PERBANDINGAN ETOS KERJA WANITA DALAM BUK
1
PERBANDINGAN ETOS KERJA ANTARA
TOKOH WANITA DALAM SERAT PRANA CITRA
DAN WANITA MASA KINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Judul
Serat Pranacitra,adalah karya sastra Jawa berbentuk roman
( Subalidinata 1994:68 ).. Sebagai karya satra klasik, cerita ini disusun
dalam bentuk tembang macapat oleh juru tulis kraton Surakarta di
bawah pemerintahan Paku Buana V, menjadi buku bacaan untuk
mengisi waktu bagi para abdi dalem kraton yang sedang libur
( Hendrato, 1978:9 ). Serat Pranacitra digemari oleh masyarakat
banyak, karena dengan tema percintaannya menyiratkan nilai sosial
budaya yang dapat dijadikan teladan bagi kehidupan masyarakat. Di
antara nilai yang dapat menjadi teladan adalah sikap seorang
tokoh wanita yang mempunyai etos kerja tinggi. Sikap etos kerja
wanita itu tampak pada Rara Mendut, seorang wanita boyongan dari
Pati yang diserahkan kepada Tumenggung Wiraguna.
Mengenai keberadaan Serat Pranacitra, cerita ini berawal
dengan ditundukkannya pemerintahan Pati oleh Mataram di bawah
pimpinan
Sri
Sultan
Anyakrakusuma.
Akibatnya,
Mataram
2
mempunyai
hak
merampas
masyarakatnya, termasuk
boyongan.
Kemudian
menghadiahkan
hasil
,
seluruh
didalamnya
Kanjeng
tersebut
kepada
harta
kekayaan
dan
adalah
empat
putri
Sinuhun
para
bermaksud
abdinya
sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya. Wiraguna pada kesempatan ini
mendapat
hadiah
yang
terbanyak, bahkan
keempat wanita
boyonganpun dianugerahkan kepadanya. Oleh Kanjeng Sinuhun ,
dia dinilai begitu besar jasanya dalam perjuangan menundukkan
Pati. Selain itu, dia juga dipercaya menjadi bupati Mataram dan
sekaligus
menjadi
orang
yang
paling disegani oleh Kanjeng
Sinuhun.
Tumenggung Wiraguna sebagai orang yang dipercaya oleh
Kanjeng Sinuhun, berhasrat mengangkat salah satu dari keempat
wanita
boyongan menjadi
istrinya. Wanita
itu bernama Rara
Mendut. Namun , menurut informasi Rara Mendut tidak bersedia
diperistri olehnya, karena selain sudah tua, Wiraguna juga tidak
menarik simpatinya, walaupun Wiraguna sebenarnya meskipun sudah
tua tetapi masih besus atau pandai bersolek ataupun memelihara
tubuh, akan tetapi apa dikata kalau hati sudah tidaklah cinta walau
bagaimanapun tetap tidaklah mau jua.
Tumenggung setelah mendengar lamarannya ditolak, ia langsung
marah - marah dan merasa sangat
terhina. Kemudian Wiraguna
menjatuhkan hukuman kepada Rara Mendut berupa pajak sebesar
3
tiga reyal setiap harinya. Hal itu dilakukan dengan harapan agar
Rara Mendut merasa keberatan dan secara langsung harus bersedia
diperistrinya.
Akan tetapi kenyataannya lain, Rara Mendut justru
memilih menjalani hukuman daripada harus diperistri Wiraguna.
Kemudian dia mohon ijin kepada Tumenggung
supaya ia
diperbolehkan berjualan rokok di pasar Kaprawiramantren.
Permintaan itu dikabulkan oleh Tumenggung, bahkan ia juga
memberi uang sebesar 10 reyal sebagai modal. Pekerjaan ini terus
dilakukan Mendut, sampai akhirnya ia menemukan seorang laki –
laki yang mana akhirnya dengan pandangan pertama Mendut
bisa
merasakan
jatuh
hati walau baru pertama kali mereka
bertemu.
Dalam pertemua dengan laki – laki pujaan hatinya itu Rara
Mendut
punya
pikiran
untuk
mencari
jalan
keluar
dari
permasalahannya.
Pelukisan etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra
, menggambarkan bahwa pada masa itu telah terjadi perubahan
budaya, di mana wanita sudah tidak lagi terbatas
aktifitasnya.
Meskipun wanita bekerja di luar rumah waktu itu masih dinilai
tidak etis, tetapi Mendut telah berani mendobraknya, hanya
karena Mendut ingin mempertahankan haknya dan ingin menentang
keinginan Tumenggung Wiraguna. Kondisi
yang
seperti
itu,
4
akhirnya sampai sekarang masih berlangsung. Bahkan pada masa
sekarang ini wanita juga dituntut untuk berperan aktif dalam
pembangunan
bangsa. Oleh
karena itu, kaum
wanita
bekerja
bukan lagi hal asing. Bahkan pada masa sekarang ini wanita
dibudayakan dengan bekerja. Hal ini disebabkan antara lain oleh
perkembangan jaman yang terus mengikuti arus globalisasi sehingga
sektor industri yang semakin meningkat menuntut kaum wanita
untuk berperan serta. Banyak tenaga, pikiran kaum wanita
diperlukan bahkan sangat penting dalam bidang industri. Selain itu
kaum
wanita
zaman
sekarang
dituntut
untuk
membantu
meningkatkan perekonomian Bangsa, serta ekonomi dalam rumah
tangganya masing- masing.
Mengingat adanya kelangsungan terhadap sikap etos kerja
pada kaum wanita , seperti
dilukiskan
dalam
cerita
sampai
sekarang ini, penulis tertarik untuk mengkaji perbandingan antara
etos kerja yang ada pada diri Mendut dan kaum wanita pada masa
sekarang ini, di mana keberadaan kaum wanita sekarang banyak
mendapat perhatian dari beberapa ahli. Kaitannya dengan Serat
Pranacitra, sampai seberapa jauh cerita itu melukiskan keberadaan
tokoh Rara Mendut pada masa itu. Dengan cara menghubungkan
antara etos kerja wanita dalam kehidupan nyata sekarang ini, maka
disusunlah skripsi dengan judul “ Perbandingan Etos Kerja Antara
Tokoh Wanita dalam Serat Pranacitra dan Wanita Masa Kini . “
5
6
Etos kerja pada diri Rara Mendut tumbuh karena adanya
tekanan dalam dirinya karena ia tidak bersedia diperistri
oleh
Tumenggung Wiraguna serta mempertahankan haknya sebagai
manusia yang bebas tanpa kekangan dari siapapun. Kebulatan
tekadnya untuk menolak lamaran dari Tumenggung, membuatnya
semakin berani mengambil resiko. Dengan kenyakinannya, ia tetap
teguh dalam berpendirian. Oleh karena itu, ia memutuskan berjualan
untuk memperoleh sejumlah uang guna membayar pajak. Dalam
dirinya tidak ada lagi pandangan yang bersifat negative terhadap
aktifitas kaum wanita di luar rumah. Walau memang zaman dulu
wanita masih dianggap menentang akan tradisi apabila ke luar rumah
untuk beraktivitas atau melakukan suatu pekerjaan, apalagi yang bias
menghasilkan uang ataupun keuntungan. Jadi,
bekerja
kasar atau
meskipun
harus
pekerjaan yang bersifat tradisional, ia tetap
bersemangat dalam menjalaninya. Harapannya, dengan
usaha
tersebut dapat mempertahankan keinginan hatinya. Mendut bisa
merasa bebas tanpa kekangan ataupun merdeka tanpa ada ikatan –
ikatan tertentu walaupun dia juga sadar kalau dirinya adalah putri
boyongan yang telah menjadi hak milik Tumenggung Wiraguna, dan
dia juga sadar kalau Wiraguna bisa berbuat apapun pada dirinya,
namun dia tidak punya rasa ngentar sedikitpun.
Namun, wanita sekarang berbeda dengan yang dulu. Jika
wanita bekerja
pada zaman
dulu masih tabu, sedangkan kaum
7
wanita sekarang justru diarahkan supaya mampu berperan sejajar
dengan kaum pria. Padahal jika ditinjau dari
segi kodratnya,
antara wanita di zaman dulu dan sekarang sama, yakni sebagai wanita
yang
mempunyai
tangga.
tanggung jawab di
dalam
mengurus rumah
Berdasarkan pada pelukisan sikap etos kerja pada tokoh
Rara Mendut dalam Serat Pranacitra dan sikap etos kerja wanita
dalam kehidupan nyata dewasa ini, tentunya akan memberi corak
sendiri
sesuai
dengan
latar
belakang
budaya
yang
melatarbelakanginya. Keadaan yang bagaimanakah yang dapat
membedakan
kedua
etos
kerja
tersebut?
Berdasarkan
pada
permasalahan ini maka muncul masalah-masalah seperti berikut ini.
B. Batasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan agar tidak terlalu meluas,
maka perlu dijelaskan batsan objek kajian. Hal ini dimaksudkan
untuk memudahkan dan membantu dalam penelitian terutama dalam
menganalisa data, dalam kaitannya dengan penelitian ini. Masalah
dibatasi pada istilah etos kerja tokoh wanita dalam Serat Pranacitra.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dalam penelitian
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Seperti apakah etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra?
8
2.
Bagaimanakah perbandingan etos kerja antara Rara Mendut dan
wanita masa kini?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggali etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra
2. Membandingkan etos kerja antara Rara Mendut dan wanita masa kini.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis dan praktis.
1. Memberikan sumbangan pengetahuan tantang karya sastra Jawa
klasik, khususnya mengenai nilai etos kerja yang tersirat dalam Serat
Pranacitra.
2. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang fungsi etos kerja wanita
dalam kehidupannya.
3. Memberika mitovasi kepada kaum wanita untuk mengembangkan
potensi yang dimikinya.
F. Sistematika Penulisan.
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Pemyajian
kelima tersebut dengan sistimatika sebagai berikut :
Bab pertama Pendahuluan, terdiri dari Alasan Pemilihan Judul,
Pembatasan Masalah, Rumusan masalahan, Tujuan
Manfaat Penelitian, dan Sistematika.
Penelitian,
9
Bab dua Landasan Teori, terdiri dari Hakikat Karya Sastra Jawa
Klasik, Perkembangan Sastra Jawa, Unsur-Unsur Pembangun Fiksi,
Hakikat Etos Kerja, dan Pandangan Hidup Masa Kini.
Bab tiga Metode Penelitian, bab ini berisi jenis penelitian, data
dan
sumber penelitian, metode pengumpulan data metode, dan
metode penyajian hasil analisa data.
Bab empat Pembahasan Serat Pranacitra, terdiri dari Ringkasan
Cerita, Alur cerita,
Karakter dan Karakterisasi, dan Latar atau
tempat terjadinya cerita dan waktu terjadinya cerita, Perbandingan
Etos Kerja antara Rara Mendut dalam Serat Pranacitra dan Wanita
Masa Kini.
Bab lima Penutup, terdiri dari Simpulan dan Saran.
Penelitian ini dilengkapi pula daftar pustaka dari beberapa
referensi yang dijadikan acuan dalam penulisan skripsi.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori di sini maksudnya adalah dasar atau
landasan
bersifat
teoretis
yang
relevan
permasalahan yang diangkat dalan penelitian
dengan pokok
ini. Konsep-konsep
teoritis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai
berikut
A. Hakikat Karya Sastra Jawa Klasik
Sastra Jawa merupakan karya sastra yang menggunakan
bahasa
Jawa, dalam hal ini si pengarang biasanya menggunakan
bahasa jawa kuna atau sansekerta sebagai media penulisannya .
Sedangkan klasik
adalah karya sastra kuno yang bermutu tinggi
( adi luhung ) dan dijadikan ukuran nilai suatu karya sastra serta
bersifat abadi . Jadi, berdasarkan dua definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa karya sastra Jawa klasik adalah karya sastra yang
berbahasa Jawa, ( Jawa kuna atau bahasa sansekerta ) untuk
memperindah bentuk kata dan kalimat dalam sebuah karya sastra
dan mempunyai nilai adiluhung dengan mutu yang tinggi.
11
Berdasarkan pada sifatnya yang adiluhung maka
karya
sastra itu selalu menarik kegemaran pembaca dari masa ke masa.
Keberadaan
karya sastra Jawa klasik di tengah masyarakat
tradisional
benar-benar
merupakan
alat
penting
untuk
mempertahankan model dunia yang sesuai dengan adat istiadat
dan pandangan dunia konvensional pada masa itu serta untuk
menanamkan
dan
pada angkatan
muda tentang kode tingkah laku
kode etik ( Teeuw, 1983:8 ). Menurut peneliti dalam sebuah
karya sastra
menanamkan kode etik
atau
tingkah
laku
pada
generasi muda maksudnya untuk pelajaran agar bisa intropeksi
dan mawas diri serta menyesuaikan kode etik bangsa kita yaitu
bangsa timur yang penuh dengan tata karma dan sopan santun.
Karena karya sastra adalah cerminan dari tingkah laku kehidupan
yang nyata ( kenyataan ). Seorang pengarang akan mencerikan atau
akan menulis sebuah karya
sastra mestinya pelajaran dan
pengalaman apalagi menghadapi kenyataan hidup yang dianggap
pantas dan baik untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra.
Selain dari pengalaman dan kenyataan hidup yang dihadapi namun
kata-kata
yang digunakan pun harus selaras dengan
Biasanya pengarang menggunakan kata-kata
yang
suasana.
puitis agar
masyarakat mau membaca dan memahami isi dari karya sastra
tersebut.
12
Selain itu, Teeuw juga menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam
bentuk roman, penulis
dengan sengaja atau
tidak membiarkan
pembaca kembali mengenal banyak apa yang pembaca ketahui
dari dunia nyata dimasukkan dalam penafsiran sebuah roman.
Sedangkan menurut
Mulder ( 1985:72 ),
bahwa
pengarang
seringkali membentangkan struktur pemikiran, yakni klasifikasiklasifikasi
setengah
sadar
yang mendasarinya dan yang
menerangkan kehidupan sehari-hari di masyarakat melalui karya
sastranya.
Jadi,
berdasarkan beberapa pendapat itu
dikatakan bahwa pada dasarnya
keberadaan karya sastra
zaman dahulu secara tidak langsung
dengan
pendekatan
kehidupan
mimetik,
semesta atau
nyata seperti
yaitu
menjelaskan
antara karya
ini disebut
pendekatan yang
hubungan
pada
melukiskan kehidupan
masyarakatnya. Pandangan yang manghubungkan
sastra
dapat
dengan
menitikberatkan
karya sastra
dengan
kenyataan ( Teeuw,1988:50 ).
