INTEGRASI NASIONAL DALAM PUSARAN GLOBALI

INTEGRASI NASIONAL DALAM PUSARAN GLOBALISASI
Sugeng Harianto1
Abstrak

P

embentakan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) belum selesai.
Pembentukannya masih dalam lintasan sejarah. Globalisasi telah menghadirkan
tantangan semakin berat dalam pembentukannya. Serbuan globalisasi
mengakibatkan terjadinya pergulatan dalam sistem nilai masyarakat, yang
mengakibatkan krisis orientasi nilai masyarakat. Bangsa ini juga menghadapi tantangan
kemajemukan masyarakat. Kemajemukan masyarakat berpotensi melahirkan konflik
horizontal dan vertikal. Menghadapi serbuan globalisasi dan kemajemukan masyarakat
perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai yang bersifat fundamental. Kesepakatan terhadap
nilai-nilai
fundamental sangat krusial dan penting karena mampu meredam
kemungkinan berkembangnya konflik horizontal dan vertical antarkomponen bangsa.
Nilai-nilai fundamental itulah yang mampu menciptakan integtasi nasional yang kokoh.
Integrasi nasional dengan cara-cara hegemoni dan dominasi yang pernah dipraktikkan
pada masa lampu sudah seharusnya ditinggalkan. Integrasi nasional dan nasionalisme
yang kuat akan dapat dibangun di atas landasan kesejahteraan masyarakat yang

memadai. Kemiskinan dan keterbelakangan sudah saatnya kita tempatkan menjadi
musuh bersama bangsa ini.
Kata kunci: integrasi, nasional, globalisasi

1

Penulis adalah staf pengajar pada Program Studi Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas
Negeri Surabaya.

S

elama ini berkembang anggapan yang
salah bahwa kita sebagai negara bangsa
(nation state) sudah jadi sejak proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia hasil KMB
(Konferensi Meja Bundar) akhir 1949. Sebagai
negara bangsa tidak perlu lagi dibicarakan dan
tidak perlu lagi dipersoalkan. Menurut saya,
anggapan seperti tidak tepat. Sebenarnya,

meskipun kita sudah menjadi bangsa sudah 88
tahun -- sejak ikrar Sumpah Pemuda 1928 -dan sudah 71 tahun kita menjadi negara (state),
pembentukan ke-Indonesia-an kita masih
berproses dan selalu berproses. Berproses dalam
lintasan waktu dan ruang.Artinya, ke-Indonesiaan kita berproses dalam lintasan sejarah.
Globalisasi
telah
menghadirkan
tantangan yang semakin berat dalam
pembentukan ke-Indonesia-an kita sekarang ini.
Bila pada masa sebelum tahun 1945 kita
menghadapi tantangan eksternal berupa
kolonialisme dan imperialisme, pada pasca
kemerdekaan kita sebagai disibukkan dengan
tantangan internal berupa pemberontakanpemberontakan di berbagai daerah mulai dari
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 hingga
pemberontakan PKI tahun 1965. Memasuki
periode pemerintahan Orde Baru “seakan-akan
tenang.” Selama 32 tahun kita memasuki periode
pembangunan di semua sektor dengan pola

pembangunan lima tahun (Pelita). Namun,bisa
dikatakan keberhasilan pembangunan pada masa
itu adalah semu. Integrasi nasional yang seolaholah kokoh, sebenarnya rapuh.Pemerintah Orde
Baru berhasl menciptakan integrasi nasional
melalui penundukan atas masyarakat sipil melalui
asas
tunggal,
korporatisasi
kelompok
kepentingan, P4, simplifikasi partai politik, dan
bahkan melalui kekuatan represif.
Lepasnya Propinsi ke-27 Timor Timur
dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
sempat mengoyak integrasi nasional kita.
Meskipun nuansa intervensi asing sangat kuat,
melalui jajak pendapat sebagian besar rakyat
Timor Timur menentukan pilihan untuk
menjadikan Timor Timur sebagai negara
berdaulat. Daerah yang selama itu menjadi “anak
emas” Indonesia lepas begitu saja.Bukan hanya


itu, kemerdekaan Timor Timur juga menjadi
inspirasi kelompok-kelompok di beberapa daerah
seperti Aceh dan Papua untuk melakukan hal
yang sama. Beruntung konflik vertikal
berkepanjangan antara Indonesia dengan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) dicapai perjanjian
damai yang ditandatangani Septembertahun
2005. Namun, konflikvertikal dengan OPM
(Organisasi Papua Merdeka) masih layaknya
bara api dalam sekam.
Bagaimana dengan masa depan
integrasi nasional Indonesia? Menurut saya,
sekarang ini integrasi nasional kita sedang
menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu:
pertama, tantangan eksternal berupa globalisasi,
yang menebarkan pengaruhnya ke seluruh aspek
kehidupan masyarakat, dan kedua, kita
dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat
kita adalah masyarakat yang majemuk

(pluralistic), baik secara vertikal maupun
horizontal.
Bangsa dalam Terkaman Globalisasi
Globalisasi
artinya
apa?
Saya
memahami globalisasi dengan pengertian sangat
sederhana. Globalisasi berarti saya dapat
menyaksikan di televisi merk Samsung buatan
Korea Selatan di atas mobil Honda produksi
Jepang tentang peristiwa agresi militer Israel di
Palestina melalui tayangan CNN dalam waktu
yang bersamaan dan materi siar yang sama
dengan yang disaksikan penduduk dunia lainnya.
Dalam perjalanan sambil makan hamburger dan
minum Coca Cola yang saya beli dengan
menggunakan credit card di rumah makan
McDonald di Jl. Basuki Rachmat Surabaya.Lepas
dari Jl. Basuki Rachmat saya menuju gedung

bioskop Mitra untuk menyaksikan film London
Has Fallen. Film ini ternyata secara serentak juga
ditayangkan di gedung-gedung bioskop di seluruh
dunia.Pulang dari gedung bioskop saya mampir
belanja di Surabaya Plaza untuk membeli baju
merk Hugo-Boss produksi Amerika Serikat dan
sepatu merk Clark buatan Inggris.Pulang dari
Surabaya Plaza saya mampir ke dunia buah
untuk membeli apel produksi Australia dan New
Zealand dan membeli durian yang diimpor dari
Thailand (Harianto, 2006).

Itulah globalisasi.Dunia – oleh banyak
penulis – digambarkan menyatu menjadi global
village, yang menyatu, saling tahu dan terbuka,
serta saling tergantung satu sama lain. Ohmae
dalam bukunya The End of Nation State (1995)
menggambarkan melalui 4 I, yaitu informasi,
investasi, industri, dan individu (konsumen), akan
menghancurkan negara bangsa. Percuma

mempertahankan negara dengan mengandalkan
batas-batas nasional, sebab institusi politik
tersebut
sudah
terlalu
rapuh
untuk
mengendalikan gelombang lomunikasi, korporasi,
konsumen, modal, dan mata uang.Sebagai
gantinya, Ohmae melihat akan muncul negara
kawasan. Dunia seolah-olah sudah dilem dengan
MEA,
AFTA,
NAFTA,
WTO,
dan
sebagainya.Bahkan
Fukuyama
(2003)
menyatakan bahwa dengan berakhirnya perang

dingin kita telah mencapai “akhir sejarah.”Namun,
Hirst dan Thompson (2001) beranggapan bahwa
globalisasi bukan fenomena baru, bahkan
dikatakan globalisasi adalah mitos.Perubahanperubahan yang terjadi sekarang ini sudah terjadi
pada tahun 1960-an. Globalisasi hanya mitos.
Bagaimana
globalisasi
di
Indonesia?Globalisasi saya kira telah merasuk ke
dalam darah kehidupan bangsa ini. Bahkan
proses globalisasi yang berlangsung sejak akhir
abad ke-20 semakin dalam menusuk jantung
kehidupan bangsa dan telah menimbulkan
berbagi problematika. Saya akan menyebutkan
beberapa saja sebagai ilustrasi.Namun, menurut
saya, globalisasi hanya mengubah sisi-sisi
kehidupan masyarakat Indonesia secara
gradual.Perubahan global di Indonesia hanyalah
menyentuh kulit luar.Globalisasi belumlah mampu
mengubah aspek-aspek fundamental bangsa dan

negara ini.Namun perlu dicurigai bahwa
globalisasi dapat saja menyentuh dan
mengancam nilai-nilai fundamental kita kelak
(Harianto, 2006).
Konon kabarnya krisis ekonomi yang
dialami Indonesia sejak tahun 1997 dikait-kaitkan
dengan George Soros bermain valutas asing.Apa
hubungannya dengan ekonomi Indonesia?
Melalui mekanisme pasar, sistem ekonomi dan
keuangan dunia telah menjadi global. Gejolak
nilai tukar suatu negara akan berdampak

terhadap nilai tukar negara lain. Itulah yang kita
alami sejak tahun 1997 hingga sekarang, nilai
tukar Rupiah sangat rentan terhadap berbagai
sentiment baik ekonomi, sosial maupun
politik.Pada masa lalu, krisis ini dicoba diatasi
dengan mendatangkan “dokter spesialis” IMF dan
Bank Dunia. Berbagai resep yang diberikan IMF
dan Bank Dunia, ternyata tidak mampu

menyembuhkan penyakit kronis yang diderita
seorang pasien yang namanya Indonesia
(Harianto, 2006).
Globalisasi
telah
melahirkan
ketergantungan antarnegara. Pembangunan
ekonomi
Indonesia
telah
melahirkan
ketergantungan pada negara lain. Karena itu,
kehadiran IMF dan Bank Dunia, pada masa itu,
seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan
yang tidak dapat dihindari. Mampukah Indonesia
mengatakan go to hell IMF and World
Bankseperti yang dilakukan oleh negara jiran
Malaysia? Pada masa itu Indonesia tidak
mempunyai keberanian seperti negara jiran
Malaysia. Apalagi saat itu Indonesia laksana

pasien yang taat, patuh, loyal, dan bahkan tunduk
pada sang dokter spesialis (baca IMF dan Bank
Dunia).
Globalisasi di bidang ekonomi telah
melahirkan zero sum game. Dunia ibarat sebuah
arena pertandingan. Apakah kita akan menjadi
pemain atau penonton? Apakah kita sebagai
pemain akanmenjadi pemenang (the winner) atau
pecundang (the looser)? Jawabannya sangat
tergantung pada kesiapan dan kemampuan kita.
Pada krisis ekonomi yang dialami Asia, termasuk
Indonesia, pada pertengahan tahun 1990-an
menunjukkan bahwa kita menjadi the loosers
(negara pecundang). Kita tidak berdaya
menghadapi the winners, yaitu para spekulan
yang bermain di pasar valuta dan pasar uang.Hal
ini disebabkan pembangunan ekonomi kita tidak
dibangun di atas landasan yang kokoh.Ekonomi
kita dibangun atas utang. Saat itu Indonenesia
sampai pada satu titik yang memprihatinkan yaitu
membayar utang dengan cara utang, seperti
layaknya kehidupan ekonomi keluarga miskin
yaitu gali lubang tutup lubang. Kondisi
memprihatinkan ini menjadi ironi ketika bangsa
kita, seperti digambarkan oleh kelomok musik

Koes Plus, dikenal sebagai bangsa yang gemah
ripah loh jinawi.Tanaman apa saja dapat
ditanam dengan subur di bumi ini.Kita sebagai
bangsa sebenarnya mempunyai kekayaan alam
dan sumber daya manusia yang besar.Tentu ada
yang salah dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya manusia kita ini.Kita ambil contoh
pengelolaan sumberdaya alam kita lebih banyak
dikelola oleh asing (Harianto, 2006).
Dengan globalisasi investasi asing pun
masuk ke Indonesia dengan bebasnya.Demikian
juga dengan investasi dalam negeri dapat
dilarikan ke luar negeri.Kita bicarakan terlebih
dahulu investasi asing.Investasi asing yang
masuk ke Indonesia dapat berupa uang dan
teknologi.Mereka mendirikan perusahaan yang
pada umumnya berskala besar.Orang juga
menyebutnya sebagai Multy National Corporation
(MNC). MNC yangtumbuh subur pada negara
kapitalis merupakan miniatur dari centrum
menjalankan
usahanya
dengan
cara
mengeksploitasi
negara-negara
sedang
berkembang sebagai peri-peri untuk keuntungan
dan kesejahteraan negara-negara centrum.
Mereka
dalam
menjalankan
usahanya
menggunakan teknologi canggih, namun bukan
berarti ada alih teknologi dari mereka ke bangsa
kita.MNC dalam terminologi Ruslan Abdulgani
laksana gurita yang setiap saat menggerogoti
bangsa ini (Harianto, 2006).
Sebaliknya investor dalam negeri ketika
kondisi politik dan keamanan tidak kondusif
melarikan dananya ke luar negeri, seperti ke
Vietnam, China, Singapura, Malaysia, dan
sebagainya.Apakah salah?Dalam kalkulasi bisnis
tentu merupakan pilihan yang rasioanal.Tetapi
dalam konteks kepentingan bangsa dan negara,
tentu
mereka
dapat
dikatakan
lebih
mengedepankan kepentingan pribadi atau
kelompok.Kita renungkan di tengah-tengah
bangsa dan negara sedang sekarat, justru
mereka lari ke luar negeri.Laksana mereka
meninggalkan Ibu Pertiwinya yang kondisnya
sedang sekarat (Harianto, 2006).
Indonesia juga telah menjadi pasar
terbuka terhadap produk-produk negara
lain.Setiap saat kita dibanjiri produk-produk, baik

