Studi Korelasi Antara Adult Attachment Style dengan Kecerdasan Emosional pada Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Kota Bandung.

(1)

vii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Penentuan responden dari penelitian ini adalah populasi dari mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha angkatan 2014 dengan kurikulum KBK yaitu sebanyak 149 responden.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah RSQ (Relationship Style Questionnaire) yang dikembangkan oleh Bartholomew (1991) untuk mengukur adult attachment style dan alat ukur EII (Emotional Intelligence Inventory) yang dikembangkan oleh Sri Lanawati (1991). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan uji korelasi chi kuadrat dengan bantuan program spss 16.0.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, maka didapat koefisien korelasi sebesar 0,251. Angka tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Bagi peneliti berikutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bidang kajian yang sama, peneliti mengajukan saran agar dapat menelaah faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kedua variabel selain faktor keluarga.


(2)

viii Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This research is an explorative studies concerning about the corelation between adult attachment style and emotional intelligence of first grade of Psychology student at Maranatha Christian University. The respondents of this study is the population of new students of the Faculty of Psychology Maranatha Christian University in 2014 with a curriculum KBK as many as 149 respondents.

Measuring instruments used in this study is the RSQ (Relationship Style Questionnaire) developed by Bartholomew (1991) to measure adult attachment style and measuring devices EII (Emotional Intelligence Inventory) developed by Sri Lanawati (1991). The data obtained were analyzed using chi-squared correlation test with the help of SPSS 16.0 program.

Based on the statistical data processing, the importance of the correlation coefficient of 0.251. The figure shows that there is a significant relationship between adult attachment style with emotional intelligence in the new students of the Faculty of Psychology, University Maranatha.

Researchers propose suggestions for future researchers who want to investigate the relationship of these two variables can examine other factors that can affect both variables as significant life events experienced by respondents in their life span development.


(3)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN...ii

KATA PENGANTAR...iii

LEMBAR ORISINALITAS...v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR BAGAN... xiii

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB 1...1

PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...9

1.3.1 Maksud Penelitian...9

1.3.2 Tujuan Penelitian...9


(4)

x Universitas Kristen Maranatha

1.4.1 Kegunaan Praktis...9

1.4.2 Kegunaan Teoritis...10

1.5 Kerangka Pikir...10

1.6 Asumsi Penelitian...23

1.7 Hipotesis Penelitian...23

BAB 2...24

TINJAUAN PUSTAKA...24

2.1 Teori Attachment...24

2.1.1 Definisi Attachment...24

2.1.2 Perkembangan Attachment Sepanjang Kehidupan Individu...26

2.1.2.1 Pada Masa Balita...26

2.1.2.2 Pada masa kanak-kanak dan remaja...27

2.1.2.3 Pada masa dewasa (Adulthood)...29

2.1.3 The Working Model of Attachment...31

2.1.3.1 Dimensi Model of Self...34

2.1.3.2 Dimensi Model of other...34

2.1.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Attachment...35

2.2 Teori Kecerdasan Emosional...36

2.2.1 Pengertian Emosi...36

2.2.2 Pengertian Kecerdasan Emosional...38

2.2.3 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional...39

2.3 Faktor-faktor yang memengaruhi Kecerdasan Emosional...40


(5)

xi Universitas Kristen Maranatha

2.4.1 Teori Perkembangan Masa Dewasa Awal...41

BAB 3...45

METODOLOGI PENELITIAN...45

3.1 Rangcangan Penelitian...45

3.2 Bagan Rancangan Penelitian...45

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...46

3.3.1 Variabel Penelitian...46

3.3.2 Definisi Konseptual...46

3.3.2.1 Definisi Konseptual Adult Attachment Style...46

3.3.2.2 Definisi Konseptual Kecerdasan Emosional...46

3.3.3 Definisi Operasional...46

3.3.3.1 Definisi Operasional Adult Attachment Style...46

3.3.3.2 Definisi Operasional Kecerdasan Emosional...48

3.4 Alat Ukur...49

3.4.1 Data Utama...49

3.4.1.1 Data Utama Adult Attachment Style...49

3.4.1.2 Data Utama Kecerdasan Emosional...52

3.4.2 Prosedur Pengisian Item...55

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang...55

3.4.4 Validitas Alat Ukur...56

3.4.5 Reliabilitas Alat Ukur...57

3.5 Populasi Sasaran...59


(6)

xii Universitas Kristen Maranatha

3.5.2 Karakteristik Populasi...59

3.6 Teknika Analisis Data...59

3.7 Hipotesis Statistik...61

BAB IV...62

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...64

4.1 Hasil Penelitian...64

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...64

4.1.2 Hasil Penelitian Korelasi...65

4.1.2.1 Gambaran mengenai Adult Attachment Style pada responden...65

4.1.2.2 Gambaran derajat kecerdasan emosional pada responden...65

4.1.2.3 Hubungan antara adult attachment style dan kecerdasan emosional..66

4.2 Pembahasan...69

BAB V...80

SIMPULAN DAN SARAN...80

5.1 Simpulan...80

5.2 Saran...81

5.2.1 Saran Teoretis...81

5.2.2 Saran Praktis...82

DAFTAR PUSTAKA...83


(7)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Kerangka Berpikir...22 Bagan 2.1 Adult attachment style dari Bartholomew...30 Bagan 3.2 Rancangan Penelitian...45


(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Kisi-kisi Alat Ukur RSQ (Relationship Style Questionaire)...50

Tabel 3.2 Bobot Penilaian Item Positif dan Item Negatif...51

Tabel 3.3 Tabel Kisi-kisi Alat Ukur EII (Emotional Intelligence Inventory)...52

Tabel 3.4 Bobot Penilaian Item Positi dan Item Negatif...54

Tabel 3.5 Tabel Kriteria Validitas Liza Friedenberg...57

Tabel 3.6 Tabel Kriteria Reliabilitas Guildford...58

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...64

Tabel 4.2 Gambaran Adult Attachment Style pada Responden...65

Tabel 4.3 Gambaran Kecerdasan Emosional pada Responden...65

Tabel 4.4 Gambaran Hubungan Adult Secure Attachment Style dengan Kecerdasan emosional pada responden...66

Tabel 4.5 Gambaran Hubungan Dismissing Attachment Style dengan Kecerdasan emosional pada responden...67

Tabel 4.6 Gambaran Hubungan Fearful Attachment Style dengan Kecerdasan emosional pada responden...67

Tabel 4.7 Gambaran Hubungan Preoccupied Attachment Style dengan Kecerdasan emosional pada responden...68

