PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM UPAYA PEMBANG (1)

PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM UPAYA PEMBANGUNAN
KARAKTER BANGSA DAN KESADARAN SEJARAH
Oleh
Ketut Sedana Arta
Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara pembelajaran sejarah
dalam upaya pembangunan karakter bangsa dan kesadaran sejarah. Pembelajaran sejarah
memiliki posisi penting dalam program pembangunan karakter bangsa, apalagi kalau
dilihat perkembangan bangsa yang diwarnai oleh peristiwa korupsi, nepotisme, narkoba,
perjudian, perkelahian antarpelajar/antarmahasiswa, konflik berbau SARA. Keadaan yang
demikian memerlukan langkah-langkah yang strategis diantaranya penerapan pendidikan
karakter melalui mata pelajaran sejarah.
Banyak materi sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter
bangsa, dan harus ditunjang dengan penggunaan startegi, pendekatan serta metode
mengajar sejarah yang inovatif, sehingga diharapkan terjadi proses transformasi dan
internalisasi nilai-nilai luhur keindonesiaan seperti nilai-nilai religiositas, kemanusiaan
dan keadilan, nasionalisme, patriotism, demokrasi, kearifan, keteladanan. Untuk itu
diperlukan motivasi dalam diri sejarawan pendidik untuk mengubah pembelajaran sejarah
yang menekankan ceramah menjadi pelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan
menyentuh aspek-aspek afektif (kecerdasan emosional dan spiritual). Dengan demikian
pembelajaran sejarah yang menekankan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual

melahirkan kesadaran sejarah yang sejati.
Kata kunci: Pembelajaran sejarah, karakter bangsa, kesadaran sejarah
Abstract
This writing aim to to know related/relevant between study of history in the effort
development of nation character and awareness of history. Study of history have
important position in program development of nation character, more than anything else
if seen growth of nation coloured by event of corruption, nepotism, narkoba, gambling,
fight of student, conflict smell SARA. Such Situation need strategic stages;steps among
others applying of education of character through history subject.
Many history items able to be exploited to develop;build nation character, and
have to be supported with usage of startegi, approach and also method teach history
which inovatif, so that expected happened process of transformasi and of internalisasi
august values identity of indonesia like values of religiositas, human and justice,
nationalism, patriotism, democratize, wisdom, byword. That needed by motivation in
educator historian x'self to alter study of history emphasizing discourse become more
having a meaning Iesson, kontekstual, and touch aspects of afektif ( emotional
intellegence and spiritual). Thereby study of history emphasizing intellectual intellegence,
emotional and spiritual bear awareness of real history
Keyword: Study of history, nation character, awareness of history


1

1.1 Latar Belakang
Historia Vitae Magistra (sejarah adalah guru kehidupan) merupakan suatu
ungkapan bahwa mempelajari sejarah adalah sangat penting karena sesorang yang
mempelajari sejarah dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi di masa
lampau. Hal tersebut dipertegas oleh Ismaun (2005) yang menyatakan kita
hendaknya tidak hanya belajar tentang sejarah, melainkan juga belajar dari
sejarah, karena sejarah menyimpan pengalaman berharga yang dapat memberikan
kearifan.
Mempelajari sejarah tidak aka nada maknanya bila tidak disertai
pemahaman akan nilai yang terkandung. Menurut Ismaun (2005) melalui berbagai
kajian yang mendalam terhadap berbagai pendapat dan pengalaman dan orangorang bijak di masa lampau, nilai-nilai sejarah berupa pengalaman-pengalaman
manusia, tetapi tidak bisa dibantah bahwasannya manusia itu pada umumnya
gemar menggunakan pengalaman-pengalaman itu sebagai pedoman atau contoh
untuk memperbaiki kehidupannya. Sedangkan fungsi sejarah pada hakekatnya
adalah untuk meningkatkan pengertian atau pemahaman yang mendalam dan lebih
baik tentang masa lampau dan juga masa sekarang dalam inter relasinya dengan
masa datang. Sedangkan kegunaan atau manfaat sejarah ada empat yakni bersifat
edukatif bahwa sejarah membawa kebijaksanaan dan kearifan; kedua bersifat

