STABILITAS KEBIJAKAN IMPOR BERAS DAN KES

STABILITAS KEBIJAKAN IMPOR BERAS DAN KESEJAHTERAAN
PETANI

Desi Annisa Putri

Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipatiukur
No. 112-114, Bandung, 40132, Indonesia

Desi.kyu@gmail.com

Abstract

This study aimed to analyze the balance between rice import policy and the welfare of farmers in Indonesia. Rice is the
staple food, to spearhead the regional and national food security. There is an expression in Indonesian society that
says, "if you do not eat rice, it has not been said to eat". From these expressions, we can see how our people behave
towards food. Rice is the staple food which is indispensable in our society. In fact, if traced to the affected areas, the
staple food of Indonesian people actually many kinds, such as sago, cassava, maize, cassava, breadfruit, and much
more.

Keywords: Import, Rice, & Farmers


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keseimbangan antara kebijakan impor beras dan kesejateraan petani di
Indonesia. Beras merupakan makanan pokok, menjadi ujung tombak ketahanan pangan wilayah dan nasional. Ada
sebuah ungkapan di masyarakat Indonesia yang mengatakan, “jika tidak makan nasi, maka belum dikatakan makan”.
Dari ungkapan tersebut, kita bisa melihat bagaimana cara masyarakat kita bersikap terhadap pangan. Beras merupakan
makanan pokok yang tergantikan dalam masyarakat kita. Padahal jika ditelusuri ke daerah-daerah, makanan pokok
orang-orang Indonesia sebenarnya banyak macamnya, seperti sagu, singkong, jagung, ketela, sukun, dan masih banyak
lagi yang lainnya.

Kata Kunci: Impor, Beras, & Petani

1.

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Mengingat pentingnya peran pangan
sehingga membutuhkan basis produksi lokal
yang tangguh. Perubahan penawaran pangan

dengan nilai elastisitas penawaran dan
permintaan yang inelastis akan menyebabkan
besarnya fluktuasi harga.1 Impor pangan tanpa
penuh kehati-hatian dapat mengganggu
kesinambungan produsen pangan lokal.
Apalagi harga produk pangan impor pada
umumnya cenderung lebih murah akibat
distorsi dengan berbagai bantuan pemerintah
negara eksportir pangan.2
Fenomena produksi, perdagangan dan
konsumsi pangan di atas menuntut peran
pemerintah agar produsen dan konsumen
domestik dapat dilindungi. Peran tersebut
diharapkan mampu menstabilkan harga pangan
yang dapat dilakukan melalui kebijakan harga
pangan agar mengurangi ketidak-pastian
petani dan menjamin harga pangan menjadi
lebih stabil bagi konsumen.3
Namun dalam pelaksanaan kebijakan
harga pangan menghadapi dua masalah utama.

Masalah eksternal adalah lingkungan strategis
perdagangan internasional cenderung semakin
meningkatnya derajat liberalisasi. Masalah
internal adalah semakin terbatasnya anggaran
pemerintah mendukung pembangunan. Dua
masalah itu menyebabkan masih adanya
inkonsistensi kebijakan. Ada kelompok yang
ingin pemerintah tetap mendukung produksi
pangan domestik, tetapi ada juga yang ingin
menyerahkan
masalah
pangan
pada
mekanisme pasar.
Produksi bahan pangan dinegara yang
sedang
berkembang
mulai
meningkat
meskipun demikian tiap tahun diiringi dengan

meningkatnya
jumlah
penduduk
yang
menimbulkan kekurangan jumlah pangan bagi
masyarakat. Dinegara berkembang kondisi ini
1 Nicholson (2000)
2 Sawit (2003)
3 Eliis (1992)

terjadi pada daerah-daerah rawan miskin dan
biasanya didaerah-daerah terpencil.
Indonesia sebagai salah satu negara
tropis terbesar dan terluas di dunia yang
memiliki cakupan wilayah daratan yang
memiliki luas hingga 1,9 juta kilometer
persegi, sampai hari ini belum bisa memenuhi
kebutuhan pangan masyarakatnya secara
mandiri. Indonesia masih harus mengimpor
bahan pangan dari negara lain. Salah satu

