FUTUROLOGI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

FUTUROLOGI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (Suatu Rekayasa Kebudayaan
Pendidikan Islam) Prolog Pendidikan Islam mendapatkan tantangan-tantangan
(challenges) yang kompleks. Kompleksifitas yang holistik (menyeluruh), dari sisi
ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Oleh karenanya, Syed Muh. Naquib alAttas dan beberapa pemikir pendidikan Islam lainnya, gelisah, bimbang dan resah.
Mereka menginginkan pendidikan Islam dikembalikan pada tradisi-kebudayaan
Islam murni, bukan mengimplementasikan sistem pendidikan ala Barat, yang secara
sistem kebudayaan punya konstruksi filosofis berbeda dari Islam. Bagi pemikir
Barat, agama (religion) dianggap sebagai salah indikator kemunduran masyarakat
Barat, bahkan filosof Barat, berkeyakinan bahwa agama tidak memiliki aspek
karakter kemanusiaan, teokratis-dominan. Sedangkan, bagi Muslim, Islam adalah
landasan berfikir, bertindak dan bersosialisasi dengan masyarakat. Islam masuk
keseluruh aspek kehidupan masyarakat. Islam menjadi way of life, stand point, dan
solver dari problematika yang dihadapi masyarakat muslim. Dari kegelisahan di
atas, mereka mengkampanyekan slogan “Islamisasi” sebagai anti-thesa dari
“westernisasi”, “modernisasi”, “sekularisasi” dan lain sebagainya. Islamisasi yang
mereka maksudkan adalah usaha mentransformasikan khazanah keilmuan Islam
berlandaskan pada pemikiran-pemikiran Islam sendiri, yang pastinya bermuara dari
dua warisan umat Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Bagi para pengusung
Islamisasi, al-Qur’an dan hadits adalah sumber ilmu pengetahuan murni. Al-Qur’an
dan Hadits sudah mengajarkan tentang Tuhan, realitas Manusia dan alam. Al-Qur’an
dan Hadist juga menghargai adanya rasionalitas manusia, sebagai potensi yang

given dari Tuhan. Konsep islamisasi mayoritas dilaksanakan di negara-negara yang
sistem politiknya berpedoman pada kebudayaan Islam, misalnya Pakistan, Iran dan
beberapa Negara lainnya. A.K Brohi dalam tulisannya berjudul “education in
ideological state” mengungkapkan bahwa Islam sebagai suatu sistem yang
paripurna wajib diinternalisasi sebagai sistem budaya, tindakan bahkan habitus
masyarakat . Jalaludin Rahmat memiliki pandangan sama tentang kecendrungan
kebudayaan Barat. Menurutnya, kekuatan rasionalisme abad modern di Barat,
mempunyai implikasi negatif terhadap Islam, maklum karena kebudayaan Islam
tidak hanya dibangun melalui satu jalur rasionalisme, melainkan nilai-nilai
transendentalisme, dan spritualisme . Islam memahami realitas kehidupan ada tidak
selalu dimulai dari kerangkan berfikir belaka, tanpa berfikirpun, realitas kehidupan
akan selalu ada dan terus berkembang . Bagaimanakah dengan Indonesia yang
plural, dan berideologi pancasila bukan Islam ?. Akankah sistem pendidikan
Islamnya mengikuti beberapa Negara Islam atau menanggalkan Islam kemudian
beralih pada sistem Barat? Atau akankah tetap mendiamkan pendidikan Islam
menjadi bagian diskursus dikotomis yang tak kunjung usai?. Robert Hefner
menyebutkan bahwa di sebuah Negara yang plural seperti Indonesia, seyogyanya
memiliki perundang-undangan tentang pluralitas kebudayaannya seperti halnya
Australia, Canada dan Amerika, dan inilah yang belum dilaksanakan di Indonesia .
Menurut Kiai Hasyim Muzadi, Islam di Indonesia mestinya mencontoh tauladan Nabi

Muhammad di Madinah, yang menciptakan mitsaqun Madinah (piagam madinah)
sebagai landasan sistem pemerintahan yang ada kala itu . Nabi Muhammad
mencontohkan akomodasi perbedaan kebudayaan yang sudah berkembang
sebelum Islam hijrah ke Madinah. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
dialektika kebudayaan Islam, dalam aspek pendidikan Islam, dengan kondisi sosial

yang berkembang di beberapa Negara. Dan kemudian mencarikan konsep masa
depan dengan pendidikan Islam di Indonesia, melalui sebuah kerangka rekayasa
sosial -budaya pendidikan . Sebuah formulasi yang tidak hanya berlandaskan pada
satu atau dua pandangan saja, melainkan berawal dari kesejarahan sosial -budaya
pendidikan Islam, kemudian menganalisa kebudayan Indonesia, sehingga terdapat
integrasi holistic-multidimensinal dari pandangan banyak tokoh. Dimensi sosialbudaya pendidikan Islam : perspektif antropologi Diskursus tentang pendidikan
Islam tidak akan pernah terlepas dari dinamika politik dan kebudayaan suatu
masyarakat. Untuk menganlisasi idea besar (grand idea), simbol kebudayan dan
sistem sosial yang ada di dunia Islam. Maka dari itu, menurut penulis, antropologi
adalah salah satu pendekatan (approach) yang cocok memahami pergeseran sosialbudaya pendidikan Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh HAR. Tilaar,
antropologi merupakan disiplin ilmu yang mampu mengkategorikan shifting
paradigm akibat anomali-anomali yang terjadi di dalam sebuah kemasyarakatan .
Senada dengan Tilaar, Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa antropologi pada
awalnya merupakan disiplin ilmu untuk menalisa kebudayaan primitive (primitive

culture) yang berubah diakibatkan oleh pendidikan dan pemahaman baru. Namun,
setelah pergeseran kebudayaan yang begitu cepat, antropologi mengalami
perkembangan yang juga signifikan, dan masuk dalam seluruh aspek kehidupan
manusia, baik sosial , ekonomi, budaya bahkan pendidikan. Masdar Hilmy dan Akh.
Muzakki juga mengungkapkan bahwa : “ concern antropologi dalam kajian agama
adalah Islam yang mengejewantah dan masyarakat yang mengambil Islam sebagai
agama, yakni sebagai dasar bagi ekspresi keseharian mereka. Ekspresi keagamaan
ini kemudian menyatu dalam kebudayaan secata keseluruhan…Jadi, antropologi
membahas kenyataan yang ada dan berlaku dalam masyarakat suatu agama (what
is), dan bukan bagaimana seharusnya agama itu berperilaku (what ought to be) ”.
Sebuah kebudayaan masyarakat bisa dilihat dengan melalui antropologi. Rosalind I.
J. Hacklett menyebutkan bahwa : Anthropology enjoys an ongoing dialectical tension
between its scientific and humanistic sides. This is well characterized by James
Peacock in his valuable introductory text on the anthropological enterprise:
‘Emphasis on culture and recognition of the subjective aspect of interpretation link
anthropology to the humanities, yet its striving for sistem atization, generalization,
and precise observation reflects the inspiration of the sciences’… French sociologist
Émile Durkheim saw religious beliefs and concepts as the product of particular
sosial conditions, rather than in intellectualist terms . Kutipan ini menyebutkan
bahwa melalui antropologi kita akan mengetahui delektika ilmu pengetahuan da sisi

kemanusian. Antropologi menekakan kepada kebudayaan dan kesadaran subjektif
seseorang yang berkaitan dengan sikap kemanusiaan. Oleh karenanya, antropologi
pendidikan Islam semestinya menjadi disiplin ilmu penyatuan kebudayaankebudayaan yang secara kesejarahan berbeda-beda. Antropologi pendidikan Islam
akan menyajikan beberapa pandangan-pandangan manusia tentang konsep
pendidikan Islam dari segi beberapa aspeknya. Antropologi pendidikan juga
menghadirkan apa yang terjadi dan tidak memaksakan apapun. Dengan
pendekatan ini, pendidikan Islam dianggap sebagai bagian dari kebudayaan (part of
culture) yang dicipta, dikonstruk, dan dikembangkan oleh manusia, khususnya umat
Islam. Sebagai karya manusia, pendidikan Islam seyogyanya tidak sesakral Islam
sebagai agama. Nilai-nilai kegamaan yang menjadi label pendidikan Islam, bisa saja

berbentuk wujud real, dengan artian bahwa memasukkan Islam menjadi core
subject bahasan, tindakan dan pelajaran, atau bisa pula berbentuk spirit dan
subtansi untuk membudayakan umat Islam, sedangkan sistem dan landasannya
berasal dari kebudayaan local dan global. Bukti bahwa pendidikan Islam terkait
dengan konteks sosial-budaya yang dominan, adalah adanya variasi sistem yang
terjadi di negara-negara Islam. Di Iran, setelah kemenangan kelompok revesioner
Islam, sistem politik mereka menganut sistem politik Islam, nama negara mereka
disebut dengan Republik Islam Iran. Dengan sistem politik yang demikian, Menurut
Hadi Sharifi, seorang professor-sosiologi pendidikan Universitas Tehran,

menyebutkan tradisi kebudayaan pendidikan Islam merupakan bagian berbeda dan
berlawanan dengan filosofi pendidikan Modern ala Barat. Menurutnya, filsafat
pendidikan modern sangat terbatas, mudah dikritik dan diganti dengan sesuatu
yang baru, karena filsafat pendidikan modern berawal dari nilai-nilai spekulatif
manusia, tidak memiliki kebenaran yang absolute laiknya pengetahuan yang
diberikan al-Qur’an dan al-Hadits . Saat ini, potret pendidikan Islam di Iran disokong
penuh oleh peranan politik pemeritah republik Islam Iran. Meski demikian, perlu
diakui, Iran menjadi satu-satunya negara Islam yang masih stabil dibandingkan
negara Pakistan, Afghanistan dan lain-lainnya. Dalam konteks kesejarahan muslim
India, ada dua peristiwa sejarah yang biasa disebut. Pertama kehancuran imperium
Mughal. Kedua pendudukan pemerintah inggris di India . Pada pemerintahan
Mughal, Islam menjadi dominan dan sangat kuat di India. Pendidikan Islam langsung
dikontrol dari kerajaan mughal dari pusat. Pastinya, sistem pendidikan Islam pada
masa itu, mengacu pada norma-norma Islam. Namun, setelah imperium Mughal
mengalami kemunduran, imperium inggris mulai masuk dan menjajah India. Inggris
kemudian mengganti sistem politik yang ada di India. Pendidikan Islam, bagi umat
Islam, menghadi situasi yang dilematis. Kemiskinan, buta huruf (illetary) dan minim
keterampilan (skill) menjadi ciri khas umat Islam. Kekuasan politik mereka dirampas
juga oleh kekuatan Inggris . Melihat keberadaan sosial yang demikian, umat Islam
tidak berdiam diri. Menurut Ira M. Lapidus di India, pada saat imprealisme Inggris,

terdapat tiga polarisasi gerakan sosial keislaman. Pertama, gerakan sosial radikal,
yang menfatwakan untuk berjihad melawan kerajaan Inggris. Kedua, kelompok yang
tidak menerima kebudayaan Inggris namun mereka berdiam diri (silent community).
Ketiga, adalah gerakan Aligarh (Aligarh movement) , sebuah gerakan yang dimotori
oleh Syed Ahmad Khan dan kemudian dilanjutkan oleh para pengikutnya. Dalam
konteks pendidikan Islam, gerakan Aligarh dianggap gerakan pembaharuan.
Pasalnya, sistem pendidikan yang mereka kembangkan mengelaborasikan antara
kurikulum Universitas Oxford Inggris dan kemampuan kebahasaan Arab. Sisa
kesejarahan yang masih eksis dari tradisi pembaharuan pendidikan di India hingga
saat ini, adalah Universitas Islam Aligarh, yang menyediakan dua aspek peradaban
ilmu pengetahuan, yakni Arab dan Barat. Mesir, sebagai epicentrum peradaban
Islam, mengalami permasalahan yang sama. Meski secara geografis, semestinya
memiliki tradisi keislaman lebih kuat, tapi Mesir tetap negara yang berada di bawah
kekuatan kebudayaan dunia. Abdur Rauf mengungkapkan kegelisahannya dikala
Universitas Al-Azhar akan dilakukan modernisasi. Dia mulai mengingatkan para
pemegang kekuasaan politik di Mesir agar berhati-hati dengan terma “reformasi”.
Alasan kekhawatirannya, karena Universitas Al-Azhar merupakan warisan,
pemelihara dan penjaga tradisi kajian keislaman an sich yang ada di muka bumi ini.

Al-Azhar juga menjadi Universitas Islam tertua yang memiliki kebudayaan dan

tradisi special . Di lain pihak, sebelum kegelisahan Rauf diungkapkan, Abduh (18491905) dan Rasyid Rihdha sudah melakukan perubahan (reformasi) dalam
pendidikan Islam di Al-Azhar, mereka mengungkapkan bahwa kebutuhan reformasi
adalah untuk menginterpretasi kembali nilai-nilai kebudayaan Islam sehingga
mampu bersaing dengan peradaban Barat . Di Turki, pendidikan Islam di mulai
dengan kekuatan para sistem politik kesultanan. Sultan Mahmud II, rupanya tidak
menyukai tradisionalisme yang diwariskan dalam bingkai kenegaraan Islam. Sultan
Mahmud II menjadi tokoh pembaharuan pertama di Turki . Selanjutnya, yang lebih
ekstrim adalah pada masa Al-Tatruk, sosok modernis yang menskulariasi
masyarakat Islam di Turki. Argumentasinya adalah karena jika Turki
mempertahankan Tradisi keislaman tradisional, mereka akan mengalami
keterbelakangan dibandingkan negara-negera Eropa lainnya . Di lain pihak, masih
banyak umat islam yang menginginkan Turki sebagai representasi Negara yang
berbasiskan Islam tidak mencontoh Barat. Pendidikan Islam menjadi solusi
internalisasi nilai-nilai demokratisasi dan modernisasi. Kebijakan pendidikan Islam
yang dilakukan oleh pemerintahan Turki seiring sejalan dengan pendidikan Modern
yang ada di Barat. Dialektika sosial -kebudayaan umat Islam dan pendidikan Islam
merupakan sifat natural manusia secara antropologis. Dimensi kebutuhan manusia
terhadap sebuah pengetahuan baru merupakan spirit lahiriah, bukan merupakan
paksaan dari keinginan sosial . Kontjaraningrat mengungkapkan bahwa kebudayaan
manusia modern sangat berbeda dengan dulu. Akses informasi yang cepat, sarana

pendidikan yang variatif, dan komunikasi sosial yang berbeda dengan zaman
primitif . Asimilasi kebudayaan tidak lagi memakan kurun waktu bertahun-tahun,
bahkan hanya dengan hitungan hari paradigma seseorang akan berubah dalam
pola pandangnya. Melihat nilai kesejarahan kebudayaan Islam dalam aspek
pendidikan Islam di atas, terdapat dua karakter umum dalam mindset landasan
pendidikan Islam global. Kelompok pertama adalah mereka yang ingin menjaga
kebudayaan Islam dari asimilasi kebudayaan Barat. Bagi kelompok ini, kebudayaan
islam sebagai suatu entitas dan identitas yang utuh, tidak bisa digabung-gabungkan
dengan kebudayaan lain. Islam sudah lengkap, dan mampu bisa berdiri sendiri
tanpa bersandar pada peradaban Barat. Kelompok kedua adalah kelompok
pembaharuan. Pola pembaharuan pendidikan islam berorientasi; kepada pola
pendidikan modern di Eropa. Kemudian, berorientasi dan bertujuan untuk
pemurnian kembali ajaran islam. Terakhir, Berorientasi pada kekayaan dan sumber
budaya bangsa masing-masing dan yang bersifat Nasionalisme. Robert Hefner
mengasumsikan bahwa pendidikan Islam di pelbagai negara berada di bawah
pusaran egocentris Barat dan Timur . Hefner rupanya mengakui pendapat Samuel
Huntington, tentang clash of civilization (pertempuran kebudayaan).Pertempuran
dua kutub yang terkadang sulit dan terkadang mudah dipertemukan. Sulit, karena
peradaban Barat dianggap penghancur kebudayaan masyarakat Timur. Mudah,
karena seluruh sistem kebudayaan manusia mempunyai ciri khas yang sama, yakni

kesamaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan untuk berekspresi. Menilai
kebudayaan Pendidikan Islam Indonesia dan Problematikanya. Secara garis besar,
Pendidikan Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga bentuk institusional (institutional
channel), pertama adalah pengajian al-Qur’an, yakni proses kependidikan untuk
membaca dan menghafalkan al-Qur’an, bukan menghafalkannya . Di Jawa Timur

khususnya, pengajian al-Qur’an berkembang di Masjid surau, dan langgar, baik
berbentuk TPQ atau hanya dialog antara murid dan Guru ngaji. Kedua, pondok
pesantren. Pada konteks ini sistem pendidikannya melalui peng-asramaan peseta
didik dalam satu lokasi tertentu. Pesantren merupakan salah satu pendidikan Islam
tertua yang ada di Indonesia, yang sampai pada saat ini menjadi alternative untuk
terus menjaga heritage kebudayaan Islam. Ketiga. Madrasah, yakni sekolah yang
disponsori oleh pemerintah, dalam mempelajarkan pendidikan Islam . Pengajian di
langgar merupakan bentuk pendidikan Islam tahap awal yang sangat sederhana.
Yang mana proses pembelajarannya anak-anak berkumpul membentu khalaqah
(lingkaran). Pelajaran atau materi yang dipelajari terbatas pada pembacaan alQur'an secara bergiliran saja. Dalam sistem ini, tidak ada tujuan pengajaran
(pendidikan), merode, dan kurikulum yang dirancang. Pengajaran dalam sistem ini
dinyatakan berhasil apabila para muridnya sudah mahir melafalkan ayat-ayar alQur'an yang sudah diajarkannya secara fasih dan lancar. Dalam sistem ini juga tidak
ada batasan usia murid dan lamanya proses pendidikan, selain itu tempat belajar
tidak menetap dan bisa berpindah-pindah. Selanjutnya adalah pesantren .

Pesantren selain sebagai lembaga pembelajaran Islam, pesantren juga berfungsi
sebagai motor penggerak pemberontakan kolonialisme belanda. Ajaran pesantren di
masa belanda, berbeda sekarang. Demi meningkatkan sense of belonging terhadap
Islam dan Indonesia, kiai-kiai pesantren menfatwakan haram menggunakan celana,
sepatu dan atribut-atribut kolonial lainnya. Politik haramnya tasyabbuh (menyerupai
Belanda) menjadi kerangka sistemik dalam pendidikan pesantren masa itu,
tujuannya untuk mendeferensiasi dari sistem sekolah (schooling) yang dibentuk
Belanda. Memang, dalam sejarah kebudayaan Indonesia, belanda juga
melaksanakan sistem pendidikannya menganut sistem secular. Tujuannya adalah
mereduksi kekuatan pesantren melalui kiai-kiainya. Madarsah di Indonesia sebagai
nama dari sebuah lembaga pendidikan Islam baru populer setelah awal abad kedua
puluh. Lembaga pendidikan Islam yang populer dikala itu adalah lembaga
pendidikan yang bersifat indegenius, yaitu pesantren, rangkang, dayah, dan surau.
Dengan masuknya ide-ide pembaruan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia
menginpirasi para pembaru untuk mengadopsi nama madrasah sebagai nama
sebuah lembaga pendidikan Islam yang telah disemangati oleh semangat baru.
Madrasah membawa semangat pembaruan. Hal ini dapat dilihat dari madrasah
sebagai gabungan dari dua sistem pendidikan yang telah muncul sebelumnya, yaitu
pesantren dan sekolah, jadi madrasah adalah hasil perpaduan dari dua sistem
sebelumnya. Adapun unsure yang diambi dari pesantren adalah ilmu-ilmu