Kaitannyan
dengan
teori mimetik,
Aristoteles
yang
menyangkal pendapat dari Plato yang berpendapat bahwa pada
dasarnya penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan
manusia yang
nyata atau peristiwa sebagai mana adanya. Tetapi,
seniman menciptakan dunia sendiri, dunia sastra merupakan
kontraksi,
perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata
atau mencerahi segi dunia nyata tertentu. Sehingga karya sastra
13
menurutnya menjadi saran pengatahuan yang khas, cara yang unik
untuk
situasi
membayangkan
manusia
pemahaman
yang
tidak
tentang
aspek
atau tahap
dapat diungkapkan
dan
dikomunikasikan dengan jalan lain ( Teeuw, 1988:222 ). Jadi, seperti
yang dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya teori mimetik
adalah menganggap karya seni sebagai pencerminan , peniruan
ataupun pembayangan realitas. Sehubungan dengan kenyataan ini
maka perbandingan seorang tokoh atau suatu gejala alam dengan
lukisan atau gambaran adalah perbandingan yang terjadi di manamana, sehingga norma keindahan yang diakui oleh masyarakat
tertentu
terungkap
dalam
karya seni, yang
kemudian dipakai
sebagai tolak ukur untuk kenyataan. Dengan adanya karya sastra
masyarakat akan bisa intropreksi diri , karena karya sastra adalah
bayangan kehidupan diri kita sendiri. Walau kenyataannya tidak
semua karya sastra itu adalah cerminan namun dengan adanya
beberapa karya sastra yang menggambarkan kenyataan hidup ini
kita sebagai masyarakat yang mengetahuinya harus sadar dan
tanggap dengan semua ini.
Salah satu contoh mengenai penggambaran kehidupan
masyarakat dalam
sastra Jawa klasik adalah keberadaan seorang
wanita. Di mana wanita pada zaman dahulu mempunyai karakter
tersendiri untuk mempertahankan
keberadaannya. Seperti dalam
Serat Panitisastra yang merupakan gubahan dari karya sastra Jawa
14
Kuna oleh Paku Buana V mengupas masalah wanita yang cukup
berarti ( Sudewa, dalam Susanto 1992:40 ). Begitu juga pada Serat
Pranacitra, cerita ini bersumber dari cerita lisan yang
ditulis
menjadi
kemudian
buku oleh juru tulis kraton Surakarta dalam
bentuk tembang macapat ( Hendrato, 1978:9 ). Di zaman Mataram
sampai ada peninggalan candi yang bernama Candi Mendut,
dengan
demikian
pendapat dari Hendrato ada
cerita itu mungkin
adalah kenyataan zaman
dibuat oleh seseorang
kraton
dijadikan
dijadikan
bacaan
yang waktu
sebuah
di
itu dan
kemudian
itu masih tergolong kerabat
karangan
kalangan
benarnya sebab
atau karya
kraton
itu
sastra
sendiri
di
dan
kala
senggang.
Serat Pranacitra
termasuk karya sastra klasik, telah
mengalami beberapa kali pembaharuan. Misalnya, oleh Ajib Rosidi
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul
Sebuah
cerita
Roro Mendut:
klasik Jawa, sedangkan Y. B. Mangunwijaya
mengubah dengan versi baru menjadi cerita Trilogi : Roro Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri ( Santoso, 1993:43 ).
Terjadinya beberapa usaha tranformasi sastra klasik ini,
menujukkan
bahwa
sastra Jawa
klasik
jauh lebih tinggi
dibandingan sastra Jawa modern ( Pradopo, 1993:33 ). Menurutnya,
karya sastra Jawa klasik dipandang mempunyai kedudukan sosialekonomi-budaya
yang
tinggi
sehingga tidak sedikit dari para
15
peminat sastra Jawa cenderung tertarik membahas bentuk-bentuk
karya
sastra
Jawa
klasik.
Ketertarikan
ini disebabkan
oleh
estetika sastra Jawa yang selalu berdasarkan pada kekuatan imajiimaji sastranya yang berakar pada kepribadian Jawa. Oleh sebab
itu, pada
umumnya sastra Jawa menggambarkan falsafah hidup
orang Jawa, di mana di samping sebagai alat hiburan juga sebagai
sarana pendidikan yang bersifat filosofis dan mengakar pada
kepribadian masyarakat Jawa.
Sehingga karya sastra sangatlah
bermanfaat bagi bagi generasi masa kini ataupun yang akan datang,
karena karya sastra ataupun karya seni adalah tuntunan ataupun
contoh untuk anak-anak muda zaman sekarang, walaupun sedikit
sekali generasi sekarang yang mau mempelajari bahkan membaca
saja tidak akan mau, karena generasi zaman sekarang lebih
senang melihat dan tidak mau berusaha mempelajari
sendiri.
Apalagi karya sastra klasik biasanya berbentu tembang dan katakatanya
menggunakan
bahasa
jawa kuna ataupun
sansekerta
paling tidak menggunakan kata- kata yang rinengga artinya kata –
kata
bahasa jawa yang diperindah sehingga generasi sekarang
tidak tahu makna dan artinya.
Adapun merupakan ciri khas bentuk dari sastra Jawa klasik
adalah
selalu
turun-temurun
terikat oleh
dari
patokan-patokan yang ditaati secara
generasi
sebagaian besar digubah
dalam
ke generasi. Bentuk
sastra ini
bentuk tembang macapat ( Ras,
16
1985:4 ). Oleh karena itu, dalam bentuk sastra ini sering digunakan
kata-kata puitis dan segala jenis akraisme sehingga memungkinkan
adanya konvensi yang mengatur perpanjangan atau perpendekan
kata-kata
yang menyimpang dari kaidah bahasa agar dapat
memenuhi kebutuhan irama atau mantra. Selain itu, dalam setiap
pemilihan
mantra juga
memiliki
pola
lagu sendiri-sendiri
tergantung pada isinya, misal didaktik, teguran, nasehat, serius,
cinta asmara, nada keras, dan sebagainya.
Berdasarkan latar
belakang seperti ini maka masyarakat pada zaman dulu lebih
menyukai bentuk puisi, karena menurut mereka bentuk prosa
dianggap hanya sekedar apa adanya sehingga sastra klasik banyak
yang berbentuk puisi.
B. Perkembangan Sastra Jawa
Karya
berbagai
sastra Jawa dalam perkembangannya mengalami
proses sehingga sastra Jawa ini dinamis untuk dapat
meneruskan
kehidupannya. Dengan
adanya
satu bentuk bahasa
Jawa maka ada istilah yang memisahkan bahasa Jawa menjadi tiga
bagian, yakni kuno, pertengahan, dan baru. Oleh karena
perkembangan
sastra
perkembangan bahasa.
Jawa terbagi
Jawa
secara
Jadi, menurut
tidak
langsung
itu,
mengikuti
perkembangannya
sastra
menjadi tiga kelompok juga dan masing-masing
mempunyai ciri khas sendiri-sendiri
17
Pergeseran dalam sastra Jawa sebagai dinamika untuk dapat
melanjutkan kehidupannya adalah bentuk kelanjutan sastra Jawa.
Sastra Jawa Kuno yang ada pada masa awal abad IX a khirnya
tergeser sejalan dengan keadaan masyarakat Jawa yang berganti
kerajaan.
Dalam
merupakan
Jawa
perjalanan
selanjutnya,
kerajaan
Majapahit
tonggak dimulainya sastra Jawa. Bahasa dan budaya
Kuno dalam sastra Jawa ini banyak dipengaruhi oleh
bahasa dan budaya Sansekerta sehingga terlihat dominasi masa
Sansekerta dalam kehidupan
Jawa Kuno. Dengan demikian
masyarakat Jawa pada masa ini perlu napas baru dalam budaya
maupun sastranya.
Napas baru
dalam sastra Jawa mampu menggeser sastra
Jawa Kuno, yang kemudian dinamakan sastra Jawa pertengahan.
Pada
masa ini penggunakan bahasanya tidak lagi menghitung
panjang pendek vocal dalam kata-katanya. Selain itu, isinya
mempunyai berbagai keunikan tersendiri, yakni lebih banyak
mengungkapkan masalah manusia pada umumnya, baik di kalangan
kerajaan atau kalangan masyarakat biasa. Yang tergolong sastra
tengahan ini misalnya Pararaton, Calon Arang, Sudamala dan Panji.
Setelah Majapahit runtuh, sastra Jawa terus bergeser
mengikuti
perjalanan
kerajaa
yang
berkembang
setelah
Majapahit, yakni kerajaan Demak. Sastra Jawa pada periode ini
lebih
lazim
disebut
sastra
Jawa
baru.
Karya
Sastra
yang
18
menggunakan
bahasa
Jawa
baru
ini
keislaman. Jadi, sastra Jawa bukan
cenderung
bernafaskan
saja berisi tentang masalah
kehidupan masyarakat dan kerajaan, tetapi juga berisi tentang
keagamaan terutama keislaman dengan rukun Islam dan sejarah
Nabi,
karya sastra pada masa ini, misalnya Suluk, Primbon, dan
buku-buku Babad.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sastra Jawa baru
mengalami masa puncaknya ketika kerajaan beralih ke Kartasura
sampai pada zaman kerajaan Surakarta. Pada masa ini sastra Jawa
memiliki pemikir dan penulis yang sangat terkenal baik di kalangan
masyarakat
maupun
di
kerajaan,
yakni
Yasadipuro
dan
Ronggowarsito. Kedua pujangga ini banyak menghasilkan karya
sastra Jawa baru dan
sekaligus menulis kembali karya sastra
Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru.
C. Unsur- Unsur Pembangun Fiksi
Keberadaan karya sastra dalam suatu masa merupakan hasil
kreatifitas
pengarang. Pengarang dalam menciptakan karyanya
sering tidak terlepas dari pengalaman hidupnya. Adapun diantara
faktor yang mempengaruhinya adalah latar belakang masyarakat,
tingkat pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut
sangat menentukan corak dari karya sastra dan akan
menjadi ciri khas suatu karya satra tertentu. Oleh sebab itu, dalam
19
sastra terdapat
golongan karya sastra yang bermutu tinggi dan
bermutu rendah.
Penggolongan karya sastra yang dapat dikatakan bermutu
atau tidak, dapat dianalisis berdasarkan tingkat kemampuan
pengarang
dalam
mengolah
unsur-unsur
pembentuk
secara
proposional. Jadi, pada umumnya karya sastra terlahir berdasarkan
unsur-unsur pembentuknya.
Sejalan
dengan
pembahasan ini,
penulis mengacu pada teori Raminah ( 1985:9 ) yang menyebutkan
bahwa karya fiksi memiliki struktur atau yang disebut segi-segi
intrinsik, yakni unsur-unsur yang membangun dari dalam. Unsurunsur tersebut terdiri dari:( 1 ) perwatakan; (2) tema dan amanah; (3)
alur atau plot; (4) latar dan gaya bahasa; (5) pusat pengisahan. Jadi
pada dasarnya semua karya sastra itu mempunyai nilai mutu yang
bertingkat-tingkat tinggal siapa yang membaca atau yang bisa
memahami karya tersebut.
Dalam rangka membatasi pambahasan unsur-unsur intrinsik
karya fiksi seperti tersebut di atas maka penulis mengacu pada teori
Wellek dan Austin Werren dalam ( Budianta, 1993:283 ) yang
menjelaskan bahwa pada umumnya dalam menganalisis unsur-unsur
intrinsik karya fiksi hanya membedakan tiga unsur saja, yakni plot
atau alur,penokohan atau perwatakan, dan latar. Jadi, melalui
pembahasan tiga unsur ini, penulis mengalisis salah satu aspek dalam
karya fiksi. Yakni aspek etos kerja wanita.
20
Mengenai pembahasan tiga unsur intrinsik tersebut di atas maka
yang disebut alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita
yang disusun secara logis (Raminah,1985:61). Secara umum alur cerita
terdiri dari:
a. Alur buka, yakni situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilamjutkan dengan kodisi berikutnya.
b. Alur tengah, kondisi sudah mulai bergerak dan bergerak ke arah
kondisi yang memuncak.
c. Alur puncak, yakni kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks
peristiwa.
d. Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampak –
kan pemecahan atau penyelesaian.
Kemudian menurut pendapat Sudjiman (1992:29,33 ). Bahwa
berdasarkan pada susunan peristiwa dalam cerita, alur dapat
dibedakan menjadi dua, yakni alur linier dan alur alih balik atau sorot
balik. Alur linier adalah alur dengan susunan peristiwa yang
kronologis, yakni peristiwa
yang dialami tokoh cerita disusun
menurut urutan waktu terjadinya. Sedangkan alur sorot balik adalah
alur dengan urutan kronologis peristiwa yang disajikan di dalam
karya sastra, disela dengan peristiwa terjadi sebelumnya.
Perwatakan termasuk unsur intrinsik disebutkan setelah alur.
Perwatakan ini dalam karya sastra merupakan unsur yang amat
penting, di mana melalui sifat-sifat para tokoh maka karya sastra
21
dapat dipahami ceritanya. Kaitannya dengan hal ini, Raminah
( 1985:54 ) menjelaskan bahwa ada dua pengertian mengenai
perwatakan, yakni 1; mengacu pada orang atau tokoh yang bermain
dalam cerita, 2; adalah mengacu pada pembawaan dari minat,
keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain
dalam suatu cerita. Kemudian disebutkan juga bahwa dalam usaha
memahami perwatakan, dapat dilakukan dengan
dua cara, yakni
secara analitik dan secara dramatic. Secara analitik berarti pengarang
langsung memaparkan watak atau karakter tokoh, misal keras kepala,
penyayang, dan sebagainya. Sedangkan secara dramatic, yakni
penggambaran perwatakan tidak diceritakan secara langsung, tetapi
hal ini disampaikan melalui:
1. pemilihan nama tokoh;
2. penggambaran fisik atau postur tubuh;
3. dialog antar tokoh.
Unsur pembangun yang ke tiga adalah latar. Menurut pendapat
Raminah (1985:63), yang dimaksud latar atau setting adalah
lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah
tempat atau ruang yang diamati, seperti di hotel, di pasar, dan
sebagainya. Kemudian, termasuk di dalam unsur latar adalah waktu,
hari, bulan, tahun, musim atau periode sejarah, misalnya di zaman
perang kemerdekaan, di saat upacara pernikahan, dan sebagainya.
