CITRA WANITA DALAM NOVEL JAWA MODERN TAH

CITRA WANITA DALAM
NOVEL JAWA MODERN
TAHUN 1980-AN

satu hal di antara cmpat hal yang patut
dimiliki oleh laki-laki: wisma, curiga,
turangga, wanita (rumah, pusaka, kendaraan,
dan wanita) (Herri, 1981: 23). Wanita
merupakan barang yang ikut menegaskan
kewibawaan dan kesempurnaan laki-laki.
Wanita yang memiliki kedudukan
dan peran seperti digambarkan di atas
merupakan wanita yang memerankan citra
wanita trandisional (Ferguson, 1981:6-7).
Wanita hanya bisa menangani urusan
rumah tangga dan kewanitaan. Melayani
suami, memasak, dan mcngasuh anak
merupakan tugas suci bagi wanita.

Oleh D a r n i
I Pen dahulu an

Wanita merupakan topik yang
tetap hangat untuk dibicarakan datam
karya sastra dari masa ke masa. Nama
seorang wanita sering digunakan
sebagai judul sebuah cerita pendek
maupun novel. Tidak hanya karya
sastra populer saja, yang pada
umumnya
menyajikan
masalah
pcrcintaan, yang mcletakkan wanita
sebagai daya tank cerita, sastra serius
pun sering tnengangkat wanita sebagai
topik yang menarik.
Menurut bebcrapa pengamat
(baca Geertz, 1989; Koentjaraningrat,
1984; Harjowirogo, 1984; Mulder,
1985; Kartodirjo, 1993), dalam
masyarakat Jawa, pada umumnya
wanita

dianggap
rae-ncmpati
kedudukan
yang
lebih
rendah
dibandingkan dengan kedudukan kaum
laki-laki. Wanita scmala-mala sebagai
objek dan tidak diberi kesempatan
bcrinisiatif sendiri dalam berbagai hal.
Pandangan tersebut tercermin pada
ungkapanyang menyatakan bahwa
wanita bagi laki-laki merupakan sal ah

1

PRASASTI * NO. 35 " TAHUN IX * OKTOBER 1999

Namun di penghujung abad ini, juga di akhir dasa warsa 1980-an, kesempatan
kerja banyak diberikan kepada wanita lengkap dengan perlindungan terhadap

kcsclamatan tenaga kerja wanita. Di samping itu, peran wanita dalam berbagai bidang
kehidupan digalakkan demi suksesnya pembangunan,
Berdasarkan Iatar belakang di atas, masalah pokok yang akan dipecahkan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran wanita yang tercermin dalam karyakarya penulis pria pada tahun 1980-an dan adakah fenomena baru yang muncul?
Masalah di atas akan dipecahkan dengan menggunakan pendekatan fcminis
dalam bidang sastra. Showalter (Rice, 1989:92-93) membagi kritik sastra fcminis
dalam dua kategori, yaitu woman as reader dan woman as writer (Rice, 1989: 92-93).
Kategori pertama, woman as reader, artinya bahwa wanita hanya sebagai konsumen
atas karya sastra yang dihasilkan oleh laki-laki. Kategori kedua, woman as writer,
artinya wanita sebagai penghasil teks atau penulis. Penelitian ini akan menggunakan
kategori yang pertama.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas menganai wanita dalam novel Jawa
modern tahun 1980-an mutlak diperlukan analisis teks. Sejalan dengan yang ditegaskan
Teeuw (1988:136) bahwa analisis struktural merupakan langkah awal untuk menuju anal
* lis lebih lanjut. Analisis teks nantinya akan dipusatkan pada analisis tokoh, alur, dan
latar Analisis tokoh, latar, dan alur akan menggunakan konsep struktural Roland
Bhartes (Moriarty, 1991:92-98).
Tulisan ini bertujuan meniberikan gambaran tentang citra wanita dan fenomena
baru yang tercermin dalam karya-karya penulis pria pada novel Jawa modern tahun
1980-an.

