Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pola Pengasuhan Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2015

(1)

6

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Balita

1. Definisi Balita

Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan berat badan naik 2x berat badan lahir, dan 3x berat badan lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa prasekolah dengan kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg pertahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir (Septiari, 2012).

Balita merupakan kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan, dan perkembangan yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan, dan perkembangan fisik contohnya kordinasi motorik halus dan motorik kasar juga kecerdasan yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui oleh anak. Usia balita dibagi dalam 3 tahap yaitu masa sebelum lahir, masa bayi, dan masa awal kanak-kanak. Pada ketiga tahap tersebut banyak terjadi perubahan, baik fisik maupun psikologi yang akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Pembagian menurut tahapan tersebut sangat bergantung pada faktor sosial yaitu tuntutan, dan harapan untuk menguasai proses perkembangan yang harus dilampau anak dari lingkungannya (Septiari, 2012).

2. Karakteristik Balita

Karakteristik balita dibagi menjadi dua yaitu : 1. Anak usia 1-3 tahun.


(2)

2. Anak usia prasekolah 3-5 tahun.

Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan orang tua. Laju pertumbuhan masa balita lebih besar dari masa usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Tetapi perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh sebab itu pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering (Septiari, 2012).

Pada usia prasekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup. Pada fase ini anak mencapai fase gemar memprotes. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan (Septiari, 2012).

B. Pola Pengasuhan

1. Definisi Pola Pengasuhan

Pola pengasuhan adalah asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan mental, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga dan masyarakat, dan lain sebagainya (Soekirman, 2000).

Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam mencapai kedewasaan


(3)

hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya (Casmini, 2007).

Sebenarnya, pola asuh hanya mengacu kepada dua kompenen, yaitu kasih sayang dan tuntutan. Kasih sayang orang tua dalam mengasuh anak akan mengarah pada pengembangan pribadi anak, kemampuan untuk merasa bahagia, mengekspresikan kasih sayang kepada orang lain, serta mencintai dan bangga terhadap dirinya sendiri. Di lain pihak, tuntutan adalah cara orang tua mengarahkan anak untuk menuju kedewasaan atau menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab, disiplin, persisten, dan konsisten . Itulah sebabnya, sangat penting bagi orang tua untuk memahami pola asuh yang benar dan memiliki kemampuan pengasuhan yang baik (Noe’man, 2012).

2. Tujuan Pengasuhan

Selain menetapkan impian masa depan tentang keluarga secara bersamaan, orang tua juga perlu menetapkan tujuan pengasuhan. Tujuan pengasuhan adalah hasil (output) yang orang tua inginkan untuk anak. Secara umum, ada tiga tingkatan tujuan pengasuhan (Noe’man, 2012) :

1. Orang tua ingin menumbuhkan anak yang tangguh dan memiliki spritualitas yang tinggi.

2. Orang tua ingin menumbuhkan anak yang berprilaku baik.

3. Orang tua ingin menumbuhkan anak yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi.


(4)

3. Peran Orang Tua 1. Peran Ibu

b. Menumbuh perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang lebih melibatkan sentuhan lembut dan kasih sayang. c. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan

bercerita dan mendogeng serta kegiatan yang lebih dekat ke anak, yakni berbicara dari hati ke hati pada anak.

d. Mengajarkan tentang jenis kelamin perempuan tentang perilaku seorang perempuan baik – baik sesuai ajaran agama (Noe’man, 2012).

2. Peran Ayah

a. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompetensi pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih melibatkan fisik, baik di dalam maupun di luar ruangan.

b. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berpretasi pada anak melalui berbagai kisah tentang cita – cita.

c. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang perilaku seorang laki – laki yang sesuai dengan ajaran agama (Noe’man, 2012).

4. Jenis - Jenis Pola Asuh

Berdasarkan tingkat kasih sayang dan tuntutan orang tua dalam pengasuhan dibedakan atas empat jenis yaitu: otoriter, demokratis, permisif dan abai atau tidak peduli (Noe’man, 2012) :


(5)

1. Pola Asuh Otoriter adalah tipe pengasuhan dengan tuntutan yang tinggi, tidak fleksibel atau kaku, tidak responsif, mendesak anak mengikuti arahan-arahan orang tua, penerapan hukuman, dan menghargai kerja keras. Orang tua tipe ini menempatkan batasan-batasan dan kontrol yang tegas pada anak, sangat menekankan pada kepatuhan, dan mengharapkan aturan-aturan mereka dipatuhi tanpa adanya penjelasan. Biasanya, mereka hanya sedikit terlibat dalam komunikasi dengan anak, tidak ada kompromi maupun negosiasi, serta tidak banyak memberikan penjelasan mengenai aturan ataupun tindakan orang tua (Noe’man, 2012) .