22
Berdasarkan pada latar ini maka kadang-kadang ditemukan bahwa
latar ini banyak mempengaruhi penokohan dan kadang-kadang juga
membentuk tema.
D. Hakikat Etos Kerja
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, Etos kerja adalah
semangat kerja menjadi ciri khas dan keyakinan seeorang atau suatu
kelompok. Sedangkan menurut Anoraga ( 1992:29 ), etos kerja adalah
suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.
Jadi, dapat dikatakan bahwa etos kerja adalah semangat yang dimiliki
seseorang atau kelompok terhadap pekerjaan yang dipengaruhi oleh
konvensi tertentu.
Anogara dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa
adanya pandangan dan sikap yang melihat pekerjaan merupakan
suatu hal yang luhur untuk eksitensi manusia maka etos kerja tersebut
akan tinggi. Sebaliknya, kalau melihat kerja sebagai suatu hal yang
tidak berarti bagi kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak
ada pandangan dan sikap terhadap kerja maka etos kerja tersebut
dengan sendirinya rendah.
Kaitannya dengan sikap manusia terhadap kerja, manusia yang
secara esensial adalah berjiwa maka dengan jiwanya manusia mampu
mengadakan antisipasi ke masa depan untuk memilih cara-cara
23
beraksi, meramalkan hasil-hasil perilakunya, dan membuat keputusan
yang serasi ( Soekanto, 1983:130 ).
Oleh karena itu, manusia tidaklah digerakkan oleh kognisinya, akan
tetapi oleh perasaannya yang merupakan dasar dinamika kepribadian
maupun perilakunya.
E. Hakikat Pandangan Hidup Wanita Masa Kini
Kedudukan wanita di masa modern ini, merupakan salah satu
wujud adanya pengaruh dari arus globalisasi yang berkembang.
Berdasarkan ketetapan GBHN, secara singkat peran perempuan dapat
disimpulkan menjadi 6, yaitu peran sebagai :
1. Istri yang mendampingi suami dengan baik dan mampu menompang
karier suami.
2.
Ibu yang mampu mendidik dan membimbing generasi muda, baik
secara rokhani maupun jasmani agar kelak mampu menghadapi
tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan
bangsa.
3. Pengaturan rumah tangga yang mampu menciptakan suasana aman
dan damai untuk seluruh anggota keluarga.
4. Tenaga kerja yang mampu menambah pandapatan keluarga untuk
mencapai keluarga sehat sejahtera.
5. Anggota masyarakat yang aktif dalam kegiata sosial.
6. Manusia pembangunan yang berkemampuan mengembangkan karier
dan profesinya ( Haryanti, 1991:1331 ).
24
Berdasarkan pada ketetapan GBHN, keberadaan wanita dalam
era globalisasi
ini memperoleh perhatian yang lebih sehingga
pemerintah berusaha semaksimal mungkin meningkat keberadaan
wanita dari segala bentuk diskriminasi yang merugikannya ( Hemas,
1992:14 ). Menurut penjelasannya lebih lanjut, bahwa kenyataan ini
terjadi
tidak
hanya
karena
semangat emansipasi, akan tetapi
adanya dorongan dari berbagai faktor dalam kaitannya dengan
tuntutan zaman. Selain itu, keadaan
ini
berlangsung sejalan
dengan kenyataan sejarah, di mana wanita tidak hanya dituntut
sebagai pengatur rumah tangga, tetapi juga sebagai tenaga kerja
pencari nafkah sebagai penghasilan tambahan. Sedangkan menurut
Sadli ( 1991:45 ), wanita memasuki pasaran kerja formal, tidak
hanya didorong oleh keharusan membantu ekonomi keluarga,
tetapi memang merupakan suatu perkembangan baru di tengahtengah masyarakat sekarang.
Jadi, dapat dikatakan bahwa berada dalam era globalisasi
seperti
sekarang
ini, wanita
memperoleh kesempatan untuk
berperan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena
itu,
wanita
cenderung mendapat tantangan yang cukup banyak
dalam mengantisipasi hidupnya, karena
untuk
menunjukkan
sifat
kodratnya
selain masih dituntut
sebagai
wanita
yang
bertanggung jawab atas keluarga, juga dituntut mampu berperan
dalam berbagai bidang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
25
Kaitannya dengan hal ini, muncul suatu konsep tentang wanita
ideal seperti
yang dikemukakan oleh Jatman ( 1995:151 ), yaitu
sebagai berikut :
….wanita yang berhasil berperan ganda tidak bisa dilepaskan harapan
makin menguatnya kelas menengah dari masyarakat kita yang tidak
terlalu memusingkan produktivitas dan wiraswatawan yang tinggi serta
masih kuatnya gagasan tentang para wanita tradisional untuk mengurus
rumah tangga.
Kaitannya dengan peran ganda wanita, tentunya terdapat
beberapa kriterial mengenai pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
kaum wanita. Hal ini disebabkan oleh adanya konsep yang
memandangn bahwa wanita adalah kaum yang lemah. Oleh karena
itu, wanita akan selalu mengalami hambatan di dalam kehidupan
sosialnya, sehingga kaitannya dengan masalah status kerja antara
wanita dan pria terdapat berbagai macam ketimpangan. Berdasarkan
pada kondisi masyarakat yang beraneka ragam dan berbagai masalah
maka analisis kritis mengenai konsep marginalisasi pun terdapat
kerancuan di kalangan peneliti tentang berbagai bentuk marginalisasi,
yaitu :
a. sebagai proses pengucilan, yakni perempuan dikucilkan dari kerja
upahan
atau dari jenis-jenis kerja upahan tertentu.
26
b. sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar
tenaga kerja, yakni kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja
pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup yang
tidak stabil; yang upahnya rendah ; atau yang dinilai tidak trampil.
c. sebagai proses feminisasi atau segregasi, yaitu dengan adanya
pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis-jenis pekerjaan
tertentu, bisa dikatakan bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut sudah
ter”feminisasi” (dilakukan
semata-mata oleh perempuan). Segregasi
di sini adalah pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan.
d. sebagai proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat,
yaitu marginalisasi menunjuk pada ketimpangan upah antara lakilaki dan perempuan ( Saptari, 1997:8-9 ).
Berdasarkan pada beberapa ketentuan di atas maka mengenai
deskriminasi wanita sampai sekarang
masih tetap ada, hanya
saja tidak separah yang dulu. Yang jelas, setinggi apapun kedudukan
wanita tidak akan lepas dari konsep kewanitaannya yang lemah.
Oleh karena itu, di masa sekarang ini muncul istilah peran ganda,
yakni selain tugas kodratnya mengurus rumah tangga juga dituntut
untuk ikut serta dalam mengisi pembangunan negara. Dengan
demikian, kaum wanita harus mampu menyelaraskan segala tugastugas.
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai beberapa
hal, antara lain; (1) jenis penelitian, (2) sasaran penelitian, (3) data
penelitian, (4) teknik pengumpulan data, (5) teknik analisis data, (6)
metode penyajian hasil analisis data.
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah
pustaka, yaitu berasal dari kata telaah yang artinya penyelidikan;
kajian; penelitian, dan kata pustaka yang berarti kitab atau buku.
Jadi, telaah pustaka adalah suatu kegiatan meneliti atau mengkaji
sebuah buku atau lebih. Buku yang akan di telaah oleh peneliti
adalah buku karya sastra Jawa Klasik ( kuno ).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa langkah
secara berurutan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
28
B. Sasaran
Penelitian
Sasaran penelitian adalah pemahaman terhadap teks sastra
berjudul
Serat Pranacitra
yang
telah
dialihaksarakan
oleh
Suyamto, kemudian disunting oleh Slamet Riyadi dan Sri Widati
dan diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta pada tahun
1987. Sedang peneliti akan meneliti dua buku yang judulnya sama
yaitu Serat Pranacitra, yang satu dikarang oleh Hendrato pada tahun
1978
dan
yang
satunya
pengarangnya
tidak
menyebutkan
namanya jadi Anonim dibuat pada tahun 1956.
Penelitian ini
yang tersirat
berusaha mencari aspek etos kerja wanita
dalam cerita tersebut dan mencerminkannya dalam
kehidupan nyata di masa modern ini.
C.
Data Penelitian
Data dalam penelitian ini diambil dari teks Serat Pranacitra
seperti tersebut di atas. Teks ini masih berbentuk tembang, yakni
tembang tengahan dan tembang
meliputi:
Balabak,
macapat. Tembang tengahan
Dudukwuluh, dan Wirangrong.
Sedangkan
tembang macapat meliputi : Dhandhanggula, Kinanthi, Sinom,
Pocung, Pangkur, Gambuh, Asmaradana, Mijil, dan Maskumambang,
serta Durma. Jadi, jumlah seluruhnya ada 13 tembang yang masingmasing terdiri dari beberapa pada ( Bait ). Misalnya yang berbentuk
tembang Balabak ada 13 pada ( bait ), dudukwuluh ada 53 pada
29
( bait ), wirangrong terdiri dari 48 pada. Sedang yang berbentuk
tembang macapat seperti Dhandhanggula terdiri dari 206 pada
(bait) , Kinanthi terdiri dari 97 pada (bait), sinom terdiri dari 26
pada (bait), pocung terdiri dari 111 pada (bait), Pangkur terdiri
dari 104
pada (bait),
Gambuh
terdiri
dari
137
pada (bait),
asmaradana terdiri dari 79 pada (bait), mijil terdiri dari 112 pada
(bait), dan maskumambang terdiri dari 60 pada (bait), durma
terdiri dari 51 pada (bait). Namun begitu setiap gubahan satu
dengan yang lain kan berbeda jumlah pada pada tiap-tiap
tembang .
Berdasarkan pada sumber data ini, sebagai datanya adalah etos
kerja Rara Mendut yang dilukiskan melalui serangkaian peristiwa
dalam cerita.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini. Cara yang pertama, peneliti melakukan kegiatan
membaca teks Serat Pranacitra
untuk memahami isi cerita, yakni
dengan cara menganalisis unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur
tersebut meliputi: alur, karakteritis, latar, dan tema serta amanat.
Cara kedua, peneliti membaca lagi isi cerita dengan tujuan
memusatkan perhatiannya pada aspek etos kerja wanita yang tersirat
di dalamnya. Bersamaan dengan kegitan ini, penulis melakukan
30
pengkodean atau memberi kode pada peristiwa-peristiwa yang
menyiratkan etos kerja wanita dengan cara memberi tanda silang.
Setelah itu, dari hasil pengkodean ditafsirkan sebagai kriterial
etos kerja wanita. Kemudian peneliti pencatatan itu, yang kemudian
menjadi data yang akan dibandingkan dengan etos kerja wanita masa
kini.
Kemudian merupakan tahap pemeriksaan kelayakan data maka
peneliti mengadakan pemahaman secara cermat mengenai kriteria
etos kerja tersebut berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan
masalah itu, yakni meliputi: pribadi masyarakat di Jawa, kebudayaan
Jawa yang dilukiskan dalam beberapa karya fiksi jawa.
E. Teknik Analisis Data
Membahas masalah perbandingan etos kerja antara Rara
Mendut yang tersirat dalam Serat Pranacitra dan wanita masa kini
maka data penelitian ini dianalisis menggunakan teori mimetik, yakni
teori yang menjelaskan hubungan karya sastra dengan kenyataan
( Teeuw, 1988:50 ).
Menurut teori ini, pada dasarnya karya sastra adalah dunia
yang diciptakan oleh pengarang berdasarkan pengetahuan dan
penafsirannya mengenai kenyataan hidup. Sehingga hal-hal yang
dilukiskan dalam karya sastra, seakan-akan merupakan cerminan
dari kehidupan yang nyata dalam suatu masa. Melalui unsur-unsur
31
pembentuknya, pengarang berusaha membangun dunia ciptaannya
menjadi cerita yang hidup.
Berdasarkan pada halis penafsiran terhadap kehidupan nyata
maka karya sastra di zaman dulu sering dijadikan sarana untuk
menyampaikan pengetahuan, amanat, petuah, atau teladan mengenai
hidup dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, karya sastra
juga menjadi alat untuk memahami tentang falsafah kehidupan,
misalnya falsafah kehidupan masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, Serat Pranacitra dalam penelitian ini dijadikan
sumber data yang sekaligus mewakili kondisi kehidupan masyarakat
Jawa pada zaman kerajaan Mataram, khusus mengenahi etos kerja
wanita yang terjadi pada masa itu.
Kaitannya dengan perbandingan etos kerja antar Rara Mendut
dan wanita masa kini maka dari data yang terkumpul, langsung
dibandingkan dengan keadaan etos kerja wanita dalam kehidupan
nyata sekarang ini. Adapun data mengenai etos kerja wanita masa
kini, langsung mengacu pada kenyataan yang terjadi di masa sekarang
ini dan beberapa hasil penelitian serta uraian-uraian mengenai
kehidupan wanita masa kini, baik yang termuat dalam buku ,
majalah , surat kabar dan sebagainya.
F. Metode Penyajian hasil Analisis Data
32
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode
formal dan metode informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini
disajikan secara informal yaitu merode penyajian hasil analisis data
yang menggunakan kata-kata biasa
atau sederhana agar mudah
dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar
mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Selain itu
juga disajikan secara formal melalui perumusan dengan tanda dan
lambing-lambang tertentu.
33
BAB IV
PEMBAHASAN SERAT PRANACITRA
A .Ringkasan cerita
Sawuse Mataram kasil ngalahke Pati, Tumenggung Wiraguna
kanugrahan sawernaning bandha jarahan saka Pati. Klebu ing kana,
yaiku para wanita kang sejatine kagungane Adipati Pragola. Kajaba
iku,
Wiraguna uga dadi kapitadosane Kanjeng Sinuhun, amarga
sanajan wis setengah luwih
yuswane, penjenengane tansah isih
prigel lan nyampurnani anggone tandang gawe.
Tumenggung Wiraguna suwe-suwe kesengsem karo salah
sijining wanita boyongan kang aran Rara Mendut. Wiraguna duwe
karep ngangkat dheweke dadi selire, nanging miturut kabare, Rara
Mendut
ora saguh
dad
selire
Tumenggung Wiraguna. Mula
Wiragung banjur nguda rasa marang Nyai Ajeng ngenani perkara
mau. Nyai Ajeng ora kabotan manawa garwane ngersakake selir,
malahan Nyai Ajeng uga kersa mbujuk Rara Mendut supaya gelem
dipundut garwa dening sang Tumenggung.
