MAKALAH WILAYAH NEGARA INDONESIA DI SUSU

MAKALAH
WILAYAH NEGARA INDONESIA

DI SUSUN OLEH :
Anggarasakti Oktaviano Adjiputra
X – MIA 6

KATA PENGANTAR

Asslamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat iman dan nikmat islam kepada kita, tak lupa shalawat beserta salam
kami limpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini saya selaku penulis mencoba untuk membuat makalah
tentang Wilayah Negara Indonesia.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pembaca. Apabila
dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan, saya mohon maaf. Atas perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.

Bekasi, 21 November 2016


Anggarasakti O.A

BAB I
PENDAHULUAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu
dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas Otonomi dan tugas
pembantuan.
Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia menurut Undang Undang Dasar 1945 secara jelas
mengatur adanya pembagian Daerah dengan susunan pemerintahannya yang bersifat otonom
yang ditetapkan dengan Undang-undang. Istilah yang bersifat otonom ini, memberikan
keleluasaan kepada Daerah untuk mengatur, mengurus serta menyelenggarakan sendiri urusan
pemerintahan menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan
(medebewind).
Hal ini ditekankan pada percepatan terwujudnya tingkat kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman Daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian Otonomi kepada Daerah merupakan penjabaran dari Pasal 18 UUD 1945 yang

kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang pada perkembangannya digantikan dengan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Nilai dasar yang terkandung dalam Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 adalah dalam Pasal 10 mengenai pembagian urusan
pemerintahan. Pasal 10 ayat (1) menjelaskan bahwa “Pemerintah Daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Selanjutnya ayat (2) menjelaskan
bahwa “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,
Pemerintahan Daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendri urusan pemerintahan berdasarkan asas Otonomi dan tugas pembantuan”. Kemudian ayat
(3) dijelaskan pula bahwa “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah ialah
kewenangan dalam bidang (a) politik luar negeri, (b) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e)
moneter dan fiscal, (f) serta agama yang masih merupakan kewenangannya Pemerintah Pusat.
Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi atas
Kabupaten dan Kota yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan
Daerah yang diatur dengan Undang-undang.
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Pelaksanaan asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan

kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Konstruksi perwilayahan yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menempatkan Provinsi sebagai Daerah otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi.
Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota
mempunyai keterkaitan dan hubungan hirarkis satu sama lain, baik dalam arti status
kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan. Adanya
pemikiran bahwa Provinsi dengan Kabupaten Kota terlepas satu sama lain, mengingkari prinsipprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 yang secara jelas
telah mengatur secara sistematis antara masing-masing tingkat pemerintahan.

BAB II

PEMBAHASAN
Wilayah negara kesatuan republik indonesia
"Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan UndangUndang".
(Pasal 25A UUD 1945)

Peta Indonesia
Wilayah negara merupakan daerah atau lingkungan yang menunjukkan batas batas
suatu negara, dimana dalam wilayah tersebut negara dapat melaksanakan kekuasaanya,

menjadi tempat berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat untuk mengorganisir
dan menyelenggarakan pemerintahannnya.
Macam – macam Wilayah Negara
Wilayah negara mencakup:
a. Daratan
Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua negara atau
lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya:

1) Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891 menentukan
batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan.

2) Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis
batas tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari
1973.
b. Lautan
Pada awalnya, ada dua konsepsi (pandangan) pokok mengenai wilayah lautan,
yaitures nullius dan res communis.

1). Res nullius adalah konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat
diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi ini dikem-bangkan oleh John

Sheldon (1584 - 1654) dari Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and
Dominion of The Sea.

2). Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu adalah
milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masingmasing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Hugo de Groot (Grotius)
dari Belanda pada tahun 1608 dalarn buku Mare Liberum (Laut Bebas). Karena
konsepsi inilah, kemudian Grotius di anggap sebagai bapak hukum internasional.
Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum yaitu Konferensi
Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB atau United
Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di Jamaica. Konferensi PBB itu
ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi kebangsaan di dunia
tanggal 10 Desember 1982.

Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut :

a. Batas Laut Teritorial
Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya sampai 12
mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.
b. Batas Zona Bersebelahan
Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai adalah batas

zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan
dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-undang bea-cukai, fiskal,
imigrasi, dan ketertiban negara.
c. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur
dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak
menggali kekayaan alam lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain
bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan
pipa di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan
asing yang kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya.
d. Batas Landas Benua
Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil laut.
Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan eksploitasi,
dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.
c. Udara
Pada saat ini, belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di
ruang udara. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi
Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan
eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya. Mengenai ruang udara (air space), di
kalangan para ahli masih terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak

ketinggian di ruang udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut Undangundang No. 20 Tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang
termasuk orbit geo-stationer adalah 35.761 km. Sebagai acuan, berikut ini akan
dikemukakan beberapa pendapat para ahli mengenai batas wilayah udara sebagai
berikut;
a. Lee
Lee berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang dipasang
di darat dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar jarak tembak itu,
harus dinyatakan sebagai udara bebas, dalam arti dapat dilalui oleh semua pesawat
udara negara mana pun.
b. Van Holzen Dorf
Holzen menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah 1.000 meter dari
titik permukaan bumi yang tertinggi.
c. Henrich's
Menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang atmosfir selama masih terdapat
gas atau partikel-partikel udara atau pada ketinggian 196 mil. Di luar atmosfir, negara
sudah tidak lagi mempunyai kedaulatan.
Di samping pendapat para ahli tentang batas wilayah udara ada beberapa teori
tentang konsepsi wiiayah udara yang dikenal pada saat ini. Teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut;


a. Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory
Penganut teori ini terbagi dalam dua aliran, yaitu kebebasan ruang udara tanpa batas
dan kebebasan udara terbatas.
1) Kebebasan ruang udara tanpa batas. Menurut aiiran ini, ruang udara itu bebas dan
dapat digunakan oleh siapa pun. Tidak ada riegara yang mempunyai hak dan kedaulatan
di ruang udara,
2) Kebebasan udara terbatas, terbagi menjadi dua. Hasil sidang Institute de
Droit International pada sidangnya di Gent (1906), Verona (1910) dan Madrid (1911).

a) Setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu untuk memeiihara
keamanan dan keselamatannya.

b) Negara kolong (negara bawah, subjacent state) hanya mempunyai hak
terhadap wilayah / zona teritorial.
b. Teori Negara Berdaulat di Udara (The Air Sovereignity)
Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara harus terbatas.

1) Teori Keamanan. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai
kedaulatan atas wilayah udaranya sampai yang diperlukan untuk menjaga
keamanannya. Teori ini dikemukakan oleh Fauchille pada tahun 1901 yang menetapkan

ketinggian wiiayah udara adalah 1.500 m. Namun pada tahun 1910 ketinggian itu
diturunkan menjadi 500 m.

2) Teori Pengawasan Cooper (Cooper's Control Theory). Menurut Cooper
(1951), Kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan
untuk mengawasi ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara fisik dan ilmiah,

3) Teori Udara (Schacter). Menurut teori ini, wiiayah udara itu haruslah
sampai suatu ketinggian di mana udara masih cukup mampu mengangkat
(mengapungkan) balon dan pesawat udara.
d. Daerah Ekstrateritorial
Daerah Ekstrateritorial adalah daerah atau wilayah kekuasaan hukum suatu negara
yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Negara lain. Berdasarkan hukum
internasional yang mengacu pada hasil Reglemen dalam Kongres Wina tahun 1815 dan
Kongres Aachen tahun 1818, pada perwakilan diplomatik setiap negara terdapat
daerah ekstrateritorial.
Di daerah ekstrateritorial berlaku larangan bagi alat negara, seperti polisi dan
pejabat kehakiman, untuk masuk tanpa izin resmi pihak kedutaan. Daerah itu juga bebas
dari pengawasan dan sensor terhadap setiap kegiatan yang ada dan selama di dalam
wilayah perwakilan tersebut.

