PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVES

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA MATERI LITHOSFER MATA PELAJARAN GEOGRAFI SISWA KELAS X IPS SMA NEGERI 1 MALANG PENELITIAN TINDAKAN KELAS OLEH NIKMATUL ISTIKHOMAH 14317108365 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL PPG PASCA SM3T JURUSAN GEOGRAFI SEPTEMBER 2015

KATA PENGANTAR

  Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat taufiq, dan hidayah-Nya sehingga PTK ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun manusia dari jaman jahiliyah menuju jaman penuh rahmat ini.

  Penulisan PTK ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut, diantaranya adalah:

  1. Drs Budi Handoyo, M.Si selaku dosen pembimbing lapangan yang telah memberi

  bimbingan serta pengarahan terbaik dalam penyusunan PTK ini.

  2. Rochmad Priyanto,S.Pd selaku guru pamong yang telah memberikan banyak waktu, serta

  bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan PTK ini.

  3. Anis Isrofin, M.Pd, selaku Kepala SMA Negeri 1 yang telah memberikan ijin untuk

  melakukan penelitian, serta siswa-siswa SMA Negeri 5 Malang yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

  4. Keluarga besar Mbah Marijan-Mbah Sukiran di Trenggalek dan keluarga besar Tarbiyah

  yang selalu mendukung penulis dalam menggapai mimpi

  5. Keluarga besar PPG SM3T angkatan 3 dan keluarga besar PPG Geografi UM

  6. Teman seperjuangan PPL PPG di SMAN 1 Malang serta teman-teman observer yang

  telah meluangkan waktunya untuk menjadi observer di dalam PTK ini

  Penulis menyadari bahwa dalam PTK ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran selalu diharapkan untuk perbaikan ke depan. Akhirnya, penulis berharap semoga PTK ini dapat bermanfaat bagi semua. Amiin.

  Malang, Oktober 2015

  Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

  Setiap bidang kehidupan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu bidang yang mengalami perubahan secara cepat dan pesat adalah pendidikan. Perubahan dalam bidang pendidikan tersebut mengakibatkan semua pihak membutuhkan informasi yang melimpah dan cepat dari berbagai sumber. Sumber yang digunakan untuk memperoleh informasi perlu dipilih secara selektif. Informasi dari berbagai sumber yang terpilih perlu diolah dengan efektif dan efisien. Apabila siswa terbiasa memilih dan berusaha mengolah informasi yang telah diperoleh, maka mereka akan terlatih untuk memecahan masalah, berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan logis, Depdiknas (dalam Fachrurazi, 2011:76).

  Kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, sistematis, dan logis sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai perubahan dalam perkembangan zaman. Beberapa kemampuan tersebut termasuk dalam kompetensi masa depan yang harus dimiliki oleh siswa. Sumarmi (2013:3) menjelaskan bahwa salah satu kompetensi masa depan yang harus dimiliki oleh siswa adalah kemampuan berpikir kritis.

  Kemampuan berpikir kritis perlu dilatih agar siswa lebih terbiasa untuk melakukannya. Selaras dengan pendapat (Dewi, 2011:1) bahwa siswa perlu dibiasakan untuk berpikir kritis agar mereka memperoleh banyak manfaat. Pihak pemerintah sebenarnya juga sudah menuntut guru untuk melatih siswanya untuk berpikir kritis. Pernyataan ini sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi kelulusan bahwa setiap siswa diharapkan dapat menunjukkan kemampuannya untuk berpikir kritis dan logis.

  Kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa dan telah tercantum dalam standar kelulusan dapat dilatih melalui mata pelajaran Geografi. Sumaatmadja

  (2001: 20) menyatakan bahwa pembelajaran geografi dapat mengembangkan kemampuan intelektual tiap orang atau secara khusus para siswa yang mempelajarinya. Dengan demikian, Geografi memiliki peran untuk melatih siswa dalam berpikir dan mengembangkan keterampilannya.

  Keberhasilan pengembangan keterampilan siswa dalam pembelajaran salah satunya dapat ditentukan oleh pemilihan model pembelajaran yang digunakan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat sangat dibutuhkan untuk melatih keterampilan berpikir siswa. Keterampilan berpikir diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang dalam menggunakan beberapa metode yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah (Sidharta, 2005: 7).

  Salah satu kemampuan berpikir yang perlu dimiliki oleh siswa adalah berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir kritis termasuk dalam jenis keterampilan berpikir tingkat tinggi, Johnshon (dalam Suprapto, 2008: 1). Salah satu model pembelajaran alternatif yang dapat membidik kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan kerjasama siswa dalam bekerja kelompok adalah Group Investigation (Fachrurazi, 2011: 81).

  Kemampuan menyampaikan pendapat dengan disertai bukti yang relevan termasuk wujud dari kemampuan berpikir kritis. Hal ini selaras dengan pendapat Fisher (2009) bahwa dibutuhkan kemampuan berkomunikasi yang baik disertai bukti relavan agar dapat dikatakan sebagai pemikir kritis. Latihan untuk menyampaikan pendapat agar mampu berkomunikasi dengan baik dapat diwujudkan dalam sebuah diskusi kelompok karena akan terjadi pertukaran ide dari masing-masing anggota. Pertukaran ide tersebut dapat terjadi karena setiap siswa dituntut untuk mampu berkomunikasi (Riadi, 2012: 1).

  Perbedaan ide yang terjadi dalam setiap diskusi dari setiap anggota kelompok merupakan hal yang biasa terjadi. Kondisi semacam ini mengajak siswa untuk berusaha mengahargai pendapat. Model pembelajaran Group Investigation mampu melatih siswa menghargai pendapat orang lain dan memperoleh banyak informasi dari sebuah diskusi (Sumarmi, 2012: 127).

  Pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation juga dapat menumbuhkan minat belajar siswa. Sebagaimana dijelaskan oleh Sharan, dkk, (1990: 1) bahwa model pembelajaran Group Investigation juga dapat

  menumbuhkan ketertarikan siswa dalam belajar. Dari hasil penelitian Zingaro (2008: 1) dijelaskan bahwa rasa ketertarikan dalam belajar akan mampu meningkatkan prestasi, motivasi, dan mengembangkan interaksi sosial siswa. Interaksi sosial dapat tumbuh dari kegiatan komunikasi dan sikap saling menghargai pendapat anggota kelompok.