bahan pangan yang harus diimpor Indonesia
untuk
memenuhi
kebutuhan
pangan
masyarakatnya adalah beras.
Ada sebuah ungkapan di masyarakat
Indonesia yang mengatakan, “jika tidak makan
nasi, maka belum dikatakan makan”. Dari
ungkapan tersebut, kita bisa melihat
bagaimana cara masyarakat kita bersikap
terhadap pangan. Beras merupakan makanan
pokok yang tergantikan dalam masyarakat
kita. Padahal jika ditelusuri ke daerah-daerah,
makanan pokok orang-orang Indonesia
sebenarnya banyak macamnya, seperti sagu,
singkong, jagung, ketela, sukun, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Beras bagi banyak penduduk Indonesia
merupakan salah satu makanan pokok yang

tidak tergantikan. Hal tersebut tercermin dari
konsumsi beras masyarakat Indonesia yang
mencapai tingkat tertinggi di Asia dengan
capaian konsumsi yang menembus angka 135140 kilogram beras per orang per tahun.4
Stok bahan pangan untuk kebutuhan
nasional selama jangka satu tahun yang
merupakan kebutuhan dari daerah termasuk
juga provinsi Nusa Tenggara Barat selalu tidak
mencukupi hal menyebabkan pemerintah
mengambil kebijakan mengimpor bahan
pangan sebagai salah satu solusi untuk
menutupi dan mengurangi kekurangan bahan
pangan bagi provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hal dilematis dan senantiasa terjadi dari
tahun ketahun adalah ketika masa panen
terjadi harga bahan pangan cenderung
menurun dan dibawah standar harga pasar
4 Cahyanto (2012)

yang ditetapkan oleh pemerintah melalui

instrument Badan urusan Logistik (BULOG)
dan kadang tak terjual sehingga kerugian
menjadi derita dari sebagian besar masyarakat
tani.
Budaya impor barang terutama bahan
pangan mulai lebih gencar ketika tren pasar
global dan AFTA mulai digulirkan sehingga
impor dapat dilakukan dengan mendapatkan
beberapa kemudahan sehingga kecenderungan
harga bahan pangan impor terhadap bahan
pangan dalam negeri termasuk produk local
cenderung lebih murah.
Impor beras yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, membuat petani tak bisa
menikmati harga dasar yang telah ditetapkan
pemerintah. Bulog (Badan Urusan Logistik)
juga belum terlalu berperan sebagaimana yang
diharapkan sebagai penyangga harga gabah
dan mengamankan harga beras. Selain itu
nasib petani semakin tidak menentu karena

bencana alam seperti banjir atau kekeringan
yang menyebabkan hancurnya persawahan.
Tampaknya nasib petani Indonesia belum
secerah yang diharapkan, hal ini tentunya
bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Impor beras secara tidak langsung
menyudutkan posisi petani di tengah
gencarnya program pemerintah untuk meraih
kembali swasembada pangan yang pernah
disandang Indonesia pada 1984. Impor beras
membawa konsekuensi terhadap turunnya
harga gabah di tingkat petani, disinsentif bagi
petani untuk meningkatkan produktivitas padi,
mengurangi
cadangan
devisa
dan
ketergantungan terhadap pangan luar negeri.5

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari jurnal penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah adanya kebijakan
impor beras?
5 Gede Sedana (2015)

2. Bagaimana keadaan petani dengan
adanya kebijakan impor pangan?
1.3 Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan sebagai
konsep keadilan sosial yang dilaksanakan
dengan tujuan untuk :
1. Membahas kebijakan
yaitu impor pangan.

pemerintah

2. Membahas keseimbangan
beras dan keadaan petani.


impor

1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah untuk
menganalisis bagaimana keseimbangan antara
kebijakan impor beras dan keadaan petani.

2.

