PERBANDINGAN ETOS KERJA WANITA DALAM BUK

1

PERBANDINGAN ETOS KERJA ANTARA
TOKOH WANITA DALAM SERAT PRANA CITRA
DAN WANITA MASA KINI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Judul
Serat Pranacitra,adalah karya sastra Jawa berbentuk roman
( Subalidinata 1994:68 ).. Sebagai karya satra klasik, cerita ini disusun
dalam bentuk tembang macapat oleh juru tulis kraton Surakarta di
bawah pemerintahan Paku Buana V, menjadi buku bacaan untuk
mengisi waktu bagi para abdi dalem kraton yang sedang libur
( Hendrato, 1978:9 ). Serat Pranacitra digemari oleh masyarakat
banyak, karena dengan tema percintaannya menyiratkan nilai sosial
budaya yang dapat dijadikan teladan bagi kehidupan masyarakat. Di
antara nilai yang dapat menjadi teladan adalah sikap seorang
tokoh wanita yang mempunyai etos kerja tinggi. Sikap etos kerja
wanita itu tampak pada Rara Mendut, seorang wanita boyongan dari
Pati yang diserahkan kepada Tumenggung Wiraguna.


Mengenai keberadaan Serat Pranacitra, cerita ini berawal
dengan ditundukkannya pemerintahan Pati oleh Mataram di bawah
pimpinan

Sri

Sultan

Anyakrakusuma.

Akibatnya,

Mataram

2

mempunyai

hak


merampas

masyarakatnya, termasuk
boyongan.

Kemudian

menghadiahkan

hasil

,

seluruh

didalamnya
Kanjeng

tersebut


kepada

harta

kekayaan

dan

adalah

empat

putri

Sinuhun
para

bermaksud


abdinya

sebagai

penghargaan atas jasa-jasanya. Wiraguna pada kesempatan ini
mendapat

hadiah

yang

terbanyak, bahkan

keempat wanita

boyonganpun dianugerahkan kepadanya. Oleh Kanjeng Sinuhun ,
dia dinilai begitu besar jasanya dalam perjuangan menundukkan
Pati. Selain itu, dia juga dipercaya menjadi bupati Mataram dan
sekaligus


menjadi

orang

yang

paling disegani oleh Kanjeng

Sinuhun.
Tumenggung Wiraguna sebagai orang yang dipercaya oleh
Kanjeng Sinuhun, berhasrat mengangkat salah satu dari keempat
wanita

boyongan menjadi

istrinya. Wanita

itu bernama Rara

Mendut. Namun , menurut informasi Rara Mendut tidak bersedia

diperistri olehnya, karena selain sudah tua, Wiraguna juga tidak
menarik simpatinya, walaupun Wiraguna sebenarnya meskipun sudah
tua tetapi masih besus atau pandai bersolek ataupun memelihara
tubuh, akan tetapi apa dikata kalau hati sudah tidaklah cinta walau
bagaimanapun tetap tidaklah mau jua.
Tumenggung setelah mendengar lamarannya ditolak, ia langsung
marah - marah dan merasa sangat

terhina. Kemudian Wiraguna

menjatuhkan hukuman kepada Rara Mendut berupa pajak sebesar

3

tiga reyal setiap harinya. Hal itu dilakukan dengan harapan agar
Rara Mendut merasa keberatan dan secara langsung harus bersedia
diperistrinya.
Akan tetapi kenyataannya lain, Rara Mendut justru
memilih menjalani hukuman daripada harus diperistri Wiraguna.
Kemudian dia mohon ijin kepada Tumenggung


supaya ia

diperbolehkan berjualan rokok di pasar Kaprawiramantren.
Permintaan itu dikabulkan oleh Tumenggung, bahkan ia juga
memberi uang sebesar 10 reyal sebagai modal. Pekerjaan ini terus
dilakukan Mendut, sampai akhirnya ia menemukan seorang laki –
laki yang mana akhirnya dengan pandangan pertama Mendut
bisa

merasakan

jatuh

hati walau baru pertama kali mereka

bertemu.
Dalam pertemua dengan laki – laki pujaan hatinya itu Rara
Mendut


punya

pikiran

untuk

mencari

jalan

keluar

dari

permasalahannya.
Pelukisan etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra
, menggambarkan bahwa pada masa itu telah terjadi perubahan
budaya, di mana wanita sudah tidak lagi terbatas

aktifitasnya.


Meskipun wanita bekerja di luar rumah waktu itu masih dinilai
tidak etis, tetapi Mendut telah berani mendobraknya, hanya
karena Mendut ingin mempertahankan haknya dan ingin menentang
keinginan Tumenggung Wiraguna. Kondisi

yang

seperti

itu,

4

akhirnya sampai sekarang masih berlangsung. Bahkan pada masa
sekarang ini wanita juga dituntut untuk berperan aktif dalam
pembangunan

bangsa. Oleh


karena itu, kaum

wanita

bekerja

bukan lagi hal asing. Bahkan pada masa sekarang ini wanita
dibudayakan dengan bekerja. Hal ini disebabkan antara lain oleh
perkembangan jaman yang terus mengikuti arus globalisasi sehingga
sektor industri yang semakin meningkat menuntut kaum wanita
untuk berperan serta. Banyak tenaga, pikiran kaum wanita
diperlukan bahkan sangat penting dalam bidang industri. Selain itu
kaum

wanita

zaman

sekarang


dituntut

untuk

membantu

meningkatkan perekonomian Bangsa, serta ekonomi dalam rumah
tangganya masing- masing.
Mengingat adanya kelangsungan terhadap sikap etos kerja
pada kaum wanita , seperti

dilukiskan

dalam

cerita

sampai

sekarang ini, penulis tertarik untuk mengkaji perbandingan antara
etos kerja yang ada pada diri Mendut dan kaum wanita pada masa
sekarang ini, di mana keberadaan kaum wanita sekarang banyak
mendapat perhatian dari beberapa ahli. Kaitannya dengan Serat
Pranacitra, sampai seberapa jauh cerita itu melukiskan keberadaan
tokoh Rara Mendut pada masa itu. Dengan cara menghubungkan
antara etos kerja wanita dalam kehidupan nyata sekarang ini, maka
disusunlah skripsi dengan judul “ Perbandingan Etos Kerja Antara
Tokoh Wanita dalam Serat Pranacitra dan Wanita Masa Kini . “

5

6

Etos kerja pada diri Rara Mendut tumbuh karena adanya
tekanan dalam dirinya karena ia tidak bersedia diperistri

oleh

Tumenggung Wiraguna serta mempertahankan haknya sebagai
manusia yang bebas tanpa kekangan dari siapapun. Kebulatan
tekadnya untuk menolak lamaran dari Tumenggung, membuatnya
semakin berani mengambil resiko. Dengan kenyakinannya, ia tetap
teguh dalam berpendirian. Oleh karena itu, ia memutuskan berjualan
untuk memperoleh sejumlah uang guna membayar pajak. Dalam
dirinya tidak ada lagi pandangan yang bersifat negative terhadap
aktifitas kaum wanita di luar rumah. Walau memang zaman dulu
wanita masih dianggap menentang akan tradisi apabila ke luar rumah
untuk beraktivitas atau melakukan suatu pekerjaan, apalagi yang bias
menghasilkan uang ataupun keuntungan. Jadi,
bekerja

kasar atau

meskipun

harus

pekerjaan yang bersifat tradisional, ia tetap

bersemangat dalam menjalaninya. Harapannya, dengan

usaha

tersebut dapat mempertahankan keinginan hatinya. Mendut bisa
merasa bebas tanpa kekangan ataupun merdeka tanpa ada ikatan –
ikatan tertentu walaupun dia juga sadar kalau dirinya adalah putri
boyongan yang telah menjadi hak milik Tumenggung Wiraguna, dan
dia juga sadar kalau Wiraguna bisa berbuat apapun pada dirinya,
namun dia tidak punya rasa ngentar sedikitpun.
Namun, wanita sekarang berbeda dengan yang dulu. Jika
wanita bekerja

pada zaman

dulu masih tabu, sedangkan kaum

7

wanita sekarang justru diarahkan supaya mampu berperan sejajar
dengan kaum pria. Padahal jika ditinjau dari

segi kodratnya,

antara wanita di zaman dulu dan sekarang sama, yakni sebagai wanita
yang

mempunyai

tangga.

