SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDO

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Nurjiddin
Dosen Fakultas Agama Islam UCY
M. Nur Kholis Al Amin
Dosen STAIDA Krempyang Nganjuk
Email: kholis.alamin@ymail.com
Abstract
This study aims to describe the historical development of Islamic law in
Indonesia is relatively. It was under the assumption that the trip
Compilation of Islamic Law (KHI) as part of Indonesian Islamic private
law didin t grow on vacuum. Before the Islamic law in Indonesia, the
Indonesian people embrace the adat law system manifold, very diverse
nature. The starting is a description of the early development of the
Colonial stick nails in Indonesia. Colonialism era has introduced the
application of Islamic law in the context of codification. Next, a description
is given for describing the dynamics of running post-independence.
Kata kunci: sejarah, hukum Islam, fikih, Indonesia
1. Pendahuluan
Ada yang membedakan antara syari at Islam dengan hukum Islam
berdasarkan dalil yang digunakannya. Jika syar iat didasarkan pada nash
Al-Qur an atau Al-Sunnah secara langsung tanpa penalaran, sedangkan

hukum Islam didasarkan pada penalaran atau ijtihad dengan tetap
berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari at. Dengan demikian,
jika syari at bersifat permanen, kekal, dan abadi, maka fikih atau hukum
Islam bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun dalam prakteknya
antara syari at dan hukum Islam (fikih) sulit dibedakan, Ketika dikaji
suatu masalah, misalnya kita pergunakan nash Al-Qur an dan Al-Sunnah,
tetapi bersamaan dengan itu kita juga menggunakan penalaran. Hal ini
amat dimungkinkan karena nash-nash tersebut sungguhpun secara
tekstual tidak dapat diubah, namun interpretasi dan penerapan nash
tersebut tetap memerlukan pilihan yang menggunakan akal.1
Terpisah dari perbedaan itu, Syariat dan Hukum Islam sama-sama
diakui dalam masyarakat manapun bertujuan untuk mengendalikan
kehidupan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan terutama
untuk melindungi hak-hak individu dan hak-hak masyarakat, dimana
sistem ini di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter, dan ruang lingkup
tersendiri yang berbeda-beda2.
Perjalanan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bagian dari kitab
hokum perdata islam di Indonesia bukan dari kevakuman. KHI

N urjiddin da n M . N ur K holis Al Am in


merupakan hukum Islam yang diundangkan negara pada zaman orde
baru. Kompilasi Hukum Islam disusun berdasarkan keputusan bersama
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, tanggal 21 Maret 1985 dan
selanjutnya melahirkan Proyek Pembangunan hukum Islam melalui
yurisprudensi (proyek Kompilasi Hukum Islam). Penyusunan Kompilasi
Hukum Islam berlangsung selama enam tahun (1985-1991), dan pada
tanggal 10 Juni 1991 berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun
1991, KHI dikukuhkan sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum
material bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh
Indonesia, menangani tiga bidang hukum Islam yang terumuskan yang
terumuskan ke dalam 229 pasal, yakni hukum perkawinan (munakahat),
hukum kewarisan (mawariá¹£ ), dan hukum perwakafan (waqf).3
Begitu juga dengan Islam yang memiliki sistem hukum tersendiri
yang dikenal dengan fikih. Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam
pengertiannya yang sempit, ia mencangkup seluruh bidang kehidupan
etika, politik, keagamaan, dan ekonomi. Hukum Islam ini bahkan
merupakan salah satu bidang mata kuliah yang paling dikenal oleh
masyarakat, karena terkait langsung dengan kehidupan masyarakat.4
Sejarah sebelumnya telah Hukum Islam (HI) masuk ke Indonesia

bersama dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam kesimpulan
Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Medan tahun 1963, Islam telah
masuk ke Indonesia pada abad I Hijriyah atau abad 7/8 Miladiyah.
Sedangkan Hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC awal abad XVII
Miladiyah. Sebelum hukum Islam masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia
menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya, sangat
majemuk sifatnya.5
Penelitian ini bermaksud mengidentifikasi sejarah perkembangan
HI di Indoenesia. Tulisan dimulai dari perkembangan awal sebelum
Kolonial menancapkan kukunya di Indonesia. Masa Penjajahan telah
mengintroduksi penerapan HI dalam konteks kodifiksi. Selanjutnya,
uraian diberikan untuk mendeskripsikan dinamika yang berjalan pasca
kemerdekaan.
A. Hukum Islam Sebelum Masa Penjajahan
Jauh sebelum berbagai tradisi masuk ke kepulauan Nusantara,
masyarakat yang hidup di gugusan kepulauan ini dipercayai telah memiliki
aturan hukum yang berasal dari nilai-nilai hukum chothonic . Terma
chthonic di sini berasal dari terma Yunani khothon atau khothononos
yang berarti bumi.6
Para sejarahwan berpendapat bahwa agama Islam masuk ke