Kajian Pustaka
2.1 Teori Kebijakan

Kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku,dicirikan oleh perilaku yang konsisten
dan berulang baik dari yang membuat atau
yang melaksanakan kebijakan tersebut.6
Sedangkan menurut Edi Suharto
kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara

bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.7
2.2 Teori Kesejahteraan
Kesejahteraan sosial merupakan suatu
keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang
layak bagi masyarakat, sehingga mampu
mengembangkan diri dan dapat melaksanakan
fungsi sosialnya yang dapat dilakukan
pemerintah,
pemerintah
daerah
dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial
yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial (UU No 11 Tahun 2009 pasal 1 dan 2).
6 Ealau dan Pewitt (1973)
7 Edi Suharto (2008:7)

Kesejahteraan merupakan suatu hal yang
bersifat subjektif, sehingga setiap keluarga
atau individu di dalamnya yang memiliki
pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda
akan memberikan nilai yang berbeda tentang
faktor-faktor yang menentukan tingkat
kesejahteraan (BKKBN 1992, diacu oleh
Nuryani 2007).
Kesejahteraan menurut Badan Pusat
Statistik (2007) adalah suatu kondisi dimana
seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari
rumah tangga tersebut dapat dipenuhi sesuai
dengan tingkat hidup.
3.

Pembahasan
3.1 Kebijakan Impor Beras
3.1.1

Sejarah Impor Beras

Campur tangan pemerintah dalam
komoditas beras diawali sejak Maret 1933
yaitu di zaman pemerintahan Belanda. Saat itu,
untuk pertama kalinya pemerintah belanda
mengatur kebijakan perberasan, yaitu dengan
cara menghapus impor beras secara bebas serta
membatasi
imopr
secara
lisensi.beras
mempunyai sejarah yang sangat panjang
dalam percaturan ekonomi politik Indonesia.
Hal ini disebabkan keberadaanya sebagai
makanan pokok bagi hampir seluruh
masyarakat Indonesia. Untuk hal itu lah
campur tangan dari pemerintah untuk
menjamin keberadaan beras dengan harga
yang terjangkau selalu dilakukan, termasuk
oleh pemerintahan kolonial Belanda saat itu.8
Pemerintah
kolonial
Belanda
mengintervensi kecukupan pasokan beras
dengan harga terjangkau terhadap komoditi ini
melalui berbagai cara, termasuk dengan
pembangunan infrastruktur dan investasi
teknologi pertanian dalam hal ini produksi.
Sementara dalam sisi stabilitas harga,

pemerintah kolonial juga dari waktu ke waktu
membuka keran impor bila dibutuhkan dan
mentransportasinya dari pulau ke pulau atau
daerah yang membutuhkan, serta mendirikan
suatu lembaga pangan.9 Tanggal 25 April
1939, lahirlah suatu lembaga pangan yang
disebut Voeding Middelen Fonds (VMF).
Lembaga ini berperan dalam menstabilkan
harga beras, yang merupakan cikal bakal dari
Bulog.
Setelah kemerdekaan, beras terus
menjadi komoditas sosial politik strategis
bangsa Indonesia. Namun pada masa era
demokrasi terpimpin, dengan dijadikamya
poltik sebagai panglima, terdapat semacam
pengabaian
keberadaan
keterjangkauan
komoditi beras. Akibatnya, ketiadaan komoditi
ini pada daerah beberapa perkotaan Indonesia
menjadi salah satu alasan jatuhnya rejim
Soekarno pada tahun 1965.
Untuk
mebangkitkan
kepercayaan
masyarakat, pada awal pemerintahan rezim
Orde Baru, membuka keran impor dan bantuan
luar negri untuk impor beras. Setelah
kepercayaan ini diraih, dan stabilitas teraih,
Orde Baru merevitalisasi peran Bulog untuk
menopang harga beras agar terjangkau, dengan
tugas dan struktur organisasi yang diperluas.
Intervensi pemerintah dibidang pertanian
termasuk perberasan diperluas cakupanya ke
sisi produksi dan kesejahteraan petani.
Sepanjang tahun 1970 sampai dengan 1980-an,
investasi besar-besaran pada infrastruktur
pertanian, pengembangan benih unggul,
pestisida dan subsidi pada pupuk petani.
Pembangunan infrastruktur pertanian
dan pengembangan teknik-teknik pertanian,
serta subsidi pada petani ini kemudian dikenal
sebagai the green revolution, revolusi hijau
dibidang pertanian.dari revolusi hijau ini
dihasilkan peningkatan produksi beras secara
besar-besaran, diamana produksi dalam negri
praktis berhasil memenuhi permintaan.

