Pengembangan Model Family Centered Care (FCC) Bagi Caregiver Yang Merawat Pasien Stroke Gangguan Disfagia Di Rumah Dalam Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar Medan
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas teori dan konsep terkait dengan masalah
penelitian. Pemaparan teori dan konsep juga dihubungkan dengan penelitian
terdahulu sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dan acuan saat dilakukan
pembahasan.
2.1
Konsep Stroke
2.1.1 Definisi stroke
Stroke adalah sebagai suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan
fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau
kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan
vaskular (WHO, 1993 dalam Mulyatsih, 2007). Sedangkan menurut Depkes
(2004), stroke akut adalah kumpulan gejala klinis yang terjadi pada menit pertama
jam pertama serangan stroke sampai dengan 2 minggu pasca serangan. Smeltzer
(2002) mendefinisikan stroke sebagai suatu kehilangan fungsi otak karena
berhentinya suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan
secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang masih lama dan
11
Universitas Sumatera Utara
12
masih sering digunakan adalah cerebrovaskular accident (Price, 2006). Menurut
Feigin (2007), gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis dan perilaku. Gejala
fisik yang paling khas adalah paralisis, kelemahan, hilangnya sensasi diwajah,
lengan atau tungkai disalah satu sisi tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan menelan
dan hilangnya sebagian penglihatan disatu sisi. Seorang dikatakan terkena stroke
jika salah satu atau kombinasi apapun dari gejala di atas berlangsung selama 24
jam atau lebih.
2.1.2. Penyebab dan faktor risiko
Hudak, dkk, (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadi disebabkan
oleh salah satu dari empat kejadian, yaitu: 1) trombosis yaitu bekuan darah di
dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah
otak. Thrombosis bersama dengan emboli hampir menjadi penyebab sekitar
tigaperempat dari semua kasus stroke, 2) emboli serebral yaitu bekuan darah atau
lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan
menyumbat aliran darah bagian otak tertentu, 3) spasme pembuluh darah cerebral
yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area otak tertentu, 4) hemoragik serebral
atau pendarahan serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh
darah serebral dengan pendarahan ke otak yaitu pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak
sehingga menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu
pertiga dari seluruh kejadian stroke dan presentasi penyebab kematian lebih besar
dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik
Universitas Sumatera Utara
13
Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Beberapa penyakit yang diakibatkan
oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya. Stroke yaitu
hipertensi, diabetes mellitus, gangguan jantung (miokardium infark) dan
hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi untuk terjadinya
stroke.
Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50
mmHg dan diatas 160 mmHg (Lemone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan
darah yang adekuat dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller &
Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2009). Diabetes mellitus (DM) merupakan
faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah
serangan stroke (Ignativius & Workman, 2006).
Faktor resiko stroke lainnya dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia,
merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke,
tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke yang berulang
(Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2009).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya: usia, jenis
kelamin, ras (American Heart Association, 2000, dalam Smeltzer & Bare, 2008).
Laki-laki lebih tinggi risiko mendapat serangan stroke dari pada wanita.
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.3 Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran
darah ke otak berkurang atau berhenti sama sekali kedaerah distal otak yang
mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori aliran
darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa
mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondria berubah menjadi
respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH.
Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron
dalam memproduksi adenosine triphospate (ATP) yang akan dijadikan sumber
energy dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarisasi
Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya daerah penumbra
dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu daerah otak yang
iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengelilingi daerah infark. Daerah
ini dapat segera mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan.
Daerah ini dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju
kedaerah tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan
mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibatnya yang timbul
adalah kalsium dan glutamate banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan
menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra
dan memperberat gangguan neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan
penumbra ini akan menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar
penumbra dan infark sebagai akibat tekanan dan iskemia sehingga menyebabkan
gangguan system saraf yang lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini
Universitas Sumatera Utara
15
akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan
saraf secara perlahan dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses
yang terjadi.
Proses evolusi dari jaringan iskemik kearah infark ini cukup cepat.
Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil,
sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dutka, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral
Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100 gram per menit selama 4 jam akan
menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan
menimbulkan infark dalam 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram per menit akan
menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram per menit
menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004).
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan
lokasi perdarahanya. Perdarahan subraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma
atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada
area sirkulus willis dan kelainan bentuk arteri vena (AVM). Perdarahan tersebut
dapat menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan
terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang
tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan
menambah tekanan intracranial semakin berat. Perdarahan subarachnoid juga
disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan
tekanan perfusi dan vasospasme.
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien stroke dengan
hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
16
tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan
amphetamine. Perdarahan biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal
ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat juga terjadi pada
intraventrikular (Black & Hawks, 2005).
Gangguan sel-sel menyebabkan terjadinya defisit neurologis berkaitan
erat dengan daerah serebral yang terkena (infark). Defisit neurologis biasanya
terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah infark. Hal ini terjadi karena
adanya penyilangan jalur motor neuron. Penyilangan terjadi pada diskus
piramidalis (decussation of pyramids).
2.1.4 Tanda dan gejala sisa
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black &
Hawk, 2009), bervariasi bergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang
rusak, lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral
di serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara,
kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009).
Stroke dapat dihubungkan dengan area gangguan neuron otak maupun
defisit neurologis, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari
stroke meliputi: 1) kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas
dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiparesis (kelemahan) dan
hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) sering terjadi setelah stroke, yang
biasanya disebabkan karena stroke pada bagian anterior atau bagian tengah arteri
serebral, sehingga memicu terjadinya infark bagian motorik dari kortek frontal, 2)
Universitas Sumatera Utara
17
aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan berkomunikasi, termasuk
berbicara, membaca, menulis dan memahami bahasa lisan. Terjadi jika pusat
bahasa primer yang terletak dipusat hemisfer yang terletak di hemisfer kiri
serebelum tidak mendapatkan aliran darah dari arteri serebral tengah karena
mengalami stroke, ini terkait erat dengan area wernick dan brocca, 3) disatria,
dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit untuk mengucapkannya,
sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini disebabkan oleh terjadinya paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara, 4) apraksia yaitu
ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya, seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya, 5)
disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan karena stroke pada
arteri vertebrobasiler yang mempengaruhi saraf yang mengatur proses menelan,
yaitu N.V (trigeminus), N VII (facialis), N IX (glossofarengeus) dan N XII
(hipoglosus), 5) pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan
seperti diplopia, 6) horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus
simpatis pada mata sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak
mata atas, kelopak mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan
berkurangnya air mata, 7) unilateral neglected merupakan ketidak mampuan
merespon stimulus dari sisi kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering
mengabaikan salah satu sisinya, 8) defisit sensori disebabkan oleh stroke pada
bagian sensorik dari lobus parietal yang disuplai oleh arteri serebral bagian
anterior dan medial, 9) perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke
bagian otak yang mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi.,
Universitas Sumatera Utara
18
yaitu bagian korteks serebral, area temporal, limbic hipotalamus, kelenjar pituitary
yang mempengaruhi korteks motorik dan area bahasa, 10) inkontinensia baik
bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu bentuk neurogenic blader
atau ketidakmampuan kandung kemih, yang kadang terjadi setelah stroke. Saraf
mengirimkan pesan ke otak tentang pengisian kandung kemih tetapi otak tidak
dapat menginterpretasikan secara benar pesan tersebut dan tidak mentransmisikan
pesan ke kandung kemih untuk tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan
terjadinya frekuensi urgensi dan inkontinensia (Black & Hawk, 2009) dan
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.5 Komplikasi Stroke
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, dan luasnya area cedera
terdiri dari: 1) hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah
adekuat ke otak, 2) aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah
jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian
intervensi) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral, 3) embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau
fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik (Smeltzer & Bare,
2002).
2.2
Disfagia
2.2.1 Definisi Disfagia
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Werner, 2005). Gejala
Universitas Sumatera Utara
19
gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di
kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan. Tanda dan
gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan mengunyah, makanan
tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk, tersedak, suara
serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan menurun, rasa panas di
dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi pneumonia.
Disfagia diartikan sebagai “perasaan melekat” atau obstruksi pada tempat
lewatnya makanan melalui mulut, faring, atau esophagus. Gejala ini harus
dibedakan dengan gejala lain yang berhubungan dengan menelan. Kesulitan
memulai gerakan menelan terjadi pada kelainan-kelainan fase volunter menelan.
Namun demikian setelah dimulai gerakan menelan ini dapat diselesaikan dengan
normal. Odinofagia berarti gerakan menelan yang nyeri, seringkali odinofagia dan
disfagia terjadi secara bersamaan. Globus faringeus merupakan perasaan adanya
suatu gumpalan yang terperangkap dalam tenggorokan. Arah makanan yang keliru
sehingga terjadi regurgitasi nasal dan aspirasi makanan kedalam laring serta paru
sewaktu menelan, merupakan ciri khas disfagia orofaring (Harrison, 2000).
Penatalaksanaan pasien stroke yang mengalami disfagia secara tepat sedini
mungkin selain menurunkan risiko aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi,
mengoptimalkan program rehabilitasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa
seringkali pasien stroke dengan disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat dan
caregiver sebagai anggota dari tim stroke, dapat dilatih dalam melakukan skrining
terhadap adanya gangguan menelan pada pasien stroke. Tim stroke perlu segera
melakukan identifikasi terhadap pasien stroke yang kemungkinan mengalami
Universitas Sumatera Utara
20
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (Smithard, 2014).
2.2.2 Etiologi
Disfagia sering disebabkan oleh penyakit otot dan neurologis. Penyakit ini
adalah gangguan peredaran darah otak (stroke, penyakit serebrovaskuler),
miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu
peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam trakea
atau bronkus (Price, 2006). Disfagia esophageal mungkin dapat bersifat obstruktif
atau disebabkan oleh motorik. Penyebab obstruksi adalah striktura esophagus dan
tumor-tumor
ekstrinsik
atau
instrinsik
esofagus,
yang
mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab disfagia dapat disebabkan oleh berkurangnya,
tidak adanya, atau terganggunya peristaltik atau disfungsi sfingter bagian atas atau
Gangguan yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
bawah.
scleroderma, dan spasme esophagus difus (Price, 2006).
Harrison (1999) membagi disfagia menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut:
1. Disfagia Mekanis yaitu: 1) luminal penyebab disfagia mekanis pada bagian
luminal adalah bolus yang besar atau benda asing, 2) penyempitan intrinsik
Penyempitan instrinsik dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) keadaan
inflamasi yang menyebabkan pembengkakan seperti stomatitis, faringitis,epiglotti,
esofangitis, 2) selaput dan cincin dapat dijumpai pada faring (sindroma pulmer,
vinson), esophagus (congenital, inflamasi), cincin mukosa esophagus distal, 3)
striktur benigna seperti ditimbulkan oleh bahan kaustik dan pil, inflamasi,
Universitas Sumatera Utara
21
iskemia, pasca operasi, congenital 4) tumor-tumor malignan, karsinoma primer,
karsinoma metastasik, tumor-tumor benigna, leiomioma, limpoma, angioma, polip
fibroid inflamatorik, papiloma epitel. 3) kompresi ekstrinsik yaitu Kompresi
ekstrinsik dapat disebabkan oleh spondilitis servikalis, osteofit veterbra, abses dan
massa retrofaring, tumor pankreas, hematoma dan fibrosis.