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter, biasanya menyediakan lingkungan yang telah terstruktur dan disertai tata tertib. Ciri utama dari pola asuh ini adalah arahan dari tuntutan yang tinggi serta harapan yang tidak fleksibel dan tidak responsif. Orang tua yang otoriter menganggap pengekspresian emosi bukanlah prioritas. Oleh karena itu, mereka jarang menunjukkan empati serta membantu anak dalam mengekspresikan emosinya secara tepat. Mereka juga tidak mendorong anak untuk memerhatikan perasaaan dan keyakinan yang dimiliki anak, ataupun membantu anak berpikir secara fleksibel mengenai solusi-solusi terhadap masalah (Noe’man, 2012).

Umumnya, pengasuhan yang otoriter akan menghasilkan dua jenis karakter anak, yaitu anak pemberontak yang bisa terlibat kenakalan dan kejahatan atau anak yang tertutup, menarik diri, dan menghindari konflik (Noe’man, 2012).


(6)

2. Pola Asuh Demokratis adalah pengasuhan yang memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsif terhadap kemauan dan kehendak anak. Orang tua yang demokratis akan bersikap asertif, yaitu membiarkan anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi masih menetapkan standar dan batasan yang jelas pada anak serta selalu mengawasinya. Mereka pun terlibat dalam komunikasi yang intensif dan hangat serta responsif terhadap kebutuhan anak. Komunikasi yang hangat dan terbuka memungkinkan adanya diskusi. Karena itu lah, dalam pola asuh demokratis, setiap aturan dan tindakan orang tua selalu disertai penjelasan dan respons yang baik terhadap pendapat anak. Orang tua juga terlibat dalam pemecahan masalah bersama anak (Noe’man, 2012). Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua demokratis akan bersikap suportif. Artinya, ketika anak tidak mematuhi aturan orang tua dan mampu menjelaskan alasannya, orang tua bersedia untuk mendengar dan memahami. Kendati demikian, aturan tetap dilaksanakan secara konsisten. Orang tua demokratis menyadari bahwa mengembangkan sikap tanggung jawab, kemandirian, dan respek merupakan sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap. Selain itu, orang tua tipe ini juga menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. Mereka juga membantu anak untuk mengembangkan keyakinan-keyakinan dirinya yang positif (Noe’man, 2012).


(7)

3. Pola Asuh Permisif adalah pengasuhan yang lebih mengedepankan kasih sayang, tetapi tidak memberi batasan berupa tuntutan. Orang tua yang permisif, biasanya sangat toleran, lembut, dan tidak menuntut anak untuk berperilaku matang, mandiri, atau bertanggung jawab. Mereka lebih suka menghindari konfrontasi dengan anak dan membiarkan anak melakukan semua hal yang disukainya. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini akan memiliki kemampuan yang sangat rendah mengontrol diri dan cenderung menuntut setiap keinginannya. Kelak, ketika dewasa, anak-anak permisif akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya, termasuk dengan dengan korupsi, menindas orang lain, atau berbagai bentuk kejahatan lainnya (Noe’man, 2012).

4. Pola Asuh Abai (Tidak Peduli) adalah jenis pengasuhan dengan kasih sayang dan tuntutan yang sangat sedikit / rendah terhadap anak. Kemungkinan, cara pengasuhan ini diakibatkan oleh kurangnya waktu. Banyak orang tua yang bekerja dari pagi sampai malam, sementara anak-anak diasuh oleh baby sitter. Anak-anak pun tumbuh tanpa bimbingan orang tua. Bahkan, pada kasus ekstrem, ada orang tua yang cenderung mengabaikan anak karena sibuk mengurusi kepentingan sendiri. Biasanya, orang tua seperti ini sudah merasa puas dengan melimpahi materi kepada anak atau memasukkan anak ke sekolah – sekolah mahal. Akibatnya, anak merasa dirinya tidak berharga. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kompetensi sosial, kurang dapat mengontrol diri, serta tidak mandiri (Noe’man, 2012).


(8)

Dari keempat jenis pola asuh di atas, orang tua tentu sepakat bahwa pola asuh demokratis adalah yang paling baik untuk diterapkan. Adapun ciri utama pola asuh demokratis, yaitu sebagai berikut:

a. Orang tua suportif dan komunikatif.

b. Orang tua menerapkan disiplin yang konsisten. c. Orang tua mengawasi.

d. Orang tua membantu anak untuk mengembangkan kesadaran, pengekspresian dan kontrol emosional (Noe’man, 2012).