8 “Sejarah Bulog, Sebelum Menjadi Perum”, dalam
http://bulog.co.id/old_website/sejarah.php. , diakses 31
Januari 2017

9 Ibid

Pada puncaknya pada tahun 1984
Indonesia berhasil surplus dari produksi beras,
atau yang dikenal dengan swasembada pangan.
Disaat yang sama revolusi hijau pun
menghasilkan
peningkatan
pendapatan
masyarakat di pedesaan dan memperkecil
ketimpangan antara masyarakat desa dengan
masyarakat kota, walaupun pada saat itu ada
penurunan tingkat produksi pertanian.
Impor yang dilakukan oleh Indonesia itu
dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin
ketersedian stok pangan nasional, agar tidak
terjadi krisis pangan di Indonesia yang bisa
mengakibatkan
mengganggu
kesetabilan
nasional.
3.1.2 Faktor Pendorong Impor Beras
Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat
Statistik menyebutkan bahwa, jumlah beras
impor yang masuk ke Indonesia mencapai 1,4
juta ton. Kalangan eksportir beras diluar negeri
tidak menginginkan pertumbuhan industri
pertanian tanaman pangan berkembang pesat
di Indonesia. Karena jika pertanian tanaman
pangan Indonesia berkembang pesat karena
didukung oleh kebijakan yang tepat, jelas
peluang masuknya beras impor akan semakin
sulit untuk melarang masuknya beras impor
kedalam negeri masih sulit, mengingat
produksi beras yang dihasilkan petani masih
belum mampu memenuhi total kebutuhan
konsumen didalam negeri yang diperkirakan
mencapai sekitar empat juta ton pertahun.
Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Kebijakan mengimpor beras
sebanyak 69.900 ton, sementara pada tahun
2006 dengan alasan untuk memenuhi stok
beras di perum bulog, pemerintah kembali
mengeluarkan izin mengimpor beras sebanyak
110 ribu ton dan hingga batas waktu
pengiriman beras realisasi hanya 83.100 ton.
Sekitar akhir tahun 2005 data perum bulog
menunjukkan stok beras yang dikuasai perum
bulog diperhitungkan tidak akan mencukupi
untuk keperluan penyaluran sampai awal tahun
2006. Untuk mengantisipasi menyusutnya stok
beras di gudang bulog, pemerintah perlu
segera mengimpor bahan pangan pokok

tersebut agar Indonesia terhindar dari krisis
beras awal tahun depan.
Table 1.3 Impor Beras Tahun 2007-2010
Sumber : Badan Pusat Statistik
Tahun
Jumlah
Cif value ($US)
2007
1.406.847.570
467.719.374
2008
289.689.411
124.142.806
2009
250.473.149
108.153.251
2010
687.581.501
360.784.998
Impor
beras
dilakukan
untuk
memperkuat cadangan beras nasional,
cadangan beras yang cukup diperlukan untuk
meujudkan ketahanan pangan dalam rangka
memenuhi hak masyarakat atas pangan.
Memperkuat cadangan beras nasional melalui
impor dilaksanakan secara rutin setiap tahunya
mengindikasikan bahwa Indonesia sudah tidak
lagi berswasembada beras. Ketahanan pangan
di
wujudkan
melalui
impor
beras
menghasilkan suatu kebijakan yang rentan,
yang selalu mengakibatkan pro dan kontra.
Disatu sisi apabila pemerintah tidak
mengimpor beras, Indonesia akan kekurangan
cadangan beras nasioinal yang mengakibatkan
dapat memicu timbulnya krisis pangan yang
dampaknya dapat mengguncang satbilitas
poltik atau ekonomi Indonesia. Tetapi disisi
lain, impor yang dilakukan oleh pemrintah
tersebut berdampak terhadap para petani
Indonesia.
3.2 Pengaruh Kebijakan Impor Beras
terhadap Kesejahteraan Petani
Indonesia merupakan negara agraris, di
mana sektor pertanian memegang peranan
penting dalam tata pembangunan nasional.
Peran yang dilakukan oleh sektor pertanian
antara lain: memberikan pangan untuk seluruh
penduduk, menyumbang devisa negara dari
sektor non migas, dan membuka kesempatan
kerja.
Ketahanan pangan tersebut belum bisa
terlepas sepenuhnya dari beras sebagai
komoditi basis yang strategis. Beras bagi
banyak penduduk Indonesia merupakan salah
satu makanan pokok yang tidak tergantikan.

