PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PANDANGAN A

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
Muhammad Zaky Sya’bani (15720013)
Magister Pendidikan Bahasa Arab
Abstrak
Hemeneutika dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu tafsir yang tidak
hanya menggarap urusan bagaimana proses memahami dan menafsirkan yang
benar itu, tetapi lebih jauh hermeneutika juga menggarap asumsi-asumsi dasar dan
kondisi serta kedudukan manusia dan segala faktor yang terlibat dalam proses
penafsiran yang dimaksud (aspek ontologis dan aksiologis). Sedangkan untuk
memahami kandungan al Quran kaum muslimin telah mempunyai ilmu tersendiri
yang sudah mapan yaitu ilmu tafsir. Ilmu ini telah digunakan sebagai pembedah al
Quran sejak masa awal Islam sampai sekarang. Hasil kajian pada masalah ini,
menunjukkan bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al
Quran haruslah hati-hati bahkan sebagian tokoh dengan tegas menolak
hermeneutika al-Qur’an. Selain itu pula ilmu ini sebaiknya ditempatkan sebagai
komplemen, bukannya sublemen dari ilmu tafsir.
Kata Kunci : Hermeneutika dan Tafsir

Pendahuluan
Hermeneutika merupakan satu disiplin yang perhatian utamanya dicurahkan
pada aturan-aturan penafsiran terhadap teks. Hemeneutika dapat dikatakan sebagai

sebuah disiplin ilmu tafsir yang tidak hanya menggarap urusan bagaimana proses
memahami dan menafsirkan yang benar itu, tetapi lebih jauh hermeneutika juga
menggarap asumsi-asumsi dasar dan kondisi serta kedudukan manusia dan segala
faktor yang terlibat dalam proses penafsiran yang dimaksud (aspek ontologis dan
aksiologis).

1

Dalam memahami kandungan al Quran kaum muslimin telah mempunyai
ilmu tersendiri yang sudah mapan yaitu ilmu tafsir. Ilmu ini telah digunakan
sebagai pembedah al Quran sejak masa awal Islam sampai sekarang. Dewasa ini
muncul ilmu yang belum dikenal sebelumnya yaitu hermeneutika sebagai alat
bantu untuk memahami al Quran. Penggunaan ilmu ini dalam blantika dunia tafsir
adalah hal baru, sehingga menimbulkan polemik. Sebagian mendukung dan
sebagian lagi menolaknya. Adanya perbedaan sikap dalam memandang ilmu ini
disebabkan karena perbedaan persepsi mereka terhadap implementasinya.
Penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat
tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Ada yang
menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Tulisan ini akan memaparkan
sekitar polemik pada masalah tersebut.


Pembahasan
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuo” yang berarti
menafsirkan. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah satu dewa bagi
manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada
manusia1. Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti2
Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, variabel pemahaman manusia itu
sedikitnya melibatkan tiga unsur, yaitu author (pengarang), unsur teks dan unsur
reader (pembaca). Masing-masing unsur dalam proses pemahaman memiliki
peran dan fungsinya sendiri, sehingga mengunggulkan peran salah satu unsur atau
mengabaikan peran salah satu unsur lainnya hanya akan membawa kepada
“kesewenang-wenangan dalam memahami”. Apabila variabel-variabel ini
dimasukan ke dalam ranah pemahaman keagamaan, khususnya Islam, situasinya

1 Dalam Islam, nama Hermes sering diidentikkan dengan Nabi Idris, yang dikenal sebagai
orang yang pertama kali memperkenalkan dan mengetahui tulisan, teknologi, astrologi, dan lainlain. Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Cet I 2005. Hlm. 4
2 Ibid., Hlm. 5

2


agak rumit dan kompleks. Bagi umat Islam, variabel teks berarti nash sya’i,
variabel author berarti Allah dan variabel reader berarti umat Islam sendiri.3
Istilah Hermeneutika untuk pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles. Dia
pernah menulis sebuah buku berjudul Peri Hermeneias yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan nama De Interpretatione yang dalam
bahasa Inggrisnya berjudul On the Interpretation. Sebelum diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin dan Inggris, salah seorang filosof Islam

al Faraby

(w.339/950) telah menterjemahkan dan memberi komentar karya Aristoteles
tersebut ke dalam bahasa Arab dengan judul fil ‘Ibarah.
Konsep hermeneutika yang digunakan Aristoteles masih sangat sederhana,
tidak sama dengan konsep yang digunakan sekarang ini. Hermeneias yang dia
kemukakan sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran
dan membahas tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (isim), kata kerja
(fi’il), kalimat (jumlah), ungkapan ( ta’bir) dan lain-lain yang terkait dengan
bahasa.


Ketika

Aristoteles

membicarakan

hermenias,

dia

tidak

mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Topik yang dibahas
oleh Aristoteles adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa
mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu.
Dalam perkembangan berikutnya pengertian Hermeneutika beralih dari
makna leksikal kepada makna istilah. Perkembangan ke arah ini dimulai oleh para
teolog Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam
kitab suci mereka. Mereka menggunakan ini bertujuan untuk mencari kebenaran
dari kitab suci mereka yang sangat beragam. Mereka mempertanyakan apakah

secara harfiyah Bible itu bisa dianggap kalam Tuhan. Kitab Bible yang ada pada
mereka sangat beragam antara karya yang satu dengan lainnya. Adanya perbedaan
pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan kalam Tuhan.
Oleh karena itu para teolog Kristen memerlukan Hermeneutika. Ketika
perkembangan Hermeneutika dalam tradisi Barat masih pada tahap ini maka ia
3 Lihat kata pengantar Prof. Dr. Amin Abdullah, Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an,
Cet I 2005. Hlm. xx

3

diposisikan sebagai bagian dari ilmu filologi. Oleh karenanya historiografi
merupakan klien Hermeneutika yang paling setia.4
Memasuki abad ke 20, kajian hermeneutika semakin berkembang. F.D.E.
Schleiermacher, filsuf yang kelak digelari Bapak Hermeneutika Modern,
memperluas cangkupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab
suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar
artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Faktanya, sekarang
berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya dan hermeneutika di zaman ini
telah masuk ke bidang-bidang semisal agama (kitab suci), sastra, sejarah, hukum,
dan filsafat

Hingga akhir abad ke 20, paling tidak hermeneutika dapat dipilah dalam tiga
kategori; sebagai filasafat, sebagai kritik, dan sebagai teori. Sebagai filsafat,
hermeneutika tumbuh menjadi satu aliran pemikiran yang menempati lahan-lahan
strategis dalam diskursus filsafat. Ini diperkenalkan oleh Heidegger dalam istilah
hermeneutika eksistensialis-ontologis. Sebagai kritik, hermenetika memberi reaksi
keras terhadap berbagai asumsi idealis yang menolak pertimbagan ekstralinguistik
sebagai faktor penentu konteks pikiran dan aksi. Ini dimotori oleh Habermas.
Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di sekitar teori interpretasi;
bagaimana menghasilkan interpretasi dan standarisasinya. Asumsinya adalah
sebagai pembaca orang tidak punya akses pada pembuat teks karena perbedaan
ruang dan waktu, sehingga diperlukan hermeneutika. Hasilnya berbagai macam
teoripun bermunculan.
Pembagian yang lebih rinci dilakukan oleh Richard E. Palmer.
Hermeneutika dibagi menjadi enam kategori; sebagai teori penafsiran kitab suci ,
sebagai metode fiologi, sebagai pemahaman linguistik, sebagai fondasi ilmu
pengetahuan kemanusiaan, sebagai fonomena das sien dan pemahaman
eksistensial dan sebagai sistem penafsiran.

4 Yayan Nurbayan. Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Jurnal Ilmiah.
Hlm. 4


4

Pertama, hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci. Di sini
hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh agamawan.
Pelopornya adalah J.C. Dannhauer. Di sini, bentuk hermeneutika bisa bermacammacam dan bisa memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling
bertolak belakang. Schleiermacher selanjutnya muncul dengan hermeneutika
modern, yang berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam
interpretasi secara metodologis.
Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Hermeneutika difungsikan
sebagai metode pengkajia teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk
kitab suci. Kumculannya dipicu oleh semangat rasionalisme perpecahan.
Tokohnya adalah Johan August Ernesti. Dalam perkembanganya ia diklaim
sebagai corak sekuler oleh kalangan gereja, sebab menyuguhkan metode kritik
sejarah dalam mencermati persoalan teologi. Meski demikian, metode pengkajian
Injil tidak bisa melepaskan diri dari metode riset filologi.
Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Dari kapasitasnya
sebagai metode filologi, hermeneutika melangkah menjadi sebuah ilmu linguistik.
Hermeneutika difungsikan untuk memahami berdasarkan teori-teori linguistik. Di
sini hermeneutika menjadi landasan bagi segala interpretasi teks, kerena

memaparkan segala kondisi yang pasti ada dalam setiap interpretasi. Prosedur
yang dijalankan adalah berusaha menyusup lebih jauh dibalik sebuah teks.
Keempat, hermeneutika sebagai fondasi ilmu kemanusiaan. Di sini
hermeneutika difungsikan sebagai landasan metodologis bagi humaniora.
Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey, filsuf sejarah. Dilthey berusaha menggiring
hermeneutika sebagai landasan epistemologi bagi humaniora, tidak hanya sebagai
ilmu penafsiran teks.
Kelima, sebagai fonomena das sien dan pemahaman eksistensial. Di sini
hermeneutika

difungsiakan

sebagai

penafsiran

untuk

melihat


fenomena

keberadaan manusia itu sendiri melalui bahasa. Martin Heidegger dan Gademer
adalah tokohnya. Menurut Heidegger, hermeneutika bukan hanya metode filologi,
melainkan menjadi karakteristik manusia itu sendiri. Memahami dan menafsirkan
5

adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Gadamer memandang
hermeneutik sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai
proses ontologis manusia.
Keenam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Di sini hermeneutika
difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan
segala misteri yang menyelimuti simbol, yaitu dengan membuka selubung yang
menutupinya. Tokohnya dalah Paul Ricouer.5
Hermenetika dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul les methodes d’Exegese, Essai sur
La Science des Fordements de la Comprehension, ‘Ilm Usul al-Fiqh(1965),
sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu
Islam tradisional, terutama tradisi Usul al-Fiqh dan Tafsir al-Qur’an. Oleh Hasan
Hanafi, penggunaan hermeneutik pada awalnya hanya merupakan eksperimentasi

metodologi yang melepaskan diri dari positivisme dalam teoritisasi hukum Islam
dan Usul al-Fiqh. Satu hal yang menunjol dari hermeneutik Hasan Hanafi dan
pemikirannya secara umum adalah muatan ideologinya yang sarat dengan
maksud-maksud praktis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru
sangat berbeda dengan mainstream umat Islam yang masih terkungkung oleh
lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.6 Nasr Hamid Abu Zayd
mempersoalkan hilangnya prosedur ilmiah dalam pemikiran hermeneutik Hasan
Hanafi, sebab dalam menafsirkan tradisi pemikiran Islam, ia dianggap memberi
porsi besar bagi penafsiran dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai satu
entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks
wacananya sendiri.
Demikian juga tulisan Nasaruddin Baidan yang berjudul “Tinjauan Kritis
Terhadap Konsep Hermeneutik” mengatakan bahwa kritik antara ketiga unsur
pokok yang menjadi pilar utama dalam hermeneutik (text, author, dan audience),
5 Sibawaihi. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta, Jalasutra, 2007. Hlm. 810
6 Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta, Islamika,
2003. Hlm. 60