C. Prinsip Dalam Mengasuh Dan Membimbing Anak

Anak perlu di asuh, dan dibimbing karena mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan itu merupakan suatu proses. Agar pertumbuhan dan perkembangan berjalan sebaik-baiknya anak perlu di asuh dan dibimbing oleh orang dewasa, terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga. Peran orang tua adalah menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak ke arah yang positif (Septiari, 2012).

1. Mengasuh Dan Membimbing Anak Umur 0 – 1,5 Tahun.

a. Ciri dan tuntutan perkembangan :

• Memperoleh rasa aman dan rasa percaya dari lingkungan merupakan dasar yang penting dalam hubungan anak dengan lingkungannya.

• Rasa aman ini diperolehnya melalui sentuhan fisik yang menyenangkan dengan ibu nya, dan sedikit mungkin mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan (Septiari, 2012).


(9)

a. Sikap orang tua

• Penuh kasih sayang dalam merawat, dan mengasuh akan menimbulkan perasaan aman serta percaya pada bayi.

• Kesiapan ibu pada setiap saat dibutuhkan oleh bayi, juga menimbulkan rasa aman dan percaya pada bayi.

• Berilah ASI sesuai dengan kebutuhan bayi. Jangan terlalu ketat dengan jadwal pemberian makanan. Karena setiap bayi mempunyai kebutuhan berbeda.

• Bila ibu terpaksa memberikan susu botol, perlakukanlah seperti bayi minum ASI, yaitu dengan cara memeluknya (Septiari, 2012). b. Gangguan atau penyimpangan yang dapat timbul pada tahap ini

• Kesulitan makan.

• Mudah terangsang , marah, tersinggung.

• Menolak segala sesuatu yang baru (Septiari, 2012).

2. Mengasuh Dan Membimbing Anak Umur 1,5 – 3 Tahun.

a. Ciri dan tuntutan perkembangan

• Anak akan bergerak dan berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuannya sendiri. Sehingga dia seolah-olah ingin mencoba apa yang dapat dilakukannya.

• Anak dapat menuntut atau menolak apa yang dia kehendaki atau tidak dia kehendaki.

• Akan tertanam perasaan otonomi diri, yaitu kemampuan mengatur badannya dan lingkungannya sendiri. Hal ini menjadi dasar


(10)

terbentuknya rasa yakin pada diri dan harga diri pada kemudian hari (Septiari, 2012).

b. Sikap orang tua

• Doronglah agar anak dapat bergerak bebas dan berlatih melakukan hal-hal yang diperkirakan mampu dia kerjakan, sehingga akan menumbuhkan rasa kemampuan diri. Namun harus bersikap tegas untuk melindungi dari bahaya, karena dorongan anak berbuat belum diimbangi oleh kemampuan untuk melaksanakannya secara wajar dan rasional.

• Usahakan agar anak mau bermain dengan anak lainnya. Dengan demikian dia akan belajar bagaimana mengikuti aturan permainan. Tetapi jangan lupa bahwa dalam bermain atau berhubungan dengan orang lain, anak masih bersifat egois yaitu mementingkan diri sendiri, dan memperlakukan orang lain sebagai obyek atau benda sesuai dengan kemauannya sendiri. • Banyaklah berbicara dengan anak dalam kalimat pendek yang

mudah dimengerti (Septiari, 2012).

c. Gangguan atau penyimpangan yang dapat timbul pada tahap ini. • Kesulitan makan.

• Suka ngambek atau tempertantrum.

• Tingkah laku yang menentang dan keras kepala.

• Gangguan dalam berhubungan dengan orang lain yang diwarnai oleh sikap menyerang (Septiari, 2012).


(11)

3. Mengasuh Dan Membimbing Anak Umur 3 – 6 Tahun. a. Ciri dan tuntutan perkembangan

• Anak bersifat ingin tahu, banyak bertanya berbagai macam dan meniru kegiatan disekitarnya.

• Anak mulai melibatkan diri dalam kegiatan bersama, dan menunjukkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu, tetapi dia tidak mementingkn hasilnya. Pengalaman dalam melakukan aktivitas ini amat penting artinya bagi anak.

• Sering kali kita melihat bahwa anak cenderung berpindah-pindah dan meninggalkan tugas yang diberikan kepadanya untuk melakukan yang lain. Hal ini dapat menimbulkan krisis baru karena hal itu bertentangan dengan lingkungan yang semakin menuntut, sehingga anak mengalami kekecewaan (Septiari, 2012). b. Sikap orang tua

• Berilah kesempatan anak untuk menyalurkan inisiatifnya sehingga dia mendapat kesempatan untuk membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan itu.

