DEMOKRASI TERPIMPIN DI INDONESIA. docx

DEMOKRASI TERPIMPIN DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan keputusan politik tertinggi
yang melahirkan bangsa dan negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 merupakan titik puncak perjuangan fisik dalam membangun bangsa dan
negara merdeka, keputusan politik yang menandai kemerdekaan Republik Indonesia secar
de facto segera disusul oleh beberapa keputusan penting yang melengkapi persyaratan
formal sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Meskipun secara formal persyaratan sebagai negara merdeka telah dipenuhi sejak 10
Agustus 1945, namun dalam operasionalnya tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan
oleh masih adanya campur tangan kekuatan asing terutama sekutu.
Sebagai pihak yang memenangkan perang dunia kedua. Sekutu mencoba menggugat
kemerdekaan Indonesia. Semua bekas jajahan negara-negara yang tergabung dalam
sekutu yang direbut agresor perang dunia II harus dikembalikan kepada mereka.
Penyebab lainnya adalah masih lemahnya kualitas intelektual, ekonomi, dan politik
masyarakat sehingga masih mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik yang ada.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut, selama 64
tahun berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ternyata bahwa masalah poko yang
kita hadapi ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya,
mempertinggi tingkat ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik
yang demokratis. Pada pokonya masalah ini berkisar pada menyusun suatu sistem politik

dimana kepemimpinan cukup kuat untuk untuk melaksanakan pembangunan ekonomi

serta nation buliding, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator
apakah diktator ini bersifat perorangan, partai atau militer.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, indonesia telah banyak menganut
sistem demokrasi mulai sistem demokrasi parlementer sampai demokrasi liberal.
Pada tanggal 05 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante
yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya
menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semoyan
“Kembali ke UUD 1945” Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan
mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi penting.
Demokrasi terpimpin lahir dalam suatu zaman yang sukar, persoalan yang muncul
pada tahun 1957 itu itu sangan runyam dan komplek. Ada ketakutan terhadap tentara ,
ketakutan terhadap PKI, terhadap Islam, terhadap pemberontakan-pemberontakan
panglima-panglima di daerah. Lalu ada lagi campur tangan dari luar negeri.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat penulis rumuskan rumusan-rumusan masalah
sebagai berikut :
A.

1. Sejarah demokrasi terpimpin di Indonesia
2. Kondisi Negara Indonesia dalam masa demokrasi terpimpin
3. DPR Gotong Royong Demokrasi terpimpin
4. Peristiwa besar dalam masa demokrasi terpimpin

BAB II
SEJARAH DEMOKRASI TERPIMPIN
Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa azas dan nilai
yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari
kebudayaan Yunani kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh
aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city-state) Yunani kuno merupakan
demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusankeputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak
berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan
secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas serta
jumlah penduduknya sedikit. Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk
warga negara yang resmi, yang hanay merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk
mayoritas yang teridiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak lagi bersifat
langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan.
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu

bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani dikalahkan oleh suku
bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat
abad pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal. Dilihat dari sudut perkembangan
demokrasi Abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna

Charta (Piagam Besar). Magna Charta merupakan semacam kontrak antara beberapa
bangsawan dan raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali seorang raja yang
mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai
imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini
lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap tonggak
dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Demokrasi di Indonesia telah banyak mengalami perubahan sistem demokrasi itu
sendiri, sejak diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 Indonesia
menggunakan sisitem demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta
partai-partai, dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah UUD 1945 tetapi
sudah barang tentu belum dapat dijalankan secara murnidan konsekuen oleh karena bangsa
Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.
Kemudian pada periode berikutnya (27 Desember-17 Agustus 1950) negara Republik
Indonesia menjadi negara serikat. Sebetulnya bukan kehendak seluruh bangsa Indonesia
untuk memakai bentuk negara dan sisitem pemerintahan, politk dan adminitrasi negara

