Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Atopi dan Penyakit Alergi pada Anak

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Atopi adalah kecenderungan seseorang dan atau keluarga, biasanya pada
masa kanak-kanak atau remaja, untuk tersensitisasi dan memproduksi IgE
sebagai respons terhadap paparan alergen. Istilah atopi tidak dapat
digunakan

sampai

terdokumentasi

adanya

sensitisasi

IgE

dengan


pemeriksaan IgE serum atau uji tusuk kulit positif. Uji tusuk kulit positif atau
adanya IgE serum terhadap alergen yang umum, terutama jika paparan
bukan dosis rendah atau terjadi melalui mukosa membran, bukan merupakan
kriteria diagnostik untuk atopi.1
Penyakit alergi adalah penyakit imunologik yang timbul akibat
penyimpangan respon imun terhadap alergen lingkungan dengan prediposisi
genetik mengalami atopi. Penyakit alergi pada anak terdiri dari asma bronkial,
RA dan DA.15
2.1.1. Asma Bronkial
Asma bronkial dikarakteristikkan dengan obstruksi saluran nafas reversibel,
hiperresponsif dan inflamasi kronis saluran nafas. Asma yang disebabkan
reaksi imunologi disebut sebagai asma alergik. Kasus asma pada anak 80%
diperantarai IgE. Mekanisme imunologik lain dalam memulai inflamasi yang
berkaitan masih diteliti. Mekanisme asma nonalergik belum dijelaskan secara

Universitas Sumatera Utara

pasti, meskipun perubahan inflamasi yang sama dapat terjadi pada kedua
bentuk asma.15
2.1.2. Rinitis Alergik

Simptom hipersensitivitas pada hidung, misalnya gatal, bersin, hipersekresi
atau tersumbat, jika diperantarai mekanisme imunologik, disebut RA.1 RA
disebabkan inflamasi pada saluran nafas atas setelah paparan alergen dan
dapat berkaitan dengan gejala alergi pada mata.15
2.1.3. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi

kulit berulang, kronis yang

berkaitan dengan pruritus bermakna. DA sering merupakan manifestasi awal
allergic march sebelum terjadinya RA dan asma bronkial.15 Sebagian besar
anak dengan DA menunjukkan peningkatan serum IgE dan uji tusuk kulit
positif terhadap alergen sehingga dianggap diperantarai IgE. Meskipun
demikian patogenesis DA lebih kompleks, melibatkan susceptibility gen,
faktor lingkungan pencetus dan perubahan respons imun.16

2.2. Mekanisme Respons Imun
Penyakit alergi kini diketahui sebagai salah satu bentuk inflamasi kronis
dengan dasar kelainan respons hipersensitivitas IgE dan inflamasi jaringan
spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal limfosit T, eosinofil serta monosit

dan makrofag. Di antara sel pada sistem imun, sel T memainkan peran utama
dalam respons inflamasi.15,17 Subset sel T, disebut sel T helper naif (CD4+)
atau Th, dapat dibedakan menjadi dua subtipe berdasarkan sitokin yang

Universitas Sumatera Utara

dihasilkannya, yaitu sel Th1 dan Th2. Regulasi yang tepat sel Th penting
dalam pengendalian dan pencegahan berbagai penyakit. Th1 memproduksi
interleukin (IL)-2, interferon-γ (IFN-γ), dan tumor necrosis factor-β (TNF-β).
Th2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, serta IL-13.18
Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respons imun.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) akan
menangkap alergen. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul human leuckocyte antigens
(HLA) kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel Th. Kemudian APC akan melepas sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2 serta
memproduksi IL-2 yang menstimulasi Th2 memproduksi IL lain. Aktivasi ini
diperkuat IL-5 dan IL-6. Selanjutnya IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B (Fc), sehingga sel limfosit B menjadi

aktif dan akan memproduksi IgE.17,18
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mediator yaitu sel mast atau basofil (FcεR) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Bila individu yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE spesifik akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi sel mast dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Universitas Sumatera Utara

Mediators, antara lain prostaglandin, leukotrien, bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Mediatormediator ini akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi.15,17,19
2.3. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Terjadinya Penyakit Alergi
Pada individu normal pola sitokin Th1 dan Th2 berada dalam keseimbangan
sedangkan pada penderita atopi, keseimbangan lebih cenderung pada pola
sitokin Th2 dan produksi IgE.15 Meskipun mempunyai dasar genetika yang
kuat, kecenderungan ini dipengaruhi lingkungan termasuk perubahan
kebiasaan yang berkaitan dengan higienis, diet dan gaya hidup (sedentarism,

penggunaan antibiotik, kurangnya ventilasi pada tempat tinggal) dan faktor
lain. Faktor risiko ini secara ringkas bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
faktor yang berhubungan dengan penurunan jumlah mikroba dan faktor lain
yang bersifat nonmikroba, sebagaimana yang terlihat pada tabel 2.1 dan 2.2
di bawah.20,21