2. Disfagia Motorik terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) kesulitan dalam memulai
reflek menelan adalah kesulitan dalam memulai reflek menelan disebabkan oleh
lesi oral dan paralisis lidah, anesthesia orofaring, penurunan produksi saliva, dan
lesi pada pusat menelan, 2) kelainan pada otot lurik yaitu kelainan pada otot lurik
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) kelemahan otot (paralisis
bulbar,
neuromuskuler, kelainan otot) 2) kontraksi dengan awitan stimultan atau
gangguan inhibisi deglutisi (faring dan esophagus, sfingther esophagus bagian
atas), 3) kelainan pada otot polos esophagus yaitu Kelainan pada otot polos
esofagus dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) paralisis otot esophagus
yang menyebabkan kontraksi yang lemah, 2) kontraksi dengan awitan simultan
atau gangguan inhibisi deglutis, 3) kelainan sfingter esophagus bagian bawah.
2.2.3 Manifestasi Klinis Disfagia
Manifestasi klinis dari disfagia dapat dilihat dengan adanya gangguan
pada neurogenik mengeluh bahwa cairan lebih mungkin menyebabkan tersedak
daripada makanan padat atau setengah padat. Batuk dan regurgitasi nasal
menunjukkan kelemahan otot-otot palatum atau faring bagian atas. Cemas, bicara
lambat, saliva banyak, dan sulit mengunyah. Sedangkan aspirasi sering terjadi
pada gangguan neurologik (Squires, 2006). Gejala gangguan menelan bervariasi
Universitas Sumatera Utara
22
dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di kerongkongan hingga tidak
mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia lain meliputi tidak mampu menahan air liur,
kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat
menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat
badan menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung,
dan aspirasi pneumonia (Finestone & Finestone, 2003).
2.2.4 Bentuk Disfagia pada Proses Menelan
1. Fase Oral
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa kelemahan otot lidah,
buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah, yang menyebabkan terkumpulnya
makanan dalam mulut atau masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang
dapat menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat berupa
gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status mental dan kognitif, yang
berisiko terjadi pengumpulan bolus makanan di rongga mulut dan risiko terjadi
aspirasi.
2. Fase Faringeal
Pada fase ini, dapat terjadi disfungsi palatum mole dan faring superior
yang menyebabkan makanan atau cairan refluks ke nasofaring. Dapat juga terjadi
berkurangnya elevasi laring dan faring sehingga meningkatkan risiko aspirasi.
Gangguan lain adalah terjadi kelemahan
otot konstriktor faring yang
menyebabkan pengumpulan bolus di valekula dan sinus piriformis yang berisiko
Universitas Sumatera Utara
23
terjadi aspirasi, atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan
mengganggu koordinasi proses menelan.
3. Fase Esofagus
Kelainan yang mungkin terjadi pada fase ini adalah kelainan dinding
esofagus atau kelemahan peristaltik esofagus.
2.2.5 Disfagia atau Gangguan Fungsi Menelan pada Pasien Stroke
Akibat stroke, sel neuron mengalami nekrose atau kematian jaringan,
sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan fungsi yang terjadi tergantung
pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada stroke fase akut, pasien dapat mengalami
gangguan menelan atau disfagia. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan
dan atau makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan
(Mulyatsih, 2009). Disfagia pada pasien stroke dapat disebabkan oleh edema otak,
menurunnya tingkat kesadaran, ataupun akibat proses diaschisis, yang biasanya
bersifat sementara. Tetapi bila lesi terjadi di daerah batang otak, kemungkinan
pasien akan mengalami disfagia yang menetap.
Werner (2005 dalam Mulyatsih, 2009) mengemukakan bahwa lesi pada
hemisfer kiri menyebabkan menurunnya aktifitas motorik di oral dan apraxia,
sedangkan lesi di hemisfer kanan berhubungan dengan terlambatnya refleks
menelan, bolus tertahan di faring, sehingga dapat menyebabkan aspirasi.
Peneliti lain (Smithards, 2014) mengemukakan, bahwa selama fase akut
tidak ada hubungannya antara kejadian aspirasi atau disfagia dengan lokasi stroke
dan letak lesi. Stroke akut pada batang otak kemungkinan dapat menyebabkan
disfagia dengan atau defisit neurologik yang lain. Hampir 62,5% pasien stroke
Universitas Sumatera Utara
24
dengan kelainan pada batang otak mengalami aspirasi, terutama lesi pada medulla
atau pons. Risiko aspirasi akan meningkat bila mengenai bilateral, dan biasanya
berupa aspirasi yang tersembunyi. Parese saraf kranial X sampai XII dismobilitas
dan asimetri faring, laring tidak menutup sempurna, terkumpulnya bolus di
vallecula, dan tidak sempurnanya rileksasi atau spasme dari cricopharingeal.
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang untuk Menegakkan Diagnosa Disfagia
Disfagia dapat didiagnosa melalui beberapa pemeriksaan fungsi menelan
baik secara invasif maupun non invasif (Crary & Groher, 1999 dalam Mulyatsih
2009). Pemeriksaan invasif sebaiknya dilakukan hanya pada pasien yang dicurigai
mengalami gangguan menelan. Berikut ini beberapa pemeriksaan tersebut:
1. Videofluoroscopy Swallowing Study (VFSS)
Tes yang paling sering digunakan adalah Videofluoroscopy Swallowing
Study (VFSS), yang juga dikenal dengan istilah Modified Barium Swallow (MBS).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang baku
emas untuk
mendiagnosa disfagia (Massey & Jedlicka, 2002).
2. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
FEES merupakan teknik pemeriksaan visualisasi langsung struktur
nasofaring, laringofaring, dan hipofaring. Selama pemeriksaan pasien diberikan
berbagai macam konsistensi makanan dan dilakukan evaluasi terhadap adanya
residu, kebocoran makanan ke faring sebelum menelan (preswallowing leakage),
penetrasi serta aspirasi.
3. Transnasal Esophagoscopy, sesuai untuk kasus divertikula esofagus atau
tumor.
Universitas Sumatera Utara
25
4. Ultrasonography, untuk mengevaluasi gerak jaringan lunak selama fase oral
dan faringeal.
5. Electromyography, lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi
fungsi mioelektrik.
2.3
Menelan
2.3.1 Fisiologi Proses Menelan
Proses menelan merupakan suatu sistem kerja neurologik yang sinkron,
berurutan, terkoordinasi, simetris, semiotomatis, unik dan spesifik bagi setiap
individu (Smithard, 2014). Proses menelan memerlukan beberapa elemen yang
meliputi; input sensori dari saraf tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik
sebagai umpan balik. Proses menelan terdiri atas 3 (tiga) fase, yaitu fase oral, fase
faringeal, dan fase esopageal. Pada pasien stroke, yang sering mengalami
gangguan adalah pada fase oral dan fase faringeal (Finestone & Finestone, 2003).
Menurut Smithard (2014), proses menelan terbagi dalam tiga fase berikut:
1. Fase Oral
Fase oral terbagi lagi dalam fase persiapan oral dan fase transport oral.
Pada fase persiapan oral, meliputi aktifitas menggigit dan mengunyah makanan,
terjadi aktifitas yang terkoordinasi dari gigi, bibir, lidah, mandibula, palatum dan
otot maseter. Dengan bantuan saliva yang diproduksi oleh tiga pasang kelenjar
saliva, sensasi rasa, suhu, dan sensasi proprioseptif, bahan makanan akan berubah
bentuk menjadi bentuk bolus.
Selanjutnya pada fase persiapan oral, bolus makanan bergerak ke atas dan
Universitas Sumatera Utara
26
ke belakang menyentuh palatum durum, dan dibawa ke belakang ke arah faring
oleh lidah. Proses menelan pada fase ini membutuhkan kemampuan bibir untuk
menutup secara rapat supaya bolus tidak keluar dari oral. Fase oral ini merupakan
aktivitas volunter atau gerakan yang disadari, yang dikontrol oleh korteks
serebri melalui traktus kortikobulbar.
2. Fase Faringeal
Fase faringeal merupakan suatu gerakan involenter atau refleks, yaitu
berpindahnya bolus dari oral ke esofagus, yang normalnya membutuhkan waktu
kurang dari satu detik. Meninggalkan bagian belakang lidah, bolus terhenti
sebentar di valleculae, daerah antara lidah dan epiglotis. Kemudian, tergantung
ukuran dan konsistensi, melalui atas atau sekitar epiglotis, melewati laring masuk
ke esofagus.
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring,
bolus menyentuh reseptor menelan pada daerah arkus faring anterior atau Faucial
Pillar, sehingga pola refleks menelan dimulai secara otomatis. Terjadi rileksasi
otot krikofaring dan sfingter membuka sehingga bolus masuk ke esofagus. Pada
saat yang hampir bersamaan laring elevasi dan menutup untuk melindungi jalan
nafas.
3. Fase Esofagus
Fase esofagus dimulai pada saat bolus melewati sfingter esofagus atas
yang rileksasi dan masuk ke dalam lumen esofagus. Fase esofagus merupakan
fase akhir dari proses menelan yang dikendalikan oleh batang otak dan pleksus
Universitas Sumatera Utara
27
mienterikus. Bolus terdorong secara sekuensial oleh gerak peristaltik yang dimulai
dari faring, masuk ke lambung melalui sfingter kardia yang rileksasi.
2.3.2 Kontrol Persarafan pada Proses Menelan
Proses menelan memerlukan beberapa elemen: input sensori dari saraf
tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Input
sensori dari saraf tepi terutama dari saraf kranial V, VII, IX, X, dan XII. Reseptor
sensori memperoleh stimulus dari berbagai macam bentuk rasa, cairan, atau
tekanan. Area paling efektif sebagai rangsang menelan adalah arkus faring
anterior. Meskipun peran yang pasti sebagai pusat menelan belum jelas,
diperkirakan kortikal dan subkortikal mengatur ambang rangsang menelan.
Sedangkan pusat menelan di batang otak menerima input, mengaturnya menjadi
respon yang terprogram, dan mengirim respon tersebut melalui saraf tepi untuk
aktifitas otot-otot mengunyah dan menelan (Smithard, 2014).
Nervus trigeminus atau nervus kranial V merupakan nervus dengan
serabut motorik dan sensorik dengan inti nervus berada di pons. Serabut
motoriknya mempersarafi otot-otot untuk mengunyah, termasuk otot temporalis,
otot maseter, serta otot pterigoid medial dan lateral. Selain itu, nervus trigeminus
juga membantu saraf glosofaringeal mangangkat laring dan menariknya kembali
selama fase faringeal. Sedangkan serabut sensoriknya memiliki 3 cabang. Cabang
pertama ke arah optalmika, cabang kedua mempersarafi palatum, gigi, bibir atas,
dan sulkus gingivibukal. Cabang ketiga mempersarafi lidah, mukosa bukal, dan
bibir bawah. Secara umum, serabut sensorik nervus V ini membawa informasi
tentang sensasi yang berasal dari wajah, mulut dan mandibula (Smithard, 2014).
Universitas Sumatera Utara
28
Nervus fasialis atau nervus kranial VII merupakan nervus dengan serabut
motorik, sensorik, dan parasimpatis. Inti nervus VII ini juga berada di pons.
Serabut motoriknya mempersarafi otot-otot bibir, termasuk otot orbikularis oris
dan otot zigomatikus, yang berfungsi untuk mencegah makanan keluar dari mulut.
Nervus fasialis juga menginervasi otot-otot businator pada pipi, yang berperan
untuk mencegah makanan terkumpul di celah antara gigi dan pipi. Serabut
sensoriknya mempersarafi dua pertiga lidah depan untuk mengecap.