Karya sastra yang akan diteliti ini adalah karya sastra Jawa, termasuk dalam
pcriodc kesusastraan Jawa modern. Kemunculan kesusastraan Jawa modern menurut
beberapa ahll (Hutomo, 1975:55; Ras, 1979:10-13) ditandai oleh lahirnya genre-genre
baru seperti guritan atau puisi, carita cekak atau cerita pendek, carita sambung atau
cerita bersambung, novel, dan drama. Karya sastra yang akan diteliti ini berbentuk
cerita bersambung dan novel. Mengingat karya sastra Jawa modern merupakan sastra
majalah, maka selain dalam bentuk buku, data akan diambi! dari majalah berbahasa
Jawa seperti Panyebar Semangat, Joyo Boyo, Mekar Sari, dan Joko Lodhang. II Pembahasan
Penelitian ini meliputt penelitian terhadap gambaran wanita dalam karya-karya
penulis pria dan penults wanita pada tahun 1980-an. Namun, dalam kesempatan ini,
tulisan ini hanya akan menampilkan gambaran tentang wanita dari karya-karya penulis
pria saja. Tampaknya untuk membicarakan keduanya sekaligus, terlalu luas.
Sebagian besar penulis pria memang masih menghendaki ditampilkannya peran
wanita tradisional. Namun, meskipun hanya tiga buah karya dari 8 karya yang diteliti
yang mengambarkan peran wanita mandiri, dari ketiganya cukup dapat memberikan
arah perjuangan wanita untuk mandiri. Oleh karena tujuan penelitian ini adalah
menemukan adanya fenomena baru tentang kemandirian wanita, maka pembahasan
juga

2


QfTRA WANITA DALAM NOVEL JAWA MODERN

akan diarahkan pada gambaran tentang wanita mandiri.
Tiga buah novel yang menonjolkan peran wanita mandiri, masirig-masing
adalah Suit, Alibi dan Sintru Oh Sintru. Dua novel di antaranya, yang msebtit pertama
dan terakhir, menggambarkan emansipasi wanita dalam keluarga. sedangkan novel
yang disebut kedua menggambarkan emansipasi wanita di tempat kerja. NovcFy^ing
pertama, Suli, masih merupakan penggambaran tahap awal bagi perjuangan wanita
untuk mandiri. Wanita masih dalam tahap melepaskan diri dari cengkeramanpria,
belum sampai pada perjuangan wanita untuk mandiri. Oleh karena itu pembicaraan
novel tersebut tidak perlu diteniskan dengan panjang lebar. Pembicaraan akan
langsung pada dua novel yang lain.
Suryadi WS dalam Sintru Oh Sintru sangat memahami emansipasi dan
feminisms yang sedangberlangsung, dan sekaligus ia menentukan «ikap terhadap
gerakan tersebut.
Melalui tokoh Sintru Suryadi WS ingin menunjukkan suatu sosok wanita yang
ingin mengubah tatanan sosial. Kita perhatikan kutipan berikut ini.
Sintru ngguyu-ngguyu nyawang bojone. Sareh saure, "Mas Candra. Aja ngendelke
lanangmu, Wiyteit dim iki aku sing dadi direktufipabrik iki. Aku sing dadikepala

somah ing kulawargane dhewe iki. Aja ngira wong wadon ora bisa dadi kepala
somah." (him. 3)

Sintru tertawa memandang suaminya. PeJan tuturnya. "Mas Candra, jangan
mcngandalkan keperkasaanmu. Mulai hari ini saya yang menjadi drrektur pabrik. Saya
yang menjadi kepala rumah tangga.
Sintru ingin menggantikan suaminya menjadi direktur dan kepala rumah tangga.
Rupanya Sintru berpendapat bahwa wanita bisa memimpin, baik di tempat kerja
maupun di rumah.
Keinginan Sintru itu juga dibuktikan dalam usaha. Tidak seperti layaknya
seorang wanita, Sintru mendirikan usaha bahan bangunan. Sintru beranggapan bahwa
wanita juga dapat mendirikan usaha yang memerlukan tenaga kasar, membutuhkan
kekuatan otot (hlra. 48). Sintru juga merasa bangga bisa memiliki karyawan yang
semuanya pria, mulai dari pembantu sampai karyawan toko. Sampai pada puncaknya
Sintru ingin membuktikan dirinya menjadi kepala rumah tangga. Kita perhatikan
kutipan berikut.
; "Aku ora njaluk tebusan. Mas, mungsijipanjalukku: kowe aja njajah lan nguwasanl
aku kaya lumrahe wong lanang marang bojone. Dak cukupi kabeh kebutuhanmu, dak
turuti kabeh penjalukmu, nanging kowe kudu manut aturanku. Cekake sing nemtokake
kawicaksman bale wisma aku (him. 63).