6


tidak berbeda dengan ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab Ibn
Taymiyyah pun telah mengatakan bahwa dalam setiap proses penafsiran harus
diperhatikan tiga hal, (1) siapa yang mengatakan, (2) kepada siapa diturunkan, (3)
ditujukan kepada siapa.
Menurut beliau, dalam teori hermeneutik terkesan bahwa seorang hermeneut
dapat menafsirkan semua teks tanpa terkecuali selama dia dapat menguasai ketiga
unsur utama tersebut secara baik, bahkan digambarkan pengunguasaannya
terhadap ketiga unsur itu, termasuk terhadap diri si pengarang teks (author), jauh
melebihi pengetahuan pengarang mengenai dirinya sendiri.
Konsep serupa itu bukanlah sesuatu yang aneh. Karena para tokoh
hermeneutik seperti Schleiermacher, Dilthey, Gademer dan lain-lain memandang
agama sebagai kumpulan interpretasi. Oleh karenanya studi ilmiah terhadapnya
mengambil bentuk interpretasi dari interpretasi. Dalam kondisi demikian, sangat
logis bila secara konseptual hermeneutik mengisyaratkan bahwa tidak ada suatu
teks yang tak dapat ditafsirkan oleh hermeneut. Di sinilah bedanya dengan ilmu
tafsir, dimana diajarkan bahwa tidak semua teks (ayat) al-Qur’an dapat dipahami
maknanya dengan jelas.
Akhirnya apa yang ditawarkan oleh hermeneutik dalam menafsirkan teks,
linguistik, sejarah, agama dan disiplin ilmu yang lainnya adalah suatu kreasi,
karya dan bikinan manusia.7 Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan
hermeneutika dalam kajian al-Qur’an menjadi kontroversial dikalangan umat
muslim. Disini penulis akan memaparkan sedikit mengapa sebagian dari kalangan
muslim menerima dan menolak hermeneutik dalam mengkaji al-Qur’an.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan bagi kalangan muslim yang menolak
hermeneutika sebagai salah satu teori dan metode penafsiran dalam al-Qur’an,
diantaranya adalah:
Berangkat dari sejarah hermeneutika yang berasal dari penafsiran terhadap
mitos Yunani, maka hermeneutika dianggap sebagai sebuah desakan rasionalisasi
terhadap sebuah mitos yang kemudian hal ini menemukan relevansinya dalam
7 Ibid., Hlm. 63

7

kitab bible yang dianggap sudah tidak otentik bagi kalangan muslim, karena
ditulis oleh manusia sehingga jurang perbedaan dan pertentangan yang cukup
tajam di dalam teks

dapat didamaikan dengan hermeneutik. Bagi penolak

hermeneutik hal ini tentu saja berbeda dengan al-Qur’an yang tidak mengalami
permasalahan dari segi sejarah karena diyakini sebagai wahyu Tuhan/kalam ilahi
dan bukan perkataan Muhammad.
Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat
digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sedang konsep al-Quran, wahyu
dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari
Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas alQuran.
Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur selalu bertolak dari arti kosakata
bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa Arab. Tafsir bir-ra’yi dan
al’is’aripun disyaratkan untuk tidak menafikan dan menyimpang jauh dari arti
kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para ulama pun harus dengan alasan
yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat diartikan dengan makna aslinya.
Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran terhindar dari penafsiran-penafsiran
yang liar. Sedang dalam hermeneutika, interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda
menimbang unsur yang terlibat dalam penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan
tempat, waktu dapat menyebabkan perbedaan arti. Belum lagi perbedaan
pengetahuan antara penafsir satu dengan lainnya mengenai sisi sejarah teks,
psikologis sang pengarang dan sejauh mana kedua faktor tersebut mempengaruhi
pemikiran pengarang dalam teks. Sekian faktor tersebut menjadikan hermeneutika
lebih bernilai relatif.
Tafsir dianggap lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer
tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang
berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang
jelas. Rasulullah Saw menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh
Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasahmadrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in.

8

Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan
penetapan syarat-syarat mufassir. Sementara itu bible dianggap bermasalah
dengan persoalan otentisitas, sehingga penggunaan hermeneutika dari tradisi
Yunani dianggap untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Tetapi
kemudian ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru
dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya
terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau
Romawi kuno.8
Keempat hal diatas yang menyebabkan sebagian kalangan muslim menolak
hermeneutika secara mentah-mentah untuk diterapkan dalam metode tafsir alQur’an. Ada ketakutan akan hilangnya kesakralan al-Qur’an jika al-Qur’an
ditafsirkan secara hermeneutis. Sehingga mereka lebih suka menyukai metodemetode tafsir yang telah dilakukan dan dirumuskan oleh para ulama terdahulu,
tanpa bersusah payah membuat metode baru. Disini metode tafsir al-Qur’an yang
sudah ada dianggap sudah final dan tidak perlu dikembangkan. Istilah
hermeneutik sendiri juga dipermasalahkan karena memang tidak ada dalam kamus
arab atau Islam terutama bagi kalangan muslim yang anti barat, sehingga apapun
yang berbau barat akan ditolak secara mentah-mentah.
Lebih jelas (Adian Husaini:2007) dalam bukunya “hermeneutika dan tafsir
al-Qur’an” mengatakan ada tiga dampak hermeneutika al-Qur’an;
1. Relativisme Tafsir
Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab (1) menghilangkan
keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga berusaha
memandang kerelativan kebenaran Islam, (2) menghancurkan bangunan
ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
yang sudah teruji selama ratusan tahun. Padahal, metode hermeneutika
Al-Qur’an hingga kini masih upaya coba-coba beberapa ilmuan
kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan
komprehensif. (3) menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang
8 Adian Husain. Bahaya Metode Hermeneutika Dalam Menafsirkan Al-Qur’an.
https://www.youtube.com/watch?v=yvxcAka1j8U/, diakses pada 7/11/2015, 19.00 WIB.
9