• Ikut sertakan anak dalam aktivitas keluarga misalnya menyapu, berbelanja ke pasar, memasak, atau membetulkan mainan yang rusak.

• Dengar dan hargailah pendapat serta usul yang dikemukakan oleh anak.

• Jangan menuntut kemampuan yang melebihi anak (Septiari, 2012). c. Gangguan atau penyimpangan yang dapat timbul pada tahap ini


(12)

• Kesulitan belajar.

• Masalah di sekolah (masalah pergaulan dengan teman).

• Anak pasif dan takut serta kurang kemauan dan kurang inisiatif (Septiari, 2012).

D. Ada 9 Kesalahan Dalam Mengasuh Anak Balita

Berikut ini ada kesalahan yang umum dilakukan orang tua kepada anak balitanya (Septiari, 2012) :

1. Tidak Konsisten

Anak balita harus mulai belajar mengenai konsekuensi sejak awal. Dia harus mengetahui apa yang akan didapatkan jika tidak pergi mandi atau tidur pada waktu seharusnya. Semakin konsisten dan dapat ditebak apa yang akan dia alami jika peraturan tidak dipatuhi, semakin mudah anak untuk diajak bekerja sama.

2. Terlalu Fokus Pada Waktu Keluarga

Menghabiskan waktu yang berkualitas bersama keluarga adalah hal yang baik, tetapi ada keluarga tertentu yang terlalu mengusulkan hal ini dan hal itu. Padahal ada kalanya si anak ingin merayakan waktu pribadi dengan orang tua-nya hanya berduaan atau bertiga. Waktu berduaan dan pribadi dapat menjadi hal menyenangkan bagi anak dan orang tuanya karena tidak ada persaingan diantara saudara kandung. Cara yang dapat mengikat hubungan orang tua dan anak adalah dengan bermain bersama.


(13)

3. Terlalu Sering Menawarkan Bantuan

Beberapa orang tua menganggap si anak balita masih seperti bayi yang belum mengerti banyak hal, sehingga mereka lebih sering memberikan bantuan kepada anaknya, itu berarti dia tidak bisa melakukannya sendiri. Dengan kata lain anak tidak kompeten. Orang tua yang menawarkan terlalu banyak bantuan kepada nak balitanya dapat menyabotase kemampuan anak untuk percaya akan kemampuan dirinya sendiri.

4. Terlalu Banyak Bicara

Perlu diingat bahwa anak balita bukanlah orang dewasa dalam tubuh kecil. Mereka belum paham bagaimana cara berfikir dalam logika. Bayangkan, jika anak berusia 2 tahun meminta kue, dan orang tua menjawab “tidak”, kemudian si anak merengek, si ibu menjelaskan sudah saatnya makan malam, si ibu pun menarik kuenya lalu mencoba menjelaskan lagi, si anak merampas lalu yang seharusnya dilakukan orang tua adalah setelah memberitahu si anak untuk melakukan sesuatu, jangan memaksa untuk menjelaskan segalanya atau mencoba melakukan kontak mata. Jika si anak tidak mau mematuhi berikan peringatan dengan kata-kata sedikit atau hitung hingga 3. Jika si anak masih melanggar lakukan time out atau konsekuensi langsung tanpa memberi penjelasan.

5. Hanya Menghidangkan Makanan Khusus Anak

Si kecil sulit diberikan makanan orang dewasa? Atau dia hanya mau makan-makanan ringan untuk anak-anak?, hal ini dapat terjadi


(14)

kebiasaan. Cobalah mengajak anak mengkonsumsi apa yang anda makan di meja makan, jika seharusnya sudah siap makan-makanan berat. Banyak anak yang sudah mau mencoba makanan baru jika dia melihat ayah atau ibunya menikmati makanan itu. Jika dia menolaknya. Cobalah sodorkan kembali. Beberapa anak balita harus mencoba banyak tipe makanan sehingga mereka memutuskan menyukai makanan itu.

6. Terlalu Dini Menyingkirkan Tempat Tidur Bayi

Tempat tidur khusus bayi bukan hanya dibuat untuk menjaga keamanan si bayi saat tertidur, tetapi juga untuk membuat kebiasaan tidur yang sehat. Saat anak terlalu dini dipindahkan ke tempat tidur, mereka dapat menjadi sulit tidur, kadang dipenghujung malam mereka datang ke kamar orang tuanya minta untuk ditemani. Saat yang tepat memindahkan anak ke tempat tidur besar adalah saat dia sudah mulai memanjat ingin keluar dari tempat tidurnya atau saat dia sudah meminta keluar dari tempat tidurnya atau saat dia sudah meminta keluar dari tempat tidurnya tersebut. Kebanyakan anak sudah siap pindah diantara rentang usia 2-3 tahun.

