A. Pendahuluan - RASIONALITAS PENETAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG NARKOBA

RASIONALITAS PENETAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG NARKOBA

Sujasmin Dosen Tetap Sekolah Tinggi Hukum Bandung

Abstract

Act No. 5 of 1997 on psychotropic and Act No. 35 of 2009 on narcotic have already regulated corporations as subjects of criminal act, in addition to the sentence to the people. Nevertheless, there are still shortcomings particularly in stipulation of additional sentence to corporations which have committed criminal acts against Act No. 5 of 1997 and Act No. 35 of 2009. The problem formulations are as follow: the first; how is the rationality of additional sentence stipulation in prevention of corporate crime in narcotic and psychotropic fields?. The second; how are the material and formal consequences against additional sentence stipulation in prevention of corporate crime in narcotic and psychotropic fields?

Keywords: Rationality – Stipulation ­ Corporate Crime ­ Additional Sentence

secara tidak seimbang. Dengan kata lain, Dalam rangka untuk meningkatkan

A. Pendahuluan

pelanggaran terhadap norma-norma pelayanan kesehatan dan pengobatan,

tersebut semakin sering terjadi dan tindak maka diperlukan ketersediaan

pidana semakin bertambah, baik jenis psikotropika dan narkotika dalam jenis-

maupun bentuk polanya semakin jenis tertentu yang sangat dibutuhkan

kompleks. Perkembangan masyarakat itu sebagai pengobatan. Demikian juga

disebabkan karena ilmu pengetahuan dan psikotropika dan narkotika dipergunakan

pola pikiran masyarakat tersebut semakin dalam rangka untuk pengembangan ilmu

maju. Salah satunya penyalahgunaan pengetahuan, mengingat psikotropika dan

narkoba oleh generasi muda kita pada saat narkotika (selanjutnya dipakai istilah

ini merupakan budaya asing yang datang “narkoba”) merupakan zat atau obat yang

secara bertahap ke tubuh bangsa dapat menimbulkan ketergantungan yang

Indonesia yang masih murni dan luhur. sangat merugikan apabila dipergunakan

Jenis narkoba yang banyak disalahgunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang

oleh anak-anak muda adalah sabu-sabu, ketat dan seksama.

ganja dan ekstasi, sehingga menambah Peningkatan derajat kesehatan

cepat merosotnya pribadi dan moral sumber daya manusia Indonesia dalam

pemuda kita ke jurang yang sangat rangka mewujudkan kesejahteraan

mengerikan.

masyarakat, pada era globalisasi ini Sehubungan hal tersebut di atas, masyarakat lambat laun berkembang,

pemerintah Indonesia sudah lama dimana perkembangan itu selalu diikuti

mengadakan beberapa kali pembaharuan dengan proses penyesuaian diri dan

di bidang narkoba diantaranya kebijakan kadang-kadang proses tersebut terjadi

kriminalisasi yang terakhir yaitu Undang

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

Undang Nomor .5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Psikotropika dan UU Narkotika). Namun kenyataannya penyalahgunaan narkoba, pada dewasa ini semakin meningkat dan meluas seiring dengan kemajuan teknologi yang tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah dalam tindak pidana diantaranya yang tadinya hanya penyalahgunaan narkoba untuk pemakai, pengguna, dan pengedar. Namun hal ini cakupannya sudah mencapai di bidang produksi narkoba, yang hasil produksinya dilakukan dengan cara impor dan ekspor. Seperti yang dikemukakan oleh Harry Montolalu seusai jumpa Pers di 1 kantor Badan Narkotika Nasional, mengatakan dalam perkembangannya tindak pidana narkoba, di Indonesia sudah termasuk katagori produsen psikotropika jenis sabu-sabu dan ekstasi. Hal ini sejalan dengan banyaknya terungkap home industry yang memproduksi sabu-sabu dan ekstasi. Dalam hal produksi yang dilakukan tidak hanya untuk domestik, tetapi juga untuk diekspor ke luar negeri. Sementara itu, produksi jenis heroin masih didominasi dari kawasan Afrika Barat. Sebab pembuatannya masih tergolong sulit dan dananya masih disokong dari luar negeri serta pada prakteknya yang ditemukan dalam keadaan beredar, dan tidak pernah menangkap dalam keadaan produksi.

Penyalahgunaan narkoba dengan cara

memproduksi, hal ini tidak terlepas dengan kejahatan korporasi yang harus pula dapat dipertanggungjawabkan. Korporasi sebagai subjek tindak pidana narkoba telah diatur dalam UU Psikotropika dan UU Narkotika, dimana yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 butir 13 UU Psikotropika dan Pasal 1 butir 21 UU Narkotika). Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi di bidang narkoba dapat dikenakan pidana denda yang bervariasi sesuai tingkat tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana dalam UU Narkoba, selain dikenal subjek hukum manusia sebagai subjek tindak pidana, dan dapat pula badan hukum.

Pada umumnya dalam kepustakaan hukum sebutan subjek hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum terdiri dari manusia (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon). Apabila manusia atau badan hukum sebagai subjek hukum tersebut dalam bertindak atau melakukan kegiatan berupa perbuatan yang melanggar atau menyimpang dari aturan hukum sehingga merugikan subjek hukum lain, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum untuk mengganti segala kerugian dimaksud.

Demikian juga dalam hukum pidana, apabila ia melakukan tindak pidana dan telah memenuhi segala unsur-unsurnya sesuai dengan rumusan suatu pasal dalam

1 Kompas.com. Indonesia Sudah Jadi Produsen Sabu dan Ekstasi, 25 Pebruari 2009. Jurnal 68 Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 1 Kompas.com. Indonesia Sudah Jadi Produsen Sabu dan Ekstasi, 25 Pebruari 2009. Jurnal 68 Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

Semula, pemikiran dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia yang mempunyai kehendak atau pengetahuan untuk melakukannya. Sedangkan korporasi tidak bisa bertindak melakukan perbuatan hukum dan tidak mempunyai kehendak atau pengetahuan untuk itu. Pemikiran seperti ini tetap dipertahankan terutama oleh pemikir-pemikir masa lalu. Namun dalam perkembangannya muncul pemikiran-pemikiran baru untuk juga mempertanggung-jawabkan kepada korporasi dikarenakan akhir-akhir ini dalam perkembangan dari tindak pidana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terutama berkaitan di bidang narkoba tidak hanya dilakukan secara perorangan, namun telah terorganisir termasuk pula dilakukan oleh korporasi.