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Faktor yang berhubungan dengan mikroba 21
Faktor mikroba yang berhubungan dengan alergi dan atopi
Faktor- faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan proses
kelahiran
Jumlah anggota keluarga
Vaksinasi
Infeksi dan penggunaan antibiotik
Flora usus, prebiotik dan probiotik
Hewan peliharaan
Tabel 2.2 Faktor yang berhubungan dengan nonmikroba 21
Faktor nonmikroba yang berhubungan dengan alergi dan atopi
Riwayat keluarga (genetik)

Faktor hormonal
Air susu ibu (ASI) atau susu formula dan waktu pengenalan
makanan padat
Diet, obesitas, sedentarism
Penyakit autoimun
Tingkat sosioekonomi dan gaya hidup barat
Tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan)
Polusi lingkungan
Kondisi tempat tinggal
Paparan asap rokok
Faktor iklim
Stres

Universitas Sumatera Utara

2.4. Uji Tusuk Kulit
Uji tusuk kulit atau skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat
diagnosis reaksi alergi diperantarai IgE yang telah digunakan secara
universal. Uji tusuk kulit merupakan pemeriksaan yang relatif sederhana dan
murah. Tehnik ini menggunakan ekstrak alergen dan jarum yang telah

distandarisasi. Pada individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu,
pemberian sejumlah kecil alergen cair yang ditusukkan dengan jarum pada
epidermis superfisial fleksor lengan bawah cukup untuk menyebabkan
terjadinya reaksi sensitifitas.22,23
Saat IgE di sirkulasi darah masuk dan terikat pada reseptor IgE pada
sel mast kulit maka sel mast akan mengeluarkan histamin dan mediator
lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, akibat timbulnya kemerahan (flare) dan indurasi (wheal)
pada kulit.21 Sensitifitas uji tusuk kulit ini mencapai 90%. Uji ini bisa dilakukan
untuk usia mulai 1 bulan dan tetap valid sampai usia 65 tahun.24
Pada uji tusuk kulit digunakan histamin 1% sebagai kontrol positif dan
pelarut gliserin sebagai kontrol negatif. Kontrol negatif dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan reaksi dermatografisme akibat trauma jarum.
Dermatografisme adalah gambaran yang tampak pada kulit yang timbul
akibat goresan pada kulit yang ditandai dengan adanya garis putih pada kulit
yang terkena goresan tersebut.17

Universitas Sumatera Utara

2.5. Kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC)
Kuesioner ISAAC adalah kuesioner yang dibuat untuk memaksimalkan
penelitian epidemiologi asma dan penyakit alergi lain melalui suatu
metodologi standar dan memfasilitasi kerjasama internasional. Tujuan ISAAC
adalah menilai prevalensi dan tingkat keparahan asma, RA dan DA pada
anak-anak yang tinggal di tempat yang berbeda dan untuk membuat
perbandingan di dalam dan antar negara, menilai kecenderungan prevalensi
dan tingkat keparahan penyakit di masa depan serta mempersiapkan
kerangka kerja untuk penelitian lebih lanjut terhadap etiologi genetik, gaya
hidup, faktor lingkungan dan perawatan medis.25

2.6. Pengaruh Jaringan Adiposa terhadap Sistem Imun
2.6.1. Jaringan adiposa
Secara fungsi biologis jaringan adiposa dapat dibagi menjadi 2 jenis utama,
yaitu white adipose tissue (WAT) dan brown adipose tissue. WAT merupakan
jaringan adiposa utama dan tempat penyimpanan energi, sedangkan brown
adipose tissue berperan pada termoregulasi nonshivering, terutama pada
neonatus. Jaringan yang sering disebut sebagai lemak adalah WAT yang
terdapat pada daerah subkutan dan visera, serta terdiri dari berbagai jenis
sel. Adiposit merupakan sel paling banyak yang terdapat pada WAT. Jenis

sel lain yang terdapat pada WAT adalah fraksi stromavaskular yang terdiri
dari makrofag.26,27

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Hormon dan sitokin pada jaringan adiposa
Saat ini WAT juga dikenal sebagai organ endokrin penting, ia mensekresikan
peptida bioaktif, disebut adipokin, terutama leptin dan adiponektin. Adiposit
juga mensekresikan sitokin, seperti tumor necrosis factor α (TNF-α), IL-6, IL10 dan IL-1β. Ekspresi berbagai gen inflamasi meningkat pada jaringan
adiposa saat jumlah jaringan adiposa meningkat.26,27
Leptin
Leptin merupakan protein dengan berat 16 kD yang pembentukannya diatur
gen ob dan gen db yang mengatur reseptor leptin. Gen ob secara eksklusif
diekspresikan di jaringan adiposa, sedangkan gen db diekspresikan di
hipotalamus dan beberapa tempat lain. Sumber utama leptin adalah jaringan
adiposa dan jumlahnya di sirkulasi berkorelasi dengan massa jaringan
adiposa. Leptin memiliki pengaruh pada hipotalamus dengan merangsang
kenyang

dan


meningkatkan

metabolisme

energi.