inspiratif artinya memberi ilham; ketiga, bersifat instruktif, yaitu membantu
kegiatan menyampaikan pengetahuan atau ketrampilan, dan keempat, bersifat
rekreatif, yakni memberi kesenangan estetis berupa kisah-kisah nyata yang
dialami manusia.
Fungsi dan peran tersebut akan bertambah kuat jika dibarengi dengan
pembelajaran sejarah yang bermakna, yang didukung oleh guru sejarah yang
memiliki kompetensi. Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi pedagogik,
professional, sosial, kepribadian. Dengan demikian misi dari pendidikan sejarah
untuk menumbuhkan kesadaran sejarah dan membangun karakter bangsa bisa
terwujud.

2

1.2 Pembahasan
A. Makna Pembelajaran Sejarah
Salah satu aspek proses pendidikan termasuk pendidikan sejarah sejarah
adalah membangun karakter anak didik. Karakter merupakan standar atau norma
dan sistem nilai yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri.
Karakter diri dilandasi nilai-nilai luhur yang pada akhirnya diwujudkan dalam
bentuk perilaku. Oleh karena itu pendidikan yang mengembangkan karakter

adalah bentuk pendidikan yang bisa mengembangkan sikap etika, moral dan
tanggung jawab. hal itu merupakan usaha intensional dan proaktif dari sekolah,
masyarakat dan Negara untuk mengisi pola dasar anak didik, yaitu nilai-nilai etika
seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, rasa
empati, toleransi, disiplin diri dan sebagainya (Haidar Nashir, 2013:v).
Keterlibatan semua pihak termasuk guru sejarah memiliki andil dalam
mengembangkan pendidikan karakter, dengan mengemas pendidikan sejarah
melalui strategi pembelajaran sejarah yang inovatif kontenporer (Wena, 2013).
Widja (2012:102) menegaskan bahwa pentingnya peran pendidikan
sebagai proses sosialisasi dalam pendidikan karakter, lebih-lebih dalam
menghadapi masalah-masalah dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara
seperti munculnya sentiment-sentimen kesukuan yang bisa mengeskalasi
keseluruh anggota suku bangsa menjadi konflik terbuka. Kekhawatiran tersebut
sudah terbukti seperti yang terjadi pada konflik-konflik yang terjadi di Lampung,
Sumbawa.
Pendidikan karakter terasa sangat diperlukan berkaca pada berbagai
peristiwa di tanah air, seperti korupsi yang merajalela dari level eksekutif,
legeslatif, dan yudikatif. Perkelahian pelajar di berbagai kota, kekerasan yang
mengatasnamakan agama, money politik dalam pemilu dan pemilukada.
Bercermin dari keadaan tersebut patut dipertanyakan sudahkah penyelenggaraan

pendidikan nasional melahirkan para pemimpin dan sumberdaya manusia yang
berakarkter seperti berdaulat, jujur, tangguh, perduli, rela berkorban. Sardiman
(2012: 204) memberikan argument bahwa keadaan yang demikian disebabkan
warga bangsa melupakan produk sejarah yang monumental yakni Pancasila, yang
tidak dipahami, sistem dan rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana

3

diamantkan Pembukaan dan pasal 31 UUD 1945 kurang diperhatikan. Indikator
bahwa masyarakat kurang memahami dan memperhatikan sejarah perjuangan
pendahulunya adalah remaja tidak senang dan tidak berminat pelajaran sejarah
karena tidak menarik, tidak penting karena tidak di UN-kan, dianggap pelajaran
tambahan yang dapat diajarkan oleh siapa saja.
Pengabaian pelajaran sejarah di sekolah akan berakibat makin rendahnya
pengetahuan generasi muda tentang masa lampau tentang proses terjadinya bangsa
Indonesia. Bahkan dalam jangka panjang berakibat hilangnya jati diri atau krisis
identitas, ketidaktahuan posisi Indonesia dalam bidang politik, ekonomi,
antarbangsa dan peradaban dunia serta nasionalisme Indonesia. Bisa jadi cara
pandang anak didik menjadi ahistoris dan kurang memahami proses integrasi dan
perjuangan panjang untuk menjadi bangsa Indonesia. Keadaan demikian sejalan

