber energi panas bumi.

Indonesia memiliki aneka ragam sumber energi. Selain sumber energi fosil, Indonesia berada di Pacific ring of fire , membuat Indonesia memiliki potensi sumber energi panas bumi yang mencapai 28.000 MW, yang tersebar di 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku, dan sebagian Kalimantan. Potensi sebesar itu merupakan 35% dari sumber panas bumi dunia. Jika bisa dimanfaatkan selama 30 tahun, energi tersebut setara dengan 12 miliar barel minyak bumi untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Kenyataan saat ini baru bisa memanfaatkan sumber

Geologi Populer

energi panas bumi sebesar 1189 MW, meski sudah sejak 26 tahun lalu mengembangkannya.

Berdasarkan laporan Badan Energi Dunia (IEA), Indonesia berada di urutan ke 15 penyumbang

emisi CO 2 . Pada tahun 2004, produksi emisi gas

rumah kaca atau CO 2 Indonesia sebesar 360

juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan

menurunkan produksi CO 2 .

Pengembangan sumber panas bumi sebesar 4600 MW melalui program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW tahap II, menjadi taruhan janji Presiden SBY dalam G20. Jika berhasil dilaksanakan, maka sampai 2014 sumber energi panas bumi yang dimanfaatkan berjumlah 5.789 MW. Ini setara dengan pengurangan emisi CO 2 sebesar 38 juta ton dari pengalihan pemanfaatan batubara atau 25 juta ton dari penggantian pemakaian BBM.

Di sisi lain, pemanfaatan sumber panas bumi tadi juga setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panas bumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panas bumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara.

Panas bumi merupakan sumber energi bersih lingkungan, karena tidak memproduksi emisi

CO 2 . Selama kondisi geologi dan hidrologi terjaga keseimbangannya, pembentukan sumber energi panas bumi yang terkait dengan pembentukan magma gunung api pada ring of fire terus menerus terjadi (sustainable). Selain itu juga tidak memerlukan kilang, pengangkutan, bongkar muat dan bersifat lokal, sehingga seharusnya tidak tergantung pada fluktuasi harga energi fosil.

Tantangan dan Dukungan Pengembangan panas bumi masih membutuhkan dukungan semua pihak. Keberadaan UU Panas Bumi maupun berbagai peraturan yang ada belum mampu mewujudkan pemanfaatan sumber energi panas bumi secara maksimal. Berbagai hambatan dan tantangan masih membutuhkan keseriusan untuk dicarikan solusinya.

Berbeda dengan minyak bumi atau batubara, karakteristik sumber energi panas bumi membuat pengembangan dan pengelolaannya tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Hukum permintaan dan penawaran tidak berlaku. Oleh sebab itu peran pemerintah sangat diperlukan guna mengelola dan mengatur para pelaku industri pemanfaatan panas bumi.

perusahaan penyalur listrik di sisi hilir dan perusahaan pengembang sumber panas bumi (produksi uap/listrik) bisa dipertemukan. Bahkan sebaiknya, pelayanan pengembangan panas bumi di sisi hulu dan hilir dilakukan satu atap, sehingga dapat mengintegrasikan perencanaan pemanfaatan di sisi hilir dan pengembangan sumber daya panas bumi di sisi hulu, serta bisa mengatasi persoalan lain seperti keberadaan 10% persen sumber energi panas bumi yang berada di hutan lindung maupun cagar alam.

Pola satu atap ini diharapkan juga mengatasi hambatan pengembangan sumber energi panas bumi yang bersifat kedaerahan, sehingga, kebijakan yang memprioritaskan pemanfaatan panas bumi bagi pembangunan pembangkit listrik pada daerah yang memiliki sumber energi panas bumi tidak terhambat oleh persoalan sosial kemasyarakatan di daerah. Tentu saja setelah aspek teknis dan dampak lingkungan dinyatakan aman.

Pada daerah-daerah yang hanya memiliki sumber energi panas bumi, maka energi panas bumi mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan dibandingkan sumber energi lainnya. Pemerintah

ikut serta memikul risiko terutama di sisi hulu, sehingga dapat mengurangi

risiko bisnis pengusaha.