34
Nanging , sanajan Nyai Ajeng nganti kuwalahan anggone
mbujuk, Rara Mendut tetep ora owah saka prinsip awake dhewe.
Dadi, sanajan mung dadi wanita boyongan kang sejatine wis hake
Tumenggung
nampik
Wiraguna,
Rara Mendut
kanthi anteping ati wani
kersane Tumenggung Wiraguna. Malahan, menawa isih
tetep dipeksa, Rara Mendut angur milih mat i nelangsa tinimbang
dadi garwane Tumenggung Wiraguna.
Wiraguna sawuse mireng laporane saka Nyai Ajeng , banjur
duka lan ngedalake wadal
kanggo Rara Mendut kang wujude
pajeg telung reyal, kang kudu dibayar ing saben dinane. Kanthi
anane pajeg iki, Wiraguna nduwen i ancas supaya Rara Mendut
ngrasa kebotan anggone nglakoni.
Rara Mendut tetep ora owah saka pangucape . Dheweke tetep milih
mbayar pajeg, nanging dheweke nyuwun diparengake dodolan rokok ing
pasar Kawiramantren. Panyuwune Rara mendut iki, diparengake dening
Tumenggung Wiraguna. Kajaba iku , Tumenggung maringi dhuit
sepuluh reyal kanggo modal lan para punggawa cacah papat kanggo
ngrewangi Rara Mendut anggone dodolan.
Suwene dodolan ing Kawiramantren Rara Mendut ora ngira
menawa arep ketemu karo priya kang dadi idamane. Priya iku arane
Pranacitra, yaiku putra otang-antinge randha ing Batakenceng kang wis
kondhang sugihe. Dheweke wektu iku arep adu jago menyang
Prawiramantren, nanging sakdurunge tekan panggonane, Pranacitra
35
kang dietutake Blendheng lan Jagung mampir ing warunge Rara
Mendut. Wektu iku, antarane Rara Mendut lan Pranacitra padha tuwuh
rasa tresna. Kadadeyan iki mau, miturut firasate Rara Mendut bisa dadi
dalane dheweke owal saka Wiraguna . Mula, rikala Pranacitra netepi
janjine Rara Mendut , yaiku wis rampung anggone adu jago, arep
mampir tuku rokok maneh, Rara Mendut wis nyedhiakake rokok mligi
kanggo Pranacitra. Ing njerone rokok mau wis ditulisi ngenani lelakone
dheweke. Layang iki ana gegayutane karo kekarepane njaluk tulung
supaya Pranacitra gelem memba-memba dadi abdi ing Kawiragunan.
Dene Rara Mendut uga arep ngapusi menawa dheweke saguh dadi
garwane Tumenggung Wiraguna. Kanthi dalan iki, miturut ancase Rara
Mendut supaya dheweke bisa kerep ketemu karo Pranacitra.
Nyatane pancen bener , dheweke saben dina bisa ketemu kanggo
ngrasakake tuwuhing katresnan. Amarga Pranacitra dhewe banjur
dipercaya dening Wiraguna supaya dadi lurahe para punggawa. Dadi ,
tansaya bisa migunakake kalodhangan. Sawise iku , Pranacitra banjur
duwe krenteg arep mlayokake Rara Mendut saka Kawiragunan. Kanggo
nggampangake lakon , Pranacitra njaluk tulung marang para punggawa
supaya melu ngamanake lakune. Saben
punggawa diwenehi dhuwit
ngrongatus reyal dening Pranacitra minangka upahe.
Nanging , lelakone durung mujur. Rikala dheweke isih leren ing
omahe Pak Bekel , utusane Wiraguna kasil ngonangi. Wektu iku, Rara
Mendut banjur digawa menyang Kawiragunan , dene Pranacitra kasil
36
nerusake lakune. Nanging, sakdurunge wis janji menawa arep methuk
Rara Mendut ing wayah wengi.
Sawise tekan Kawiragunan , Rara Mendut banjur diajar dening
Tumanggung nganti babak belur lan memelas sambate. Dheweke wis ora
sabar nunggu tekane Pranacitra. Mula , kira-kira wis meh tekan titi
wancine dipethuk , dheweke nyiapake awake kang isih krasa lara . Dadi ,
rikala wengi tekane Pranacitra, dheweke wis sumadiya. Nyatane pancen
ngono , bareng Pranacitra wis teka , Rara Mendut banjur dibopong
alon-alon lan digawa mlayu menyang sajabaning tlatah Jawa. Rara
Mendut kasih digawa mlayu amarga saka pambiyantune para punggawa
Kawiragunan. Mula , Pranacitra banjur ngendum dhuwit ngrongatus
reyal saben wong.
Nanging, lelakone tansah mrangguli alangan. Merga
Tumenggung pirsa kedadean iku, kanthi muntabing rasa banjur ngutus
para bala tentara Mataram supaya nangkep Pranacitra lan Rara
Mendut. Dene Pranacitra lan Rara Mendut kasil ditemokake rikala
dheweke lagi nyebrang kali Oya. Wong loro iku sawuse ketangkep banjur
dibanda dadi siji lan diarak rame-rame menyang Wiragunan. Bareng wis
tekan Wiragunan, wong loro iku diaturake marang Tumenggung
Wiraguna. Amarga Wiraguna wis ora sabar arep ngenteki Pranacitra,
mula rikala pirsa wujude wong loro kang tansah asih kinasihan tanpa
ngelingi kahana ing sekitare, Tumenggung karo rasa gregeten ndhawuhi
abdine supaya nggawa Rara Mendut mlebu ing kamar sisih wetan. Dene
37
Pranacitra banjur dibukake keris pusakane lan dicublesake ing
dhadhane wong bagus mau. Pranacitra sanalika njerit kanthi nyebut
arane Rara Mendut. Krungu swara mau, Rara Mendut metu nyedhaki
asale swara mau. Ngerteni kahanane Pranacitra kang wis diperjaya
dening Wiraguna, dheweke banjur nerjangake awake ing kerise
Wiraguna kang isih kebukak ing astane. Rara Mendut ambruk ing
sandhinge Pranacitra lan ora suwe wong loro mati bebarengan.
Tumenggung Wiraguna mersani kedadean mau banjur rumangsa
salah lan getun. Dheweke lagi wae bisa nglengganani maknane tuhune
katresnan. Mula, dheweke banjur duwe niyat arep mujudake kekarepane
wong loro mau, yaiku dikubur sakluwangan.
B. Alur
Alur cerita Serat Pranacitra terjadi secara kronologis, yakni
serangkaian peristiwa yang dilukiskan terjadi secara berurutan
dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa ini terjadi menjadi
beberapa bagian, yakni bagian yang membentangkan munculnya
masalah, bagian yang melukiskan bahwa peristiwa sudah mulai
pada perkembangan masalah ke arah masalah berikutnya, bagian
memuncaknya masalah yang terjadi , dan bagian yang merupakan
penyelesaian dari masalah yang ada. Adapun uraian bagian-bagian
alurnya sebagai berikut :
Peristiwa yang melukiskan latar belakang munculnya masalah
dalam
serangkaian
cerita
adalah
kemenangan
Mataram pada
38
waktu menundukkan Pati. Akibatnya, Wiraguna yang dinilai oleh
Kanjeng Sinuhun banyak berperan dalam peperangan itu maka ia
dianugrahi sejumlah
harta benda jarahan dari Pati, termasuk di
dalamnya adalah wanita boyongan
yang juga diserahkan kepada
Wiraguna sebagai hadiah. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi bupati
dan menjadi orang yang paling disegani oleh Kanjeng Sinuhun.
Peristiwa
kemenangan
Mataram itulah yang kemudian
menjadi latar belakang terjadinya masalah. Masalah yang muncul
adalah keinginan Wiraguna mengangkat salah satu
dari keempat
wanita boyongan yang diserahkan kepadanya, yaitu Rara Mendut
menjadi selirnya. Tetapi, menurut informasi, Rara Mendut tidak
bersedia. Sedangkan Wiraguna
tetap mengharapkannya. Keadaan
cerita yang seperti ini, akhirnya
menjadi pangkal bergeraknya
masalah menuju pada masalah yang berikutnya.
Wiraguna masih belum menyerah untuk mempersunting Rara
Mendut.
Kemudian,
beliau
meminta
kepada
istrinya
supaya
membujuk Rara Mendut. Ternyata istrinya tidak keberatan untuk
menjalankan perintah suaminya. Sebagai istri yang setia dan sangat
patuh
terhadap
mempersunting
suaminya,
wanita
lain,
Nyai
Ajeng
merelakan
suaminya
bahkan Nyai Ajeng menghimbau
kepada suaminya agar Rara Mendut jangan hanya dijadikan selir,
tetapi sekalian diangkat menjadi istri saja. Dengan harapan supaya
Rara Mendut dapat memberikan keturunan kepada Tumenggung
39
Wiraguna, karena selama menjalani bahtera dengannya, ia belum
juga memberikan keturunan. Oleh kerana itu, Nyai Ajeng dengan
semangat
berusaha
membujuk Rara Mendut supaya bersedia
menjadi istri Tumenggung Wiraguna.
Namun, usaha Nyai Ajeng pun tidak membuahkan hasil,
karena
Rara
Mendut masih
tetap
pendiriannya.
Bahkan
ia
mengatakan bahwa ia rela mati jika tetap dipaksa menjadi istri
Tumenggung Wiraguna . Meskipun dia sendiri juga menyadari bahwa
dirinya hanya wanita boyongan yang telah menjadi hak Tumenggung
Wiraguna, tetapi ia berani mempertahankan keinginan diri sendiri.
Maka karena jengkelnya, ia berani mencaci maki Tumenggung.
Caci makian Rara Mendut itu membuat Nyai Ajeng merasa
tersinggung. Akhirnya, ia langsung melaporkan kegagalannya dalam
membujuk Mendut. Mendengar berita itu Tumenggung marah dan
merasa
terhina,
karena Mendut berani menolak lamarannya.
Karena sangat marah Tumenggung menjatuhkan hukuman kepada
Mendut
berupa pembayaran
pajak sebesar
tiga
reyal
setiap
harinya. Harapan Tumenggung dengan jalan ini Mendut akan merasa
keberatan sehingga secara tidak langsung ia harus mau dijadikan
istrinya.
Kenyataannya meleset dari dugaan Tumenggung. Mendut
justru
memilih
menjalani
hukuman
daripada
menjadi
istri
Tumenggung. Rara Mendut memohon diperbolehkan berjualan rokok
40
buatannya sendiri di Kawiramantren. Akhirnya permohonan Mendut
dikabulkan bahkan, Mendut mendapat uang supaya digunakan untuk
modal jualan rokok sebanyak 10 reyal.
Selama Mendut berjualan di Kawiramantren, peristiwanya
melukiskan alur yang mulai bergerak mengarah pada peristiwa
yang sengit. Peristiwa ini dipenuhi dengan kisah pertemuan Mendut
dengan
Pranacitra. Pertemuan
mereka
waktu Pranacitra
akan
pergi mengadu ayam di Kawiramantren, Pranacitra singgah untuk
beristirahat di warung Mendut. Dengan pandangan pertama Mendut
jatuh
hati kepada Pranacitra, ungkapan rasa cinta Mendut
diutarakan melalui gulungan rokok yang dibeli Pranacitra. Dalam
suratnya pula Mendut bercerita tentang Tumenggung Wiraguna dan
Mendut
bermaksud
minta
tolong
kepada
Pranacitra
untuk
melepaskan dirinya dari cengkeramannya Tumenggung Wiraguna.
Yaitu dengan cara Pranacitra berpura-pura mengabdi kepada
Tumenggung, sementara Mendut
sendiri
pura-pura
bersedia
manjadi diperistri Wiraguna.
Keinginan Mendut dipenuhi oleh Pranacitra. Akhirnya
Pranacitra berhasil menjadi abdi pada Tumenggung malah Pranacitra
dipercaya menjadi lurah dari para punggawa Kawiragunan, dengan
demikian Mendut mudah untuk bertemu dengan Pranacitra. Sampai
akhirnya mereka bisa melarikan diri dari Kawiragunan. Selama
peristiwa itu terjadi keadaan Kawiragunan gempar karena hilangnya
41
Mendut. Peristiwa ini melukiskan alur yang memuncak, karena dilihat
dari kemarahan Tumenggung mengarah ke klimaks.
Tetapi akhirnya usaha Mendut dan Pranacitra untuk melarikan
diri bisa diketemukan, kemudian mereka berusaha melarikan diri
yang kedua kalinya, namun usaha yang terakhir ini diketahui oleh
Tumenggung. Kemudian Tumenggung mengarahkan semua bala
tentara Mataram untuk menangkapnya. Yang akhirnya Mendut dan
Pranacitra bisa ditangkap waktu akan menyeberang sungai Oya.
Tumenggung Wiraguna tidak dapat menahan emosinya dan beliau
sudah tidak sabar lagi ingin membunuh Pranacitra. Waktu peristiwa
itu berlangsung tentunya suasana menjadi tegang.
Pranacitra akhirnya diikat tangannya dan Mendut dibawa ke
kamar. Semantara itu Wiraguna ingin membunuh Pranacitra dengan
tangannya sendiri, menggunakan keris pusakanya. Bersamaan dengan
itu Pranacitra menjerit memanggil Mendut. Mendut kemudian lari ke
luar dari kamar dan menghampiri Pranacitra, akan tetapi Pranacitra
sudah
terkapar
karena
hunusan
keris
Tumenggung.
Melihat
Pranacitra mati terbunuh, Mendut menerjang pada keris Tumenggung
yang masih terbuka belum disarungakan kembali ke warangkanya
yang digenggam Wiraguna. Akhirnya pun Mendut tergeletak
mennghembuskan nafasnya yang terakhir di samping Pranacitra
kekasihnya.
42
Kematian Pranacitra dan Mendut marupakan penyelesaian dari
perkembangan masalah yang terjadi dalam serangkaian peristiwa
yang digambarkan. Dengan demikian cerita ini berakhir dengan
kesedihan.
Akibatnya dari peristiwa ini Tumenggung menyadari
bahwa cinta dan kesetiaan itu tidak dapat dipaksakan dan Pranacitra
dan Mendut adalah cinta sejati. Pranacitra dan Mendut dikubur
dalam satu liang.
Berdasarkan peristiwa yang kronologis maka alur cerita Serat
Pranacitra ini dinamakan alur linier . Sedangkan tema yang tersirat
di dalamnya adalah kisah percintaan sepasang muda-mudi yang
mengalami perjuangan.