Nervus glosofaringeus atau nervus kranial IX mengandung serabut
motorik, sensorik, dan saraf otonom. Bersama nervus X menginervasi otot
konstriktor faring bagian atas. Inti atau nukleus nervus ini berada di medula
oblongata. Serabut motorik nervus IX ini menginervasi tiga buah kelenjar saliva
di mulut. Saliva inilah yang membantu pembentukan makanan menjadi bolus di
mulut. Nervus ini juga menginervasi otot stilofaringeus, yang mengangkat laring
dan menariknya kembali selama proses menelan fase faringeal. Gerakan laring ini
juga membantu rileksasi dan terbukanya otot krikofaringeal. Serabut sensorik
nervus glosofaringeus ini menerima seluruh sensasi, termasuk rasa, dari sepertiga
lidah bagian belakang (Smithard, 2014).
Nervus vagus atau nervus X mengandung serabut motorik, sensorik dan
nervus otonom. Bersama nervus IX menginervasi otot konstriktor faring bagian
atas. Bersama nervus XI menginervasi otot intrinsik laring. Nervus ini juga
menginervasi otot krikofaringeal dan mengontrol otot-otot yang terlibat selama
fase esofageal. Nervus vagus membawa informasi sensasi dari velum, faring
bagian posterior, faring bagian inferior, dan laring. Nervus hipoglosus atau nervus
Universitas Sumatera Utara
29
XII merupakan nervus motorik tanpa serabut sensorik. Inti nervus ini berada di
medula oblongata sama dengan nervus IX dan X. Nervus ini memberikan
persarafan pada lidah. Perannya pada proses menelan terutama pada
pembentukkan bolus dan membawa bolus ke arah faring.
2.3.3 Latihan Menelan pada Pasien Stroke dengan Disfagia
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien stroke dengan disfagia
menurut NANDA dalam Ignatavicius (2007); Bulechek, Butcher, Dochterman,
Wagner (2013); dan Smeltzer & Bare (2002) adalah gangguan menelan
sehubungan dengan kelemahan otot menelan dan menurunnya refleks muntah.
Kriteria hasil dari rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah ini
adalah tidak ada tanda atau gejala aspirasi, dan pasien memiliki toleransi terhadap
makanan atau minuman tanpa tersedak.
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih, 2009),
penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan
kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi
yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mancakup modifikasi diet,
manuver kompensatori, serta latihan menelan (swallowing therapy).
Latihan mengunyah dan menelan pada pasien stroke akut yang mengalami
disfagia fase oral (derajat I) dan fase paringeal (derajat II) terbukti berguna dapat
memulihkan gejala disfagia dan meningkatkan kemampuan menelan. Disfagia
yang terjadi pada pasien stroke dapat dipulihkan dalam satu minggu perawatan
(Wright, 2007).
Universitas Sumatera Utara
30
Penelitian serupa yang dilakukan terhadap 27 pasien stroke yang
mengalami disfagia derajat III (fase esofageal) diberikan stimulasi elektrik untuk
menguatkan otot-otot servikal dan submandibula, didapatkan bahwa semua pasien
menunjukkan peningkatan kemampuan menelan sebanyak 25 (93%) dari 27
responden dari tidak bisa menelan menjadi dapat menelan lunak tanpa tersedak
(Hammond & Goldstein, 2006 dalam Mulyatsih 2006).
Beberapa jenis latihan yang direkomendasikan pada pasien stroke yang
mengalami disfagia antara lain latihan penguatan otot-otot menelan dan latihan
menelan. Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
mengunyah dan menelan, meningkatkan ruang gerak sendi (ROM) dan
meningkatkan koordinasi dalam mengunyah dan menelan, sedangkan latihan bibir
dan lidah berguna untuk meningkatkan kemampuan menahan makanan agar tidak
keluar dari mulut serta pengosongan mulut.
Sebagian besar latihan menelan dilakukan sedini mungkin, khususnya
latihan menelan menggunakan metode tidak langsung, seperti pengaturan posisi
kepala dan posisi badan pada saat pemberian makan, serta menjaga kebersihan
mulut atau oral hygiene. Sedangkan latihan menelan menggunakan metode
langsung dilakukan bila kesadaran pasien komposmentis. Kedua jenis latihan
menelan ini sebaiknya dilakukan secara teratur tiga kali sehari pada saat jam
makan atau meal time selama 12 hari (Mulyatsih, 2009). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Warlow (2000) yang menyatakan bahwa status fungsi menelan akan
membaik pada satu hingga dua minggu pertama pasca stroke.
Universitas Sumatera Utara
31
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih 2009),
penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan
kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi
yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mencakup modifikasi diet,
manuver kompensatori, serta latihan menelan atau swallowing therapy. Salah satu
alasan yang mendasari dilakukannya latihan menelan adalah memberikan stimulus
atau rangsangan terhadap reseptor fungsi menelan yang berada di lengkung faring
anterior atau Faucial Pillar, sehingga diharapkan fisiologi menelan yang normal
akan kembali muncul. Aktivitas latihan menelan lain bertujuan meningkatkan
kekuatan otot-otot mengunyah dan menelan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan fungsi menelan dan mencegah masuknya makanan atau cairan ke
saluran pernafasan.
Mann, Lenius, dan Crary (2007 dalam Mulyatsih 2009) menyatakan,
tujuan dari penatalaksanaan pasien disfagia adalah memberikan nutrisi yang
adekuat pada pasien dengan cara aman dan efisien. Intervensi keperawatan yang
dianjurkan hampir sama, yaitu berupa latihan makan dan menelan, manuver, serta
strategi untuk fasilitasi makan per oral termasuk rekomendasi metode makan
dengan berbagai alternatif. Metode latihan makan diklasifikasikan dalam metode
tidak langsung (kompensatori) dan metode langsung. Metode kompensatori
adalah suatu strategi atau manuver yang bertujuan untuk mengeliminir gejala
disfagia tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk
merubah posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Metode tidak
Universitas Sumatera Utara
32
langsung atau kompensatori bertujuan meningkatkan kekuatan otot-otot menelan
tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk merubah
posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Intervensi
merubah posisi kepala antara lain dengan mengatur posisi pasien duduk tegak
minimal 70 derajat atau semi fowler dan kepala agak ditekuk kedepan. Dengan
posisi kepala seperti ini dilaporkan mampu menurunkan risiko aspirasi, sehingga
esofageal lebih membuka dan trakhea menutup. Merubah metode pemberian
makan dapat dilakukan berbagai cara, antara lain; perawat duduk atau berdiri
berhadapan wajah pada saat memberikan makan, menciptakan lingkungan tenang,
menganjurkan pasien tidak berbicara ketika sedang makan, meletakkan makanan
pada sisi mulut yang sehat, menggunakan senduk kecil, dan menghindari
penggunaan sedotan (Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner, 2013).
Latihan menelan metode tidak langsung lainnya adalah memodifikasi
konsistensi
makanan
atau
cairan
yang dikonsumsi pasien, dengan
menambahkan pengental cairan atau thickened liquids. Penggunaan pengental
cairan merupakan satu dari rekomendasi yang paling sering diberikan oleh dokter.
Menurut Logemann (1998) dalam Mills (2008), makanan dalam bentuk cair
merupakan risiko tinggi terjadinya aspirasi pneumonia pada pasien disfagia.
Bahan makanan berbentuk lunak atau cairan kental juga lebih mudah dan
aman ditelan dibandingkan bahan berbentuk cair (Smeltzer & Bare, 2002).
Latihan menelan menggunakan metode langsung dirancang untuk merubah
fisiologi menelan dan membutuhkan partisipasi langsung dari pasien. Yang
Universitas Sumatera Utara
33
termasuk metode ini antara lain; The Effortful Swallow, The Mendelsohn
maneuver, Expiratory Muscle Strength Training atau berbagai bentuk stimulasi
sensori lain seperti The Electromyographic Surface Biofeedback atau Expiratory
Muscle Strength Training (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008). Teknik
maneuver ini bertujuan meningkatkan fungsi menelan secara fisiologi, sehingga
proses menelan pasien menjadi lebih aman.
The Effortful Swallow, merupakan suatu aktivitas yang membutuhkan
keterlibatan pasien secara aktif, bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
menelan. Hasil penelitian menujukkan bahwa The Effortful Swallow mampu
meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun) keatas, durasi membukanya
sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo aktivasi otot menelan pada
orang sehat. Caranya adalah menganjurkan pasien menelan dengan kekuatan
penuh otot leher dan otot faring sewaktu menelan, dan bila perlu melakukan
aktifitas menelan ulang setelah aktifitas menelan yang pertama. The Mendelsohn
Maneuver, juga terbukti mampu meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun)
keatas, durasi membukanya sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo
aktivasi otot menelan pada orang sehat.
Latihan ini dapat dilakukan dengan
menganjurkan pasien meletakkan tangannya di kerongkongan (leher) dan
merasakan gerakan buah jakun bergerak keatas pada saat menelan. Selanjutnya
pasien dianjurkan memegang dan menahan buah jakun agar tidak bergerak selama
beberapa detik sewaktu menelan (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008 dalam
Mulyatsih, 2009).
Universitas Sumatera Utara
34
Metode langsung lain yang membutuhkan partisipasi pasien adalah dengan
memberikan petunjuk atau arahan kepada pasien baik secara verbal maupun visual
tentang cara mengunyah, menelan, dan membersihkan mulut dari sisa makanan
atau melakukan mouth care (Mann, Lenius & Crary, 2007).
Sebelum pasien berlatih menelan, perawat menganjurkan pasien untuk
melakukan latihan pergerakan otot menelan dengan membuka dan menutup mulut
sebagai
persiapan
manipulasi
bolus
dimulut.
Kebersihan
mulut
harus
dipertahankan dengan melakukan mouth care sebelum dan setelah latihan
menelan. Selain memberikan rasa nyaman, mouth care dapat mencegah terjadi
koloni mikroorganisme dimulut dan mampu merangsang produksi tiga buah
kelenjar saliva dimulut yang berfungsi mempermudah pembentukan bolus di fase
oral (Heckenberg, 2008).
Latihan lidah aktif maupun pasif berguna untuk meningkatkan
kemampuan fasilitasi manipulasi bolus dan kemampuan mendorong bolus dari
rongga mulut masuk ke esophagus melalui faring. Sedangkan latihan gerakan
rahang bermanfaat untuk pergerakan rahang dalam proses mengunyah (Squires,
2006).
Latihan mengunyah dan menelan dilakukan sesuai dengan hasil
pemeriksaan dan observasi klinis yang ditemukan pada pasien. Pada pasien yang
menunjukkan gejala klinis mengiler dan facial drop dapat dilakukan latihan bibir
untuk memperkuat otot-otot bibir sehingga dapat menahan makanan di dalam
mulut agar tidak tumpah serta menahan air liur yang keluar dari mulut (Squires,
2006).
Universitas Sumatera Utara
35
Latihan bibir yang dianjurkan adalah pasien duduk atau berbaring dengan
nyaman di tempat tidur, selanjutnya pasien diminta membuka mulut, lebarkan
mulut sehingga membentuk huruf “O”, kemudian rileks kembali. Pasien diminta
tersenyum, menyeringai, tersenyum. Dilanjutkan dengan mengucapkan kata “pa
pa pa” atau “ba ba ba” berulang-ulang. Setiap gerakan di atas dilakukan berulangulang sampai delapan kali. Untuk pasien yang lidahnya mengalami gangguan
pergerakan, kekuatan dan koordinasi dan secara klinis tidak mampu memindahkan
makanan dari depan ke belakang mulut, latihan yang diajarkan kepada pasien
adalah menjulurkan lidah kemudian ditahan sampai hitungan kedelapan. Latihan
berikutnya yaitu pasien diminta menyentuh bibir atas dan bawah dengan lidah
bergantian atas dan bawah. Mendorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri secara
bergantian sampai pipi terlihat menonjol oleh dorongan lidah. Perawat atau
fasilitator menekan lidah dengan sudip lidah kemudian pasien diminta mendorog
sudip lidah dengan lidahnya. Selanjutnya pasien diminta untuk mengucapkan “la
la la la la”.