Potensi besar panas bumi di Indonesia juga merupakan tantangan bagi ilmuwan, akademisi, teknolog maupun pengusaha nasional. Karena tidak semua negara beruntung memiliki sumber energi ini. Penguasaan teknologi pengembangan sumber energi panas bumi oleh pihak nasional bukan hanya menghasilkan nilai tambah industri barang modal dan jasa industri panas bumi dan energi, namun juga kebanggaan untuk tidak tergantung pada pihak asing.

Perhatian dunia pun tumbuh sejalan dengan kesungguhan Indonesia dalam pemanfaatan energi panas bumi. Biaya untuk membangkitkan listrik dari panas bumi ini sekitar 3 juta dollar AS per 1 MW. Investasi awal itu kerap dianggap sebagai biaya yang besar. Karena itu, sebagai upaya menekan masalah biaya, investor bisa menggunakan banyak pilihan pinjaman lunak untuk proyek. Hal itu karena perhatian dunia terhadap energi terbarukan saat ini sangat besar sehingga Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) bersedia menyediakan pinjaman.

Guna mencapai program percepatan penyediaan listrik 10 ribu MW yang sudah dicanangkan, pemerintah

melakukan berbagai langkah percepatan yang bersumber pada panas bumi. Kandungan panas bumi sebesar 3.977 MW itu terdiri atas beberapa Wilayah Kerja Pertambangan (WKP). Sebelum pemberlakuan Undang Undang Nomor 27/2003, terdapat 15 WKP yang dikelola Pertamina dan JOC sebesar 2.090 MW, ada yang sudah produksi, namun ada pula yang baru eksplorasi.

Sebanyak 14 WKP di antaranya, atau sebanyak 2.035 MW, secara rinci, telah tereksplorasi. 1 WKP milik PLN di Maluku, berkapasitas 20 MW, dan

1 WKP lainnya dikelola koperasi berkapasitas 10 MW.

Pasca pemberlakuan UU 27/2003, terdapat sebanyak 21 WKP baru. Kapasitas produksinya sebesar 1.857 MW. Namun, dari 21 WKP itu, baru 6 WKP yang memperoleh izin, sisanya masih dalam proses tender.

Potensi Panas Bumi Jabar Terbesar Jawa Barat memiliki potensi kuat untuk

berkontribusi menjadikan Indonesia sebagai pengguna panas bumi terbesar di dunia. Potensi panas bumi di Jabar merupakan yang terbesar di Indonesia, yaitu sekitar 5.000 megawatt (MW) di

43 lokasi. Saat ini Indonesia masih berada pada posisi

ketiga pengguna panas bumi dengan daya yang sudah dimanfaatkan 1.189 MW. Negara yang membangkitkan listrik dari panas bumi dengan daya terbesar ialah Amerika Serikat sekitar 2.900 MW dan Filipina sekitar 2.000 MW.

Dalam lima tahun mendatang, Indonesia akan mengupayakan menambah daya listrik dari panas bumi 4.000 MW. Karena itu, daya yang digunakan pada 2015 menjadi lebih dari 5.000 MW. Ke depan, Indonesia akan menjadi negara pengguna panas bumi terbesar. Namun, pemanfaatan panas bumi baru 4% dari potensi. Saat ini baru enam izin usaha pertambangan panas bumi yang diterbitkan. Pemerintah menargetkan angka potensi yang dimanfaatkan menjadi 2.000 MW pada 2011.

Jawa Barat memiliki potensi panas bumi paling besar. Namun, potensi yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 20% atau 1.061 MW. Potensi panas bumi di Jawa Barat tersebar antara lain di Kabupaten Bogor, Garut, Tasikmalaya, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Kuningan. Potensi yang sudah digunakan di Kamojang sebesar 200 MW, Wayang Windu sebesar 227 MW, Gunung Salak sebesar 375 MW, dan Darajat sebesar 259 MW. Di luar Jawa Barat terdapat antara lain di Sibayak sebesar 2 MW, Lahendong sebesar 60 MW, dan Dieng - Jawa Tengah.