  Keunggulan lain yang dapat diperoleh dari penerapan model pembelajaran Group Investigation adalah mengajak siswa untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Apabila siswa telah mengenal lingkungan mereka akan peka terhadap masalah-masalah di sekitarya dan berusaha untuk mencari alteranatif solusi untuk menyelesaikannya (Sumarmi, 2012: 124). Keterkaitan pembelajaran dengan lingkungan tersebut merupakan wujud dari interaksi langsung dengan sumber belajar.

  Pemanfaatan sumber belajar dapat membantu kelancaran pembelajaran. Sumber belajar terbagi menjadi dua macam, yaitu sumber yang sengaja dibuat dan dipergunakan untuk membantu pembelajaran dan sumber lainnya yang digunakan tanpa rancangan karena telah ada di sekeliling kita (Muhtadi, 2006: 4). Sumber belajar yang sengaja dibuat, misalnya modul, slide, audio sedangkan yang telah ada di sekeliling kita, misalnya hutan, sawah, ataupun sungai. Di dalam pelaksanaannya model pembelajaran Group Investigation memanfaatakan kedua sumber belajar tersebut (Sumarmi, 2012: 124).

  Pembagian kelompok dilakukan setelah penentuan topik masalah. Langkah tersebut disesuaikan dengan urutan pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation. Slavin (2005: 218-219) menjelaskan bahwa langkah-langkah model pembelajaran Group Investigation dapat dilakukan dengan mengidentifikasi topik dan mengatur murid ke dalam kelompok, melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, presentasi, serta evaluasi.

  Urutan pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation diarahkan untuk mencapai kemampuan berpikir kritis. Seseorang dikatakan mampu berpikir kritis jika dapat merumuskan masalah dan memberikan alternatif pemecahan masalah (Bonie Potts, dalam Amri 2012). Model pembelajaran Group Investigation yang disampaikan pada mata pelajaran Geografi dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan mempelajari Geografi

  yakni dapat memecahkan masalah-masalah lingkungan, Sumaatmaja (1988). Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian Tejeda (2002), Dumas (2003), Konberg dan Gifin (2000), (dalam Arnyana, 2006: 501) bahwa ”salah satu model pembelajaran yang dapat melatih siswa untuk berpikir kritis adalah Group Investigation”.

  Demikian pula yang terjadi di SMAN 1 Malang, berdasarkan observasi awal yang dilakukan pada tanggal 05 dan 07 September 2015 dikelas X IPS belum menunjukkan adanya pembelajaran yang dapat melatih siswa berpikir secara kritis. Pembelajaran Geografi yang berlangsung selama ini menggunakan metode ceramah, pemberian tugas dan kerja kelompok. Metode yang digunakan kurang melatih siswa berfikir kritis dalam proses pembelajaran. Hal ini terlihat dari kegiatan pembelajaran yang ada di kelas didominasi guru sehingga siswa hanya menerima materi yang diberikan oleh guru, jarang secara mandiri berupaya memperoleh pengetahuan, sehingga dampaknya interaksi antara siswa dengan siswa belum optimal.

  Berdasarkan pengamatan dan wawancara tidak tersruktur dengan guru mata pelajaran ditunjukkan dengan 15 siswa dari 26 siswa yang berpartisipasi dalam proses pembelajaran sedangkan siswa yang lain hanya diam, berbicara sendiri dengan teman sebangku dan cenderung pasif, sehingga mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Berdasarkan nilai hasil belajar, rata-rata masih rendah dengan rata-rata kelas yang dicapai hanya 63,59 dari Standar Ketuntasan Minimal 78.

  Sebenarnya guru sudah berusaha mendorong siswa terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya yang berkaitan dengan materi yang sedang disajikan, bahkan guru sudah mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat permasalahan untuk dijawab oleh siswa, tetapi hanya beberapa siswa saja yang ikut berpatisipasi mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang diajukan guru, sedangkan siswa yang lain hanya diam saja. Kurangnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran tersebut membuat siswa tidak terbiasa berfikir kritis sehingga menyebabkan kemampuan berfikir kritis siswa menjadi lemah.

  Berdasarkan penjelasan di atas peneliti ingin menerapkan pembelajaran Group Investigation pada siswa kelas X IPS SMA Negeri 1 Malang untuk meningkatkan ketrampilan berpikir secara kritis pada siswa karena kemampuan ketrampilan berfikir siswa masih rendah.

B. Tujuan

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah penerapan model pembelajaran Group Investigation untuk peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa di kelas X IPS SMAN 1 Malang pada mata pelajaran Geografi materi Litosfer.

C. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat, kepada:

  1. Guru Geografi

  Sebagai bahan pemikiran dan rujukan dalam melakukan tindakan kelas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan model pembelajaran Group Investigation.

  2. Bagi Sekolah

  Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pihak sekolah dalam usaha peningkatan kualitas pembelajaran.

  3. Peneliti Lanjut

  Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk referensi atau rujukan pada penelitian lain dengan menggunakan model, materi, atau tempat yang berbeda.

D. Ruang Lingkup Penelitian

  Menyadari adanya keterbatasan waktu dan tenaga, maka perlu diadakan pembatasan-pembatasan masalah yang diteliti dalam ruang lingkup tertentu yang memungkinkan pemecahannya. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Malang dengan subyek penelitian adalah siswa kelas X IPS semester ganjil tahun pelajaran 20152016 yang berjumlah 25 siswa, pada Kompetensi Dasar Hubungan Manusia dan Lingkungan sebagai akibat Dinamika Lithosfer. Sedangkan variabel

  dalam penelitian ini adalah berfikir kritis siswa pada mata pelajaran Geografi kelas X IPS SMA Negeri 1 Malang.

E. Definisi Operasional

  Definisi operasional dari variabel dalam peneltian ini adalah.

  1. Berpikir kritis merupakan kemampuan siswa untuk merumuskan masalah dan

  menjawab pertanyaan, memberikan argumen disertai saran, memberikan penjelasan dimulai dari hal umum ke khusus, melakukan evaluasi berdasarkan fakta, memberikan solusi alternatif dari masalah, dan membuat kesimpulan yang diwujudkan berupa skornilai dengan menggunakan rentang nilai 1-4.