Semua gerakan di atas berguna untuk meningkatkan gerakan,
kekuatan otot dan koordinasi lidah untuk memanipulasi bolus, mendorong bolus
dan membersihkan mulut dari sisa makanan (Feigin, 2007).
Pada pasien yang mengalami penurunan pergerakan, kekuatan dan
koordinasi rahang bawah, dimana pasien tidak mampu mengunyah makanan.
Latihan yang dilakukan adalah buka mulut lebar, tutup/istirahatkan, lakukan
berulang-ulang. Selanjutnya gerakkan dagu dari kanan ke kiri dan sebaliknya.
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan kekuatan mengunyah
sehingga membantu proses pembentukan bolus (Squires, 2006).
Universitas Sumatera Utara
36
Pada pasien yang mengalami kelemahan refleks menelan dan batuk
dimana pasien tidak mampu batuk, suara serak, dan batuk saat menelan atau
sesaat sesudah menelan. Latihan yang perlu diberikan adalah pasien diminta tarik
nafas dalam dan hembuskan perlahan-lahan. Selanjutnya tarik nafas dalam lalu
ucapkan “ah ah ah” berulang-ulang sambil mengeluarkan nafas. Latihan lain yaitu
pasien meniup sedotan dan atau menyanyikan lagu. Latihan-latihan tersebut
berguna untuk meningkatkan kekuatan pernafasan sehingga dapat membantu
mencegah aspirasi melalui refleks batuk efektif (Feigin, 2006).
Feigin (2006) menyarankan latihan bibir dan lidah untuk pasien yang
menggalami disfagia dan gangguan bicara. Setiap gerakan/ latihan ini dilakukan
masing-masing 10 kali. Latihannya adalah sebagai berikut: 1) bentuk bibir
menajadi seperti huruf “O”; 2) tersenyum;
3) berganti-ganti antara bibir
membentuk huruf “O” dan tersenyum sehingga seolah-olah mengucapkan
“oo..ee”; 4) buka mulut lebar-lebar, kemudian gerakkan bibir seolah-olah hendak
mencium; 5) tutup bibir erat-erat seakan-akan berkata “mmm”; 6) ucapkan kata
“ma ma ma ma” secepat mungkin; 7) ucapkan kata “mi mi mi” secepat mungkin
8) katupkan bibir anda rapat-rapat dan gembungkan pipi dengan udara, tahan
udara dalam pipi selama lima detik, kemudian keluarkan; 9) coba sentuh dagu
dengan ujung lidah; 10) coba sentuh hidung dengan ujung lidah; 11) julurkan
lidah anda sejauh mungkin, tahan selama tiga detik, kemudian tariklah kembali ke
dalam mulut; 12) sentuh sudut-sudut mulut anda dengan lidah, gerakkan lidah
dengan cepat dari kanan ke kiri dan kembali lagi; 13) usapkan lidah mengelilingi
bibir; 14) ucapkan suara “ta ta ta” dengan kecepatan yang semakin meningkat; 15)
Universitas Sumatera Utara
37
tekankan lidah ke gusi bagian atas kemudian ke gusi bagian bawah; 16) sikatlah
gigi menggunakan lidah; dan 17) dorong pipi dengan lidah sekuat mungkin
bergantian ke pipi kanan dan kiri. Sedangkan menurut Bulechek, Butcher,
Dochterman, Wagner (2013), intervensi keperawatan berdasarkan Nursing
Intervention Classification (NIC) adalah aspiration precaution, positioning, dan
swallowing therapy.
1. Aspiration Precaution
Aktivitas keperawatan meliputi; monitor tingkat kesadaran, refleks batuk,
refleks muntah, dan kemampuan menelan, monitor status fungsi paru, pertahankan
jalan nafas efektif, atur posisi kepala tegak 90 derajat jika memungkinkan,
sediakan suction pada kondisi siap digunakan, berikan makanan dalam jumlah
kecil, cek residu cairan lambung sebelum memberikan makanan atau cairan,
potong makanan dalam bentuk kecil, berikan makanan atau cairan yang dapat
dibentuk menjadi bolus, mintakan obat dalam bentuk eliksir, hancurkan pil
sebelum diberikan ke pasien, serta kolaborasi dengan terapis wicara bila
diperlukan.
2. Positioning
NIC positioning tidak membahas secara khusus aktifitas keperawatan pada
pasien stroke dengan disfagia. Nursing Intervention Classification (Bulechek,
Butcher, Dochterman, Wagner, 2013) hanya membahas tentang aktifitas
keperawatan positioning untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis
pasien, intra operatif, serta positioning untuk pasien dengan gangguan spinal cord
dan vertebral irratibility. Pengaturan posisi sewaktu latihan menelan akan dibahas
Universitas Sumatera Utara
38
dalam swallowing therapy.
3. Swallowing Therapy
Swallowing therapy atau latihan menelan adalah memfasilitasi menelan
dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi akibat gangguan menelan
(Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner 2013). Aktifitas keperawatan yang
ditampilkan dalam swallowing therapy ini lengkap, mencakup metode latihan
menelan langsung dan tidak langsung sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Aktifitas keperawatan meliputi; 1) kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain;
2) kaji kemampuan pasien mengunyah dan menelan; 3) hindari distraksi dari
lingkungan; 4) jelaskan tujuan latihan menelan pada pasien dan keluarga; 5)
gunakan alat bantu sesuai keperluan; 6) hindari penggunaan sedotan; 7) bantu
pasien mempertahankan duduk sekitar 90 derajat bila memungkinkan sewaktu
makan atau latihan menelan; 8) bantu pasien untuk memposisikan kepala agak
ditekuk sebagai persiapan menelan; 9) instruksikan pasien untuk membuka dan
menutup mulut sebagai persiapan manipulasi makanan; 10) anjurkan pasien untuk
tidak berbicara selama latihan menelan; 11) anjurkan pasien mengucapkan “AH“
untuk meningkatkan elevasi soft palatum; 12) berikan permen lolipop dan
anjurkan pasien menghisapnya untuk melatih kekuatan lidah; 13) ganjal dengan
bantal atau letakkan lengan yang lemah diatas meja; 14) monitor tanda dan gejala
aspirasi; 15) monitor pergerakan lidah dan bibir pasien ketika mengunyah dan
menelan; 16) monitor tanda kelelahan ketika pasien berlatih menelan; 17)
anjurkan pasien istirahat sebelum makan untuk mencegah kelelahan; 18) periksa
adanya makanan yang tertinggal dimulut setelah makan; 19) anjurkan pasien
Universitas Sumatera Utara
39
untuk menggerakkan lidah membersihkan makanan di bibir; 20) jelaskan pada
caregiver atau keluarga cara mengatur posisi, melatih makan, dan memonitor
pasien; 21) jelaskan pada keluarga kebutuhan nutrisi dan modifikasi diet sesuai
keperluan; 22) berikan instruksi tertulis bila diperlukan; 23) sediakan waktu untuk
edukasi keluarga atau pengasuh; 24) berikan dan monitor konsistensi makanan
sesuai kemampuan menelan pasien; 25) kolaborasi dengan dokter dan atau terapis
wicara tentang perubahan lanjut konsistensi makanan secara bertahap.
Fungsi
menelan
ini
dapat
dinilai
melalui
pemeriksaan
Digital
Videofluoroscopy, yang mampu mencatat lewatnya bolus melalui mulut (oral
transit time), faring (pharingeal transit time), dan sfingter esofagus atas
(cricopharingeal opening duration). Sedangkan penilaian fungsi menelan secara
klinis dapat menggunakan format The Parramatta Hospitals Dysphagia
Assessment, yang merupakan bagian dari The Royal Adelaide Prognostic Index for
Dysphagic Stroke (RAPIDS), yang dikembangkan oleh Paramatta Hospital.
2.4
Penatalaksanaan Stroke Home Care oleh Caregiver
2.4.1 Home care
2.4.1.1 Definisi Home Care
Pendampingan dan perawatan pasien di rumah atau home care adalah
bentuk pelayanan bagi pasien yang berada di rumah atau di tengah-tengah
keluarga
dengan didampingi oleh seorang pendamping dalam pemenuhan
kebutuhannya. Pendamping mempunyai peran membantu serta melayani pasien
agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara layak dan manusiawi.
Universitas Sumatera Utara
40
Pendampingan dan perawatan sosial pasien di rumah disesuaikan dengan
kebutuhan pasien yang memiliki karakteristik tersendiri. Home care pasien
merupakan pelayanan pendampingan dan atau perawatan pasien di rumah dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh keluarga, kerabat atau
warga masyarakat setempat. Home care pasien memiliki beberapa fungsi antara
lain pencegahan, promosi, rehabilitasi dan perlindungan serta pemeliharaan.
2.4.1.2 Tujuan Pendampingan dan Perawatan Sosial
Tujuan pendampingan dan perawatan sosial yaitu 1) meningkatkan peran
serta keluarga dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pasien di
lingkungan keluarga pasien sendiri, 2) meningkatkan kerjasama dan partisipasi
aktif Lembaga Kejahteraan Sosial/Panti dalam pelayanan Pendampingan dan
Perawatan Sosial pasien di Rumah, 3) memberikan pendampingan terhadap pasien
yang mempunyai hambatan fisik, mental, sosial, ekonomi dan spiritual sehingga
pasien dapat mengatasi masalahnya dan dapat hidup secara wajar, 4)
meningkatkan kemampuan pasien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
dan 5) menciptakan suasana yang menyenangkan seperti rasa aman, nyaman dan
tentram bagi pasien.
2.4.1.3 Bentuk Pelayanan Home Care
Pelayanan dalam program home care dilakukan dalam bentuk; 1)
perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial pada pasien yang membutuhkan
perawatan dalam jangka waktu yang lama. Bentuk perawatan sosial pada pasien
yang
mengalami proses penyakit
atau
gangguan
keseimbangan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living), 2) pendampingan, 3)
Universitas Sumatera Utara
41
pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia adalah suatu upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang meliputi diantaranya: kebutuhan fisik, keamanan, kenyaman,
cinta dan kasih sayang, harga diri serta aktualisasi diri sedangkan untuk
pemenuhan kebutuhan untuk pasien non potensial peran keluarga menjadi sangat
penting karena keluarga merupakan sumber dukungan terbesar yang berguna
untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia pada lansia, 4) pelayanan
perawatan sosial bagi pasien, 5) pelayanan Kegiatan sehari-hari (Activity of daily
living services), 6) perawatan medis/kesehatan bagi pasien di rumah, 7) konsultasi
dan konseling, 8) pendampingan pasien di rumah, 9) pelayanan intervensi krisis
dan rujukan, 10) advokasi hukum pasien di rumah, 11) pelayanan dalam
menyatukan (reunifikasi) pasien dengan keluarganya, 12) pelayanan melalui
telepon, 13) pelayanan informasi, 14) pelayanan pemberian kebutuhan dasar bagi
pasien dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kebutuhan sandang yang
berupa: Pakaian dan kelengkapan kebutuhan pangan yaitu berupa kebutuhan
permakanan seperti: nasi, lauk pauk, susu, buah-buahan, makanan ringan, dll yang
berkaitan dengan tambahan gizi bagi pasien (Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut
Usia, 2014).
2.4.2 Konsep caregiver
2.4.2.1 Definisi Caregiver
Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah
orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang
menderita penyakit kronis. Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai
seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya
Universitas Sumatera Utara
42
lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik
sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut.
Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto
(2012) sebagai:
Seseorang yang bertugas untuk membant
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas teori dan konsep terkait dengan masalah
penelitian. Pemaparan teori dan konsep juga dihubungkan dengan penelitian
terdahulu sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dan acuan saat dilakukan
pembahasan.
2.1
Konsep Stroke
2.1.1 Definisi stroke
Stroke adalah sebagai suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan
fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau
kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan
vaskular (WHO, 1993 dalam Mulyatsih, 2007). Sedangkan menurut Depkes
(2004), stroke akut adalah kumpulan gejala klinis yang terjadi pada menit pertama
jam pertama serangan stroke sampai dengan 2 minggu pasca serangan. Smeltzer
(2002) mendefinisikan stroke sebagai suatu kehilangan fungsi otak karena
berhentinya suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan
secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang masih lama dan
11
Universitas Sumatera Utara
12
masih sering digunakan adalah cerebrovaskular accident (Price, 2006). Menurut
Feigin (2007), gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis dan perilaku. Gejala
fisik yang paling khas adalah paralisis, kelemahan, hilangnya sensasi diwajah,
lengan atau tungkai disalah satu sisi tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan menelan
dan hilangnya sebagian penglihatan disatu sisi. Seorang dikatakan terkena stroke
jika salah satu atau kombinasi apapun dari gejala di atas berlangsung selama 24
jam atau lebih.
2.1.2. Penyebab dan faktor risiko
Hudak, dkk, (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadi disebabkan
oleh salah satu dari empat kejadian, yaitu: 1) trombosis yaitu bekuan darah di
dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah
otak. Thrombosis bersama dengan emboli hampir menjadi penyebab sekitar
tigaperempat dari semua kasus stroke, 2) emboli serebral yaitu bekuan darah atau
lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan
menyumbat aliran darah bagian otak tertentu, 3) spasme pembuluh darah cerebral
yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area otak tertentu, 4) hemoragik serebral
atau pendarahan serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh
darah serebral dengan pendarahan ke otak yaitu pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak
sehingga menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu
pertiga dari seluruh kejadian stroke dan presentasi penyebab kematian lebih besar
dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik
Universitas Sumatera Utara
13
Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Beberapa penyakit yang diakibatkan
oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya. Stroke yaitu
hipertensi, diabetes mellitus, gangguan jantung (miokardium infark) dan
hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi untuk terjadinya
stroke.
Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50
mmHg dan diatas 160 mmHg (Lemone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan
darah yang adekuat dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller &
Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2009). Diabetes mellitus (DM) merupakan
faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah
serangan stroke (Ignativius & Workman, 2006).
Faktor resiko stroke lainnya dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia,
merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke,
tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke yang berulang
(Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2009).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya: usia, jenis
kelamin, ras (American Heart Association, 2000, dalam Smeltzer & Bare, 2008).
Laki-laki lebih tinggi risiko mendapat serangan stroke dari pada wanita.
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.3 Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran
darah ke otak berkurang atau berhenti sama sekali kedaerah distal otak yang
mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori aliran
darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa
mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondria berubah menjadi
respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH.
Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron
dalam memproduksi adenosine triphospate (ATP) yang akan dijadikan sumber
energy dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarisasi
Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya daerah penumbra
dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu daerah otak yang
iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengelilingi daerah infark. Daerah
ini dapat segera mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan.
Daerah ini dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju
kedaerah tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan
mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibatnya yang timbul
adalah kalsium dan glutamate banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan
menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra
dan memperberat gangguan neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan
penumbra ini akan menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar
penumbra dan infark sebagai akibat tekanan dan iskemia sehingga menyebabkan
gangguan system saraf yang lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini
Universitas Sumatera Utara
15
akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan
saraf secara perlahan dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses
yang terjadi.
Proses evolusi dari jaringan iskemik kearah infark ini cukup cepat.
Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil,
sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dutka, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral
Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100 gram per menit selama 4 jam akan
menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan
menimbulkan infark dalam 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram per menit akan
menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram per menit
menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004).
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan
lokasi perdarahanya. Perdarahan subraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma
atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada
area sirkulus willis dan kelainan bentuk arteri vena (AVM). Perdarahan tersebut
dapat menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan
terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang
tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan
menambah tekanan intracranial semakin berat. Perdarahan subarachnoid juga
disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan
tekanan perfusi dan vasospasme.
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien stroke dengan
hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
16
tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan
amphetamine. Perdarahan biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal
ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat juga terjadi pada
intraventrikular (Black & Hawks, 2005).
Gangguan sel-sel menyebabkan terjadinya defisit neurologis berkaitan
erat dengan daerah serebral yang terkena (infark). Defisit neurologis biasanya
terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah infark. Hal ini terjadi karena
adanya penyilangan jalur motor neuron. Penyilangan terjadi pada diskus
piramidalis (decussation of pyramids).
2.1.4 Tanda dan gejala sisa
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black &
Hawk, 2009), bervariasi bergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang
rusak, lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral
di serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara,
kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009).
Stroke dapat dihubungkan dengan area gangguan neuron otak maupun
defisit neurologis, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari
stroke meliputi: 1) kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas
dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiparesis (kelemahan) dan
hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) sering terjadi setelah stroke, yang
biasanya disebabkan karena stroke pada bagian anterior atau bagian tengah arteri
serebral, sehingga memicu terjadinya infark bagian motorik dari kortek frontal, 2)
Universitas Sumatera Utara
17
aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan berkomunikasi, termasuk
berbicara, membaca, menulis dan memahami bahasa lisan. Terjadi jika pusat
bahasa primer yang terletak dipusat hemisfer yang terletak di hemisfer kiri
serebelum tidak mendapatkan aliran darah dari arteri serebral tengah karena
mengalami stroke, ini terkait erat dengan area wernick dan brocca, 3) disatria,
dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit untuk mengucapkannya,
sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini disebabkan oleh terjadinya paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara, 4) apraksia yaitu
ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya, seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya, 5)
disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan karena stroke pada
arteri vertebrobasiler yang mempengaruhi saraf yang mengatur proses menelan,
yaitu N.V (trigeminus), N VII (facialis), N IX (glossofarengeus) dan N XII
(hipoglosus), 5) pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan
seperti diplopia, 6) horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus
simpatis pada mata sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak
mata atas, kelopak mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan
berkurangnya air mata, 7) unilateral neglected merupakan ketidak mampuan
merespon stimulus dari sisi kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering
mengabaikan salah satu sisinya, 8) defisit sensori disebabkan oleh stroke pada
bagian sensorik dari lobus parietal yang disuplai oleh arteri serebral bagian
anterior dan medial, 9) perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke
bagian otak yang mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi.,
Universitas Sumatera Utara
18
yaitu bagian korteks serebral, area temporal, limbic hipotalamus, kelenjar pituitary
yang mempengaruhi korteks motorik dan area bahasa, 10) inkontinensia baik
bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu bentuk neurogenic blader
atau ketidakmampuan kandung kemih, yang kadang terjadi setelah stroke. Saraf
mengirimkan pesan ke otak tentang pengisian kandung kemih tetapi otak tidak
dapat menginterpretasikan secara benar pesan tersebut dan tidak mentransmisikan
pesan ke kandung kemih untuk tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan
terjadinya frekuensi urgensi dan inkontinensia (Black & Hawk, 2009) dan
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.5 Komplikasi Stroke
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, dan luasnya area cedera
terdiri dari: 1) hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah
adekuat ke otak, 2) aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah
jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian
intervensi) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral, 3) embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau
fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik (Smeltzer & Bare,
2002).
2.2
Disfagia
2.2.1 Definisi Disfagia
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Werner, 2005). Gejala
Universitas Sumatera Utara
19
gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di
kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan. Tanda dan
gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan mengunyah, makanan
tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk, tersedak, suara
serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan menurun, rasa panas di
dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi pneumonia.
Disfagia diartikan sebagai “perasaan melekat” atau obstruksi pada tempat
lewatnya makanan melalui mulut, faring, atau esophagus. Gejala ini harus
dibedakan dengan gejala lain yang berhubungan dengan menelan. Kesulitan
memulai gerakan menelan terjadi pada kelainan-kelainan fase volunter menelan.
Namun demikian setelah dimulai gerakan menelan ini dapat diselesaikan dengan
normal. Odinofagia berarti gerakan menelan yang nyeri, seringkali odinofagia dan
disfagia terjadi secara bersamaan. Globus faringeus merupakan perasaan adanya
suatu gumpalan yang terperangkap dalam tenggorokan. Arah makanan yang keliru
sehingga terjadi regurgitasi nasal dan aspirasi makanan kedalam laring serta paru
sewaktu menelan, merupakan ciri khas disfagia orofaring (Harrison, 2000).
Penatalaksanaan pasien stroke yang mengalami disfagia secara tepat sedini
mungkin selain menurunkan risiko aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi,
mengoptimalkan program rehabilitasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa
seringkali pasien stroke dengan disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat dan
caregiver sebagai anggota dari tim stroke, dapat dilatih dalam melakukan skrining
terhadap adanya gangguan menelan pada pasien stroke. Tim stroke perlu segera
melakukan identifikasi terhadap pasien stroke yang kemungkinan mengalami
Universitas Sumatera Utara
20
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (Smithard, 2014).
2.2.2 Etiologi
Disfagia sering disebabkan oleh penyakit otot dan neurologis. Penyakit ini
adalah gangguan peredaran darah otak (stroke, penyakit serebrovaskuler),
miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu
peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam trakea
atau bronkus (Price, 2006). Disfagia esophageal mungkin dapat bersifat obstruktif
atau disebabkan oleh motorik. Penyebab obstruksi adalah striktura esophagus dan
tumor-tumor
ekstrinsik
atau
instrinsik
esofagus,
yang
mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab disfagia dapat disebabkan oleh berkurangnya,
tidak adanya, atau terganggunya peristaltik atau disfungsi sfingter bagian atas atau
Gangguan yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
bawah.
scleroderma, dan spasme esophagus difus (Price, 2006).
Harrison (1999) membagi disfagia menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut:
1. Disfagia Mekanis yaitu: 1) luminal penyebab disfagia mekanis pada bagian
luminal adalah bolus yang besar atau benda asing, 2) penyempitan intrinsik
Penyempitan instrinsik dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) keadaan
inflamasi yang menyebabkan pembengkakan seperti stomatitis, faringitis,epiglotti,
esofangitis, 2) selaput dan cincin dapat dijumpai pada faring (sindroma pulmer,
vinson), esophagus (congenital, inflamasi), cincin mukosa esophagus distal, 3)
striktur benigna seperti ditimbulkan oleh bahan kaustik dan pil, inflamasi,
Universitas Sumatera Utara
21
iskemia, pasca operasi, congenital 4) tumor-tumor malignan, karsinoma primer,
karsinoma metastasik, tumor-tumor benigna, leiomioma, limpoma, angioma, polip
fibroid inflamatorik, papiloma epitel. 3) kompresi ekstrinsik yaitu Kompresi
ekstrinsik dapat disebabkan oleh spondilitis servikalis, osteofit veterbra, abses dan
massa retrofaring, tumor pankreas, hematoma dan fibrosis.