Sumber energi panas bumi ini tidak dapat diekspor, sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik. Oleh karena itu pengembangan sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam diversifikasi energi, atau mengurangi ketergantungan penggunaan minyak dan gas bumi serta membangun kemandirian energi lokal untuk membangun ketahanan energi nasional.

Akhir tulisan ini, dikutip pendapat ahli geologi MT Zen untuk direnungkan bersama dan menjadi semangat dalam gerakan mengembangkan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada negara lain dalam pemenuhan energi. MT Zen mengatakan, “Yang produktif yang kuat, yang kuat yang merdeka!”n

Penulis adalah Kepala Badan Geologi

Geologi Populer

Fluida hidrotermal menyebabkan terjadinya ubahan

mineral ekonomis dapat terjadi pada lingkungan

terhadap batuan yang dilaluinya. Proses alterasi

epitermal maupun mesotermal.

Batugamping

menyebabkan perubahan komposisi kimiawi batuan. Jenis ubahan yang dihasilkan tergantung

Cebakan bijih emas tipe Carlin adalah salah satu

Berubah Menjadi

kepada sifat fisik dan kimiawi hidrotermal, batuan

tipe cebakan hasil ubahan hidrotermal yang

induk yang terubah, serta lingkungan terjadinya

banyak dijumpai di Nevada, Amerika Serikat.

proses ubahan. Kondisi parameter yang berbeda

Emas penyusun cebakan tipe ini umumnya

Bijih Emas

akan membentuk tipe cebakan yang berbeda.

berupa elektrum, tidak dapat dilihat dengan mata

telanjang, atau dikenal sebagai nosseum gold

Oleh: Sabtanto Joko Suprapto

Batugamping mempunyai sifat kimia sangat

merupakan hasil ubahan batugamping atau batuan

reaktif. Aliran fluida hidrotermal yang melaluinya

gampingan yang terubah oleh fluida hidrotermal

baik yang menerobos di sela-sela pori batuan

terutama berupa penggantian (replacement)

maupun mengikuti rekahan atau patahan

silika yang mengendapkan juga emas dan sulfida.

akan bereaksi dengan kalsium

karbonat,

Mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada

menyebabkan perubahan kandungan kimiawi batuan. Kandungan batuan berupa CaCO 3 dapat tergantikan (replacement) oleh SiO 2 dari larutan hidrotermal yang terbawa serta unsur-unsur logam, di antaranya emas, sehingga menghasilkan cebakan bijih emas.

Ubahan Ubahan (alterasi) adalah hasil proses perubahan komposisi mineral suatu batuan yang disebabkan oleh perubahan kimiawi dan fisika di antaranya akibat pengaruh larutan hidrotermal. . Larutan hidrotermal merupakan penyebab utama proses terjadinya ubahan pada batuan sekitarnya, yang

Batugamping berfosil terubah menjadi silika mengandung emas ± 4

menghasilkan perubahan fisik, komposisi mineral

ppm, Tambang Mesel, Minahasa Tenggara, Sulut

maupun kimiawi batuan, yang mengendapkan juga unsur-unsur logam. Perubahan tersebut dapat

cebakan tipe ini adalah pirit, markasit, orpimen,

berupa rekristalisasi, penambahan mineral baru,

realgar, stibnit dan sinabar. Asosiasi geokimia

perubahan komposisi kimiawi, serta perubahan

endapan ini adalah antara Au, As, Sb, Hg, Tl, dan

Ba.

sifat fisik seperti permeabilitas dan porositas

batuan.

E hidrotermal. Cebakan bijih emas

mas merupakan logam mulia

hidrotermal yang berkaitan dengan

Jasperoid

terbentuk oleh proses yang

aktivitas

magmatik,

sehingga

Fluida hidrotermal menyebabkan alterasi atau

Jasperoid merupakan batuan dengan penyusun

dikontrol terutama oleh fluida

keberadaan sebaran cebakan emas

ubahan-ubahan pada batuan-batuan samping/

utama silika dan terbentuk dari proses penggantian

mengikuti busur magmatik yang

induk (host rock), dan terjadinya mineralisasi

(replacement),

di

antaranya replacement

yang dijumpai tersebar di sebagian

menyusun sebagian besar kepulauan

unsur-unsur yang terbawa oleh fluida. Karakteristik

batugamping oleh silika. Parameter utama dalam

pembentukan jasperoid dari batugamping yaitu: Warta Geologi khususnya emas primer, merupakan

besar kepulauan di Indonesia,

di Indonesia.