P r a k t e k n ya t e l a h a d a s u a t u perusahaan yang terlibat di bidang narkoba, salah satunya PT Sumaco Jaya Abadi, dalam hal ini terdakwanya Benny Sudrajat dan Iing Santoso alias Budhi Cipto, dijatuhi Pidana Mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Senin 6 Nopember 2006. Keduanya sebagai komisaris dan direktur PT Sumaco Jaya Abadi, yang merupakan pabrik ekstasi terbesar di dunia. Menurut Hakim Ketua Zaid Umar Bob Said, para terdakwa dinyatakan melanggar pasal berlapis, yaitu Pasal 64 ayat (2) KUHP dan Pasal 59 ayat (1) juncto

ayat (2) UU Psikotropika. Kemudian selama dalam persidangan tidak ada hal yang meringankan bagi kedua terdakwa, sehingga majelis hakim menjatuhkan pidana mati. Dan kedua terdakwa, terbukti bersalah melakukan tindakan terorganisasi dengan memproduksi ekstasi yang dapat merusak generasi penerus bangsa. 2

Berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, jika kita cermati pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai saat ini diterapkan di Indonesia, tidak ditemukan secara tegas pengaturan tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana atau korporasi melakukan tindak pidana. Melainkan KUHP hanya mengatur kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang atau

manusia

yang pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu.

Menurut sistem KUHP, subjek tindak pidana berupa orang atau manusia, dalam hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perkataan unsur “barang siapa” yang dikualifikasikan sebagai pelaku atau subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya, dan selalu diberikan tafsiran untuk “orang” atau “individu” bukan dalam kualifikasi sebagai korporasi. Di samping itu juga ditemukan perkataan unsur “ibu kandung” (Pasal 341, 342, 343, 346 KUHP dan lain-lain), “seorang pejabat atau seorang hakim” (Pasal 418, 419 dan 420 KUHP), demikian juga adanya “jenis-jenis pidana” (Pasal 10 KUHP) yang keseluruhannya mencerminkan pelaku tindak pidana

2 Arsip Highlight Berita Hukum, Pemilik Pabrik Ekstasi Diganjar Hukuman Mati, 6 Nopember 2006.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

Seandainya apabila ada yang diajukan ke persidangan dalam perkara pidana, maka tuntutan yang diajukan tetap terhadap kesalahan individu (Pasal 59 KUHP), bukan pada tanggungjawab perusahaan tersebut. Seiring dengan perilaku dan perkembangan tindak pidana yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang bukan hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan saja, namun juga dapat melibatkan atau justru dilakukan oleh korporasi tersebut, akan tetapi belum ada perangkat hukum yang memadai mengatur hal tersebut. Hal ini barulah dikeluarkan aturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban tentang korporasi terhadap tindak pidana tertentu di luar KUHP.

Dalam perjalanan selanjutnya berbagai aturan hukum yang dibuat bermunculan seperti yang tersebar di luar KUHP untuk menjerat korporasi yang dalam menjalankan usahanya dan telah melakukan tindak pidana seperti dapat kita lihat selain dalam UU Narkoba, juga dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan berbagai aturan lainnya. Di dalam aturan tersebut telah secara tegas

mencantumkan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sekaligus bentuk sanksi pidana denda yang dapat dijatuhkan.

Oleh karenanya, untuk saat ini korporasi dalam menjalankan segala aktivitas untuk mencapai tujuan dari korporasi itu sendiri sebagaimana telah didirikan status badan hukum, baik dalam bidang lingkungan, perbankan, konsumen, dan sebagainya harus bertindak cermat dan penuh kehati-hatian serta tidak bisa lagi berbuat sembrono sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Walaupun hal ini merupakan suatu penyimpangan meskipun berupa kelalaian atau kurang kehati-hatian apalagi kesengajaan jika telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang mengatur untuk itu, maka suatu korporasi dapat dikenakan sanksi pidana atau dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana pula.

Demikian juga terhadap pemilik perusahaan hendaknya harus ekstra berhati-hati dalam menjalankan perusahaannya, apabila tidak ingin tersangkut dengan permasalahan hukum. Demikian pula rambu-rambu hukum yang sekarang sudah mulai dibentangkan dan siap menjaring bagi perusahaan yang menabraknya, perusahaan tidak bisa lagi bertindak lalai dalam mengelola perusahaannya atau juga melindungi tindak pidana dari pihak lain, apalagi secara sengaja melakukan tindak pidana untuk mengejar profit perusahaan, karena terlalu riskan untuk dilakukan.

Meskipun saat ini secara hukum, korporasi sudah dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, namun terdapat perbedaan jauh terhadap sanksi

Jurnal 70 Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi tersebut dengan yang dijatuhkan pada manusia atau individu. Misalnya mengenai jenis pidana yang biasa dijatuhkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana berdasarkan KUHP berupa pidana penjara atau pidana kurungan yang dijalankan di dalam lembaga pemasyarakatan. Namun hal ini sanksi pidana berupa pidana penjara atau pidana kurungan tidak bisa dijatuhi terhadap perusahaan karena perusahaan tidak bisa di pidana penjara atau kurungan. Adapun sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi berupa penjatuhan pidana denda, pencabutan izin usaha, baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu dan sebagainya. Bentuk sanksi tersebut dapat dilihat dalam ketentuan hukum masing-masing yang didalamnya mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Di dalam UU Narkoba, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana ini berupa penjatuhan pidana denda (pembayaran sejumlah uang), dan tidak menutup kemungkinan dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha. Seperti dalam Pasal 70 UU Psikotropika dan Pasal 130 ayat (2) UU Narkotika, selain dikenakan pidana denda yang dilipatgandakan untuk korporasi dan dapat pula dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Sehubungan dengan itu Roeslan Saleh mengatakan telah membedakan pidana tambahan dengan pidana pokok, adalah : 3