keagamaan dan roh (semangat) keberagaman, sedangkan unsur yang diambil dari
sekolah adalah ilmu-ilmu pengetahuan umum serta sistem dan manajemen sekolah.
Perkembangan kebudayaan pendidikan Islam di Indonesia terus berkembang. Dari
madrasah, para intelektual muslim menginginkan adanya lembaga Tinggi Islam.
Tujuannya untuk mentradisikan ilmu-ilmu keislaman yang berkelanjutan. Perguruan
Tinggi Islam, berupa banyak bentuk kelembagaan. Dari IAI, STAI, dan yang paling
terakhir adalah Universitas Islam. Terbentuknya idea-idea tersebut merupakan
dialektika pemikiran manusia dan kebutuhan umat Islam. Inilah yang disebut
kebudayaan manusia dalam bentuk cipta, karya dan karsa. Setidaknya itulah sistem
pendidikan Islam di Indonesia, dari empat bentuk pendidikan Islam di atas, mungkin
hanya langgar atau surau yang tidak mempunyai problematika yang signifikan.

Pasalnya, pendidikan di surau tidak ada berkaitan dengan dunia politik nasional
atau global. Langgar tetap menjadi sarana pengajian bagi anak muda Islam.
Berbeda dengan Pesantren, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Tiga lembaga
pendidikan Islam terlihat mengalami distorsi kelembagaan ataupun kebudayaan.
Pesantren, yang dulunya, dijadikan lembaga perlawanan terhadap kolonialisme
belanda. Saat ini, ada beberapa pesantren “baru” yang menjadi lahan penanaman
ideologi-ideologi garis keras. Meski, tidak terjadi di mayoritas pesantren bersejarah
seperti Gontor, Sidogiri, Tebuireng Jombang, embrio pesantren garis keras menjadi
problematika tersendiri yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia. Salah satunya,
yang sudah menjadi common sense, adalah Pondok Pesantren Ngruki Jawa Tengah,
yang diasuh oleh Abu Bakar Ba’asyir. Pesantren baru ini, terkenal setelah terjadinya
bom Bali Pada bulan oktober 2002. KH. Hasyim Muzadi, menganggap bahwa
pesantren di Indonesia dewasa ini dipengaruhi oleh trans-nasionalisme. Transnasionalisme yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang di-suply konten ajaran
dan pendanaannya dari luar negeri. Berbeda dengan pesantren yang didirikan oleh
NU atau Muhammadiyah, keduanya menurutnya tidak akan pernah merubah
paradigmanya untuk mendukung pancasila sebagai kekuatan bersama di bawah
naungan NKRI . Selain itu, problem yang dihadapi pesantren juga lebih kompleks,
dibalik tumbuhnya tekhnologi dan kondisi masyarakat yang sangat pragmatis.
Pesantren dituntut tidak hanya memproduksi kiai belaka, melainkan juga para
profesional-profesional muda, yang sesuai dengan tuntutan pasar. Dua
permasalahan simple ini bisa menunjukkan bahwa globalisasi membuat pesantren
dituntut untuk beradaptasi. Sebenarnya ada isu-isu kebudayaan kontemporer lain,
yang dapat mempengaruhi sistem pendidikan pesantren, seperti halnya, politikpragmatis elite, femenisme, gender, pluralisme, multikulturalisme, dan kapitalisme.
Jadi, pesantren di abad ke-20, tidak mungkin menggunakan sistem pendidikan
klasik yang sudah turun temurun diwariskan para pendahulunya. Selanjutnya
adalah Madrasah dan Perguruan Tinggi, sebagai lembaga formal pendidikan Islam,
juga problematik. Menurut Nur Hamim, ada tujuh problem yang dihadapi lembaga
formal pendidikan Islam di Indonesia: 1) Problem filosofis pendidikan Islam. 2)
problem pengembangan kurikulum. 3) problem kualitas out-put pendidikan Islam. 4)
isue-isue kontemporer pendidikan dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam. 5)
problem kebijakan pendidikan Islam. 6) problem SDM Pendidikan Islam. 7) prospektif
pendidikan Islam di Indonesia . Dari tujuh problem pendidikan Islam rupanya tak
satupun bisa diselesaikan dengan seksama. Sudah banyak upaya-upaya yang
dilakukan, namun jauh dari memuaskan. Adi Husaini mengatakan bahwa problem
pendidikan (baik Islam atau Umum) adalah problem kebudayaan bangsa. Budaya
Indonesia akhir-akhir ini sulit digali nilai-nilai baiknya. Dia menambahkan, dengan
mengutip ungkapan budayawan Mukhtar Lubis, bahwa budaya indonesia adalah
hipokratis alias munafik, selanjutnya adalah segan dan enggan untuk bertanggung
jawab. Ketiga adalah jiwa feodal. Keempat adalah masih adanya kepercayaan
terhadap tahayyul. Kelima, watak yang lemah. Terakhir, kecendrungan masyarakat
adalah sifat boros . Tampaknya, apa yang diungkapkan oleh di atas, benar-benar
menjadi realitas seutuhnya dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Misalnya,
korupsi berjemaah yang dilakukan kalangan birokrat, sifat amnesia disaat
persidangan. Tentu saja, tidak semua orang membernarkan realitas ini, tapi seperti
itulah adanya. HAR. Tilaar menambahkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat

pedagogik. Oleh sebab itu, pedogogisme telah menciptakan masyarakat alien
(terasing), baik bagi dirinya atau masyarakat . Impasnya, tidak mengherankan
pendidikan seakan-akan menjadi jurang yang dalam, dan sulit dilalui oleh para
peserta didik. Faktanya, mungkin, memang demikian. Proses schooling
(penyekolahan formal) yang memagari iklim lingkungan pendidikan dan kehidupan
luar, mengakibatkan peserta didik hanya memahami individunya sebagai wujud
identitas tunggal, yakni sebegai seorang pendidikan, bukan agent kebudayaan. Prof.
Hamka memberikan gambaran sosok pribadi (peserta didik) yang jauh dari
komunitas masyarakatnya, dengan menyebutkan banyak guru, hakim, dokter, yang
mempunyai banyak karya dan gelar, tapi “mati” didalam masyarakat, hidupnya
seakan-akan hanya untuk kehidupan pribadi, cita-cita dan profesinya sendiri.
Masyarakat pendidikan di Indonesia lebih banyak “takut” keluar dari lingkungan
pendidikannya, dibandingkan keberaniannya hadir di pilahan masyarakat Istilah
“takut” yang diungkapkan oleh Hamka di atas, pasti, dapat dirasakan oleh
komunitas pendidikan di Indonesia, lebih-lebih Pendidikan Formal Islam (baca :
Madrasah dan PTAI). Pasalnya, pendidikan Islam masih teo-centris, dan jauh dari
kebutuhan masyarakat (sosial needs) dari aspek kapitalisme pasar. Inilah sejarah
sosial-budaya pendidikan Islam di Indonesia. Ada dua produk sosial-kebudayaan
pendidikan Islam di Indonesia yang murni dimiliki Indonesia, yakni langgar atau
surau dan pesantren. Sedangkan pendidikan Islam formal seperti madrasah
ataupun perguruan tinggi Islam, merupakan produk dialektika antara kebutuhan
masyarakat Islam dan kepentingan Global. Tidak mengherankan, di lembaga ini,
terdapat perdebatan filosofis, problematika sistem yang harus dianut, problematika
kualitas output yang diinginkan. Dengan demikian, sebuah keniscayaan, pendidikan
formal Islam mengintegrasikan nilai-nilai warisan cakrawala Islam dan tidak
menutup internalisasi yang dimiliki oleh ilmuan Barat. Futurologi pendidikan Islam;
multi-integrasi nilai-nilai kebudayaan Pendidikan Islam masa depan. Itulah yang
akan menjadi content pembahasan tulisan ini. Sebenarnya, sudah ada banyak
tawaran format pendidikan Islam masa depan. Terminologinya pun berbeda-beda.
Salah satunya adalah pendidikan integratif. Pendidikan Intergratif adalah langkah
kedepan untuk menghilangkan dikotomi Pendidikan Islam. Sebagai produk
pendidikan masa depan. Pendidikan integratif dilatarbelakangi oleh permasalahan
dualisme pendidikan, baik secara keilmuan dan kelembagaan. Dari segi keilmuan
ada kegelisahan ilmuan muslim, terhadap sistem pendidikan Islam yang bernuansa
Barat. Kurikulum yang digunakan adalah produk kajian Islam-Barat, bukan langsung
dari hasil karya umat Islam. Dengungan ini, banyak diungkapkan kelompok antiBarat, contohnya, Hartono Ahmad Jaiz, Naquib al-Attas, dan lain sebagainya. Dilain
pihak, terdapat sosok Mukti Ali, Azzumardi Azra, dan beberapa intelektual muslim
modernis lainnya, yang beranggapan pendidikan Islam berkontekstualisasi dengan
kebutuhan zaman. Menurut mereka, perlu diakui bahwa basis-metodologi Barat
lebih dapat dipertanggung jawabkan (measuremental) dibandingkan mengandalkan
kajian-kajian klasik yang dimiliki oleh umat Islam. Oleh sebab itulah, pendidikan
integratif, bertujuan untuk menegasikan dualisme dengan mencari nilai-nilai
kesamaan bukan perbedaan. Tawaran futurologi adalah pendidikan Islam humanisrelegius. Tawaran ini dilandasi dari anggapan bahwa pendidikan Islam jauh dari
humanis (memanusiakan manusia), di sisi lain, pendidikan Islam mempunyai sikap
keagamaan yang kuat, moralitas mereka lebih beradab dibandingkan sekolah-

sekolah umum lainnya. Pendidikan Islam tidak humanis karena memaksakan
hafalan, melegalkan pemukulan, dan pendisiplinan yang dipaksakan. Contoh dari
tindakan ini, banyak terlihat di pondok pesantren atau madrasah di pondok
pesantren, dimana santri harus menghafalkan nadzam, tahlil, dan lainnya. Di sisi
lain, sekolah umum yang lebih longgor mempunyai kelemahan sikap keagamaan
(relegiuisitas). Moralitas mereka jauh dari baik dan shaleh layaknya pondok
pesantren. Oleh karenanya pendidikan humanis-religius ditawarkan. Tawaran
hampir mirip dengan ini adalah pendidikan yang mengintegrasikan sikap
rasionalitas dan spritualitas. Sebagaimana yang ditawarkan oleh Abdurrahman
Mas’ud . Itulah beberapa bentuk tawaran ilmiah yang dapat dilaksanakan sebagai
konsep pendidikan Islam masa depan. Namun, menurut penulis, diskursus (wacana)
tetap saja berwujud diskursus, tidak akan berfungsi apa-apa. Berbeda kalau
seandainya semua diskursus tersebut diakui sebagai karya kebudayaan secara luas.
Seyogyanya, yang perlu diintegrasikan adalah integrasi nilai-nilai kebudayan
(cultural integrated). Pasalnya, kebudayaan adalah keseluruhan sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.
Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi
manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral,
norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan
sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi,
seni, dan sebagainya. Kontjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan, bagi
seorang antropolog, adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia
dengan belajar” . Dari sebuah gagasan tersebut kemudian menjadi sistem sosial,
sistem ekonomi, termasuk sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Menurut Tilaar
menyatakan ada tujuh kandungan modal kebudayaan dengan arti yang luas :
Pertama Modal alam atau lingkungan yang akan dioleh oleh manusia sebagai
pemiliknya, Kedua, Modal keuangan suatu negara. Ketiga Modal fisik yang dimiliki
oleh manusia. Keempat Modal kelembagaan seperti pemerintahan Kelima Modal
pengetahuan seperti halnya lembaga pendidikan Keenam, Modal manusia yang
memiliki wawasan. Ketujuh, Modal dalam bidang bahasa . Tawaran integrasi tidak
hanya satu sisi nilai integrasi individu (rasionalitas-spritual, humanitas-releguisitas
dan lain sebagainya). Integrasi yang mesti dilakukan harus multi-dimensi
keseluruah kebudayaan manusia dan berkaitan pada modal-modal kebudayaan
manusia. Yang mestinya diintegrasikan adalah tiga wujud kebudayan. Wujud
pertama adalah kebudayaan sebagai suatu kompleksifitas idea-idea, gagasangagasan, nilai-nilai, aturan dan lain sebagainya. Wujud kedua adalah kompleksifitas
aktivitas tindakan dan tindakan yang berpola dalam masyarakat. Wujud terakhir
adalah benda-benda hasil karya manusia . Semua wujud itulah yang seyognya
diintegrasikan sebagai solusi dari problematika pendidikan Islam. Setidaknya ada
tiga keyword integrasi yang dapat disimpukan. Pertama Idea Pendidikan Islam,
Kedua, Tindakan masyarakat dalam pendidikan Islam. Ketiga Produk kebudayaan
pendidikan Islam. Pada sisi integrasi idea-idea pendidikan Islam, sebenarnya, sudah
banyak pola integrasi yang ditawarkan kepada masyarakat. Salah satu contohnya
adalah integrasi kurikulum antara pendidikan umum dan pendidikan agama, atau
integrasi dualisme ontologi manusia antara sifat rasional dan spritual. Tentunya,
semua poros integrasi ini hanya berkaitan dengan idea-idea, gagasan, pemikiran