Selain

itu,

leptin

mempengaruhi produksi sitokin limfosit T, mengubah fenotip ke arah respons
Th1 yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi. Leptin juga
melindungi limfosit T dari apoptosis, mengatur proliferasi dan aktivasi sel T,
merekrut dan mengaktifkan monosit dan makrofag serta mempromosikan
angiogenesis.26,27
Adiponektin
Adiponektin merupakan adipokin di sirkulasi dengan jumlah terbanyak.

Adipokin ini sangat berperan pada regulasi sensitivitas insulin. Adiponektin
berasosiasi negatif dengan obesitas karena konsentrasinya meningkat

Universitas Sumatera Utara

dengan

penurunan

berat

badan.

Adiponektin,

mirip

dengan

leptin,

mempengaruhi metabolisme energi, tetapi memiliki efek antiinflamasi.26,27
Interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α
Selain leptin dan adiponektin, IL-6 dan TNF-α merupakan dua sitokin yang
paling meningkat kadarnya pada serum dan WAT pada obesitas. Normalnya
30% IL-6 di sirkulasi dihasilkan WAT (baik adiposit maupun makrofag). Kadar
IL-6 yang tinggi meningkatkan protein fase akut seperti CRP.26
Tumor necrosis factor-α (TNF-α) adalah salah satu sitokin utama yang
dihasilkan oleh jaringan adiposa, selain juga oleh sel makrofag, sel limfoid,
sel mast, sel endotel, fibroblas dan jaringan syaraf, yang meningkatkan
produksi sitokin Th2 serta sitokin proinflamasi lainnya. Ekspresi TNF-α dapat
mengatur ekspresi gen lain pada jaringan adiposa sehingga meningkatkan
ekspresi leptin, adiponektin dan IL-6 di adiposit. Kadarnya yang meningkat
dihubungkan dengan penghambatan produksi adiponektin. 26,27

2.7. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Atopi dan Penyakit Alergi
Indeks massa tubuh (IMT) yang dihitung sebagai berat badan (kg) dibagi
tinggi badan (meter) kuadrat merupakan indikator paling banyak digunakan
untuk menilai obesitas dan overweight, di mana WHO mendefinisikan
obesitas jika IMT di atas atau sama dengan persentil 95 menurut usia dan
jenis kelamin pada populasi distribusi, overweight jika IMT berada di atas
atau sama dengan persentil 85 sampai kurang dari persentil 95, normal jika
IMT di persentil 5 sampai kurang dari persentil 85 dan kurang jika kurang dari

Universitas Sumatera Utara

persentil 5. Pada tahun 2006, WHO menggunakan Z score untuk menilai IMT,
di mana Z score untuk usia 0 sampai 5 tahun lebih atau sama dengan +3
adalah obesitas, lebih atau sama dengan +2 untuk overweight dan lebih
atau sama dengan +1 untuk berpotensi gizi lebih. Sedangkan untuk usia 5
sampai 19 tahun Z score lebih atau sama dengan +1 diklasifikasikan sebagai
overweight dan Z score lebih dari atau sama dengan +2 sebagai obesitas.
Indikator antropometri lain yang banyak digunakan adalah berat badan
menurut tinggi badan di atas persentil 90 atau 120% dibandingkan berat
badan ideal dan dan tebal lipatan kulit otot trisep di atas persentil ke-85.28
Jaringan lemak yang meningkat merupakan sumber mediator inflamasi
sistemik kronis derajat rendah yang berhubungan erat dengan penyakit alergi
dan

diperkirakan

memiliki

pengaruh

pada

patofisiologi

alergi

serta

dikarakteristikkan dengan ketidakseimbangan sitokin pro- dan antiinflamasi
yang berasal dari jaringan adiposa.14,26 Pada obesitas dan overweight terjadi
peningkatan produksi leptin dan dapat terjadi resisten leptin relatif.14,29 Leptin
ditransportasikan oleh saturable transporter melewati sawar darah otak di
nukleus arkuata dan berikatan dengan reseptor spesifik. Resistensi yang
timbul dapat disebabkan oleh gangguan transport leptin melewati sawar
darah otak dan gangguan pada pensinyalan reseptor leptin. Gangguan
transport dapat mendahului defek reseptor atau pascareseptor serta semakin
memburuk dengan bertambahnya obesitas dan pada kadar tertentu bersifat
reversibel.30-32 Resistensi leptin akan menyebabkan leptin tidak dapat bekerja