Pertama, pidana tambahan hanya dapat ditambahkan pada pidana pokok. Tetapi inipun ada pengecualiannya. Perampasan barang-barang tertentu misalnya dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita. Dalam hal ini ada pidana tambahan pada suatu tindakan (maatregel) dan bukanlah pada pidana pokok. Kedua, pidana tambahan tidak mempunyai sifat keharusan. Jika hakim yakin akan perbuatan pidana dan kesalahannya terdakwa, maka terdakwa harus dijatuhi pidana pokok. Tetapi dalam menggunakan pidana tambahan hakim merdeka. Dia boleh menjatuhkan pidana tambahan, dan boleh pula tidak. Juga mengenai ini ada perkecualiaan. Di atas sudah disebutkan dalam Pasal 250 bis, 261 dan 275 diperintahkan supaya benda- benda itu dirampas (imperatif). Ketiga, mulai berlakunya pencabutan hak tidak dengan suatu tindakan eksekusi. Ayat penghabisan dari Pasal 38 KUHP, menentukan bahwa pidana tambahan mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.

Hal yang menarik bagi penulis dalam penentuan sanksi pidana tambahan bagi korporasi di bidang narkoba, baik psikotropika dan narkotika. Dalam Pasal

70 UU Psikotropika, korporasi yang melakukan tindak pidana tertentu di bidang psikotropika dapat dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali dari pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat pula dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin

3 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 12.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

I s t i l a h “ ra s i o n a l i t a s ” d a l a m P s i ko t ro p i k a t i d a k s a m a s e k a l i

kepustakaan kamus bahasa Indonesia melipatgandakan pidana denda untuk

tidak ditemukan, melainkan hanya ada korporasi dan juga tidak dikenakan pidana

istilah rasional yang diartikan pikiran yang tambahan. Sedangkan korporasi yang 4 sehat, cocok dengan akal, patut, layak. Di

melakukan tindak pidana di bidang lain pihak, arti rasionalitas juga narkotika dalam Pasal 130 UU Narkotika,

dikemukakan oleh para sarjana. Dalam hal sanksi pidana denda yang dilipatgandakan

ini dikaitkan dengan suatu pendekatan

3 (tiga) kali dari pidana dendanya, dan kebijakan, yang membicarakan nilai-nilai dikenakan pula pidana tambahan bagi

yang ingin dicapai atau dilindungi oleh korporasi berupa pencabutan izin usaha

hukum pidana. Menurut Bassiouni, dan/atau pencabutan status badan hukum.

dikatakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai Ketentuan pidana tambahan dalam UU

oleh hukum pidana umumnya terwujud Narkoba tidak ada kelanjutan kriteria,

dalam kepentingan-kepentingan sosial syarat, maupun aturan khusus pidana

yang mengandung nilai-nilai tertentu yang tambahan untuk korporasi yang telah

p e r l u d i l i n d u n g i . Ke p e n t i n g a n - melakukan tindak pidana narkoba. 5 kepentingan sosial tersebut adalah:

a. Pemeliharaan tertib masyarakat, penulis ingin mengupas beberapa

Berdasarkan uraian di atas, maka

b. Perlindungan warga masyarakat dari permasalahan yaitu:

kejahatan, kerugian atau bahaya-

1. Bagaimanakah rasionalitas penetapan bahaya yang tak dapat dibenarkan, pidana tambahan dalam

yang dilakukan oleh orang lain, penanggulangan kejahatan korporasi

c. M e m a s y a r a k a t k a n k e m b a l i di bidang narkoba?

(resosialisasi) para pelanggar hukum,

2. Bagaimanakah konsekwensi yuridis

d. Memelihara atau mempertahankan materiel dan yuridis formil mengenai

integritas pandangan-pandangan penetapan pidana tambahan dalam

dasar tertentu mengenai keadilan penanggulangan kejahatan korporasi

sosial, martabat kemanusiaan dari di bidang narkoba?

keadilan individu.

S e d a n g k a n Te d H o n d e r i c h 6

B. Pembahasan

mengatakan pendekatan rasional

1. Rasionalitas Penetapan Pidana

pragmatis berarti mengandung pula

Tambahan

Dalam

pendekatan kemanfaatan/kegunaan

Pe n a n g g u l a n ga n Ke j a h a t a n

(utilitas). Sehubungan dengan hal ini, Korporasi Di Bidang Narkoba 7 J.Andenaes mengemukakan pendekatan

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997

kebijakan yang rasional erat pula

dan UU No. 35 Tahun 2009

hubungannya dengan pendekatan

5 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 804. Bassiouni dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.

6 39. 7 Ted Honderich dalam Barda Nawawi Arief, Ibid. J.Andenaes dalam Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm.38.

72 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 72 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

(social defence policy). Secara skematis mempertimbangkan antara biaya atau

hubungan itu dapat dilihat gambar di beban yang ditanggung masyarakat 9 bawah ini:

dengan dibuat dan digunakannya hukum pidana dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan

social welfare policy

efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri. S e l a n j u t nya Ro e s l a n S a l e h 8

social

GOAL

mengatakan keharusan rasionalitas itu SW/SD bukan berarti pertimbangan-

policy

pertimbangan etis dalam hukum pidana

Social Defence Policy

- Formulasi

dapat ditinggalkan saja. Juga syarat

PENAL - Aplikasi - Eksekusi

rasional adalah suatu syarat moral. Jadi

Criminal Policy

rasionalitas jangan sampai dikaburkan

NON PENAL

oleh pertimbangan-pertimbangan yang 10 Di lain pihak Sudarto, mengatakan bersifat etis. Batas-batas yang bersifat etis

usaha mencegah kejahatan adalah bagian itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-

dari politik kriminal. Politik Kriminal ini telitinya dirumuskan. Di dalam batas-batas

dapat diberi arti sempit, lebih luas dan dari apa yang secara etis dapat diterima

paling luas, sebagai berikut : haruslah diambil keputusan keputusan

a. politik kriminal dalam arti sempit yang rasional itu.

sebagai keseluruhan asas dan metode Kemudian langkah selanjutnya yang

yang menjadi dasar dari reaksi perlu dijelaskan adalah “penanggulangan

terhadap pelanggaran hukum yang kejahatan”, dan dilanjutkan dengan

berupa pidana.