Indonesia pada awal-awal abad hijriyah. Ini dapat diperkirakan bahwa
pada saat itu masyarakat pemeluk agama Islam telah mengenal hukum

48

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Se ja ra h Pe rk e m ba nga n H uk um I sla m Di I ndone sia

Islam walaupun masih dalam tahap permulaan. Setelah melalui proses
yang sangat panjang maka berdirilah kesultanan atau kerajaan Islam
samudra pasai di pesisir timur Sumatera dan meluas ke pantai utara pulau
Jawa.7
Ibnu Batutah, seorang pengembara dari Maroko menuturkan di
dalam bukunya bahwa penduduk pulau-pulau yang dikunjunginya pada
umumnya memeluk madzhab Syafi i. Ia juga menuturkan pertemuannya
dengan seorang Raja atau Sultan yang sekaligus menjadi seorang faqih
(ahli hukum Islam).8 Sejak Islam tersebar maka dengan sendirinya nilainilai Islam secara gradual terintegrasikan ke dalam tradisi atau adatistiadat dan norma kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Pada era
perkembangan masyarakat Islam di pesisir diterapkanlah hukum yang
mengatur tentang perkawinan. hibah, wakaf, dan warisan. Pada masa itu

muncullah peradilan penghulu di Jawa, Mahkamah Syar iyyah di
kesultanan Islam Sumatera dan Peradilam Qodli di kesultanan Banjar.9
Perkenalan Nusantara kepada Islam secara efektif, khususnya
Semenanjung Melayu Selatan dan di kota-kota pantai pulau-pulau besar
adalah sekitar akhir abad XV, mengikuti perpindahan Raja Malaka ke
agama Islam pada awal abad itu. Di beberapa tempat, kehadiran Islam itu
mendorong terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan
kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan.
Agama Islam juga membawa berbagai pandangan baru yang revolusioner
untuk masa itu. Dapat disebutkan dua hal yang amat penting di sini.
Pertama ialah sifat Islam sebagai agama egaliter radikal, yang antara lain
berakibat kepada penyudahan sistem kasta dalam masyarakat Hindu
Nusantara dan penghentian praktik sati (keharusan seorang janda untuk
terjun ke dalam api yang sedang membakar suaminya yang akhir-akhir
ini sungguh ironis, dicoba dihidupkan kembali oleh kaum Hindu
fundamentalis di India).
Kedua, Agama Islam dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat
(kesadaran Syar iyyah dalam makna sekundernya) telah melengkapi
penduduk Nusantara, khususnya para pedagang, dengan sistem hukum
yang berjangkauan internasional, yang mampu mendukung kegiatan

perdagangan dalam konteks ekonomi global yang saat itu sedang berada
dalam kekuasaan Islam.10 Hal ini juga terbukti dengan keberadaan
lembaga tahk m yang menjadi asal-usul peradilan agama, yaitu lembaga
penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para
ahli agama yang telah lama ada dalam masyarakat Indonesia sejak agama
Islam datang ke Indonesia, serta tumbuh dan berkembang bersama
dengan perkembangan masyarakat Muslim di kepulauan Nusantara.11
Dengan demikian, keberadaan agama Islam dan sistem hukum Islam
sudah diaplikasikan oleh sebagian penduduk Indonesia sebelum