seperti tersebut di atas, tetapi keadaan yang memaksa demikian.
Sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia, ia memang ditugasi
untuk memporak-porandakan keutuhan persatuan dan kesatuan Republik Indonesia yang baru
merdeka, politik devide et impera memang dimilikinya. Ia mengusulkan untuk disetujuinya
pembentukan negara dalam negara.
Pada periode berikutnya (1950-1959) dengan memperhatikan keadaan negara-negara
bagian yang semakin sukar untuk diperintah sedangkan kewibawaan pemerintah Negara
Federal semakin berkurang selama penyelenggaraan Konstitusi RIS, apalagi didukung

kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, adat istiadat, agama,
pulau-pulau, bahasa daerah, maka rakyat di daerah-daerah sepakat untuk kembali kebentuk
negara kesatuan.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950. oleh karenanya sistem pemerintahan tetap dalam bentuk kabinet
parlementer, yaitu para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen dan parlemen
dapat menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya.
Walaupun sudah kembali kepada bentuk negara kesatuan namun perbedaan antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain masih terasa, ada yang menyesali keadaan ini
tetapi ada pula yang menyetujuinya namun tetap memiliki ketidakpuasan kepada pemerintah

pusat. Oleh karenanya pada era ini seringkali terjadi berbagai jenis pemberontakan seperatis
seperti Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Pemberontakan Andi Azis,
Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan), dan lain-lain.
Oleh karena itu menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi liberal tidak
semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan
makmur, sehingga pada gilirannya pembagunan ekonomi sulit untuk dimajukan, karena
setiap pihak baik sipil (pegawai negeri sipil dan parpol) dan militer saling berebut
keuntungan dengan mengorbankan yang lain.
Sebaliknya Prsiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu
padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari Sabang sampai Merauke. UUDS
1950 dianggap selama ini memang sudah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari citacita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dengan dalih seperti itu Presiden Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan
politik dalam negeri Republik Indoensia.

BAB III
DEMOKRASI TERPIMPIN, DIKTATORNYA SOEKARNO
A. Kondisi Negara Indonesia dalam Demokrasi Terpimpin
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada masa
demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang

diktator, hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada
kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang
mengklaim dirinya sebagai inkarnasi tuhan atau wakil tuhan di dunia.
Dekrit tersebut dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari
kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar
1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurangkurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun
ini. Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar.
Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara
eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat
pilihan ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol di

tiadakan. Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan
demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden disamping fungsi sebagai
sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias
politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi
wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang
untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di

bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal
anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara badan
eksekutif dan legislatif, keduanya seolah-olah dirangkap oleh presiden. Akibatnya fungsi dan
peranan MPRS dan DPR-GR hilang. Apalagi pada waktu itu menteri-menteri diperbolehkan
menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA dan MA.
MPRS dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang
bertugas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan pada akhirnya
tunduk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan presiden.
Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas
paham liberalisme, sosialisme-nasional, facisme, dan komunisme, tetapi suatu faham
demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menuju satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil
dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan demokrasi terpimpin
yang mempunyai tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.

Sebaliknya sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya. Dalam
prakteknya yang memimpin demokrasi ini bukan pancasila sebagaiman dicanangkan tetapi

sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan
keinginan luhur bangsa Indonesia tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi
politik pemimpinnya sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi telah membawa jalannya pemerintahan
jauh dari mekanisme yang ditetapkan dalam UUD 145. kondisi ini diperburuk dengan
merosotnya keadaan ekonomi negara. Sebagai akibatnya, keadaan politik dan keamanan
sudah sangat membahayakan keselamatan negara. Situasi ini dimanfaatkan oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) dengan mengadakan pemberontakan pada tanggal 30 September
1965. tujuan utama pemberontakan ialah untuk mengganti falsafah pancasila dengan falsafah
lain.
Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi barat banyak
ditinggalkan. Presiden Soekarno sebagai Pimpinan Nasional tertinggi ketika itu menyatakan
bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia.
Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak
efektif dan Bung Karno kemudian memperkenalkan apa yang kemudian disebut dengan
“musyawarah untuk mufakat”.
Banyaknya partai oleh Bung Karno disebut sebagai salah satu penyebab tidak adanya
pencapaian hasil dalam pengambilan keputusan, karena dianggap terlalu banyak debat
bersitegang urat leher. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk
yang dikenal dengan nama Front Nasional.