Tabel 4.8 Gambaran Hasil Tabulasi Silang Adult Attachment Style dengan Kecerdasan Emosional...69


(9)

xv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Letter Of Concent dan Alat Ukur Lampiran 1.1 Alat Ukur Survey Awal Lampiran 1.2 Surat Pernyataan Kesediaan Lampiran 1.3 Alat ukur

Lampiran 1.4 Kisi-kisi Alat ukur adult attachment style Lampiran 1.5 Kisi-kisi Alat Ukur Kecerdasan Emosional LAMPIRAN 2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 2.1 Hasil Uji Validita Hasil uji validitas RSQ Hasil uji validitas EII

Lampiran 2.2 Hasil Uji Reliabilitas Hasil uji reliabilitas RSQ Hasil uji reliabilitas EII LAMPIRAN 3 Data Hasil Penelitian

Lampiran 3.1 Hasil Penelitian Adult Attachment Style Lampiran 3.2 Hasil Penelitian Kecerdasan Emosional

Lampiran 3.3 Hasil Penelitian Kecrdasan emosional (aspek Kesadaran Diri)

Lampiran 3.4 Hasil Penelitian Kecerdasan emosional (aspek mengelola emosi diri)


(10)

xvi Universitas Kristen Maranatha Lampiran 3.5 Hasil Penelitian Kecerdasan emosional (aspek memotivasi

diri)

Lampiran 3.6 Hasil Penelitian Kecerdasan emosional (aspek empati)

Lampiran 3.7 Hasil Penelitian Kecerdasan emosional (aspek membina hubungan)

Lampiran 3.8 Hasil Tabulasi Silang

Lampiran A Tabulasi Silang Antara Kecerdasan Adult Attachment Style dengan Kecerdasan Emosional

Lampiran B Tabel Gambaran Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional pada responden dengan Dismissing Attachment Style

Lampiran C Tabel Gambaran Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional pada responden dengan Fearful Attachment Style

Lampiran D Tabel Gambaran Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional pada responden dengan Secure Attachment Style

Lampiran E Tabel Gambaran Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional pada responden dengan Preoccupied Attachment Style

Lampiran F Tabel Gambaran Tabulasi Silang antara Early Attachment

Style dengan Attachment style pada responden

Lampiran G Tabel Gambaran Mengenai Figur Attachment pada Responden Lampiran H Tabel Gambrana Responsifitas Figur Attachment

Lampiran I Tabel Gambaran Kepuasan Responden Dalam Relasinya dengan Teman dalam Kelompok Belajar


(11)

xvii Universitas Kristen Maranatha Lampiran J.1 Gambaran Kecerdasan Emosional pada Orang Tua

Responden

Lampiran J.2 Tabel Gambaran Faktor Non-Keluarga pada Responden Lampiran K Tabel Gambaran Early Attachment Style pada Responden Lampiran L Hasil Tabulasi Silang Antara Adult Attachment Style dengan

Responsivitas figur Attachment

Lampiran M Gambaran Figur Modelling Responden

Lampiran N Hasil Tabulasi Silang Antara Kecerdasan Emosional Responden Dengan Kecerdasan Emosional Orangtua Responden\

LAMPIRAN 4 PROFIL PENELITI DAN POPULASI Lampiran 4.1 Profil Peneliti


(12)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Di sepanjang rentang kehidupan, setiap manusia membutuhkan manusia lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Kebutuhan dalam diri seseorang untuk bergantung pada orang lain disekitarnya telah muncul semenjak manusia berada pada fase bayi. Saat masih bayi, seorang anak bergantung pada orang lain yang dirasakan dapat memberikan rasa aman dan nyaman baginya. Di usia yang sangat dini, kenyamanan yang dirasakan oleh seorang bayi berasal dari figur orangtua ataupun figur pengasuh. Umumnya, figur pengasuh signifikan lebih besar adalah Ibu, namun tidak menutup kemungkinan ada figur lain selain ibu. Ikatan antara bayi dengan figur tersebut ini adalah keterikatan yang bersifat primer.

Keterikatan ini menjadi fasilitator aktivitas psikologis yang baru dimulai, yaitu seperti kemampuan bicara, mengatur indera-indera, tindakan fisik, berfikir dengan simbol, meniru dan belajar dari orang lain (Santrock, 2007). Responsivitas figur pengasuh yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan bayi tersebut menanamkan pemahaman pada bayi bahwa figur tersebut adalah figur


(13)

2 Universitas Kristen Maranatha yang dapat dipercaya untuk memperhatikan kebutuhannya dan dapat diandalkan bantuannya. Hal tersebut juga membuat bayi merasakan bahwa betapa aman dirinya dan betapa orang-orang disekitarnya dapat diandalkan ketika ia menghadapi situasi yang menekan. Berbagai pengalaman mengenai keterikatan seseorang pada masa bayi dengan figur signifikan akan terus berlanjut sampai masa remaja, dewasa, dan bahkan sampai tua (Hazan & Shaver, 1987), serta menjadi pola yang dimiliki individu ketika menjalin ikatan attachment dengan orang lain selain figur attachmentnya.

Semakin bertambahnya usia seseorang, maka ia akan memasuki lingkungan sosial yang lebih luas dari pada lingkungan keluarga. Untuk dapat bertahan berada dalam suatu lingkungan sosial, seseorang harus mampu menjalin relasi dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut. Salah satu lingkungan yang menuntut adanya relasi sosial adalah situasi pendidikan. Setiap jenjang pendidikan memiliki tuntutan yang berbeda-beda dan tingkat kesulitannya akan terus meningkat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari jenjang tersebut. Tuntutan yang sangat berbeda terasa pada peralihan antara sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Tuntutan yang lebih tinggi dan kesulitan yang dialami berada pada relasi yang harus terbangun dengan teman, dosen, dan warga kampus lainnya.

Dalam situasi perkuliahan mahasiswa dituntut untuk menambah luas relasi yang dimiliki dan menambah jumlah teman. Relasi sosial yang dimiliki secara langsung akan membawa banyak manfaat dalam menjalani proses belajar sebagai mahasiswa. Dalam mengerjakan tugas yang bersifat kelompok, maka


(14)

3 Universitas Kristen Maranatha akan lebih mudah diselesaikan apabila mahasiswa memiliki kemauan untuk menjalin relasi yang saling percaya dengan orang lain terutama dengan teman dalam kelompok belajarnya. Sebaliknya, jika mahasiswa kurang mampu menjalin relasi sosial maka akan menghambat proses penyelesaian tugas. Disamping harus memenuhi tugas perkembangan dalam aspek sosial, mahasiswa baru juga harus beradaptasi dengan situasi belajar yang berbeda. Situasi perkuliahan menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dan dosen hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar.

