TUGAS PERAN HAKIM DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN HUKUM

PERAN HAKIM DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN HUKUM

Permasalahan Hukum
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan. Hal ini berarti bahwa hakim bukan sematamata menerapkan apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan melainkan juga harus
menegakkan kedilan bagi para pencari keadilan. Namun seiring dengan berkembangnya
kebutuhan masyarakat seringkali hakim dihadapkan pada perkara yang belum ada atau belum
diatur dalam perundangan-undangan. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa hakim harus
memiliki kompetensi dan kualitas untuk menyelesaikan permasalahan hokum tersebut.
Dalam pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 48 tahun 2009 disebutkan “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Berpijak dari Undang-Undang tersebut diatas maka dalam mengadili perkara-perkara yang
dihadapinya maka hakim akan bertindak sebagai berikut :
a. Dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undangnya sudah jelas tinggal
menerapkan saja hukumnya.
b. Dalam kasus dimana hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan menafsirkan
hukum atau Undang-Undang melalui cara/metoda penafsiran yang lazim berlaku

dalam ilmu hukum.
c. Dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang mengaturnya,
maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada akhirnya hakim harus memutuskah perkara yang diadilinya semata-mata berdasarkan
hukum, kebenaran dan keadilan dengan tiada membeda-bedakan orang dengan pelbagai resiko

yang dihadapinya. Agar supaya putusan hakim diambil secara adil dan obyektif berdasarkan
hukum, kebenaran dan keadilan.
Peran Hakim dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum dalam menyelesaikan
perkara di Pengadilan
Dalam kehidupan nyata, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sering
menghadapi suatu keadaan, bahwa hukum tertulis ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu dan/atau
menciptakan untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara hakim
harus mempunyai inisiatif sendiri dalam menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak
perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap atau hukum samar-samar.
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb.
1847 : 23) Seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan
dalih undang-undang tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi undangundang tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum

(rechtsvinding).
Penemuan hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa
lain penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan
abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus
menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan
yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.
Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka hakim
berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil
dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hokum
Menurut Sudikno Mertokusumo kegiatan kehidupan manusia sangat luas tidak terhitung
jumlahnya dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundangundangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia sehingga tidak ada peraturan
perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya yang dapat menyelesaikan

persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum tidak jelas maka harus dicari
dan ditemukan.
Selanjutnya Yahya Harahap berpendapat hakim harus memeriksa perkara yang diajukan
kepadanya dan untuk itu dia wajib mencari dan menemukan hukum objektif dan materiil yang
hendak diterapkan menyelesaikan sengketa dan dalam penyelesaian sengketa tidak boleh

berdasarkan perasaan atau pendapat subjektif hakim, tetapi hakim harus berdasarkan hukum
objektif atau materiil yang hidup dalam masyarakat.
Menurut Sudikno Mertokusumo ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan
penemuan hukum, yaitu:
a) Rechtsvorming (Pembentukan Hukum) yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang
berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh Pembentuk Undangundang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau
putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para
hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.
b) Rechtstoepassing (Penerapan Hukum) yaitu menerapkan peraturan hukum yang abtrak
sifatnya pada peristiwanya. untuk itu peristiwa konkrit harus dijadikan peristiwa
hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.
c) Rechtshandhaving (Pelaksanaan Hukum) yaitu menjalankan hukum baik ada sengketa
atau pelanggaran maupun tanpa pelanggaran.
d) Rechtsshepping (Pengciptaan Hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada
kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada.
e) Rechtsvinding (penemuan hukum atau law making) dalam arti bahwa bukan hukumnya
tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan.
Hukum tidak selalu berupa kaedah (das sollen) baik tetulis ataupun tidak tertulis, tetapi
dapat juga berupa perilaku atau peristiwa (das sein).
Penemuan


hukum

(rechtsvinding)

dengan

pembentukan

hukum

(rechtsvorming)

mempunyai perbedaan. Rechtsvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi
hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan. Sedangkan
rechtsvorming dalam arti hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum,
sehingga terdapat penciptaan hukum juga.

Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa

hukum konkret. Menurut ajaran hukum fungsional yang penting ialah pertanyaan bagaimana
dalam situasi tertentu dapat diketemukan pemecahannya yang paling baik yang sesuai dengan
kebutuhan kehidupan bersama dan dengan harapan yang hidup diantara para warga masyarakat
terhadap “permainan kemasyarakatan” yang dikuasai oleh “aturan main”. Disini bukan hasil
penemuan hukum yang merupakan titik sentral, walaupun tujuannya adalah menghasilkan
putusan, melainkan metode yang digunakan.
Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa
perilaku atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku itulah harus
diketemukan atau digali kaedah atau hukumnya. Melakukan penciptaan hukum untuk mengisi
kekosongan hukum adalah suatu hal yang tepat dalam hal menyelesaikan perkara yang tidak ada
hukumnya (peraturan perundang-undangan). Hal ini adalah suatu kenyataan bahwa pembuat
undang-undang hanya menetapkan peraturan hukum yang bersifat umum, sehingga
pertimbangan untuk hal-hal yang konkret diserahkan kepada hakim. Selain itu pembuat undangundang senantiasa tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, sehingga terjadi suatu
keadaan sedemikian rupa, adanya hal-hal baru dalam kehidupan masyarakat yang tidak ada
peraturan hukumnya. Ini artinya ada kekosongan hukum dalam sistem hukum yang harus diisi
oleh hakim Dalam melakukan penemuan hokum ada beberapa metode yang dapat dilakukan
hakim yaitu: melalui interpretasi dan konstruksi hokum.
Penafsiran Hukum
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang
dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.

Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.
Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan
bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.
Adapun macam-macam penafsiran dapat digolongkan sebgai berikut:
a. Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang
paling

sederhana

untukmengetahui

makna

ketentuan

undang-undang

dengan


menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut
bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca undang-undang. Di
sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari
yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode obyektif.
b. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna undang-undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini
undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi,
diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak
perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut
dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan
hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi
dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan
bersama waktu sekarang. Interpretasi teleologis ini biasa juga disebut dengan
interpretasi sosiologis, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undangundang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
c. Interpretasi Sistematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan
peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri
lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Setiap undang-undang
merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Metode interpretasi

sistematis ini adalah merupakan metode yang menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya
dengan undang-undang lain, metode ini biasa pula disebut dengan interpretasi logis.
d. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan
atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai
interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan penjelasan menurut
terjadinya undang-undang.
Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah
undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut

sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang
dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
e. Interpretasi Otentik atau penafsiran resmi
Interpretasi yang dilakukn oleh pembuat Undang-Undang sendiri, terhadap
pengertian-pengertian yang terdaapat di dalam undang-undang.
f. Interpretasi Interdisipliner
Interpretasi ini biasa dilakukan dalam suatu analisa masalah yang menyangkut
berbagai disiplin ilmi hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu
hukum;

g. Interpretasi Multidisipliner
Berbeda dengan penafsiran interdispliner yang berada di dalam rumpun disiplin
ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga
mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan lain
perkataan, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin
imu.
Konstruksi Hukum
Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum
dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi dari
analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi Argumentum a Contrario.
a) Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio ledis
(genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain
yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu.
Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan
suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur
dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan
perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian
memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang

sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan

yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan
hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus
hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian
bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan
perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum crimen sine lege).
Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik
baru.
Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum memasukkan suatu perkara
kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya
tidak dibuat untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.
b) Konstruksi Penghalusan Hukum
Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara,
peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk
menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan.
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana
adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum
tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak

dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari
konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu
peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru
mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat
restriktif).
c) Argumentum a Contrario
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan
yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara
yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu.
Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang
positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang
dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada

kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin menerapkan aturan tertentu
dalam perkara yang sedang dihadapinya.
d) fiksi hukum (fictio juris)
Dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan
antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu
personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima
dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah
berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai
fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih diakui oleh dan
digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya
bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai
demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.