A. KONSEP PENTING DALAM KONSUMSI

A.

KONSEP PENTING DALAM KONSUMSI
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan

kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah
mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan
manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang
sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika
konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh
dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang
untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri.
Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi
Islam.
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan
maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain.
Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau
jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan
juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam
mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh

unsur tubuh".
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu
yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud
hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas
terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi
bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan
hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.

Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani
kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus
berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan
penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan
potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga,
kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya
yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan
menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu
dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima

oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah
kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis
barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu
pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu
dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat
tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan
menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri.
Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang
dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi
yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat alQur’an mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya
kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi
pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan
lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah
dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh
anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya
kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak
negatif di kemudian hari.


B.
PERILAKU/KARAKTERISTIK KONSUMEN DALAM
EKONOMI ISLAM
Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai
salah satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara.
Amerika yang selama ini dianggap sebagai kiblat perekonomian Negara-negara di dunia,
ternyata salah satu penopangnya adalah tingkat konsumsi masyarakatnya yang sangat tinggi
jauh melebihi tabungannya: rata-rata jumlah tabungan mereka hanya 2 persen dari total
pendapatan, (presentase ini adalah terendah di dunia), dan inilah yang dianggap membuat
perekonomian Amerika bergairah.
Namun, apakah dengan cara menggenjot pengeluaran saja Islam memaknai
konsumsi? " Kemaslahatan hakiki yang tercermin dalam sebuah aktifitas manusia, pada
dasarnya hanya bisa diketahui oleh Sang Pencipta-Nya saja. Manusia hanya mengetahui
sebagian kecil tanpa bisa memaknai keseluruhannya, apa yang tidak terlihat olehnya jauh
lebih banyak dari yang bisa dilihatnya, mereka juga lebih sering terburu-buru dalam
mewujudkan kemaslahatan dirinya. Sehingga, yang terjadi adalah kemafsadahan pada
kemasalahatan semu yang membungkusnya. Karena itu, Allah SWT menurunkan para Rasul
guna memberikan peringatan kepada seluruh umat manusia, agar senantiasa kembali
kepada kemaslahatan secara sempurna (agama)".

Dengan demikian, rasionalisasi konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum
maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang terdapat
dalam ajaran Islam itu sendiri.
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam prespektif ekonomi
Islam, di antaranya adalah:
1)

Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan

dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'. Sebagaimana firman Allah SWT
‫اُ لَ ُك ْم َو َل تَ ْعتَدُوا إِ ان ا‬
‫ت َما أَ َح ال ا‬
‫ين‬
ََ ‫اَ َل ي ُِحبُ ْال ُم ْعتَ ِد‬
ِ ‫يَا أَيَُّا الا ِذينَ آَ َمنُوا َل تُ َح ِر ُموا طَيِبَا‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas".

2)


Konsumen yang rasional (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan

pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya. Cara
seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut
keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi
ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.
3. Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan
ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam
(mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang
tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah mustawa
kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung
pada kematian. Sedangkan di atas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus pada
tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf). Kedua tingkatan ini dilarang
di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an

‫س ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقتُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ َذلِكَ قَ َوا ًما‬
ْ ُ‫َوالَ ِذينَ إِ َذا أَ ْنفَقُوا لَ ْم ي‬
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".


)29::‫سو ًرا (السإراء‬
ْ َ‫س ْط َها ُك َل ا ْلب‬
ُ ‫س ِط فَتَ ْق ُع َد َملُو ًما َم ْح‬
ُ ‫ك َو َل تَ ْب‬:َ ِ‫َو َل ت َْج َع ْل يَدَكَ َم ْغلُولَةً إِلَى ُعنُق‬
"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya (terlalu pemurh). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan
menyesal".
4. Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyat, hajiyat dan takmiliyat. "Dlaruriyat
adalah komiditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim,
yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz
an-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifdz al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql).
Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif
berbeda antar satu orang dengan lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan
dan

sebagainya.

Sedangkan


takmiliyat

adalah

komoditi

pelengkap

yang

penggunaannya tidak boleh melebihi dua prioritas konsumsi di atas.

Penjelasan lain mengenai Dharuriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah
Para pakar maqasid telah memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian :

dalam

1) Kebutuhan Dharuriyat )Primer(
Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka

mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat ini
merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka
akan muncul fitnah dan bencana yang besar.
Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya
ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.
”Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan
tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’ menetapkan
hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum
penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal demikian
mengganggu

kehidupan

masyarakat

dalam

mengikuti


kebenaran

agamanya;

memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat
terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan
demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had zina, karena
dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera pembongkar
kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi
sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.”
Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya
salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury (prinsip). Syariat
Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa
(kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak
merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati
kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.
3) Kebutuhan hajjiyat )Sekunder(
Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara
lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan,
kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.

Dalam

lapangan

ibadah

Islam,

mensyariatkan

beberapa

hukum

rukhshah

(keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah-

perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan dalam
jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang sedang sakit.

Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang
dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan mudharabah.
Dilapangan ’uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda)
bagi pembunuhan tidak disengaja.
Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara
kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua
kebebasan ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyah
dalam keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti
diharamkan ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena
masih mungkin untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan.
Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum khamar
walau hanya sedikit.

3( Kebutuhan Tahsiniyat )Tersier( atau Kamaliyat )Pelengkap(
Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.
Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan
dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat
diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta
rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu
pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh
manusia.
Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan
tahsiniyat seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan
banyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli
dan lain-lain.

Dalam lapangan ’uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita
dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)
Diantara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah
diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung
harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini
berlawanan kepentingan dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas,
serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal
ini tidak membuat cacat terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan
kepentingan orang lain yang membelanjakan hartanya.
Contoh tahsinat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah diharamkan
seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau puteraputera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori tahsinat,
karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan tersebut
sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita yang pada
dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.
Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan
terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad),
dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan
terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber
ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi perbandingan secara
rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.

Sedangkan tahsinat yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti
melarang kafir dzimmy meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim,
walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri.

Empat Pedoman Syariah dalam Berkonsumsi
1) azas maslahat dan manfaat membawa maslahat dan manfaat bagi jasmani dan rohani dan
sejalan dengan nilai maqasid syariah. Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan halal /
thoyib .
2)

azas kemandirian : ada perencanaan, ada tabungan, mengutang adalah kehinaan. Nabi

SAW menyimpan sebagian pangan untuk kebutuhan keluarganya selama setahun.. “ Ya Allah
jauhkanlah hamba dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan
dan kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain.
3) azas kesederhanaan : bersifat qanaah, tidak mubazir. “ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.”
4)

azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka

nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu). Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berpikir.

C.

PERBEDAAN PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DENGAN PERILAKU

KONSUMEN KONVENSIONAL
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi
kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi
kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya,
baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu
harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk
mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah).
Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya
dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).

Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional.
Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu
ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual
yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar
menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan
bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat
Islam lainnya

D.

KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU KONSUMEN ISLAMI
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar

utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan
hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (alnafs),
properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
 Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing
masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan
bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh
syariah

dan

sifatnya

mengikat

bagi

semua

individu.

Misalnya,

bila

seseorang

mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah
telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
 Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini
sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang
tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.



Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu

produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang
individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
 Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan
berapa untuk maslahah jenis kedua.
 Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang
akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai
'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan
tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat,
akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya
adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan
kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat
dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep 'kepuasan' dengan
'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan
tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.