Tuntutan yang semakin kompleks untuk diselesaikan itu menjadi permasalahan tersendiri bagi mahasiswa. Masing-masing mahasiswa memiliki penghayatan berbeda mengenai kesulitan-kesulitan tersebut dan memunculkan respon yang berbeda-beda pula. Namun, apapun kondisi yang dialaminya dalam perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk mampu mengatur emosinya agar tetap dapat menjalani proses belajar di perkuliahan dengan baik. Oleh karena itu, untuk dapat menjalaninya setiap mahasiswa harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensia; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan personal atau personal competence dan keterampilan sosial atau social competence. Personal competence terdiri dari kemampuan (1) mengenali emosi diri; kemampuan untuk mengenali perasaan dalam diri sewaktu perasaan itu terjadi; (2) mengelola emosi, yaitu upaya yang dilakukan seseorang untuk menyeimbangkan keadaan emosi yang dirasakannya;


(15)

4 Universitas Kristen Maranatha (3) memotivasi diri sendiri; kemampuan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dan memiliki kemampuan dalam memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Pada keterampilan sosial atau social competence terdiri dari kemampuan (1) mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan untuk berempati, mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga lebih mampu menerima sudut pandang orang lain; (2) membina hubungan, yaitu meliputi keterampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi.

Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosional dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. Proses mempelajari emosi berawal dari figur-figur terdekat dengan anak saat awal kehidupan seorang anak misalnya ibu dan ayah sebagai orangtua, ataupun figur pengasuh yang memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak.

Sejalan dengan faktor keluarga yang dipaparkan oleh Goleman, fokus pada penelitian ini adalah pada attachment style merupakan suatu relasi antara seorang bayi dengan figur pengasuh signifikan baginya. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa seorang yang memiliki secure attachment lebih mampu


(16)

5 Universitas Kristen Maranatha menanggulangi emosi negatif dalam interaksi sosial dibandingkan dengan orang dengan insecure attachment (Kobak, & Sceery, 1988), memiliki lebih banyak emosi positif dalam berinteraksi secara sosial (Simpson, 1990), dan memiliki kemampuan regulasi emosi yang positif (Cooper et. Al., 1998). Faktor lain yang memengaruhi kecerdasan emosional seseorang adalah faktor non-keluarga (Goleman, 1997). Faktor non-keluarga adalah lingkungan dimana individu tumbuh, umumnya adalah lingkungan bermain dan sekolah. Lingkungan ini turut memengaruhi kemampuan individu dalam berempati terhadap orang lain.

Untuk mengetahui gambaran mengenai fenomena yang terjadi pada mahasiswa baru, peneliti telah melakukan survey awal terhadap mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Berdasarkan hasil survey awal terhadap 30 responden, 40% (12 orang) diantaranya menghayati memiliki secure attachment style. Pada dasarnya mereka memiliki model of self yang positif. Mereka merasa nyaman pada dirinya sendiri saat ini dan merasa bahwa dirinya layak untuk diterima oleh teman-temannya kuliahnya. Selain itu, mereka memiliki model of other yang positif. Mereka merasa teman-teman kuliahnya ada untuk dirinya ketika dibutuhkan dan juga memberikan dukungan bagi dirinya. Ia menghayati bahwa mudah bagi dirinya untuk memiliki kedekatan secara emosional dengan orang lain. selain itu, mereka merasa nyaman bergantung pada orang lain di sekitarnya dan sebaliknya. Mereka tidak khawatir apabila harus sendiri dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan juga tidak merasa khawatir bahwa orang lain akan menolak kehadirannya. Beberapa responden merasa cukup mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri,


(17)

6 Universitas Kristen Maranatha mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Responden lainnya menghayati bahwa dirinya merasa kurang mampu mengenali emosi orang lain, dimana hal tersebut dirasakannya ketika belajar dalam kelompok. Ia tidak menyadari kapan teman kelompok belajarnya itu merasa sedih, senang, bosan, jenuh dan lainnya. Sebagian lainnya menghayati bahwa dirinya kurang mampu mengelola emosi. Hal tersebut dirasakannya ketika mengerjakan tugas kelompok, ia merasa kurang mampu mengolah rasa jenuh sehingga saat rasa jenuh datang, ia tidak bisa fokus pada penyelesaian tugas kelompok.

30% (9 orang) diantaranya menghayati mereka memiliki preoccupied

attachment style. Pada dasarnya, mereka memiliki model of self yang negatif.

Mereka merasa tidak nyaman pada dirinya sendiri saat ini dan merasa dirinya kurang layak untuk diterima oleh teman-teman kuliahnya karena merasa memiliki kemampuan yang kurang dalam hal akademik. Selain itu, mereka memiliki model

of other yang positif. Mereka merasa khawatir bahwa teman-teman kuliahnya

tidak ada untuk dirinya ketika dibutuhkan dan juga memberikan dukungan bagi dirinya. Sebagian responden merasa dirinya kurang mampu mengenali emosi diri, sehingga saat suasan hati tidak menentu, dapat menghambatnya dalam belajar. Hal tersebut juga berkaitan dengan kemampuan memotivasi diri. Responden merasa bahwa ia hanya mampu mengerjakan tugas dengan baik ketika suasana hati sedang baik. Responden lainnya merasa kurang mampu mengelola emosi diri. Ia merasakan hilangnya minat untuk mengerjakan tugas kelompok ketika ia merasa kesal terhadap salah satu teman dalam kelompok belajarnya. Ia juga merasa kurang mampu memotivasi diri untuk menyelesaikan tugas secepatnya.


(18)

7 Universitas Kristen Maranatha Sedangkan sejumlah responden lainnya merasa bahwa mereka kurang mampu mengenali emosi diri. Mereka seringkali tidak memahami emosi yang mereka rasakan, sehingga berdampak pada suasana hati yang tidak menentu. Ketika dituntut untuk tetap menyelesaikan tugas, mereka merasa tidak bersemangat.