C. Karakter dan Karakterisasi
Berdasarkan pada alur cerita Serat Pranacitra maka termasuk
tok
PERBANDINGAN ETOS KERJA ANTARA
TOKOH WANITA DALAM SERAT PRANA CITRA
DAN WANITA MASA KINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Judul
Serat Pranacitra,adalah karya sastra Jawa berbentuk roman
( Subalidinata 1994:68 ).. Sebagai karya satra klasik, cerita ini disusun
dalam bentuk tembang macapat oleh juru tulis kraton Surakarta di
bawah pemerintahan Paku Buana V, menjadi buku bacaan untuk
mengisi waktu bagi para abdi dalem kraton yang sedang libur
( Hendrato, 1978:9 ). Serat Pranacitra digemari oleh masyarakat
banyak, karena dengan tema percintaannya menyiratkan nilai sosial
budaya yang dapat dijadikan teladan bagi kehidupan masyarakat. Di
antara nilai yang dapat menjadi teladan adalah sikap seorang
tokoh wanita yang mempunyai etos kerja tinggi. Sikap etos kerja
wanita itu tampak pada Rara Mendut, seorang wanita boyongan dari
Pati yang diserahkan kepada Tumenggung Wiraguna.
Mengenai keberadaan Serat Pranacitra, cerita ini berawal
dengan ditundukkannya pemerintahan Pati oleh Mataram di bawah
pimpinan
Sri
Sultan
Anyakrakusuma.
Akibatnya,
Mataram
2
mempunyai
hak
merampas
masyarakatnya, termasuk
boyongan.
Kemudian
menghadiahkan
hasil
,
seluruh
didalamnya
Kanjeng
tersebut
kepada
harta
kekayaan
dan
adalah
empat
putri
Sinuhun
para
bermaksud
abdinya
sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya. Wiraguna pada kesempatan ini
mendapat
hadiah
yang
terbanyak, bahkan
keempat wanita
boyonganpun dianugerahkan kepadanya. Oleh Kanjeng Sinuhun ,
dia dinilai begitu besar jasanya dalam perjuangan menundukkan
Pati. Selain itu, dia juga dipercaya menjadi bupati Mataram dan
sekaligus
menjadi
orang
yang
paling disegani oleh Kanjeng
Sinuhun.
Tumenggung Wiraguna sebagai orang yang dipercaya oleh
Kanjeng Sinuhun, berhasrat mengangkat salah satu dari keempat
wanita
boyongan menjadi
istrinya. Wanita
itu bernama Rara
Mendut. Namun , menurut informasi Rara Mendut tidak bersedia
diperistri olehnya, karena selain sudah tua, Wiraguna juga tidak
menarik simpatinya, walaupun Wiraguna sebenarnya meskipun sudah
tua tetapi masih besus atau pandai bersolek ataupun memelihara
tubuh, akan tetapi apa dikata kalau hati sudah tidaklah cinta walau
bagaimanapun tetap tidaklah mau jua.
Tumenggung setelah mendengar lamarannya ditolak, ia langsung
marah - marah dan merasa sangat
terhina. Kemudian Wiraguna
menjatuhkan hukuman kepada Rara Mendut berupa pajak sebesar
3
tiga reyal setiap harinya. Hal itu dilakukan dengan harapan agar
Rara Mendut merasa keberatan dan secara langsung harus bersedia
diperistrinya.
Akan tetapi kenyataannya lain, Rara Mendut justru
memilih menjalani hukuman daripada harus diperistri Wiraguna.
Kemudian dia mohon ijin kepada Tumenggung
supaya ia
diperbolehkan berjualan rokok di pasar Kaprawiramantren.
Permintaan itu dikabulkan oleh Tumenggung, bahkan ia juga
memberi uang sebesar 10 reyal sebagai modal. Pekerjaan ini terus
dilakukan Mendut, sampai akhirnya ia menemukan seorang laki –
laki yang mana akhirnya dengan pandangan pertama Mendut
bisa
merasakan
jatuh
hati walau baru pertama kali mereka
bertemu.
Dalam pertemua dengan laki – laki pujaan hatinya itu Rara
Mendut
punya
pikiran
untuk
mencari
jalan
keluar
dari
permasalahannya.
Pelukisan etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra
, menggambarkan bahwa pada masa itu telah terjadi perubahan
budaya, di mana wanita sudah tidak lagi terbatas
aktifitasnya.
Meskipun wanita bekerja di luar rumah waktu itu masih dinilai
tidak etis, tetapi Mendut telah berani mendobraknya, hanya
karena Mendut ingin mempertahankan haknya dan ingin menentang
keinginan Tumenggung Wiraguna. Kondisi
yang
seperti
itu,
4
akhirnya sampai sekarang masih berlangsung. Bahkan pada masa
sekarang ini wanita juga dituntut untuk berperan aktif dalam
pembangunan
bangsa. Oleh
karena itu, kaum
wanita
bekerja
bukan lagi hal asing. Bahkan pada masa sekarang ini wanita
dibudayakan dengan bekerja. Hal ini disebabkan antara lain oleh
perkembangan jaman yang terus mengikuti arus globalisasi sehingga
sektor industri yang semakin meningkat menuntut kaum wanita
untuk berperan serta. Banyak tenaga, pikiran kaum wanita
diperlukan bahkan sangat penting dalam bidang industri. Selain itu
kaum
wanita
zaman
sekarang
dituntut
untuk
membantu
meningkatkan perekonomian Bangsa, serta ekonomi dalam rumah
tangganya masing- masing.
Mengingat adanya kelangsungan terhadap sikap etos kerja
pada kaum wanita , seperti
dilukiskan
dalam
cerita
sampai
sekarang ini, penulis tertarik untuk mengkaji perbandingan antara
etos kerja yang ada pada diri Mendut dan kaum wanita pada masa
sekarang ini, di mana keberadaan kaum wanita sekarang banyak
mendapat perhatian dari beberapa ahli. Kaitannya dengan Serat
Pranacitra, sampai seberapa jauh cerita itu melukiskan keberadaan
tokoh Rara Mendut pada masa itu. Dengan cara menghubungkan
antara etos kerja wanita dalam kehidupan nyata sekarang ini, maka
disusunlah skripsi dengan judul “ Perbandingan Etos Kerja Antara
Tokoh Wanita dalam Serat Pranacitra dan Wanita Masa Kini . “
5
6
Etos kerja pada diri Rara Mendut tumbuh karena adanya
tekanan dalam dirinya karena ia tidak bersedia diperistri
oleh
Tumenggung Wiraguna serta mempertahankan haknya sebagai
manusia yang bebas tanpa kekangan dari siapapun. Kebulatan
tekadnya untuk menolak lamaran dari Tumenggung, membuatnya
semakin berani mengambil resiko. Dengan kenyakinannya, ia tetap
teguh dalam berpendirian. Oleh karena itu, ia memutuskan berjualan
untuk memperoleh sejumlah uang guna membayar pajak. Dalam
dirinya tidak ada lagi pandangan yang bersifat negative terhadap
aktifitas kaum wanita di luar rumah. Walau memang zaman dulu
wanita masih dianggap menentang akan tradisi apabila ke luar rumah
untuk beraktivitas atau melakukan suatu pekerjaan, apalagi yang bias
menghasilkan uang ataupun keuntungan. Jadi,
bekerja
kasar atau
meskipun
harus
pekerjaan yang bersifat tradisional, ia tetap
bersemangat dalam menjalaninya. Harapannya, dengan
usaha
tersebut dapat mempertahankan keinginan hatinya. Mendut bisa
merasa bebas tanpa kekangan ataupun merdeka tanpa ada ikatan –
ikatan tertentu walaupun dia juga sadar kalau dirinya adalah putri
boyongan yang telah menjadi hak milik Tumenggung Wiraguna, dan
dia juga sadar kalau Wiraguna bisa berbuat apapun pada dirinya,
namun dia tidak punya rasa ngentar sedikitpun.
Namun, wanita sekarang berbeda dengan yang dulu. Jika
wanita bekerja
pada zaman
dulu masih tabu, sedangkan kaum
7
wanita sekarang justru diarahkan supaya mampu berperan sejajar
dengan kaum pria. Padahal jika ditinjau dari
segi kodratnya,
antara wanita di zaman dulu dan sekarang sama, yakni sebagai wanita
yang
mempunyai
tangga.
tanggung jawab di
dalam
mengurus rumah
Berdasarkan pada pelukisan sikap etos kerja pada tokoh
Rara Mendut dalam Serat Pranacitra dan sikap etos kerja wanita
dalam kehidupan nyata dewasa ini, tentunya akan memberi corak
sendiri
sesuai
dengan
latar
belakang
budaya
yang
melatarbelakanginya. Keadaan yang bagaimanakah yang dapat
membedakan
kedua
etos
kerja
tersebut?
Berdasarkan
pada
permasalahan ini maka muncul masalah-masalah seperti berikut ini.
B. Batasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan agar tidak terlalu meluas,
maka perlu dijelaskan batsan objek kajian. Hal ini dimaksudkan
untuk memudahkan dan membantu dalam penelitian terutama dalam
menganalisa data, dalam kaitannya dengan penelitian ini. Masalah
dibatasi pada istilah etos kerja tokoh wanita dalam Serat Pranacitra.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dalam penelitian
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Seperti apakah etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra?
8
2.
Bagaimanakah perbandingan etos kerja antara Rara Mendut dan
wanita masa kini?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggali etos kerja Rara Mendut dalam Serat Pranacitra
2. Membandingkan etos kerja antara Rara Mendut dan wanita masa kini.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis dan praktis.
1. Memberikan sumbangan pengetahuan tantang karya sastra Jawa
klasik, khususnya mengenai nilai etos kerja yang tersirat dalam Serat
Pranacitra.
2. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang fungsi etos kerja wanita
dalam kehidupannya.
3. Memberika mitovasi kepada kaum wanita untuk mengembangkan
potensi yang dimikinya.
F. Sistematika Penulisan.
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Pemyajian
kelima tersebut dengan sistimatika sebagai berikut :
Bab pertama Pendahuluan, terdiri dari Alasan Pemilihan Judul,
Pembatasan Masalah, Rumusan masalahan, Tujuan
Manfaat Penelitian, dan Sistematika.
Penelitian,
9
Bab dua Landasan Teori, terdiri dari Hakikat Karya Sastra Jawa
Klasik, Perkembangan Sastra Jawa, Unsur-Unsur Pembangun Fiksi,
Hakikat Etos Kerja, dan Pandangan Hidup Masa Kini.
Bab tiga Metode Penelitian, bab ini berisi jenis penelitian, data
dan
sumber penelitian, metode pengumpulan data metode, dan
metode penyajian hasil analisa data.
Bab empat Pembahasan Serat Pranacitra, terdiri dari Ringkasan
Cerita, Alur cerita,
Karakter dan Karakterisasi, dan Latar atau
tempat terjadinya cerita dan waktu terjadinya cerita, Perbandingan
Etos Kerja antara Rara Mendut dalam Serat Pranacitra dan Wanita
Masa Kini.
Bab lima Penutup, terdiri dari Simpulan dan Saran.
Penelitian ini dilengkapi pula daftar pustaka dari beberapa
referensi yang dijadikan acuan dalam penulisan skripsi.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori di sini maksudnya adalah dasar atau
landasan
bersifat
teoretis
yang
relevan
permasalahan yang diangkat dalan penelitian
dengan pokok
ini. Konsep-konsep
teoritis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai
berikut
A. Hakikat Karya Sastra Jawa Klasik
Sastra Jawa merupakan karya sastra yang menggunakan
bahasa
Jawa, dalam hal ini si pengarang biasanya menggunakan
bahasa jawa kuna atau sansekerta sebagai media penulisannya .
Sedangkan klasik
adalah karya sastra kuno yang bermutu tinggi
( adi luhung ) dan dijadikan ukuran nilai suatu karya sastra serta
bersifat abadi . Jadi, berdasarkan dua definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa karya sastra Jawa klasik adalah karya sastra yang
berbahasa Jawa, ( Jawa kuna atau bahasa sansekerta ) untuk
memperindah bentuk kata dan kalimat dalam sebuah karya sastra
dan mempunyai nilai adiluhung dengan mutu yang tinggi.
11
Berdasarkan pada sifatnya yang adiluhung maka
karya
sastra itu selalu menarik kegemaran pembaca dari masa ke masa.
Keberadaan
karya sastra Jawa klasik di tengah masyarakat
tradisional
benar-benar
merupakan
alat
penting
untuk
mempertahankan model dunia yang sesuai dengan adat istiadat
dan pandangan dunia konvensional pada masa itu serta untuk
menanamkan
dan
pada angkatan
muda tentang kode tingkah laku
kode etik ( Teeuw, 1983:8 ). Menurut peneliti dalam sebuah
karya sastra
menanamkan kode etik
atau
tingkah
laku
pada
generasi muda maksudnya untuk pelajaran agar bisa intropeksi
dan mawas diri serta menyesuaikan kode etik bangsa kita yaitu
bangsa timur yang penuh dengan tata karma dan sopan santun.
Karena karya sastra adalah cerminan dari tingkah laku kehidupan
yang nyata ( kenyataan ). Seorang pengarang akan mencerikan atau
akan menulis sebuah karya
sastra mestinya pelajaran dan
pengalaman apalagi menghadapi kenyataan hidup yang dianggap
pantas dan baik untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra.
Selain dari pengalaman dan kenyataan hidup yang dihadapi namun
kata-kata
yang digunakan pun harus selaras dengan
Biasanya pengarang menggunakan kata-kata
yang
suasana.
puitis agar
masyarakat mau membaca dan memahami isi dari karya sastra
tersebut.
12
Selain itu, Teeuw juga menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam
bentuk roman, penulis
dengan sengaja atau
tidak membiarkan
pembaca kembali mengenal banyak apa yang pembaca ketahui
dari dunia nyata dimasukkan dalam penafsiran sebuah roman.
Sedangkan menurut
Mulder ( 1985:72 ),
bahwa
pengarang
seringkali membentangkan struktur pemikiran, yakni klasifikasiklasifikasi
setengah
sadar
yang mendasarinya dan yang
menerangkan kehidupan sehari-hari di masyarakat melalui karya
sastranya.
Jadi,
berdasarkan beberapa pendapat itu
dikatakan bahwa pada dasarnya
keberadaan karya sastra
zaman dahulu secara tidak langsung
dengan
pendekatan
kehidupan
mimetik,
semesta atau
nyata seperti
yaitu
menjelaskan
antara karya
ini disebut
pendekatan yang
hubungan
pada
melukiskan kehidupan
masyarakatnya. Pandangan yang manghubungkan
sastra
dapat
dengan
menitikberatkan
karya sastra
dengan
kenyataan ( Teeuw,1988:50 ).