barang maupun jasa, asing.Dengan jumlah
penduduk di atas 250 juta, saya kira, Indonesia
menjadi pasar potensial. Setiap detik masyarakat
kita seleranya dibentuk dan didekte oleh
produsen-produsen asing dengan berbagai
macam produk yang ditawarkan melalui iklan,
baik melalui media massa maupun media
lainnya.Ini dapat disaksikan antara lain dengan
semakin kuatnya pngaruh popular culture dan
consumer culture dalam kehidupan masyarakat
kita, yang dipertontonkan dalam bentuk gaya
hidup baru dengan meniru model kehidupan
masyarakat negara maju. Tidak hanya
menyentuh masyarakat kota, melinkan sudah
merambah masyarakat desa. Mereka juga
menguasai media massa, tanpa kita mampu
untuk menandinginya. Sebagian dari masyarakat
kita laksana konsumen-konsumen yang setia dari
produk-produk
asing.Implikasinya
adalah
mengalirnya devisa dari Indonesia ke negara lain.
Ketika kita membeli sepatu merk Clark, maka
devisa mengalir dari Indonesia ke Inggris. Ketika
kita membeli baju merk Hugo-Boss, maka devisa
mengalir dari Indonesia ke Amerika Serikat.
Tidak hanya devisa yang mengalir ke luar negeri,
kecintaan dan kesetiaan kita pada produk asing
mengakibatkan produk dalam negeri hidup
sempoyongan, bahkan mati suri.
Serbuan
globalisasi
tersebut
mengakibatkan terjadinya pergulatan dalam
sistem nilai masyarakat yang akhirnya menyeret
terjadinya krisis nilai seperti yang kita saksikan
dalam kehidupan masyarakat kita. Krisis nilai
dapat menyeret orang kepada krisis orientasi nilai
masyarakat. Krisis nilai ini lebih jauh
memperangkap orang pada stuasi, apa yang oleh
Durkheim (1994)disebut anomie. Orang seakan
berdiri di sebuah pintu gerbang, ”tidak di luar dan
tidak pula di dalam.” Keadaan seperti ini acapkali
menjebak orang untuk lebih terseret pada nilainilai
yang
bersifat
materialistik
dan
mengorbankan
niali-nilai
yang
bersifat
spiritualistik. Ambil contoh: memperoleh
kekayaan dengan cara-cara yang ilegal, seperti
korupsi dan meninggalkan nilai-nilai kerja keras,
kejujuran, disiplin, kreatifitas, dan sebagainya.
Maraknya penawaran untuk mendapatkan gelar
akademik dengan harga murah. Di Jakarta

sebuah perguruan tinggi mewisuda sekitar 1.300
sarjana tanpa melalui proses belajar. Bahkan,
perguruan tinggi asing menawarkan gelar Ph.D
dengan gurubesar-nya sekali. Selain masyarakat
kita mengalami kondisi anomie, juga disebabkan
apa yang oleh Koentjaraningrat ( 1994) disebut
sebagai mental nrabas.
Ketika Indonesia tahun 1997 sedang
parah-parahnya mengalami krisis moneter, para
pengusaha kita banyak yang memarkir modalnya
di bank-bank di luar negeri. Di tempat lain (di
Thailand yang juga mengalami krisis ekonomi)
berbagai komponen bangsa menyumbangkan
harta miliknya kepada negara agar negara
tersebut secepatnya keluar dari krisis. Thailand
lebih cepat keluar dari krisis dibandingkan
Indonesia. Demikian juga negara Jiran Malaysia.
Dengan lebih mengandalkan kemampuan
bangsanya dan tidak tergantung pada negara
lain, negara tersebut juga dapat mengatasi krisis
ekonomi dengan cepat.
Globalisasi tidak selalu menampakkan
wajah yang seram dan menakutkan. Tidak
selamanya globalisasi mempunyai dampak
negatif pada kehidupan bangsa ini. Di balik sisi
negatifnya, globalisasi juga menampakkan wajah
yang ramah dan menawan. Kebebasan dan
keterbukaan, yang pada masa pemerintahan
Orde Baru menjadi barang mewah dan mahal,
sekarang ini dapat dinikmati oleh siapa saja.Kita
sebagai warga negara mempunyai kebebasan
untuk menyampaikan pendapat, berserikat dan
berkumpul, tanpa ada intimidasi dan rasa takut,
bahkan ada kesan tanpa batas.
Dengan
globalisasi
kita
juga
diuntungkan secara ekonomi.
Globalisasi
membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya
investasi asing. Investasi asing dapat
menggerakkan roda perekonomian negara dan
menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan
demikian juga dapat mengurangi pengangguran.
Selain investasi asing, melalui globalisasi investor
asing dapat melakukan relokasi industri di
Indonesia. Dengan relokasi industri, investor
asing diuntungkan karena dapat meminimumkan
cost-nya. Investor asing membayar buruh murah
dan bahan baku yang melimpah, serta
mendekatkan diri dengan market. Indonesia juga