sebagai sebuah diskursus, dan tidak akan menampilkan tindakan-tindakan dalam
wujud sistem sosial. Bahkan terkadang antara kerangka gagasan dengan
realistanya tidak dapat ditemukan. Integrasi pendidikan Islam melalui sistem
“tindakan pembudayaan” bisa dilaksanakan tanpa mereduksi keyakinan masyarakat
terhadap suatu kebenaran. Salah satu contohnya adalah dengan mendidik agen
kebudayaan (agent of culture) dengan sikap modal moralitas yang baik, tanpa
menyalahkan sistem keyakinan yang mereka miliki. KH. Hasyim Muzadi menyatakan
bahwa kenapa mesti ide-ide keilmuan yang mesti diislamkan, bukannya lebih
mudah dan realistis kalau seandainya orangnya yang diislamkan. Dengan artian,
para ilmuan didik melalui etika-etika, dan tanggung jawab berdasarkan keislaman.
Beliau medirikan Pondok Pesantren di dekat UI, tujuannya untuk membudayakan
tindakan Islam sesuai dengan kebudayan Islam Indonesia, bukan mengislamkan
gagasan-gagasan ilmu pengetahuan yang mereka miliki di Universitasnya. Terakhir
adalah integrasi “produk kebudayaan pendidikan Islam Indonesia”. Pesantren
adalah produk kebudayaan Indoensia asli. Sistem kebudayaan Pesantren adalah
pemondokan (college). Dan inilah yang seyogyanya diintegralkan di dalam
madrasah, dan perguruan tinggi. Alasanya, melalui sistem yang demikian,
pendidikan akan masuk menjadi sistem kebudayaan, pembiasaan mereka akan
merangi kehidupan dibawah sadar mereka. Produk dari sistem pendidikan ini
bukanlah educated people melainkan civilized people. Pembudayaan membutuhkan
waktu lama, sedangkan jam belajar di sekolah cukup sebentar. Inilah yang
dikembangkan oleh Thomas Jefferson dengan konsep “feodalisme intelektual”. Sang
Bapak demokrasi modern ini menganggap bahwa setiap orang memiliki
kemampuan, keinginan dan bakat yang berbeda-beda. Semuanya akan teratasi
apabila ada yang memimpin secara konfehensif. Feodalisme intelektual mempunyai
makna bahwa orang-orang yang berbakatlah yang akan memimpin kelompokkelompok masyarakatnya menuju satu kesuksesan . Di pesantren, setiap kelompok
masyarakat pasti ada musyrif, ustadz dan minimalnya punya ketua kamar yang
dihuni oleh orang yang lebih senior. “Manusia yang utuh adalah manusia yang
bebudaya”. Oleh karena itu, manusia adalah aget dari dirinya sendiri yang mencipta
kebudayaannya sendiri. Manusia harus memahami nilai-nilai kebudayaannya
sendiri, sebagai wujud dari kepribadiannya. Asimilasi kebudayaan Islam dan Barat,
hanya bagian untuk menjadi manusia yang utuh. Beberapa budayaan sudah
memberikan penjelasan yang demikian rupa tentang kebudayaan asli Indonesia.
Itulah yang seyogyanya menjaadi lapisan awal dari kebudayaan kita. Bukan orang
lain, atau internalisasi informasi yang dapat menghilangkan eksistensi, identitas
dan entitas kebudayaan Indonesia. Epilog Apa yang dibahas panjang dan lebar di
atas, adalah hasil dari kerangka kebudayaan manusia. Karya, karsa dan cipta yang
akan memberikan kesan berbeda-beda bagi pengkaji kebudayaan. Untuk mengubah
nature menjadi kebudayaan pastinya melalui proses pendidikan. Para pemikir
pendidikan Islam yang concern untuk mepertahankan nilai-nilai Islam, kemudian
menolak kebudayaan barat, dikarenakan pendidikan dan keyakinan mereka tentang
sebuah sistem kebudayaan. Begitu halnya, dengan para filosof pendidikan yang
adaptip dengan modernisme dan kemajuan zaman, seperti Syed Ahmad Khan,
Azzumardy Azra dan lain, juga meciptakan produk-produk intelektualitas
berdasarkan pedidikan dan kebudayaan yang ia selami. Oleh sebab itu, andai saja
agama bisa dikatakan sebagai produk kebudayaan atau perilaku-perilaku

keberagamaan dihasilkan oleh produk kebudayaan. Kenapa pendidikan Islam tidak
bisa dianggap sebagai produk kebudayaan yang bisa bertentangan seperti yang
bisa disebutkan oleh Samuel Huntington. Antropologi Pendidikan Islam mungkin
sangat jarang ditemukan menjadi kajian tersendiri. Sejarah sosiologi pendidikan
Islam include dalam sejarah peradaban Islam. Lagi-lagi, kajian antropologi
pendidikan lebih terlihat di Barat. Sepeti halnya, yang banyak dikutip oleh Tilaar
dalam buku-bukunya. Indonesia, dalam sistem pendidikan Islamnya, sudah
memberikan produknya yakni dengan pesantren, atau taman siswa oleh Ki Hadjar
Dewantara. Dua sistem pendidikan ini, bukan semata-mata mengajarkan ilmu,
melainkan mendisiplinkan tindakan-tindakan. Itulah yang mereka sebut sebagai
pembudayaan. Sebuah pelajaran yang masuk dibawah alam sadar manusia, dan
menjadi karakter setelah mereka keluar. Sistem pesantren memang sulit untuk
dievaluasi layaknya pendidikan umum, namun outputnya bisa dilihat dengan
perbedaan yang jelas. Orang pesantren tidak pernah dianggap asing oleh
masyarakat, karena modal mereka adalah budaya masyarakat. Sedangkan,
kelompok intelektualis (di kampus, atau madrasah), akan merasa diasingkan,
karena jauh teori dari praktek lapangan. Di pesantren mereka dimodali apa yang
masyarakat butuhkan, khususnya keagamaan. Di kampus, mereka dimodali ilmu,
yang terkadang lapangannya tidak dibutuhkan masyarakat.