7. Memulai Latihan Menggunakan Toilet Terlalu Awal

Beberapa orang tua memaksa anaknya menggunakan toilet saat dirasa si anak seharusnya sudah belajar, padahal bisa saja si anak belum siap, dan belum mau, dan ini bisa mengakibatkan tarik ulur kekuatan. Anak akan belajar menggunakan toilet saat mereka sudah siap, dan prosesnya tidak harus terburu-buru. Namun anda siapkan


(15)

langkah-langkahnya, tunjukkan toilet kepada anak, beritahulah fungsinya, dan cara penggunaannya, berilah pujian jika si anak mau mencoba menggunakannya. Umumnya anak sudah siap melakukan toilet training pada umur 2 tahun. Tetapi setiap anak berbedah karena kemajuan tumbuh kembang anak yang satu dengan yang lain tidak sama, ada yang tumbuh kembangnya lambat, dan ada juga yang cepat. Sebagai orang tua haruslah perka terhadap anak apakah dia sudah siap atu belum menggunakan toilet, jadi janganlah terlalu memaksa anak untuk dapat melakukannya.

8. Tidak Membatassi Jam Menonton Televisi

Banyak anak balita menghabiskan waktunya untuk menonton televisi. Hal ini dapat membuatnya sulit untuk belajar. Kebanyakan anak dibawah usia 2 tahun belum paham apa yang ditayangkan di televisi atau di monitor komputer. Cobalah membuat si kecil sibuk dengan kegiatan lain seperti membaca bersama atau kegiatan kreatif lainnya. Cobalah lakukan perbincangan dan mendengarkan agar si anak kecil bisa belajar berkomunikasi.

9. Mencoba Menghentikan Rengekan Besar

Beberapa orang tua khawatir jika si anak yang tidak bisa diatur akan membuatnya terlihat seperti orang tua yang tidak efektif. Tetapi ada kalanya si anak melakukan rengekan besar. Ketika mereka melakukan hal tersebut. Percuma kita meminta mereka berhenti melakukannya, bahkan jika hal tersebut terjadi di depan banyak orang. Sebaiknya orang tua menawarkan pelukan untuk si anak.


(16)

E. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Pada Pembentukan Kepribadian Anak 1.Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Yang Bekerja Dengan Yang Tidak

Bekerja.

Pada kenyataan sekarang ini adalah berkurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya karena keduanya sama-sama bekerja. Hal ini mengakibatkan terbatasnya interaksi antara anak dengan kedua orang tuanya. Keadaan ini biasanya terjadi pada keluarga-keluarga muda yang semuanya bekerja. Anak-anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya karena keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan pada usia ini anak sangat membutuhkan perhatian lebih dari orang tua terutama untuk perkembangan kepribadiannya. Anak yang ditinggal orang tuanya dan hanya tinggal dengan seorang pengasuh yang dibayar oleh orang tua untuk menjaga dan mengasuh, belum tentu si anak mendapatkan pengasuhan yang baik sesuai perkembangannya dari seorang pengasuh. Anak yang ditingggal kedua orang tuanya bekerja cenderung bersifat manja. Biasanya orang tua akan merasa bersalah terhadap anak karena telah meninggalkan seharian. Sehingga orang tua perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Kurangnya perhatian dari kedua orang tua akan mengakibatkan anak mencari perhatian dari luar baik dilingkungan sekolah, dengan teman sebaya maupun dengan orang tua pada saat mereka ada di rumah (Septiari, 2012).

2.Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Yang Berpendidikan Tinggi Dengan Yang Berpendidikan Rendah.

Latar belakang pendidikan orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian anak. Orang tua yang mempunyai latar


(17)

belakang pendidikan yang tinggi akan lebih memperhatikan segala perubahan dan setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya. Orang tua yang berpindidikan tinggi umumnya mengetahui bagaimana tingkat perkembangan anak khususnya untuk pembentukan kepribadian yang baik bagi anak. Orang tua yang berpendidikan tinggi umumnya dapat mengajarkan sopan – santun kepada orang lain, baik dalam berbicara ataupun dalam hal lain. Berbeda dengan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah. Dalam pengasuhan anak umumnya orang tua kurang memperhatikan memperhatikan tingkat perkembangan anak. Hal ini dikarenakan orang tua yang masih awam, dan tidak mengetahui tingkat perkembangan anak. Bagaimana anaknya berkembang dan dalam tahap apa anak pada saat itu. Orang tua biasanya mengasuh anak dengan gaya dan cara mereka sendiri. Apa yang menurut mereka baik untuk anaknya. Anak dengan pola asuh orang tua yang seperti ini akan membentuk suatu kepribadian yang kurang baik (Septiari, 2012).