  2. Group Investigation merupakan sebuah model pembelajaran yang dilakukan

  secara berkelompok dan di dalamnya membahas suatu masalah dari topik yang dipilih dengan langkah-langkah pembelajaran, yaitu: (1)mengidentifikasi topik masalah yang akan didiskusikan (2) melakukan perencanaan investigasi (3) melakukan investigasi (4) menyiapkan laporan akhir (5) menyajikan laporan dan hasil investigasi (6) melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. BERPIKIR KRITIS

  Untuk mengkaji lebih dalam tentang pengaruh penerapan model Pembelajaran Group Investigation terhadap kemampuan berfikir kritis siswa kelas

  X IPS materi litosfer di SMA Negeri 1 Malang diperlukan beberapa teori yang relevan sebagai landasan dalam penelitian. Teori-teori yang dijabarkan disesuaikan dengan variabel penelitian yang digunakan. Oleh sebab itu, perlu penjabaran teori tentang berpikir kritis sebagai variabel terikat yang meliputi (a) Konsepsi Berpikir Kritis (b) Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemampuan Berpikir Kritis (c) Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis (d) Prinsip Pembuatan Soal Berpikir Kritis Berdasarkan Taksonomi Bloom.

  1. Konsepsi Berpikir Kritis

  Kemampuan berpikir kritis dapat dimulai dari penyelesaian masalah kecil yang ada di sekitar kita, misalnya berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan mengerjakannya secara maksimal. Penyelesaian masalah semacam ini dibutuhkan kemampuan berpikir kritis dari dalam diri siswa. Sesuai dengan pendapat Fachrurazi (2011: 81) bahwa ”berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri”.

  Melatih kemampuan berpikir kritis siswa berarti mengarahkannya untuk berusaha menggali informasi, sehingga dapat menambah pengetahuan yang dimiliki. Informasi tersebut dapat diperoleh dari sumber belajar yang digunakan. Pengetahuan yang dimiliki siswa dari beragam sumber belajar dapat mempermudah mereka dalam mengambil keputusan dan tidak membuatnya gegabah, sehingga akan memperoleh hasil yang sesuai harapan.

  Sumber belajar yang dimanfaatkan siswa berfungsi untuk menemukan fakta-fakta, sehingga dapat mendukung pendapatnya. Di sisi lain, argumen dari seorang siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan menjadi lebih terpercaya, jika diambil dari hasil penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Fisher (2009: 9) bahwa dalam berpikir kritis dituntut adanya evaluasi terhadap observasi, komunikasi, dan sumber-sumber informasi lainnya.

  Hasil yang diperoleh dari berbagai sumber informasi dibutuhkan keterampilan berkomunikasi dan bukti yang relevan agar argumen yang dimiliki dapat tersampaikan dengan baik. Bukti-bukti untuk memperoleh informasi yang mendukung argumen dapat diperoleh dengan cara observasi ataupun wawancara (Fisher, 2009: 10). Di dalam kegiatan wawancara dibutuhkan kemampuan komunikasi yang baik dan dianggap relevan agar hasilnya akurat.

  Kemampuan berpikir kritis juga dapat dilihat dari sikap, perilaku, dan cara berpikir seseorang. Sebagaimana dijelaskan oleh Berlianti (2011: 3) bahwa kemampuan berpikir kritis adalah keterampilan seseorang ditandai dengan sifat dan bakat kritis yang terdiri dari rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, dan berani mengambil resiko. Maksud dari memiliki rasa ingin tahu adalah seorang individu akan terus berusaha mencari tahu hal-hal baru dengan cara membaca atau

  bereksperimen. Seseorang yang bersifat imajinatif dapat ditunjukkan dari kegiatannya yang mampu berkhayal dan membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi, namun tetap dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan.

  Seorang siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis berusaha menyampaikan pendapatnya dan menyertakan sumber untuk memperkuat setiap argumen yang dimilikinya. Kemampuan berpikir kritis dapat pula dilihat dari kemampuan siswa untuk mengetahui kemampuan temannya, bersikap sensitif, menahan diri dari sifat impulsif, bersikap terbuka dan selalu mencari kejelasan, serta mampu bersikap akurat, Marzano (dalam Sidharta, 2005: 10). Maksud dari bersikap akurat adalah menyampaikan informasi yang dijelaskan sesuai dengan fakta dan dipertegas dengan bukti-bukti yang sesuai.

  Seseorang yang melatih dirinya untuk berpikir kritis, maka akan memperoleh manfaat dari kegiatannya itu. Beberapa kelebihan yang dapat diperoleh dari melatih kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (2010: 1), yaitu:

  Is open-minded and mindful of alternatives; Desires to be, and is, well-informed; Judges well the credibility of sources; Iden- tifies reasons, assumptions, and conclusions; Judges well the quality of an argument, including its reasons, assumptions,evi- dence, and their degree of support for the con-clusion.

  Berdasarkan pernyataan di atas dengan melatih kemampuan berpikir kritis, maka siswa akan mampu mengingat dan lebih berhati-hati dalam menentukan alternatif pemecahan masalah. Kemampuan berpikir kritis yang dimiliki akan membuat siswa berusaha memperluas pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi dengan baik serta dapat memberi dugaan sesuai dengan sumber yang ada.

  Manfaat lain yang dapat diperoleh adalah siswa dapat mengidentifikasi, memberi tanggapan, dan membuat kesimpulan dari suatu masalah yang ada. Semua pendapat yang disampaikan siswa tergolong baik dan berkualitas, mencakup semua sumber dan buktifakta yang dapat dipercaya. Hal penting lain yang dapat diperoleh adalah siswa akan berusaha mempertimbangkan pendapat, asumsi, fakta, dan hal-hal lain untuk mendukung saat membuat kesimpulan.

  Perlu adanya proses dan tahapan untuk mengetahui pencapaian kemampuan berpikir kritis seseorang. Menurut Brookfield (2012: 1) proses dasar berpikir kritis meliputi:

  (1) Identifying the asumption that frame our thinking and de- termine our action (2) checking out the degree to which this assumption are accurate or valid (3) looking at our ideas and decisions (intellectual, organizational, and personal) from several different perspectives, (4) on the basic of all this,taking informed actions.