Sebanyak 20% (6 orang) memiliki dismissing attachment style. Pada dasarnya mereka memiliki model of self yang positif. Mereka memandang dirinya merasa nyaman walaupun tidak memiliki relasi yang dekat dengan orang lain. Ia juga merasa bahwa dirinya mampu mandiri. Selain itu, mereka memiliki model of

other yang negatif. Ia merasa mampu memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga

memilih untuk tidak bergantung kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain bergantung padanya. Sebagian responden merasa kesulitan dalam membina hubungan karena ia merasa gugup ketika harus berkenalan terlebih dahulu dengan orang lain. Hal tersebut mempengaruhi kinerjanya dalam kelompok. Ia merasa kurang mampu menyampaikan pendapat-pendapatnya karena merasa pendapatnya tidak akan didengarkan oleh teman dalam kelompok belajar. Sejumlah responden lainnya merasa bahwa dirinya kurang mampu mengenali penyebab emosi yang dirasakannya, sehingga seringkali dikuasai oleh perasaannya, misalnya ketika suasana hatinya sedang gembira maka ia akan semangat dalam mengerjakan tugas dan beraktivitas. Sebaliknya, ketika suasana hatinya sedang tidak menentu tanpa sebab yang jelas, ia merasa malas dalam beraktivitas dan tidak bersemangat.

Sebanyak 10% (3 orang) memiliki fearful attachment style. Mereka memiliki model of self dan model of other yang negatif. Tidak merasa nyaman dengan dirinya apa adanya karena alasan bahwa dirinya memiliki sifat pemalu dan


(19)

8 Universitas Kristen Maranatha sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagian responden merasa minder karena menurutnya dia tidak pintar dan tidak ada yang bisa diunggulkan. Akibatnya mereka hanya berbicara ketika ditanya dan tidak berani untuk bertanya lebih dulu. Selain itu, ia juga memandang bahwa orang lain tidak mampu memenuhi kebutuhannya akan pertemanan. Ia merasa orang lain enggan untuk mengajaknya berbicara. Responden seringkali tidak mengetahui emosi yang muncul dalam dirinya. Suasana hatinya seringkali tidak menentu tanpa penyebab yang jelas. Hal tersebut berdampak pada aktivitas kuliahnya sehari-hari, dimana mereka larut dalam suasana emosi tersebut dan tidak bersemangat dalam menjalani kuliah. Dalam kelompok belajar, ia merasa pasif dan tidak peduli dengan teman anggota kelompok yang lain. Mereka merasa bahwa sulit baginya untuk membina hubungan pertemanan yang akrab. Mereka merasa lebih cocok dengan proses belajar yang tidak menuntut kerjasama dalam tim.

Adult attachment style dan kecerdasan emosional masing-masing memiliki

dua komponen yang mengarah pada diri individu yang bersangkutan dan mengarah pada orang lain atau lingkungan sosial. Peneliti memiliki asumsi bahwa

model of self pada adult attachment style akan sejalan dengan personal competence pada kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of self

yang positif maka ia juga akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen personal competence dalam kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of others yang positif maka ia akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen social competence.


(20)

9 Universitas Kristen Maranatha Oleh karena itu, berdasarkan fenomena diatas ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru di fakultas psikologi universitas “X” di kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara adult

attachment style dengan derajat kecerdasan emosional pada mahasiswa baru

angkatan 2014 di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

1. Untuk memeroleh gambaran mengenai attachment style pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas “X” di Kota Bandung 2. Untuk memeroleh gambaran mengenai kecerdasan emosional pada

mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas “X” di Kota Bandung

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara adult attachment style terhadap kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas “X” di kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis


(21)

10 Universitas Kristen Maranatha 1. Memberikan informasi bagaimana keterkaitan antara variabel adult

attachment style dan kecerdasan emosional dapat memengaruhi proses

belajar yang responden jalani dalam perkuliahan

2. Menjadi bahan evaluasi untuk fakultas psikologi dalam memfasilitasi masing-masing mahasiswa agar lebih mampu mengenai dirinya sendiri dengan lebih baik

1.4.2 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan sumbangsih informasi dan ilmu pengetahuan terhadap pengembangan bidang kadian psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan.

1.5 Kerangka Pikir

Individu yang menjadi seorang mahasiswa baru akan megalami banyak perubahan dan pengalaman baru. Pada masa ini, individu tersebut mengalami perubahan dalam aktivitas yang mereka alami saat kegiatan belajar di kampus dan juga dari relasi sosial yang dijalin. Tuntutan yang diberikan kepada mereka lebih berat jika dibandingkan dengan ketika mereka berada di sekolah menengah atas. Mereka harus beradaptasi kembali dengan teman-teman baru dan model pembelajaran yang baru. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan kepada mahasiswa di fakultas psikologi universitas “X” di kota Bandung menjadi tuntutan tersendiri. Dalam kurikulum KBK, mereka harus menjalankan sejumlah model pembelajaran yang dihayati cukup berat oleh mereka karena mahasiswa memiliki peran yang lebih aktif dibandingkan dengan dosen. Proses belajar seperti


(22)

11 Universitas Kristen Maranatha itu merupakan Student Centered Learning (SCL), dimana iklim pembelajaran yang dikembangkan adalah kolaboratif, suportif dan kooperatif.

Tidak semua mahasiswa merasa mampu belajar secara efektif bila berada dalam kelompok belajar. Dalam kelompok belajar akan melibatkan interaksi setiap anggota kelompok untuk menyelesaikan permasalahan dan kesulitan yang dialami dalam proses belajar. Dalam proses belajar, mahasiswa mengalami perbedaan pendapat antara anggota-anggota dalam kelompoknya sehingga memicu adanya konflik. Dalam menghadapi situasi menekan tersebut dibutuhkan adanya kecerdasan emosional agar emosi yang dirasakan oleh masing-masing anggota kelompok tidak menggangu relasi yang terjalin dalam anggota kelompok dan iklim bekerja sama dalam kelompok tetap terbentuk. Kecerdasan emosional adalah derajat kemampuan seseorang dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain (Goleman, 2007). Goleman (1995) mengelompokan kelima aspek tersebut menjadi dua komponen besar besar yaitu komponen personal competence yang terdiri dari kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi dan memotivasi diri dan komponen social competence yang terdiri dari kemampuan empati dan kemampuan membina hubungan.

