PERAN GEODESI DALAM PENGUATAN PENENTUAN

PERAN GEODESI DALAM PENGUATAN PENENTUAN SISTEM WILAYAH WAKTU
DI INDONESIA
Agustan a, *
a

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gedung 2 BPPT Lantai 19, Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, INDONESIA
Email: agustan@bppt.go.id

KATA KUNCI: wilayah waktu, kedudukan matahari, rotasi bumi, geodesi, undang-undang

ABSTRAK:
Sistem penentuan wilayah waktu merupakan suatu kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara. Penentuan wilayah
waktu di Indonesia saat ini ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1987. Untuk menjaga stabilitas nasional
dan segala aspek yang terkait, sebaiknya sistem penentuan wilayah waktu di Indonesia lebih diperkuat dengan undang-undang yang
berdasarkan kajian ilmiah, utamanya aspek ilmu kebumian. Ilmu geodesi dalam penentuan posisi geografis dan pengamatan matahari
sangat berperan dalam kajian ilmiah untuk menentukan pembagian dan penetapan wilayah waktu di Indonesia. Waktu ditentukan
berdasarkan kedudukan matahari yang diusulkan sejak tahun 1792 dan satuannya berdasarkan satu periode rotasi bumi yang
didefinisikan sebagai 24 jam. Dari bentuk geometri dan variasi rotasi bumi yang ditentukan melalui perhitungan geodesi, maka
pembagian panjang keliling bumi terhadap periode rotasi dapat ditentukan yang menjadi dasar pembagian wilayah waktu. Tulisan ini

membahas definisi waktu dan teknik penentuan dan perhitungan berdasarkan sudut pandang ilmu Geodesi dan sampai pada
kesimpulan bahwa dengan lokasi Indonesia yang terletak pada daerah khatulistiwa yang membujur sepanjang 46 derajat, maka
pembagian wilayah waktu Indonesia menjadi satu wilayah adalah tidak realistis dan sangat berpengaruh terhadap stabilitas nasional.
Hasil hitungan kedudukan matahari terbit di seluruh ibu kota provinsi rata-rata tahunan berdasarkan 3 (tiga) wilayah waktu adalah
sekitar Pukul 05.57 dan waktu terbenam sekitar Pukul 18.04. Diperlukan penguatan sistem penentuan wilayah waktu Indonesia
melalui payung hukum berupa undang-undang agar stabilitas nasional dapat terjamin.

1. PENDAHULUAN
Usulan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (KP3EI) untuk menyatukan zona atau
wilayah waktu Indonesia berdasarkan Waktu Indonesia Tengah
mulai tanggal 28 Oktober 2012 diyakini akan menghasilkan
efisiensi dan efektivitas antara wilayah barat dan timur
Indonesia yang terpisah perbedaan waktu dua jam. Usulan ini
menjadi wacana yang menarik dan menimbulkan banyak silang
pendapat. Akhirnya pemerintah menunda rencana tersebut
sampai waktu yang belum ditentukan dengan alasan masih
kurangnya sosialisasi di masyarakat.
Sistem penentuan wilayah waktu suatu wilayah atau negara
memang menjadi kewenangan pemerintah negara tersebut.

Untuk Indonesia, penentuan wilayah waktu yang berlaku saat
ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1987
yang menetapkan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi
menjadi 3 (tiga) wilayah waktu dengan 3 (tiga) waktu tolok
yaitu Waktu Indonesia Barat (WIB) dengan acuan 7 (tujuh) jam
lebih cepat dari waktu standar Greenwich Mean Time (GMT
+7) dan derajah tolok 105° Bujur Timur; Waktu Indonesia
Tengah (WITA) dengan acuan GMT +8 dan derajah tolok 120°
Bujur Timur; dan Waktu Indonesia Timur (WIT) dengan acuan
GMT +9 derajah tolok 135° Bujur Timur.
Konsep tantang waktu disampaikan oleh Censorinus tahun 238
Masehi (Holford-Strevens, 2005) yang memperkenalkan ada 2
(dua) jenis waktu yaitu: dies naturalis, waktu berdasarkan
periode rotasi bumi yang berjumlah 24 jam tanpa acuan awal
* Penulis (Corresponding author).

yang tetap; dan dies civilis, waktu berdasarkan periode rotasi
bumi yang berjumlah 24 jam tetapi dengan acuan awal yang
tetap, misalnya waktu matahari terbenam sebagai acuan untuk
sistem umat Muslim.