Universitas Sumatera Utara

pada reseptornya sehingga menyebabkan supresi dari produksi sitokin Th1
dan sebaliknya akan terjadi peningkatan sekresi sitokin Th2.14,31,32
Selain itu, peningkatan jaringan lemak pada obesitas dan overweight
berkaitan dengan nekrosis adiposit. Hal ini menyebabkan jumlah makrofag
akan meningkat, mengelilingi adiposit yang nekrosis ini dan menjadi aktif,
baik secara morfologi (giant cell) maupun fungsional (produksi sitokin)
dengan mensekresikan TNF-α dan IL-6 yang menyebabkan penurunan
produksi lokal adiponektin.26,33
Hubungan IMT dan asma pada anak telah banyak diteliti meskipun
penelitian tentang hubungannya dengan penyakit alergi lain masih sedikit dan
kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan obesitas berkaitan dengan
asma nonatopi, beberapa berkaitan dengan asma atopi dan beberapa lainnya
dengan penyakit alergi lain.34-38 Penelitian di Vietnam menunjukkan
prevalensi alergi pada anak dengan IMT overweight dan obesitas mencapai
57,9% sedangkan pada anak dengan IMT normoweight 50,5%.37 Hubungan
ini dipengaruhi usia, jenis kelamin dan fenotip atopik, yang sering lebih kuat
pada onset pubertas anak perempuan.38-40 Hal ini dikaitkan dengan pengaruh
perubahan hormonal selama pre- atau postpubertal pada laki-laki dan
perempuan, di mana pada prepubertal testosteron meningkatkan sekresi
leptin, sedangkan estrogen menurunkannya. Serum leptin relatif rendah pada
usia prepubertas dan meningkat bertahap pada kedua jenis kelamin sebelum
onset pubertas, namun selanjutnya peningkatan bermakna saat pubertas
terjadi pada wanita dan menurun pada anak laki-laki.38

Universitas Sumatera Utara

Hubungan IMT dengan insiden dan keparahan asma telah banyak
dilaporkan. Meskipun asma dapat menyebabkan peningkatan berat badan
dengan meningkatkan sedentary lifestyle dan penggunaan kortikosteroid, hal
ini tidak dapat menjelaskan hubungan pada kebanyakan pasien, di mana
66% pasien telah mengalami obesitas atau overweight

saat didiagnosis

asma atau pertama kali mengalami gejala.39 Penelitian menunjukkan adanya
peningkatan kadar leptin, perubahan respons sel T, produksi IFN-γ dan
jumlah sel mast di trakea serta peningkatan hiperreaktivitas jalan nafas dan
produksi sitokin Th2 pada peningkatan jaringan lemak. Selain itu penurunan
adiponektin pada obesitas dan overweight terkait dengan hubungan antara
obesitas dan overweight dengan asma.41
Penelitian tentang hubungan IMT dan penyakit alergi lain masih
terbatas dan memberikan hasil yang berbeda-beda. Penelitian di New York
menunjukkan obesitas yang dimulai sebelum usia 5 tahun dan terjadi lebih
dari 2,5 tahun merupakan faktor risiko terjadinya DA serta berkaitan erat
dengan tingkat keparahan dan hal ini berkaitan dengan sistem imun yang
immature.42 Demikian pula penelitian pada anak usia sekolah di Jepang yang
menunjukkan obesitas berkaitan dengan tingkat keparahan DA dan KA tapi
tidak dengan RA.43 Penelitian pada anak remaja di Korea Selatan
menunjukkan overweight berhubungan dengan peningkatan prevalensi
wheezing dan atopi.44 Penelitian lain pada anak usia sekolah di Jerman
menunjukkan hubungan tingginya kadar leptin dan rendahnya kadar
adiponektin dengan DA.40 Penelitian di Vietnam pada anak usia 12 sampai

Universitas Sumatera Utara

17 tahun menunjukkan bahwa obesitas berhubungan dengan RA tapi tidak
dengan penyakit alergi lain.39

Universitas Sumatera Utara

2.9. Kerangka Konseptual
IMT

Lingkungan

obesitas

overweight

normoweight

Malnutrisi

Jumlah saudara
kandung
Penimbunan jaringan
adiposa berlebih
Sanitasi

Sosioekonomi

Hiperleptinemia dan
gangguan reseptor
leptin

Imunisasi
Paparan asap
rokok

Hewan peliharaan

Air susu ibu

Penggunaan
antibiotika

Uji Tusuk kulit

Gangguan
keseimbangan Th1 dan
Th2

Genetik

Supresi sitokin sel Th1
Proliferasi sel Th2
Peningkatan produksi
IgE

Atopi

Riwayat
keluarga

Paparan Alergen

Kuesioner ISAAC

Penyakit alergi

: yang diamati dalam penelitian

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara