INVESTASI JANGKA PANJANG DALAM SAHAM

INVESTASI JANGKA PANJANG DALAM SAHAM
Dengan semakin merebaknya pasar modal (baik Bursa Efek Jakarta maupun Surabaya
yang telah dimerger menjadi BEI), investasi sekuritas semakin menjadi pilihan penting
dalam pertimbangan investasi. Terlebih lagi dengan penurunan suku bunga untuk pasar
uang (bagi para penabung) dapat menyebabkan orang berpaling ke pasar modal. Kenaikan
volume transaksi saham dapat diikuti setiap hari dari media massa. Sesuai dengan
maksudnya, investasi dalam saham dapat untuk tujuan jangka pendek (investasi lancar)
atau tujuan jangka panjang.
Perolehan saham dapat dilakukan dengan pembelian atau pertukaran harta atau sarana
yang lain. PSAK No 13 menyatakan, investasi dalam bentuk surat berharga (termasuk
saham) harus dinyatakan sebesar harga beli ditambah dengan biaya yang lain (termasuk
pajak, misalnya PPN yang dibayarkan atas jasa pialang yang tidak dapat dikreditkan).
Sesuai dengan ketentuan perpajakan, PPN atas jasa pialang itu mungkin tidak atau dapat
dikreditkan. Apabila dapat dikreditkan, PPN itu tidak seharusnya diaktivir sebagai
pembentuk harga perolehan saham. Demikian juga kalau tidak dapat dikreditkan, namun
PPN itu oleh pengusaha dianggap sebagai revenue expenditure (sesuai dengan PP No 47
Th 1994), PPN dimaksud tidak dikapitalisasi, tetapi langsung dibebankan ke laba rugi
tahun yang bersangkutan.
PSAK itu selanjutnya menyatakan tergantung dari signifikansi pengaruh investor,
investasi saham pada perusahaan asosiasi dapat dibukukan dengan menganut harga
perolehan (cost) atau ekuitas (equity). Perbedaan dari kedua metode itu terletak pada saat

pengakuan penghasilan investasi. Perbedaan dengan metode ekuitas (kepemilikan) yang
mengakui penghasilan secara proporsional dengan keuntungan yang diperoleh investee,
metode harga perolehan mengakui penghasilan apabila telah secara resmi ada deklarasi
(pembayaran) dividen. Dalam praktik, bergantung pada tingkat kepemilikan, akuntansi
investasi saham bervariasi antara metode (a) harga perolehan-untuk pemilikan sampai
20%; (b) equitas-untuk pemilikan antara 20-50%; (c) konsolidasi-untuk pemilikan lebih
dari 50%. PSAK No 4 menyatakan investasi pada anak perusahaan terkendali yang
ditunjukkan dalam bentuk pemilikan saham lebih dari 50% hak suara, oleh perusahaan
lain harus dikonsolidasikan dengan laporan keuangan investor dengan pengungkapan
selengkapnya terhadap hak minoritas (minority interest).
Untuk tujuan perpajakan, tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit menyebut
metode pembukuan investasi jangka panjang, saham, selain yang tersebut dalam
penjelasan pasal 10 ayat 5 UU PPh. Penjelasan itu menyatakan bahwa atas investasi

saham, tanpa memperhatikan persentase kepemilikan, dibukukan berdasarkan harga
perolehan, sama halnya dengan persediaan. Karena salah satu penghasilan investasi
saham adalah dividen dan pajak terutang (pada umumnya) pada saat pembagian, dapat
disimpulkan penilaian investasi saham untuk perpajakan berlaku metode harga perolehan.
Untuk badan, dengan berlakunya pembebasan pajak atas dividen antar badan atas 25%
atau lebih kepemilikan saham perusahaan pembagi dividen (pasal 4 ayat 3 huruf f UU

PPH) kapan penghasilan dividen diakui menjadi kurang relevan. Berbeda dengan dividen,
keuntungan pengalihan saham dikenakan pajak. Keuntungan itu secara umum dimengerti
sebagai kelebihan harga jual atas harga perolehan ( penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf d UU
PPH) apabila penjualan saham dilakukan di pasar modal, sama halnya dengan sekuritas
saham (investasi lancar), penghasilan dari penjualan itu dikenakan PPh sebesar 0,1%
untuk bukan saham pendiri atau 5,1% untuk saham pendiri dan bersifat final (0,5%
berdasarkan PP No 14 Th 1997). Sementara itu, kalau penjualan dillakukan tidak melalui
pasar modal, keuntungan dari penjualan itu dikenakan tarif umum [progresif dengan tarif
marginal 5%, 15%, 25% sampai 30% untuk WP orang pribadi, atau tarif sepadan 28%
untuk WP badan dengan keringanan tarif 50% untuk WP yang omsetnya paling banyak 50
milyar (dengan keringanan diberikan secara proporsional atas penghasilan netto dari
omset sampai dengan 4,5 milyar) yang pada tahun 2010 tarif ini turun menjadi 25%, 15%
dan 30%]. Kedua tempat atau cara penjualan memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap biaya penjualan. Sementara penjualan di bursa efek tidak memperkenankan
pengurangan biaya penjualan terhadap penghasilan bruto kena pajak, penjualan di luar
bursa memperbolehkan pengurangan yang dimaksud dan karenya kalau penghasilan
netonya negatif (rugi) tidak dikenankan PPh. Apabila investasi saham dimaksudkan untuk
modal ventura, selain dividen yang tidak dikenankan pajak, penghasilan dari penjualan
saham pada perusahaan pasangan usaha dimaksud juga tidak dikenakan PPh. Berdasarkan
UU No 36 Th 2008 tentang Perubahan Keempat UU PPh (UU 36/2008), pasal 4 (2) (c)