diuntungkan karena mendapatkan investasi baru
dan membuka lapangan pekerjaan. Berbagai
produk soft drink, seperti Coca Cola, Fanta, dan
sebagainya, yang kita minum setiap hari ternyata
diproduksi di Rungkut sebagai hasil dari relokasi
industri.
Globalisasi
tidak
sepenuhnya
menghanyutkan masyarakat dan budaya lokal
pada arus globalisasi secara terbuka, terdapat
pula masyarakat yang terdorong untuk mencari
dan menemukan identitas dirinya sendiri. Oleh
karena itu, tidak heran jika reidentifikasi dan
revitalisasi unsur budaya etnik muncul di perbagai
belahan dunia. Di tingkat lokal globalisasi telah
menyebabkan semakin menguatnya identitas
lokal. Menguatnya identitas lokal sebagai bentuk
resistensi terhadap globalisasi.
Apakah nasionalisme itu? Saya
memahami nasionalisme juga dalam pengertian
yang sangat sederhana. Bagi saya nasionalisme
itu adalah kesadaran, sikap, dan perilaku yang
mengedepankan kepentingan bangsa dan negara
dibandingkan kepentingan individu (pribadi),
golongan atau kelompok. Dalam nasionalisme
tersebut mengandung nilai-nilai, apa yang oleh
Durkheim (2005) disebut sebagai bagian dari
fakta sosial. Masyarakat menjadikan fakta sosial
ini sebagai konsensus bersama. Nasionalisme
menjadi kesadaran kolektif, yang menjadi perekat
yang mampu mengintegrasikan masyarakat yang
mempunyai keanekaragaman etnis, ras, agama,
dan budaya.
Anderson
(2002
menjelaskan
nasionalisme dari aspek budaya, bukan lagi
dengan menggunakan sistem politik.Menurut
Anderson, definisi bangsa dapat dimengerti
sebagai suatukomunitas yang dibayangkan – dan
dibayangkan sekaligus sebagai terbatas maupun
berdaulat. Bangsa itu dibayangkan karena
anggotanyatidak akan pernah mengenal satu
dengan yang lain, tetapi dalam benak tiap
anggota itu, hidup satu bayangan mengenai
keterkaitan antara mereka. Selanjutnya, bangsa
itudibayangkan sebagai terbatas, karena pasti
ada perbatasan dengan bangsa-bangsa lain, dan
sebagai berdaulat, karena negara yang adalah
lambang kebebasan yang diimpikansetiap
bangsa. Selain itu, menurut Anderson, bangsa itu

dibayangkan sebagai satu komunitas karena,
lepas dari ketidakadilandan penindasan yang
mungkin secara nyataada, bangsa selalu
dibayangkan sebagai persaudaraan yang
horizontal
danmendalam(Anderson,
2002).Anderson
menawarkan
bahwa
nasionalisme
hanya
dapat
dipahami
denganmenghubungkannya dengan kemerosotan
sistem-sistem budaya besar yangmendahuluinya
– dan dua sistem budaya besar yang relevan
menurutnya adalahkomunitas agama dan kuasa
dinasti hirarkis dengan penguasa yang berwahyu
sebagaipuncaknya.
Menurut Anderson (2002), perlahanlahan sejak abadke-17 dan ke-18, keduasistem
ini mengalami kemerosotan. Kemerosotan
keduanya menjadi penting bagiperkembangan
bayangan tentang bangsa, karena mereka
menanamkan manusia dalamkeberaturan yang
ada, dengan memberikan makna kepada
berbagai penderitaanduniawi, dan dalam
berbagai cara, menawarkan penyelamatan dari
penderitaan itu.Selain itu, dia berpendapat bahwa
satu hal yang telah memungkinkan bayangan
tentangbangsa itu adalah perubahandalam
gagasan tentang „keserentakan‟. Dahulu, di abad
pertengahan, „keserentakan‟ dipahami sebagai
„keserentakan masa lalu dan masa depandalam
keseketikaan masa kini‟, yang bagaimanapun,
tampaknya bersumber darisemacam konsepsi
tentang keterkaitan antara peristiwa yang
tidakbersifat duniawi, melainkan ditentukan
secara transendental.
Nilai-nilai dalam nasionalisme, menurut
saya, akan berbeda dalam masa ke masa. Pada
masa pergerakan nasional tertanam cukup kuat
kesadaran akan berbangsa, berbahasa, dan
bertanah air, yaitu Indonesia. Nilai-nilai
nasionalisme ini dibangun di tengah-tengah
kolonialisme dan keinginan kuat bangsa
Indonesia ini untuk membangun bangsa yang
merdeka. Pada pascakemerdekaan, Bung Karno
menjadikan nasionalisme sebagai ideologi
bangsa untuk membangun nation character
building. Hatta berbeda dengan Bung Karno.
Hatta lebih ingin melakukan state building dengan
memanfaatkan nation state, yang ditinggalkan
oleh pemerintah kolonial dan akan diatur dengan

cara-cara
konstitusional.
Pada
masa
pemerintahan Orde Baru banyak orang bertanya
apakah pemerintah Orde Baru mempunyai
nasionalisme atau tidak. Pada masa Orde Baru
nasionalisme bersifat semu. Nasionalisme
dikendalikan oleh negara. Nasionalisme lebih
sebagai kendaraan politik daripada sebagai
ideologi yang dapat dipersandingkan dengan
konsep nasionalisme menurut Soekarno dan
Hatta. Nasionalisme Orde Baru dapat
dibayangkan semacam kotak politik, yang
dibawa-bawa kesana – kemari. Nasionalisme di
dalamnya ada Pancasila, ada obeng yang
namanya dwi fungsi ABRI, linggisnya yaitu P4,
ada kunci Inggris yang namanya negara
integralistik. Semuanya adalah peralatan politik
saja untuk merawat dan memperbaiki serta
memaksimumkan performance mesin politik Orde
Baru. Nasionalisme semu inilah yang menjadi
salah faktor mengapa kita tidak siap bertanding
dalam arena globalisasi (Harianto, 2006).
Pada pascaOrde Baru nilai-nilai obeng,
linggis, dan kunci inggris sudah kehilangan
fungsinya. Sebagai gantinya masyarakat kita
mengadopsi nilai-nilai demokrasi, seperti
kemerdekaan, kebebasan, dan keterbukaan.
Nilai-nilai tersebut adalah universal. Sudah
menjadi ciri negara sedang berkembang,
umumnya segera saja mengadopsi nilai-nilai
tersebut dengan tangan terbuka, tanpa ada
upaya seleksi dan mempertimbangkan apakah
nilai-nilai tersebut fungsional atau disfungsional.
Bahkan nilai-nilai tersebut dijadikan tujuan,
seperti banyak orang menjadikan demokrasi
sebagai tujuan. Selain itu, nilai-nilai yang
diperoleh melalui globalisasi ini acapkali
mengalami reduksi pemaknaan ketika diadopsi
oleh masyarakat penerima. Misalnya berubahnya
makna kemerdekaan, kebebasan, hak asasi
manusia, ideologi gender, dan sebagainya
disesuaikan dengan interpretasi masyarakat
penerima.
Bangsa Indonesia sendiri sebenarnya
mempunyai social capital (modal sosial) yang
merupakan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut,
misalnya, rela berkorban, toleransi, gotong
royong, musyawarah, bangga pada bangsa dan
negara, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut

dijadikan arah dan pedoman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Masihkan nilai-nilai
sosial tersebut menjadi rujukan dan pedoman
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Indonesia yang dahulu kaya dengan
modal sosial, sekarang ini menjadi bangsa yang
miskin modal sosial tersebut. Ambil contoh PKL
(pedagang kaki lima) digusur bentrok dengan
petugas tramtib (ketenteraman dan ketertiban)
dan polisi, mahasiswa merusak kampusnya
sendiri, mahasiswa bentrok dengan preman,
antara pemimpin dengan yang dipimpin, antarlembaga negara, antar-warga masyarakat, saling
mencurigai, saling tidak percaya, saling hujat,
saling menyalahkan, bahkan merusak dan saling
membunuh. Sebagian dari anggota masyarakt
kita sudah kehilangan trust terhadap pemimpin
negeri ini. Asas musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan
atau menyelesaikan masalah sudah banyak
ditinggalkan. Sebagian dari bangsa ini lebih
memilih menggunakan voting atau pengambilan
suara terbanyak. Bahkan di antara anggota
masyarakat banyak yang menggunakan caranya
sendiri untuk menyelesaikan masalah. Saya kira
masih banyak contoh lain yang menggambarkan
memudarnya atau semakin menghilangnya social
capital yang selama ini kita miliki.
Mengapa seolah-olah bangsa kita tidak
mampu bersaing dengan bangsa lain? Karena
tanpa sadar banyak di antara kita yang
mengembangkan sikap xenosentris. Seolah-olah
bangsa kita adalah bangsa yang inferior dan
menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang
superior. Yang berbau asing dianggapnya
sebagai sesuatu yang sempurna, sedangkan
yang lokal dianggapnya tidaklebih baik. Memakai
baju, sepatu, jam tangan made in luar negeri
dengan merk-merk terkenal dianggapnya
menawarkan kemawahan, prestis, dan gengsi.
Sedangkan baju, sepatu, jam tangan lokal
dianggapnya biasa saja, tidak mempunyai prestis
dan gengsi. Banyak di antara kita bangga jika
bisa berfoto bersama dengan bule.Sesuatu yang
berasal dari luar negeri dianggapnya sebagai
simbol
medernitas.Xenosentris
yang
dikembangkan oleh sebagian masyarakat kita
mempunyai implikasi yang sangat luas. Sebagai

bangsa kita kurang mempunyai kepercayaan diri
bahwa kita dengan bangsa lain sebenarnya
sederajat
Mentalistas seperti itu umumnya erat
kaitannya dengan mentalistas bangsa yang
pernah dijajah oleh bangsa lain. Masyarakat
dengan mentalitas seperti ini selalu memandang
bekas kaum penjajah dengan apresiasi yang
tinggi.Oleh karena itu tidak heran bila sesuatu
yang datang dan berasal dari masyarakat maju
dipandang sebagai model yang pantas dan cocok
untuk ditiru.Ironisnya, peniruan itu acapkali
menjadikan terkikisnya gagasan-gagasan asli
masyarakat.
Tantangan Masyarakat Majemuk
Adalah Huntington (Siswarini dan
Kasijanto, 2003) yang meramalkan bahwa konflik
antarperbedaan di masa depan tidak lagi
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik,
dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalahmasalah suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat
yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi
dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme,
bersamaan dengan runtuhnya politik negaranegara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya
telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi
sebelumnya (era 1980-an), yaitu terjadi perang
etnik di kawasan Balkan, di Yogoslavia pasca
pemerintahan Josip Bros Tito: keragaman yang di
satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan,
berbalik menjadi sumber perpecahan ketika
leadership yang mengikatnya lengser.
Korten (1993) juga mengemukakan
ramalan yang sama. Ada bukti kuat sifat tindak
kekerasan yang terorganisir sedang berubah.
Perang konvensional yang menghadapkan
tentara suatu negara melawan tentara negara
lain, kini dengan cepat akan menjadi suatu
keanehan historis saja. Dalam peperangan
kontemporer semakin banyak perkelahian terjadi
antara fraksi-fraksi agama, etnis dan politik yang
memiliki batas negara dan kebangsaan yang
sama. Peristiwa runtuhnya ideologi komunisme di
Eropa Timur menjadi salah satu bukti
historis.Yang menggantikan komunisme di
negara-negara kawasan itu bukan demokrasi

liberal, melainkan sebaliknya merupakan
kelahiran kembali fraksionalisme dan konflik
berdasarkan persaingan etnis, agama, dan
budaya yang sudah berabad-abad lamanya.
Castles (1994) juga memberikan indikasi
bahwa menjamurnya gerakan-gerakan etnis di
dunia selama paruh akhir abad ke-20 telah
memberikan kesan bahwa ikatan primordial lebih
kuat daripada loyalitas-loyalitas nasional.Tidak
hanya di negara sedang berkembang tetapi di
negara-negara yang menjadi perintis dari negara
bangsa seperti Perancis, Inggris, dan Kanada,
gerakan-gerakan etnis telah muncul yang
menjurus ke separatisme.
Perpecahan yang bersumber sentimen
primordial tersebut dapat meledak di mana saja,
di negara adidaya sekalipun.Contohnya yang
jelas adalah Uni Soviet yang dahulu perkasa itu
pecah berantakan keragamannya yang kompleks
etnis, agama, dan kesejahteraan saling silang
bersamaan dengan rontoknya ideologi komunis
yang jadi perekat kehilangan daya tariknya.
Huntington (Siswarani dan Kasijanto,
2003) mengemukakan enam alasan mengapa di
masa mendatang akan terjadi benturan antara
perbedaan yaitu: (1) perbedaan antara
peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar;
(2) dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi
antarorang yang berbeda peradaban semakin
meningkat; (3) proses modernisasi ekonomi dan
sosial dunia membuat orang atau masyarakat
tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah
berakar dalam, di samping memperlemah
negara-negara sebagai sumber identitas mereka;
(4)
tumbuhnya
kesadaran
peradaban
dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu
sisi Barat berada di puncak kekuatan, di lain sisi,
dan ini mungkin akibat posisi Barat tersebut,
kembalinya ke fenomena asal, sedang
berlangsung di antara peradaban-peradaban nonBarat; (5) karakteristik dan perbedaan budaya
kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik
dan perbedaan politik dan ekonomi; dan (6)
regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Asumsi
tersebut
menimbulkan
kontraversi di kalangan pengamat dan pakar
politik, ekonomi,maupun budaya. Seorang ahli
lain, misalnya, menolak spekulasi Huntington