2. Disfagia Motorik terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) kesulitan dalam memulai
reflek menelan adalah kesulitan dalam memulai reflek menelan disebabkan oleh
lesi oral dan paralisis lidah, anesthesia orofaring, penurunan produksi saliva, dan
lesi pada pusat menelan, 2) kelainan pada otot lurik yaitu kelainan pada otot lurik
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) kelemahan otot (paralisis
bulbar,
neuromuskuler, kelainan otot) 2) kontraksi dengan awitan stimultan atau
gangguan inhibisi deglutisi (faring dan esophagus, sfingther esophagus bagian
atas), 3) kelainan pada otot polos esophagus yaitu Kelainan pada otot polos
esofagus dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) paralisis otot esophagus
yang menyebabkan kontraksi yang lemah, 2) kontraksi dengan awitan simultan
atau gangguan inhibisi deglutis, 3) kelainan sfingter esophagus bagian bawah.
2.2.3 Manifestasi Klinis Disfagia
Manifestasi klinis dari disfagia dapat dilihat dengan adanya gangguan
pada neurogenik mengeluh bahwa cairan lebih mungkin menyebabkan tersedak
daripada makanan padat atau setengah padat. Batuk dan regurgitasi nasal
menunjukkan kelemahan otot-otot palatum atau faring bagian atas. Cemas, bicara
lambat, saliva banyak, dan sulit mengunyah. Sedangkan aspirasi sering terjadi
pada gangguan neurologik (Squires, 2006). Gejala gangguan menelan bervariasi
Universitas Sumatera Utara
22
dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di kerongkongan hingga tidak
mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia lain meliputi tidak mampu menahan air liur,
kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat
menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat
badan menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung,
dan aspirasi pneumonia (Finestone & Finestone, 2003).
2.2.4 Bentuk Disfagia pada Proses Menelan
1. Fase Oral
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa kelemahan otot lidah,
buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah, yang menyebabkan terkumpulnya
makanan dalam mulut atau masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang
dapat menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat berupa
gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status mental dan kognitif, yang
berisiko terjadi pengumpulan bolus makanan di rongga mulut dan risiko terjadi
aspirasi.
2. Fase Faringeal
Pada fase ini, dapat terjadi disfungsi palatum mole dan faring superior
yang menyebabkan makanan atau cairan refluks ke nasofaring. Dapat juga terjadi
berkurangnya elevasi laring dan faring sehingga meningkatkan risiko aspirasi.
Gangguan lain adalah terjadi kelemahan
otot konstriktor faring yang
menyebabkan pengumpulan bolus di valekula dan sinus piriformis yang berisiko
Universitas Sumatera Utara
23
terjadi aspirasi, atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan
mengganggu koordinasi proses menelan.
3. Fase Esofagus
Kelainan yang mungkin terjadi pada fase ini adalah kelainan dinding
esofagus atau kelemahan peristaltik esofagus.
2.2.5 Disfagia atau Gangguan Fungsi Menelan pada Pasien Stroke
Akibat stroke, sel neuron mengalami nekrose atau kematian jaringan,
sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan fungsi yang terjadi tergantung
pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada stroke fase akut, pasien dapat mengalami
gangguan menelan atau disfagia. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan
dan atau makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan
(Mulyatsih, 2009). Disfagia pada pasien stroke dapat disebabkan oleh edema otak,
menurunnya tingkat kesadaran, ataupun akibat proses diaschisis, yang biasanya
bersifat sementara. Tetapi bila lesi terjadi di daerah batang otak, kemungkinan
pasien akan mengalami disfagia yang menetap.
Werner (2005 dalam Mulyatsih, 2009) mengemukakan bahwa lesi pada
hemisfer kiri menyebabkan menurunnya aktifitas motorik di oral dan apraxia,
sedangkan lesi di hemisfer kanan berhubungan dengan terlambatnya refleks
menelan, bolus tertahan di faring, sehingga dapat menyebabkan aspirasi.
Peneliti lain (Smithards, 2014) mengemukakan, bahwa selama fase akut
tidak ada hubungannya antara kejadian aspirasi atau disfagia dengan lokasi stroke
dan letak lesi. Stroke akut pada batang otak kemungkinan dapat menyebabkan
disfagia dengan atau defisit neurologik yang lain. Hampir 62,5% pasien stroke
Universitas Sumatera Utara
24
dengan kelainan pada batang otak mengalami aspirasi, terutama lesi pada medulla
atau pons. Risiko aspirasi akan meningkat bila mengenai bilateral, dan biasanya
berupa aspirasi yang tersembunyi. Parese saraf kranial X sampai XII dismobilitas
dan asimetri faring, laring tidak menutup sempurna, terkumpulnya bolus di
vallecula, dan tidak sempurnanya rileksasi atau spasme dari cricopharingeal.
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang untuk Menegakkan Diagnosa Disfagia
Disfagia dapat didiagnosa melalui beberapa pemeriksaan fungsi menelan
baik secara invasif maupun non invasif (Crary & Groher, 1999 dalam Mulyatsih
2009). Pemeriksaan invasif sebaiknya dilakukan hanya pada pasien yang dicurigai
mengalami gangguan menelan. Berikut ini beberapa pemeriksaan tersebut:
1. Videofluoroscopy Swallowing Study (VFSS)
Tes yang paling sering digunakan adalah Videofluoroscopy Swallowing
Study (VFSS), yang juga dikenal dengan istilah Modified Barium Swallow (MBS).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang baku
emas untuk
mendiagnosa disfagia (Massey & Jedlicka, 2002).
2. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
FEES merupakan teknik pemeriksaan visualisasi langsung struktur
nasofaring, laringofaring, dan hipofaring. Selama pemeriksaan pasien diberikan
berbagai macam konsistensi makanan dan dilakukan evaluasi terhadap adanya
residu, kebocoran makanan ke faring sebelum menelan (preswallowing leakage),
penetrasi serta aspirasi.
3. Transnasal Esophagoscopy, sesuai untuk kasus divertikula esofagus atau
tumor.
Universitas Sumatera Utara
25
4. Ultrasonography, untuk mengevaluasi gerak jaringan lunak selama fase oral
dan faringeal.
5. Electromyography, lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi
fungsi mioelektrik.
2.3
Menelan
2.3.1 Fisiologi Proses Menelan
Proses menelan merupakan suatu sistem kerja neurologik yang sinkron,
berurutan, terkoordinasi, simetris, semiotomatis, unik dan spesifik bagi setiap
individu (Smithard, 2014). Proses menelan memerlukan beberapa elemen yang
meliputi; input sensori dari saraf tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik
sebagai umpan balik. Proses menelan terdiri atas 3 (tiga) fase, yaitu fase oral, fase
faringeal, dan fase esopageal. Pada pasien stroke, yang sering mengalami
gangguan adalah pada fase oral dan fase faringeal (Finestone & Finestone, 2003).
Menurut Smithard (2014), proses menelan terbagi dalam tiga fase berikut:
1. Fase Oral
Fase oral terbagi lagi dalam fase persiapan oral dan fase transport oral.
Pada fase persiapan oral, meliputi aktifitas menggigit dan mengunyah makanan,
terjadi aktifitas yang terkoordinasi dari gigi, bibir, lidah, mandibula, palatum dan
otot maseter. Dengan bantuan saliva yang diproduksi oleh tiga pasang kelenjar
saliva, sensasi rasa, suhu, dan sensasi proprioseptif, bahan makanan akan berubah
bentuk menjadi bentuk bolus.
Selanjutnya pada fase persiapan oral, bolus makanan bergerak ke atas dan
Universitas Sumatera Utara
26
ke belakang menyentuh palatum durum, dan dibawa ke belakang ke arah faring
oleh lidah. Proses menelan pada fase ini membutuhkan kemampuan bibir untuk
menutup secara rapat supaya bolus tidak keluar dari oral. Fase oral ini merupakan
aktivitas volunter atau gerakan yang disadari, yang dikontrol oleh korteks
serebri melalui traktus kortikobulbar.
2. Fase Faringeal
Fase faringeal merupakan suatu gerakan involenter atau refleks, yaitu
berpindahnya bolus dari oral ke esofagus, yang normalnya membutuhkan waktu
kurang dari satu detik. Meninggalkan bagian belakang lidah, bolus terhenti
sebentar di valleculae, daerah antara lidah dan epiglotis. Kemudian, tergantung
ukuran dan konsistensi, melalui atas atau sekitar epiglotis, melewati laring masuk
ke esofagus.
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring,
bolus menyentuh reseptor menelan pada daerah arkus faring anterior atau Faucial
Pillar, sehingga pola refleks menelan dimulai secara otomatis. Terjadi rileksasi
otot krikofaring dan sfingter membuka sehingga bolus masuk ke esofagus. Pada
saat yang hampir bersamaan laring elevasi dan menutup untuk melindungi jalan
nafas.
3. Fase Esofagus
Fase esofagus dimulai pada saat bolus melewati sfingter esofagus atas
yang rileksasi dan masuk ke dalam lumen esofagus. Fase esofagus merupakan
fase akhir dari proses menelan yang dikendalikan oleh batang otak dan pleksus
Universitas Sumatera Utara
27
mienterikus. Bolus terdorong secara sekuensial oleh gerak peristaltik yang dimulai
dari faring, masuk ke lambung melalui sfingter kardia yang rileksasi.
2.3.2 Kontrol Persarafan pada Proses Menelan
Proses menelan memerlukan beberapa elemen: input sensori dari saraf
tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Input
sensori dari saraf tepi terutama dari saraf kranial V, VII, IX, X, dan XII. Reseptor
sensori memperoleh stimulus dari berbagai macam bentuk rasa, cairan, atau
tekanan. Area paling efektif sebagai rangsang menelan adalah arkus faring
anterior. Meskipun peran yang pasti sebagai pusat menelan belum jelas,
diperkirakan kortikal dan subkortikal mengatur ambang rangsang menelan.
Sedangkan pusat menelan di batang otak menerima input, mengaturnya menjadi
respon yang terprogram, dan mengirim respon tersebut melalui saraf tepi untuk
aktifitas otot-otot mengunyah dan menelan (Smithard, 2014).
Nervus trigeminus atau nervus kranial V merupakan nervus dengan
serabut motorik dan sensorik dengan inti nervus berada di pons. Serabut
motoriknya mempersarafi otot-otot untuk mengunyah, termasuk otot temporalis,
otot maseter, serta otot pterigoid medial dan lateral. Selain itu, nervus trigeminus
juga membantu saraf glosofaringeal mangangkat laring dan menariknya kembali
selama fase faringeal. Sedangkan serabut sensoriknya memiliki 3 cabang. Cabang
pertama ke arah optalmika, cabang kedua mempersarafi palatum, gigi, bibir atas,
dan sulkus gingivibukal. Cabang ketiga mempersarafi lidah, mukosa bukal, dan
bibir bawah. Secara umum, serabut sensorik nervus V ini membawa informasi
tentang sensasi yang berasal dari wajah, mulut dan mandibula (Smithard, 2014).
Universitas Sumatera Utara
28
Nervus fasialis atau nervus kranial VII merupakan nervus dengan serabut
motorik, sensorik, dan parasimpatis. Inti nervus VII ini juga berada di pons.
Serabut motoriknya mempersarafi otot-otot bibir, termasuk otot orbikularis oris
dan otot zigomatikus, yang berfungsi untuk mencegah makanan keluar dari mulut.
Nervus fasialis juga menginervasi otot-otot businator pada pipi, yang berperan
untuk mencegah makanan terkumpul di celah antara gigi dan pipi. Serabut
sensoriknya mempersarafi dua pertiga lidah depan untuk mengecap.