"Aku tidak rainta mahar. Mas, hanya satu yang saya minta: jangan menjajah dan
menguasai saya seperti layaknya pria terhadap istennya. Saya cukupi semua
kebutuhanmu. saya turuti semua keinginanmu, tetapi kamu harus menurut kepada semua
aturan yang saya bual Intinya, saya yang menentukan kebijaksanaan di rumah ini.

3

PRASASTI 'NO. 35 " TAHUNIX * OKTOBER 1999

Sintru menginginkan suaminya menghormati dan menurut aturan-aturan yang
dibuatnya. Pada prakteknya Sintru ingin dilayani dalam segala hal, termasuk makan. Ia
yangbekerja di toko, sedangkan suaminya diam di rumah, memasak, menyiapkan
makan, dan menyeterika pakaiannya. Keinginan Sintru tersebut meskipun hanya
bcberapabulan sempat terpenuhi ketika ia bersuamikan Sutar (him. 58).
Sintru juga ingin merubah total penampilannya. Dalam penampilan sehari-hari
Sintru menggunakan pakaian pria, be reel ana dan kaos. Semua pakaian wanitanya
dibakar (him. 39). Ia juga menggembleng jiwanya menjadi pemberani, membuang si
fat halus dan lembut seperti yang dimi I iki wanita (him. 3 8). Kita perhatiakan dialog
antara Sintru dan Sutar berikut ini.

"Selan!" pisuhe Sintru nyentak. "Ora niteni becike wong wadon!
Muni ngono karo nyandhak klambine Sutar, dikipatake metu saka kamar {him. 58).

"Setan!" Sintru mengumpat dengan menghardik. 'Tidak berterima kasih atas
kebaikan wanita!"
Berkata seperti itu sambil memegang baju yang dikenakan Sutar, dilemparkan
keluar dari dalam kamar.
Kata-kata dan tindakan yang dilakukan Sintru terhadap Sutar seperti dalam
kutipan di atas mencerminkan sikap dan tindakan yang kasar. Menurut trad isi, katakata, sikap, dan tindakan seperti itu tidak layak di mil iki oleh wanita Jawa.
Kelakukan Sintru tersebut merupakan reaksi dari sakit liati atas perlakuan
suaminya, Candra, yang dianggapnya sewenang-wenang: menuduh Sintru serong,
mengancam akan membunuh anak dalam kandungan Sintru, dan mencari wanita lain
(him. 4).
Semua sikap dan tindakan Sintru yang ingin mengadakan perubahan total
terhadap tatanan sosial dan kedudukan wanita tersebut oleh pria dianggap sesuatu yang
tidak mungkin. Hal itu dapat dilihat dari sikap tokoh-tokoh pria yang disajikan.
Candra njenger manoni lelakon iki. Kok elok, ana kudeta model anyar, rebut
kuwasa dadi kepala somah. Apa iki tengara lakone manungsa bakal kuwalik? Apa
iki titikane donya wis tuwa arep kiamat? Iki lelucon sing ora lucu babar pisan
(hlm.6).


Candra tertegun menyaksikan keadaan ini. Ia sangat heran, ada model kudeta baru,
merebut kekuasaan untuk menjadi kepala keluarga. Apakah ini suatu pertanda
bahwa perjalanan hidup manusia akan terbalik? Apakah ini pertanda bahwa dunia
sudah tua usianya kemudian kiamat? Ini suatu lelucon yang tidak lucu sama sekali.
Tokoh Candra, suami Sintru, tidak bisa memahami keinginan Sintru untuk
menjadi kepala keluarga. Ia menganggap wanita tidak pantas mengambil aim tugas
sebagai kepala keluarga. Tidak mungkin untuk membalik keadaan, bahwa wanita
menjadi kepala keluarga. Bila hal itu terjadi, ia mengibaratkan dunia akan kiamat.
Sikap Candra tersebut

4

CITRA WANITA DALAM NOVEL JAWA MODERN

diperjelas dengan keputusannya mengusir Sintru dengan membawa harta yang
diinginkan untuk mendirikan pabrik dan rumah tangga sen diri (him. 7).
Kita perhatikan juga sikap suami kedua Sintru seperti dalam kutipan berikut ini.
"Ora cukup kuwi, Sintru. Kabeh kang kokcawisake kanggo aku ora cukup kanggo
ngijoii ajining dhiriku sing kokrampas ana ngomah iki. " (him. 58)


"Tidak hanya itu, Sintru. Semua yang kau sediakan untukku tidak cukup untuk
menebus harga diriku yang kamu rampas di rumah ini."
Sutar diberi tagas memasak, seterika, dan menyiapkan makanan untuk Sintru,
sedangkan Sintru bekerja di toko. Setelah bcrlangsung tiga bulan ternyata Sutar tidak
bisa lag: menerima perlakuan seperti itu. Ia merasa harga dirinya sebagai laki-laki
terampas. Tekanan dari pihak wanita dan pekerjaan rumah tangga bagi pria akan
merun-tuhkan harga diri laki-laki.
Kita perhatikan juga sikap tokoh Mursid mengenai tata cara berbusana berikut
ini.
Ing angen-^ngene Mursid katon ana pasangan kakung putri kang saJaras banget.
Pasangan wong edan ing jaman edan iki.
Mursid lukar penganggo edane, bali nganggo sandhangane t&kawit (him. 68-9).

Dalam bayangan Mursid tampak pasangan pria wanita yang selaras sekali. Pasangan
orang gila di jaman edan ini. Mursid melepas pakaian edannya, mengenakan pakaian
semula.
Mursid bersedia menjadi pengantin Sintru. Pada hari perkawinan dan seterusnya
Mursid sanggup mengenakan pakaian pengantin wanita. Namun kesanggupan itu, bagi
Mursid hanya merupakan lelucon saja. Mursid menganggapnya sebagai pakaian orang

gila. Fandangan tersebut dipertegas dengan mat Mursid untuk meninggalkan Sintru pada
hari perkawinan. Dalam berbagai pandangan berkaitan dengan pandangan tokoh-tokoh
pria seperti yang telah diuraikan di atas tokoh Mursid juga me/nil iki pandangan yang
sama.
Sikap dan pandangan tokoh-tokoh pria di atas memang mewakili sikap penulis
terhadap emansipasi wanita. Penulis menentang emansipasi wanita yang dianggap
berlebihan tersebut. Sikap tersebut diperjelas dengan meninggalnya tokoh Sintru di akhir
cerita. Kematian Sintru disebabkan oleh binatang piaraannya sendin. Kematian Sintru
dan sebab kematiannya juga menyiratkan bahwa perjuangan wanita yang berlebihan
akan merugikan bahkan membunuh dirinya sendiri.
Di sisi lain penulis menunjukkan sifat, sikap, dan tindakan wanita yang dianggap
lebih selaras. Sosok tersebut dikristalkan melalui tokoh Partini Kita perhatikan kutipan
berikut

5

PRASASTI' NO. 35 * TAHUN IX * OKTOBER 1999 ■

Partini Aja mencap-mencep,ya, CahAyu. Encepmu kuwikekuatane ngungkulijebluge
GunungMerapi, mengko dhadhaku iki ndhak jebol." (him. 113)

Partini. Jangan mencibirkan bibir seperti itu, cantik. Cibiranrnu itu kekuatannya
melebihi kekuatan gunung berapi, dadaku bisa meledak nanti.
Partini meruit iki senyum yang indah dan sikap yang lembut. Mursid menyukai
senyum itu. Ia juga menyukai kelembutan dan kehalusan sikap dan tingkah lakunya.
Kita perhatikan pula adegan berikut ini.
...Tangan singngepel kenceng menthengkelek iku, jebul lemes dadakan, mung kena
daya usapan kang lumer Ian esem kang endah merakati. Iku bocah sih isih murni.
Yen wong diwasa kepriye? (him. 103)