3.Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Ekonomi Rendah & Menengah Ke Bawah.

Permasalahan ekonomi dalam keluarga merupakan masalah yang sering dihadapi. Tanpa disadari bahwa permasalahan ekonomi dalam keluarga akan berdampak pada anak. Orang tua terkadang melampiaskan kekesalan dalam menghadapi permasalahan pada anak. Anak usia prasekolah belum mengerti tentang masalah perekonomian dalam keluarga hanya akan menjadi korban dari orang tua. Dalam pola asuh yang diberikan oleh orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke atas dan orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah berbeda. Orang tua yang tingkat perekonomiannya


(18)

menengah ke atas dalam pengasuhannya biasanya orang tua memanjakan anak. Apapun yang diinginkan oleh anak akan dipenuhi orang tua. Segala kebutuhan anak dapat terpenuhi dengan kekayaan yang dimiliki orang tua. Pengasuhan anak sebagian besar hanya sebatas materi. Perhatian dan kasih sayang orang tua diwujudkan dalam materi atau pemenuhan kebutuhan anak (Septiari, 2012).

Anak yang terbiasa dengan pola asuh yang demikian maka akan membentuk suatu kepribadian yang manja, serba menilai sesuatu dengan materi dan tidak menutup kemungkinan anak akan sombong dengan kekayaan yang dimiliki orang tua serta kurang menghormati orang yang lebih rendah darinya. Sedangkan pada orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah dalam cara pengasuhannya memang kurang dapat memenuhi kebutuhan anak yang bersifat materi. Orang tua hanya dapat memenuhi kebutuhan yang benar-benar penting bagi anak. Perhatian dan kasih sayang orang tualah yang dapat diberikan. Anak yang hidup dengan perekonomian menengah ke bawah terbiasa hidup dengan segala kekurangan yang dialami keluarga. Sehingga anak terbentuk kepribadian anak yang mandiri, mampu menyelesaikan permasalahan dan tidak mudah stres dalam menghadapi suatu permasalahan dan anak dapat menghargai usaha orang lain. Pada kenyataaannya terdapat juga anak yang minder dengan keadaan ekonomi orang tua yang kurang. Oleh karena itu, peran orang tua dalam hal ini sangatlah penting. Orang tua harus menyeimbangkan dengan pendidikan agama pada anak. Sehingga anak mampu mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan oleh Sang Pencipta (Septiari, 2012).


(19)

F. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh 1. Pendidikan

Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses penyampaian bahan-bahan atau materi pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan tingkah laku atau tujuan. Pendidikan berkaitan dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya. Sikap individu pada umumnya menginginkan pendidikan, makin banyak dan makin tinggi pendidikan seseorang maka makin baik tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pendidikan adalah jenjang sekolah yang pernah diikuti oleh seseorang, dimana jenjang tersebut telah diatur menurut umur oleh dinas terkait dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan Nasional. Jenjang pendidikan yang telah diperbaharui sekarang ini adalah jenjang pendidikan dasar dari tidak sekolah, sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan pertama, jenjang pendidikan menengah yaitu sekolah menengah atas sederajat serta jenjang pendidikan tinggi meliputi perguruan tinggi dan sederajat (Azwar, 2005).

Menurut Sisdiknas pendidikan kesehatan adalah penerapan konsep pendidikan didalam bidang kesehatan. Pendidikan kesehatan penting untuk menunjang program-program kesehatan. Apabila tingkat pendidikan seseorang tinggi maka bisa memperbaiki pengetahuan, sikap dan perilaku orang tersebut (Azwar, 2005).


(20)

2. Pekerjaan

Ibu-ibu yang bekerja dari pagi sampai sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan keluarga. Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara anak. Keadaan yang demikian dapat mempengaruhi keadaan keluarga khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Jus’at, 2000).