tanggung jawab di

dalam

mengurus rumah

Berdasarkan pada pelukisan sikap etos kerja pada tokoh

Rara Mendut dalam Serat Pranacitra dan sikap etos kerja wanita
dalam kehidupan nyata dewasa ini, tentunya akan memberi corak
sendiri

sesuai

dengan

latar

belakang

budaya

yang

melatarbelakanginya. Keadaan yang bagaimanakah yang dapat
membedakan

kedua

etos

kerja

tersebut?

Berdasarkan

pada

permasalahan ini maka muncul masalah-masalah seperti berikut ini.
B. Batasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan agar tidak terlalu meluas,
maka perlu dijelaskan batsan objek kajian. Hal ini dimaksudkan
untuk memudahkan dan membantu dalam penelitian terutama dalam
menganalisa data, dalam kaitannya dengan penelitian ini. Masalah
dibatasi pada istilah etos kerja tokoh wanita dalam Serat Pranacitra.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dalam penelitian
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.

Seperti apakah etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra?

8

2.

Bagaimanakah perbandingan etos kerja antara Rara Mendut dan
wanita masa kini?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggali etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra
2. Membandingkan etos kerja antara Rara Mendut dan wanita masa kini.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis dan praktis.
1. Memberikan sumbangan pengetahuan tantang karya sastra Jawa
klasik, khususnya mengenai nilai etos kerja yang tersirat dalam Serat
Pranacitra.
2. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang fungsi etos kerja wanita
dalam kehidupannya.
3. Memberika mitovasi kepada kaum wanita untuk mengembangkan
potensi yang dimikinya.
F. Sistematika Penulisan.
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Pemyajian
kelima tersebut dengan sistimatika sebagai berikut :
Bab pertama Pendahuluan, terdiri dari Alasan Pemilihan Judul,
Pembatasan Masalah, Rumusan masalahan, Tujuan
Manfaat Penelitian, dan Sistematika.

Penelitian,

9

Bab dua Landasan Teori, terdiri dari Hakikat Karya Sastra Jawa
Klasik, Perkembangan Sastra Jawa, Unsur-Unsur Pembangun Fiksi,
Hakikat Etos Kerja, dan Pandangan Hidup Masa Kini.
Bab tiga Metode Penelitian, bab ini berisi jenis penelitian, data
dan

sumber penelitian, metode pengumpulan data metode, dan

metode penyajian hasil analisa data.
Bab empat Pembahasan Serat Pranacitra, terdiri dari Ringkasan
Cerita, Alur cerita,

Karakter dan Karakterisasi, dan Latar atau

tempat terjadinya cerita dan waktu terjadinya cerita, Perbandingan
Etos Kerja antara Rara Mendut dalam Serat Pranacitra dan Wanita
Masa Kini.
Bab lima Penutup, terdiri dari Simpulan dan Saran.
Penelitian ini dilengkapi pula daftar pustaka dari beberapa
referensi yang dijadikan acuan dalam penulisan skripsi.

10

BAB II
LANDASAN TEORI

Landasan teori di sini maksudnya adalah dasar atau
landasan

bersifat

teoretis

yang

relevan

permasalahan yang diangkat dalan penelitian

dengan pokok

ini. Konsep-konsep

teoritis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai
berikut
A. Hakikat Karya Sastra Jawa Klasik
Sastra Jawa merupakan karya sastra yang menggunakan
bahasa

Jawa, dalam hal ini si pengarang biasanya menggunakan

bahasa jawa kuna atau sansekerta sebagai media penulisannya .
Sedangkan klasik

adalah karya sastra kuno yang bermutu tinggi

( adi luhung ) dan dijadikan ukuran nilai suatu karya sastra serta
bersifat abadi . Jadi, berdasarkan dua definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa karya sastra Jawa klasik adalah karya sastra yang
berbahasa Jawa, ( Jawa kuna atau bahasa sansekerta ) untuk
memperindah bentuk kata dan kalimat dalam sebuah karya sastra
dan mempunyai nilai adiluhung dengan mutu yang tinggi.

11

Berdasarkan pada sifatnya yang adiluhung maka

karya

sastra itu selalu menarik kegemaran pembaca dari masa ke masa.
Keberadaan

karya sastra Jawa klasik di tengah masyarakat

tradisional

benar-benar

merupakan

alat

penting

untuk

mempertahankan model dunia yang sesuai dengan adat istiadat
dan pandangan dunia konvensional pada masa itu serta untuk
menanamkan
dan

pada angkatan

muda tentang kode tingkah laku

kode etik ( Teeuw, 1983:8 ). Menurut peneliti dalam sebuah

karya sastra

menanamkan kode etik

atau

tingkah

laku

pada

generasi muda maksudnya untuk pelajaran agar bisa intropeksi
dan mawas diri serta menyesuaikan kode etik bangsa kita yaitu
bangsa timur yang penuh dengan tata karma dan sopan santun.
Karena karya sastra adalah cerminan dari tingkah laku kehidupan
yang nyata ( kenyataan ). Seorang pengarang akan mencerikan atau
akan menulis sebuah karya

sastra mestinya pelajaran dan

pengalaman apalagi menghadapi kenyataan hidup yang dianggap
pantas dan baik untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra.
Selain dari pengalaman dan kenyataan hidup yang dihadapi namun
kata-kata

yang digunakan pun harus selaras dengan

Biasanya pengarang menggunakan kata-kata

yang

suasana.

puitis agar

masyarakat mau membaca dan memahami isi dari karya sastra
tersebut.

12

Selain itu, Teeuw juga menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam
bentuk roman, penulis

dengan sengaja atau

tidak membiarkan

pembaca kembali mengenal banyak apa yang pembaca ketahui
dari dunia nyata dimasukkan dalam penafsiran sebuah roman.
Sedangkan menurut

Mulder ( 1985:72 ),

bahwa

pengarang

seringkali membentangkan struktur pemikiran, yakni klasifikasiklasifikasi

setengah

sadar

yang mendasarinya dan yang

menerangkan kehidupan sehari-hari di masyarakat melalui karya
sastranya.

Jadi,

berdasarkan beberapa pendapat itu

dikatakan bahwa pada dasarnya

keberadaan karya sastra

zaman dahulu secara tidak langsung

dengan

pendekatan

kehidupan

mimetik,

semesta atau

nyata seperti

yaitu

menjelaskan

antara karya

ini disebut

pendekatan yang
hubungan

pada

melukiskan kehidupan

masyarakatnya. Pandangan yang manghubungkan
sastra

dapat

dengan

menitikberatkan

karya sastra

dengan

kenyataan ( Teeuw,1988:50 ).
Kaitannyan

dengan

teori mimetik,

Aristoteles

yang

menyangkal pendapat dari Plato yang berpendapat bahwa pada
dasarnya penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan
manusia yang

nyata atau peristiwa sebagai mana adanya. Tetapi,

seniman menciptakan dunia sendiri, dunia sastra merupakan
kontraksi,

perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata

atau mencerahi segi dunia nyata tertentu. Sehingga karya sastra

13

menurutnya menjadi saran pengatahuan yang khas, cara yang unik
untuk
situasi

membayangkan
manusia

pemahaman

yang

tidak

tentang

aspek

atau tahap

dapat diungkapkan

dan

dikomunikasikan dengan jalan lain ( Teeuw, 1988:222 ). Jadi, seperti
yang dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya teori mimetik
adalah menganggap karya seni sebagai pencerminan , peniruan
ataupun pembayangan realitas. Sehubungan dengan kenyataan ini
maka perbandingan seorang tokoh atau suatu gejala alam dengan
lukisan atau gambaran adalah perbandingan yang terjadi di manamana, sehingga norma keindahan yang diakui oleh masyarakat
tertentu

terungkap

dalam

karya seni, yang

kemudian dipakai

sebagai tolak ukur untuk kenyataan. Dengan adanya karya sastra
masyarakat akan bisa intropreksi diri , karena karya sastra adalah
bayangan kehidupan diri kita sendiri. Walau kenyataannya tidak
semua karya sastra itu adalah cerminan namun dengan adanya
beberapa karya sastra yang menggambarkan kenyataan hidup ini
kita sebagai masyarakat yang mengetahuinya harus sadar dan
tanggap dengan semua ini.
Salah satu contoh mengenai penggambaran kehidupan
masyarakat dalam

sastra Jawa klasik adalah keberadaan seorang

wanita. Di mana wanita pada zaman dahulu mempunyai karakter
tersendiri untuk mempertahankan

keberadaannya. Seperti dalam

Serat Panitisastra yang merupakan gubahan dari karya sastra Jawa

14

Kuna oleh Paku Buana V mengupas masalah wanita yang cukup
berarti ( Sudewa, dalam Susanto 1992:40 ). Begitu juga pada Serat
Pranacitra, cerita ini bersumber dari cerita lisan yang
ditulis

menjadi

kemudian

buku oleh juru tulis kraton Surakarta dalam

bentuk tembang macapat ( Hendrato, 1978:9 ). Di zaman Mataram
sampai ada peninggalan candi yang bernama Candi Mendut,
dengan

demikian

pendapat dari Hendrato ada

cerita itu mungkin

adalah kenyataan zaman

dibuat oleh seseorang
kraton

dijadikan

dijadikan

bacaan

yang waktu

sebuah
di

itu dan

kemudian

itu masih tergolong kerabat

karangan

kalangan

benarnya sebab

atau karya

kraton

itu

sastra

sendiri

di

dan
kala

senggang.
Serat Pranacitra

termasuk karya sastra klasik, telah

mengalami beberapa kali pembaharuan. Misalnya, oleh Ajib Rosidi
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul
Sebuah

cerita

Roro Mendut:

klasik Jawa, sedangkan Y. B. Mangunwijaya

mengubah dengan versi baru menjadi cerita Trilogi : Roro Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri ( Santoso, 1993:43 ).
Terjadinya beberapa usaha tranformasi sastra klasik ini,
menujukkan

bahwa

sastra Jawa

klasik

jauh lebih tinggi

dibandingan sastra Jawa modern ( Pradopo, 1993:33 ). Menurutnya,
karya sastra Jawa klasik dipandang mempunyai kedudukan sosialekonomi-budaya

yang

tinggi

sehingga tidak sedikit dari para

15

peminat sastra Jawa cenderung tertarik membahas bentuk-bentuk
karya

sastra

Jawa

klasik.

Ketertarikan

ini disebabkan

oleh

estetika sastra Jawa yang selalu berdasarkan pada kekuatan imajiimaji sastranya yang berakar pada kepribadian Jawa. Oleh sebab
itu, pada

umumnya sastra Jawa menggambarkan falsafah hidup

orang Jawa, di mana di samping sebagai alat hiburan juga sebagai
sarana pendidikan yang bersifat filosofis dan mengakar pada
kepribadian masyarakat Jawa.

Sehingga karya sastra sangatlah

bermanfaat bagi bagi generasi masa kini ataupun yang akan datang,
karena karya sastra ataupun karya seni adalah tuntunan ataupun
contoh untuk anak-anak muda zaman sekarang, walaupun sedikit
sekali generasi sekarang yang mau mempelajari bahkan membaca
saja tidak akan mau, karena generasi zaman sekarang lebih
senang melihat dan tidak mau berusaha mempelajari

sendiri.

Apalagi karya sastra klasik biasanya berbentu tembang dan katakatanya

menggunakan

bahasa

jawa kuna ataupun

sansekerta

paling tidak menggunakan kata- kata yang rinengga artinya kata –
kata

bahasa jawa yang diperindah sehingga generasi sekarang

tidak tahu makna dan artinya.
Adapun merupakan ciri khas bentuk dari sastra Jawa klasik
adalah

selalu

turun-temurun

terikat oleh
dari

patokan-patokan yang ditaati secara

generasi

sebagaian besar digubah

dalam

ke generasi. Bentuk

sastra ini

bentuk tembang macapat ( Ras,

16

1985:4 ). Oleh karena itu, dalam bentuk sastra ini sering digunakan
kata-kata puitis dan segala jenis akraisme sehingga memungkinkan
adanya konvensi yang mengatur perpanjangan atau perpendekan
kata-kata

yang menyimpang dari kaidah bahasa agar dapat

memenuhi kebutuhan irama atau mantra. Selain itu, dalam setiap
pemilihan

mantra juga

memiliki

pola

lagu sendiri-sendiri

tergantung pada isinya, misal didaktik, teguran, nasehat, serius,
cinta asmara, nada keras, dan sebagainya.

Berdasarkan latar

belakang seperti ini maka masyarakat pada zaman dulu lebih
menyukai bentuk puisi, karena menurut mereka bentuk prosa
dianggap hanya sekedar apa adanya sehingga sastra klasik banyak
yang berbentuk puisi.

B. Perkembangan Sastra Jawa
Karya
berbagai

sastra Jawa dalam perkembangannya mengalami

proses sehingga sastra Jawa ini dinamis untuk dapat

meneruskan

kehidupannya. Dengan

adanya

satu bentuk bahasa

Jawa maka ada istilah yang memisahkan bahasa Jawa menjadi tiga
bagian, yakni kuno, pertengahan, dan baru. Oleh karena
perkembangan

sastra

perkembangan bahasa.
Jawa terbagi

Jawa

secara

Jadi, menurut

tidak

langsung

itu,

mengikuti

perkembangannya

sastra

menjadi tiga kelompok juga dan masing-masing

mempunyai ciri khas sendiri-sendiri

17

Pergeseran dalam sastra Jawa sebagai dinamika untuk dapat
melanjutkan kehidupannya adalah bentuk kelanjutan sastra Jawa.
Sastra Jawa Kuno yang ada pada masa awal abad IX a khirnya
tergeser sejalan dengan keadaan masyarakat Jawa yang berganti
kerajaan.

Dalam

merupakan
Jawa

perjalanan

selanjutnya,

kerajaan

Majapahit

tonggak dimulainya sastra Jawa. Bahasa dan budaya

Kuno dalam sastra Jawa ini banyak dipengaruhi oleh

bahasa dan budaya Sansekerta sehingga terlihat dominasi masa
Sansekerta dalam kehidupan

Jawa Kuno. Dengan demikian

masyarakat Jawa pada masa ini perlu napas baru dalam budaya
maupun sastranya.
Napas baru

dalam sastra Jawa mampu menggeser sastra

Jawa Kuno, yang kemudian dinamakan sastra Jawa pertengahan.
Pada

masa ini penggunakan bahasanya tidak lagi menghitung

panjang pendek vocal dalam kata-katanya. Selain itu, isinya
mempunyai berbagai keunikan tersendiri, yakni lebih banyak
mengungkapkan masalah manusia pada umumnya, baik di kalangan
kerajaan atau kalangan masyarakat biasa. Yang tergolong sastra
tengahan ini misalnya Pararaton, Calon Arang, Sudamala dan Panji.
Setelah Majapahit runtuh, sastra Jawa terus bergeser
mengikuti

perjalanan

kerajaa

yang

berkembang

setelah

Majapahit, yakni kerajaan Demak. Sastra Jawa pada periode ini
lebih

lazim

disebut

sastra

Jawa

baru.

Karya

Sastra

yang

18

menggunakan

bahasa

Jawa

baru

ini

keislaman. Jadi, sastra Jawa bukan

cenderung

bernafaskan

saja berisi tentang masalah

kehidupan masyarakat dan kerajaan, tetapi juga berisi tentang
keagamaan terutama keislaman dengan rukun Islam dan sejarah
Nabi,

karya sastra pada masa ini, misalnya Suluk, Primbon, dan

buku-buku Babad.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sastra Jawa baru
mengalami masa puncaknya ketika kerajaan beralih ke Kartasura
sampai pada zaman kerajaan Surakarta. Pada masa ini sastra Jawa
memiliki pemikir dan penulis yang sangat terkenal baik di kalangan
masyarakat

maupun

di

kerajaan,

yakni

Yasadipuro

dan

Ronggowarsito. Kedua pujangga ini banyak menghasilkan karya
sastra Jawa baru dan

sekaligus menulis kembali karya sastra

Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru.

C. Unsur- Unsur Pembangun Fiksi
Keberadaan karya sastra dalam suatu masa merupakan hasil
kreatifitas

pengarang. Pengarang dalam menciptakan karyanya

sering tidak terlepas dari pengalaman hidupnya. Adapun diantara
faktor yang mempengaruhinya adalah latar belakang masyarakat,
tingkat pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut

sangat menentukan corak dari karya sastra dan akan

menjadi ciri khas suatu karya satra tertentu. Oleh sebab itu, dalam

19

sastra terdapat

golongan karya sastra yang bermutu tinggi dan

bermutu rendah.
Penggolongan karya sastra yang dapat dikatakan bermutu
atau tidak, dapat dianalisis berdasarkan tingkat kemampuan
pengarang

dalam

mengolah

unsur-unsur

pembentuk

secara

proposional. Jadi, pada umumnya karya sastra terlahir berdasarkan
unsur-unsur pembentuknya.

Sejalan

dengan

pembahasan ini,

penulis mengacu pada teori Raminah ( 1985:9 ) yang menyebutkan
bahwa karya fiksi memiliki struktur atau yang disebut segi-segi
intrinsik, yakni unsur-unsur yang membangun dari dalam. Unsurunsur tersebut terdiri dari:( 1 ) perwatakan; (2) tema dan amanah; (3)
alur atau plot; (4) latar dan gaya bahasa; (5) pusat pengisahan. Jadi
pada dasarnya semua karya sastra itu mempunyai nilai mutu yang
bertingkat-tingkat tinggal siapa yang membaca atau yang bisa
memahami karya tersebut.
Dalam rangka membatasi pambahasan unsur-unsur intrinsik
karya fiksi seperti tersebut di atas maka penulis mengacu pada teori
Wellek dan Austin Werren dalam ( Budianta, 1993:283 ) yang
menjelaskan bahwa pada umumnya dalam menganalisis unsur-unsur
intrinsik karya fiksi hanya membedakan tiga unsur saja, yakni plot
atau alur,penokohan atau perwatakan, dan latar. Jadi, melalui
pembahasan tiga unsur ini, penulis mengalisis salah satu aspek dalam
karya fiksi. Yakni aspek etos kerja wanita.

20

Mengenai pembahasan tiga unsur intrinsik tersebut di atas maka
yang disebut alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita
yang disusun secara logis (Raminah,1985:61). Secara umum alur cerita
terdiri dari:
a. Alur buka, yakni situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilamjutkan dengan kodisi berikutnya.
b. Alur tengah, kondisi sudah mulai bergerak dan bergerak ke arah
kondisi yang memuncak.
c. Alur puncak, yakni kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks
peristiwa.
d. Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampak –
kan pemecahan atau penyelesaian.
Kemudian menurut pendapat Sudjiman (1992:29,33 ). Bahwa
berdasarkan pada susunan peristiwa dalam cerita, alur dapat
dibedakan menjadi dua, yakni alur linier dan alur alih balik atau sorot
balik. Alur linier adalah alur dengan susunan peristiwa yang
kronologis, yakni peristiwa

yang dialami tokoh cerita disusun

menurut urutan waktu terjadinya. Sedangkan alur sorot balik adalah
alur dengan urutan kronologis peristiwa yang disajikan di dalam
karya sastra, disela dengan peristiwa terjadi sebelumnya.
Perwatakan termasuk unsur intrinsik disebutkan setelah alur.
Perwatakan ini dalam karya sastra merupakan unsur yang amat
penting, di mana melalui sifat-sifat para tokoh maka karya sastra

21

dapat dipahami ceritanya. Kaitannya dengan hal ini, Raminah
( 1985:54 ) menjelaskan bahwa ada dua pengertian mengenai
perwatakan, yakni 1; mengacu pada orang atau tokoh yang bermain
dalam cerita, 2; adalah mengacu pada pembawaan dari minat,
keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain
dalam suatu cerita. Kemudian disebutkan juga bahwa dalam usaha
memahami perwatakan, dapat dilakukan dengan

dua cara, yakni

secara analitik dan secara dramatic. Secara analitik berarti pengarang
langsung memaparkan watak atau karakter tokoh, misal keras kepala,
penyayang, dan sebagainya. Sedangkan secara dramatic, yakni
penggambaran perwatakan tidak diceritakan secara langsung, tetapi
hal ini disampaikan melalui:
1. pemilihan nama tokoh;
2. penggambaran fisik atau postur tubuh;
3. dialog antar tokoh.

Unsur pembangun yang ke tiga adalah latar. Menurut pendapat
Raminah (1985:63), yang dimaksud latar atau setting adalah
lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah
tempat atau ruang yang diamati, seperti di hotel, di pasar, dan
sebagainya. Kemudian, termasuk di dalam unsur latar adalah waktu,
hari, bulan, tahun, musim atau periode sejarah, misalnya di zaman
perang kemerdekaan, di saat upacara pernikahan, dan sebagainya.