Penentuan wilayah waktu Indonesia memiliki sejarah panjang
yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi global. Dalam skala global, sistem
pembagian wilayah waktu dunia dimulai dengan menentukan
“lokasi” acuan dimulainya perhitungan waktu. Dalam the
International Meridian Conference tahun 1884 di Washington
D. C. disepakati Royal Observatory di Kota Greenwich
dijadikan sebagai bujur (meridian) 0 (nol) dan menjadi awal
penentuan hari secara universal (universal day) saat tengah
malam (Howse, 1985).
Wilayah waktu di Indonesia mulai diterapkan sejak zaman
kolonial (Hindia Belanda) setelah konferensi internasional
tentang meridian tahun 1884 tersebut untuk keperluan
transportasi kereta api di Pulau Jawa dan Sumatera dan
keperluan komunikasi dalam bentuk pengiriman telegraf.
Selanjutnya, sistem pembagian wilayah waktu Indonesia
kemudian terus berkembang dan berubah sesuai dengan situasi
dan kepentingan. Riwayat tentang pembagian wilayah waktu di
Indonesia telah dijelaskan oleh Sunarjo dan Sukanto (2007).
Dalam tulisan tersebut, terlihat bahwa kebijakan penentuan dan

pembagian wilayah waktu adalah berdasarkan berdasarkan
posisi geografis dan kedudukan matahari terkait dengan
aktivitas manusia. Sejarah juga mencatat bahwa sejak Indonesia
merdeka hingga saat tulisan ini dibuat, sistem pembagian

wilayah waktu Indonesia telah ditetapkan sebanyak 3 kali, yaitu
melalui:
1. Keputusan Presiden No. 152 Tahun 1950,
Keppres No. 152 / 1950

2.
3.

Keputusan Presiden No. 249 Tahun 1963, dan
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1987

Keppres No. 249 / 1963

Nama dan Daerah


Waktu
Tolok

Bujur
Tolok

Nama dan Daerah

Waktu
Tolok

Waktu Sumatera
Utara: Sumatra
Barat, Tapanuli,
Sumatra Timur,
Aceh dan pulaupulau sebelah barat
Sumatra kecuali
Enggano
Waktu Sumatera
Selatan: Bengkulu,

Lampung,
Palembang, Jambi,
Riau, Bangka dan
Belitung
Waktu Jawa: Jawa,
Madura, Bali,
Lombok dan
Kalimantan
Waktu Sulawesi:
Sulawesi, Sangihe
dan Talaud,
Sumbawa, Flores,
Sumba dan Timor
Waktu Maluku:
Bagian lain dari
Maluku (Maluku
Utara dan Maluku
selatan) kecuali Kai,
Aru, Saumlaki dan
Larat

Waktu Irian: Bagian
dari Maluku
(Kepulauan Kai,
Aru, Saumlaki,
Larat), Irian
Selatan, Tanah
Merah, Manokwari,
Sorong, Schouten,
Holandia, Irian
Barat.

GMT +
6j 30m

97°
30’
BT

Indonesia Barat:
Daerah Tingkat I di

Sumatra, Jawa dan
Madura serta Bali

GMT +
7j

GMT +
7j

105°
BT

Indonesia Tengah:
Daerah Tingkat I di
Kalimantan,
Sulawesi dan Nusa
Tenggara

GMT +
7j 30m


112°
30’
BT

Indonesia Timur:
Daerah Tingkat I di
Maluku dan Irian
Jaya

GMT +
8j

120°
BT

GMT +
8j 30m

137°

30’
BT

GMT
+9j

135°
BT

Keppres No. 41 / 1987
Bujur
Tolok

Nama dan Daerah

Waktu
Tolok

Bujur
Tolok


105°
BT

Indonesia Barat:
Daerah Tingkat I di
Sumatra, Jawa,
Madura, Kalimantan
Barat dan
Kalimantan Tengah