  Pernyataan di atas menjelaskan bahwa diperlukan kemampuan mengidentifikasi asumsi untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan. Kegiatan yang perlu dilakukan setelah mengidentifikasi asumsi adalah memeriksa keakuratannya serta melihat ide-ide dan keputusan dari pandangan yang berbeda. Kegiatan yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengambil tindakan berdasarkan informasi yang diperoleh.

  Kemampuan berpikir kritis harus sering dilatih agar siswa benar-benar dapat menguasainya. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi untuk mengajarkan kemampuan berpikir kritis. Bonie dan Potts (dalam Amri, 2012: 32) menjelaskan bahwa ”ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan berpikir kritis, yaitu: building categories (membuat klasifikasi), finding problem (menemukan masalah), dan enhanching the environment (mengkondusifkan lingkungan)”.

  Melatih dan mendorong siswa untuk selalu berusaha memberikan pendapatnya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang akurat sangat dibutuhkan agar mereka terbiasa berpikir kritis. Dengan kemampuannya tersebut, seseorang siswa juga akan mampu memberikan alternatif pemecahan masalah yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah. Hal ini akan membuat kemampuan seseorang terus berkembang serta mendorongnya untuk membuat kesimpulan dan mengambil sebuah keputusan, serta memberikan alternatif solusi dari masalah yang ada.

  Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa agar mereka memiliki kemampuan berpikir kritis dengan baik. Oleh sebab itu, guru perlu menerapkan cara pembelajaran khusus agar siswa mampu mencapai kemampuan berpikir kritis. Amri (2012: 33) menjelaskan bahwa ada empat ciri khas cara mengajar untuk mencapai kemampuan berpikir kritis, yaitu:

  Meningkatkan interaksi di antara para siswa, mengajukan pertanyaan (open-ended); Memberikan waktu yang memadai kepada siswa untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalah-masalah yang diberikan; Meng- ajarkan penggunaan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi- situasi dan pengalaman yang dimiliki para siswa (teaching for transfer).

  Diperlukan landasan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan berpikir kritis dari seseorang. Menurut Glaser (dalam Fisher, 2009: 10) keterampilan berpikir kritis dapat dilihat dari beberapa kemampuannya. Beberapa kemampuan untuk mengetahui keterampilan berpikir kritis seorang siswa sebagai berikut.

  Mengenal masalah, menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah, mengumpulkan dan menyu- sun informasi yang diperlukan, mengenal asumsi-asumsi dan ni- lai-nilai yang tidak dinyatakan, memahami dan menggunakan ba-

  hasa yang tepat, jelas, dan khas, menganalisis data, menilai fakta dan mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan, mengenal adanya hu- bungan yang logis antara masalah-masalah, menarik kesimpulan, menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan yang diambil oleh seseorang, menyusun kembali pola-pola keyakinan berdasarkan pengalaman yang lebih luas, dan membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dengan kualitas tertentu dalam kehidupan sehari- hari.

  Kemampuan berpikir kritis dapat diketahui dari beberapa aspek. Dari beberapa aspek tersebut dibagi ke dalam beberapa indikator kemampuan berpikir kritis. Indikator berpikir kritis yang digunakan untuk penelitian dan sesuai dengan model pembelajaran Group Investigation sebagai berikut.

  Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

  No

  Kemampuan Berpikir Kritis

  Indikator

  1. Merumuskan masalah

  Merumuskan permasalahan dan memberi arah untuk memperoleh jawaban

  2. Memberikan argumen

  Memberikan argumen disertai saran

  3. Melakukan deduksi

  Memberikan penjelasan dimulai dari hal umum ke khusus

  4. Melakukan Induksi

  Membuat simpulan terkait masalah

  5. Melakukan evaluasi

  Melakukan evaluasi berdasarkan fakta

  6. Memutuskan dan melaksanakan

  Menentukan solusi alternatif dari masalah untuk dapat direncanakan dan dilaksanakan

  Sumber: Modifikasi dari Ennis (dalam Agustina, 2012:20)

  Penemuan indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui aspek-aspek kegiatan dalam definisi berpikir kritis. Indikator-indikator pada tabel 2.1 dalam prakteknya dapat bersatu padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator saja (Umami, 2010). Beberapa kegiatan tersebut mengindikasikan bahwa perilakunya masuk dalam kriteria berpikir kritis.

  2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemampuan Berpikir Kritis

  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seseorang yang mampu berpikir kritis. Haskins (2002: 1) menjelaskan bahwa faktor yang memengaruhi kemampuan berpikir kritis, yaitu: sifat berpandangan terbuka, sehat skeptisisme, intelektual kerendahan hati, gratis pemikiran, dan motivasi tinggi. Sifat berpandangan terbuka dan motivasi yang tinggi yang dimiliki siswa akan mempermudah mereka untuk menyampaikan pendapat sebagai salah satu cara untuk melatih kemampuan berpikir kritis serta menerima saran dari orang lain.

  Seorang pemikir kritis harus tidak mudah ditipu dan selalu berpikiran terbuka. Oleh sebab itu, perlu adanya usaha untuk mencari fakta-fakta yang akurat, sumber informasi, dan penalaran yang mendukung pendapatnya (Sumarmi, 2012: 126). Makna dari memiliki kerendahan hati intelektual berarti mengikuti sementara pendapat yang baru saja diakuisisi, kemudian mempersiapkan untuk memeriksa bukti-bukti baru untuk mendukung pendapat yang ada.

  Seorang pemikir kritis juga harus menjadi pemikir bebas. Kemampuan ini dapat dilihat dari keinginannya untuk tidak percaya terhadap isu dari tekanan sosial tanpa adanya bukti yang relevan. Kemampuan berpikir bebas yang dimiliki siswa akan membantu mereka untuk menyelesaikan masalah secara lebih obyekif, menyeluruh, dan sesuai bukti serta fakta yang sesuai.

  Pemikir yang kritis juga harus memiliki rasa ingin tahu untuk meningkatkan kemampuannya. Cara yang dapat dilakukan seseorang khususnya siswa untuk mengatasi kurangnya pengetahuan pada suatu materi adalah gemar

  membaca dan tetap belajar. Hal ini nantinya akan mendorong siswa untuk mencapai tingkat pemahaman yang cukup sebelum membuat keputusan.