“penetapan pidana” dan “pidana

b. politik kriminal dalam arti lebih luas tambahan” itu sendiri, pada khususnya

merupakan keseluruhan fungsi dari ditujukan terhadap kejahatan korporasi di

aparat penegak hukum termasuk di bidang narkoba.

dalamnya cara kerja dari pengadilan Berbicara mengenai penanggulangan

dan polisi,

c. politik kriminal dalam arti paling luas dari politik kriminal (criminal policy).

kejahatan, sebenarnya merupakan bagian

merupakan keseluruhan kebijakan, Politik kriminal ini pun tidak dapat

yang dilakukan melalui perundang terlepas dari kebijakan yang lebih luas,

undangan dan badan badan resmi yang yaitu “kebijakan sosial” (social policy) yang

bertujuan untuk menegakkan norma- terdiri dari “kebijakan kesejahteraan

norma sentral dari masyarakat. sosial” (social welfare policy) dan

Di lain pihak ada yang meninjau dari

9 Roeslan Saleh dalam Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 40, 41.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, 10 Prenada Media, Jakarta, 2008, hlm.78.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.113, 114.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

menyatakan modern criminal science terdiri dari tiga komponen criminology, criminal law, dan penal policy. Sedangkan yang dimaksud penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Dengan demikian istilah penal policy itu dapat dipakai dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau istilah lainnya “politik hukum pidana”, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.

Menurut Sudarto, dikatakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Atau usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Lain halnya dengan A.Mulder strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan : 12

a. seberapa jauh ketentuan ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c. c a ra b a g a i m a n a p e ny i d i k a n , penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus

dilaksanakan. Kemudian ada pula yang mengatakan

usaha-usaha penanggulangan kejahatan dalam hukum pidana merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, seperti yang dikemukakan oleh Herbert L.Packer dikatakan usaha 13 pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana merupakan “suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting”. Oleh karena itu tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Di samping itu dalam bidang kebijakan penegakan hukum itu pun terrmasuk bidang kebijakan sosial yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian suatu masalah (sosial) yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari pelbagai macam alternatif.

Sehubungan dengan uraian di atas, nampaknya berbicara rasionalitas dalam penanggulangan kejahatan, penting sekali dalam rangka untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat. Bahkan ada mengatakan merupakan prasyarat fundamental dalam merumuskan suatu tujuan tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Karl O. Christiansen bahwa konsep 14

11 Marc.Ancel dalam Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana“, Op.Cit, hlm.23. 12 A.Mulder dalam Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana“, Ibid, hlm. 27, 28.

13 Herbert L.Packer dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori­Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.149.

Jurnal 74 Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 Jurnal 74 Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

dikemukakan ada beberapa hal pokok dalam merumuskan suatu cara, metode

dalam penanggulangan kejahatan sebagai atau tindakan rasional, ialah tujuan yang 16 berikut :

akan dicapai harus telah dirumuskan

1. Pencegahan dan penanggulangan dengan baik …… “. Tanpa suatu tujuan kita

kejahatan harus menunjang tujuan tidak dapat bicara tentang cara yang

berupa kesejahteraan masyarakat rasional dari politik kriminal, bahkan

(social walfare) dan perlindungan sebenarnya kita tidak dapat menggunakan

masyarakat (social defence). Kedua istilah “means” atau pertanyaan-

aspek tersebut bersifat immaterial, pertanyaan lainnya yang serupa ….. “.

t e r u t a m a n i l a i ke p e rc aya a n , Mengenai rasionalitas kaitannya

kebenaran, kejujuran, dan keadilan. dengan penetapan pidana sebagai salah

2. Pencegahan dan penanggulangan satu mata rantai perencanaan

kejahatan harus dilakukan dengan penanggulangan kejahatan untuk

“pendekatan integral”, yaitu adanya mencapai kesejahteraan masyarakat dan

keseimbangan sarana “penal” dan perlindungan masyarakat diharuskan

“non penal”. Dilihat dari sudut “politik merupakan tahap perencanaan yang

kriminal”, kebijakan yang paling matang (tahap perencanaan strategis) di

strategis melalui sarana “non penal” bidang pemidanaan mengenai pokok-

karena lebih bersifat preventif pokok kebijakan yang seharusnya

daripada kebijakan “penal” yang dimasukkan dalam strategi penetapan

mempunyai keterbatasan/kelemahan pidana, dan faktor-faktor yang seharusnya

(bersifat fragmentaris, diperhatikan agar merupakan satu

simplistis/tidak struktural kesatuan sistem yang rasional dalam

fungsionaris/simptomatik/tidak penanggulangan kejahatan.

kausatif/tidak Selanjutnya setiap perencanaan

eliminatif/individualistik/tidak mengandung suatu kebijakan memilih dan

didukung oleh infrastruktur dengan menetapkan berbagai alternatif. Dalam hal

biaya tinggi).

ini terkandung pula makna bahwa

3. Pencegahan dan penanggulangan pemilihan itu dilakukan berdasar suatu

kejahatan dengan sarana “penal” pertimbangan yang rasional. Menurut

merupakan penal policy atau penal law Gunnar Myrdal salah satu tanda cirinya

enforcement policy yang ialah adanya rasionalitas. Tidak dapat

fungsionalisasi/operasionalisasinya dibayangkan suatu modernisasi yang tidak

melalui beberapa tahap : a. tahap dibarengi oleh unsur pertimbangan-

formulasi (kebijakan legislatif), b. pertimbangan rasional di segala bidang. 15 tahap aplikasi (kebijakan

15 Karl.O.Christiansen dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, Ibid, hlm. 93, 94. 16 Gunnar Myrdal dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”, Ibid, hlm. 93.