Nervus glosofaringeus atau nervus kranial IX mengandung serabut
motorik, sensorik, dan saraf otonom. Bersama nervus X menginervasi otot
konstriktor faring bagian atas. Inti atau nukleus nervus ini berada di medula
oblongata. Serabut motorik nervus IX ini menginervasi tiga buah kelenjar saliva
di mulut. Saliva inilah yang membantu pembentukan makanan menjadi bolus di
mulut. Nervus ini juga menginervasi otot stilofaringeus, yang mengangkat laring
dan menariknya kembali selama proses menelan fase faringeal. Gerakan laring ini
juga membantu rileksasi dan terbukanya otot krikofaringeal. Serabut sensorik
nervus glosofaringeus ini menerima seluruh sensasi, termasuk rasa, dari sepertiga
lidah bagian belakang (Smithard, 2014).
Nervus vagus atau nervus X mengandung serabut motorik, sensorik dan
nervus otonom. Bersama nervus IX menginervasi otot konstriktor faring bagian
atas. Bersama nervus XI menginervasi otot intrinsik laring. Nervus ini juga
menginervasi otot krikofaringeal dan mengontrol otot-otot yang terlibat selama
fase esofageal. Nervus vagus membawa informasi sensasi dari velum, faring
bagian posterior, faring bagian inferior, dan laring. Nervus hipoglosus atau nervus
Universitas Sumatera Utara
29
XII merupakan nervus motorik tanpa serabut sensorik. Inti nervus ini berada di
medula oblongata sama dengan nervus IX dan X. Nervus ini memberikan
persarafan pada lidah. Perannya pada proses menelan terutama pada
pembentukkan bolus dan membawa bolus ke arah faring.
2.3.3 Latihan Menelan pada Pasien Stroke dengan Disfagia
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien stroke dengan disfagia
menurut NANDA dalam Ignatavicius (2007); Bulechek, Butcher, Dochterman,
Wagner (2013); dan Smeltzer & Bare (2002) adalah gangguan menelan
sehubungan dengan kelemahan otot menelan dan menurunnya refleks muntah.
Kriteria hasil dari rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah ini
adalah tidak ada tanda atau gejala aspirasi, dan pasien memiliki toleransi terhadap
makanan atau minuman tanpa tersedak.
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih, 2009),
penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan
kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi
yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mancakup modifikasi diet,
manuver kompensatori, serta latihan menelan (swallowing therapy).
Latihan mengunyah dan menelan pada pasien stroke akut yang mengalami
disfagia fase oral (derajat I) dan fase paringeal (derajat II) terbukti berguna dapat
memulihkan gejala disfagia dan meningkatkan kemampuan menelan. Disfagia
yang terjadi pada pasien stroke dapat dipulihkan dalam satu minggu perawatan
(Wright, 2007).
Universitas Sumatera Utara
30
Penelitian serupa yang dilakukan terhadap 27 pasien stroke yang
mengalami disfagia derajat III (fase esofageal) diberikan stimulasi elektrik untuk
menguatkan otot-otot servikal dan submandibula, didapatkan bahwa semua pasien
menunjukkan peningkatan kemampuan menelan sebanyak 25 (93%) dari 27
responden dari tidak bisa menelan menjadi dapat menelan lunak tanpa tersedak
(Hammond & Goldstein, 2006 dalam Mulyatsih 2006).
Beberapa jenis latihan yang direkomendasikan pada pasien stroke yang
mengalami disfagia antara lain latihan penguatan otot-otot menelan dan latihan
menelan. Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
mengunyah dan menelan, meningkatkan ruang gerak sendi (ROM) dan
meningkatkan koordinasi dalam mengunyah dan menelan, sedangkan latihan bibir
dan lidah berguna untuk meningkatkan kemampuan menahan makanan agar tidak
keluar dari mulut serta pengosongan mulut.
Sebagian besar latihan menelan dilakukan sedini mungkin, khususnya
latihan menelan menggunakan metode tidak langsung, seperti pengaturan posisi
kepala dan posisi badan pada saat pemberian makan, serta menjaga kebersihan
mulut atau oral hygiene. Sedangkan latihan menelan menggunakan metode
langsung dilakukan bila kesadaran pasien komposmentis. Kedua jenis latihan
menelan ini sebaiknya dilakukan secara teratur tiga kali sehari pada saat jam
makan atau meal time selama 12 hari (Mulyatsih, 2009). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Warlow (2000) yang menyatakan bahwa status fungsi menelan akan
membaik pada satu hingga dua minggu pertama pasca stroke.
Universitas Sumatera Utara
31
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih 2009),
penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan
kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi
yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mencakup modifikasi diet,
manuver kompensatori, serta latihan menelan atau swallowing therapy. Salah satu
alasan yang mendasari dilakukannya latihan menelan adalah memberikan stimulus
atau rangsangan terhadap reseptor fungsi menelan yang berada di lengkung faring
anterior atau Faucial Pillar, sehingga diharapkan fisiologi menelan yang normal
akan kembali muncul. Aktivitas latihan menelan lain bertujuan meningkatkan
kekuatan otot-otot mengunyah dan menelan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan fungsi menelan dan mencegah masuknya makanan atau cairan ke
saluran pernafasan.
Mann, Lenius, dan Crary (2007 dalam Mulyatsih 2009) menyatakan,
tujuan dari penatalaksanaan pasien disfagia adalah memberikan nutrisi yang
adekuat pada pasien dengan cara aman dan efisien. Intervensi keperawatan yang
dianjurkan hampir sama, yaitu berupa latihan makan dan menelan, manuver, serta
strategi untuk fasilitasi makan per oral termasuk rekomendasi metode makan
dengan berbagai alternatif. Metode latihan makan diklasifikasikan dalam metode
tidak langsung (kompensatori) dan metode langsung. Metode kompensatori
adalah suatu strategi atau manuver yang bertujuan untuk mengeliminir gejala
disfagia tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk
merubah posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Metode tidak
Universitas Sumatera Utara
32
langsung atau kompensatori bertujuan meningkatkan kekuatan otot-otot menelan
tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk merubah
posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Intervensi
merubah posisi kepala antara lain dengan mengatur posisi pasien duduk tegak
minimal 70 derajat atau semi fowler dan kepala agak ditekuk kedepan. Dengan
posisi kepala seperti ini dilaporkan mampu menurunkan risiko aspirasi, sehingga
esofageal lebih membuka dan trakhea menutup. Merubah metode pemberian
makan dapat dilakukan berbagai cara, antara lain; perawat duduk atau berdiri
berhadapan wajah pada saat memberikan makan, menciptakan lingkungan tenang,
menganjurkan pasien tidak berbicara ketika sedang makan, meletakkan makanan
pada sisi mulut yang sehat, menggunakan senduk kecil, dan menghindari
penggunaan sedotan (Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner, 2013).
Latihan menelan metode tidak langsung lainnya adalah memodifikasi
konsistensi
makanan
atau
cairan
yang dikonsumsi pasien, dengan
menambahkan pengental cairan atau thickened liquids. Penggunaan pengental
cairan merupakan satu dari rekomendasi yang paling sering diberikan oleh dokter.
Menurut Logemann (1998) dalam Mills (2008), makanan dalam bentuk cair
merupakan risiko tinggi terjadinya aspirasi pneumonia pada pasien disfagia.
Bahan makanan berbentuk lunak atau cairan kental juga lebih mudah dan
aman ditelan dibandingkan bahan berbentuk cair (Smeltzer & Bare, 2002).
Latihan menelan menggunakan metode langsung dirancang untuk merubah
fisiologi menelan dan membutuhkan partisipasi langsung dari pasien. Yang
Universitas Sumatera Utara
33
termasuk metode ini antara lain; The Effortful Swallow, The Mendelsohn
maneuver, Expiratory Muscle Strength Training atau berbagai bentuk stimulasi
sensori lain seperti The Electromyographic Surface Biofeedback atau Expiratory
Muscle Strength Training (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008). Teknik
maneuver ini bertujuan meningkatkan fungsi menelan secara fisiologi, sehingga
proses menelan pasien menjadi lebih aman.
The Effortful Swallow, merupakan suatu aktivitas yang membutuhkan
keterlibatan pasien secara aktif, bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
menelan. Hasil penelitian menujukkan bahwa The Effortful Swallow mampu
meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun) keatas, durasi membukanya
sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo aktivasi otot menelan pada
orang sehat. Caranya adalah menganjurkan pasien menelan dengan kekuatan
penuh otot leher dan otot faring sewaktu menelan, dan bila perlu melakukan
aktifitas menelan ulang setelah aktifitas menelan yang pertama. The Mendelsohn
Maneuver, juga terbukti mampu meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun)
keatas, durasi membukanya sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo
aktivasi otot menelan pada orang sehat.
Latihan ini dapat dilakukan dengan
menganjurkan pasien meletakkan tangannya di kerongkongan (leher) dan
merasakan gerakan buah jakun bergerak keatas pada saat menelan. Selanjutnya
pasien dianjurkan memegang dan menahan buah jakun agar tidak bergerak selama
beberapa detik sewaktu menelan (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008 dalam
Mulyatsih, 2009).
Universitas Sumatera Utara
34
Metode langsung lain yang membutuhkan partisipasi pasien adalah dengan
memberikan petunjuk atau arahan kepada pasien baik secara verbal maupun visual
tentang cara mengunyah, menelan, dan membersihkan mulut dari sisa makanan
atau melakukan mouth care (Mann, Lenius & Crary, 2007).
Sebelum pasien berlatih menelan, perawat menganjurkan pasien untuk
melakukan latihan pergerakan otot menelan dengan membuka dan menutup mulut
sebagai
persiapan
manipulasi
bolus
dimulut.
Kebersihan
mulut
harus
dipertahankan dengan melakukan mouth care sebelum dan setelah latihan
menelan. Selain memberikan rasa nyaman, mouth care dapat mencegah terjadi
koloni mikroorganisme dimulut dan mampu merangsang produksi tiga buah
kelenjar saliva dimulut yang berfungsi mempermudah pembentukan bolus di fase
oral (Heckenberg, 2008).
Latihan lidah aktif maupun pasif berguna untuk meningkatkan
kemampuan fasilitasi manipulasi bolus dan kemampuan mendorong bolus dari
rongga mulut masuk ke esophagus melalui faring. Sedangkan latihan gerakan
rahang bermanfaat untuk pergerakan rahang dalam proses mengunyah (Squires,
2006).
Latihan mengunyah dan menelan dilakukan sesuai dengan hasil
pemeriksaan dan observasi klinis yang ditemukan pada pasien. Pada pasien yang
menunjukkan gejala klinis mengiler dan facial drop dapat dilakukan latihan bibir
untuk memperkuat otot-otot bibir sehingga dapat menahan makanan di dalam
mulut agar tidak tumpah serta menahan air liur yang keluar dari mulut (Squires,
2006).
Universitas Sumatera Utara
35
Latihan bibir yang dianjurkan adalah pasien duduk atau berbaring dengan
nyaman di tempat tidur, selanjutnya pasien diminta membuka mulut, lebarkan
mulut sehingga membentuk huruf “O”, kemudian rileks kembali. Pasien diminta
tersenyum, menyeringai, tersenyum. Dilanjutkan dengan mengucapkan kata “pa
pa pa” atau “ba ba ba” berulang-ulang. Setiap gerakan di atas dilakukan berulangulang sampai delapan kali. Untuk pasien yang lidahnya mengalami gangguan
pergerakan, kekuatan dan koordinasi dan secara klinis tidak mampu memindahkan
makanan dari depan ke belakang mulut, latihan yang diajarkan kepada pasien
adalah menjulurkan lidah kemudian ditahan sampai hitungan kedelapan. Latihan
berikutnya yaitu pasien diminta menyentuh bibir atas dan bawah dengan lidah
bergantian atas dan bawah. Mendorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri secara
bergantian sampai pipi terlihat menonjol oleh dorongan lidah. Perawat atau
fasilitator menekan lidah dengan sudip lidah kemudian pasien diminta mendorog
sudip lidah dengan lidahnya. Selanjutnya pasien diminta untuk mengucapkan “la
la la la la”.