GMT +
7j

105°
BT

GMT +
8j

120°
BT

GMT +
8j

120°
BT

GMT
+9j

135°
BT

Indonesia Tengah:
Daerah Tingkat I di
Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan,
Sulawesi, Bali dan
Nusa Tenggara
Indonesia Timur:
Daerah Tingkat I di
Maluku dan Irian
Jaya

GMT
+9j

135°
BT

Tabel 1. Sejarah Pembagian Wilayah Waktu Indonesia
(Modifikasi dari Sunarjo dan Sukanto, 2007)

Tabel 1 memperlihatkan bahwa saat awal berdirinya Indonesia,
wilayah waktu terbagi menjadi 6 (enam) wilayah dengan
interval beda waktu setengah jam (30 menit) dan kemudian
diubah menjadi 3 (tiga) wilayah waktu dengan interval beda
waktu satu jam (60 menit). Hal ini tidak terlepas pada kondisi
geografis dan lebar wilayah waktu setiap 15 derajat yang
diperoleh dari hasil hitungan panjang keliling bumi yang sama
dengan jumlah derajat bujur bumi hasil konvensi tahun 1884
dibagi 24 jam, yaitu 360 derajat dibagi 24 jam. Selanjutnya
tulisan ini merangkum beberapa kaidah geodesi terkait
penentuan waktu berdasarkan kedudukan matahari dan beberapa
pandangan terkait sistem pembagian wilayah waktu berdasarkan
aspek kebumian, lingkungan, kesehatan dan ekonomi.

2. PENENTUAN WAKTU DAN GEODESI
Penentuan waktu diturunkan dari pengamatan rotasi bumi pada
sumbunya dengan mengacu pada benda yang dianggap tetap,
misalnya bintang atau matahari. Waktu yang dibutuhkan dalam
satu kali rotasi bumi berdasarkan satu acuan itu dikenal dengan
istilah “hari” (day). Dalam bidang astronomi geodesi, terdapat 3
(tiga) definisi dasar terkait dengan waktu (Thomson, 1981),
yaitu:
1. Epok atau kala (epoch), merupakaan saat tertentu dari
waktu yang digunakan untuk mendefinisikan saat
kejadian suatu fenomena atau saat pengamatan.

2.

3.

Interval waktu (time interval), adalah selang waktu
antara 2 epok, atau selisih waktu antara 2 kejadian
yang diukur dalam satu skala waktu.
Skala waktu (time scale), satuan yang digunakan
untuk merepresentasikan lamanya suatu kejadian.

Secara ilmiah, skala waktu ini bervariasi atau tidak mempunyai
nilai yang tetap, tergantung pada sistem waktu yang digunakan.
Sistem waktu diperlukan untuk ‘menghubungkan’ skala waktu
yang biasa digunakan (tahun, bulan, hari, jam, menit, detik)
dengan fenomena fisik maupun geometrik yang diukur atau
diamati. Moritz dan Mueller (1987) menjelaskan tentang sistem
waktu yang digunakan yaitu: sistem waktu bintang dan matahari
(sidereal and universal time) yang berdasarkan rotasi harian
Bumi; sistem waktu dinamik yang berdasarkan pada pergerakan
benda-benda langit (celestial bodies) dalam sistem matahari;
dan sistem waktu atom yang berdasarkan pada osilasi
elektromagnetik yang dikontrol atau dihasilkan oleh transisi
kuantum dari suatu atom. Ketiga sistem waktu ini berbeda pada
acuan kapan hari baru dimulai, misalnya sistem waktu matahari
(universal time) jam 00:00 dimulai saat tengah malam.

Gambar 1. Ilustrasi Geometri Sistem Waktu
(sumber gambar: Wikipedia:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ecliptic_longitude)
Rotasi bumi pada kenyataannya tidak teratur terkait dengan
bidang edar yang berbentuk ellips yang mengakibatkan adanya
variasi spasial dari posisi sumbu rotasi bumi terhadap badan
bumi yang dikenal dengan gerakan kutub (polar motion); dan
akibat adanya variasi temporal dari kecepatan rotasi bumi yang
menyebabkan variasi dalam panjang hari (length of day, LOD).
Fenomena ini yang menyebabkan saat matahari terbit dan
terbenam bervariasi sepanjang tahun di tiap lokasi di permukaan
bumi dan dapat diestimasi dengan hitungan-hitungan astronomi
geodesi. Misalnya untuk formula matahari terbit (sunrise
equation) dapat dituliskan sebagai:

sunrise = SN − cosω 0
(LST − GMST0 − φ )
15 0
sin(−0.830 ) − sin λ × sin δ
cosω 0 =
cos λ × cos δ
sin δ = sin λ × sin23.45 0
SN =

dengan: SN = solar noon, saat matahari berkulminasi pada garis
meridian; ω 0 = sudut matahari, LST = waktu sidereal lokal
(local sidereal time); GMST0 = waktu sidereal di Greenwich
saat 00:00 Universal Time; φ = sudut garis bujur (ecliptic
longitude); λ = lokasi garis lintang (latitude); dan
deklinasi matahari.

δ

= sudut

Berdasarkan algoritma astronomi dengan konsep dasar
persamaan di atas, waktu terbit dan terbenam matahari dapat
dihitung berdasarkan posisi geografis. Dalam perhitungan
astronomi, wilayah waktu menentukan besaran perbedaan
waktu antara meridian acuan (Greenwich) dengan meridian
lokal saat posisi matahari yang sama. Untuk merealisasikan
hubungan antara meridian acuan (Greenwich) dengan meridian
lokal diperlukan standarisasi sistem waktu dan skala waktu.
Menurut kesepakatan internasional, sistem waktu yang
digunakan adalah sistem waktu atom dengan mengacu pada
skala waktu UTC (Coordinated Universal Time). UTC adalah
skala waktu terkoordinir yang dijaga oleh The Bureau
International des Poids et Mesures atau BIPM (sebelumnya
dikenal sebagai BIH, The Bureau International de l'Heure)
yang berlokasi di Paris Observatory. Sistem dan skala waktu ini
dijaga dan dipelihara melalui jaringan Global Navigation
Satellite System (GNSS) dan teknik Very Long Baseline
Interferometry (VLBI) yang merupakan teknik yang dipelajari
dalam geodesi. Selain itu standar pembagian wilayah waktu
juga disepakati dengan lebar wilayah tiap 150 berbeda satu jam
dihitung dari bujur nol (Greenwich), ke arah timur lebih cepat
(positif) dan ke arah barat lebih lambat satu jam (negatif).
Kemudian
diimplementasikan
dalam
wilayah
waktu
internasional (international time zone).
Berdasarkan aturan tersebut, Indonesia yang terletak pada bujur
950 BT dan 1410 BT dilalui oleh 3 bujur acuan lokal yaitu 1050
BT, 1200 BT dan 1350 BT dengan perbedaan GMT+7, GMT+8
dan GMT+9. Dengan mengadopsi hitungan astronomi geodesi,
variasi waktu terbit dan terbenam matahari pada lokasi tertentu
dapat dihitung. Sebagai gambaran, variasi perbedaan posisi
matahari yang menentukan waktu terbit dan terbenam matahari
dalam satu wilayah waktu (lebar wilayah 150), maka dilakukan
perhitungan posisi untuk batas luar dan garis tengah wilayah
Waktu Indonesia Barat. Wilayah waktu ini berdasarkan Keppres
No. 41/1987 mempunyai Bujur Tolok pada 1050 sehingga batas
wilayah waktu ini berdasarkan hitungan geometri adalah 7.50 ke
arah barat dan 7.50 ke arah timur, sehingga batasnya adalah
97.50 BT dan 112.50 BT. Hasilnya dapat dilihat pada halaman
berikut.
Terlihat dari Gambar 2 pada halaman berikut, bahwa dalam satu
wilayah waktu (lebar 150) juga terdapat variasi posisi matahari
berdasarkan posisi geografis utamanya garis bujur. Gambar
tersebut memperlihatkan bahwa pada daerah paling barat
wilayah Waktu Indonesia Barat, waktu matahari terbit jika
mengacu pada Keppres No. 41/1987 lebih lambat, sekitar 29
menit, dan kebalikannya pada daerah paling timur, waktu
matahari terbit lebih cepat sekitar 29 menit dibanding daerah
yang dilalui oleh garis tolok (garis bujur atau meridian acuan).

Gambar 2. Variasi Waktu Terbit Matahari pada Wilayah Waktu Indonesia Barat sepanjang Tahun 2012

Gambar 3. Variasi Waktu Terbenam Matahari pada Wilayah Waktu Indonesia Barat sepanjang Tahun 2012

Sebaliknya, dari Gambar 3 di atas, terlihat bahwa dalam satu
wilayah waktu (lebar 150) juga terdapat variasi waktu
terbenamnya matahari. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa
pada daerah paling barat wilayah Waktu Indonesia Barat, waktu
matahari terbenam jika mengacu pada Keppres No. 41/1987
lebih lambat, sekitar 29 menit, dan kebalikannya pada daerah
paling timur, waktu matahari terbenam lebih cepat sekitar 29
menit dibanding daerah yang dilalui oleh garis tolok (garis bujur
atau meridian acuan).

Dengan menggunakan formula yang sama, dapat dihitung
kedudukan matahari terbit dan terbenam untuk keseluruhan ibu
kota provinsi di Indonesia untuk mendapatkan gambaran variasi
waktu berdasarkan letak geografis. Berikut adalah hasil
hitungan waktu lokal matahari terbit dan terbenam untuk
seluruh ibu kota provinsi berdasarkan aturan Keppres No.
41/1987 untuk tahun 2012, dan apabila dilakukan penyatuan
wilayah waktu berdasarkan GMT+8.

Matahari Terbit
(Keppres 41/1987)
No.

Kota

Matahari Terbenam
(Keppres 41/1987)

Lintang

Bujur

Min

Max

Mean

Min

Max

Mean

Satu Wilayah
Waktu (GMT+8)
Terbit
Terbenam
(Mean)
(Mean)

1

Banda Aceh

05.35N

95.20E

6:24:17

6:55:53

6:35:35

18:19:56

18:57:15

18:42:50

7:35:35

19:42:50

2

Medan

03.40N

98.38E

6:10:00

6:40:54

6:22:55

18:09:36

18:41:32

18:30:03

7:22:55

19:30:03

3

Padang

01.0S

100.20E

5:58:10

6:29:03

6:15:45

18:07:13

18:37:55

18:22:40

7:15:45

19:22:40

4

Pekanbaru

0.30N

101.15E

5:55:48

6:26:31

6:11:55

18:02:03

18:32:47

18:18:53

7:11:55

19:18:53

5

Bengkulu

03.50S

102.12E

5:47:33

6:19:36

6:08:08

18:01:59

18:33:00

18:14:56

7:08:08

19:14:56

6

Jambi

01.38S

103.30E

5:45:20

6:16:18

6:03:22

17:55:13

18:25:55

18:10:15

7:03:22

19:10:15

7

Lampung

05.30S

104.30E

5:36:35

6:13:36

5:59:26

17:54:50

18:26:25

18:06:10

6:59:26

19:06:10

8

Tanjungpinang

0.1N

104.45E

5:42:23

6:13:07

5:58:44

17:49:04

18:19:47

18:05:41

6:58:44

19:05:41

9

Palembang

03.0S

104.50E

5:38:38

6:10:05

5:58:36

17:52:00

18:22:54

18:05:25

6:58:36

19:05:25

10

Pangkalpinang

2.1S

106.10E

5:33:18

6:04:27

5:52:11

17:44:44

18:15:30

17:59:02

6:52:11

18:59:02

11

Serang

6.8S

106.10E

5:27:25

6:08:44

5:52:16

17:45:38

18:21:06

17:58:57

6:52:16

18:58:57

12

Jakarta

06.09S

106.49E

5:26:48

6:06:04

5:50:42

17:45:10

18:18:38

17:57:24

6:50:42

18:57:24

13

Bandung

06.54S

107.36E

5:22:44

6:03:17

5:47:13

17:41:00

18:15:44

17:53:55

6:47:13

18:53:55

14

Pontianak

0.0N

109.15E

5:23:28

5:54:13

5:39:56

17:30:22

18:01:05

17:46:53

6:39:56

18:46:53

15

Yogyakarta

7.49S

110.22E

5:10:01

5:53:21

5:35:48

17:28:05

18:05:31

17:42:27

6:35:48

18:42:27

16

Semarang

7.0S

110.26E

5:10:31

5:52:25

5:35:38

17:28:41

18:04:43

17:42:18

6:35:38

18:42:18

17

Surabaya

7.17S

112.45E

5:01:32

5:43:55

5:26:52

17:19:40

17:56:11

17:33:32

6:26:52

18:33:32

18

Palangkaraya

02.16S

113.56E

5:03:24

5:34:33

5:22:20

17:14:57

17:45:43

17:29:12

6:22:20

18:29:12

19

Banjarmasin

03.20S

114.35E

5:59:00

6:30:31

6:19:12

18:12:47

18:43:44

18:26:01

6:19:12

18:26:01

20

Denpasar

08.39S

115.13E

5:49:09

6:35:08

6:16:10

18:07:02

18:47:04

18:22:48

6:16:10

18:22:48

21

Mataram

08.35S

116.07E

5:45:26

6:31:19

6:12:25

18:03:20

18:43:15

18:19:03

6:12:25

18:19:03

22

Samarinda

0.30S

117.9E

5:48:09

6:18:55

6:04:56

17:55:41

18:26:23

18:11:53

6:04:56

18:11:53

23

Mamuju

02.41S

118.50E

5:43:20

6:14:35

6:02:35

17:55:26

18:26:14

18:09:26

6:02:35

18:09:26

24

Makasar

05.10S

119.20E

5:37:14

6:13:42

5:59:50

17:55:04

18:26:35

18:06:35

5:59:50

18:06:35

25

Palu

0.9S

119.85E

5:39:41

6:10:33

5:57:09

17:48:31

18:19:13

18:04:04

5:57:09

18:04:04

26

Kendari

03.96S

122.60E

5:25:04

5:58:22

5:46:13

17:40:29

18:11:37

17:53:00

5:46:13

17:53:00

27

Gorontalo

0.5U

123.00E

5:28:37

5:59:19

5:44:31

17:34:26

18:05:11

17:51:30

5:44:31

17:51:30

28

Kupang

10.19S

123.39E

5:13:34

6:05:01

5:43:09

17:31:07

18:16:29

17:49:44

5:43:09

17:49:44

29

Manado

01.29N

124.51E

5:23:24

5:54:05

5:38:27

17:27:31

17:58:23

17:45:29

5:38:27

17:45:29

30

Ternate

0.8N

127.38E

6:11:24

6:42:06

6:26:59

18:16:35

18:47:23

18:33:59

5:26:59

17:33:59

31

Ambon

03.43S

128.12E

6:03:38

6:35:29

6:24:07

18:17:55

18:48:55

18:30:56

5:24:07

17:30:56

32

Manokwari

0.54S

134.0E

5:43:29

6:14:18

6:00:33

17:51:33

18:22:14

18:07:28

5:00:33

17:07:28

33

Jayapura

02.28S

140.38E

5:20:55

5:51:40

5:34:57

17:22:55

17:54:00

17:42:01

5:34:57

16:42:01

Tabel 2. Perhitungan Waktu Kedudukan Matahari di Ibu Kota Provinsi Tahun 2012
Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa dengan membagi
wilayah Indonesia ke dalam tiga wilayah waktu, maka
kedudukan matahari terbit adalah bervariasi antara pukul 05.01
(Surabaya) dan 06.55 (Banda Aceh) dan waktu terbenam
bervariasi dari pukul 17.14 (Palangkaraya) dan 18.57 (Banda
Aceh); dengan rata-rata keseluruhan waktu terbit sekitar pukul
05.57 dan waktu terbenam sekitar pukul 18.04. Semua waktu
tersebut adalah mengacu pada waktu lokal berdasarkan Keppres
No. 41/1987. Tetapi apabila dijadikan dalam satu wilayah waktu
dengan acuan GMT+8 maka rentang variasi rata-rata waktu
matahari terbit dan terbenam menjadi lebih lebar, antara pukul
05.00 di Manokwari dan pukul 07.35 di Banda Aceh.

3. DISKUSI
Penetapan wilayah waktu suatu negara serta waktu acuannya
menjadi wewenang pemerintah negara tersebut dan hal ini
diakui secara internasional. Secara umum ada 2 faktor utama
penetapan wilayah waktu yaitu berdasarkan politik batas fisik
wilayah (boundary condition) dan berdasarkan alasan ekonomi
(economic considerations). Faktor luas dan bentuk wilayah
yang dominan membujur biasanya menjadi bahan pertimbangan
dalam penetapan wilayah waktu. Amerika Serikat, Australia,
Kanada, Rusia, Cina, India, dan Indonesia adalah contoh
negara-negara yang luas dan bentuknya memanjang dari barat
ke timur.

Amerika Serikat yang membujur dari sekitar 650 BB sampai
1700 BB (termasuk Alaska) membagi wilayahnya ke dalam 9
(sembilan) wilayah waktu, mulai dari GMT-4 sampai GMT-11
dan juga menerapkan sistem daylight saving time (DST), sebuah
sistem yang mengubah acuan waktu berdasarkan lamanya sinar
matahari pada musim panas dan musim dingin. Negara-negara
yang terletak pada lintang tinggi (> 23.50 belahan utara atau
selatan) mengalami 4 musim dan waktu sinar matahari sangat
bervariasi, misalnya waktu musim panas, lamanya waktu siang
lebih dari 12 jam sehingga acuan waktu dipercepat terhadap
UTC. Amerika Serikat menetapkan sistem wilayah waktu
berdasarkan The Code of Laws of the United States of America
(US Code), sebuah undang-undang federal yang mengatur
segala aspek bernegara. Demikian juga dengan Australia yang
membagi wilayahnya menjadi 3 (tiga) wilayah waktu dan
menerapkan DST, Kanada terbagi dalam 6 (enam) wilayah
waktu, dan Rusia yang membagi wilayahnya menjadi 11
wilayah waktu (mulai dari GMT+3 sampai GMT+12).
Berbeda dengan kelompok Amerika, Australia, Kanada dan
Rusia, sebaliknya Cina (mempunyai lebar wilayah 600) dan
India (mempunyai lebar wilayah 290) hanya menggunakan satu
wilayah waktu dengan alasan kepraktisan dan kesatuan wilayah.

Walaupun menggunakan satu wilayah waktu, kedua negara ini
mengatur sistem jam kerja.
Selain faktor politik dan ekonomi, sebaiknya faktor lain yang
berpengaruh terhadap aktivitas manusia juga harus diperhatikan,
misalnya faktor kesehatan (biologi), lingkungan dan energi.
Dari Tabel 2 terlihat hitungan apabila diterapkan satu wilayah
waktu di Indonesia, maka waktu terbit matahari di wilayah
paling barat Indonesia menjadi lebih lambat, sekitar pukul 07.35
untuk Banda Aceh, tetapi di Manokwari matahari sudah terbit
pada pukul 05.00. Fenomena ini tentu saja berpengaruh pada
aspek sosial kemasyarakatan (termasuk waktu sholat 5 waktu
bagi umat Muslim), kesehatan, lingkungan dan energi. Apabila
diterapkan satu wilayah waktu, maka penduduk di wilayah
bagian barat Indonesia, misalnya di Banda Aceh harus memulai
aktivitas sehari-hari dalam kondisi yang masih gelap.
Terkait dengan kesehatan, Kantermann et al. (2007)
menyimpulkan bahwa aktivitas manusia terkait dengan cahaya
dan perubahan pola hidup terkait cahaya bisa berefek negatif
terhadap circadian clock manusia dan berpengaruh buruk
terhadap kesehatan.

Gambar 4. Sistem Circadian Clock Manusia
(Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/30/Biological_clock_human.svg)