Barda Nawawi Arief, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan”, Op.Cit, hlm. 77- 85.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

discrimination.

(kebijakan eksekutif/administratif).

d. Perlu dibenahi dan ditingkatkan Dari tahap tersebut yang paling

kualitas aparat penegak hukum. strategis yaitu tahap formulasi, karena

e. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kesalahan/kelemahan kebijakan

kualitas institusi dan sistem legislatif merupakan kesalahan

managemen organisasi/ strategis yang dapat menjadi

managemen data. penghambat upaya pencegahan dan

f. Disusunnya beberapa guidelines, penanggulangan kejahatan pada tahap

basic principles, rules, standard aplikasi dan eksekusi.

minimum rules (SMR).

4. Pencegahan dan penanggulangan

g. Ditingkatkannya “kerjasama kejahatan ditinjau dari perkembangan

internasional” (international kongres-kongres PBB mengenai the

cooperation) dan bantuan teknis prevention of crime and the treatment

(technical assistance) dalam rangka of offenders lebih banyak dilihat dari

memperkukuh the rule of law dan konteks

management of criminal justice pembangunan/sosial global

kebijakan

system.

diantaranya: Kemudian dalam hal hubungan

a. M e n i a d a k a n f a k t o r - f a k t o r penegakan hukum pidana dengan politik penyebab/kondisi yang

kriminal dan politik sosial, hal ini menimbulkan terjadinya kejahatan 17 dikemukakan oleh Muladi bahwa

(kongres ke 6 (1980), kongres ke 7 hubungan penegakan hukum pidana (1985), deklarasi Wina kongres ke

dengan politik kriminal dan politik sosial

10 (2000). ya i t u p e n e ga ka n h u ku m p i d a n a

b. Harus ditempuh dengan kebijakan merupakan bagian dari kebijakan integral/sistemik (jangan simplistic

penanggulangan kejahatan (politik dan fragmentair).

kriminal). Tujuan akhir dari politik

c. K e j a h a t a n - k e j a h a t a n y a n g kriminal ialah perlindungan masyarakat mendapat perhatian kongres PBB

untuk mencapai tujuan utama untuk ditanggulangi, meliputi :

kesejahteraan masyarakat. Dengan economic crimes, corruption, illicit

demikian penegakan hukum pidana yang trafficking in drugs, money

merupakan bagian dari politik kriminal laundering, violent crime, organized

pada hakekatnya juga merupakan bagian crime, eviromental crime, industrial

integral dari kebijakan untuk mencapai crime, cyber crime, juvenile crime,

kesejahteraan masyarakat (politik sosial). transnational/international crime,

Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari crime against cultural property,

keseluruhan kebijakan untuk mencapai racism, xenophobia, intolerance,

kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah

17 Muladi dalam Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.72.

76 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 76 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

tahap “pemberian pidana in abstrakto”, hukum pidana) merupakan bagian integral

sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut dari rencana pembangunan nasional.

tahap “pemberian pidana in konkrito”. Di bawah ini digambarkan tentang

Ketiga tahapan pidana itu diharapkan antar hubungan penegakan hukum pidana,

merupakan satu jalinan mata rantai yang politik kriminal, dan politik sosial. 18 saling berkaitan dalam satu kebulatan

sistem. Dengan demikian ruang lingkup Social Walfare Policy

masalah ketiga tahap itu perlu dikaji kembali.

Social Policy

TUJUAN

Sehubungan dengan hal tersebut,

penulis memfokuskan terhadap narkoba

Social Walfare Policy

pada UU Psikotropika dan UU Narkotika. Criminal Policy

Penal

Apabila dicermati dan diteliti pada Dengan demikian dapat diketahui Non-Penal

undang-undang dimaksud terhadap kebijakan penanggulangan kejahatan

masalah penetapan pidana untuk (politik kriminal) dapat dilakukan dengan

kejahatan korporasi di bidang narkoba menggunakan sarana penal (hukum

telah memberi kesan “seolah-olah ada pidana) dan sarana non penal. Selanjutnya

sesuatu yang kurang beres” sehingga tidak penggunaan kebijakan hukum pidana

mengandung makna bahwa (penal policy) itu dapat ditempuh beberapa

perkembangan kriminalitas di bidang tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan

narkoba selama ini menuntut suatu legislatif), tahap aplikasi (kebijakan

pemikiran atau peninjauan kembali, re- yudikatif/yudisial), dan tahap eksekusi

orientasi atau re-evaluasi terhadap (kebijakan eksekutif/ administratif).

masalah-masalah yang berhubungan

A p a b i l a m a s a l a h ke b i j a k a n dengan pemidanaan. Hal ini kiranya yang penanggulangan kejahatan (politik

menjadi masalah pokok yang perlu kriminal) dilihat dari bagian mekanisme

ditinjau.

penegakan hukum pidana, maka Sekedar untuk mengingatkan kembali,

“pemidanaan” yang diartikan pemberian pada umumnya jenis-jenis pidana diatur

pidana tidak lain suatu proses kebijakan dalam Pasal 10 KUHP yaitu : a. Pidana

yang sengaja direncanakan yang melalui

19 Pokok terdiri dari 1. Pidana Mati, 2. Pidana beberapa tahap yaitu :

Penjara, 3. Pidana Kurungan, 4. Pidana

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat Denda dan b. Pidana Tambahan terdiri dari undang undang.

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu, 2.