Aspek pertama dari kecerdasan emosional adalah mengenali emosi diri. Pengenalan emosi diri merupakan kesadaran diri (self-awareness) untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu muncul (Goleman, 1999). Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah


(23)

12 Universitas Kristen Maranatha kewaspadaan terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, karena bila kurang waspada individu akan mudah larut dalam arus emosinya dan dikuasai emosinya sendiri. self-awareness merupakan prasyarat untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Kemampuan menilai diri sendiri secara teliti menunjukan seberapa luas pengetahuan individu tentang kekuatan dan batas-batas diri sendiri (Goleman, 2004 dalam Baskara). Mahasiswa dalam aspek ini mampu mengenali emosi yang dirasakannya dan tidak larut dalam emosi tersebut. Selain itu, ia memiliki penilaian yang akurat terhadap dirinya sendiri dan merasa percaya diri (Goleman, Boyatzis, 2000, dalam Hamarta et. al 2009). Sebaliknya, mahasiswa yang yang rendah dalam aspek ini tidak memahami emosi dan penyebab munculnya emosi dalam dirinya sendiri. Ia mudah larut dalam emosi yang dirasakannya.

Aspek kedua dari kecerdasan emosional adalah mengelola emosi. Mengelola emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi yang sedang dirasakannya dan mampu mengungkapkan emosi secara tepat untuk menimbang dan menyelesaikan masalah serta meraih tujuan yang ingin dicapai (Goleman, 1999). Selain itu, mengelola emosi artinya mampu menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas (Goleman, 1999). Mahasiswa yang tinggi dalam aspek ini mampu mengendalikan emosi yang dirasakannya saat bekerja dalam kelompok belajar. Ia mampu menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu tujuan. Ia juga mengungkapkan emosinya melalui cara yang tepat dan dapat diterima oleh orang lain, sehingga relasi yang terjalin dan proses belajar dalam kelompok tidak terganggu. Sebaliknya,


(24)

13 Universitas Kristen Maranatha mahasiswa yang yang rendah dalam aspek ini kurang mampu mengendalikan emosinya, sehingga emosi yang dirasakan tidak terungkap dengan seharusnya. Hal tersebut akan berdampak pada relasi yang terjalin dengan teman-teman dalam kelompok serta menghambat pencapaian tujuan kelompok belajar.

Aspek ketiga dari kecerdasan emosional adalah memotivasi diri. Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan untuk meregulasi emosi secara sadar untuk dapat melibatkan diri dalam upaya mencapai tujuan serta memiliki rasa optimis bahwa dirinya mampu mencapai tujuan. Kemampuan ini juga mengarahkan seseorang untuk bertindak inisiatif dan efektif serta bertahan ketika menghadapi kegagalan dan frustasi (Goleman, 1999). Mahasiswa yang tinggi dalam aspek ini mampu membuat emosi yang dirasakannya mengarah kepada tujuan. Ia mengetahui cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dialami dalam proses belajar. Ia memiliki dorongan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam hal prestasi belajar dan berusaha memenuhi standar keberhasilan yang telah ditetapkan. Ketika berada dalam kelompok, ia mampu menyesuaikan diri dengan tujuan kelompok. Sikap inisiatif yang dimilikinya terlihat dari kesiapannya dalam memanfaatkan kesempatan yang ada. Disamping itu, rasa optimis yang akan terlihat dari perilaku memperjuangkan tujuan walaupun ada halangan dan kegagalan. Sebaliknya, mahasiswa yang rendah dalam aspek ini tidak memiliki inisiatif sehingga ketika bertemu dengan hambatan, ia akan cenderung diam dan bertahan, serta tidak berupaya melakukan perlawanan. Ketika berada dalam kelompok, ia akan cenderung pasif. Ia hanya akan menjadi pengikut dari teman-teman anggota kelompoknya. Ia Merasa


(25)

14 Universitas Kristen Maranatha pesimis tidak memiliki daya juang untuk menghadapi masalah yang dihadapi sehingga sulit untuk meraih tujuan. Selain itu, ia tidak memiliki keinginan untuk meningkatkan prestasi dalam belajar dan merasa cepat puas.

Aspek keempat dari kecerdasan emosional adalah mengenali emosi orang lain atau empati. Empati adalah kemampuan untuk peka terhadap perasaan orang lain disekitar kita (Goleman, 1999). Mahasiswa yang tinggi dalam aspek ini memiliki kemampuan untuk memahami orang lain, memahami perspektif orang lain dan menghormati adanya perbedaan pendapat. Ia akan berusaha untuk menunjukan kepada teman-teman di kelompoknya bahwa ia memiliki minat untuk aktif dalam mencapai kepentingan bersama. Selain itu, ia juga akan berusaha memahami cara berpikir orang lain yang berguna dalam proses menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Sebaliknya, apabila mahasiswa yang rendah dalam aspek ini, ia tidak peduli dengan perasaan teman-teman dalam kelompok belajarnya. Ia juga tidak berusaha untuk memahami orang lain dan pendapat-pendapat orang lain. Selalu ingin didengarkan namun sulit untuk menjadi pendengar yang baik. Akhirnya merasa kecewa ketika pendapatnya tidak dapat dilaksanakan oleh kelompok. Dampaknya, ia akan merasa tidak tertarik untuk berelasi dalam kelompok belajar.

Aspek kelima dari kecerdasan emosional adalah membina hubungan. Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan untuk menangani emosi dalam diri ketika membina dan mempertahankan hubungan dengan orang lain di lingkungan sekitar. Kemampuan ini akan menunjang kualitas dari relasi yang terjalin dan kemampuan komunikasi yang baik (Goleman, 1999). Mahasiswa yang


(26)

15 Universitas Kristen Maranatha tinggi dalam aspek ini akan mampu menjadi pengaruh bagi orang lain. Artinya, ia mampu mempersuasi orang lain khususnya teman dalam kelompoknya karena ditunjang oleh kemampuan berkomunikasi secara efektif. Ia mampu menyampaikan saran, pendapat serta keluhannya dengan tepat dan dapat dimengerti. Mampu berkolaborasi dan kooperatif ketika bekerjasama dalam kelompok belajar. Hal tersebut membawa dampak pada sinergi antar anggota dalam mencapai tujuan kelompok. Sebaliknya, mahasiswa yang rendah dalam aspek ini, kurang mampu berkomunikasi dengan baik. emosi yang dirasakannya tidak mampu dikelola sehingga menghambat kemampuan komunikasi dan pesan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Tidak mampu berkolaborasi dan kooperatif saat proses belajar dalam kelompok berlangsung serta tidak bersinergi dengan kelompok untuk mencapai tujuan kelompok.