Aspek lingkungan juga terpengaruh apabila aktivitas dimulai
atau diakhiri saat intensitas cahaya matahari masih lemah. Hecq
et al. (1993) menyimpulkan bahwa perubahan pola aktivitas
terkait intensitas cahaya berpengaruh terhadap tingkat mobilitas,
penggunaan bahan bakar, dan polusi. Hal ini dapat dimaklumi
karena energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Sullivan
dan Flannagan (2002) juga melakukan penelitian tentang
intensitas kecelakaan jalan raya dengan intensitas cahaya
matahari terkait dengan perubahan waktu dan menyimpulkan
terdapat korelasi antara keduanya.
Terkait dengan ekonomi, Stein dan Daude (2007) melakukan
penelitian terkait perbedaan wilayah waktu dan foreign direct
investment (FDI), dan menyimpulkan bahwa adanya perbedaan
wilayah waktu berdampak buruk atau negatif terhadap FDI dan
sektor perdagangan pada umumnya. Untuk menghadapi kendala
ini, mereka menyarankan untuk menggunakan teknologi
informasi seluas mungkin.
Lebih lanjut, Sunarjo dan Sukanto (2007) menyebutkan latar
belakang dan prinsip penentuan 3 (tiga) wilayah waktu ditinjau
dari segala sudut, baik teknis, sosial maupun agama adalah
sebagai berikut:
1. Secara nautis telah sepantasnya Wilayah Indonesia
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan
meliputi ± 460 terbagi dalam 3 Wilayah Waktu.
Karena Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau, maka
tidak mungkin untuk mendapatkan batas wilayah
waktu yang merupakan garis lurus.
2. Diusahakan agar satu kepulauan besar atau provinsi
tidak terbagi dalam wilayah waktu yang berbeda.
3. Diusahakan agar derajat tolok membagi wilayah
waktu dalam 2 bagian yang simetris, supaya waktu di
ujung barat dan timur tidak berbeda jauh dengan
waktu tolok di tempat-tempat dengan banyak aktivitas
dan tidak berbeda jauh dengan waktu sejati.
4. Ditinjau pula dari sudut lalu lintas dan komunikasi
antar daerah, dan juga faktor kepadatan penduduk.
5. Peninjauan dari segi sosio-psikologis dan agama
dengan maksud untuk mencapai keseragaman,
efisiensi serta perkembangan pembangunan.

4. KESIMPULAN
Wacana untuk menyatukan wilayah waktu Indonesia yang
geografis Indonesia yang terbentang sepanjang 460 dan secara
fisik dilewati oleh tiga meridian acuan wilayah waktu (1050 BT,
1200 BT dan 1350 BT) akan berpengaruh negatif terhadap aspek
sosial kemasyarakatan, energi, lingkungan dan keselamatan.
Untuk meningkatkan produktivitas ekonomi terkait pasar saham
dan perdagangan regional, sebaiknya teknologi informasi

digunakan seluas mungkin serta dengan mengatur jam kerja
secara proporsional untuk sektor terkait.
Secara ilmiah, peran ilmu geodesi dibutuhkan untuk menjaga
sistem dan skala waktu di Indonesia, misalnya dengan
memanfaatkan jaringan Global Navigation Satellite System
(GNSS) dan Very Long Baseline Interferometry (VLBI). Untuk
lebih menguatkan penentuan wilayah waktu Indonesia ke dalam
tiga wilayah waktu, sebaiknya kebijakan tersebut ditetapkan
melalui undang-undang, sehingga menjamin kepastian bagi
masyarakat dan menjaga stabilitas nasional.
References:
Hecq, W., Borisov, Y., Totte, M. (1993) Daylight saving time
effect on fuel consumption and atmospheric pollution. Science
of the Total Environment, vol. 133 issue 3, p. 249-274.
Holford-Strevens, L. (2005) The History of Time: A Very Short
Introduction, 160p., Oxford University Press.
Howse, D. (1985) 1884 and Longitude Zero, Vistas in
Astronomy, Vol. 28, pp.11-19.
Kantermann, T., Juda M., Merrow, M., and Roenneberg, T.
(2007) The human circadian clock's seasonal adjustment is
disrupted by daylight saving time, Current Biology 17: 22.
1996-2000 Nov.
Moritz, H. and Mueller, I.I. (1987) Earth rotation. Theory and
Observation. Ungar, New York.
Stein, E. and Daude, C. (2007) Longitude matters: Time zones
and the location of foreign direct investment, Journal of
International Economics, Elsevier, vol. 71(1), pages 96-112,
March.
Sullivan J. M. and Flannagan M. J. (2002) The role of ambient
light level in fatal crashes: inferences from daylight saving time
transitions, Accident Analysis & Prevention, vol. 34, pp. 487498.
Sunarjo dan Sukanto, E. (2007) Riwayat Waktu di Indonesia
dan Perkembangannya, Lokakarya Pengolahan Data Tanda
Waktu, Bidang Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Badan
Meteorologi dan Geofisika.
Thomson, D. B. (1981) Introduction to Geodetic Astronomy,
Lecture Notes 49, 197p., Department of Geodesy and
Geomatics Engineering, University of New Brunswick,
Fredericton, N .B., Canada.

---o0o---