tersebut dan menyatakan bahwa dengan
berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang
terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke
dalam entitas tertinggi yaitu pengelompokan
peradaban, tetapi justru perpecahan menuju
entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan
suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat
pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis
justru disatukan oleh dasar budaya dan
peradaban yang sama.
Emerson (Siswarani dan Kasijanto,
2003) memandang bahwa kategorisasi dan
polarisasi versi Huntington tidak mewakili
ketegangan antarperbedaan di dunia, yang hanya
menyoroti kemungkinan semakin parahnya
ketegangan perbedaan Barat dan Islam.Padahal
menurut Emerson (Siswarani dan Kasijanto,
2003), di antara semua orang Barat di Eropa dan
Amerika Utara nampaknya banyak ketegangan
yang diabaikan Huntington.Seperti konflik yang
berlarut-larut antara kaum Protestan dan Katolik
di Irlandia Utara. Bahkan di Amerika Serikat
sudah jelas terlihat fenomena gerakan
multikulturalisme yang mengakui atau bahkan
merangkul semua peradaban versi Huntington
dalam tubuh masyarakat Amerika sendiri.
Dalam skala lokal, Indonesia yang
merupakan bagian dari dunia global menghadapi
gejala
pluralitas
etnis,
agama,
dan
budaya.Indonesia sebagai negara bangsa
mempunyai karakteristik yang unik, yaitu
merupakan negara yang pluralistik dilihat baik
secara vertikal maupun horizontal (Usman,
1992).Secara vertikal struktur masyarakat
Indonesia ditandai oleh adanya polarisasi sosial
berdasarkan kekuatan ekonomi dan politik.
Kontras demikian akan menempatkan dua
kelompok masyarakat seolah-olah dalam posisi
saling berhadap-hadapan secara antagonistik.
Struktur masyarakat terpolarisasi menjadi
sebagian besar orang yang secara ekonomi dan
politik lemah yang menempati lapisan bawah dan
sebagian kecil orang yang secara ekonomi dan
politik kuat yang menempati lapisan atas.
Di bidang ekonomi, misalnya, kita dapat
menyaksikan dua macam ekonomi yang
berkembang di masyarakat, yaitu sektor ekonomi
modern yang secara komersial lebih bersifat

canggih (sophisticated), banyak bersentuhan
dengan lalu lintas perdagangan internasional, dan
profit oriented, dan sector ekonomi tradisional
yang bersifat konservatif, berorientasi untuk motifmotif memelihara keamanan dan kelanggengan
sistem yang sudah ada, tidak profit oriented, serta
kurang mampu mengusahakan pertumbuhan.
Polarisasi ekonomi demikian, yang oleh Boeke
(Burger, 1983) disebut dengan dual economy
tersebut, secara historis telah berakar pada
masa kolonia Belanda.
Perbedaan antara kedua sektor ekonomi
tersebut secara integral berakar di dalam
keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang
mengandung perbedaan yang tajam antara
struktur masyarakat kota yang bersifat modern,
dengan struktur masyarakat desa yang
tradisional. Jika sektor ekonomi modern terutama
dijumpai di dalam masyarakat kota, maka sektor
ekonomi tradisional terutama dijumpai di dalam
masyarakat pedesaan. Struktur masyarakat
demikian ditandai oleh adanya gap di dalam
hampir semua aspek kehidupan. Dalam
kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan
adanya jurang pemisah antara sejumlah besar
orang yang miskin dengan sejumlah kecil orang
yang kaya raya, antara sejumlah besar orang
yang kurang berpendidikan dengan sejumlah
kecil orang yang berpendidikan, antara sejumlah
besar orang yang hidup di desa dengan sejumlah
kecil orang yang hidup di kota, antara sejumlah
besar orang yang masih tradisional dengan
sejumlah kecil orang yang modern.
Di dalam kehidupan politik kita juga
dapat menyaksikan adanya polarisasi yang
seolah-olah membelah masyarakat Indonesia
menjadi dua kelompok, yaitu antara kelompok elit
dan kelompok massa. Struktur masyarakat
demikian juga ditandai oleh adanya gap yaitu
antara sejumlah kecil orang yang memegang
kekuasaan dengan sejumlah besar orang yang
tidak memiliki kekuasaan.
Secara horizontal, pluralitas masyarakat
Indonesia ditandai oleh adanya perbedaanperbedaan sukubangsa, agama, adat, dan
kedaerahan.Perbedaan-perbedaan di bidang
kehidupan masyarakat tersebut yang menandai
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat

majemuk, seperti dikonsepkan oleh Furnivall
untuk menggambarkan masyarakat Indonesia
pada masa Hindia-Belanda. Dikatakan oleh
Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa
Hindia-Belanda adalah merupakan masyarakat
majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri
dari dua atau lebih elemen yang hidup sendirisendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di
dalam suatu kesatuan politik. Masyarakat dalam
pengertian demikian merupakan suatu ciri
masyarakat daerah tropis di mana mereka yang
berkuasa dengan mereka yang dikuasai memiliki
perbedaan ras.Misalnya, struktur masyarakat
Indonesia pada masa Kolonial terdiri dari orangorang Eropa, Timur Asing, dan pribumi, yang
masing-masing berasal dari ras yang berbeda.
Pada pascakemerdekaan pengertian
masyarakat majemuk menurut Furnivall haruslah
direvisi, karena terdapat perubahan-perubahan
dalam struktur masyarakat Indonesia.Dengan
“terlemparnya” orang-orang Eropa dari struktur
masyarakat, kemajemukan masyarakat Indonesia
tidak terjadi antara orang-orang Eropa, Timur
Asing, dan Pribumi, melainkan terjadi
antarpribumi.
Kemajemukan
masyarakat
Indonesia akan memperoleh arti penting dilihat
dari sukubangsa, agama, dan budaya (Usman,
1992).
Kebhinnekaan demikian bagi bangsa
Indonesia dapat menjadi kekayaan dan
kebanggan bila dapat dikelola dengan baik, dan
sebaliknya dapat menjadi potensi konflik bila tidak
dikelola dengan baik. Menjelang peralihan abad
ke-20 ke abad ke-21 bangsa Indonesia
dihadapkan pada serangkaian peristiwa konflik,
yang terjadi di berbagai daerah, seperti Jawa,
Maluku, Poso, Mataram, Kupang, Papua, D.I.
Aceh, dan daerah lainnya. Konflik dan kerusuhan
yang telah memakan korban ribuan jiwa, ribuan
tempat tinggal, dan ratusan tempat ibadah
tersebut telah meninggalkan luka phisik dan
psikis yang amat dalam di kalangan mereka yang
langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam
berbagai konflik tersebut.
Sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto
beberapa daerah di Indonesia, seperti di Maluku,
NTT, NTB, Kalimantan Barat, dan Sulawesi
Tengah, dilanda konflik yang bernuansa SARA.