  3. Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis

  Menentukan nilai siswa dengan mengolah skor menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP). PAP digunakan untuk membuat keputusan penilaian, guru memanfaatkan kriteria tertentu untuk memutuskan penilaian siswa secara adil dan obyektif. Penilaian digunakan untuk dasar pertimbangan membuat keputusan (Purwanto, 2005: 25). Khusus untuk fungsi ini dan fungsi lain yang sangat penting, sebaiknya digunakan pendekatan PAP agar hasilnya lebih akurat.

  Berdasarkan pendapat tersebut penilaian kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini menggunakan PAP dengan rumus Model I. Berdasarkan rumus Model I skor kemampuan berpikir kritis siswa dihitung dengan menggunakan persamaan dari perbandingan antara jumlah skor yang dapat diperoleh siswa dan jumlah skor maksimal ideal kemudian dikalikan dengan nilai maksimal yang digunakan, yaitu 100 (Purwanto, 2010: 16).

  4. Prinsip Pembuatan Soal Berpikir Kritis Berdasarkan Taksonomi Bloom

  Pembuatan soal untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa perlu disesuaikan dengan kata kerja kerja operasional di dalam taksonomi Bloom. Menurut Dimyati (2006: 21) kebaikan taksonomi Bloom ini terletak pada rincinya jenis perilaku yang terkait dengan kemampuan internal dan kata-kata kerja operasional. Taksonomi Bloom dibagi menjadi beberapa ranah atau domain. Bloom (dalam Arikunto, 2003: 117) menyimpulkan bahwa ”ada 3 ranah atau domain besar dalam taksonomi yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik”.

  Di dalam ranah kognitif merupakan tujuan pendidikan yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek kecerdasan dan intelektual yang meliputi aspek- aspek kognitif pada diri seseorang, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Ranah kognitif dinyatakan dengan skor disertai deskripsi kompetensi dasar yang telah dicapai atau belum. Ranah kognitif taksonomi Bloom (dalam Dimyati, 2006: 26) mempunyai enam tingkatan kemampuan, dari yang paling sederhana hingga paling kompleks, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  Pada tingkatan pengetahuan (C1) mencakup kemampuan mengenali dan mengingat tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Hal yang diukur meliputi kemampuan untuk mengenali dan mengingat istilah, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, dan prinsip dasar yang telah dipelajari sebelumnya. Kata kerja operasional yang digunakan, yaitu menyebutkan, menghafal, mengulang, mengurutkan, mengaitkan, dan menyusun.

  Kemampuan memahami (C2) dapat terwujud karena adanya keterampilan menjabarkan materi lain. Pemahaman juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan memperkirakan kecenderungan, kemampuan meramalkan akibat-akibat dari berbagai penyebab suatu gejala. Kata kerja operasional yang dapat digunakan yaitu memperkirakan, menjelaskan, mengkategorikan, mencirikan, menghitung, menguraikan, mencontohkan, menerangkan, dan mengemukakan.

  Penerapan yang tergolong C3 merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, atau menggunakan materi yang telah dipelajari. Semua gagasan, rumus, dan teori tersebut harus disesuaikan dengan

  situasi konkret, nyata, atau baru. Kata kerja yang digunakan, misalnya menerapkan, menggunakan, memilih, menentukan, atau menafsirkan.

  Analisa merupakan kemampuan untuk menguraikan materi ke dalam bagian-bagian yang lebih terstruktur dan mudah dimengerti dan masuk dalam kategori C4. Kemampuan lain yang perlu dimiliki adalah menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya. Keterampilan menganalisa juga dapat dilihat dari kemampuan untuk mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit. Kata kerja yang digunakan, misalnya membedakan, membandingkan, mengkritik, mengkategorikan, menganalisis, memecahkan, mendeteksi, mendiagnosis, mengkorelasikan, atau menelaah.

  Sintesis merupakan kemampuan untuk mengumpulkan bagian-bagian menjadi suatu bentuk yang utuh dan menyeluruh dan tergolong C5. Kemampuan sintesis menekankan pada perilaku kreatif dengan mengutamakan perumusan perilaku atau struktur baru dan unik. Kata kerja operasional yang dapat digunakan, misalnya mengabstraksi, mengkategorikan, mengkode, mengombinasikan, menyusun, mengarang, membangun, menanggulangi, menghubungkan, meru- muskan, menggeneralisasi, menggabungkan, atau memadukan.

  Penilaian atau evaluasi merupakan tingkat kemampuan kognitif yang paling tinggi (C6) karena meliputi unsur-unsur dari semua kategori termasuk kesadaran untuk melakukan pengujian. Kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.

  Kata kerja yang dapat digunakan, misalnya menilai, mengarahkan, mengkritik, menimbang, memutuskan, memisahkan, memprediksi, mengukur, mendukung, memilih, dan memproyeksikan.

  Keenam ranah tersebut bersifat hierarkhis, yang berarti mencakup pengetahuan dengan kriteria rendah hingga tinggi. Tingkatan kemampuan terendah harus dimiliki terlebih dahulu sebelum mempelajari perilaku yang lebih tinggi. Hal ini dapat dimisalkan untuk dapat menganalisis siswa harus memiliki pengetahuan, pemahaman, menerapkan.

  Keterampilan yang perlu dicapai, agar siswa dapat dikategorikan mampu berpikir kritis adalah membandingkan, menganalisis, dan memecahkan masalah. Beberapa kategori kemampuan tersebut sesuai dengan ranah kognitif C4 yakni menganalisa. Hal ini dipertegas oleh pendapat Lipman (dalam Kuswana 2012: 20) bahwa ”berpikir kritis menyerupai analisis (C4) dalam taksonomi Bloom”. Oleh sebab itu, acuan pembuatan soal kemampuan berpikir kritis adalah ranah kognitif C4 dan pembuatannya disesuaikan dengan indikator-indikator berpikir kritis.

B. MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION

  Variabel bebas dari penelitian ini adalah model pembelajaran Group Investigation. Untuk mengkaji lebih dalam tentang Group Investigation dibutuhkan teori-teori sebagai landasan penelitian. Beberapa teori yang berkaitan dengan Group Investigation meliputi (1) Konsepsi Model Pembelajaran Group Investigation (2) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Group Investigation (3) Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Group Investigation.