Kecerdasan emosional pada individu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor keluarga dan faktor non-keluarga (Goleman, 2007). Faktor keluarga, yang menjadi fokus pada penelitian ini, didasari hubungan antara orangtua dengan bayi yang berperan sebagai agen pembelajaran emosi yang pertama pada masa bayi (Goleman, 2007). Pengalaman masa bayi memiliki efek yang kuat terhadap kecerdasan emosional. Disamping itu, kecerdasan emosional adalah sesuatu yang bisa dikembangkan dan tidak bisa ditolak (Bar-on, 2006; Titcrk, 2007; Yesilyaprak, 2001). Artinya, ikatan antara peran figur pengasuh dengan bayi dalam proses perkembangan kecerdasan emosional sangat penting. Dengan mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam pengasuhan akan berdampak positif bagi anak baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan


(27)

16 Universitas Kristen Maranatha dalam membina hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi, sehingga anak lebih sehat secara emosional, dengan kata lain memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik (Gottman, 1997 dalam Marina 2007)

Ikatan antara bayi dan ibu sebagai figur pengasuh signifikan bagi bayi pertama kali diungkapkan oleh Bowlby (1973). Bowlby menyebut ikatan antara bayi dengan figur yang memberikan rasa aman adalah attachment. Menurut Bowlby (1982), pengalaman pengasuhan saat masa bayi diinternalisasi sebagai

working model yang tidak hanya menghasilkan kecenderungan saat menjalin

relasi dengan orang lain di masa yang akan datang, tetapi juga membentuk bagaimana seseorang merasakan, berekspresi dan menanggulangi emosi yang tidak menyenangkan. Bowlby (1982) menambahkan bahwa attachment adalah suatu ikatan emosional.

Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri (model of self) dan orang lain (model of other) yang akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Peneliti mengasumsikan bahwa model of self pada adult attachment style akan sejalan dengan personal competence pada kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of self yang positif maka ia juga akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen personal competence dalam kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of others yang positif maka ia akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen social competence.


(28)

17 Universitas Kristen Maranatha Penelitian ini difokuskan pada empat dimensi adult attachment dari Bartholomew (1990). Empat tipe tersebut didasarkan pada kualitas positif dan negatif dari dimensi self dan other. Tipe pertama dari adult attachment style adalah secure attachment style. Individu yang menghayati memiliki secure

attachment style memiliki kemampuan untuk menyadari, memikirkan, dan

memahami keadaan mentalnya sendiri (Bartholomew, 1990). Interaksi yang terjalin dengan figur attachment yang suportif memungkinkan seseorang mampu memahami dan mengartikan pengalaman emosional yang dimilikinya dan mengintegrasikannya terhadap self concept. Ia membangun kemampuan meregulasi emosi sebagai hasil dari interaksi yang terbentuk secara berulang dengan figur attachment yang sensitif dan responsif dalam memberikan proteksi dan dukungan (Bartholomew, 1990). Individu dengan secure attachment style diharapkan memiliki kemampuan yang tinggi dalam seluruh aspek kecerdasan emosional yaitu kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan kemampuan membina hubungan.

Individu diharapkan mampu terbuka, mengekspresikan dan mengomunikasikan perasaannya secara bebas dan akurat terhadap orang lain, dan mampu merasakan emosi itu sepenuhnya tanpa distorsi. Misalnya ketika merasa marah terhadap teman kelompok belajar, Ia mampu merasakan dan memahami rasa marah sebagai tanda bahwa tingkah laku temannya itu seharusnya dipertimbangkan kembali dan diubah. Rasa marah tersebut mampu diekspresikan dalam cara yang sesuai, dengan cara orang tersebut fokus pada upaya untuk


(29)

18 Universitas Kristen Maranatha memperbaiki kesalahan daripada mencoba menghukum atau menyakiti temannya yang telah melakukan kesalahan.

Tipe kedua adalah preoccupied attachment style. Pada mahasiswa baru yang memiliki tipe ini memiliki model of self yang negatif. Mahasiswa merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya. Ia menilai bahwa dirinya kurang layak sehingga sulit untuk diterima dalam lingkungan pergaulannya. Walaupun begitu, ia tetap membutuhkan intimacy yang ekstrem dengan orang lain disekitarnya. Sebaliknya, mahasiswa baru yang memiliki tipe ini memiliki model of others yang positif. Individu dengan tipe ini diharapkan memiliki kemampuan yang tinggi dalam aspek empati dan kemampuan membina hubungan dan memiliki kemampuan yang rendah dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi dan memotivasi diri.

Individu dengan tipe ini memiliki harapan bahwa teman-teman kuliahnya akan bertindak secara responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa nyaman ketika belajar di kelas. Ia memandang bahwa orang lain disekitarnya adalah orang-orang yang dapat dipercaya dan diandalkan untuk memenuhi kebutuhannya akan rasa aman dan kasih sayang. Secara umum, mahasiswa baru dengan preoccupied akan cenderung takut akan penolakan dan ditinggalkan, serta akan menghabiskan waktunya dengan mencemaskan hubungan yang dimilikinya dengan teman dalam kelompok belajar.

Tipe attachment yang ketiga adalah dissmising. Pada mahasiswa baru fakultas psikologi Universitas “X” di kota Bandung yang memiliki tipe ini memiliki model of self yang positif. Ia merasa nyaman dengan dirinya dan


(30)

19 Universitas Kristen Maranatha memiliki penilaian yang tinggi akan diri sendiri. Ia mampu mengenali emosi yang muncul pada dirinya, mampu mengolah emosi yang muncul dan mampu memotivasi diri dalam belajar bersama dengan kelompoknya. Selain itu, mahasiswa baru fakultas psikologi Universitas “X” di kota Bandung yang memiliki tipe ini memiliki model of others yang negatif. Individu dengan tipe ini akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi dan memotivasi diri dan akan memiliki kemampuan yang rendah dalam empati dan kemampuan membina hubungan.

Ia merasa bahwa teman-teman kuliahnya tidak responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa tidak nyaman ketika belajar bersama-sama dalam kelompok. Hal tersebut berdampak pada keengganan dalam menjalin hubungan mendalam dengan teman dalam kelompok belajar untuk mencapai tujuan kelompok. Mahasiswa dengan tipe ini cenderung memiliki prasangka terhadap motivasi teman yang ingin dekat dengannya. Mereka akan cenderung untuk mempertahankan jarak sosial yang dimilikinya dan mencegah orang lain untuk memiliki kedekatan dengan dirinya dalam upaya mempertahan self-worth.