Dalam tulisan ini hanya akan dipaparkan secara
ringkas tiga peristiwa konflik SARA yang terjadi di
Kupang Nusa Tenggara Timur, di Mataram Nusa
Tenggara Barat, dan Sambas di Kalimantan
Barat. Tiga peristiwa konflik ini merupakan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kantor Menteri
Negara Riset dan Teknologi berkerjasama
dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) tahun 2001 (Sihbudi dan Nurhasim,
2001).
Namun Heddy (2001) berpendapat
berbeda. Dikatakan pluralitas etnik, agama, dan
budaya tidak selalu menimbulkan konflik, malah
sebaliknya seringkali justru dapat memperkuat
integrasi, karena perbedaan-perbedaan yang ada
walaupun saling berlawanan, namun juga saling
mengisi. Karena itu, Heddy berpandangan bahwa
pandangan yang menyatakan SARA merupakan
faktor penyebab konflik harus ditinjau kembali.
Heddy (2001) mengajukan teori alternatif
untuk menjelaskan berbagai konflik dan
kerusuhan massal, yaitu teori Kondisi Sosial atau
teori Rumput Kering.Teori ini dibangun atas
sejumlah asumsi atau anggapan dasar.Asumsiasumsi dasar itu adalah:
Pertama, bahwa berbagai macam
peristiwa atau gejala sosial-budaya –
termasuk di dalamnya konflik dan
kekerasan massal – pada dasarnya tidak
lahir dari sebuah kekosongan sosialbudaya, tetapi dari kondisi-kondisi tertentu
yang ada dalam masyarakat. Kondisikondisi ini bervariasi, namun tidak tanpa
batas, sehingga jumlahnya juga tidak
akan sangat banyak, dank arena itu
generalisasinya akan cukup tepat atau
bermakna.
Kedua, kondisi-kondisi dalam suatu
masyarakat merupakan hasil dari sebuah
proses sejarah yang bersifat khusus, yang
tidak dialami secara persis oleh
masyarakat yang lain. Walaupun
demikian, dalam masyarakat-masyarakat
yang berada di bawah sebuah system
politik tertentu (rezim Orde Baru,
misalnya), proses sejarah ini dapat
mempunyai banyak persamaan satu
dengan yang lain, sehingga generalisasi
dari prose situ sendiri lantas dapat
dilakukan. Untuk dapat memahami
dengan baik kondisi-kondisi sosial-budaya
yang ada proses sejarah ini perlu
diketahui.
Ketiga, tidak semua kondisi sosial-budaya
yang ada memberikan sumbangan yang
sama besarnya untuk memunculkan suatu
gejala atau persitiwa sosial-budaya

tertentu.Ada kondisi yang sangat besar
sumbangannya, ada pula kondisi yang
relative
kecil
sumbangan
atau
pengaruhnya, sehingga kondisi-kondisi ini
dapat dibedakan paling tidak menjadi dua
kategori, yaitu: Kondisi-kondisi primer dan
kondisi-kondisi sekunder. Kondisi primer
atau langsung adalah kondisi-kondisi yang
dianggap secara langsung memberikan
sumbangan atau pengaruh terhadap
terjadinya suatu gejala – dalam hal ini
kekerasan missal – dalam masyarakat,
sedangkan kondisi sekunder adalah
kondisi-kondisi yang dianggap tidak
secara langsung memberikan sumbangan
atau pengaruh terhadap terjadinya suatu
gejala.
Keempat, kondisi-kondisi sosial-budaya ini
lebih
lebih
memungkinkan
kita
memberikan penjelasan yang didasarkan
atas fakta empiris, serta melakukan
penelitian empiris untuk membuktikan
kebenaran
penjelasan tersebut,
dibandingkan dengan apabila kita
menggunakan teori-teori yang lain.
Yang dimaksudkan dengan kondisikondisi sosial adalah ciri, sifat atau karakter dari
relasi-relasi antarindividu, komunitas, kelompok
dan golongan, dan relasi-relasi mereka
berkenaan dengan sumber daya tertentu dalam
suatu masyarakat, dalam suatu kurun waktu
tertentu. Sedangkan kondisi-kondisi budaya
adalah ciri, sifat atau karakter dari perangkat
simbolis yang dimiliki oleh kelompok, komunitas
dan golongan
dalam suatu masyarakat
mengenai kelompok, komunitas, dan golongan
serta mengenai sumber daya yang ada dalam
lingkungan mereka dan penguasaannya.
Beberapa kondisi sosial-budaya primer
dalam masyarakat, yang membuat suatu
masyarakat rawan terhadap perluasan skala dan
akibat dari konflik dan kerusuhan missal yang
mungkin terjadi adalah: (1) terdesaknya akses
kelompok tertentu ke kekuasaan dan sumber
daya; (2) keterdesakan terjadi melalui proses
yang dianggap tidak adil atau curang; (3)
penguasa baru atas akses dan sumber daya
adalah para pendatang; (4) para pendatang
berbeda suku, agama, atau rasnya; (5)
etnosentrisme dan eksklusivisme.
Kondisi-kondisi sosial-budaya sekunder
ini dapat mengenai system politik local dan
nasional, kebijakan pembangunan, sisitem
budaya nasional, dan sebagainya, yang sepintas