2. Tahap pemberian pidana oleh badan Perampasan Barang Barang Tertentu, 3. yang berwenang.

Pengumuman Putusan Hakim. Dengan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh dicantumkan jenis-jenis pidana dalam

instansi pelaksanaan yang berwenang. KUHP dikatakan pembentuk undang-

19 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm.8 Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”, Op. Cit, hlm.91.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

mereka pandang sebagai sangat tepat. Di dalam MvT mereka bahkan telah

dengan memilih suatu susunan pidana- mengatakan bahwa “sistem pidana pidana yang dianggap sebagai mempunyai

yang lebih sederhana tidak mungkin sifat sederhana, hingga mendatangkan

akan dapat dijumpai orang dimanapun beberapa keuntungan. Mengenai

juga”. Pendapat seperti itu memang kesederhanaan dari susunan pidana-

dapat dimengerti untuk waktu itu, akan tetapi menurut pandangan-

pidana telah dipilih oleh pembentuk pandangan baru dewasa ini, sistem undang-undang itu, di dalam Memorie van

20 pidana seperti itu sudah tidak dapat Toelichting menerangkan:

dipandang sebagai sudah tepat. Dewasa ini orang harus juga

“kesederhanaan seperti itu dengan mempertimbangkan adanya kaitan- sendirinya membawa keuntungan-

kaitan yang sangat luas dan adanya keuntungan yang sangat besar. Karena

bermacam-macam tindakan yang makin sedikit pidana-pidana yang ada,

harus diambil, sesuai dengan sifat akan makin mudah orang membuat

orang yang berbeda beda”. perbandingan mengenai pidana-

Simons mengatakan : 22 pidana tersebut. Dan tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu,

“Ciri-ciri yang terutama dari sistem orang tidak akan dapat menjatuhkan

pidana yang tercantum di dalam Kitab pidana secara tepat sesuai dengan

Undang Undang Hukum Pidana kita berat ringannya kejahatan”.

adalah antara lain sifat yang Mengenai kesederhanaan terhadap

sederhana dan sifat yang terbatas dari alat-alat pemidanaan yang dapat

susunan jenis-jenis pidana dalam KUHP dipergunakan, suatu kesederhanaan tersebut memang diakui oleh para penulis

yang tidak sesuai lagi dengan tujuan- Belanda, akan tetapi ada beberapa pakar

tujuan yang berbeda-beda dari pidana yang memberikan pendapat dan

komentarnya masing-masing, diantaranya: 23 van Bemmelen mengatakan : van Hamel mengatakan : 21

“Makin sedikit pidana-pidana yang “Sistem pidana Belanda itu

ada akan makin mudah bagi orang menunjukkan sifat kedewasaan oleh

untuk membuat perbandingan antara kesederhanaan. Sifatnya yang pokok

pidana-pidana tersebut, dan -- adalah ditinggalkannya lembaga

demikian dikatakan di dalam MvT -- pidana mati, pidana badan,

tanpa dapat membuat perbandingan pengasingan, penjatuhan pidana yang

seperti itu, adalah tidak mungkin bagi bersifat merendahkan dan yang lebih

orang untuk menjatuhkan pidana dari segala-galanya yaitu pelaksanaan

secara tepat sesuai dengan berat dari pidana penjara dengan sistem

ringannya kejahatan-kejahatan yang penutupan dalam sel-sel yang sangat

telah dilakukan, akan tetapi perlu juga keras. Pada waktu orang menyusun

diingat bahwa pembentuk undang- sistem pidana tersebut,

undang telah tidak memperhitungkan sama sekali mengenai adanya

21 M.v.T dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 39. 22 van Hamel dalam P.A.F Lamintang, Ibid, hlm.40. 23 Simons dalam P.A.F Lamintang, Ibid, hlm. 41. van Bemmelen dalam P.A.F Lamintang, Ibid, hlm. 41, 42.

78 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 78 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

menetapkan pidana tambahan, yang terdapat di dalam diri orangnya

hakim itu bebas. Ketentuan ini itu sendiri, yang dapat menimbulkan terdapat perkecualian, dalam

kejahatan kejahatan yang berbeda beda”.

beberapa undang-undang pidana Lebih lanjut beliau mengatakan

menentukan perampasan barang sebenarnya pidana tambahan ini lebih

itu secara imperative. Jadi hakim bersifat tindakan daripada pidana, dengan

harus menetapkan perampasan perbedaan bahwa pidana itu dijatuhkan

barang itu.

untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan

3. Pidana tambahan pencabutan hak pidana tambahan lebih ditujukan kepada

hak tertentu mulai berlaku tanpa pemberantasan cara hidup yang tidak

terlebih dahulu diadakan satu sesuai dengan tata tertib masyarakat

perbuatan eksekusi. Jadi pidana daripada pemberantasan dari delik yang

tambahan pencabutan hak-hak berat. 24

tertentu mulai berlaku pada hari

25 keputusan hakim dapat E.Utrecht mengatakan :

dilaksanakan.

Telah membedakan antara pidana Pendapat E.Utrecht di atas hampir

pokok dengan pidana tambahan, ada tiga mirip dengan Roeslan Saleh, telah

perbedaan yaitu : membedakan pidana tambahan dengan

1. Pidana tambahan hanya dapat

pidana pokok adalah: 26

dipakai/ditetapkan, disamping satu Pertama, pidana tambahan hanya dapat

pidana pokok, apabila hakim tidak ditambahkan pada pidana pokok. Tetapi

dapat menetapkan satu pidana inipun ada pengecualiannya. Perampasan

pokok, maka dengan sendirinya ia barang barang tertentu misalnya dapat

tidak dapat menetapkan pula satu dilakukan terhadap anak yang diserahkan

pidana tambahan. Ketentuan ini kepada pemerintah tetapi hanya mengenai

terdapat perkecualian misalnya barang-barang yang disita. Dalam hal ini

hakim yang telah menetapkan ada pidana tambahan pada suatu tindakan

tindakan (bukan pidana) berupa (maatregel) dan bukanlah pada pidana

ditempatkan di bawah pengawasan

pokok.