Hal tersebut tercermin dari konsumsi beras
masyarakat Indonesia yang mencapai tingkat
tertinggi di Asia dengan capaian konsumsi
yang menembus angka 135-140 kilogram
beras per orang per tahun (dalam Cahyanto,
2012).
Ungkapan “jika tidak makan nasi, maka
belum di katakan makan”, ditengarai
menyebabkan
konsumsi beras nasional
menjadi tidak terkendali. Akibatnya, Indonesia
harus mangimpor beras dari negara lain. Hal
ini bisa dikatakan ironis melihat luas lahan
pertanian Indonesia yang begitu luas dan
mengingat sejarah saat zaman Orde Baru
Indonesia pernah melakukan swasembada
beras.
Impor beras memiliki dampak jangka
panjang yang buruk. Sedikit saja terjadi
fluktuasi harga di pasar beras internasional
bisa memukul ketahanan pangan kita dan
memunculkan masalah serius bagi sebagian
besar penduduk Indonesia.
Beras mempunyai peranan yang strategis
dalam pemantapan ketahanan pangan,
ketahanan ekonomi dan ketahanan stabilitas
politik nasional. Seperti yang terjadi pada
tahun 1998 menunjukkan bahwa guncangan
politik dapat berubah menjadi krisis politik
yang dahsyat karena harga pangan melonjak
tinggi dalam waktu singkat (Suryana dan
Mardianto dalam Hutagalung, 2007).
Beras juga merupakan makanan pokok,
menjadi ujung tombak ketahanan pangan
wilayah dan nasional. Harga beras mengalami
peningkatan setiap tahun. Peningkatan harga
beras ini diakibatkan oleh adanya kebijakan
impor beras yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada dasarnya impor beras akan
mencederai nasib petani. Namun bila
pemerintah tidak mengimpor beras, mungkin
akan lebih banyak rakyat Indonesia dicederai
dengan mahalnya harga beras. Rakyat ingin
harga beras terjangkau, namun hal ini tak
sejalan dengan nasib petani yang terus
terpuruk.

Menurut bank dunia tingginya harga
beras menjadi salah satu penyebab kenaikan
jumlah penduduk miskin. Hal ini menjadi
salah satu alasan pemerintah untuk mengimpor
beras. Jumlah angka kemiskinan menurut bank
dunia sekitar 109 juta jiwa. Hal ini terjadi
bersamaan dengan kenaikan harga beras yang
signifikan.
Kondisi
ini
menempatkan
pemerintah pada dua pilihan, mengorbankan
petani atau konsumen beras. Pemerintah selalu
mengorbankan petani dengan membuka keran
impor.
Jalan pintas impor beras tanpa mengatasi
akar masalah yakni peningkatan produksi
beras akan merusak kedaulatan pangan.
Ketergantungan pangan pada pihak luar di
tengah kesuburan alam Indonesia memperjelas
kegagalan negara mengelola sumber daya
manusia Indonesia untuk meningkatkan
produktivitas hasil pertanian. Indonesia yang
kaya sumber daya pertanian harus menjadi
pengimpor pangan terbesar di dunia (Sibuea
dalam Hutagalung, 2007).
Kebijakan mengimpor beras dari luar
negeri tersebut tentunya berdampak pada
kesejahteraan petani. Petani adalah pihak yang
paling dirugikan dengan adanya kebijakan
impor beras. Dengan adanya para petani yang
dirugikan, hal ini tentunya bertentangan
dengan sila ke-5 dalam Pancasila, yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia yang bermakna sebagai dasar
sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat
indonesia yang adil dan makmur secara
lahiriah dan batiniah. Keadilan adalah nilai
yang amat mendasar yang diharapkan oleh
seluruh rakyat indonesia. Tapi sayangnya nilai
keadilan dalam kehidupan pertanian belum
terlihat secara jelas.
Kaum petani adalah kaum yang tidak
pernah
mendapatkan
keadilan
secara
sempurna, ini dibuktikan dengan adanya
penindasan terhadap kaum petani. Penindasan
dalam arti kata ini adalah pemberian nilai
harga yang rendah terhadap produksi pertanian