lalu tidak tampak kaitannya dengan konflik dan
kerusuhan yang terjadi, tetapi sebenarnya
memberikan sumbangan yang tidak kecil
terhadap terciptanya kondisi-kondisi primer yang
ada. Kondisi-kondisi sekunder tersebut antara
lain: (1) rasa keadilan masyarakat setempat yang
tidak terpenuhi; (2) aparat pemerintahan yang
tidak peka terhadap kondisi genting masyarakat;
(3)
aparat
pemerintahan
yang
memihak/mengutamakan salah satu kelompok;
(4) kesadaran kesatuan bangsa masih lemah; (5)
pengetahuan budaya local yang sangat kurang.
Menggagas Indonesia Baru
Bagaimana menumbuhkan kembali rasa
kebangsaan kita sehingga terbangun kembali
integrasi nasional kita yang kokoh? Saya
mengajukan beberapa pemikiran:
Globalisasi merupakan kenyataan yang
harus kita terima.Kita tidak mungkin mengisolasi
diri dari pengaruh global tersebut.Yang dapat kita
lakukan adalah menyikapi perubahan global
tersebut.Kita hanya dihadapkan pada dua pilihan
yaitu kita menjadi pelaku atau kita menjadi
penonton, kita menjadi pemenang (the winner)
atau kita menjadi pecuncang (the looser).Agar
kita tidak menjadi penonton dan the looser maka
kita harus meningkatkan daya saing bangsa.
Sebagai masyarakat majemuk – di
tengah-tengah globalisasi -- perlu dilakukan
revitalisasi nilai-nilai yang bersifat fundamental.
Kesepakatan terhadap nilai-nilai fundamental
sangat krusial dan penting karena mampu
meredam kemungkinan berkembangnya konflik
antarkomponen bangsa.Nilai-nilai fundamental
itulah yang mampu menciptakan integtasi
nasional yang kokoh.Integrasi nasional dengan
cara-cara hegemoni dan dominasi yang pernah
dipraktikkan pada masa lampu sudah seharusnya
ditinggalkan.
Sebagai masyarakat yang majemuk, kita
juga perlu melakukan revitalisasi modal sosial
(social capital).Penciptaan dan pengembangan
modal sosial menjadi sangat krusial dan
penting.Modal sosial dalam masyarakat majemuk
dapat menjadi tali perekat dari berbagai macam
etnik, ras, agama, dan budaya menjadi sebuah

entitas yang utuh.Dengan modal sosial yang kuat
bangsa ini tidak mudah retak.
Kemajemukan masyarakat kita sudah
saatnya dikelola dengan mengedepankan
pendekatan multikulturalisme, yaitu sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan.Perbedaan yang dimaksud adalah
perbedaan-perbedaan individual atau orang
perorang dan perbedaan budaya.Perbedaan
budaya
mendorong
upaya
terwujudnya
keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai
corak kehidupan masyarakat yang mempunyai
keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling
memahami dan menghormati kebudayaankebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai
kelompok minoritas. Sebuah masyarakat bangsa
dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang
utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam
kehidupan masyarakat bangsa tersebut. Dalam
model multikulturalisme penekanannya adalah
pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya
yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya
melalui pengapdosian unsur-unsur budaya yang
dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku
dalam kehidupannya tanpa ada hambatan
berkenaan dengan asal kebudayaan yang
diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas
sukubangsa yang primordial.Dalam masyarakat
multibudaya atau multikultural, setiap orang
adalah multikulturalis.
The right or wrong is my country
mungkin ungkapan ini dinilai terlalu berlebihan,
namun sebagai bangsa kita harus bangga
dengan bangsa kita sendiri. Masyarakat kita
sudah
saatnya
mengembangkan
sikap
etnosentrisme ketika merespon globalisasi.
Kapan produk dalam negeri menjadi tuan rumah
di negerinya sendiri.
Terakhir yang saya ingin katakan adalah
integrasi nasional dan nasionalisme yang kuat
akan dapat dibangun di atas landasan
kesejahteraan
masyarakat
yang
memadai.Kemiskinan dan keterbelakangan
sudah saatnya kita tempatkan menjadi musuh
bersama bangsa ini.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. “Pluralitas Budaya dan Kekerasan Massal: Adalah Hubungannya,” makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Kontribusi Kajian Humaniora dalam Memperkokoh Integrasi
Nasional, oleh UGM, tanggal 24 Maret 2001.
Anderson. Benedict. 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang. Terjemahan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ashley, David and David Michael Orenstein. 2005. Sociological Theory Classical Statement. Sixth Edition. Boston:
Pearson.
Burger, D.H. 1983. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan. Jakarta: Bratara Karya
Aksara.
Castle, Lance. 1994. “Etnisitas dan Keutuhan Wilayah Negera-negara: Pandangan Global,” makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Sumbangan Ilmu-ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, oleh
Program Studi Ketahanan Nasional UGM, pada tanggal 30 Nopember – 1 Desember 1994.
Fukuyama, Francis. 2003. The End of History and the Last Man. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal.
Cetakan Kedua. Terjemahan. Yogyakarta: Qalam.
Harianto, Sugeng. 2006. “Globalisasi, Nasionalisme, dan Integrasi Nasional.” Makalah ini disampaikan pada Dialog
Interaktif Wawasan Kebangsaandengan tema Membangun Jati Diri Bangsa Bagi Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) di Kota Surabaya, yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya pada tanggal 29 September 2006 di Surabaya.
Hisrt, Paul dan Grahame Thompson. 2001. Globalisasi Adalah Mitos. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 1, Terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1994.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Korten, David C. 1993. Menuju Abad Ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Terjemahan. Jakarta: Sinar
Harapan.
Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation-State: the Rise of Regional Economies. New York: Simon and
Schuster Inc.
Roeslan, Abdulgani. 1993. “Pemantapan Jiwa Nasionalisme Menghadapi Era Globalisasi dan Abad ke-21.” Makalah
disampaikan pada Seminar di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, tanggal 27 September 1993.
Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Studi Kasus Kupang, Mataram, dan
Sambas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Siswarini, Indra dan Kasijanto. 2003. “Manusia, Keragaman, dan Kesetaraan,” makalah disampaikan pada Pelatihan
Dosen-dosen Matakuliah ISBD di Yogyakarta tahun 2003.
Suparlan, Parsudi. 2001. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawai Press.