dengan pendapat Benidict Anderson (2008) bahwa bangsa Indonesia sebagai
imagine communities (komunitas-komunitas terbayang). Keadaan yang demikian
dapat dijadikan tantangan guru sejara, bagaimana mengajarkan sejarah sehingga
siswa dapat memetik nilai sejarah yang terkandung didalamnya dengan
menggunakan metode dan media mengajar (G.P Hill, 1956: 35). Dengan
meminjam pendapat (Behan McCullagh, 2010:301) bahwa pembelajaran sejarah
di sekolah dan universitas hendaknya mampu melatih siswa berpikir kritis
sehingga mampu kritis terhadap fakta sejarah, kritis terhadap interpretasi, dan
penjelasan sejarah.
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka pembelajaran sejarah
dapat dikatakan sebagai suatu proses kegiatan yang mendorong dan merangsang
peserta didik merekontruksi dan memperoleh pengetahuan sejarah yang kemudian
terjadi proses internalisasi nilai yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan
sosial

kemasyarakatan

dan

kebangsaan,


serta

menghayati

nilai-nilai

kemanusiaannya, sehingga membawa perubahan tingkah laku sebagai proses
pengembangan kepribadian atau karakter peserta didik. Dengan kata lain
pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membangun kedirian anak didik
melalui pesan-pesan sejarah agar memahami berbagai aspek dan masalah
kehidupan masyarakat dan bangsa untuk menjadi lebih kritis, arif, empati,

4

memiliki semangat kebangsaan sehingga memiliki jati diri yang kokoh dan
bermatabat.
Secara umum dikatakan sejarah adalah peristiwa masa lampau. Terkait
masalah ini Sidi Gazalba (1966:11) menjelaskan sejarah adalah gambaran masa
lalu tentang manusia sebagai makhluk sosial dan kehidupan manusia dengan

lingkungannya yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta
dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan pemahaman tentang
apa yang telah terjadi di masa lalu. Sementara Carr (1982:30) menegaskan bahwa
sejarah merupakan proses interaksi yang terus-menerus antara sejarawan dengan
fakta-faktanya, sebuah dialog tanpa henti antara masa sekarang dengan masa
lampau. Senada dengan Carr, Soedjatmoko (1983:67) mengatakan sejarah adalah
proses interaksi yang terus menerus antara realitas sosial dengan manusia pada
setiap titik pada garis waktu. Oleh karena itu, harus ditafsir bahwa masa lampau
dalam sejarah bersifat dinamis, maksudnya bahwa masa lampau itu bukan suatu
final, tetapi bersifat terbuka dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan
masa yang akan datang. Oleh karena itu, sejarah dapat diartikan sebagai ilmu yang
meneliti dan mengkaji secara sistematis dari keseluruhan perkembangan
masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala aspek kejadiannya,
untuk kemudia dapat memberi penilaian sebagai pedoman penetuan keadaan
sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
Meminjam pendapatnya (Djoko Suryo, 1991) pembelajaran sejarah
dituntut dapat mengaktualisasikan dua hal, yakni 1) pendidikan dan pembelajaran
intelektual. Hal ini menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya memaparkan
penegtahuan factual, namun juga mampu melatih peserta didik untuk berpikir
kritis, melakukan investigasi, mampu menarik kesimpulan, memahami makna dari

suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan. Unsur pertanyaan
mengapa dan bagaimana penting untuk dikembangkan dalam pembelajaran
sejarah 2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, membangun moral bangsa,
civil society yang demokratis dan bertanggungjawab kepada masa depan bangsa.
Hal ini memberikan petunjuk bahwa pembelajaran sejarah juga berorientasi pada
pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, sosio kebangsaan,
norma-norma.

5

Pengembangan pembelajaran sejarah yang mengembangkan pendidikan
intelektual dan pendidikan kemanusiaan/moral, harapannya dapat menopang
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat
melandasi pendidikan intelektual,kecerdasan emosional, serta

kecerdasan

spiritual. Namun harus diakui pembelajaran sejarah di Indonesia masih
memprihatinkan. Terhadap masalah ini Widja (1991) memberikan alternatif
pemecahan terhadap pembelajaran sejarah yang dicap sebagai pelajaran hapalan

yang didominasi oleh situasi mencatat dan ceramah dengan mengadakan
pembaharuan pengajaran sejarah.Bahkan Widja (2002) menegaskan bahwa
pengajaran sejarah syogyanya tidak lagi terlalu menekankan pengajaran hapalan
fakta serta afektif doktriner tetapi lebih sarat dengan latihan berpikir historis kritis
analitis, membuat murid cerdas menghadapi tantangan zaman. Oleh Soedjatmoko
(1995) hal tersebut perlu didukung dorongan emansipatoris terhadap berbagai
prasangka ahistoris dalam lingkungan kehidupan, dan juga kemauan dari berbagai
pihak untuk menuju perubahan tersebut.
B. Membangun Karakter Bangsa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan, ahklak atau budi perkerti yang membedakan seseorang dengan orang
lain. Sedangkan Pendidikan Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan
peserta didik gunaa membangun karakter pribadi dan atau kelompok yang unik,
sebagai warga Negara yang baik.
Dalam pembelajaran sejarah, memahami makna dan tujuan pembelajaran
sejarah berarti memahami pula bahwa pembelajaran sejarah memiliki peran yang
sangat penting dalam pembangunan karakter bangsa. Melalui pembelajaran
sejarah, akan dikembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan telaah
terhadap peristiwa sejarah, dan menginternalisasikan berbagai nilai di balik

peristiwa tersebut. Menurut Lickona (1996:93) terdapat tiga alasan mengapa yang
mendesak mengapa kita harus mengembangkan pendidikan karakter bangsa di
sekolah yaitu pertama, kita membutuhkan karakter yang baik apabila ingin
menjadi manusia seutuhnya. Kita membutuhkan pikiran, hati dan kemauan yang

6

kuat sebagai contoh jujur, empati, perhatian, ketekunan, disiplin diri sendiri dan
dorongan moral. Kedua, sekolah merupakan tempat yang baik untuk mengajarkan,
menyebarluaskan nilai-nilai karakter bangsa. Ketiga, pendidikan karakter sangat
penting untuk membangun sebuah masyarakat yang bermoral.Sedangkan Menurut
Haryati (2010) terdapat empat jenis pendidikan karakter yang dilaksanakan dalam
proses pendidikan, yaitu: (1) pendidikan berbasis nilai religious yang meruapakan
kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral); (2) pendidikan karakter berbasis
budaya, antara lain berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan,
tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan); (3)
pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungn); (4) pendidikan
karakter berbasis potensi diri yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran
perberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.Pendidikan karakter yang bertujuan membangun karakter bangsa di
sekolah sejalan dengan pendidikan karakter yang berbasis potensi diri
Pembelajaran sejarah maupun pendidikan sejarah terjalin sinkronisasi,
yakni merupakan proses transformasi dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan
secara universal dan keindonesiaan pada peserta didik agar menjadi manusia yang
berkarakter dan bermartabat. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain: kearifan,
toleransi, empati dan keperdulian, berpikir kritis, demokratis dan tanggung jawab,
keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan,
kesetaraan,

nasionalisme

dan

patriotism

(Kabul

Budiono,

2007:93).

Beberapa nilai di atas jelas adapat digali dan dikembangkan melalui
pembelajaran sejarah. Untuk itu dituntut adanya kemampuan dan kemauan inovasi
dan kreativitas dari para guru sejarah terutama dengan penggunaan pendekatan
dan strategi pembelajaran tertentu untuk menggali dan mentrasformasikan serta
menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
Sebagai contoh ketika membahas materi tentang masa Hindu Budha dan Islam,
guru dapat menjelaskan dan menemutunjukkan nilai-nilai ketakwaan, toleransi
dan saling menghargai, kepedulian dan nilai-nilai keharmonisan dengan
lingkungan, serta melalui karya bangsa dapat dijadikan instrument menumbuhkan
kebanggaan dan jati diri bangsa.

7

Nilai-nilai pendidikan karakter yang digali melalui pembelajaran sejarah
menunjukkan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial kultural dapat dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional
development), olah pikir (physical and kinesthetic development) dan olah rasa dan
karsa (affective and creativity development). Keempat proses psikososial tersebut
secara holistic dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi,
serta masing-masing proses psikososial secara konseptual merupakan gugus nilai
luhur yang didalamnya terkandung nilai (Kemendiknas, 2010:8-9) seperti pada
tabel berikut ini
Tabel 1. Gugus Nilai Luhur
DIMENSI PENDIDIKAN
KARAKTER
Olah Pikir

Olah Hati

Olah Raga

Olah Rasa/Karsa

NILAI-NILAI
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin
tahu, berpikir terbuka, produktif,
berorientasi ipteks, dan reflektif
beriman dan bertakwa, jujur, amanah,
adil, bertanggung jawab, berempati,
berani mengambil resiko, pantang
menyerah, rela berkorban, berjiwa
patriotik
bersih dan sehat, disiplin, sportif,
tangguh,
andal,
berdaya
tahan,
bersahabat, kooperatif, determinative,
kompetitif, ceria, dan gigih
ramah, saling menghargai, toleran,
peduli, suka menolong, gotong royong,
nasionalis, kosmopolit, mengutamakan
kepentingan
umum,
bangga
menggunakan bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja keras, dan
beretos kerja

C. Kesadaran Sejarah
Pendidikan sejarah di era global dewasa ini menghadapi tantangan dan
dituntut konstibusinya untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, baik pada
posisinya sebagai anggota masyarakat maupun warga Negara, serta mempertebal
semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air tanpa mengabaikan rasa
kebersamaan dalam kehidupan antarbangsa di dunia. Pendidikan sejarah dapat
meningkatkan kesadaran sejarah guna membangun kepribadian dan sikap mental
8

peserta didik, serta membangkitkan kesadaran akan suatu dimensi yang paling
mendasar dari keberadaan manusia, yakni kontinuitas. Kontinuitas pada dasarnya
adalah gerakan peraihan secara terus menerus dari masa lampau ke masa kini dan
masa depan.
Selain itu pendidikan sejarah dituntut pula untuk mengembangkan
keterampilan berpikir dalam proses pembelajarannya. Melalui pendidikan sejarah
peserta didik diajak menelaah keterkaitan kehidupan yang dialami diri,
masyarakat dan bangsanya, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi muda yang
memiliki kesadaran sejarah, mendapatkan inspirasi atau hikmah dari kisah-kisah
pahlawan, maupun tragedi nasional, yang pada akhirnya mendorong terbentuknya
pola berfikir kearah berpikir secara rasional kritis empiris, dan juga tidak kalah
pentingnya ialah pembelajaran sejarah yang mengembangkan sikap mau
menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Misi pembelajaran sejarah yang demikian sesuai dengan pendapat
Bordillon (1994) bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah membantu peserta didik
meraih kemampuan sebagai berikut: (1) memahami masa lalu dalam konteks masa
kin, (2) membangkitkan masa lalu yang bermakna, (3)membantu memahami
identitas diri, keluarga, masyarakat dan bangsa, (4) memahami akar budaya dan
interelasinya dengan berbagai aspek kehidupan nyata, (5) memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang Negara dan budaya bangsa lain di berbagai
belahan

dunia,

(6)

melatih

berikuiri

dan

memecahkan

masalah,

(8)

mempersiapkan peserta didik untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Tujuan ini sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan sejarah yang dirumuskan
Depdiknas (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan sejarah bertujuan untuk
menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat
dalam dimensi waktu, dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah
dalam menemukan memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu,
masa kini, dan masa depan di tengah-tengah perubahan dunia.
Menurut Kartodirdjo (1993:52), pelajaran sejarah mempunyai fungsi
sosio-kultural, membangkitkan kesadaran historis. Berdasarkan kesadaran historis
dibentuk kesadaran nasional. Hal ini membangkitkan inspirasi kepada generasi
muda untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara dengan penuh dedikasi dan rela