22

Berdasarkan pada latar ini maka kadang-kadang ditemukan bahwa
latar ini banyak mempengaruhi penokohan dan kadang-kadang juga
membentuk tema.

D. Hakikat Etos Kerja
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, Etos kerja adalah
semangat kerja menjadi ciri khas dan keyakinan seeorang atau suatu
kelompok. Sedangkan menurut Anoraga ( 1992:29 ), etos kerja adalah
suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.
Jadi, dapat dikatakan bahwa etos kerja adalah semangat yang dimiliki
seseorang atau kelompok terhadap pekerjaan yang dipengaruhi oleh
konvensi tertentu.
Anogara dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa
adanya pandangan dan sikap yang melihat pekerjaan merupakan
suatu hal yang luhur untuk eksitensi manusia maka etos kerja tersebut
akan tinggi. Sebaliknya, kalau melihat kerja sebagai suatu hal yang
tidak berarti bagi kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak
ada pandangan dan sikap terhadap kerja maka etos kerja tersebut
dengan sendirinya rendah.
Kaitannya dengan sikap manusia terhadap kerja, manusia yang
secara esensial adalah berjiwa maka dengan jiwanya manusia mampu
mengadakan antisipasi ke masa depan untuk memilih cara-cara

23

beraksi, meramalkan hasil-hasil perilakunya, dan membuat keputusan
yang serasi ( Soekanto, 1983:130 ).
Oleh karena itu, manusia tidaklah digerakkan oleh kognisinya, akan
tetapi oleh perasaannya yang merupakan dasar dinamika kepribadian
maupun perilakunya.
E. Hakikat Pandangan Hidup Wanita Masa Kini
Kedudukan wanita di masa modern ini, merupakan salah satu
wujud adanya pengaruh dari arus globalisasi yang berkembang.
Berdasarkan ketetapan GBHN, secara singkat peran perempuan dapat
disimpulkan menjadi 6, yaitu peran sebagai :
1. Istri yang mendampingi suami dengan baik dan mampu menompang
karier suami.
2.

Ibu yang mampu mendidik dan membimbing generasi muda, baik
secara rokhani maupun jasmani agar kelak mampu menghadapi
tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan
bangsa.

3. Pengaturan rumah tangga yang mampu menciptakan suasana aman
dan damai untuk seluruh anggota keluarga.
4. Tenaga kerja yang mampu menambah pandapatan keluarga untuk
mencapai keluarga sehat sejahtera.
5. Anggota masyarakat yang aktif dalam kegiata sosial.
6. Manusia pembangunan yang berkemampuan mengembangkan karier
dan profesinya ( Haryanti, 1991:1331 ).

24

Berdasarkan pada ketetapan GBHN, keberadaan wanita dalam
era globalisasi

ini memperoleh perhatian yang lebih sehingga

pemerintah berusaha semaksimal mungkin meningkat keberadaan
wanita dari segala bentuk diskriminasi yang merugikannya ( Hemas,
1992:14 ). Menurut penjelasannya lebih lanjut, bahwa kenyataan ini
terjadi

tidak

hanya

karena

semangat emansipasi, akan tetapi

adanya dorongan dari berbagai faktor dalam kaitannya dengan
tuntutan zaman. Selain itu, keadaan

ini

berlangsung sejalan

dengan kenyataan sejarah, di mana wanita tidak hanya dituntut
sebagai pengatur rumah tangga, tetapi juga sebagai tenaga kerja
pencari nafkah sebagai penghasilan tambahan. Sedangkan menurut
Sadli ( 1991:45 ), wanita memasuki pasaran kerja formal, tidak
hanya didorong oleh keharusan membantu ekonomi keluarga,
tetapi memang merupakan suatu perkembangan baru di tengahtengah masyarakat sekarang.
Jadi, dapat dikatakan bahwa berada dalam era globalisasi
seperti

sekarang

ini, wanita

memperoleh kesempatan untuk

berperan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena
itu,

wanita

cenderung mendapat tantangan yang cukup banyak

dalam mengantisipasi hidupnya, karena
untuk

menunjukkan

sifat

kodratnya

selain masih dituntut
sebagai

wanita

yang

bertanggung jawab atas keluarga, juga dituntut mampu berperan
dalam berbagai bidang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

25

Kaitannya dengan hal ini, muncul suatu konsep tentang wanita
ideal seperti

yang dikemukakan oleh Jatman ( 1995:151 ), yaitu

sebagai berikut :
….wanita yang berhasil berperan ganda tidak bisa dilepaskan harapan
makin menguatnya kelas menengah dari masyarakat kita yang tidak
terlalu memusingkan produktivitas dan wiraswatawan yang tinggi serta
masih kuatnya gagasan tentang para wanita tradisional untuk mengurus
rumah tangga.
Kaitannya dengan peran ganda wanita, tentunya terdapat
beberapa kriterial mengenai pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
kaum wanita. Hal ini disebabkan oleh adanya konsep yang
memandangn bahwa wanita adalah kaum yang lemah. Oleh karena
itu, wanita akan selalu mengalami hambatan di dalam kehidupan
sosialnya, sehingga kaitannya dengan masalah status kerja antara
wanita dan pria terdapat berbagai macam ketimpangan. Berdasarkan
pada kondisi masyarakat yang beraneka ragam dan berbagai masalah
maka analisis kritis mengenai konsep marginalisasi pun terdapat
kerancuan di kalangan peneliti tentang berbagai bentuk marginalisasi,
yaitu :
a. sebagai proses pengucilan, yakni perempuan dikucilkan dari kerja
upahan
atau dari jenis-jenis kerja upahan tertentu.

26

b. sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar
tenaga kerja, yakni kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja
pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup yang
tidak stabil; yang upahnya rendah ; atau yang dinilai tidak trampil.
c. sebagai proses feminisasi atau segregasi, yaitu dengan adanya
pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis-jenis pekerjaan
tertentu, bisa dikatakan bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut sudah
ter”feminisasi” (dilakukan

semata-mata oleh perempuan). Segregasi

di sini adalah pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan.
d. sebagai proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat,
yaitu marginalisasi menunjuk pada ketimpangan upah antara lakilaki dan perempuan ( Saptari, 1997:8-9 ).
Berdasarkan pada beberapa ketentuan di atas maka mengenai
deskriminasi wanita sampai sekarang

masih tetap ada, hanya

saja tidak separah yang dulu. Yang jelas, setinggi apapun kedudukan
wanita tidak akan lepas dari konsep kewanitaannya yang lemah.
Oleh karena itu, di masa sekarang ini muncul istilah peran ganda,
yakni selain tugas kodratnya mengurus rumah tangga juga dituntut
untuk ikut serta dalam mengisi pembangunan negara. Dengan
demikian, kaum wanita harus mampu menyelaraskan segala tugastugas.

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai beberapa
hal, antara lain; (1) jenis penelitian, (2) sasaran penelitian, (3) data
penelitian, (4) teknik pengumpulan data, (5) teknik analisis data, (6)
metode penyajian hasil analisis data.