larutan hidrotermal sangat dipengaruhi oleh

Desember sumber dari silika, asal larutan, transport, dan

dua parameter utama yaitu temperatur dan pH.

bentukan hasil ubahan oleh larutan

Pembentukan ubahan dan mineralisasi oleh

presipitasi dari silika, serta mekanisme penggantian

aktivitas hidrotermal yang menghasilkan cebakan

Geologi Populer

Zona ubahan batugamping menjadi silika, Pantai Ayah, Kebumen, Jateng batugamping oleh silika. Jasperoid merupakan

bentukan yang menarik karena berhubungan dengan mineralisasi emas.

Silika dapat berasal dari cairan sisa magma, silika hasil pelarutan batuan oleh larutan hidrotermal. Silika dari batuan sekitarnya oleh sirkulasi larutan, dan silika dari zona lapukan batuan di atasnya yang terbawa oleh aliran air tanah. Kandungan unsur-unsur tertentu pada larutan mempengaruhi kemampuan fluida untuk melarutkan, mentranspor dan mengendapkan silika. Tingkat kelarutan silika dalam air pada tekanan sedang meningkat secara perlahan seiring dengan perubahan temperatur

dari 200 0 C sampai 360 0 C. Peningkatan secara tajam terjadi di atas 360 0 C. Kelarutan tergantung

pada tekanan. Pada tekanan tinggi tingkat kelarutan meningkat dan turun secara perlahan pada tekanan sedang. Kondisi pH larutan pada temperatur rendah pengaruhnya sedikit.

Jasperoid terbentuk dari hasil pengisian rongga dan penggantian, dimana proses penggantian lebih dominan pada fase awal, dan presipitasi dominan pada fase akhir. Penggantian batugamping oleh silika berlangsung dengan baik pada larutan asam dengan temperatur relatif rendah dan mengandung

CO 2 . Pada saat batugamping larut, Ca lepas dan mendorong terjadinya presipitasi koloid silika. Proses tersebut membentuk jel. Larutan asam dalam jel terus melarutkan batugamping, ion Ca menyebar dan menyebabkan presipitasi koloid silika. Silika dengan bentuk seperti agar-agar, kemudian mengkerut, mengeras dan sebagian membentuk rekahan. Selanjutnya sebagian silika terendapkan dalam rekahan tersebut.

Tahap selanjutnya kristalisasi dari jel silika membentuk padatan berupa kuarsa bertekstur afanitik dan kalsedon, terbentuk juga rekahan- rekahan dan rongga akibat proses pengkerutan,

Batugamping koral terubah menjadi silika mengandung 1,2 ppm emas, Pantai Ayah, Kebumen, Jateng

Kalsedon dan kristal kuarsa, Pantai Ayah, Kebumen, Jateng

Jasperoid, Pantai Ayah, Kebumen

yang terisi atau terlapisi oleh kuarsa berbutir kristal kasar dan mineral-mineral lainnya yang mengendap langsung dari larutan.

Mineralisasi Mineralisasi emas yang terbentuk dari hasil ubahan batugamping oleh fluida hidrotermal pada lingkungan epitermal dikenal dengan tipe Carlin. Cebakan emas tipe Carlin terbentuk oleh interaksi antara larutan hidrotermal dengan struktur dan litologi berupa batuan karbonat hingga membentuk mineralisasi emas. Model mineralisasi ini merupakan cebakan bijih emas halus tersebar (disseminated) pada batuan sedimen karbonat (sediment hosted), di Amerika Serikat telah diusahakan sejak tahun 1960-an. Bijih emas tipe

ini umumnya berkadar rendah, sehingga untuk mendapatkan skala ekonomis diperlukan cebakan dalam dimensi besar, dan dapat ditambang dengan sistem tambang terbuka.

Mineralisasi emas berkadar tinggi terbentuk pada zona kaya sulfida berwarna abu-abu tua. Kandungan rata-rata sulfida dalam tubuh bijih rendah (<1-4%). Emas terdapat pada karbonat terdolomitisasi tersilisifikasi secara lemah maupun dalam batuan tersilisifikasi kuat (jasperoid).