9

berkorban.. Sejarah nasional perlu menimbulkan kebanggaan nasional (national
pride), harga diri, rasa swadaya. Dengan demikian sangat jelas bahwa pelajaran
sejarah tidak semata-mata memberikan pengetahuan, fakta, dan kronologi. Dalam
pelajaran sejarah perlu dimasukan biografi pahlawan mencakup soal kepribadian,
perwatakan semangat berkorban, perlu ditanam historical mindedness, perbedaan
antara sejarah dan mitos, legenda, dan novel histoties.
Apabila suatu kepribadian turut membentuk identtitas seseorang individu
atau suatu komunitas, kiranya tidak sulit dipahami bahwa kepribadian berakar
pada sejarah pertumbuhannya. Berarti kesadaran sejarah sangat esensial bagi
pembentukan kepribadian. Analog dengan sosiogenesis individu, kepribadian
bangsa juga secara inheren memuat kesadaran sejarah, hal ini menandakan bahwa
sejarah dan pendidikan memiliki hubungan yang erat dalam proses pembentukan
kesadaran sejarah. Apabila sudah disadari hubungan erat antara sejarah dengan
pendidikan, memang belum ada jaminan bahwa makna dasar dari sejarah telah
bisa diwujudkan untuk menunjang proses pendidikan tersebut. Masih diperlukan
aktualisasi nilai-nilai sejarah dalam kehidupan yang nyata. Dengan kata lain,
sejarah tidak akan berfungsi bagi proses pendidikan yang menjurus kearah
pertumbuhan dan pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai sejarah
tersebut belum terwujud dalam pola-pola perilaku yang nyata.
Dengan demikian, kesadaran sejarah tidak lain daripada kondisi kejiwaan
yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah bagi
masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi
berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan. Untuk mengembangkan
motivasi seperti itu, dengan sendirinya diperlukan motivasi yang kuat sebagai
faktor pendorong dari dalam diri manusia sendiri. Sejauh mana individu mampu
memetik makna nilai-nilai masa lampau yang telah teruji oleh zaman. Melalui
sejarahlah nilai-nilai masa lampau dapat dipetik dan digunakan untuk menghadapi
masa kini. Oleh karena itu, tanpa sejarah orang tidak akan mampu membangun
ide-ide tentang konsekuensi dari apa yang dia lakukan dalam realitas
kehidupannya pada masa kini dan masa yang akan datang, dalam sebuah
kesadaran sejarah. Dalam kaitan ini Collingwood (1973:10) mengatakan bahwa
mengenal diri sendiri itu berarti mengenal apa yang dapat seseorang lakukan, dan

10

karena tidak seorangpun mengetahui apa yang bisa dia lakukan sampai dia
mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang bisa dia
perbuat adalah apa yang telah diperbuat. Dengan demikian nilai dari sejarah
adalah bahwa sejarah telah mengajarkan tentang apa telah manusia kerjakan, dan
selanjutnya apa sebenarnya manusia itu.
Menurut Suaytno Kartodirdjo (1989:1-7) kesadaran sejarah pada manusia
sangat penting artinya bagi pembinaan budaya bangsa. Kesadaran sejarah dalam
konteks ini bukan sekedar memperluas pengetahuan, melainkan harus diarahkan
pula kepada kesadaran penghayatan nilai-nilai budaya yang relevan dengan usaha
pengembangan kebudayaan itu sendiri. Kesadaran sejarah dalam konteks
pembinaan budaya bangsa dalam membangkitkan kesadaran bahwa bangsa itu
merupakan suatu kesatuan sosial yang berwujud melalui suatu proses sejarah,
yang akhirnya mempersatukan sejumlah nation kecil dalam suatu nation besar
yaitu bangsa. Dengan demikian indikator-indikator kesadaran sejarah tersebut
dapat dirumuskan mencakup: menghayati makna dan hakekat sejarah bagi masa
kini dan masa yang akan datang; mengenal diri sendiri dan bangsanya;
membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa; dan menjaga peninggalan
bangsa.
1.3 Penutup
Pembelajaran

sejarah

memiliki

posisi

penting

dalam

program

pembangunan karakter bangsa, apalagi kalau dilihat perkembangan bangsa yang
diwarnai oleh peristiwa korupsi, nepotisme, narkoba, perjudian, perkelahian
antarpelajar/antarmahasiswa, konflik berbau SARA. Keadaan yang demikian
memerlukan langkah-langkah yang strategis diantaranya penerapan pendidikan
karakter melalui mata pelajaran sejarah. Dalam peristiwa sejarah tercatat berbagai
prestasi anak bangsa seperti diraihnya prestasi olympiade berbagai mata
pelajaran , penemuan berbagai piranti teknologi, pembuatan mobil murah oleh
pelajar SMK, mahasiswa yang mendapat prestasi dalam lomba pembuatan robot.
Dalam konteks pembelajaran sejarah berbagai prestasi tersebut bisa dijadikan
contoh untuk memperkokoh jati diri dan rasa kebangsaan sebagai bagian dari
pembangunan karakter bangsa

11

Banyak materi sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk membangun
karakter bangsa, dan harus ditunjang dengan penggunaan startegi, pendekatan
serta metode mengajar sejarah yang inovatif, sehingga diharapkan terjadi proses
transformasi dan internalisasi nilai-nilai luhur keindonesiaan seperti nilai-nilai
religiositas, kemanusiaan dan keadilan, nasionalisme, patriotism, demokrasi,
kearifan, keteladanan. Untuk itu diperlukan motivasi dalam diri sejarawan
pendidik untuk mengubah pembelajaran sejarah yang menekankan ceramah
menjadi pelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek
afektif (kecerdasan emosional dan spiritual). Dengan demikian pembelajaran
sejarah yang menekankan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual
melahirkan kesadaran sejarah yang sejati.

Daftar Pustaka
Behan McCullagh. 2010. Logic of History Perspektif Posmodernisme (Ika Diyah
Candra Penerjemah). Yogyakarta: Lilin Persada Press
Benedict Anderson. 2008. imagine communities (komunitas-komunitas terbayang)
Omi Intan Naomi Penerjemah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bourdillon, H.1999. Teaching History. London: Routledge
Carr, E.H. 1972. Whats is History. New York: Alfred A. Knopt
Collingwood, RG. 1973, The Idea of History. London; Oxford University Press
Djoko Suryo. 1996.”Pengembangan Kajian Sejarah Dalam Kurikulum SLTA”.
Makalah. Disampaikan pada Acara Seminar Dalam rangka Dies Natalis
IKIP Semarang, 13 Maret 1996.
G.P. Hill. 1956. Saran-saran Tentang Mengajarkan Sejarah. Jakarta:
Perpustakaan Perguruan Kem. P.P dan K.
Haedar Nashir. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya.
Yogyakarta: Multipresindo
Ismaun. 2005. Pengantar belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan
.Bandung : Historia Utama Press
Kabul Budiono. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
Lickona, Thomas. 1996. Eleven Principles of Effective Character Education.
Journal of Moral Education. 25(1), 93-100
Sardiman. 2012. Pembelajaran Sejarah dan Pembangunan Karakter Bangsa.
Dalam Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan Kemanusiaan
(Hansiwany Kamarga Editor). Jakarta: Bee Media Indonesia.
Sidi Gazalba. 1966. Sedjarah sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara
Soedjatmoko. 1983. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Soedjatmoko. 1995. Sejarawan Indonesia dan Zamannya. Dalam Soedjatmoko
(ed). Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
12

Pustaka Utama.
Syatno Kartodirdjo. 2000. “Teori dan Metodologi Sejarah dalam Aplikasinya”
dalam Historika, No. 11 Tahun XII. Surakarta: Program Pasca Sarjana
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta KPK Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Wena. 2013. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontenporer. Jakarta: Bumi Aksara
Widja. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Bandung: Angkasa
Widja. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lapera
Pustaka Utama.
Widja. 2012. Pendidikan Sejarah dan Upaya Membangun Semangat
Multikulturalisme. Dalam Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan
Kemanusiaan. Jakarta: Bee Media Indonesia

13