1. Konsepsi Model Pembelajaran Group Investigation

  Berdasarkan namanya Group Investigation merupakan sebuah model pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok. Salah satu manfaat pembelajaran secara berkelompok adalah terjadinya pertukaran pendapat dari salah satu anggota kelompok dengan yang lain. Sebagaimana dijelaskan oleh Slavin (2005: 215) bahwa komunikasi antara teman sekelas akan memperoleh hasil yang baik jika dilakukan dalam kelompok kecil.

  Pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation dibutuhkan kekompakkan dalam kerja kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Utari (2009: 3) bahwa model pembelajaran Group Investigation membutuhkan kerja sama kelompok yang biasanya terdiri dari 5 hingga 6 siswa. Di dalam kelompok tersebut para anggotanya menyelesaikan tugas untuk memecahkan masalah berdasarkan topik yang telah ditentukan.

  Topik-topik masalah yang dibahas dalam kelompok dipilih oleh anggota kelompok dalam diskusinya. Slavin (2005: 218) menjelaskan para siswa dalam kelompok mengusulkan sejumlah topik lalu mempelajarinya. Hal ini berarti setelah memperoleh topik, mereka akan membahasnya sesuai dengan topik yang dipilih. Di sisi lain, penentuan topik juga dapat dilakukan oleh guru, sehingga siswa dapat langsung membahas topik yang telah terpilih. Alasan ini diperjelas oleh Sumarmi (2012: 130) bahwa guru dapat memilih suatu topik untuk dibahas dalam diskusi kelompok atau dibentuk kelompok terlebih dahulu kemudian siswa diminta menentukan topiknya sendiri.

  Kegiatan yang dapat dilakukan setelah semua kelompok mendiskusikan topik yang terpilih adalah mempresentasikannya di depan kelas. Pendapat ini

  seperti yang dijelaskan oleh Sumarmi (2012: 131) bahwa model pembelajaran Group Investigation melibatkan kelompok kecil yang di dalamnya terdapat diskusi kemudian setiap kelompok mendapat kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Dengan adanya presentasi dari setiap kelompok, maka akan dapat menambah informasi kepada siswa yang lain.

2. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Group Investigation

  Pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan pada setiap proses belajar mengajar perlu disesuaikan dengan materi dan kondisi siswa. Pemilihan model juga disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Hal yang lebih penting adalah disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran.

  Diskusi kelompok yang terjadi di dalam model pembelajaran Group Investigation akan mendorong siswa untuk belajar mandiri dan berusaha untuk menyampaikan pendapatnya. Hal ini juga akan dapat melatih mereka untuk menghargai pendapat dari siswa lain. Sumarmi (2012: 127) menjelaskan bahwa penerapan model pembelajaran Goup Investigation menghasilkan beberapa keuntungan, yaitu:

  Melatih siswa untuk menggunakan keterampilan inkuiri yang ber- fungsi mempersiapkan masa depan; memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih intensif meneliti pemecahan masalah; untuk me- ngembangkan kepemimpinan siswa dan mengajarkan keterampilan berdiskusi serta bekerja di dalam kelompok; memungkinkan guru memberikan banyak perhatian secara individu terhadap kebutuhan belajar siswa; memungkinkan siswa menjadi lebih aktif terlibat da- lam belajar, baik secara mandiri ataupun kelompok saat berdiskusi; dan dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan rasa hormat kepada siswa lain yang membantu kemajuan kelompok.

  Manfaat lain yang dapat diperoleh dari penerapan model pembelajaran Group Investigation adalah melatih tanggung jawab setiap siswa untuk memberikan kontribusi dalam penyelesaian tugas kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarmi (2012: 127) yang menjelaskan bahwa setiap anggota kelompok wajib menyelesaikan tugas masing-masing sesuai dengan persetujuan kelompok. Dengan demikian, akan lebih baik jika setiap anggota kelompok mendapatkan soal yang berbeda, sehingga masing-masing anggota memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas.

  Belajar di dalam kelompok akan melatih siswa untuk bekerjasama dan bertukar pikiran, sehingga mampu meningkatkan prestasi mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Sharan (dalam Sumarmi, 2012: 127) yang menjelaskan bahwa ”penerapan model pembelajaran Group Investigation mampu meningkatkan prestasi belajar siswa”. Untuk mampu bertukar pikiran, maka siswa diharapkan berusaha mencari hal-hal baru secara mandiri salah satunya dengan cara membaca buku.

  Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan, model pembelajaran Group Investigation dapat mendorong siswa untuk aktif dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan masalah yang saat itu dibahas. Dengan menerapkan model pembelajaran ini siswa juga akan dapat mengembangkan kemampuannya dalam memecahkan suatu masalah. Guru perlu memberikan latihan dan membiasakan siswa untuk berpikir kritis, sehingga siswa dapat terbiasa untuk berpikir kritis dan manfaat-manfaat yang diharapkan dapat terwujud (Dewi, 2011: 2).

  Di sisi lain, penerapan model pembelajaran Group Investigation juga memiliki kekurangan jika diterapkan di dalam kelas. Menurut Sumarmi (2012: 127) kelemahan dari pembelajaran kooperatif Model Group Investigation yaitu:

  Group Investigation tidak ditunjang oleh adanya hasil pene- litian yang khusus; Proyek-proyek kelompok sering melibat- kan siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih karena me- reka lebih mampu mengarahkan belajar mereka sendiri; Group Investigation terkadang memerlukan pengaturan si- tuasi dan kondisi yang berbeda, jenis materi yang berbeda, dan gaya mengajar yang berdeda pula; Keadaan kelas tidak selalu memberikan lingkungan fisik yang baik bagi kelompok kecil karena antara kelompok satu dengan kelompok yang lain terlalu dekat sehingga diskusi kelompok tidak dapat ber-jalan dengan baik maka saling mengganggu; dan keberhasilan model Group Investigation bergantung pada kemampuan sis- wa memimpin kelompok atau bekerja mandiri.

  Berdasarkan pernyataan tersebut, pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation dapat mengakibatkan diskusi kurang berjalan dengan baik dan sesuai dengan kaidah diskusi, karena tempat duduk dari tiap kelompok yang berdekatan. Hal ini dikhawatirkan akan terjadi saling contoh dalam mengerjakan tugas. Kegiatan diskusi pada model pembelajaran Group Investigation juga cenderung didominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan lebih rendah akan bersikap pasif.