Daerah ekstrateritorial dapat juga diberlakukan pada kapal-kapal laut yang berlayar
di laut terbuka di bawah bendera suatu negara tertentu.
Batas Wilayah Negara
Penentuan batas wilayah negara, baik yang berupa daratan dan atau lautan (perairan),
lazim dibuat dalam bentuk perjanjian (traktat) bilateral serta multilateral. Batas antara
satu negara dengan negara lain dapat berupa batas alam (sungai, danau, pegunungan,
atau lembah) dan batas buatan, misalnya pagar tembok, pagar kawat berduri, dan tiang-

tiang tembok. Ada juga negara yang menggunakan batas menurut geofisika berupa garis
lintang.
Batas suatu wilayah negara yang jelas sangat penting artinya bagi keamanan dan
kedaulatan suatu negara dalam segala bentuknya. Kepentingan itu juga berkaitan
dengan pemanfaatan kekayaan alam, baik di darat maupun di laut, pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan negara, dan pemberian status orang-orang yang ada di
dalam negara bersangkutan.
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai perbatasan darat dengan 3 (tiga)
negara tetangga (Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste) serta 11 perbatasan laut
dengan negara tetangga (India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau,
Federal State of Micronesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Australia).
Adapun perbatasan udara mengikuti perbatasan darat dan perbatasan teritorial laut

antar negara. Hingga saat ini penetapan batas dengan negara tetangga masih belum
semua dapat diselesaikan. Permasalahan penetapan perbatasan negara saat ini masih
ada yang secara intensif sedang dirundingkan dan masih ada yang belum dirundingkan.
Kondisi situasi demikian menjadi suatu bentuk ancaman, tantangan, hambatan yang
dapat mengganggu kedaulatan hak berdaulat NKRI.
Permasalahan perbatasan yang muncul dari luar (eksternal) adalah: adanya
berbagai pelanggaran wilayah darat, wilayah laut dan wilayah udara kedaulatan NKRI.
Disini rawan terjadi kegiatan illegal seperti:
1.
illegal logging,
2.
illegal fishing,
3.
illegal trading,
4.
illegal traficking dan
5.
trans-national crime
Hal tersebut merupakan bentuk ancaman faktual disekitar perbatasan yang akan dapat
berubah menjadi ancaman potensial apabila pemerintah kurang bijak dalam menangani
permasalahan tersebut.
Sedangkan permasalahan perbatasan yang muncul dari dalam (internal) adalah:
tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan SDM yang masih rendah, kurangnya sarana
prasarana infrastruktur dan lain-lain sehingga dapat mengakibatkan kerawanan dan
pengaruh dari negara tetangga.
Perbatasan negara merupakan manifestasi dari kedaulatan wilayah suatu negara,
dan mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan,
pemanfaatan sumber kekayaan alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah.
Idealnya wilayah perbatasan juga sekaligus berfungsi sebagai “frontier” atau sebagai
wilayah yang dapat untuk memperluas pengaruh (sphere of influence) dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan terhadap negara-negara
disekitarnya, sehingga pembangunan wilayah perbatasan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional yang meliputi semua aspek kehidupan.
Oleh karena itu wilayah perbatasan bukan merupakan bidang masalah tunggal
tetapi merupakan masalah multidemensi yang memerlukan dukungan politik nasional
untuk mengatasinya.