...Tangan yang mengepal erat itu ternyata mendadak lemas, hanya karena daya
kekuatan usapan lembut dan senyum yang indah menawan hati Itu anak kecil yang
masih murni. Bagaimana dengan orang dewasa?
Penulis menggambarkan bahwa kcmdalian yang dimiliki wanita seperti
senyuman dan usapan yang lembut memil iki kekuatan yang dahsyat, mampu
meluluhkan kemarahan pria, Pandangan seperti itu juga digambarkan dimiliki oleh
wanita, yaitu tokoh Partini. Namun, tokoh Partini juga seorang wanita yang suka
mandiri, bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Partini semula seorang guru. Setelah
bcrhenti dari pekerjaannya ia mendirikan usaha pakaian jadi (him. 49). Dengan jelas
Partini memang mempunyai kesadaran untuk mandiri (him. 77),
Sikap penulis tersebut diperjelas dengan sikap tokoh Mursid yang lebih
menyukai kelembutan dan kehalusan Partini dari pada kekerasan dan kckasaran yang
dimiliki Sintru.
Corak feminis yang diinginkan penulis juga diperjelas oleh pengakuan Sintru di
akhir hayatnya yang menyatakan bahwa ia menyadari bahwa kelembutan dan kehalusan
yang dimiliki wanita sebenamya merupakan daya tank yang hebardan senjata yang
ampuh untuk menundukkan pria. Wanita tidak perlu menyaingi kekuatan pria dengan;
kekuatan otot, melainkan cukup dengan keindahanyang dimilikinya (him, 126). .. ■
Penulis juga menunjukkan pembagian kerja yang harmonis dalam keluarga
seperti kutipan berikut ini.
ban kaya wis dirembug sadurunge, Partini utheg ing pawon nggodhog wedang lan
gawe sarapan. Mursidnyapujogan lan latar. Kabeh lumaku kanthi rasa tila.
Satemah lega tanpa ana rasa ngresula.

Dan seperti telah dibicarakan sebelumnya, Partini sibuk di dapur menyiapkan
minuman dan sarapan pagi. Mursid menyapu lantai dan membersihkan halaman.
Semua mereka lakukan dengan perasaan iklas, sehingga puas tanpa ada perasaan
mendongkol.

6

C1TRA WANITA DALAM NOVEL JAWA MODERN

Pria dan wanita sepakat mengadakan pembagian pekerjaan rumah tangga. Mursid
bertugas membersihkan rumah: menyapu lantai dan halaman. Dijelaskan pula bahwa
pria dapat menerima pembagian tugas tersebut dengan perasaan iklas, sehingga tidak
muncul pcrcekcokkan.
Novel yang ketiga ini terbit pada tahun yang sama dengan novel kedua yang
dibicarakan di atas, yaitu tahun 1993. Novel ini sudah tidak lagi membicarakan
kedudukan wanita dalam rumah tangga. Selangkah lebih maju, novel ini
menggambarkan emansipasi dan kcmandirian wanita di tempat kerja.
Alibi menampifkan tokoh wanita yang bekerja sebagai polisis wanita. Penonjolan
tokoh wanita dalam novel ini memang disengaja. Hal itu dapat dilihat dari peran yang
diberikan kepada tokoh Anggar, Anggar berpangkat letnan dan memegang jabatan
sebagai kepala di sebuah kantor polisi. Selain itu tokoh Anggar diberi peran sebagai
kepala detektif dalam mengusut masalah berat di suatu perusahaan, Pemberian peran
sebagai detektif ini memang merupakan penonjolan tersendiri, karena dalam novel
maupun cerita bersambung Jawa jarang sekali penulis pria yang mempercayakan peran
tersebut kepada tokoh wanita.
Penulis tidak lagi menggambarkan tokoh wanita sebagai mahluk yang lemah.
Kita perhatikan kutipan berikut ini.
Lambe tipis, abang teles tanpa gincu. Esem sing katon sumr'mgah. Jroning batin ngalembana... Ora
mathuk yen pawakan lencir katone ringkih tansah ngayahi kuwajiban abot, ora etung wektu. Yen ora
kebeneran nyawa totohane (sen

10).

Bibir tipis, merah basah tanpa gincu. Senyum yang selalu tampak ceria. Dalam hati
memuji... Tidak cocok apabila bentuk badan yang tinggi semampai, kelihatan
ringkih, selalu mengerjakan pekerjaan yang berat, tidak ingat waktu. Kalau nasib
kurang baik nyawa taruhannya.
Narasi tersebut merupakan penilaian seorang tokoh pria. Melalui tokoh tersebut
penulis ingin menegaskan bahwa postur tubuh wanita yang tampaknya lemah, namun
bisa menyelesaikan tugas yang berat dan berbahaya, seperti yang bisa dilakukan oleh
pria. Penulis juga menampilkan sosok wanita kerja yang sederhana, tidak mengundang
hasrat pria, yaitu tidak bergincu. Seperti yang dikemukakan oleh Ferguson (1981:9)
bahwa salah satu ciri wanita yang berperan sebagai wanita tradisional adalah wanita
yang selalu mempercantik diri untuk menarik hasrat pria. Begitu juga senyum yang ceria
tidak digunakan wanita untuk memperdaya pria.
Penggambaran tokoh wanita yang tidak konvensional seperti sebagian besar
pandangan pria juga tergambar pada tokoh Sari. Sari adalah seorang sekretaris. Sebagai
sekretaris. Sari tidak terlibat hubungan akrab di luar pekerjaan dengan atasannya. Justru,
Sari digambarkan sebagai tokoh yang teliti dan raj in (scri 8). Ketelitian Sari sangat
membantu terbongkarnya kejahatan atasannya.
Wanita juga memiliki wibawa yang besar, dan wibawa tersebut diakui oleh pria.
Kita ikuti kutipan berikut ini.