  Kondisi yang semacam ini akan mengakibatkan kemampuan anak yang sudah memiliki kemampuan tinggi akan semakin pandai dan yang rendah akan tetap rendah karena kegiatan mereka di kelas cenderung pasif dan membonceng teman. Hal ini dapat diminimalisir dengan cara memberikan pembagian tugas sehingga masing-masing anggota kelompok dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan informasi pada kelompoknya (Sumarmi, 2012: 131).

  Masih ada beberapa kekurangan lain dari model pembelajaran Group Investigation. Slavin (2010: 216-217) menyebutkan kelemahan Group Investigation sebagai berikut.

  (1) Model pembelajaran yang paling kompleks (2) Guru ha- rus membuat model komunikasi dan sosial sesuai dengan apa yang diharapkan siswa (3) Sebagian aspek yang berhubungan dengan kurikulum mungkin tidak dapat disesuaikan dengan Group Investigation (4) Sulit memperoleh dan mengamati siswa yang kurang aktif dikelas.

  Kelemahan lain dari model pembelajaran Group Investigation berhubungan dengan alokasi waktu yang digunakan. Pendapat ini dikemukan oleh Shachar, dkk. (2004: 69-87).

  Group investigation as a learning strategy is not always ap- propriate, however. In situations where time is limited, when students may be too young or not have the skills to collect a variety of resources independently, the teacher may wish to provide appropriate resources for each group.

  Dari kelebihan dan kelemahan tersebut akan dijadikan guru sebagai upaya untuk memaksimalkan pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran Group Investigation. Guru akan menggunakan kelebihan model pembelajaran Group Investigation dalam pelaksanaan untuk dapat memaksimalkan kemampuan berpikir kriitis siswa. Di sisi lain, kelemahan model pembelajaran Group Investigation dapat digunakan guru sebagai acuan agar kelemahan tersebut tidak menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran geografi yang memanfaatkan model pembelajaran ini.

3. Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Group Investigation

  Langkah-langkah atau urutan model pembelajaran perlu diperhatikan di dalam kegiatan pembelajaran. Slavin (2005: 218) menjelaskan ”langkah-langkah

  model pembelajaran Group Investigation dapat dilakukan melalui enam tahapan, yaitu mengidentifikasi topik dan mengatur murid ke dalam kelompok, melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, mempresentasikan laporan akhir, dan melaksanakan evaluasi”. Untuk memperoleh topik yang akan dibahas dan diinvestigasi, guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa menemukan topik sendiri ataupun guru yang mempersiapkannya (Sumarmi, 2012: 130).

  Pendapat lain menjelaskan bahwa pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation dimulai dengan membagi kelompok. Kegiatan selanjutnya adalah guru memilih topik tertentu yang di dalamnya terdapat masalah untuk dibahas dan diselesaikan. Setelah topik dan permasalahannya telah disepakati, guru meminta siswa untuk melakukan diskusi kelompok (Suprijono, 2011: 25). Diskusi yang dilakukan diharapkan dapat membantu siswa untuk bertukar pendapat dan berbagi informasi.

  Ada lima tahapan dalam pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation. Kelima tahapan dalam pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation, yaitu (1) membentuk kelompok dan mengidentifikasi topik (2) melakukan perencanaan kelompok (3) melaksanakan investigasi (4) menganalisis hasil dan membuat laporan (5) menyajikan laporan (Sumarmi, 2012: 130). Dalam tiap tahapan model Group Investigation guru berperan sebagai pengarah dan membantu jalannya diskusi, serta evaluator, sehingga siswa dapat memahami materi saat model pembelajaran ini dilaksanakan (Alifah, 2011: 1).

  Adanya diskusi kelompok pada model pembelajaran Group Investigation akan mendorong siswa dalam hal ini masing-masing anggota kelompok dapat bekerja sama dan bertukar pikiran untuk memecahkan suatu masalah. Suatu

  penyelesaian masalah akan segera dapat teratasi jika dibahas atau dikerjakan secara bersama-sama. Masalah yang akan dipecahkan atau diselesaikan telah dirumuskan dari diskusi di kelas besar setelah menentukan topik-topik permasalahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Suprijono (2011: 25) bahwa setiap kelompok mengerjakan tugas dengan metode invetigasi, lalu berusaha mengumpulkan, menganalisis, mensintesis data, hingga membuat kesimpulan.

  Di dalam penyelesaian tugas kelompok ini guru memberikan waktu kepada setiap kelompok untuk menyelesaikan tugasnya. Kemudian, masing- masing kelompok akan diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Setiap siswa diharapkan akan memperoleh berbagai pengetahuan dari diskusi yang telah dilaksanakan. Sebagaimana dijelaskan oleh Suprijono (2011: 25) bahwa pada tahap diskusi akan terjadi intersubyektif dan obyektivikasi pengetahuan yang terbangun di dalam kelompok.

  Kemampuan individu dari masing-masing siswa dapat diketahui dari evaluasi hasil belajar. Purwanto (2005: 25) mengungkapkan bahwa evaluasi hasil belajar diterjemahkan sebagai penilaian yang meliputi kegiatan pengukuran menggunakan tes maupun non tes menghasilkan skor hasil belajar serta penilaian menggunakan PAP yang berfungsi mengolah skor menjadi nilai hasil belajar sebagai dasar untuk membuat keputusan. Kegiatan pengambilan keputusan atau pemberian nilai kepada siswa perlu disesuaikan dengan kriteria tertentu yang digunakan sebagai acuan. Sudjana (1989) menjelaskan bahwa ”penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu” .

  Suatu kegiatan evaluasi bernilai baik jika dilakukan di akhir kegiatan pembelajaran. Hal ini berfungsi untuk mengetahui kemampuan siswa setelah pembelajaran, khususnya setelah pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation. Hal ini dipertegas oleh Suprijono (2011) bahwa perlu adanya evaluasi untuk mengetahui assesmen individual setelah pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation.

  Hasil evaluasi ditentukan dari keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran pada tiap langkah-langkah kegiatannya. Penelitian ini akan melaksanakan langkah-langkah model pembelajaran Group Investigation sesuai dengan pendapat Slavin (2005: 218). Langkah-langkah model pembelajaran yang akan dilaksanakan adalah membentuk kelompok, dan meminta siswa menemukan topik masalah yang akan dibahas dan diselesaikan.