selalu berubah mengikuti zaman. Bagi mereka tidak ada yang tetap
dalam Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah dinyatakan final dan
tetap akan senantiasa bisa diubah dan disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
2. Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberikan tuduhan
yang membabi buta terhadap para ulama Islam yang termuka, seperti
Imam Syafi’i yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam,
yang tidak dikehendaki oleh para pendukung hemeneutika. Jika
dicermati berbagai tulisan para pendukung hermeneutika ini, biasanya
mereka bersikap sangat kritik terhadap para ulama Islam, tetapi mereka
menjiplak begitu saja berbagai teori hermeneutika atau pemikiran dari
para orientalis dan cendikiawan barat dengan tanpa sikap kritis
sedikitpun.
3. Dekonstrusi Konsep Wahyu
Sebagai pendukung hermeneutika memasuki wilayah yang sangat rawan
dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas Al-Qur’an sebagai
kitab yang lafadz dan maknanya dari Allah. Dalam artikelnya di
republika (24 juni 2005) tentang hermeneutika sebegaimana disebutkan
sebelumnya,

Zainal

Abidin

mengakui,

bahwa

dalam

tradisi

hermeneutika, ada kesamaan pola hubungan segitiga antara teks, si
pembuat teks, dan si pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika
seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami teks (baik itu teks kitab
suci maupun umum) dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada
pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks.9
Sedangkan menurut Alparslan dalam Nurbayan (1996:29) berpendapat,
”Pandangan hidup setiap peradaban merupakan kumpulan dari konsep konsep
yang dalam konteks keilmuan berkembang menjadi tradisi ilmiah (scientific
tradition). Tradisi ilmiah pada gilirannya menghasilkan berbagai disiplin ilmu,
seperti yang kita lihat sekarang, termasuk teori atau konsep Hermeneutika. Karena
ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri
9 Husain, Adian & Abdurrahman al-Baghdadi. Hermeneutika & Tafsir al-Qur’an. Jakarta,
Gema Insani, 2007. Hlm. 17-42

10

dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan metafisika. Hal-hal inilah yang
menjadikan ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk Hermeneutika tidak
netral.
Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip pendapat salah seorang pakar
Hermeneutika Werner G.Jeanrond. Ada tiga milleu penting yang berpengaruh
terhadap timbulnya Hermeneutika sebagai suatu metode, konsep atau teori
interpretasi. Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Kedua milleu masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks
kitab suci mereka dan

berupaya untuk mencari model yang cocok untuk

interpretasi. Ketiga masyarakat Eropa di zaman Enlightenment yang berusaha
lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa Hermeneutika keluar dari
konteks keagamaan.10

Kesimpulan
Dari berbagai ulasan di atas maka penulis dapat menyimpukan bahwa
hermeneutika yang berasal dari Barat dari bahasa Yunani “Hermeneuo” yang
berarti menafsirkan. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah satu dewa
bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan
kepada manusia. Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti
Sedangkan Al Quran adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT.
Padanya terdapat petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia. Al Quran baik
dari segi bahasa maupun isinya mengandung mukjzat. Seluruhnya hak dan setiap
muslim harus menerimanya dengan tanpa keraguan.

Jika kita menerima

hermeneutika sebagai instrumen untuk menefairkan al Quran, maka keyakinan
tersebut akan runtuh. Sebagai contoh, jika kita menerima teori Critical
Hermeneutika-nya Habermas kita dituntut untuk bersikap kritis dan curiga pada
setiap teks dan penafsiran. Sikap ini jelas-jelas tidak bisa diterapkan untuk
10 Nurbayan, Yayan. Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Jurnal
Ilmiah, pdf. Hlm. 10

11

pencipta Al Quran dan para mufassir yang diyakini mempunyai keikhlasan yang
luar biasa. Wallahu a’lam.

12