B. DPR Gotong Royong Demokrasi Terpimpin

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ini didirikan dengan Penetapan Presiden No. 04
tahun 1960 sebagai pengganti DPR peralihan yang dibubarkan dengan penetapan Presiden
No. 03 Tahun 1960. DPR-GR berbeda sekali dengan badan-badan legislatif sebelumnya.
Tidak hanya oleh karena dia bekerja dalam suatu sistem pemerintahan yang lain, akan tetapi
juga oleh karena dia bekerja dalam suasana dimana DPR ditonjolkan peranannya pembantu
pemerintah, suasana ini tercermin dalam istilah Gotong Royong. Perubahan fungsi ini
tercermin di dalam tata tertib DPR-GR yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib tidak
disebut hak kontrol seperti hak bertanya, hak interpelasi dan sebagainya.
Kelemahan DPR-GR di bidang legislatif ialah bahwa DPR-GR kurang sekali memakai hak
inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Selain itu DPR-GR telah
membiarkan badan eksekutif mengadakan Penetapan-Penetapan Presiden atas dasar Dekrit 5
Juli 1959, seolah-olah Dekrit merupakan sumber hukum baru. Padahal dekrit sekedar untuk
menuntun langkah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sesudah itu semua
perundang-undangan seharusnya berdasarkan langsung pada Undang-Undang Dasar 1945.
Lagipula banyak keputusan penting (seperti pengguntingan uang, politik konfrontasi,
pengambil alih perkebunan dan perusahaan asing dan sebagainya) diputuskan di luar DPRGR.
Selain itu DPR-GR telah menerima baik Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No.
19 Tahun 1964, yang memberi wewenang kepada Presiden untuk “turut atau campur tangan

dalam soal pengadilan” demi kepentingan revolusi, suatu ketentuan yang dengan tegas
menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa kekuasaan kehakiman terlepas dari
pengaruh kekuasaan Pemerintah.
Selama masa kerjanya, DPR-GR telah mengesahkan 117 Undang-Undang, dengan perincian :
tahun 1960 disahkan 5 Undang-Undang, tahun 1961 disahkan 22 Undang-Undang, tahun

1962 disahkan 19 Undang-Undang, tahun 1963 disahkan 14 Undang-Undang, tahun 1964
disahkan 36 Undang-Undang dan tahun 1965 disahkan 21 Undang-Undang.
B. Peristiwa Besar pada masa Demokrasi Terpimpin
Pada masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia, sejarah mencatat telah terjadi beberapa kali
peristiwa besar, baik peristiwa yang bersifat politik, sosial maupun budaya. Antara lain :
a. Pemberotakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Penyimpangan-penyimpangan konstitusional tersebut telah mengakibatkan
tidak berjalannya sistem pemerintahan yang ditetapkan dalam UUD 1945.
penyimpangan-penyimpangan ini juga telah mengakibatkan memburuknya keadaan
politik, keamanan, ekonomi, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang
gagal oleh G-30-S/PKI.
PKI secara sadar telah mendalangi dan merencanakan kudeta. Perbuatan jahat tersebut
bukan saja telah menimbulkan korban jiwa dan materi yang cukup besar, bertentangan
dan melanggar ketentuan UUD 1945 serta hukum-hukum lainnya yang berlaku, tetapi

juga jelas-jelas bermaksud hendak mengganti falsafah Pancasila dengan falsafah lain.
Karena dalam sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali PKI mengkhianati negara,
bangsa dan dasar negara, maka rakyat Indonesia menghendaki dan menuntut PKI
dibubarkan. Namun pada waktu itu pimpinan negara tidak mau mendengarkan dan
memenuhi tuntutan rakyat sehingga timbullah pertentangan politik antar rakyat di satu
pihak dan presiden di lain pihak.
Keadaan semakin meruncing, situasi ekonomi dan stabilitas nasional semakin tidak
bisa dikendalikan. Akhirnya dengan dipelopori oleh pemuda beserta rakyat