Kaitannyan
dengan
teori mimetik,
Aristoteles
yang
menyangkal pendapat dari Plato yang berpendapat bahwa pada
dasarnya penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan
manusia yang
nyata atau peristiwa sebagai mana adanya. Tetapi,
seniman menciptakan dunia sendiri, dunia sastra merupakan
kontraksi,
perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata
atau mencerahi segi dunia nyata tertentu. Sehingga karya sastra
13
menurutnya menjadi saran pengatahuan yang khas, cara yang unik
untuk
situasi
membayangkan
manusia
pemahaman
yang
tidak
tentang
aspek
atau tahap
dapat diungkapkan
dan
dikomunikasikan dengan jalan lain ( Teeuw, 1988:222 ). Jadi, seperti
yang dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya teori mimetik
adalah menganggap karya seni sebagai pencerminan , peniruan
ataupun pembayangan realitas. Sehubungan dengan kenyataan ini
maka perbandingan seorang tokoh atau suatu gejala alam dengan
lukisan atau gambaran adalah perbandingan yang terjadi di manamana, sehingga norma keindahan yang diakui oleh masyarakat
tertentu
terungkap
dalam
karya seni, yang
kemudian dipakai
sebagai tolak ukur untuk kenyataan. Dengan adanya karya sastra
masyarakat akan bisa intropreksi diri , karena karya sastra adalah
bayangan kehidupan diri kita sendiri. Walau kenyataannya tidak
semua karya sastra itu adalah cerminan namun dengan adanya
beberapa karya sastra yang menggambarkan kenyataan hidup ini
kita sebagai masyarakat yang mengetahuinya harus sadar dan
tanggap dengan semua ini.
Salah satu contoh mengenai penggambaran kehidupan
masyarakat dalam
sastra Jawa klasik adalah keberadaan seorang
wanita. Di mana wanita pada zaman dahulu mempunyai karakter
tersendiri untuk mempertahankan
keberadaannya. Seperti dalam
Serat Panitisastra yang merupakan gubahan dari karya sastra Jawa
14
Kuna oleh Paku Buana V mengupas masalah wanita yang cukup
berarti ( Sudewa, dalam Susanto 1992:40 ). Begitu juga pada Serat
Pranacitra, cerita ini bersumber dari cerita lisan yang
ditulis
menjadi
kemudian
buku oleh juru tulis kraton Surakarta dalam
bentuk tembang macapat ( Hendrato, 1978:9 ). Di zaman Mataram
sampai ada peninggalan candi yang bernama Candi Mendut,
dengan
demikian
pendapat dari Hendrato ada
cerita itu mungkin
adalah kenyataan zaman
dibuat oleh seseorang
kraton
dijadikan
dijadikan
bacaan
yang waktu
sebuah
di
itu dan
kemudian
itu masih tergolong kerabat
karangan
kalangan
benarnya sebab
atau karya
kraton
itu
sastra
sendiri
di
dan
kala
senggang.
Serat Pranacitra
termasuk karya sastra klasik, telah
mengalami beberapa kali pembaharuan. Misalnya, oleh Ajib Rosidi
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul
Sebuah
cerita
Roro Mendut:
klasik Jawa, sedangkan Y. B. Mangunwijaya
mengubah dengan versi baru menjadi cerita Trilogi : Roro Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri ( Santoso, 1993:43 ).
Terjadinya beberapa usaha tranformasi sastra klasik ini,
menujukkan
bahwa
sastra Jawa
klasik
jauh lebih tinggi
dibandingan sastra Jawa modern ( Pradopo, 1993:33 ). Menurutnya,
karya sastra Jawa klasik dipandang mempunyai kedudukan sosialekonomi-budaya
yang
tinggi
sehingga tidak sedikit dari para
15
peminat sastra Jawa cenderung tertarik membahas bentuk-bentuk
karya
sastra
Jawa
klasik.
Ketertarikan
ini disebabkan
oleh
estetika sastra Jawa yang selalu berdasarkan pada kekuatan imajiimaji sastranya yang berakar pada kepribadian Jawa. Oleh sebab
itu, pada
umumnya sastra Jawa menggambarkan falsafah hidup
orang Jawa, di mana di samping sebagai alat hiburan juga sebagai
sarana pendidikan yang bersifat filosofis dan mengakar pada
kepribadian masyarakat Jawa.
Sehingga karya sastra sangatlah
bermanfaat bagi bagi generasi masa kini ataupun yang akan datang,
karena karya sastra ataupun karya seni adalah tuntunan ataupun
contoh untuk anak-anak muda zaman sekarang, walaupun sedikit
sekali generasi sekarang yang mau mempelajari bahkan membaca
saja tidak akan mau, karena generasi zaman sekarang lebih
senang melihat dan tidak mau berusaha mempelajari
sendiri.
Apalagi karya sastra klasik biasanya berbentu tembang dan katakatanya
menggunakan
bahasa
jawa kuna ataupun
sansekerta
paling tidak menggunakan kata- kata yang rinengga artinya kata –
kata
bahasa jawa yang diperindah sehingga generasi sekarang
tidak tahu makna dan artinya.
Adapun merupakan ciri khas bentuk dari sastra Jawa klasik
adalah
selalu
turun-temurun
terikat oleh
dari
patokan-patokan yang ditaati secara
generasi
sebagaian besar digubah
dalam
ke generasi. Bentuk
sastra ini
bentuk tembang macapat ( Ras,
16
1985:4 ). Oleh karena itu, dalam bentuk sastra ini sering digunakan
kata-kata puitis dan segala jenis akraisme sehingga memungkinkan
adanya konvensi yang mengatur perpanjangan atau perpendekan
kata-kata
yang menyimpang dari kaidah bahasa agar dapat
memenuhi kebutuhan irama atau mantra. Selain itu, dalam setiap
pemilihan
mantra juga
memiliki
pola
lagu sendiri-sendiri
tergantung pada isinya, misal didaktik, teguran, nasehat, serius,
cinta asmara, nada keras, dan sebagainya.
Berdasarkan latar
belakang seperti ini maka masyarakat pada zaman dulu lebih
menyukai bentuk puisi, karena menurut mereka bentuk prosa
dianggap hanya sekedar apa adanya sehingga sastra klasik banyak
yang berbentuk puisi.
B. Perkembangan Sastra Jawa
Karya
berbagai
sastra Jawa dalam perkembangannya mengalami
proses sehingga sastra Jawa ini dinamis untuk dapat
meneruskan
kehidupannya. Dengan
adanya
satu bentuk bahasa
Jawa maka ada istilah yang memisahkan bahasa Jawa menjadi tiga
bagian, yakni kuno, pertengahan, dan baru. Oleh karena
perkembangan
sastra
perkembangan bahasa.
Jawa terbagi
Jawa
secara
Jadi, menurut
tidak
langsung
itu,
mengikuti
perkembangannya
sastra
menjadi tiga kelompok juga dan masing-masing
mempunyai ciri khas sendiri-sendiri
17
Pergeseran dalam sastra Jawa sebagai dinamika untuk dapat
melanjutkan kehidupannya adalah bentuk kelanjutan sastra Jawa.
Sastra Jawa Kuno yang ada pada masa awal abad IX a khirnya
tergeser sejalan dengan keadaan masyarakat Jawa yang berganti
kerajaan.
Dalam
merupakan
Jawa
perjalanan
selanjutnya,
kerajaan
Majapahit
tonggak dimulainya sastra Jawa. Bahasa dan budaya
Kuno dalam sastra Jawa ini banyak dipengaruhi oleh
bahasa dan budaya Sansekerta sehingga terlihat dominasi masa
Sansekerta dalam kehidupan
Jawa Kuno. Dengan demikian
masyarakat Jawa pada masa ini perlu napas baru dalam budaya
maupun sastranya.
Napas baru
dalam sastra Jawa mampu menggeser sastra
Jawa Kuno, yang kemudian dinamakan sastra Jawa pertengahan.
Pada
masa ini penggunakan bahasanya tidak lagi menghitung
panjang pendek vocal dalam kata-katanya. Selain itu, isinya
mempunyai berbagai keunikan tersendiri, yakni lebih banyak
mengungkapkan masalah manusia pada umumnya, baik di kalangan
kerajaan atau kalangan masyarakat biasa. Yang tergolong sastra
tengahan ini misalnya Pararaton, Calon Arang, Sudamala dan Panji.
Setelah Majapahit runtuh, sastra Jawa terus bergeser
mengikuti
perjalanan
kerajaa
yang
berkembang
setelah
Majapahit, yakni kerajaan Demak. Sastra Jawa pada periode ini
lebih
lazim
disebut
sastra
Jawa
baru.
Karya
Sastra
yang
18
menggunakan
bahasa
Jawa
baru
ini
keislaman. Jadi, sastra Jawa bukan
cenderung
bernafaskan
saja berisi tentang masalah
kehidupan masyarakat dan kerajaan, tetapi juga berisi tentang
keagamaan terutama keislaman dengan rukun Islam dan sejarah
Nabi,
karya sastra pada masa ini, misalnya Suluk, Primbon, dan
buku-buku Babad.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sastra Jawa baru
mengalami masa puncaknya ketika kerajaan beralih ke Kartasura
sampai pada zaman kerajaan Surakarta. Pada masa ini sastra Jawa
memiliki pemikir dan penulis yang sangat terkenal baik di kalangan
masyarakat
maupun
di
kerajaan,
yakni
Yasadipuro
dan
Ronggowarsito. Kedua pujangga ini banyak menghasilkan karya
sastra Jawa baru dan
sekaligus menulis kembali karya sastra
Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru.
C. Unsur- Unsur Pembangun Fiksi
Keberadaan karya sastra dalam suatu masa merupakan hasil
kreatifitas
pengarang. Pengarang dalam menciptakan karyanya
sering tidak terlepas dari pengalaman hidupnya. Adapun diantara
faktor yang mempengaruhinya adalah latar belakang masyarakat,
tingkat pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut
sangat menentukan corak dari karya sastra dan akan
menjadi ciri khas suatu karya satra tertentu. Oleh sebab itu, dalam
19
sastra terdapat
golongan karya sastra yang bermutu tinggi dan
bermutu rendah.
Penggolongan karya sastra yang dapat dikatakan bermutu
atau tidak, dapat dianalisis berdasarkan tingkat kemampuan
pengarang
dalam
mengolah
unsur-unsur
pembentuk
secara
proposional. Jadi, pada umumnya karya sastra terlahir berdasarkan
unsur-unsur pembentuknya.
Sejalan
dengan
pembahasan ini,
penulis mengacu pada teori Raminah ( 1985:9 ) yang menyebutkan
bahwa karya fiksi memiliki struktur atau yang disebut segi-segi
intrinsik, yakni unsur-unsur yang membangun dari dalam. Unsurunsur tersebut terdiri dari:( 1 ) perwatakan; (2) tema dan amanah; (3)
alur atau plot; (4) latar dan gaya bahasa; (5) pusat pengisahan. Jadi
pada dasarnya semua karya sastra itu mempunyai nilai mutu yang
bertingkat-tingkat tinggal siapa yang membaca atau yang bisa
memahami karya tersebut.
Dalam rangka membatasi pambahasan unsur-unsur intrinsik
karya fiksi seperti tersebut di atas maka penulis mengacu pada teori
Wellek dan Austin Werren dalam ( Budianta, 1993:283 ) yang
menjelaskan bahwa pada umumnya dalam menganalisis unsur-unsur
intrinsik karya fiksi hanya membedakan tiga unsur saja, yakni plot
atau alur,penokohan atau perwatakan, dan latar. Jadi, melalui
pembahasan tiga unsur ini, penulis mengalisis salah satu aspek dalam
karya fiksi. Yakni aspek etos kerja wanita.
20
Mengenai pembahasan tiga unsur intrinsik tersebut di atas maka
yang disebut alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita
yang disusun secara logis (Raminah,1985:61). Secara umum alur cerita
terdiri dari:
a. Alur buka, yakni situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilamjutkan dengan kodisi berikutnya.
b. Alur tengah, kondisi sudah mulai bergerak dan bergerak ke arah
kondisi yang memuncak.
c. Alur puncak, yakni kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks
peristiwa.
d. Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampak –
kan pemecahan atau penyelesaian.
Kemudian menurut pendapat Sudjiman (1992:29,33 ). Bahwa
berdasarkan pada susunan peristiwa dalam cerita, alur dapat
dibedakan menjadi dua, yakni alur linier dan alur alih balik atau sorot
balik. Alur linier adalah alur dengan susunan peristiwa yang
kronologis, yakni peristiwa
yang dialami tokoh cerita disusun
menurut urutan waktu terjadinya. Sedangkan alur sorot balik adalah
alur dengan urutan kronologis peristiwa yang disajikan di dalam
karya sastra, disela dengan peristiwa terjadi sebelumnya.
Perwatakan termasuk unsur intrinsik disebutkan setelah alur.
Perwatakan ini dalam karya sastra merupakan unsur yang amat
penting, di mana melalui sifat-sifat para tokoh maka karya sastra
21
dapat dipahami ceritanya. Kaitannya dengan hal ini, Raminah
( 1985:54 ) menjelaskan bahwa ada dua pengertian mengenai
perwatakan, yakni 1; mengacu pada orang atau tokoh yang bermain
dalam cerita, 2; adalah mengacu pada pembawaan dari minat,
keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain
dalam suatu cerita. Kemudian disebutkan juga bahwa dalam usaha
memahami perwatakan, dapat dilakukan dengan
dua cara, yakni
secara analitik dan secara dramatic. Secara analitik berarti pengarang
langsung memaparkan watak atau karakter tokoh, misal keras kepala,
penyayang, dan sebagainya. Sedangkan secara dramatic, yakni
penggambaran perwatakan tidak diceritakan secara langsung, tetapi
hal ini disampaikan melalui:
1. pemilihan nama tokoh;
2. penggambaran fisik atau postur tubuh;
3. dialog antar tokoh.
Unsur pembangun yang ke tiga adalah latar. Menurut pendapat
Raminah (1985:63), yang dimaksud latar atau setting adalah
lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah
tempat atau ruang yang diamati, seperti di hotel, di pasar, dan
sebagainya. Kemudian, termasuk di dalam unsur latar adalah waktu,
hari, bulan, tahun, musim atau periode sejarah, misalnya di zaman
perang kemerdekaan, di saat upacara pernikahan, dan sebagainya.