  Pada kegiatan menentukan topik masalah guru dapat membantu siswa jika mereka merasa kesulitan dalam merumuskan topik. Hal ini selaras dengan pendapat Sumarmi (2012: 130) bahwa guru dapat membantu memberikan topik masalah untuk memulai pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation. Siswa dapat memperkuat argumen dan pendapatnya dari beberapa literatur dan kondisi nyata di sekitar lingkungannya. Kegiatan selanjutnya, masing-masing kelompok menulis dan menyelesaikan tugasnya dalam sebuah laporan, setelah itu dilaksanakan presentasi untuk menyampaikan hasil diskusi kelompok.

C. KETERKAITAN MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

  Bentuk pembelajaran akan tergambar secara khas ketika guru menyajikan materi sejak awal hingga akhir. Penyajian materi oleh guru akan menjadi lebih sempurna jika dilakukan dengan menerapkan suatu pendekatan, metode, dan teknik mengajar yang terbungkus menjadi sebuah model pembelajaran. Di dalam model pembelajaran tersebut terdapat langkah-langkah (sintaks) pembelajaran, (Yuliana, 2011: 16).

  Langkah-langkah pembelajaran perlu diperhatikan sebelum melaksanakan sebuah model. Group Investigation sebagai salah satu model pembelajaran secara umum memiliki langkah-langkah pembelajaran, meliputi (1) identifikasi topik masalah dan membagi siswa ke dalam kelompok belajar (2) merencanakan tugas-tugas belajar (3) melakasanakan investigasi (4) menyiapkan laporan (5) menyajikanmempresentasikan laporan (6) melaksanakan evaluasi (Slavin, 2005: 218-219). Berdasarkan langkah-langkah tersebut jelas bahwa setiap langkah kegiatan dari model pembelajaran Group Investigation dapat melatih kemampuan siswa untuk berpikir. Dalam hal ini berarti belajar untuk berpikir mencari topik masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, menyampaikan ide, hingga menghargai pendapat orang lain.

  Group Investigation merupakan salah satu model pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok. Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan belajar secara berkelompok adalah terjadinya diskusi dan pertukaran pendapat dari masing-masing anggota kelompok. Diskusi dan komunikasi yang terjadi antar anggota kelompok dalam hal ini kelompok kecil dan teman sekelas akan mampu

  memberikan hasil yang baik (Slavin, 2005: 215). Sebagaimana dijelaskan oleh Suprijono (2011: 25) bahwa pada tahap diskusi akan terjadi intersubyektif dan obyektivikasi pengetahuan yang terbangun di dalam kelompok, sehingga mampu memberikan pengaruh positif dalam sebuah diskusi.

  Kemampuan berpikir seseorang perlu dilatih secara terus menerus agar senantiasa berkembang. Kemampuan berpikir kritis merupakan suatu kompetensi yang harus dilatihkan pada peserta didik, karena kemampuan ini sangat diperlukan dalam kehidupan (Mahmud, 2013: 2). Kesempatan berpikir yang dimiliki oleh siswa berarti sebuah peluang untuk mereka dalam memecahkan masalah dan mewujudkan kemampuan pengembangan berpikirnya (Sidharta, 2005: 10).

  Model pembelajaran yang dilandasi oleh filosofi pendidikan dari Dewey ini memiliki beberapa strategi untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Strategi yang digunakan untuk melatih kemampuan berpikir kritis memiliki langkah- langkah yang hampir sama dengan sintaks Group Investigation. Bonie dan Potts (dalam Amri, 2012: 25) menjelaskan bahwa ”ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan berpikir kritis, yaitu: building categories (membuat klasifikasi), finding problem (menemukan masalah), dan enhanching the environment (mengkondusifkan lingkungan)”.

  Dalam kaitannya dengan mata pelajaran Sayidatutakhiyati (2010: 60) menungkapkan model pembelajaran Group Investigation dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran Fisika di SMA Negeri Ngoro Jombang. Pada mata pelajaran Sejarah model Group Investigation terbukti dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis kelas siswa VIII.2 SMP Negeri 6

  Malang tahun ajaran 20072008 (Devi, 2008). Hasil penelitian tersebut senada dengan hasil penelitian Tejeda (2002), Dumas (2003), Konberg dan Gifin (2000) (dalam Arnyana, 2006: 6) bahwa ”salah satu model pembelajaran yang dapat melatih siswa untuk berpikir kritis adalah Group Investigation”.

  Kerangka berpikir kaitan model pembelajaran Group Investigation terhadap kemampuan berpikir kritis dapat digambarkan sebagai berikut.

  Group Investigation

  Kemampuan Berpikir Kritis

  Kelebihan Model Group

  Faktor-faktor yang Mempengaruhi

  Investigation

  Kemampuan Berpikir Kritis

  Berpandangan terbuka

  Melatih siswa untuk menemukan dan

  Memiliki rasa ingin tahu

  memberikan alternatif

  dan berusaha menggali

  pemecahan masalah

  informasi dari berbagai sumber

  Mengajak siswa untuk

  Berusaha memecahkan masalah

  saling bekerja sama dan

  dan mencari buktifakta dari

  menghargai pendapat,

  beberapa sumber belajar untuk

  serta mengarahkannya

  memperkuat pendapatnya

  untuk berpikir kritis

  Mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik,

  Memanfaatkan sumber

  serta memiliki sikap rendah

  belajar

  hati

  Gambar 2.1 Diagram Keterkaitan Model Pembelajaran Group Investigation

  dengan Kemampuan Berpikir Kritis

  Berdasarkan gambar 2.1 penerapan model pembelajaran Group Investigation akan mampu mengajak siswa untuk berpikir kritis. Hal ini disebabkan oleh kegiatan di dalam model pembelajaran Group Investigation melatih siswa untuk menemukan masalah dan mencari alternatif pemecahannya.

  Alternatif pemecahan masalah yang diberikan akan sesuai jika seorang siswa memiliki pemikiran yang terbuka dan bersedia menerima saran dan pendapat orang lain untuk mendukung argumennya. Berbagai sumber belajar, yang digunakan dalam pelaksanaan model pembelajaran Group Investigation dan mencari faktabukti yang akurat dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa.

D. KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU