MENGELOLA RESIKO DI LEMBAGA PENDIDIKAN I

MENGELOLA RESIKO DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
DI ERA GLOBALISASI
Oleh

Fridiyanto

“Risk management those activities that enable the risk manager to identify,
evaluate, and measure risk and uncertainty and their potential impact on the
organization.”
- C. Arthur William, Jr, 1995 –

Lembaga pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional,
sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jika dilihat secara kelembagaan, lembaga-lembaga
pendidikan Islam meliputi: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah tsanawiyah,
Madrasah Aliyah, dan Pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan tinggi Islam
terdiri dari: Sekolah Tinggi Agama Islam (Negeri dan Swasta), Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN). Keseluruhan lembaga
pendidikan Islam tersebut butuh pengelolaan resiko untuk mengantisipasi
ketidakpastian dalam berbagai bidang yang akan terjadi.
Opini ini mengulas manajemen resiko dalam perspektif pengelolaan

lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Teori manajemen
resiko tidak semerta-merta dapat diterapkan dalam lembaga pendidikan, tetapi
harus diartikulasikan, apa-apa saja yang benar-benar menjadi permasalahan dan
berpotensi menjadi resiko bagi lembaga pendidikan Islam. Olehkarena lembaga
pendidikan Islam tidaklah menghasilkan barang, melainkan mempersiapkan
generasi muda Islam. Maka opini ini menggali praktik manajemen resiko dalam
perspektif pendidikan. Sehingga setiap aktifitas lembaga pendidikan yang
mungkin dalam manajemen resiko (perspektif bisnis) bukanlah resiko, maka

dalam opini hal itu dapat dikatakan sebagai resiko. Misalnya permasalahan
kenakalan remaja: narkoba, tawuran, free sex merupakan resiko yang harus
diantisipasi.
Mengapa Lembaga Pendidikan Islam harus Kelola Resiko?
Konsekwensi dari aktifitas lembaga pendidikan Islam, pasti akan
menghadapi resiko. Resiko tidak bisa dihindari, karena tanpa adanya resiko
artinya tidak akan ada aktifitas. Olehkarena itu dalam manajemen resiko terdapat
prinsip high risk, high return. Artinya semakin tinggi peluang resiko akibat
sebuah program atau aktifitas organisasi, maka akan semakin besar peluang bagi
lembaga pendidikan Islam untuk mendapatkan keuntungan (return). Olehkarena
itu lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak perlu khawatir terhadap resiko.

Hanya perlu mengantisipasi resiko-resiko karena ketidakpastian mulai dari
merumuskan perencanaan organisasi.
Pengelolaan resiko yaitu merupakan antisipasi terhadap ketidakpastian
(uncertainty). Ketidakpastian merupakan antonim dari kepastian (certainty) yang
merupakan

sebuah

persepsi

dan

sikap

dari

keragu-raguan.

Sedangkan


ketidakpastian menggambarkan sebuah persepsi dan pemikiran individu maupun
sebuah organisasi terhadap hasil atau aktifitas yang tidak diketahui secara pasti.
Olehkarena itulah aktivitas manajemen resiko dianggap menjadi solusi dari
sebuah ketidakpastian dan resiko-resiko yang akan dihadapi oleh lembaga
pendidikan Islam. Ketika diaplikasikan ke konteks lembaga pendidikan Islam,
apa-apa saja kah manifestasi resiko? Inilah yang akan diulas dalam opini ini. Saya
berupaya melihat resiko di lembaga pendidikan Islam sesuai dengan karakter
jenjang lembaga pendidikan. Walau pun terdapat banyak bentuk resiko di lembaga
pendidikan Islam, namun opini ini hanya membahas beberapa kasus saja.