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

49

N urjiddin da n M . N ur K holis Al Am in

masuknya imperialisme Barat di Indonesia.
B. Hukum Islam Selama Masa Penjajahan
Dalam evolusi kekuasaan Indonesia, konflik antara kebutuhan
pranata hidup keseharian dan tuntutan sistem keimanan Islam senantiasa

memainkan peranan yang begitu penting. Di bawah kekuasaan Belanda,
konflik semacam ini bahkan semakin diperparah dengan kebijaksanaan
penjajah yang memberikan pengaruh secara langsung kepada
implementasi hukum Islam.12 Belanda pada saat itu menggunakan politik
hukum yang signifikan dalam menghandle hukum Islam, sehingga pada
masa ini bukan saja gejolak politik untuk meraih kemerdekaan saja,
namun juga gejolak reaksi dan tokoh Islam terhadap politik hukum
Belanda. Maka terjadilah peperangan sistem hukum dengan segi tiga
sistem tadi (hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat), terutama
sekali antara hukum Islam dengan hukum adat yang dijadikan kuda
tunggangan oleh penjajah. Sedangkan sistem hukum Belanda, mungkin
hanya bayang-bayang untuk menjadi target terakhir.13
Hal ini terlihat dengan munculnya beberapa teori, yang diantaranya
adalah teori yang dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg
(1845-1927) yang sering disebut dengan teori receptio in complexu yang
berarti bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masingmasing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, dan demikian juga bagi
pemeluk agama lain.14 Jadi, berdasarkan teori tersebut, maka hukum
Islam dipandang sebagai hukum yang hidup dan berlaku (the living law)
bagi umat Islam. Teori demikian didasarkan pada keyakinan Van den Berg
bahwa Islam telah diterima secara baik oleh sebagian besar, jika tidak

semua, umat Islam setempat . Teori Van den Berg ini kemudian
diresmikan melalui aturan pemerintah kolonial Belanda Nomor 152 tahun
1882,15 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa apa yang telah dilakukan
oleh pemerintah penjajah terhadap pengadilan Islam (Pengadilan Agama)
secara resmi diperkenalkan pada tahun 1882, walaupun, sebagaimana
yang telah kita lihat, pengadilan ini sesungguhnya telah eksis di Indonesia
sejak datangnya Islam di wilayah ini. Apa yang diusahakan oleh Belanda
untuk dilakukan pada tahun 1882 tersebut adalah mengadministrasikan
hukum Islam melalui lembaga peradilan.16
Namun disisi lain, politik hukum Belanda dianggap sangat
merugikan eksistensi hukum Islam, yang muncul untuk menentang teori
receptio in complexu yakni teori receptie (resepsi) yang dipelopori oleh
Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936). Menurut teori receptie, hukum Islam tidak otomatis berlaku
bagi orang Islam, hukum Islam berlaku bagi orang Islam kalau ia sudah

50

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3


Se ja ra h Pe rk e m ba nga n H uk um I sla m Di I ndone sia

diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat mereka. Jadi yang
berlaku bagi mereka bukan hukum Islam, tapi hukum adat.17 Dengan
demikian, pada an sich nya hukum Islam masih hidup ditengah
masyarakat Muslim Indonesia ketika masa penjajahan.
C. Hukum Islam Pasca Kemerdekaan
Sesuai dengan sub bahasan, yakni hukum Islam pasca
kemerdekaan, maka erat kaitannya dengan peradilan agama di Indonesia
yang merupakan cikal bakal lahirnya Kompilasi Hukum Islam, sehinggga
dalam sub bahasan ini mencoba untuk memberikan potret perkembangan
hukum Islam yang berhubungan dengan lahirnya Kompilasi Hukum
Islam.
Dengan diraihnya kemerdekaan dan mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam, maka bangsa Indonesia perlu untuk memberlakukan
hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam yang dilandasi oleh
nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis bagi umat Islam Indonesia, hal ini
tercermin dengan terumuskannya Undang-undang No. 32 tahun 1954
tentang Penetapan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia

tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura, Undangundang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.
9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, dan pada puncaknya pemerintah Indonesia, dengan
mengejutkan banyak kalangan pemerhati, pada tanggal 29 Desember
1989, mengesahkan Undang-undang No. 7 tentang Pengadilan Agama
yang memunculkan perubahan paling baru tentang pengadilan agama
sebagai institusi.18
Dimasa orde Baru ini, jurisdiksi dari pengadilan agama telah
diperluas yang mencakup semua kasus dalam hukum keluarga Islam, yaitu
perkawinan, perceraian, rujuk, kewarisan, wasiat, hadiah (hibah) dan
wakaf,19 yang pada materinya membutuhkan sarana pelengkap untuk
menyeragamkan penetapan ataupun keputusan bagi para hakim agama,
yakni Kompilasi Hukum Islam.
Sebelum reformasi berjalan, pembinaan dan pengawasan Peradilan
Agama sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana
lembaga peradilan lainnya, dilakukan oleh dua lembaga: Yudikatif dan
Eksekutif. Khusus peradilan Agama, pembinaan itu dilakukan oleh
Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan
keuangan badan itu oleh Departemen Agama. Landasan hukumnya adalah

Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 5 UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

51

N urjiddin da n M . N ur K holis Al Am in

Orde reformasi telah mebawa angin perubahan dengan
emnadasarkan pada Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004.
Di masa pemerintahan Reformasi Pembangunan sekarang ini, pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan Yudikatif dan Eksekutif tersebut sudah
dianggap tidak layak lagi, karena jelas mempengaruhi kemandirian Badan
Peradilan Agama. Eksekutif tidak bisa lagi mencampuri Yudikatif
berdasarkan peraturan yang diterbitkan pada tanggal 30 Juli 1999
disahkan UndangUndang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang tersebut kemudian diubah
kembalai melalui ketetapan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Organisasi, administrasi, dan finansial
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, berada
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Disahkannya undang-undang
tersebut menjadi peristiwa yang amat bersejarah bagi Lembaga Kekuasaan
Kehakiman, karena menjadi tonggak sejarah bagi terwujudnya
kemerdekaan dan kemandirian dari Kekuasaan Kehakiman secara utuhdi
bawah Mahkamah Agung, setelah sekian lama pembinaan atasnya
dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan: Eksekutif (Departemen yang
bersangkutan) dan Yudikatif (Mahkamah Agung). Tujuan pemisahan
kekuasaan antara Eksekutif dan Yudikatif yang dikehendaki dan diatur
oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman tersebut adalah memantapkan proses Lembaga Peradilan
Agama dalam segi-segi hukum formal dan teknis peradilan, sehingga
dapat terwujud Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dengan
terselenggaranya peradilan yang bebas dari pengaruh dan intervensi
kekuasaan Eksekutif dan benar-benar mandiri. Namun, ternyata realisasi
kehendak Undang-Undang tersebut bukan hal yang mudah, yang langsung
bisa dilaksanakan dengan disahkannya Undang-Undang tersebut.
Dari sisi kewenangan, perubahan akibat reformasi sangat positif.
Untuk merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan
kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama
bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Dalam bidang perkawinan Pengadilan Agama mempunyai
kewenangan absolut dalam mengadili dan menyelesaikan masalah
penetapanpengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebelum

52

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Se ja ra h Pe rk e m ba nga n H uk um I sla m Di I ndone sia

lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan
Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak yang merupakan bagian
dari bidang perkawinan sering dipertanyakan banyak pihak meskipun
telah lama dipraktekkan. Kini perkara pengangkatan anak di peradilan
agama telah mendapat landasan hukum yang kuat dan jelas.
Pada awal pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
wacana yang berkembang dalam antara lain pemberian kewenangan
sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring tumbuhnya
bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya
mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian
dijelaskan dalam Undang-Undang ini. Jika diperinci kewenangan
Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup: bank syariah,
lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah,
reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah, dan bisnis syariah.20
D. Catatan Penutup
Pemberlakuan hukum Islam tercermin dalam kebijakan masingmasing rezim politik yang berbeda beda dan telah mengalami dinamika.
Kedudukannya tentu terkait dengan visi politik hukum penguasa.
Kebijakan rezim VOC terhadap hukum Islam akan berbeda dengan politik
hukum penguasa Hindia Belanda demikian halnya dengan setelah
Indonesia merdeka. Dan politik hukum yang dilakukan oleh pemerintahan
Orde Baru dan Orde reformasi.
Pemberlakuan hukum Islam atau syari at Islam dalam sebuah
negara, menurut Islam merupakan hubungan yang sangat erat.
Pandangan kewajiban penegakkan syari at Islam dalam negara, menurut
Ibnu Taimiyah merupakan tujuan pokok didirikannya negara yaitu supaya
untuk menjamin terlaksananya spiritual dan untuk mendekatkan diri
kepada Alloh.21 Demikian juga pendapat Abul A la Al-Maududi bahwa
menegakkan sistem kehidupan yang Islami dengan sempurna tanpa
mengurangi dan mengganti adalah tujuan ditegakkannya negara.22
Catatan Akhir

Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, , Jakarta: Raja Grafindo Persada 1999,
hlm. 250-251.
2
Ahmad hasan, Pintu Ijtihad Belum tertutup, Bandung: Pustaka, 1994, hlm. xv.
3
Ahmad hasan, Pintu Ijtihad Belum tertutup, Bandung: Pustaka, 1994, hlm. xv.3
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial Itu! (Jakarta: Grahacipta,
2005), hlm. 1.
4
Nata, , hlm. 247.
5 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Indonesia dari Masa ke Masa , dalam
Dadan Muttaqien, dkk, (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: UII-Press, 1999), hlm. 7.
6 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 3.
1

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

53

N urjiddin da n M . N ur K holis Al Am in
7 A. Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia , dalam
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional : Mengenang 65 Tahun Prof. Dr.
Bustanul Arifin, SH.,Penyunting Drs. Amrullah Ahmad, SF, Gema Insani Press, Jakarta,
1996, hlm. 55.
8 Ibid, hlm. 55.
9 Harri J. Benda, hlm. 88.
10 Nurcholish Madjid,
Islam di Indonesia dan Potensinya Sebagai Sumber
Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional , dalam Nurcholish Madjid, dkk., Islam
Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 171-172. Lihat juga dalam Agussalim
Sitompul, Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di
Indonesia (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2008), hlm. 39.
11 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 279. Lihat
juga dalam Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 49.
12 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia
(Jakarta: INIS, 1998), hlm. 29.
13 A. Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum
Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 153.
14 Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama: 2001), hlm. 111.
15 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan
Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. xii.
16 Ratno Lukito, Pergumulan... hlm. 32.
17 Suparman Usman, Hukum... hlm. 112.
18 Ratno Lukito, Pergumulan... hlm. 73.
19 Di samping permasalahan di atas, pada era reformasi ini, pengadilan agama
tidak hanya menangani perkara tersebut melainkan juga tentang sengketa bisnis syari ah
dengan dirumuskannya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
20 Dawi Ahsan
Mansur ,
Paradigma Baru Peradilan Agama,
http://
www.pawonosari.net/ asset/paradigma-baru-pa.pdf.
21 Ibnu Taimiyyah, Assiyasah Asy-Syar iyyah, (Beirut, Darul Kitab Al-Arabiyah,
1966).
22 Abul A la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis atas Sejarah
Pemerintahan Islam, terj. Muhammad Al Basir, (Bandung: Mizan, 1990).

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.

Adams, Charles J. Islamic Religious Tradition dalam Leonard Binder
(ed.), The Study of the Middle East: Research and Scholarship in
the Humanities and the Social Sciences, Canada: John Wiley and
Sons, 1976.

Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian;
Menurut Kitab Undang-undang Perdata (BW), Jakarta: Bina
Aksara, 1986.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2004.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1987.

54

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

Se ja ra h Pe rk e m ba nga n H uk um I sla m Di I ndone sia

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam Indonesia dari Masa ke Masa ,
dalam Dadan Muttaqien, dkk, (ed.), Peradilan Agama dan
Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, edisi
revisi, Yogyakarta: UII-Press, 1999.

Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris
Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LkiS, 2005.

Hallaq, Wael B., The Origins and Evolution of Islamic Law, Cambridge:
Cambridge University Press, 2005.

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam?, Jakarta: Tintamas, 1976.

Karsayuda, M., Perkawinan Beda Agama, Menakar Nilai-nilai Keadilan
Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media, 2006.

Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
Jakarta: INIS, 1998.

Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2005.
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic
Research Institute, 1976.

Shiddieqy, Hasbi Ash-, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman,
Yogyakarta: IAIN Al Djami ah Al Islamijah Al Hukumijah, 1961.
Sitompul, Agussalim, Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam dan
Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Misaka
Galiza, 2008.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka
Depdikbud, 1988), hlm. 453.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. ke-5, Jakarta: UIPress, 1986.
Usman, Suparman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media
Pratama: 2001.
Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985.

Zain, Muhammad dan Mukhtar Alshodiq. Membangun Keluarga
Humanis, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang
Kontroversial Itu!, Jakarta: Graha Cipta, 2005.

J urna l U lumuddin Volume 3 , N om or 2 , J uni 2 0 1 3

55