pemerintah. Kedua, pidana tambahan tidak

2. Pidana tambahan itu bersifat mempunyai sifat keharusan. Jika hakim

fakultatif. Apabila hakim yakin yakin akan perbuatan pidana dan

bahwa terdakwa bersalah maka kesalahannya terdakwa, maka terdakwa

hakim itu harus menetapkan satu harus dijatuhi pidana pokok. Tetapi dalam

pidana pokok, tetapi ia tidak wajib menggunakan pidana tambahan hakim

menetapkan satu pidana tambahan. merdeka. Dia boleh menjatuhkan pidana

25 JM.van Bemmelen, Hukum Pidana 2 (Hukum Penitensier), Binacipta, Bandung, 1991, hlm.117. 26 E.Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka tinta Mas, Surabaya, 1987, hlm.326, 327. Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm.12.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

(tambahan) pada undang-undang narkoba sudah disebutkan dalam pasal 250 bis, 261

tersebut yang ditujukan subjek hukum dan 275 diperintahkan supaya benda

korporasi yang telah melakukan tindak benda itu dirampas (imperatif).

pidana narkoba. Dengan demikian Ketiga, mulai berlakunya pencabutan hak

rasionalitas penetapan pidana tambahan bagi korporasi sebagai subjek hukum

tidak dengan suatu tindakan eksekusi. Ayat pidana di bidang narkoba, dapat

penghabisan dari Pasal 38 KUHP, diidentifikasikan sebagai berikut : menentukan bahwa pidana tambahan

1. Ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a mulai berlaku pada hari putusan hakim

tambahan (kebijakan legislatif) dari UU Narkoba di atas nampaknya tidak

dapat dijalankan. terlepas dari tujuan dibuatnya Lebih lanjut dikatakan Pompe bahwa undang-undang itu. Hal ini dapat pidana tambahan itu bersifat preventif dilihat pada Pasal 3 UU Psikotropika khusus, sedangkan penambahan- tujuannya : a. menjamin ketersediaan penambahan pidana yang umum itu psikotropika untuk kepentingan bersifat pembalasan dan preventif umum. pelayanan kesehatan dan atau Selain dari itu penambahan pidana bagi pengembangan ilmu pengetahuan, b. pidana tambahan dapat mengakibatkan untuk mencegah terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yaitu bagi penyalahgunaan psikotropika, dan c. suatu delik yang ringan tetapi dengan memberantas peredaran gelap keadaan keadaan yang disebut dalam Pasal psikotropika, sedangkan Pasal 4 UU

52 KUHP dapat ditimpahkan suatu pidana Narkotika tujuannya a. menjamin tambahan yang lebih berat daripada ketersediaan Narkotika untuk pidana pada delik yang berat tanpa

27 kepentingan pelayanan kesehatan keadaan-keadaan ini. dan/atau pengembangan ilmu Sehubungan dengan uraian di atas, pengetahuan dan teknologi; b. kiranya dapat dijadikan suatu langkah- mencegah, melindungi, dan langkah untuk membahas permasalahan menyelamatkan bangsa Indonesia dari tentang rasionalitas penetapan pidana penyalahgunaan Narkotika; c. tambahan dalam penanggulangan memberantas peredaran gelap kejahatan korporasi di bidang narkoba Narkotika dan Prekursor Narkotika; berdasarkan UU Psikotropika dan UU dan d. menjamin pengaturan upaya Narkotika. Kedua undang-undang itu rehabilitasi medis dan sosial bagi menggunakan sarana “penal” (hukum Pe nya l a h G u n a d a n Pe c a n d u pidana) untuk menanggulangi bahaya

Narkotika.

penyalahgunaan narkoba. Dalam hal ini

2. Ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a kebijakan “penal” lebih dikhususkan lagi tambahan terhadap korporasi yang

27 Pompe dalam Roeslan Saleh, Ibid, hlm.19.

80 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010 80 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

5. Ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a apabila kita perhatikan dalam UU

tambahan terhadap korporasi yang Narkoba ternyata sanksi pidana untuk

melakukan tindak pidana (narkoba) korporasi di bidang narkoba dikenal

yang “bukan pelanggaran” dalam dengan model pengaturan sanksi

ketentuan pidana UU Narkoba, dapat pidana untuk korporasi disatukan

dilakukan oleh majelis hakim dengan sanksi pidana untuk orang.

(kebijakan yudikatif) berupa a. pidana Dikarenakan kita termasuk sistem

denda dan b. pidana tambahan berupa hukum yang menganut kodifikasi.

pencabutan izin usaha (Pasal 70 UU

3. Ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a Psikotropika) atau pencabutan izin tambahan terhadap subjek tindak

usaha dan atau pencabutan status pidana (yang dapat dipidana) menurut

badan hukum (Pasal 130 ayat (2) UU UU Narkoba di atas dapat berupa

Narkotika).

orang perorangan maupun korporasi.

6. Ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a Namun di samping itu ada pula subjek

tambahan terhadap korporasi yang yang bersifat khusus yaitu pimpinan

melakukan tindak pidana rumah sakit, puskesmas, balai

psikotropika mempunyai sifat pengobatan, apotek, dokter, pimpinan

kumulatif / fakultatif yaitu selain lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan

pidana denda “dan dapat” dijatuhkan pabrik obat dan pimpinan pedagang

pidana tambahan (Pasal 70 UU besar farmasi (Pasal 14 jo.Pasal 60 ayat

Psikotropika), sedangkan dalam UU (4) dan (5) UU Psikotropika/Pasal 147

Narkotika pidana tambahan bersifat UU Narkotika),

alternatif yaitu selain pidana denda

4. Ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a “dapat pula” dipidana dengan pidana tambahan terhadap korporasi yang

tambahan (Pasal 130 ayat (2) UU melakukan tindak pidana (narkoba)

Narkotika).