Pengelolaan Resiko di MI dan MTs

Apa bentuk resiko di lembaga pendidikan Islam di level Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah? Dan apa-apa saja yang harus dipikirkan
dan diantisipasi agar resiko tersebut dapat diminimalisir dan tidak mengganggu
keberlanjutan organisasi. Dari sekian banyak resiko, menurut saya hal terpenting
yang harus diantisipasi di sebuah level Pendidikan Usia Dini, Madrasah
Ibtidaiyah, adalah mengenai jaminan keselamatan bagi peserta didik.
Mengapa keamanan peserta didik adalah resiko? Dalam berbagai kasus,
banyak terjadi peristiwa yang membahayakan bahkan menghilangkan jiwa anak.

Ambil contoh kasus yang pernah terjadi di SD Al-Azhar Kota Jambi ketika siswi
kelas 2 SD yang ditabrak mobil di dalam lingkungan sekolah, hingga meninggal.
Sementara di Kota Medan Sumatera Utara juga pernah terjadi beberapa siswa
tertabrak mobil guru dalam lingkungan sekolah, hingga banyak murid yang luka
parah. Tidak hanya kasus yang mengancam jiwa peserta didik, tetapi penting juga
mengantisipasi maraknya terjadi kasus pelecehan terhadap peserta didik.
Sebagaimana yang pernah terjadi di Jakarta International School, beberapa siswa
sekolah dasar JIS mengalami pelecehan seksual yang dilakukan guru dan penjaga
sekolah JIS. Namun tidak jarang juga dalam pemberitaan mengenai pelecehan
seksual maupun kekerasan fisik juga terjadi di pesantren-pesantren.
Apakah kasus-kasus tersebut termasuk dalam ranah manajemen resiko?
Menurut saya sebuah lembaga pendidikan harus mengantisipasi kasus-kasus
seperti ini menjadi sebuah resiko yang berkemungkinan potensial akan
menghancurkan kredibilitas dan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan Islam.
Jika sekali saja sebuah lembaga pendidikan Islam, misalnya mengalami kasus
pelecehan sexual maka akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat
dan orang tua untuk menyekolahkan anak mereka di lembaga tersebut. Begitu
juga jika kasus-kasus yang diakibatkan kelalaian dan menyebabkan peserta didik
menjadi terancam jiwanya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan pihak sekolah
akan berurusan dengan hukum, yang hal ini sangat tidak baik bagi pembangunan

citra positif lembaga.

Di level sekolah dasar yang nota bene peserta didiknya terdiri dari anakanak. Membuat sekolah perlu memberikan perhatian ekstra terhadap keamanan
diri dan keamanan jiwa bagi peserta didik dari berbagai ancaman. Anak-anak
adalah harapan para orang tua yang menginginkan anak mereka terjaga di sekolah.
Olehkarena itu tuntutan seperti ini harus mendapat perhatian sekolah dengan
mengantisipasi resiko melalui membangun konsep Sekolah Ramah Anak. Dalam
sekolah Ramah Anak ini sekolah telah mengantisipasi berbagai peristiwa berisiko
yang dapat mengancam diri dan jiwa anak. Misalnya mulai dari kantin-kantin
yang ada di sekolah harus benar-benar telah diperiksa dan dijamin kebersihan dan
kesehatan dari jajanan yang dijual. Sehingga anak-anak yang membeli cemilan
atau jajanan di kantin sekolah tidak mengalami sakit, tetapi harus menambah
asupan gizi dikarenakan kantin sekolah yang sehat dan jajajanan yang enak dan
bergizi. Begitu juga dengan hal yang bersifat mengancam keselamatan jiwa anak,
tidak boleh ada aktifitas, benda, atau peralatan yang dapat mengancam
keselamatan anak di lingkungan sekolah. Misalnya, ketika sedang berlangsung
proses pembangunan gedung di dalam lingkungan sekolah, maka harus benarbenar dijamin bahwa aktifitas tersebut tidak akan melukai peserta didik. Pada
level sekolah dasar ini, keselamatan diri peserta didik dalam berbagai aspek
merupakan sentral yang harus diperhatikan seorang manajer resiko (kepala
sekolah).

Pengelolaan Resiko di Madrasah Aliyah
Di level sekolah Islam Madrasah Aliyah yang secara psikologis merupakan
masa panca roba (pubertas) menyebabkan pada level ini pihak sekolah lebih
merasa sulit menghadapi berbagai potensi aktivitas beresiko yang akan dilakukan
peserta didik. Tawuran, Narkoba, Free Sex menjadi ancaman tersendiri dan pasti
akan dihadapi pihak sekolah pada level menengah atas. Olehkarena itu pihak
sekolah harus memandang tiga isu besar kenakalan pelajar tersebut menjadi poin
bagi penanganan resiko di Madrasah Aliyah. Jika tidak, sebuah sekolah yang
sering terjadi tiga kasus tersebut, maka akan mendapatkan pencitraan yang tidak
baik di masyarakat, karena dianggap telah gagal mendidik siswa dan siswinya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lembaga pendidikan adalah,
bahwa setiap aktifitas manajemen, dan aktifitas pembelajaran adalah semata-mata
diarahkan untuk mempersiapkan generasi muda yang cerdas berakhlak dan
berkarakter. Jika sekolah mampu mencitrakan sebagai sekolah yang bebas dari
resiko Tawuran, Narkoba dan Free Sex. Maka sekolah akan mendapat perhatian
publik dan akan mendapat perhatian yang besar bagi orang tua untuk memilih
sekolah tersebut.
Bagaimana mengelola tiga resiko besar tersebut? Untuk kasus Tawuran,
pihak sekolah harus mengantisipasinya dengan menyalurkan energi siswa ke

berbagai kegiatan yang dilakukan berdasarkan minat dan bakat peserta didik,
misalnya musik, bela diri, dan kegiatan seni. Sedangkan untuk resiko Narkoba,
pihak sekolah harus rutin melakukan kampanye, bahkan bekerjasama dengan
pihak kepolisian untuk sosialisasi bahaya dan ancaman bagi pengedar dan penjual
narkoba. Untuk penyimpangan Free Sex yang akhir-akhir ini begitu marak terjadi
pada kalangan pelajar, pihak sekolah harus memberdayakan unit Bimbingan
Konseling, dan aktifitas relegius yang akan membangun kesadaran peserta didik
bahwa aktifitas free sex adalah perbuatan yang dilarang. Selain itu juga harus rutin
menjelaskan bahaya free sex yang disampaikan oleh pihak kesehatan atau pun
organisasi masyarakat yang konsern terhadap permasalahan ini.
Pengelolaan Resiko di STAIN/IAIN
Dalam opini ini, saya memisahkan ulasan dan analisis dua lembaga
pendidikan Islam yaitu: STAIN/ IAIN dan UIN. hal ini dikarenakan setelah
transformasi kelembagaan beberapa IAIN menjadi UIN, maka otomatis resiko
yang akan dihadapi oleh lembaga perguruan tinggi Islam ini akan berbeda.
Resiko terbesar yang dihadapi STAIN dan IAIN yang lebih menonjolkan
tradisi kajian Islam dalam fakultas-fakultas: Syariah, Tarbiyah, Ushuluddin,
Dakwah, dan Adab adalah berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang
pragmatis. Sehingga mempertahankan konsep tersebut berpeluang bagi STAIN
atau pun IAIN ditinggalkan calon mahasiswa, karena menganggap program studi


yang ada tidak aplikatif bagi dunia kerja. Lalu bagaimana mengantisipasi resiko
ditinggalkan calon mahasiswa?
Dinamika dan problematika yang dihadapi IAIN tersebut banyak disikapi
dengan memilih sikap untuk berubah menjadi UIN. Namun bagi IAIN yang masih
ada perlu mengelola resiko akibat mempertahankan tradisi IAIN tersebut dengan
membenahi tata kelola, dan perlu semakin menciptakan citra positif sebagai
kampus yang moderat dan berkemajuan. IAIN dengan segala tradisinya tetap akan
memperoleh perhatian masyarakat Islam