A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah
pustaka, yaitu berasal dari kata telaah yang artinya penyelidikan;
kajian; penelitian, dan kata pustaka yang berarti kitab atau buku.
Jadi, telaah pustaka adalah suatu kegiatan meneliti atau mengkaji
sebuah buku atau lebih. Buku yang akan di telaah oleh peneliti
adalah buku karya sastra Jawa Klasik ( kuno ).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa langkah
secara berurutan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai
berikut :

28

B. Sasaran

Penelitian
Sasaran penelitian adalah pemahaman terhadap teks sastra

berjudul

Serat Pranacitra

yang

telah

dialihaksarakan

oleh

Suyamto, kemudian disunting oleh Slamet Riyadi dan Sri Widati
dan diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta pada tahun
1987. Sedang peneliti akan meneliti dua buku yang judulnya sama
yaitu Serat Pranacitra, yang satu dikarang oleh Hendrato pada tahun
1978

dan

yang

satunya

pengarangnya

tidak

menyebutkan

namanya jadi Anonim dibuat pada tahun 1956.
Penelitian ini
yang tersirat

berusaha mencari aspek etos kerja wanita

dalam cerita tersebut dan mencerminkannya dalam

kehidupan nyata di masa modern ini.

C.

Data Penelitian
Data dalam penelitian ini diambil dari teks Serat Pranacitra
seperti tersebut di atas. Teks ini masih berbentuk tembang, yakni
tembang tengahan dan tembang
meliputi:

Balabak,

macapat. Tembang tengahan

Dudukwuluh, dan Wirangrong.

Sedangkan

tembang macapat meliputi : Dhandhanggula, Kinanthi, Sinom,
Pocung, Pangkur, Gambuh, Asmaradana, Mijil, dan Maskumambang,
serta Durma. Jadi, jumlah seluruhnya ada 13 tembang yang masingmasing terdiri dari beberapa pada ( Bait ). Misalnya yang berbentuk
tembang Balabak ada 13 pada ( bait ), dudukwuluh ada 53 pada

29

( bait ), wirangrong terdiri dari 48 pada. Sedang yang berbentuk
tembang macapat seperti Dhandhanggula terdiri dari 206 pada
(bait) , Kinanthi terdiri dari 97 pada (bait), sinom terdiri dari 26
pada (bait), pocung terdiri dari 111 pada (bait), Pangkur terdiri
dari 104

pada (bait),

Gambuh

terdiri

dari

137

pada (bait),

asmaradana terdiri dari 79 pada (bait), mijil terdiri dari 112 pada
(bait), dan maskumambang terdiri dari 60 pada (bait), durma
terdiri dari 51 pada (bait). Namun begitu setiap gubahan satu
dengan yang lain kan berbeda jumlah pada pada tiap-tiap
tembang .
Berdasarkan pada sumber data ini, sebagai datanya adalah etos
kerja Rara Mendut yang dilukiskan melalui serangkaian peristiwa
dalam cerita.

D.

Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini. Cara yang pertama, peneliti melakukan kegiatan
membaca teks Serat Pranacitra

untuk memahami isi cerita, yakni

dengan cara menganalisis unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur
tersebut meliputi: alur, karakteritis, latar, dan tema serta amanat.
Cara kedua, peneliti membaca lagi isi cerita dengan tujuan
memusatkan perhatiannya pada aspek etos kerja wanita yang tersirat
di dalamnya. Bersamaan dengan kegitan ini, penulis melakukan

30

pengkodean atau memberi kode pada peristiwa-peristiwa yang
menyiratkan etos kerja wanita dengan cara memberi tanda silang.
Setelah itu, dari hasil pengkodean ditafsirkan sebagai kriterial
etos kerja wanita. Kemudian peneliti pencatatan itu, yang kemudian
menjadi data yang akan dibandingkan dengan etos kerja wanita masa
kini.
Kemudian merupakan tahap pemeriksaan kelayakan data maka
peneliti mengadakan pemahaman secara cermat mengenai kriteria
etos kerja tersebut berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan
masalah itu, yakni meliputi: pribadi masyarakat di Jawa, kebudayaan
Jawa yang dilukiskan dalam beberapa karya fiksi jawa.

E. Teknik Analisis Data
Membahas masalah perbandingan etos kerja antara Rara
Mendut yang tersirat dalam Serat Pranacitra dan wanita masa kini
maka data penelitian ini dianalisis menggunakan teori mimetik, yakni
teori yang menjelaskan hubungan karya sastra dengan kenyataan
( Teeuw, 1988:50 ).
Menurut teori ini, pada dasarnya karya sastra adalah dunia
yang diciptakan oleh pengarang berdasarkan pengetahuan dan
penafsirannya mengenai kenyataan hidup. Sehingga hal-hal yang
dilukiskan dalam karya sastra, seakan-akan merupakan cerminan
dari kehidupan yang nyata dalam suatu masa. Melalui unsur-unsur

31

pembentuknya, pengarang berusaha membangun dunia ciptaannya
menjadi cerita yang hidup.
Berdasarkan pada halis penafsiran terhadap kehidupan nyata
maka karya sastra di zaman dulu sering dijadikan sarana untuk
menyampaikan pengetahuan, amanat, petuah, atau teladan mengenai
hidup dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, karya sastra
juga menjadi alat untuk memahami tentang falsafah kehidupan,
misalnya falsafah kehidupan masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, Serat Pranacitra dalam penelitian ini dijadikan
sumber data yang sekaligus mewakili kondisi kehidupan masyarakat
Jawa pada zaman kerajaan Mataram, khusus mengenahi etos kerja
wanita yang terjadi pada masa itu.
Kaitannya dengan perbandingan etos kerja antar Rara Mendut
dan wanita masa kini maka dari data yang terkumpul, langsung
dibandingkan dengan keadaan etos kerja wanita dalam kehidupan
nyata sekarang ini. Adapun data mengenai etos kerja wanita masa
kini, langsung mengacu pada kenyataan yang terjadi di masa sekarang
ini dan beberapa hasil penelitian serta uraian-uraian mengenai
kehidupan wanita masa kini, baik yang termuat dalam buku ,
majalah , surat kabar dan sebagainya.

F. Metode Penyajian hasil Analisis Data

32

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode
formal dan metode informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini
disajikan secara informal yaitu merode penyajian hasil analisis data
yang menggunakan kata-kata biasa

atau sederhana agar mudah

dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar
mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Selain itu
juga disajikan secara formal melalui perumusan dengan tanda dan
lambing-lambang tertentu.

33

BAB IV
PEMBAHASAN SERAT PRANACITRA

A .Ringkasan cerita
Sawuse Mataram kasil ngalahke Pati, Tumenggung Wiraguna
kanugrahan sawernaning bandha jarahan saka Pati. Klebu ing kana,
yaiku para wanita kang sejatine kagungane Adipati Pragola. Kajaba
iku,

Wiraguna uga dadi kapitadosane Kanjeng Sinuhun, amarga

sanajan wis setengah luwih

yuswane, penjenengane tansah isih

prigel lan nyampurnani anggone tandang gawe.
Tumenggung Wiraguna suwe-suwe kesengsem karo salah
sijining wanita boyongan kang aran Rara Mendut. Wiraguna duwe
karep ngangkat dheweke dadi selire, nanging miturut kabare, Rara
Mendut

ora saguh

dad

selire

Tumenggung Wiraguna. Mula

Wiragung banjur nguda rasa marang Nyai Ajeng ngenani perkara
mau. Nyai Ajeng ora kabotan manawa garwane ngersakake selir,
malahan Nyai Ajeng uga kersa mbujuk Rara Mendut supaya gelem
dipundut garwa dening sang Tumenggung.