7

PRASASTI ' NO. 35 * TAHUN IX * OKTOBER 1999

"Sapapak?" Pitakone Letnan Anggar ngambali. Panyawange saya mandhes. Suhar
nyoba nglirik, nanging durung nganti samenft gage-gage ndhingkluk. Suhar ora
kuwawa nantang panyawang singgedhe perbawane kuwi (sen 6).

"Siapa pak?" Letnan Anggar mengulangi pertanyaayaannya. Pandangan matanya
semakin tajam. Suhar mencoba mencuri pandang, tetapi belum sampai satu menit
segera me menundukkan kepala. Suhar tidak sanggup melawan pandangan mata
yang penuh wibawa itu.
Letnan anggar memiiiki wibawa yang besar. Tokoh pria yang oernama Suhar di
atas tidak sanggup melawan pandangan mata Anggar yang berwibawa. Bukan hanya
wibawa saja, iajugapandai. Hal itu terbukti bahwa ia berhasil menguak dan
mcnemukan pelaku pembongkaran brankas perusahaan tersebut (sen 10).
Penonjolan tokoh wanita sebagai wanita mandiri juga tergambar pada (okohlokoh wanita yang lain, seperti Sersan Dini, Yanti, dan Yuli. Ketiga sersah tersebut
anak buah Letnan Anggar yang memiliki andhil besar terhadap penanganan kejahatan
tersebut. Ketiga tokoh wanita tersebut digambarkan sebagai wanita yang tidak mudah
putus asa dan tidak mudah digodha oleh pria (sen 10). Tidak mudah putus asa
menunjukkan suatu sikap yang tidak pasip. Tidak mudah digoda juga merupakan sifat
yang tidak dimiliki oleh wanita yang mengambil peran tradisional, misalnya wanita
sebagai obyek seks.
III. Fenutup
Penonjolan tokoh-tokoh wanita di atas mencerminkan sikap penulis yang
mendukung keberadaan wanita sebagai wanita mandiri.
Bila kita bandingkan dengan hasil pengamatan para ahli, seperti telah
discbutkan pada bagian pendahuluan, terdapat suatu fenomena baru. Pria tidak hanya
memahami, menerima, dan mendukung keinginan wanita untuk mandiri, pria juga mau
menerima dan melakukan pembagian pekerjaan rumah tangga. Sikap tersebut akan
memperingan tugas wanita yang menjalankan peran ganda. Disepakatinya pembagian
rumah tangga mempermudah dan memperlancar upaya wanita untuk mandiri.

DafUr Pustaka
Aminuddin
1990

"Metode Kualilatif dalam Penelitian Karya Sastra" dalam Aminuddin.
Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam bidang Bahasa dari Sastra.
Malang: Yayasan 3 A.

Damono, Sapardi Djoko
1993
Novel. Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi Isi, dan Struktur. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

8

QTRA WANITA DALAM NOVEL JAWA MODERN

Ferguson, Mary Anne
1981

Images of Women in Literature. London: Palo Alto.

Geertz, Cliffort
1989
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz, Hildred
1983

Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press.

Herri, S
1981

"Wanita: Alas Kaki di Siang Hari, Alas Tidur di Waktu Malam" dalam
Prisma, no. 7,
Hutomo, Suripan Sadi
1975
Sartono
1993

Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat bahasa. Kartodirdjo,
Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: GajahMada University
Press.

Koentjaraningrat
1984
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Moriarty, Michael
1989
Roland Bhartes. Cambridge: Politi Press. Rass,
J.J.
1979 Javanese Literature Since Independence. The Hague: Martimis Nijhoff.
Showalter, Elaine
1989
'Towards a Feminist Poetics' dalam Philip Rice. Modern Literary Theory,
A Reader. Great Britain: Chapman and Hall.
Teeuw, A
1988

Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

9

10