disampaikanlah tuntutan-tuntutan kepada presiden pada tanggal 12 Januari 1966, yang
dikenal dengan nama TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yakni :
1. Bubarkan PKI
2. Bersihkan kabinet dari unsur PKI
3. Turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ,
Presiden Soekarno meletakkan dasar-dasar kepemimpinannya yang dinamakan Demokrasi
Terpimpin, menurut Presiden Soekarno demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang khas
Indonesia yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Namun dalam prakteknya, demokrasi terpimpin cenderung bergeser maknanya. Demokrasi
yang dijalankan tidak lagi dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan, namun diwarnai oleh
kepentingan politik-politik tertentu. Keadaan ini telah melahirkan berbagai penyimpangan
dari yang telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. penyimpangan-penyimpangan
itu antara lain :
1. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR
Gotong Royong. Hal ini dilakukan karena DPR menolak Rancangan Pendapatan dan
Belanja Negara yang diajukan pemerintah.
2. Pimpinan Lembaga tinggi dan tertinggi negara diangkat sebagai menteri negara
3. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
4. Kekuasaan Presiden melebihi wewenang yang ditetapkan dalam UUD 1945. hal ini
terbukti dengan keluarnya beberapa penetapan presiden sebagai produk hukum yang
setingkat dengan undang-undang tanpa persetujuan DPR.
Apabila dianalisis secara sistematis dari berbagai aspek, maka pada masa Demokrasi
Terpimpin adalah sebagai berikut :

NO

ASPEK

ANALISIS

1

Penyaluran Tuntutan

Tinggi tetap tidak disalurakan karena adanya
Front Nasional

2

Pemeliharaan Nilai

Penghormatan HAM rendah

3

Kapabilitas

Abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi
tidak maju

4

Integrasi Vertikal

Atas bawah

5

Integrasi Horizontal

Berperan solidarity makers

6

Gaya Politik

Ideologi, Nasakom

7

Kepemimpinan

Tokoh Kharismatik dan paternalistik

8

Partisipasi Massa

Dibatasi

9

Keterlibatan Militer

Militer masuk ke pemerintahan

10

Aparat Negara

Loyal kepada negara

B. Saran
Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat penulis katakan bahwa sebenarnya secara
konseptual Demokrasi terpimpin itu baik bagi perkembangan Indonesia namun secara tehnis
atau pelaksanaan di lapangan demokrasi terpimpin yang dijalankan Presiden Soekarno

banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran, oleh karena itu ada saran-saran yang bisa penulis
sebutkan, antara lain :
1. Demokrasi terpimpin pada saat itu memang belum waktunya diterapkan di Indonesia
2. Pelaksanaan demokrasi terpimpin hendaknya diiringi dengan kondisi stabilitas
nasional yang sudah stabil
3. Tidak dibatasinya partisipasi massa dalam menyuarakan aspirasi
4. Dijalankan fungsi Trias Politika secara baik, agar tidak terjadi overlapping bagi
perjalanan pemerintahan.
5. Sebaiknya militer tidak perlu masuk ke dalam pemerintahan agar bisa konsentrasi
terhadap stabilitas keamanan negara.
6. Konsep Nasionalis-Agamis-Komunis (Nasakom) tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Demikian uraian singkat mengenai demokrasi terpimpin di Indonesia, akhirnya
penulis menyadari masih banyak terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini, kritik dan
saran yang bersifat membangun selalu penulis harapkan.
Lamongan, Desember 2007
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Idrus. 1997. Hukum Tata Negara. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasai Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Fatoni, Uwes. 2006. Sejarah Sistem Politik Indonesia. Surabaya. Unitomo.
Kansil. 1996. Tata Negara. Jakarta. Erlangga.
Kencana, Inu. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung. Refika Aditama.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Widiasarana

Indonesia.