berupa “pelanggaran” dapat dilakukan

7. ke b i j a ka n p e n e t a p a n p i d a n a oleh Menteri Kesehatan berupa

tambahan terhadap korporasi yang tindakan administratif di bidang

melakukan tindak pidana psikotropika yaitu : a. teguran lisan; b.

psikotropika dalam Pasal 59 UU teguran tertulis; c. penghentian

Psikotropika tidak diatur dan hanya sementara kegiatan; d. denda

dikenakan pidana denda, sedangkan administratif; e. pencabutan izin

korporasi yang melakukan tindak praktik (Pasal 51 ayat (2) UU

pidana psikotropika dalam Pasal 60 Psikotropika). Sedangkan tindakan

sampai dengan Pasal 64 dikenakan administratif di bidang narkotika yaitu

selain, pidana denda dan pidana : a. teguran; b. peringatan; c. denda

tambahan (Pasal 70 UU Psikotropika). administratif; d. penghentian

Demikian juga dalam UU Narkotika, s e m e n t a ra ke g i a t a n ; a t a u e .

korporasi melakukan tindak pidana pencabutan izin (Pasal 14 ayat (4) UU

narkotika dalam rumusan Pasal 111 Narkotika).

sampai dengan Pasal 126, serta Pasal

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

129 yaitu selain dikenakan pidana disempurnakan. Namun denda dan juga dikenakan pidana

kenyataannya pertanggungjawaban tambahan berupa pencabutan izin

pidana korporasi di bidang narkoba usaha dan/atau pencabutan status

tidak ada kejelasan/penegasan, badan hukum (Pasal 130 UU

sehingga dikhawatirkan menimbulkan Narkotika).

suatu masalah/ konsekwensi yuridis materiel maupun konsekwensi yuridis

2. Konsekwensi Yuridis Materiel dan

formil.

2. Dengan adanya perubahan/perbaikan

Yu r i d i s F o r m i l M e n g e n a i

berulang kali undang-undang narkoba

Penetapan Pidana Tambahan

bukan suatu jaminan untuk upaya

Dalam Penanggulangan Kejahatan

penanggulangan kejahatan, namun

Korporasi di Bidang Narkoba

evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi

Berdasarkan UU No.5 Tahun 1997

dalam perundang-undangan yang ada.

dan UU No.35 Tahun 2009

Evaluasi atau kajian ulang ini perlu Selanjutnya kajian konsekwensi

dilakukan, karena keterkaitan erat yuridis materiel dan yuridis formil

antara kebijakan formulasi mengenai penetapan pidana tambahan

perundang-undangan (legislative pada kejahatan korporasi di bidang

policy) dengan kebijakan penegakan narkoba, dalam hal ini dapat diketahui

hukum (law enforcement policy) dan adanya beberapa masalah dalam kebijakan

kebijakan pemberantasan/ penetapan pidana tambahan terhadap

penanggulangan kejahatan (criminal korporasi. Hal ini pun penting dalam

polic y). Kelemahan kebijakan rangka pembaharuan hukum pidana di

formulasi hukum pidana, akan masa yang akan datang, antara lain erat

berpengaruh pada kebijakan kaitannya dengan kebijakan formulasi

penegakan hukum pidana dan dalam penanggulangan kejahatan (politik

kebijakan penanggulangan kejahatan. kriminal) korporasi di bidang narkoba,

3. Keseluruhan tahap kebijakan sebagai berikut :

penanggulangan kejahatan dengan

1. Kebijakan formulasi/legislasi, hukum pidana, tahap kebijakan khususnya penal policy dengan law

formulasi merupakan tahap yang enforcement policy dan criminal policy,

paling strategis. Pada tahap formulasi namun secara konseptual/ teoritis dan

inilah disusun semua “perencanaan” dari sudut realitas, kebijakan

(planning) penanggulangan kejahatan penanggulangan kejahatan korporasi

dengan sistem hukum pidana. di bidang narkoba tidak dapat

Keseluruhan sistem hukum pidana dilakukan semata-mata hanya dengan

yang dirancang itu, pada intinya memperbaiki/ memperbaharui

mencakup tiga masalah pokok dalam sarana undang-undang, sekali pun

hukum pidana, yaitu masalah berulang kali diubah dan

perumusan tindak pidana

82 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22 No. 01 Februari 2010

(kriminalisasi), pertanggungjawaban hendaknya dipikirkan untuk pidana dan aturan pidana dan

mengasuransikan para buruh/pekerja, pemidanaan.

pemegang saham. Sehingga effek Dalam hal ini perlu juga dikemukakan

pemidanaan terhadap korporasi yang kembali dari beberapa pendapat para ahli

mempunyai dampak negatif dapat mengenai beberapa alasan untuk pidana

dihindarkan.

dan pemidanaan terhadap korporasi, 30 Clinard dan Yeager mengemukakan: antara lain : Menurut Friedmann 28

Kriteria kapan seharusnya sanksi pidana mengatakan untuk memidana korporasi

diarahkan pada korporasi. Apabila kriteria terhadap public welfare offences jangan

tersebut tidak ada, maka lebih baik sanksi terlalu ditekankan pada sendi sendi

perdatalah yang digunakan. Kriteria kesalahan. Cukup bilamana korporasi itu

tersebut sebagai berikut : telah memenuhi perbuatan yang bersifat

1. The degree of loss to the public. melawan hukum. Pada dasarnya delik-

2. The level of complicity by high corporate delik yang termasuk public welfare offences

manegers.

(delik terhadap kesejahteraan umum)

3. The duration of the violation. merupakan pertanggungjawaban strict

4. The frequency of the violation by the liability.

corporation.

5. Evidence of intent to violate. pidana untuk korporasi di bidang Narkoba

Sebagaimana kita ketahui sanksi

6. Evidence of extortion, as in bribery cases. dikenakan pidana denda, dan tidak

7. The degree of notoriety engendered by menutup kemungkinan dapat pula

the media.

dikenakan pidana tambahan berupa

8. Precedent in law.