22
Berdasarkan pada latar ini maka kadang-kadang ditemukan bahwa
latar ini banyak mempengaruhi penokohan dan kadang-kadang juga
membentuk tema.
D. Hakikat Etos Kerja
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, Etos kerja adalah
semangat kerja menjadi ciri khas dan keyakinan seeorang atau suatu
kelompok. Sedangkan menurut Anoraga ( 1992:29 ), etos kerja adalah
suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja.
Jadi, dapat dikatakan bahwa etos kerja adalah semangat yang dimiliki
seseorang atau kelompok terhadap pekerjaan yang dipengaruhi oleh
konvensi tertentu.
Anogara dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa
adanya pandangan dan sikap yang melihat pekerjaan merupakan
suatu hal yang luhur untuk eksitensi manusia maka etos kerja tersebut
akan tinggi. Sebaliknya, kalau melihat kerja sebagai suatu hal yang
tidak berarti bagi kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak
ada pandangan dan sikap terhadap kerja maka etos kerja tersebut
dengan sendirinya rendah.
Kaitannya dengan sikap manusia terhadap kerja, manusia yang
secara esensial adalah berjiwa maka dengan jiwanya manusia mampu
mengadakan antisipasi ke masa depan untuk memilih cara-cara
23
beraksi, meramalkan hasil-hasil perilakunya, dan membuat keputusan
yang serasi ( Soekanto, 1983:130 ).
Oleh karena itu, manusia tidaklah digerakkan oleh kognisinya, akan
tetapi oleh perasaannya yang merupakan dasar dinamika kepribadian
maupun perilakunya.
E. Hakikat Pandangan Hidup Wanita Masa Kini
Kedudukan wanita di masa modern ini, merupakan salah satu
wujud adanya pengaruh dari arus globalisasi yang berkembang.
Berdasarkan ketetapan GBHN, secara singkat peran perempuan dapat
disimpulkan menjadi 6, yaitu peran sebagai :
1. Istri yang mendampingi suami dengan baik dan mampu menompang
karier suami.
2.
Ibu yang mampu mendidik dan membimbing generasi muda, baik
secara rokhani maupun jasmani agar kelak mampu menghadapi
tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan
bangsa.
3. Pengaturan rumah tangga yang mampu menciptakan suasana aman
dan damai untuk seluruh anggota keluarga.
4. Tenaga kerja yang mampu menambah pandapatan keluarga untuk
mencapai keluarga sehat sejahtera.
5. Anggota masyarakat yang aktif dalam kegiata sosial.
6. Manusia pembangunan yang berkemampuan mengembangkan karier
dan profesinya ( Haryanti, 1991:1331 ).
24
Berdasarkan pada ketetapan GBHN, keberadaan wanita dalam
era globalisasi
ini memperoleh perhatian yang lebih sehingga
pemerintah berusaha semaksimal mungkin meningkat keberadaan
wanita dari segala bentuk diskriminasi yang merugikannya ( Hemas,
1992:14 ). Menurut penjelasannya lebih lanjut, bahwa kenyataan ini
terjadi
tidak
hanya
karena
semangat emansipasi, akan tetapi
adanya dorongan dari berbagai faktor dalam kaitannya dengan
tuntutan zaman. Selain itu, keadaan
ini
berlangsung sejalan
dengan kenyataan sejarah, di mana wanita tidak hanya dituntut
sebagai pengatur rumah tangga, tetapi juga sebagai tenaga kerja
pencari nafkah sebagai penghasilan tambahan. Sedangkan menurut
Sadli ( 1991:45 ), wanita memasuki pasaran kerja formal, tidak
hanya didorong oleh keharusan membantu ekonomi keluarga,
tetapi memang merupakan suatu perkembangan baru di tengahtengah masyarakat sekarang.
Jadi, dapat dikatakan bahwa berada dalam era globalisasi
seperti
sekarang
ini, wanita
memperoleh kesempatan untuk
berperan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena
itu,
wanita
cenderung mendapat tantangan yang cukup banyak
dalam mengantisipasi hidupnya, karena
untuk
menunjukkan
sifat
kodratnya
selain masih dituntut
sebagai
wanita
yang
bertanggung jawab atas keluarga, juga dituntut mampu berperan
dalam berbagai bidang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
25
Kaitannya dengan hal ini, muncul suatu konsep tentang wanita
ideal seperti
yang dikemukakan oleh Jatman ( 1995:151 ), yaitu
sebagai berikut :
….wanita yang berhasil berperan ganda tidak bisa dilepaskan harapan
makin menguatnya kelas menengah dari masyarakat kita yang tidak
terlalu memusingkan produktivitas dan wiraswatawan yang tinggi serta
masih kuatnya gagasan tentang para wanita tradisional untuk mengurus
rumah tangga.
Kaitannya dengan peran ganda wanita, tentunya terdapat
beberapa kriterial mengenai pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
kaum wanita. Hal ini disebabkan oleh adanya konsep yang
memandangn bahwa wanita adalah kaum yang lemah. Oleh karena
itu, wanita akan selalu mengalami hambatan di dalam kehidupan
sosialnya, sehingga kaitannya dengan masalah status kerja antara
wanita dan pria terdapat berbagai macam ketimpangan. Berdasarkan
pada kondisi masyarakat yang beraneka ragam dan berbagai masalah
maka analisis kritis mengenai konsep marginalisasi pun terdapat
kerancuan di kalangan peneliti tentang berbagai bentuk marginalisasi,
yaitu :
a. sebagai proses pengucilan, yakni perempuan dikucilkan dari kerja
upahan
atau dari jenis-jenis kerja upahan tertentu.
26
b. sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar
tenaga kerja, yakni kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja
pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup yang
tidak stabil; yang upahnya rendah ; atau yang dinilai tidak trampil.
c. sebagai proses feminisasi atau segregasi, yaitu dengan adanya
pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis-jenis pekerjaan
tertentu, bisa dikatakan bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut sudah
ter”feminisasi” (dilakukan
semata-mata oleh perempuan). Segregasi
di sini adalah pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan.
d. sebagai proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat,
yaitu marginalisasi menunjuk pada ketimpangan upah antara lakilaki dan perempuan ( Saptari, 1997:8-9 ).
Berdasarkan pada beberapa ketentuan di atas maka mengenai
deskriminasi wanita sampai sekarang
masih tetap ada, hanya
saja tidak separah yang dulu. Yang jelas, setinggi apapun kedudukan
wanita tidak akan lepas dari konsep kewanitaannya yang lemah.
Oleh karena itu, di masa sekarang ini muncul istilah peran ganda,
yakni selain tugas kodratnya mengurus rumah tangga juga dituntut
untuk ikut serta dalam mengisi pembangunan negara. Dengan
demikian, kaum wanita harus mampu menyelaraskan segala tugastugas.
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai beberapa
hal, antara lain; (1) jenis penelitian, (2) sasaran penelitian, (3) data
penelitian, (4) teknik pengumpulan data, (5) teknik analisis data, (6)
metode penyajian hasil analisis data.
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah
pustaka, yaitu berasal dari kata telaah yang artinya penyelidikan;
kajian; penelitian, dan kata pustaka yang berarti kitab atau buku.
Jadi, telaah pustaka adalah suatu kegiatan meneliti atau mengkaji
sebuah buku atau lebih. Buku yang akan di telaah oleh peneliti
adalah buku karya sastra Jawa Klasik ( kuno ).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa langkah
secara berurutan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
28
B. Sasaran
Penelitian
Sasaran penelitian adalah pemahaman terhadap teks sastra
berjudul
Serat Pranacitra
yang
telah
dialihaksarakan
oleh
Suyamto, kemudian disunting oleh Slamet Riyadi dan Sri Widati
dan diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta pada tahun
1987. Sedang peneliti akan meneliti dua buku yang judulnya sama
yaitu Serat Pranacitra, yang satu dikarang oleh Hendrato pada tahun
1978
dan
yang
satunya
pengarangnya
tidak
menyebutkan
namanya jadi Anonim dibuat pada tahun 1956.
Penelitian ini
yang tersirat
berusaha mencari aspek etos kerja wanita
dalam cerita tersebut dan mencerminkannya dalam
kehidupan nyata di masa modern ini.
C.
Data Penelitian
Data dalam penelitian ini diambil dari teks Serat Pranacitra
seperti tersebut di atas. Teks ini masih berbentuk tembang, yakni
tembang tengahan dan tembang
meliputi:
Balabak,
macapat. Tembang tengahan
Dudukwuluh, dan Wirangrong.
Sedangkan
tembang macapat meliputi : Dhandhanggula, Kinanthi, Sinom,
Pocung, Pangkur, Gambuh, Asmaradana, Mijil, dan Maskumambang,
serta Durma. Jadi, jumlah seluruhnya ada 13 tembang yang masingmasing terdiri dari beberapa pada ( Bait ). Misalnya yang berbentuk
tembang Balabak ada 13 pada ( bait ), dudukwuluh ada 53 pada
29
( bait ), wirangrong terdiri dari 48 pada. Sedang yang berbentuk
tembang macapat seperti Dhandhanggula terdiri dari 206 pada
(bait) , Kinanthi terdiri dari 97 pada (bait), sinom terdiri dari 26
pada (bait), pocung terdiri dari 111 pada (bait), Pangkur terdiri
dari 104
pada (bait),
Gambuh
terdiri
dari
137
pada (bait),
asmaradana terdiri dari 79 pada (bait), mijil terdiri dari 112 pada
(bait), dan maskumambang terdiri dari 60 pada (bait), durma
terdiri dari 51 pada (bait). Namun begitu setiap gubahan satu
dengan yang lain kan berbeda jumlah pada pada tiap-tiap
tembang .
Berdasarkan pada sumber data ini, sebagai datanya adalah etos
kerja Rara Mendut yang dilukiskan melalui serangkaian peristiwa
dalam cerita.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini. Cara yang pertama, peneliti melakukan kegiatan
membaca teks Serat Pranacitra
untuk memahami isi cerita, yakni
dengan cara menganalisis unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur
tersebut meliputi: alur, karakteritis, latar, dan tema serta amanat.
Cara kedua, peneliti membaca lagi isi cerita dengan tujuan
memusatkan perhatiannya pada aspek etos kerja wanita yang tersirat
di dalamnya. Bersamaan dengan kegitan ini, penulis melakukan
30
pengkodean atau memberi kode pada peristiwa-peristiwa yang
menyiratkan etos kerja wanita dengan cara memberi tanda silang.
Setelah itu, dari hasil pengkodean ditafsirkan sebagai kriterial
etos kerja wanita. Kemudian peneliti pencatatan itu, yang kemudian
menjadi data yang akan dibandingkan dengan etos kerja wanita masa
kini.
Kemudian merupakan tahap pemeriksaan kelayakan data maka
peneliti mengadakan pemahaman secara cermat mengenai kriteria
etos kerja tersebut berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan
masalah itu, yakni meliputi: pribadi masyarakat di Jawa, kebudayaan
Jawa yang dilukiskan dalam beberapa karya fiksi jawa.
E. Teknik Analisis Data
Membahas masalah perbandingan etos kerja antara Rara
Mendut yang tersirat dalam Serat Pranacitra dan wanita masa kini
maka data penelitian ini dianalisis menggunakan teori mimetik, yakni
teori yang menjelaskan hubungan karya sastra dengan kenyataan
( Teeuw, 1988:50 ).
Menurut teori ini, pada dasarnya karya sastra adalah dunia
yang diciptakan oleh pengarang berdasarkan pengetahuan dan
penafsirannya mengenai kenyataan hidup. Sehingga hal-hal yang
dilukiskan dalam karya sastra, seakan-akan merupakan cerminan
dari kehidupan yang nyata dalam suatu masa. Melalui unsur-unsur
31
pembentuknya, pengarang berusaha membangun dunia ciptaannya
menjadi cerita yang hidup.
Berdasarkan pada halis penafsiran terhadap kehidupan nyata
maka karya sastra di zaman dulu sering dijadikan sarana untuk
menyampaikan pengetahuan, amanat, petuah, atau teladan mengenai
hidup dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, karya sastra
juga menjadi alat untuk memahami tentang falsafah kehidupan,
misalnya falsafah kehidupan masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, Serat Pranacitra dalam penelitian ini dijadikan
sumber data yang sekaligus mewakili kondisi kehidupan masyarakat
Jawa pada zaman kerajaan Mataram, khusus mengenahi etos kerja
wanita yang terjadi pada masa itu.
Kaitannya dengan perbandingan etos kerja antar Rara Mendut
dan wanita masa kini maka dari data yang terkumpul, langsung
dibandingkan dengan keadaan etos kerja wanita dalam kehidupan
nyata sekarang ini. Adapun data mengenai etos kerja wanita masa
kini, langsung mengacu pada kenyataan yang terjadi di masa sekarang
ini dan beberapa hasil penelitian serta uraian-uraian mengenai
kehidupan wanita masa kini, baik yang termuat dalam buku ,
majalah , surat kabar dan sebagainya.
F. Metode Penyajian hasil Analisis Data
32
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode
formal dan metode informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini
disajikan secara informal yaitu merode penyajian hasil analisis data
yang menggunakan kata-kata biasa
atau sederhana agar mudah
dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar
mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Selain itu
juga disajikan secara formal melalui perumusan dengan tanda dan
lambing-lambang tertentu.
33
BAB IV
PEMBAHASAN SERAT PRANACITRA
A .Ringkasan cerita
Sawuse Mataram kasil ngalahke Pati, Tumenggung Wiraguna
kanugrahan sawernaning bandha jarahan saka Pati. Klebu ing kana,
yaiku para wanita kang sejatine kagungane Adipati Pragola. Kajaba
iku,
Wiraguna uga dadi kapitadosane Kanjeng Sinuhun, amarga
sanajan wis setengah luwih
yuswane, penjenengane tansah isih
prigel lan nyampurnani anggone tandang gawe.
Tumenggung Wiraguna suwe-suwe kesengsem karo salah
sijining wanita boyongan kang aran Rara Mendut. Wiraguna duwe
karep ngangkat dheweke dadi selire, nanging miturut kabare, Rara
Mendut
ora saguh
dad
selire
Tumenggung Wiraguna. Mula
Wiragung banjur nguda rasa marang Nyai Ajeng ngenani perkara
mau. Nyai Ajeng ora kabotan manawa garwane ngersakake selir,
malahan Nyai Ajeng uga kersa mbujuk Rara Mendut supaya gelem
dipundut garwa dening sang Tumenggung.