seperti beras. Beras produksi petani lebih
murah harganya di bandingkan beras impor.
Padahal indonesia adalah negara agraris yang
memiliki potensi sumber daya alam yang
besar. Ini menunjukkan bahwa nilai keadilan
pada petani tidak ada (Sunarti, 2008).
Ketergantungan Indonesia pada pangan
impor tentunya akan menciptakan kerentanan
ketahanan pangan nasional berkaitan dengan
resiko dan ketidakpastian penyediaan pangan
dunia dan situasi pasar pangan internasional.
Meningkatnya impor beras antara lain
disebabkan oleh lebih murahnya harga beras di
pasar internasional di banding harga domestik.
Peranan pemerintah dengan lembaga Bulog
(Badan Urusan Logistik) sangat diharapkan
untuk bisa memantau, manjaga, dan
menstabilkan harga dan pasokan beras di pasar
agar kebijakan impor beras tidak terlalu
merugikan petani lokal.

4. Kesimpulan
a. Impor beras yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia menyebabkan
kesejahteraan petani berkurang. Beras
lokal petani yang lebih mahal kalah
bersaing, dengan beras impor yang
lebih murah, sehingga membuat para
petani lokal merugi.
b. Divertivikasi pangan perlu diterapkan
pada masyarakat Indonesia agar
pemerintah bisa mengendalikan harga
pangan di pasar dan menekan
pengeluaran dan kegiatan impor beras
dari negara lain.
c. Mengembangkan pola pertanian sesuai
kearifan lokal daerah masing-masing
dapat membantu kesejahteraan petani
dan dapat mengurangi konsumsi beras
masyarakat Indonesia. Kesejahteraan
petani bisa terangkat karena para petani
mampu memenuhi permintaan pasar di
daerahnya
tanpa
perlu
mengkhawatirkan
dampak
dari
kebijakan impor beras.

DAFTAR PUSTAKA
G, Yoga. 2016. KEBIJAKAN IMPOR BERAS
VIETNAM KE INDONESIA (Tesis). Bandung:
Universitas Pasundan
Ilham, Nyak, Hermanto Siregar dan D.S.
Priyarsono. 2006. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN
HARGA PANGAN TERHADAP KETAHANAN
PANGAN (Tesis). Bogor: Institut Pertanian
Bogor
K.S, Annisa. 2013. Pengaruh Kebijakan Impor
Beras pada Kesejahteraan Petani: Perspektif
Keadilan
Pancasila
(Tesis).
Malang:
Universitas Brawijaya
Nuryanti, Sri dan Reni Kustiari. 2011.
Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai
dengan Kebijakan Tarif Optimal (Tesis).
Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Rifa’I, Akhmad. 2012. Efektivitas Kebijakan
Impor Beras di Indonesia (Tesis). Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Hamfara
Sunarti, Euis dan Ali Khomsan. 2008.
Kesejahteraan Keluarga Petani Mengapa Sulit
Diwujudkan? (Tesis). Bogor: Institut Pertanian
Bogor
Tempo. 2015. Pengamat: Impor Beras
Rugikan Petani dan Ekonomi Nasional.
https://m.tempo.co/read/news/2015/05/17/092
666819/pengamat-impor-beras-rugikanpetani-dan-ekonomi-nasional, 31 Januari
2017.