Cebakan emas tipe Carlin di Indonesia yang telah diusahakan yaitu cebakan yang dijumpai di Mesel dan daerah sekitarnya di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, yang pada masa lalu telah diusahakan oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Cebakan Mesel terdapat pada

areal seluas kira-kira 600 x 400 m 2 sekitar sisi

Geologi Populer

Bijih emas kadar tinggi (798 ppm) abu-abu gelap, Stock pile Mesel, Minahasa Tenggara, Sulut

Tambang (pit) Mesel, dengan latar belakang pabrik pengolahan, Teluk Ratatotok dan Teluk Buyat

bagian timur dari plug hasil terobosan andesitik. Sebagian besar mineralisasi tidak tersingkap. Secara geometri tubuh bijih terdiri dari batuan sedimen termineralisasi yang berbatasan dengan kontak terobosan andesitik, bentuk cebakan berupa pembajian tebal, merupakan sedimen termineralisasi, dan terpotong oleh patahan berkemiringan terjal membatasi zona tersilisifikasi. Mineralisasi meluas hingga kurang lebih 160 m di bawah permukaan.

Rangkaian struktur patahan menunjam berarah utara barat laut hingga barat barat laut dengan komponen arah gerakan sinistral strike-slip maupun oblique reverse. Efek interaksi dari struktur patahan yang berkembang di daerah Mesel menghasilkan zona bukaan yang dapat dilewati larutan hidrotermal. Sebaran mineralisasi emas mempunyai pola zona berkadar emas tinggi berarah utara barat laut.

Mineralisasi di Daerah Mesel terdapat pada batuan induk batugamping lanauan, kalsium-argilit, satuan ganggang dan oolitik, serta sedimen rombakan. Batuan penutup berupa retas lempeng andesit sub-volkanik. Ubahan terdiri dari dekalsifikasi, silika, dolomit, pirit, ilit-smektit, urat kalsit dan zeolit, kaolinit dan alunit. Model mineralisasi

berupa penggantian (replacement) sepanjang kontak batugamping-batuan andesit, dan zona- zona struktur. Indikator geokimia: Au, As, Sb, Hg, dan Tl. Terdapat urat berupa kalsit+dolomit hasil pengendapan tahap akhir, dan sedikit kuarsa di dalam lubang/rongga. Mineral sulfida rata-rata 1-4%, terdiri dari pirit, stibnit, realgar, orpiment, dan sinabar. Dimensi bijih sebesar 7,75 juta ton @ 6,89 g/t Au.

Penambangan Penambangan cebakan emas tipe Carlin di daerah Mesel merupakan satu-satunya pengusahaan cebakan tipe tersebut di Indonesia. PT Newmont Minahasa Raya di daerah Mesel, Ratatotok, Sulawesi Utara sejak tahun 1996 sampai dengan 2003 melakukan kegiatan penambangan. Sistem penambangan yang dilakukan adalah dengan sistem tambang terbuka (open pit). Penambangan meliputi pengupasan tanah dan batuan penutup, peledakan batuan bijih dan batuan limbah, pemuatan dengan excavator ke dalam truk tambang, dan pengangkutan ke timbunan ROM (run of mine), timbunan batuan limbah (waste dumps ), dan timbunan tanah pucuk.

Terdapat tujuh daerah tambang yaitu: Mesel, Nibong, Leon, Terusan Nibong, Bukit Rotan, Nibong Extension dan Yance. Pit dirancang dengan kemiringan lereng maksimum 70º, dengan bench datar selebar 10 m.

Tahun 1999 untuk mengekstraksi bijih emas non-refractory khususnya yang berkadar rendah (Au < 3 gr/ton), dibangun fasilitas pelindian timbunan (heap leach). Heap leach den- gan kapasitas 1,5 juta ton bijih/tahun, recovery ± 53 %.