keuntungan dari penjualan saham pasangan usaha modal ventura di BEI dikenakan pajak
final (0,1%).
Dividen saham (stock dividen) yang diterima oleh investor badan tidak dikenakan
PPh (bukan objek pajak). Kalau saham itu di kemudian hari dijual, perlakuan perpajakan
atas keuntungna penjualan dapat dipersamakan dengan saham bonus berdasarkan Sirkuler
No. SE-18/PJ.41/1993 tgl 31 Agustus 1993. Sirkuler itu menyatakan saham bonus yang
diterima pemegang saham yang berasal dari konversi agio saham mungkin tidak kena
pajak, namun keuntungan dari penjualan atau pelepasan saham dapat dikenakan PPh.

Dengan dianutnya paham terpisah antara penerimaan dividen saham dan penjualan saham
itu dapat disimpulkan, dividen tidak kena pajak (pada saat pembagian, misalnya sebesar
nominal), sedangkan keuntungan penjualan(harga pasar dikurangi dengan nilai nominal)
dikenakan pajak.
Berbeda dengan praktik akuntansi (yang mempertahankan riwayat historis kontribusi
modal saham), untuk tujuan pajak terdapat kemungkinan transformasi agio menjadi
modal saham. Pembagian saham bonus ex-agio itu, menurut sirkuler di atas menyebabkan
realokasi harga perolehan saham lama. Keuntungan dari penjualan saham dikenakan
pajak pada tahun penjualan.
Sebagai contoh, Tao mendirikan PT EXO pada tahun 2006, dengan modal saham
sebanyak 1.000 lb @ Rp 10.000 disetor Rp 5.000.000 dan modal dalam portepel Rp

5.000.000. dalam tahun 2007 modal dalam portepel diambil oleh Kris dengan harga Rp
10.000.000 (agio Rp 5.000.000)
Pada th 2008 agio itu dikonversi menjadi saham @Rp10.000 dan dibagi kepada Tao
dan Kris dengan pori yang sama. Pada akhir tahun itu juga semua saham agio milik Tao
dan Kris dijual kepada Lay dengan harga Rp12.500.
Pada tahun 2008, sesuai dengan praktik akuntansi komersial, Tao dan Kris akan
mengalokasikan harga perolehan saham sbb:
a. Tao

5.000.000: (500.000 + 250.000) = Rp 6.667

b. Kris

10.000.000: (500.000 + 250.000) = Rp 13.333

Harga perolehan semula saham Tao per lembar Rp10.000 setelah menerima saham
bonus dari agio harga perolehan per lembar menjadi Rp6.667 (penerimaan dari
transformasi agio menurunkan harga rata-rata), sedangkan Kris Rp20.000 sebelum
pembagian saham bonus dan menjadi Rp13.333 setelah pembagian saham bonus.
Penjualan saham dari agio itu memberikan laba per lb Rp5.833 bagi Tao, dan rugi per

lembar Rp833 bagi Kris dengan pencatatan sbb:

Tao
Kas
3.125.000
Investasi Saham
1.666.750
Laba Penjualan saham
1.458.250

Kris
Kas
3.125.000
Rugi Penjualan saham
208.250
Investasi saham
3.333.250

Untuk mempertahankan proporsi pemilikan saham pesero, pada umumnya apabila
perusahaan akan menerbitkan saham baru kepada pesero lama diberikan hak membeli


terlebih dahulu (pre-emptive rights). Kelaziman dalam akuntansi komersial untuk
mengalokasikan harga perolehan saham kepada rights tersebut. Penjualan right di atas
harga alokasi itu merupakan keuntungan. Sementara itu, kalau hak itu dimanfaatkan untuk
membeli saham baru (dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar), harga perolehan
(alokasi) right ditambahkan pada harga pembelian dan diaktivir sebagai harga perolehan
saham baru, apabila right tidak dimanfaatkan alokasi biaya umumnya dianggap sebagi
kerugian. Dlama ketentuan perpajakan alokasi itu tudak dilakukan sehingga hasil
penjualan right merupakan penghasilan (kena pajak) seluruhnya. Kalau peusahaan
penerbit saham divubarkan kemudian dilikuidasi, menurut penjelasan angka 2 pasal 4
ayat 1 huruf d jumlah lebih pembayaran di atas modal disetor merupakan penghasilan
dividen likuidasi. Selanjutnya apabila terjadi pembelian kembali saham (stock repurchase
atau buyback), menurut UU PPh (angka 7) penjelasan pasal 4(1)(f) jumlah pembayaran
tersebut dapat dianggap sebagai dividen kalau (1) dalam tahun-tahun lampau diperoleh
keuntungan, dan (2) pembayaran tersebut bukan dalam rangka pengecilan modal dasar
(statuter). Dalam hal terjadi pengecilan modal dasar, maka menurut (angka 6) penjelasan
pasal (4)(1)(g) UU PPh yang dianggap sebagai pembayaran dividen hanya jumlah
pembayaran kembali yang melebihi jumlah setoran. Karena itu apabila hendak melakukan
program stock buyback, mislanya dalam rangka menaikkan IHSG di BEI karena
anjloknya inddeks harga, para penerbit saham perlu berhati-hati dari aspek

perpajakannya.