jika pihak kampus berkomitmen

membenahi kualitas program studi (akreditasi). Dimulai dari meninjau ulang dan
merevisi kurikulum, meningkatkan kualitas dosen, serta menambah kegiatankegiatan akademik bagi mahasiswa apakah yang berbentuk hard skill atau pun
soft skills. Manajemen resiko di IAIN harus ditekankan pada penawaran aktifitas
akademik, karena masyarakat akan menilai kinerja mutu yang ada di IAIN. Jika
IAIN tidak mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan, maka resiko
semakin ditinggalkan akan menjadi pasti.
Pengelolaan Resiko di UIN
Apakah resiko terbesar dan paling potensial di Universitas Islam Negeri

yang ada di Indonesia saat ini? Terdapat sebelas UIN (UIN Syarief Hidayatullah
Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maliki Malang, UIN Sunan Ampel
Surabaya, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Semarang, UIN Al-Lauddin
Makassar, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, UIN Palembang, UIN Sumatera Utara).
Bentuk-bentuk resiko apa saja yang dimungkinkan akan terjadi di UIN yang akan
menentukan masa depan UIN.
Hal utama yang dijual perguruan tinggi Islam kepada masyarakat adalah
program studi, status akreditasi, baru kemudian menyusul fasilitas, pelayanan,
tenaga pengajar, dan branding dari perguruan tinggi. Ketika masih IAIN
perguruan UIN masih menonjolkan kajian islam sebagai produk yang dijual.
Namun setelah transformasi menjadi UIN, program studi unggulan UIN adalah
program studi umum, seperti Kedokteran, Teknik, Komputer. Namun resiko yang

kemudian muncul akibat perubahan core bussiness adalah UIN seperti telah
melupakan mandat awalnya sebagai pusat pengkajian Islam. Olehkarena itu
antisipasi semakin meredupnya minat mahasiswa untuk studi kajian Islam harus
dianggap sebagai resiko dari program UINisasi yang sedang berlangsung.
Tipe resiko yang dihadapi UIN ini bisa diantisipasi dengan berbagai
pendekatan, diantaranya: Pertama, raw input atau mahasiswa yang akan kuliah di
UIN harus memiliki kemampuan dasar dalam Islam, minimal bisa mengaji, untuk

selanjutnya bisa dikembangkan di Ma’had sebagaimana yang telah diterapkan di
UIN Maliki Malang. Kedua, proses perekrutan dosen program studi umum harus
benar-benar selektif. Calon dosen yang mengampu mata kuliah di proram studi
umum tersebut harus memiliki wawasan akan khasanah keilmuan Islam, serta
harus memahami konsep integrasi ilmu yang diharapkan sehingga dapat
diaplikasikan ketika mereka mengajar. Ketiga, calon-calon dosen yang akan
mengajar di UIN ketika mereka telah diterima harus mengikuti semacam
matrikulasi yang menekankan kajian terhadap Al-Qur’an, Hadits, Sejarah Islam,
dan Filsafat Islam. Out put atau produk yang diharapkan adalah para calo dosen
tersebut

harus mempersiapkan kurikulum dan silabus yang di dalamnya

mencerminkan visi dari integrasi keilmuan. Sehingga, misalnya dosen Ilmu
Komputer harus memiliki konsep bagaimana Ilmu Komputer juga dapat dilihat
dengan kajian-kajian Qur’ani.
Pengelolaan Resiko di PTAIS
Tidak bisa dipungkiri bahwa resiko yang dihadapi oleh perguruan tinggi
Islam swasta sangat berbeda sebagaimana yang ada pada STAIN, IAIN, dan UIN.
berbedanya bentuk dan tingkat resiko ini dikarenakan perguruan tinggi swasta

yang lebih memiliki otonomi luas, dikarenakan maju atau mundur, berlanjut atau
matinya perguruan tinggi Islam swasta sangat tergantung dari kehendak dan
manajemen internal dari para pengelola perguruan tinggi Islam swasta.
Perguruan tinggi Islam swasta yang berada di bawah Dirjen Pendidikan
Islam Kementrian Agama, biasanya berbentuk Sekolah Tinggi Agama, Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah. Sedangkan unversitas yang memakai nama “Islam”
biasanya berada di bawah naungan Dikti (sekarang Kemenristek Pendidikan
Tiggi).
Resiko terbesar yang hampir bisa dipastikan terjadi, di sebuah perguruan
tinggi yaitu terjadinya konflik keorganisasian permasalahan kepemilikan lembaga.
Karena lembaga yang berbentuk yayasan biasanya didirikan oleh beberapa orang,
maka sangat berpeluang ketika perguruan tinggi tersbut mulai berkembang mulai
terjadi perebutan sumber daya organisasi. Beberapa kasus besar yang dapat
dipelajari dari beberapa kampus besar yang berkonflik, misalnya Universitas
Trisakti di Jakarta, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Sebenarnya
juga banyak terjadi konflik yang terjadi perguruan tinggi Islam di Indonesia,
hanya karena kebanyakan perguruan tinggi tersebut bukanlah perguruan tinggi
yang prestisius maka tidak mendapat liputan dan perhatian serius dalam
pemberitaan di media cetak, visual aau pun online.
Berdasarkan banyaknya kasus hancurnya sebuah kejayaan perguruan tinggi
swasta dikarenakan konflik. Maka potensi dari resiko terhadap konflik tersebut
perlu mendapat perhatian utama bagi para pengelola lembaga pendidikan tinggi
Islam swasta. Pertanyaannya adalah bagaimana mengantisipasi potensi resiko
akibat konflik tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu terlebih
dahulu mengklasifikasikan tipe konflik di perguruan tinggi swasta. Sebagaimana
diketahui bahwa perguruan tinggi swasta secara kepemilikan meliputi: Milik
Keluarga, Milik masyarakat (berbagai penanam saham), Milik Organisasi
Masyarakat, dan Milik Yayasan. Dari berbagai tipe kepemilikan tersebut potensi
terbesar perguruan tinggi Islam jika diperingkat yaitu: Milik Yayasan, Milik
organisasi masyarakat, Milik Masyarakat, dan Milik keluarga.
Perguruan tinggi Islam swasta yang dikelola yaysan berpotensi menghadapi
resiko akibat konflik dikarenakan, biasanya pendirian yayasan oleh para pendiri
terdahulu memiliki sebuah kesepakatan dan komitmen bersama. Namun konflik
berpotensi terjadi ketika perguruan tinggi swasta mulai mengalami kejayaan dan

mengalami transisi dan dikelola oleh keturunan pemilik yayasan. Sehingga ketika
dikelola oleh para penerus inilah sering terjadi konflik dikarenakan perebutan
legitimasi yang sebenarnya dimanfaatkan untuk memanfaatkan sumber daya
organisasi. Lalu apakah solusinya? Sebagaimana yang ditawarkan oleh C. Arthur
William, Jr dkk dalam buku Risk Management and Insurance lebih penekanan
pada pemanfaatan asuransi. Namun adakah asuransi untuk mengkover resiko
akibat konflik keorganisasian? Tentu tidak ada, maka hal utama yang dilakukan
oleh perguruan tinggi Islam swasta adalam membenahi tata kelolanya dengan baik
dan dilandaskan dengan etika (prinsip Islam).
Perguruan tinggi Islam harus mampu mengelola resikonya dimulai dari
good governance keorganisasian. Sebuah lembaga yang sehat harus menjalankan
prinsip-prinsip: Pengelolaan terencana, Responsif, Transparan, Taat aturan
hukum, Partisipasi, Tanggung jawab, Efektifitas dan efisien, Adil dan bersifat
umum, dan berorientasi konsensus.1 Tanpa menjalankan prinsip tata kelola yang
baik ini maka perguruan tinggi Islam swasta terancam menghadapi konflik yang
beresiko mempercepat kemunduran bahkan kehancuran organisasi. Jika perguruan
tinggi Islam swasta mampu menerapkan sembilan prinsip pengelolaan organisasi
yang baik tersebut maka perguruan tinggi Islam swasta tersebut sedang
menjalankan manajemen resiko dan akan mampu menjadi pemain dalam
persaingan perguruan tinggi apakah sesama perguruan tinggi Islam atau perguruan
tinggi umum.
Antisipasi Resiko selain Asuransi
Jika Arthur (1995) lebih menekankan pemanfaatan asuransi untuk
mengantisipasi ketidakpastian dan menghadapi resiko. Maka saya berpendapat
bahwa pengelolaan resiko pada tahap awalnya adalah harus membenahi
keorganisasian sesuai dengan prinsip, fungsi, dan tujuan sebagaimana yang
dianjurkan dalam kajian-kajian manajemen. Jika dirinci lebih lanjut dalam sebuah
lembaga pendidikan Islam yang peduli terhadap antisipasi resiko harus mampu
1 Poin-poin ini diambil dari perkuliahan Manajemen Resiko dengan Prof. Dr. H. Bambang
Widagdo dalam materi Tata Kelola yang Baik dan Beretika.

membangun organisasi yang sehat, adanya sistem evaluasi diri, adanya
akuntabilitas, dan adanya delegasi atau penerapan prinsip-prinsip otonomi dalam
menjalankan program organisasi.
Ketika resiko sudah diantisipasi mulai dari budaya organisasi yang sadar
resiko. Maka lembaga pendidikan Islam akan dapat mengantisipasi poin-poin
resiko yang telah diuraikan di atas. Pihak lembaga pendidikan Islam harus
menampilkan kepemimpinan mutu yang akan mengarahkan gerak organisasi
untuk perbaikan terus menerus dan keberlanjutan organisasi. Dengan organisasi
yang sehat, seyogyanya lembaga pendidikan Islam dapat mengantisipasi resikoresiko secara teknis sebagaimana yang dikemukakan oleh Arthur dalam buku Risk
Management and Insurance. Kalau organisasi tidak sehat maka program-program
resiko seperti asuransi, hanya akan menjadi tidak efisien dan berdaya guna.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas

dapat disimpulkan mengenai perlunya

perspektif lain dalam manajemen resiko yang lebih menjadikan asuransi sebagai
sentral manajemen resiko. Di sebuah lembaga pendidikan Islam, resiko yang
dihadapi sangat beragam dan sangat berbeda dengan dunia korporasi (bisnis).
Mulai dari konflik keorganisasian, resiko terhadap program studi yang dipilih, dan
resiko dari bentuk kelembagaan yang dipilih oleh lembaga pendidikan Islam.
Keragaman ketidakpastian tersebut menjadikan pola resiko di lembaga pendidikan
Islam menghadapi perbedaan dengan perusahaan yang menghasilkan produk.
Dalam lembaga pendidikan Islam core bussiness adalah mempersiapkan generasi
muda Islam agar dapat beradaptasi dengan kehidupan global. Olehkarena itu hal
terpenting yang harus dilakukan lembaga pendidikan Islam dalam pengelolaan
resiko adalah pentingnya membangun organisasi yang sehat. Dari organisasi dan
tata kelola yang sehat inilah program-program kerja ataupun aktivitas yang
dilakukan lembaga pendidikan Islam akan dapat meminimalisir high risk untuk
mencapai high return. Peran manajer sangat penting dalam pengelolaan resiko di
lembaga pendidikan, sehingga apa yang dikatakan oleh Arthur di awal tulisan ini

bahwa ketidakpastian dan resiko harus dikelola dan dipersiapkan dampaknya
terhadap lembaga pendidikan Islam.