Kementerian Luar Negeri sebagai ujung tombak pemerintah bagi penyelesaian
batas wilayah dengan negara-negara tetangga, bersama dengan kementeriankementerian dan lembaga terkait lainnya turut serta merumuskan kebijakan dan hal-hal
teknis yang diperlukan untuk menghadapi perundingan-perundingan dengan negaranegara tetangga.
Selain itu, pemerintah telah berupaya untuk menggunakan diplomasi dan perundingan
yang lebih baik bagi penyelesaian batas wilayah yang belum tuntas dengan negaranegara tetangga, dan upaya tersebut juga untuk mencegah terjadinya ketegangan di
batas wilayah negara. Untuk itu, masalah perbatasan hanya bisa diselesaikan oleh
negara-negara tersebut yang terkait langsung dengan kepentingannya, sehingga
permasalahan batas wilayah tidak bisa diselesaikan oleh salah satu negara saja tetapi
melibatkan negara-negara lainnya. Dengan demikian setiap ada permasalahan terkait
masalah batas wilayah negara diharapkan dapat diselesaikan dengan cara diplomasi
atau perundingan-perundingan walaupun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Negara Kesatuan
Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan dimasukan
kedalam UNCLOS III 1982, terutama pada pasal 46. Dalam pasal tersebut, disebutkan
bahwa, “Negara Kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih
kepulauan
dan
dapat
mencakup
pulau-pulau
lain”.
Sedangkan
pengertian kepulauan disebutkan sebagai, “ kepulauan” berarti suatu gugusan pulau,
termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang
hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan
wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang
hakiki, atau yang secara historis diangap sebagai demikian.” Dan dalam sejarah hukum
laut Indonesia sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957, yaitu pernyataan Wilayah
Perairan Indonesia:
“Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk daratan negara RI dengan tidak memandang luas atau
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan RI dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah
kedaulatan mutlak daripada negara RI”.
Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesiadisebutkan bahwa, “Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.” Sementara
itu, dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982
yang berisi 9 pasal, yang berisi antara lain: Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara
kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan,
penetapan perairan pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas damai melalui
perairan kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan
pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan.
Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan penggunaan istilah
negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa,
“negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri satu atau lebih
kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal
46 butir (a) tersebut adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda

artinya dengan definisi negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan.
Hal ini dikarenakan, dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu
gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud
alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat sehingga pulau-pulau,
perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatui kesatuan geografis, ekonomi
dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Dengan
kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan
(archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri (Agoes 2004).
Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945
Bab IXA tentang wilayah negara. Pada pasal 25 A berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah
negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batas-batasnya
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu, dalam pasal 2 UndangUndang No 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia, pemerintah Indonesia secara tegas
menyatakan bahwa negara RI adalah negara kepulauan.
Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvesni Hukum laut PBB 1982, tidak
semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulau-pulau dapat di anggap
sebagai negara kepulauan. Dari peraturan peundang-undangan nasional yang
dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang menetapkan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan negara kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda,
Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji, Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives,
Kepulauan Marshall, PNG, Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome
dan Principe, Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu (Agoes 2004).
Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI mengeluarkan PP No 38
tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan
Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah menarik garis pangkal
kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Sedangkan penarikan garis pangkal
kepulauan dilakukan dengan menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal
biasa garis pangkal lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan
kuala, serta garis penutup pada pelabuhan.
Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya pulau-pulau terluar
yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih menyisakan permasalahan.
Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia telah mamberikan pelajaran kepada
Indonesia dimuka Internasional. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya
sekedar
memilki
tanpa
mempunyai
kemampuan
untuk
menguasai
dan
memberdayakannya. Berkaca dari maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar,
pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Perpres tersebut bertujuan untuk:
1.
Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan
bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan.
2.
Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan.
3.
Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi ancaman
keamanan yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan ilegal, penebangan
kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan perempuan (trafficking), imigran gelap,
penyelundupan manusia, penyelendupan senjata dan bahan peledak, peredaran

narkotika, pintu masuk terrorisme, serta potensi konflik sosial dan politik. Hal ini penting
agar kesaradaran untuk menjaga pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualupulau kecil diperbatasan tidak dianggap sekedar halaman belakang.

BAB III
PENUTUP
Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya
pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan
makalah ini, saya banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan
kritik saran yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi saya dan para pembaca. Aamiin