Tipe attachment yang keempat ini adalah fearful. Para mahasiswa baru yang memiliki tipe ini memiliki model of self yang negatif. Mahasiswa ini merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya. Ia menilai bahwa dirinya kurang layak sehingga sulit untuk diterima dalam lingkungan pergaulannya. Mahasiswa ini merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya, sehingga menngarahkan pada keengganannya untuk menjalin relasi sosial dengan teman dalam kelompok


(31)

20 Universitas Kristen Maranatha belajar karena merasa takut akan ditolak. Selain itu, mereka juga memiliki model

of others yang negatif. Ia merasa bahwa teman-teman kuliahnya tidak responsif

terhadap dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa tidak nyaman ketika belajar bersama-sama dalam kelompok. Sama halnya seperti tipe dismissing, mahasiswa dengan tipe ini memiliki prasangka terhadap motivasi teman kelompok belajar untuk mendekatinya. Oleh karena itu, perilaku menghindar menjadi cara yang dilakukannya agar ia tidak merasakan penolakan dari lingkungan. Individu dengan tipe ini akan memiliki kemampuan yang rendah dalam seluruh aspek kecerdasan emosional yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, kemampuan empati dan kemampuan membina hubungan.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa individu dengan tipe secure

attachment mampu menanggulangi emosi negatif dengan lebih baik dalam

interaksi sosialnya jika dibandingkan dengan orang dengan tipe insecure

attachment (Kobak, & Sceery, 1988 dalam Hamarta et. al 2009), memiliki emosi

yang lebih positif dalam berinteraksi (Simpson, 1990 dalam Hamarta et. al 2009), dan memiliki kemampuan regulasi emosi yang lebih positif (Cooper et al., 1998 dalam Hamarta et. al 2009).

Goleman (1995) mengatakan selain faktor keluarga, terdapat juga faktor non-keluarga yang dapat memengaruhi kecerdasan emosional seseorang. Faktor non keluarga berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan dimana individu tinggal. Kecerdasan emosional ini berkembang sejalan dengan perkembangan mental dan fisik individu. Pembelajaran ini biasanya diajarkan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan


(32)

21 Universitas Kristen Maranatha emosi yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 2001). Kemampuan berempati merupakan salah satu cara pembelajaran kecerdasan emosional yang diajarkan oleh lingkungan non-keluarga.

Attachment style pada mahasiswa baru fakultas psikologi universitas “X”

di Kota Bandung bervariatif yang dapat digolongkan kedalam 4 tipe yaitu Secure,

preoccupational, dismissing dan fearful. Begitu pula dengan derajat kecerdasan

emosional, yang dapat dikategorikan dengan derajat tinggi dan rendah, berdasarkan dari 5 aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (1999). Uraian tersebut dapat digambarkan dalam bagan kerangka pikir seperti berikut ini:


(33)

22 Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.5 Kerangka Pikir Adult Attachment Style

Mahasiswa baru fakultas psikologi universitas “X”

di Kota Bandung Derajat Kecerdasan

Emosional

Faktor yang memengaruhi adult

attachment style:

1. Attachment style mahasiswa dengan

orang tua.

2. Penghayatan mahasiswa mengenai relasinya dengan teman dalam kelompok belajar.

Faktor yang memengaruhi Kecerdasan Emosional:

1. Faktor keluarga 2. Faktor non-keluarga Dimensi Adult

Attachment Style : Model of Self Model of Other

Aspek-aspek Kecerdasan Emosional: Komponen Personal Competence 1. Mengenali emosi diri

2. Mengelola Emosi 3. Memotivasi diri

Komponen Social Competence 4. Mengenali emosi orang lain (empati) 5. Membina hubungan

Adult Attachment Style

Adult Attachment Style


(34)

(35)

24 Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian

 Masing-masing mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung memiliki adult attachment style dan derajat kecerdasan emosional yang berbeda.

Derajat kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor non-keluarga.

Adult attachment style pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha dipengaruhi oleh attachment

style yang dimilikinya oleh dengan orangtua dan penghayatan mahasiswa

mengenai kepuasan relasinya dengan teman dalam kelompok belajar.  Derajat kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung dapat dilihat dari kemampuan mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan kemampuan membina hubungan sosial.

Adult attachment style pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung dapat dilihat dari kombinasi dimensi model of self dan dimensi model of other.

1.7 Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara Secure attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung.


(36)

25 Universitas Kristen Maranatha 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara dismissing attachment style

dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung.

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara Preoccupied attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung.

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara fearful attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung.


(37)

(38)

82 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan antara

adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru

angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, diperoleh hasil bahwa:

1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara secure attachment style dengan kecerdasan emosional. Hal ini berarti responden dengan secure

attachment style akan memiliki derajat kecerdasan emosional yang tinggi.

Pengalaman secure attachment style responden dengan figur signifikan menghasilkan penghayatan yang positif mengenai penerimaan dirinya oleh figur signifikan tersebut. Penghayatan positif tersebut mampu meningkatkan kelima kemampuan dalam aspek kecerdasan emosial yaitu aspek mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan aspek membina hubungan.

2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dismissing, fearful, dan

preoccupied attachment style dengan derajat kecerdasan emosinal. Hal ini

berarti responden dengan insecure attachment style memiliki derajat kecerdasan emosional yang rendah.


(39)

83 Universitas Kristen Maranatha 3. Responden dengan dismissing attachment style menunjukan kemampuan yang tinggi dalam aspek kesadaran diri, motivasi diri dan empati, dan memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek mengelola emosi diri dan membina hubungan sosial. Responden dengan preoccupied dan fearful

attachment style menunjukan kemampuan yang tinggi dalam aspek

kesadaran diri dan memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek mengelolah emosi diri, memotivasi diri, empati dan membina hubungan sosial.

4. Faktor lainnya yang tidak diukur sebagai data utama tidak memiliki keterikatan yang jelas terhadap hubungan antara variabel kecerdasan emosional dan adult attachment style.

5. Faktor yang lebih dominan memengaruhi kecerdasan emosional responden adalah faktor keluarga yaitu kecerdasan emosional orangtua responden. Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar responden yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi berasal dari orangtua yang juga memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Sebaliknya, sebagian besar responden yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah berasal dari orangtua yang juga memiliki kecerdasan emosional yang rendah.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Bagi peneliti berikutnya dapat menggali faktor lain yang mungkin terkait dengan variabel attachment style maupun kecerdasan emosional.