3. Pendapatan

Pendapatan merupakan penghasilan seseorang atau keluarga yang diperoleh dari sebuah kegiatan baik dilakukan di rumah atau di luar rumah (Setiawan, 2003). Pendapatan menentukan besarnya pengeluaran sebuah keluarga baik untuk pangan maupun non pangan. Semua aktivitas yang berhubungan dengan pengeluaran dalam sebuah keluarga akan berimbas pada pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka diyakini akan semakin baik pula tingkat kesejahteraan keluarga tersebut demikian sebaliknya (Hardiansyah, 2007). Menurut Upah Minimum regional (UMR) provinsi Sumatera Utara Tahun 2014 pendapatan dikategorikan:

a. Sesuai UMR, jika > Rp. 1.350.000,- b. Di bawah UMR, jika < Rp. 1.350.00,-


(1)

langkahnya, tunjukkan toilet kepada anak, beritahulah fungsinya, dan cara penggunaannya, berilah pujian jika si anak mau mencoba menggunakannya. Umumnya anak sudah siap melakukan toilet training pada umur 2 tahun. Tetapi setiap anak berbedah karena kemajuan tumbuh kembang anak yang satu dengan yang lain tidak sama, ada yang tumbuh kembangnya lambat, dan ada juga yang cepat. Sebagai orang tua haruslah perka terhadap anak apakah dia sudah siap atu belum menggunakan toilet, jadi janganlah terlalu memaksa anak untuk dapat melakukannya.

8. Tidak Membatassi Jam Menonton Televisi

Banyak anak balita menghabiskan waktunya untuk menonton televisi. Hal ini dapat membuatnya sulit untuk belajar. Kebanyakan anak dibawah usia 2 tahun belum paham apa yang ditayangkan di televisi atau di monitor komputer. Cobalah membuat si kecil sibuk dengan kegiatan lain seperti membaca bersama atau kegiatan kreatif lainnya. Cobalah lakukan perbincangan dan mendengarkan agar si anak kecil bisa belajar berkomunikasi.

9. Mencoba Menghentikan Rengekan Besar

Beberapa orang tua khawatir jika si anak yang tidak bisa diatur akan membuatnya terlihat seperti orang tua yang tidak efektif. Tetapi ada kalanya si anak melakukan rengekan besar. Ketika mereka melakukan hal tersebut. Percuma kita meminta mereka berhenti melakukannya, bahkan jika hal tersebut terjadi di depan banyak orang. Sebaiknya orang tua menawarkan pelukan untuk si anak.


(2)

E. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Pada Pembentukan Kepribadian Anak 1. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Yang Bekerja Dengan Yang Tidak

Bekerja.

Pada kenyataan sekarang ini adalah berkurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya karena keduanya sama-sama bekerja. Hal ini mengakibatkan terbatasnya interaksi antara anak dengan kedua orang tuanya. Keadaan ini biasanya terjadi pada keluarga-keluarga muda yang semuanya bekerja. Anak-anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya karena keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan pada usia ini anak sangat membutuhkan perhatian lebih dari orang tua terutama untuk perkembangan kepribadiannya. Anak yang ditinggal orang tuanya dan hanya tinggal dengan seorang pengasuh yang dibayar oleh orang tua untuk menjaga dan mengasuh, belum tentu si anak mendapatkan pengasuhan yang baik sesuai perkembangannya dari seorang pengasuh. Anak yang ditingggal kedua orang tuanya bekerja cenderung bersifat manja. Biasanya orang tua akan merasa bersalah terhadap anak karena telah meninggalkan seharian. Sehingga orang tua perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Kurangnya perhatian dari kedua orang tua akan mengakibatkan anak mencari perhatian dari luar baik dilingkungan sekolah, dengan teman sebaya maupun dengan orang tua pada saat mereka ada di rumah (Septiari, 2012).

2. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Yang Berpendidikan Tinggi Dengan Yang Berpendidikan Rendah.

Latar belakang pendidikan orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian anak. Orang tua yang mempunyai latar


(3)

belakang pendidikan yang tinggi akan lebih memperhatikan segala perubahan dan setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya. Orang tua yang berpindidikan tinggi umumnya mengetahui bagaimana tingkat perkembangan anak khususnya untuk pembentukan kepribadian yang baik bagi anak. Orang tua yang berpendidikan tinggi umumnya dapat mengajarkan sopan – santun kepada orang lain, baik dalam berbicara ataupun dalam hal lain. Berbeda dengan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah. Dalam pengasuhan anak umumnya orang tua kurang memperhatikan memperhatikan tingkat perkembangan anak. Hal ini dikarenakan orang tua yang masih awam, dan tidak mengetahui tingkat perkembangan anak. Bagaimana anaknya berkembang dan dalam tahap apa anak pada saat itu. Orang tua biasanya mengasuh anak dengan gaya dan cara mereka sendiri. Apa yang menurut mereka baik untuk anaknya. Anak dengan pola asuh orang tua yang seperti ini akan membentuk suatu kepribadian yang kurang baik (Septiari, 2012).

3. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Ekonomi Rendah & Menengah Ke Bawah.

Permasalahan ekonomi dalam keluarga merupakan masalah yang sering dihadapi. Tanpa disadari bahwa permasalahan ekonomi dalam keluarga akan berdampak pada anak. Orang tua terkadang melampiaskan kekesalan dalam menghadapi permasalahan pada anak. Anak usia prasekolah belum mengerti tentang masalah perekonomian dalam keluarga hanya akan menjadi korban dari orang tua. Dalam pola asuh yang diberikan oleh orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke atas dan orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah berbeda. Orang tua yang tingkat perekonomiannya


(4)

menengah ke atas dalam pengasuhannya biasanya orang tua memanjakan anak. Apapun yang diinginkan oleh anak akan dipenuhi orang tua. Segala kebutuhan anak dapat terpenuhi dengan kekayaan yang dimiliki orang tua. Pengasuhan anak sebagian besar hanya sebatas materi. Perhatian dan kasih sayang orang tua diwujudkan dalam materi atau pemenuhan kebutuhan anak (Septiari, 2012).

Anak yang terbiasa dengan pola asuh yang demikian maka akan membentuk suatu kepribadian yang manja, serba menilai sesuatu dengan materi dan tidak menutup kemungkinan anak akan sombong dengan kekayaan yang dimiliki orang tua serta kurang menghormati orang yang lebih rendah darinya. Sedangkan pada orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah dalam cara pengasuhannya memang kurang dapat memenuhi kebutuhan anak yang bersifat materi. Orang tua hanya dapat memenuhi kebutuhan yang benar-benar penting bagi anak. Perhatian dan kasih sayang orang tualah yang dapat diberikan. Anak yang hidup dengan perekonomian menengah ke bawah terbiasa hidup dengan segala kekurangan yang dialami keluarga. Sehingga anak terbentuk kepribadian anak yang mandiri, mampu menyelesaikan permasalahan dan tidak mudah stres dalam menghadapi suatu permasalahan dan anak dapat menghargai usaha orang lain. Pada kenyataaannya terdapat juga anak yang minder dengan keadaan ekonomi orang tua yang kurang. Oleh karena itu, peran orang tua dalam hal ini sangatlah penting. Orang tua harus menyeimbangkan dengan pendidikan agama pada anak. Sehingga anak mampu mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan oleh Sang Pencipta (Septiari, 2012).


(5)

F. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

1.Pendidikan

Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses penyampaian bahan-bahan atau materi pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan tingkah laku atau tujuan. Pendidikan berkaitan dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya. Sikap individu pada umumnya menginginkan pendidikan, makin banyak dan makin tinggi pendidikan seseorang maka makin baik tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pendidikan adalah jenjang sekolah yang pernah diikuti oleh seseorang, dimana jenjang tersebut telah diatur menurut umur oleh dinas terkait dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan Nasional. Jenjang pendidikan yang telah diperbaharui sekarang ini adalah jenjang pendidikan dasar dari tidak sekolah, sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan pertama, jenjang pendidikan menengah yaitu sekolah menengah atas sederajat serta jenjang pendidikan tinggi meliputi perguruan tinggi dan sederajat (Azwar, 2005).

Menurut Sisdiknas pendidikan kesehatan adalah penerapan konsep pendidikan didalam bidang kesehatan. Pendidikan kesehatan penting untuk menunjang program-program kesehatan. Apabila tingkat pendidikan seseorang tinggi maka bisa memperbaiki pengetahuan, sikap dan perilaku orang tersebut (Azwar, 2005).


(6)

2. Pekerjaan

Ibu-ibu yang bekerja dari pagi sampai sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan keluarga. Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara anak. Keadaan yang demikian dapat mempengaruhi keadaan keluarga khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Jus’at, 2000).

3. Pendapatan

Pendapatan merupakan penghasilan seseorang atau keluarga yang diperoleh dari sebuah kegiatan baik dilakukan di rumah atau di luar rumah (Setiawan, 2003). Pendapatan menentukan besarnya pengeluaran sebuah keluarga baik untuk pangan maupun non pangan. Semua aktivitas yang berhubungan dengan pengeluaran dalam sebuah keluarga akan berimbas pada pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka diyakini akan semakin baik pula tingkat kesejahteraan keluarga tersebut demikian sebaliknya (Hardiansyah, 2007). Menurut Upah Minimum regional (UMR) provinsi Sumatera Utara Tahun 2014 pendapatan dikategorikan:

a. Sesuai UMR, jika > Rp. 1.350.000,- b. Di bawah UMR, jika < Rp. 1.350.00,-