34

Nanging , sanajan Nyai Ajeng nganti kuwalahan anggone
mbujuk, Rara Mendut tetep ora owah saka prinsip awake dhewe.
Dadi, sanajan mung dadi wanita boyongan kang sejatine wis hake
Tumenggung
nampik

Wiraguna,

Rara Mendut

kanthi anteping ati wani

kersane Tumenggung Wiraguna. Malahan, menawa isih

tetep dipeksa, Rara Mendut angur milih mat i nelangsa tinimbang
dadi garwane Tumenggung Wiraguna.
Wiraguna sawuse mireng laporane saka Nyai Ajeng , banjur
duka lan ngedalake wadal

kanggo Rara Mendut kang wujude

pajeg telung reyal, kang kudu dibayar ing saben dinane. Kanthi
anane pajeg iki, Wiraguna nduwen i ancas supaya Rara Mendut
ngrasa kebotan anggone nglakoni.
Rara Mendut tetep ora owah saka pangucape . Dheweke tetep milih
mbayar pajeg, nanging dheweke nyuwun diparengake dodolan rokok ing
pasar Kawiramantren. Panyuwune Rara mendut iki, diparengake dening
Tumenggung Wiraguna. Kajaba iku , Tumenggung maringi dhuit
sepuluh reyal kanggo modal lan para punggawa cacah papat kanggo
ngrewangi Rara Mendut anggone dodolan.
Suwene dodolan ing Kawiramantren Rara Mendut ora ngira
menawa arep ketemu karo priya kang dadi idamane. Priya iku arane
Pranacitra, yaiku putra otang-antinge randha ing Batakenceng kang wis
kondhang sugihe. Dheweke wektu iku arep adu jago menyang
Prawiramantren, nanging sakdurunge tekan panggonane, Pranacitra

35

kang dietutake Blendheng lan Jagung mampir ing warunge Rara
Mendut. Wektu iku, antarane Rara Mendut lan Pranacitra padha tuwuh
rasa tresna. Kadadeyan iki mau, miturut firasate Rara Mendut bisa dadi
dalane dheweke owal saka Wiraguna . Mula, rikala Pranacitra netepi
janjine Rara Mendut , yaiku wis rampung anggone adu jago, arep
mampir tuku rokok maneh, Rara Mendut wis nyedhiakake rokok mligi
kanggo Pranacitra. Ing njerone rokok mau wis ditulisi ngenani lelakone
dheweke. Layang iki ana gegayutane karo kekarepane njaluk tulung
supaya Pranacitra gelem memba-memba dadi abdi ing Kawiragunan.
Dene Rara Mendut uga arep ngapusi menawa dheweke saguh dadi
garwane Tumenggung Wiraguna. Kanthi dalan iki, miturut ancase Rara
Mendut supaya dheweke bisa kerep ketemu karo Pranacitra.
Nyatane pancen bener , dheweke saben dina bisa ketemu kanggo
ngrasakake tuwuhing katresnan. Amarga Pranacitra dhewe banjur
dipercaya dening Wiraguna supaya dadi lurahe para punggawa. Dadi ,
tansaya bisa migunakake kalodhangan. Sawise iku , Pranacitra banjur
duwe krenteg arep mlayokake Rara Mendut saka Kawiragunan. Kanggo
nggampangake lakon , Pranacitra njaluk tulung marang para punggawa
supaya melu ngamanake lakune. Saben

punggawa diwenehi dhuwit

ngrongatus reyal dening Pranacitra minangka upahe.
Nanging , lelakone durung mujur. Rikala dheweke isih leren ing
omahe Pak Bekel , utusane Wiraguna kasil ngonangi. Wektu iku, Rara
Mendut banjur digawa menyang Kawiragunan , dene Pranacitra kasil

36

nerusake lakune. Nanging, sakdurunge wis janji menawa arep methuk
Rara Mendut ing wayah wengi.
Sawise tekan Kawiragunan , Rara Mendut banjur diajar dening
Tumanggung nganti babak belur lan memelas sambate. Dheweke wis ora
sabar nunggu tekane Pranacitra. Mula , kira-kira wis meh tekan titi
wancine dipethuk , dheweke nyiapake awake kang isih krasa lara . Dadi ,
rikala wengi tekane Pranacitra, dheweke wis sumadiya. Nyatane pancen
ngono , bareng Pranacitra wis teka , Rara Mendut banjur dibopong
alon-alon lan digawa mlayu menyang sajabaning tlatah Jawa. Rara
Mendut kasih digawa mlayu amarga saka pambiyantune para punggawa
Kawiragunan. Mula , Pranacitra banjur ngendum dhuwit ngrongatus
reyal saben wong.
Nanging, lelakone tansah mrangguli alangan. Merga
Tumenggung pirsa kedadean iku, kanthi muntabing rasa banjur ngutus
para bala tentara Mataram supaya nangkep Pranacitra lan Rara
Mendut. Dene Pranacitra lan Rara Mendut kasil ditemokake rikala
dheweke lagi nyebrang kali Oya. Wong loro iku sawuse ketangkep banjur
dibanda dadi siji lan diarak rame-rame menyang Wiragunan. Bareng wis
tekan Wiragunan, wong loro iku diaturake marang Tumenggung
Wiraguna. Amarga Wiraguna wis ora sabar arep ngenteki Pranacitra,
mula rikala pirsa wujude wong loro kang tansah asih kinasihan tanpa
ngelingi kahana ing sekitare, Tumenggung karo rasa gregeten ndhawuhi
abdine supaya nggawa Rara Mendut mlebu ing kamar sisih wetan. Dene

37

Pranacitra banjur dibukake keris pusakane lan dicublesake ing
dhadhane wong bagus mau. Pranacitra sanalika njerit kanthi nyebut
arane Rara Mendut. Krungu swara mau, Rara Mendut metu nyedhaki
asale swara mau. Ngerteni kahanane Pranacitra kang wis diperjaya
dening Wiraguna, dheweke banjur nerjangake awake ing kerise
Wiraguna kang isih kebukak ing astane. Rara Mendut ambruk ing
sandhinge Pranacitra lan ora suwe wong loro mati bebarengan.
Tumenggung Wiraguna mersani kedadean mau banjur rumangsa
salah lan getun. Dheweke lagi wae bisa nglengganani maknane tuhune
katresnan. Mula, dheweke banjur duwe niyat arep mujudake kekarepane
wong loro mau, yaiku dikubur sakluwangan.
B. Alur
Alur cerita Serat Pranacitra terjadi secara kronologis, yakni
serangkaian peristiwa yang dilukiskan terjadi secara berurutan
dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa ini terjadi menjadi
beberapa bagian, yakni bagian yang membentangkan munculnya
masalah, bagian yang melukiskan bahwa peristiwa sudah mulai
pada perkembangan masalah ke arah masalah berikutnya, bagian
memuncaknya masalah yang terjadi , dan bagian yang merupakan
penyelesaian dari masalah yang ada. Adapun uraian bagian-bagian
alurnya sebagai berikut :
Peristiwa yang melukiskan latar belakang munculnya masalah
dalam

serangkaian

cerita

adalah

kemenangan

Mataram pada

38

waktu menundukkan Pati. Akibatnya, Wiraguna yang dinilai oleh
Kanjeng Sinuhun banyak berperan dalam peperangan itu maka ia
dianugrahi sejumlah

harta benda jarahan dari Pati, termasuk di

dalamnya adalah wanita boyongan

yang juga diserahkan kepada

Wiraguna sebagai hadiah. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi bupati
dan menjadi orang yang paling disegani oleh Kanjeng Sinuhun.
Peristiwa

kemenangan

Mataram itulah yang kemudian

menjadi latar belakang terjadinya masalah. Masalah yang muncul
adalah keinginan Wiraguna mengangkat salah satu

dari keempat

wanita boyongan yang diserahkan kepadanya, yaitu Rara Mendut
menjadi selirnya. Tetapi, menurut informasi, Rara Mendut tidak
bersedia. Sedangkan Wiraguna

tetap mengharapkannya. Keadaan

cerita yang seperti ini, akhirnya

menjadi pangkal bergeraknya

masalah menuju pada masalah yang berikutnya.
Wiraguna masih belum menyerah untuk mempersunting Rara
Mendut.