Semua gerakan di atas berguna untuk meningkatkan gerakan,
kekuatan otot dan koordinasi lidah untuk memanipulasi bolus, mendorong bolus
dan membersihkan mulut dari sisa makanan (Feigin, 2007).
Pada pasien yang mengalami penurunan pergerakan, kekuatan dan
koordinasi rahang bawah, dimana pasien tidak mampu mengunyah makanan.
Latihan yang dilakukan adalah buka mulut lebar, tutup/istirahatkan, lakukan
berulang-ulang. Selanjutnya gerakkan dagu dari kanan ke kiri dan sebaliknya.
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan kekuatan mengunyah
sehingga membantu proses pembentukan bolus (Squires, 2006).
Universitas Sumatera Utara
36
Pada pasien yang mengalami kelemahan refleks menelan dan batuk
dimana pasien tidak mampu batuk, suara serak, dan batuk saat menelan atau
sesaat sesudah menelan. Latihan yang perlu diberikan adalah pasien diminta tarik
nafas dalam dan hembuskan perlahan-lahan. Selanjutnya tarik nafas dalam lalu
ucapkan “ah ah ah” berulang-ulang sambil mengeluarkan nafas. Latihan lain yaitu
pasien meniup sedotan dan atau menyanyikan lagu. Latihan-latihan tersebut
berguna untuk meningkatkan kekuatan pernafasan sehingga dapat membantu
mencegah aspirasi melalui refleks batuk efektif (Feigin, 2006).
Feigin (2006) menyarankan latihan bibir dan lidah untuk pasien yang
menggalami disfagia dan gangguan bicara. Setiap gerakan/ latihan ini dilakukan
masing-masing 10 kali. Latihannya adalah sebagai berikut: 1) bentuk bibir
menajadi seperti huruf “O”; 2) tersenyum;
3) berganti-ganti antara bibir
membentuk huruf “O” dan tersenyum sehingga seolah-olah mengucapkan
“oo..ee”; 4) buka mulut lebar-lebar, kemudian gerakkan bibir seolah-olah hendak
mencium; 5) tutup bibir erat-erat seakan-akan berkata “mmm”; 6) ucapkan kata
“ma ma ma ma” secepat mungkin; 7) ucapkan kata “mi mi mi” secepat mungkin
8) katupkan bibir anda rapat-rapat dan gembungkan pipi dengan udara, tahan
udara dalam pipi selama lima detik, kemudian keluarkan; 9) coba sentuh dagu
dengan ujung lidah; 10) coba sentuh hidung dengan ujung lidah; 11) julurkan
lidah anda sejauh mungkin, tahan selama tiga detik, kemudian tariklah kembali ke
dalam mulut; 12) sentuh sudut-sudut mulut anda dengan lidah, gerakkan lidah
dengan cepat dari kanan ke kiri dan kembali lagi; 13) usapkan lidah mengelilingi
bibir; 14) ucapkan suara “ta ta ta” dengan kecepatan yang semakin meningkat; 15)
Universitas Sumatera Utara
37
tekankan lidah ke gusi bagian atas kemudian ke gusi bagian bawah; 16) sikatlah
gigi menggunakan lidah; dan 17) dorong pipi dengan lidah sekuat mungkin
bergantian ke pipi kanan dan kiri. Sedangkan menurut Bulechek, Butcher,
Dochterman, Wagner (2013), intervensi keperawatan berdasarkan Nursing
Intervention Classification (NIC) adalah aspiration precaution, positioning, dan
swallowing therapy.
1. Aspiration Precaution
Aktivitas keperawatan meliputi; monitor tingkat kesadaran, refleks batuk,
refleks muntah, dan kemampuan menelan, monitor status fungsi paru, pertahankan
jalan nafas efektif, atur posisi kepala tegak 90 derajat jika memungkinkan,
sediakan suction pada kondisi siap digunakan, berikan makanan dalam jumlah
kecil, cek residu cairan lambung sebelum memberikan makanan atau cairan,
potong makanan dalam bentuk kecil, berikan makanan atau cairan yang dapat
dibentuk menjadi bolus, mintakan obat dalam bentuk eliksir, hancurkan pil
sebelum diberikan ke pasien, serta kolaborasi dengan terapis wicara bila
diperlukan.
2. Positioning
NIC positioning tidak membahas secara khusus aktifitas keperawatan pada
pasien stroke dengan disfagia. Nursing Intervention Classification (Bulechek,
Butcher, Dochterman, Wagner, 2013) hanya membahas tentang aktifitas
keperawatan positioning untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis
pasien, intra operatif, serta positioning untuk pasien dengan gangguan spinal cord
dan vertebral irratibility. Pengaturan posisi sewaktu latihan menelan akan dibahas
Universitas Sumatera Utara
38
dalam swallowing therapy.
3. Swallowing Therapy
Swallowing therapy atau latihan menelan adalah memfasilitasi menelan
dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi akibat gangguan menelan
(Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner 2013). Aktifitas keperawatan yang
ditampilkan dalam swallowing therapy ini lengkap, mencakup metode latihan
menelan langsung dan tidak langsung sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Aktifitas keperawatan meliputi; 1) kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain;
2) kaji kemampuan pasien mengunyah dan menelan; 3) hindari distraksi dari
lingkungan; 4) jelaskan tujuan latihan menelan pada pasien dan keluarga; 5)
gunakan alat bantu sesuai keperluan; 6) hindari penggunaan sedotan; 7) bantu
pasien mempertahankan duduk sekitar 90 derajat bila memungkinkan sewaktu
makan atau latihan menelan; 8) bantu pasien untuk memposisikan kepala agak
ditekuk sebagai persiapan menelan; 9) instruksikan pasien untuk membuka dan
menutup mulut sebagai persiapan manipulasi makanan; 10) anjurkan pasien untuk
tidak berbicara selama latihan menelan; 11) anjurkan pasien mengucapkan “AH“
untuk meningkatkan elevasi soft palatum; 12) berikan permen lolipop dan
anjurkan pasien menghisapnya untuk melatih kekuatan lidah; 13) ganjal dengan
bantal atau letakkan lengan yang lemah diatas meja; 14) monitor tanda dan gejala
aspirasi; 15) monitor pergerakan lidah dan bibir pasien ketika mengunyah dan
menelan; 16) monitor tanda kelelahan ketika pasien berlatih menelan; 17)
anjurkan pasien istirahat sebelum makan untuk mencegah kelelahan; 18) periksa
adanya makanan yang tertinggal dimulut setelah makan; 19) anjurkan pasien
Universitas Sumatera Utara
39
untuk menggerakkan lidah membersihkan makanan di bibir; 20) jelaskan pada
caregiver atau keluarga cara mengatur posisi, melatih makan, dan memonitor
pasien; 21) jelaskan pada keluarga kebutuhan nutrisi dan modifikasi diet sesuai
keperluan; 22) berikan instruksi tertulis bila diperlukan; 23) sediakan waktu untuk
edukasi keluarga atau pengasuh; 24) berikan dan monitor konsistensi makanan
sesuai kemampuan menelan pasien; 25) kolaborasi dengan dokter dan atau terapis
wicara tentang perubahan lanjut konsistensi makanan secara bertahap.
Fungsi
menelan
ini
dapat
dinilai
melalui
pemeriksaan
Digital
Videofluoroscopy, yang mampu mencatat lewatnya bolus melalui mulut (oral
transit time), faring (pharingeal transit time), dan sfingter esofagus atas
(cricopharingeal opening duration). Sedangkan penilaian fungsi menelan secara
klinis dapat menggunakan format The Parramatta Hospitals Dysphagia
Assessment, yang merupakan bagian dari The Royal Adelaide Prognostic Index for
Dysphagic Stroke (RAPIDS), yang dikembangkan oleh Paramatta Hospital.
2.4
Penatalaksanaan Stroke Home Care oleh Caregiver
2.4.1 Home care
2.4.1.1 Definisi Home Care
Pendampingan dan perawatan pasien di rumah atau home care adalah
bentuk pelayanan bagi pasien yang berada di rumah atau di tengah-tengah
keluarga
dengan didampingi oleh seorang pendamping dalam pemenuhan
kebutuhannya. Pendamping mempunyai peran membantu serta melayani pasien
agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara layak dan manusiawi.
Universitas Sumatera Utara
40
Pendampingan dan perawatan sosial pasien di rumah disesuaikan dengan
kebutuhan pasien yang memiliki karakteristik tersendiri. Home care pasien
merupakan pelayanan pendampingan dan atau perawatan pasien di rumah dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh keluarga, kerabat atau
warga masyarakat setempat. Home care pasien memiliki beberapa fungsi antara
lain pencegahan, promosi, rehabilitasi dan perlindungan serta pemeliharaan.
2.4.1.2 Tujuan Pendampingan dan Perawatan Sosial
Tujuan pendampingan dan perawatan sosial yaitu 1) meningkatkan peran
serta keluarga dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pasien di
lingkungan keluarga pasien sendiri, 2) meningkatkan kerjasama dan partisipasi
aktif Lembaga Kejahteraan Sosial/Panti dalam pelayanan Pendampingan dan
Perawatan Sosial pasien di Rumah, 3) memberikan pendampingan terhadap pasien
yang mempunyai hambatan fisik, mental, sosial, ekonomi dan spiritual sehingga
pasien dapat mengatasi masalahnya dan dapat hidup secara wajar, 4)
meningkatkan kemampuan pasien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
dan 5) menciptakan suasana yang menyenangkan seperti rasa aman, nyaman dan
tentram bagi pasien.
2.4.1.3 Bentuk Pelayanan Home Care
Pelayanan dalam program home care dilakukan dalam bentuk; 1)
perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial pada pasien yang membutuhkan
perawatan dalam jangka waktu yang lama. Bentuk perawatan sosial pada pasien
yang
mengalami proses penyakit
atau
gangguan
keseimbangan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living), 2) pendampingan, 3)
Universitas Sumatera Utara
41
pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia adalah suatu upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang meliputi diantaranya: kebutuhan fisik, keamanan, kenyaman,
cinta dan kasih sayang, harga diri serta aktualisasi diri sedangkan untuk
pemenuhan kebutuhan untuk pasien non potensial peran keluarga menjadi sangat
penting karena keluarga merupakan sumber dukungan terbesar yang berguna
untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia pada lansia, 4) pelayanan
perawatan sosial bagi pasien, 5) pelayanan Kegiatan sehari-hari (Activity of daily
living services), 6) perawatan medis/kesehatan bagi pasien di rumah, 7) konsultasi
dan konseling, 8) pendampingan pasien di rumah, 9) pelayanan intervensi krisis
dan rujukan, 10) advokasi hukum pasien di rumah, 11) pelayanan dalam
menyatukan (reunifikasi) pasien dengan keluarganya, 12) pelayanan melalui
telepon, 13) pelayanan informasi, 14) pelayanan pemberian kebutuhan dasar bagi
pasien dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kebutuhan sandang yang
berupa: Pakaian dan kelengkapan kebutuhan pangan yaitu berupa kebutuhan
permakanan seperti: nasi, lauk pauk, susu, buah-buahan, makanan ringan, dll yang
berkaitan dengan tambahan gizi bagi pasien (Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut
Usia, 2014).
2.4.2 Konsep caregiver
2.4.2.1 Definisi Caregiver
Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah
orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang
menderita penyakit kronis. Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai
seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya
Universitas Sumatera Utara
42
lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik
sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut.
Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto
(2012) sebagai:
Seseorang yang bertugas untuk membant