34
Nanging , sanajan Nyai Ajeng nganti kuwalahan anggone
mbujuk, Rara Mendut tetep ora owah saka prinsip awake dhewe.
Dadi, sanajan mung dadi wanita boyongan kang sejatine wis hake
Tumenggung
nampik
Wiraguna,
Rara Mendut
kanthi anteping ati wani
kersane Tumenggung Wiraguna. Malahan, menawa isih
tetep dipeksa, Rara Mendut angur milih mat i nelangsa tinimbang
dadi garwane Tumenggung Wiraguna.
Wiraguna sawuse mireng laporane saka Nyai Ajeng , banjur
duka lan ngedalake wadal
kanggo Rara Mendut kang wujude
pajeg telung reyal, kang kudu dibayar ing saben dinane. Kanthi
anane pajeg iki, Wiraguna nduwen i ancas supaya Rara Mendut
ngrasa kebotan anggone nglakoni.
Rara Mendut tetep ora owah saka pangucape . Dheweke tetep milih
mbayar pajeg, nanging dheweke nyuwun diparengake dodolan rokok ing
pasar Kawiramantren. Panyuwune Rara mendut iki, diparengake dening
Tumenggung Wiraguna. Kajaba iku , Tumenggung maringi dhuit
sepuluh reyal kanggo modal lan para punggawa cacah papat kanggo
ngrewangi Rara Mendut anggone dodolan.
Suwene dodolan ing Kawiramantren Rara Mendut ora ngira
menawa arep ketemu karo priya kang dadi idamane. Priya iku arane
Pranacitra, yaiku putra otang-antinge randha ing Batakenceng kang wis
kondhang sugihe. Dheweke wektu iku arep adu jago menyang
Prawiramantren, nanging sakdurunge tekan panggonane, Pranacitra
35
kang dietutake Blendheng lan Jagung mampir ing warunge Rara
Mendut. Wektu iku, antarane Rara Mendut lan Pranacitra padha tuwuh
rasa tresna. Kadadeyan iki mau, miturut firasate Rara Mendut bisa dadi
dalane dheweke owal saka Wiraguna . Mula, rikala Pranacitra netepi
janjine Rara Mendut , yaiku wis rampung anggone adu jago, arep
mampir tuku rokok maneh, Rara Mendut wis nyedhiakake rokok mligi
kanggo Pranacitra. Ing njerone rokok mau wis ditulisi ngenani lelakone
dheweke. Layang iki ana gegayutane karo kekarepane njaluk tulung
supaya Pranacitra gelem memba-memba dadi abdi ing Kawiragunan.
Dene Rara Mendut uga arep ngapusi menawa dheweke saguh dadi
garwane Tumenggung Wiraguna. Kanthi dalan iki, miturut ancase Rara
Mendut supaya dheweke bisa kerep ketemu karo Pranacitra.
Nyatane pancen bener , dheweke saben dina bisa ketemu kanggo
ngrasakake tuwuhing katresnan. Amarga Pranacitra dhewe banjur
dipercaya dening Wiraguna supaya dadi lurahe para punggawa. Dadi ,
tansaya bisa migunakake kalodhangan. Sawise iku , Pranacitra banjur
duwe krenteg arep mlayokake Rara Mendut saka Kawiragunan. Kanggo
nggampangake lakon , Pranacitra njaluk tulung marang para punggawa
supaya melu ngamanake lakune. Saben
punggawa diwenehi dhuwit
ngrongatus reyal dening Pranacitra minangka upahe.
Nanging , lelakone durung mujur. Rikala dheweke isih leren ing
omahe Pak Bekel , utusane Wiraguna kasil ngonangi. Wektu iku, Rara
Mendut banjur digawa menyang Kawiragunan , dene Pranacitra kasil
36
nerusake lakune. Nanging, sakdurunge wis janji menawa arep methuk
Rara Mendut ing wayah wengi.
Sawise tekan Kawiragunan , Rara Mendut banjur diajar dening
Tumanggung nganti babak belur lan memelas sambate. Dheweke wis ora
sabar nunggu tekane Pranacitra. Mula , kira-kira wis meh tekan titi
wancine dipethuk , dheweke nyiapake awake kang isih krasa lara . Dadi ,
rikala wengi tekane Pranacitra, dheweke wis sumadiya. Nyatane pancen
ngono , bareng Pranacitra wis teka , Rara Mendut banjur dibopong
alon-alon lan digawa mlayu menyang sajabaning tlatah Jawa. Rara
Mendut kasih digawa mlayu amarga saka pambiyantune para punggawa
Kawiragunan. Mula , Pranacitra banjur ngendum dhuwit ngrongatus
reyal saben wong.
Nanging, lelakone tansah mrangguli alangan. Merga
Tumenggung pirsa kedadean iku, kanthi muntabing rasa banjur ngutus
para bala tentara Mataram supaya nangkep Pranacitra lan Rara
Mendut. Dene Pranacitra lan Rara Mendut kasil ditemokake rikala
dheweke lagi nyebrang kali Oya. Wong loro iku sawuse ketangkep banjur
dibanda dadi siji lan diarak rame-rame menyang Wiragunan. Bareng wis
tekan Wiragunan, wong loro iku diaturake marang Tumenggung
Wiraguna. Amarga Wiraguna wis ora sabar arep ngenteki Pranacitra,
mula rikala pirsa wujude wong loro kang tansah asih kinasihan tanpa
ngelingi kahana ing sekitare, Tumenggung karo rasa gregeten ndhawuhi
abdine supaya nggawa Rara Mendut mlebu ing kamar sisih wetan. Dene
37
Pranacitra banjur dibukake keris pusakane lan dicublesake ing
dhadhane wong bagus mau. Pranacitra sanalika njerit kanthi nyebut
arane Rara Mendut. Krungu swara mau, Rara Mendut metu nyedhaki
asale swara mau. Ngerteni kahanane Pranacitra kang wis diperjaya
dening Wiraguna, dheweke banjur nerjangake awake ing kerise
Wiraguna kang isih kebukak ing astane. Rara Mendut ambruk ing
sandhinge Pranacitra lan ora suwe wong loro mati bebarengan.
Tumenggung Wiraguna mersani kedadean mau banjur rumangsa
salah lan getun. Dheweke lagi wae bisa nglengganani maknane tuhune
katresnan. Mula, dheweke banjur duwe niyat arep mujudake kekarepane
wong loro mau, yaiku dikubur sakluwangan.
B. Alur
Alur cerita Serat Pranacitra terjadi secara kronologis, yakni
serangkaian peristiwa yang dilukiskan terjadi secara berurutan
dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa ini terjadi menjadi
beberapa bagian, yakni bagian yang membentangkan munculnya
masalah, bagian yang melukiskan bahwa peristiwa sudah mulai
pada perkembangan masalah ke arah masalah berikutnya, bagian
memuncaknya masalah yang terjadi , dan bagian yang merupakan
penyelesaian dari masalah yang ada. Adapun uraian bagian-bagian
alurnya sebagai berikut :
Peristiwa yang melukiskan latar belakang munculnya masalah
dalam
serangkaian
cerita
adalah
kemenangan
Mataram pada
38
waktu menundukkan Pati. Akibatnya, Wiraguna yang dinilai oleh
Kanjeng Sinuhun banyak berperan dalam peperangan itu maka ia
dianugrahi sejumlah
harta benda jarahan dari Pati, termasuk di
dalamnya adalah wanita boyongan
yang juga diserahkan kepada
Wiraguna sebagai hadiah. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi bupati
dan menjadi orang yang paling disegani oleh Kanjeng Sinuhun.
Peristiwa
kemenangan
Mataram itulah yang kemudian
menjadi latar belakang terjadinya masalah. Masalah yang muncul
adalah keinginan Wiraguna mengangkat salah satu
dari keempat
wanita boyongan yang diserahkan kepadanya, yaitu Rara Mendut
menjadi selirnya. Tetapi, menurut informasi, Rara Mendut tidak
bersedia. Sedangkan Wiraguna
tetap mengharapkannya. Keadaan
cerita yang seperti ini, akhirnya
menjadi pangkal bergeraknya
masalah menuju pada masalah yang berikutnya.
Wiraguna masih belum menyerah untuk mempersunting Rara
Mendut.
Kemudian,
beliau
meminta
kepada
istrinya
supaya
membujuk Rara Mendut. Ternyata istrinya tidak keberatan untuk
menjalankan perintah suaminya. Sebagai istri yang setia dan sangat
patuh
terhadap
mempersunting
suaminya,
wanita
lain,
Nyai
Ajeng
merelakan
suaminya
bahkan Nyai Ajeng menghimbau
kepada suaminya agar Rara Mendut jangan hanya dijadikan selir,
tetapi sekalian diangkat menjadi istri saja. Dengan harapan supaya
Rara Mendut dapat memberikan keturunan kepada Tumenggung
39
Wiraguna, karena selama menjalani bahtera dengannya, ia belum
juga memberikan keturunan. Oleh kerana itu, Nyai Ajeng dengan
semangat
berusaha
membujuk Rara Mendut supaya bersedia
menjadi istri Tumenggung Wiraguna.
Namun, usaha Nyai Ajeng pun tidak membuahkan hasil,
karena
Rara
Mendut masih
tetap
pendiriannya.
Bahkan
ia
mengatakan bahwa ia rela mati jika tetap dipaksa menjadi istri
Tumenggung Wiraguna . Meskipun dia sendiri juga menyadari bahwa
dirinya hanya wanita boyongan yang telah menjadi hak Tumenggung
Wiraguna, tetapi ia berani mempertahankan keinginan diri sendiri.
Maka karena jengkelnya, ia berani mencaci maki Tumenggung.
Caci makian Rara Mendut itu membuat Nyai Ajeng merasa
tersinggung. Akhirnya, ia langsung melaporkan kegagalannya dalam
membujuk Mendut. Mendengar berita itu Tumenggung marah dan
merasa
terhina,
karena Mendut berani menolak lamarannya.
Karena sangat marah Tumenggung menjatuhkan hukuman kepada
Mendut
berupa pembayaran
pajak sebesar
tiga
reyal
setiap
harinya. Harapan Tumenggung dengan jalan ini Mendut akan merasa
keberatan sehingga secara tidak langsung ia harus mau dijadikan
istrinya.
Kenyataannya meleset dari dugaan Tumenggung. Mendut
justru
memilih
menjalani
hukuman
daripada
menjadi
istri
Tumenggung. Rara Mendut memohon diperbolehkan berjualan rokok
40
buatannya sendiri di Kawiramantren. Akhirnya permohonan Mendut
dikabulkan bahkan, Mendut mendapat uang supaya digunakan untuk
modal jualan rokok sebanyak 10 reyal.
Selama Mendut berjualan di Kawiramantren, peristiwanya
melukiskan alur yang mulai bergerak mengarah pada peristiwa
yang sengit. Peristiwa ini dipenuhi dengan kisah pertemuan Mendut
dengan
Pranacitra. Pertemuan
mereka
waktu Pranacitra
akan
pergi mengadu ayam di Kawiramantren, Pranacitra singgah untuk
beristirahat di warung Mendut. Dengan pandangan pertama Mendut
jatuh
hati kepada Pranacitra, ungkapan rasa cinta Mendut
diutarakan melalui gulungan rokok yang dibeli Pranacitra. Dalam
suratnya pula Mendut bercerita tentang Tumenggung Wiraguna dan
Mendut
bermaksud
minta
tolong
kepada
Pranacitra
untuk
melepaskan dirinya dari cengkeramannya Tumenggung Wiraguna.
Yaitu dengan cara Pranacitra berpura-pura mengabdi kepada
Tumenggung, sementara Mendut
sendiri
pura-pura
bersedia
manjadi diperistri Wiraguna.
Keinginan Mendut dipenuhi oleh Pranacitra. Akhirnya
Pranacitra berhasil menjadi abdi pada Tumenggung malah Pranacitra
dipercaya menjadi lurah dari para punggawa Kawiragunan, dengan
demikian Mendut mudah untuk bertemu dengan Pranacitra. Sampai
akhirnya mereka bisa melarikan diri dari Kawiragunan. Selama
peristiwa itu terjadi keadaan Kawiragunan gempar karena hilangnya
41
Mendut. Peristiwa ini melukiskan alur yang memuncak, karena dilihat
dari kemarahan Tumenggung mengarah ke klimaks.
Tetapi akhirnya usaha Mendut dan Pranacitra untuk melarikan
diri bisa diketemukan, kemudian mereka berusaha melarikan diri
yang kedua kalinya, namun usaha yang terakhir ini diketahui oleh
Tumenggung. Kemudian Tumenggung mengarahkan semua bala
tentara Mataram untuk menangkapnya. Yang akhirnya Mendut dan
Pranacitra bisa ditangkap waktu akan menyeberang sungai Oya.
Tumenggung Wiraguna tidak dapat menahan emosinya dan beliau
sudah tidak sabar lagi ingin membunuh Pranacitra. Waktu peristiwa
itu berlangsung tentunya suasana menjadi tegang.
Pranacitra akhirnya diikat tangannya dan Mendut dibawa ke
kamar. Semantara itu Wiraguna ingin membunuh Pranacitra dengan
tangannya sendiri, menggunakan keris pusakanya. Bersamaan dengan
itu Pranacitra menjerit memanggil Mendut. Mendut kemudian lari ke
luar dari kamar dan menghampiri Pranacitra, akan tetapi Pranacitra
sudah
terkapar
karena
hunusan
keris
Tumenggung.
Melihat
Pranacitra mati terbunuh, Mendut menerjang pada keris Tumenggung
yang masih terbuka belum disarungakan kembali ke warangkanya
yang digenggam Wiraguna. Akhirnya pun Mendut tergeletak
mennghembuskan nafasnya yang terakhir di samping Pranacitra
kekasihnya.
42
Kematian Pranacitra dan Mendut marupakan penyelesaian dari
perkembangan masalah yang terjadi dalam serangkaian peristiwa
yang digambarkan. Dengan demikian cerita ini berakhir dengan
kesedihan.
Akibatnya dari peristiwa ini Tumenggung menyadari
bahwa cinta dan kesetiaan itu tidak dapat dipaksakan dan Pranacitra
dan Mendut adalah cinta sejati. Pranacitra dan Mendut dikubur
dalam satu liang.
Berdasarkan peristiwa yang kronologis maka alur cerita Serat
Pranacitra ini dinamakan alur linier . Sedangkan tema yang tersirat
di dalamnya adalah kisah percintaan sepasang muda-mudi yang
mengalami perjuangan.
C. Karakter dan Karakterisasi
Berdasarkan pada alur cerita Serat Pranacitra maka termasuk
tok