Kemudian,

beliau

meminta

kepada

istrinya

supaya

membujuk Rara Mendut. Ternyata istrinya tidak keberatan untuk
menjalankan perintah suaminya. Sebagai istri yang setia dan sangat
patuh

terhadap

mempersunting

suaminya,
wanita

lain,

Nyai

Ajeng

merelakan

suaminya

bahkan Nyai Ajeng menghimbau

kepada suaminya agar Rara Mendut jangan hanya dijadikan selir,
tetapi sekalian diangkat menjadi istri saja. Dengan harapan supaya
Rara Mendut dapat memberikan keturunan kepada Tumenggung

39

Wiraguna, karena selama menjalani bahtera dengannya, ia belum
juga memberikan keturunan. Oleh kerana itu, Nyai Ajeng dengan
semangat

berusaha

membujuk Rara Mendut supaya bersedia

menjadi istri Tumenggung Wiraguna.
Namun, usaha Nyai Ajeng pun tidak membuahkan hasil,
karena

Rara

Mendut masih

tetap

pendiriannya.

Bahkan

ia

mengatakan bahwa ia rela mati jika tetap dipaksa menjadi istri
Tumenggung Wiraguna . Meskipun dia sendiri juga menyadari bahwa
dirinya hanya wanita boyongan yang telah menjadi hak Tumenggung
Wiraguna, tetapi ia berani mempertahankan keinginan diri sendiri.
Maka karena jengkelnya, ia berani mencaci maki Tumenggung.
Caci makian Rara Mendut itu membuat Nyai Ajeng merasa
tersinggung. Akhirnya, ia langsung melaporkan kegagalannya dalam
membujuk Mendut. Mendengar berita itu Tumenggung marah dan
merasa

terhina,

karena Mendut berani menolak lamarannya.

Karena sangat marah Tumenggung menjatuhkan hukuman kepada
Mendut

berupa pembayaran

pajak sebesar

tiga

reyal

setiap

harinya. Harapan Tumenggung dengan jalan ini Mendut akan merasa
keberatan sehingga secara tidak langsung ia harus mau dijadikan
istrinya.
Kenyataannya meleset dari dugaan Tumenggung. Mendut
justru

memilih

menjalani

hukuman

daripada

menjadi

istri

Tumenggung. Rara Mendut memohon diperbolehkan berjualan rokok

40

buatannya sendiri di Kawiramantren. Akhirnya permohonan Mendut
dikabulkan bahkan, Mendut mendapat uang supaya digunakan untuk
modal jualan rokok sebanyak 10 reyal.
Selama Mendut berjualan di Kawiramantren, peristiwanya
melukiskan alur yang mulai bergerak mengarah pada peristiwa
yang sengit. Peristiwa ini dipenuhi dengan kisah pertemuan Mendut
dengan

Pranacitra. Pertemuan

mereka

waktu Pranacitra

akan

pergi mengadu ayam di Kawiramantren, Pranacitra singgah untuk
beristirahat di warung Mendut. Dengan pandangan pertama Mendut
jatuh

hati kepada Pranacitra, ungkapan rasa cinta Mendut

diutarakan melalui gulungan rokok yang dibeli Pranacitra. Dalam
suratnya pula Mendut bercerita tentang Tumenggung Wiraguna dan
Mendut

bermaksud

minta

tolong

kepada

Pranacitra

untuk

melepaskan dirinya dari cengkeramannya Tumenggung Wiraguna.
Yaitu dengan cara Pranacitra berpura-pura mengabdi kepada
Tumenggung, sementara Mendut

sendiri

pura-pura

bersedia

manjadi diperistri Wiraguna.
Keinginan Mendut dipenuhi oleh Pranacitra. Akhirnya
Pranacitra berhasil menjadi abdi pada Tumenggung malah Pranacitra
dipercaya menjadi lurah dari para punggawa Kawiragunan, dengan
demikian Mendut mudah untuk bertemu dengan Pranacitra. Sampai
akhirnya mereka bisa melarikan diri dari Kawiragunan. Selama
peristiwa itu terjadi keadaan Kawiragunan gempar karena hilangnya

41

Mendut. Peristiwa ini melukiskan alur yang memuncak, karena dilihat
dari kemarahan Tumenggung mengarah ke klimaks.
Tetapi akhirnya usaha Mendut dan Pranacitra untuk melarikan
diri bisa diketemukan, kemudian mereka berusaha melarikan diri
yang kedua kalinya, namun usaha yang terakhir ini diketahui oleh
Tumenggung. Kemudian Tumenggung mengarahkan semua bala
tentara Mataram untuk menangkapnya. Yang akhirnya Mendut dan
Pranacitra bisa ditangkap waktu akan menyeberang sungai Oya.
Tumenggung Wiraguna tidak dapat menahan emosinya dan beliau
sudah tidak sabar lagi ingin membunuh Pranacitra. Waktu peristiwa
itu berlangsung tentunya suasana menjadi tegang.
Pranacitra akhirnya diikat tangannya dan Mendut dibawa ke
kamar. Semantara itu Wiraguna ingin membunuh Pranacitra dengan
tangannya sendiri, menggunakan keris pusakanya. Bersamaan dengan
itu Pranacitra menjerit memanggil Mendut. Mendut kemudian lari ke
luar dari kamar dan menghampiri Pranacitra, akan tetapi Pranacitra
sudah

terkapar

karena

hunusan

keris

Tumenggung.

Melihat

Pranacitra mati terbunuh, Mendut menerjang pada keris Tumenggung
yang masih terbuka belum disarungakan kembali ke warangkanya
yang digenggam Wiraguna. Akhirnya pun Mendut tergeletak
mennghembuskan nafasnya yang terakhir di samping Pranacitra
kekasihnya.

42

Kematian Pranacitra dan Mendut marupakan penyelesaian dari
perkembangan masalah yang terjadi dalam serangkaian peristiwa
yang digambarkan. Dengan demikian cerita ini berakhir dengan
kesedihan.

Akibatnya dari peristiwa ini Tumenggung menyadari

bahwa cinta dan kesetiaan itu tidak dapat dipaksakan dan Pranacitra
dan Mendut adalah cinta sejati. Pranacitra dan Mendut dikubur
dalam satu liang.
Berdasarkan peristiwa yang kronologis maka alur cerita Serat
Pranacitra ini dinamakan alur linier . Sedangkan tema yang tersirat
di dalamnya adalah kisah percintaan sepasang muda-mudi yang
mengalami perjuangan.

C. Karakter dan Karakterisasi
Berdasarkan pada alur cerita Serat Pranacitra maka termasuk
tok