(40)

84 Universitas Kristen Maranatha 2. Bagi peneliti berikutnya dapat mempertimbangkan metodologi penelitian khususnya yang berkaitan dengan cara penentuan skor untuk masing-masing attachment style

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi responden, hasil penelitian dapat digunakan sebagai hasil evaluasi diri mengenai hubungan sosialnya dengan teman dalam kelompok belajar, yang dapat memengaruhi proses belajar sehari-hari di dalam kelas. Untuk responden dengan insecure

attachment style (dismissing, preoccupied dan fearful) hal ini

dapat membantu responden dalam memahami dirinya dan meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain khususnya teman dalam kelompok belajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2. Bagi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun pelatihan yang dapat memfasilitasi responden dalam belajar, khususnya bagi mahasiswa yang memiliki

insecure attachment style (dismissing, preoccupied dan fearful)


(41)

(42)

85 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Baskara, Adya, Helly P. Soetjipto & Nuryati Atamimi. 2006. Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Keikutsertaan Dalam Program Meditasi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ervika, Eka. 2005. Kelekatan (Attachment) pada Anak. Program Studi Psikologi-Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hamarta, Erdal & M. Engin Deniz, Nesliban Saltali (2009). Educational Sciences: Theory and Practice: Attachment Style As A Predictor of

Emotional Intelligence. Pp: 213-229. Turkey.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psychology – A Life-Span Approach, Fifth Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-by-step Guide for Beginners. London: Sage Publications

Marina, Lia & Sarlito W. Sarwono. 2007. Kecerdasan Emosional Pada Orang Tua yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Mikulincer, Mario & Phillip R. Shaver (2007). Attachment in Adulthood:

Structure, Dynamics, and change. New York: Gilford Publication, Inc.

Papalia, Diane E. (2001). Human Development. New York: McGraw-Hill

Santrock, John W. (2006). Life-Span Development, 10th edition. New York: McGraw-Hill


(43)

86 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Andhiny, Dyan Getmi. 2013. Studi deskriptif mengenai kecerdasan emosional pada siswa smp kelas VII (Penelitian terhadap siswa SMP “X” Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Bandung). Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha.

Debora, Amelia. 2013. Studi deskriptif mengenai adult attachment style pada pasangan mahasiswa yang sedang berpacaran di Universitas X Bandung. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha.

Hakim, Andi. 2012. Hubungan antara kecerdasan emosional dan kinerja pada karyawan. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Lanawati, Sri. 1999. Hubungan antara Emotional Intelligence (EI) dan

Intelligence Quotient (IQ) dengan Prestasi Belajar SMU Methodist.


(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, diperoleh hasil bahwa:

1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara secure attachment style dengan kecerdasan emosional. Hal ini berarti responden dengan secure attachment style akan memiliki derajat kecerdasan emosional yang tinggi. Pengalaman secure attachment style responden dengan figur signifikan menghasilkan penghayatan yang positif mengenai penerimaan dirinya oleh figur signifikan tersebut. Penghayatan positif tersebut mampu meningkatkan kelima kemampuan dalam aspek kecerdasan emosial yaitu aspek mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan aspek membina hubungan.

2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dismissing, fearful, dan preoccupied attachment style dengan derajat kecerdasan emosinal. Hal ini berarti responden dengan insecure attachment style memiliki derajat kecerdasan emosional yang rendah.


(2)

3. Responden dengan dismissing attachment style menunjukan kemampuan yang tinggi dalam aspek kesadaran diri, motivasi diri dan empati, dan memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek mengelola emosi diri dan membina hubungan sosial. Responden dengan preoccupied dan fearful attachment style menunjukan kemampuan yang tinggi dalam aspek kesadaran diri dan memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek mengelolah emosi diri, memotivasi diri, empati dan membina hubungan sosial.

4. Faktor lainnya yang tidak diukur sebagai data utama tidak memiliki keterikatan yang jelas terhadap hubungan antara variabel kecerdasan emosional dan adult attachment style.

5. Faktor yang lebih dominan memengaruhi kecerdasan emosional responden adalah faktor keluarga yaitu kecerdasan emosional orangtua responden. Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar responden yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi berasal dari orangtua yang juga memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Sebaliknya, sebagian besar responden yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah berasal dari orangtua yang juga memiliki kecerdasan emosional yang rendah.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Bagi peneliti berikutnya dapat menggali faktor lain yang mungkin terkait dengan variabel attachment style maupun kecerdasan emosional.


(3)

2. Bagi peneliti berikutnya dapat mempertimbangkan metodologi penelitian khususnya yang berkaitan dengan cara penentuan skor untuk masing-masing attachment style

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi responden, hasil penelitian dapat digunakan sebagai hasil evaluasi diri mengenai hubungan sosialnya dengan teman dalam kelompok belajar, yang dapat memengaruhi proses belajar sehari-hari di dalam kelas. Untuk responden dengan insecure attachment style (dismissing, preoccupied dan fearful) hal ini dapat membantu responden dalam memahami dirinya dan meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain khususnya teman dalam kelompok belajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2. Bagi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun pelatihan yang dapat memfasilitasi responden dalam belajar, khususnya bagi mahasiswa yang memiliki insecure attachment style (dismissing, preoccupied dan fearful) dan derajat kecerdasan emosional yang rendah.


(4)

(5)

Baskara, Adya, Helly P. Soetjipto & Nuryati Atamimi. 2006. Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Keikutsertaan Dalam Program Meditasi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ervika, Eka. 2005. Kelekatan (Attachment) pada Anak. Program Studi Psikologi-Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hamarta, Erdal & M. Engin Deniz, Nesliban Saltali (2009). Educational Sciences: Theory and Practice: Attachment Style As A Predictor of Emotional Intelligence. Pp: 213-229. Turkey.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psychology – A Life-Span Approach, Fifth Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-by-step Guide for Beginners. London: Sage Publications

Marina, Lia & Sarlito W. Sarwono. 2007. Kecerdasan Emosional Pada Orang Tua yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Mikulincer, Mario & Phillip R. Shaver (2007). Attachment in Adulthood: Structure, Dynamics, and change. New York: Gilford Publication, Inc. Papalia, Diane E. (2001). Human Development. New York: McGraw-Hill

Santrock, John W. (2006). Life-Span Development, 10th edition. New York: McGraw-Hill


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Andhiny, Dyan Getmi. 2013. Studi deskriptif mengenai kecerdasan emosional pada siswa smp kelas VII (Penelitian terhadap siswa SMP “X” Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Bandung). Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha.

Debora, Amelia. 2013. Studi deskriptif mengenai adult attachment style pada pasangan mahasiswa yang sedang berpacaran di Universitas X Bandung. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha.

Hakim, Andi. 2012. Hubungan antara kecerdasan emosional dan kinerja pada karyawan. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Lanawati, Sri. 1999. Hubungan antara Emotional Intelligence (EI) dan Intelligence Quotient (IQ) dengan Prestasi Belajar SMU Methodist. Program Pascasarjana Universitas Indonesia.