Kolam pelindian dengan latar belakang pabrik pengolahan bijih emas, Ratatotok, Minahasa Tenggara, Sulut

Pengolahan Bijih emas Tambang Mesel diolah pada pabrik pengolahan yang berkapasitas 60.000 ton bijih/

bulan, dengan tahapan terdiri dari: penggerusan, pemanggangan bijih, sianidasi, penyerapan karbon, electrorefining , detoksifikasi tailing dan penempatan tailing di bawah laut.

Penutup Batugamping

sebagai batuan yang sangat reaktif, akibat kontak dengan larutan hidrotermal dapat terubah menjadi silika mengandung emas. Pembentukan bijih emas dengan batuan induk batugamping

(sediment hosted) pada lingkungan epitermal dikenal dengan mineralisasi tipe Carlin. Jasperoid merupakan batuan tersilikakan kuat sebagai penyusun utama tubuh bijih. Cebakan bijih tipe ini mempunyai kadar yang cenderung rendah, sehingga diperlukan cebakan dalam dimensi besar dan dapat ditambang dengan cara tambang terbuka untuk dapat diusahakan secara ekonomis.

Mengingat cebakan emas epitermal tipe Carlin, umumnya mengandung mineral ikutan berupa sulfida merkuri, antimoni dan arsen, maka peroses pengolahannya harus disertai dengan upaya detoksifikasi terhadap tailing yang akan dibuang. Dinding pit yang masih mengandung sulfida, diupayakan untuk tidak terpapar pada udara bebas agar tidak menjadi sumber terbentuknya air asam tambang.n

Penulis adalah Kepala Bidang Program dan Kerjasama, Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi.

Warta Geologi Desember 2010

Geologi Populer

Oleh: Adjat Sudradjat

dan Pengaruhnya Terhadap Budaya

Bencana Alam Geologi

B encana alam geologi pada

sehingga manusia tidak dapat berbuat banyak kecuali menerimanya, menjadikannya

sebagai

bagian

dari kehidupan dan membentuk budayanya. Letusan gunung api, misalnya, merupakan bencana alam geologi yang banyak mempengaruhi kehidupan manusia. Sebagai tempat

Bencana alam dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu bencana yang disebabkan murni oleh alam, bencana karena kegiatan makhluk hidup khususnya

campuran antara keduanya. Dalam banyak hal, batas antara kelompok itu kabur, terlebih-lebih kalau penghuninya padat. Akan tetapi secara ringkas dapat dikemukakan bahwa keseimbangan alam dapat dipengaruhi oleh kegiatan makhluk hidup, sehingga bisa menimbulkan bencana alam. Sebagai contoh, bendungan yang dibuat berang- berang dapat menimbulkan banjir, demikian pun kegiatan yang dilakukan manusia yang dapat memicu terjadinya bencana alam.

Karena batas itu kabur, seringkali kegiatan manusia dianggap sebagai penyebab bencana alam. Sebagai contoh, halilintar yang menyambar hutan kering atau cebakan batubara dan kemudian menimbulkan kebakaran, kerapkali dianggap sebagai akibat ulah manusia. Padahal tidaklah seperti itu, walaupun harus diakui, bahwa tidak jarang kebakaran hutan disebabkan oleh manusia.

Pada tulisan ini akan dibahas bencana alam yang seringkali terjadi di Indonesia, yaitu letusan gunung api dan gempa bumi. Rata-rata sebanyak

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

EFEKTIVITAS siaran dialog interaktif di Radio Maraghita sebaga media komunikasi bagi pelanggan PT.PLN (persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Kelurahan Lebakgede Bandung

2 83 1

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Prosedur Promosi Jabatan Karyawan pada PT. PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat dan Banten UPJ Majalaya

3 53 1

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Divisi Humas Dan Rumah Tangga Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Jawa Barat

5 91 1

Tinjauan seksi penagihan terhadap tata usaha piutang pajak kantor pelayanan pajak Bandung Karees Wilayah VII Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat

2 91 29

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Dan Organizational Citizenship Behavior Terhadap Kinerja Pegawai PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat Dan Banten Kantor Area Sumedang

17 106 69

Pengaruh Kualitas Software Aplikasi pengawasan kredit (C-M@X) Pt.PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat Dan Banten (DJBB) Terhadap Produktivitas Kerja karyawan UPJ Bandung Utara

5 72 130