PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP.
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Diana Utami 1103391
ABSTRAK
Faktarendahnyakemampuankoneksimatematisdalam TIMSS
danbelumoptimalnyakemandirianbelajarsiswasebagaihasildari proses pembelajaran yang menempatkansiswasebagaiobjekdaripadasebagaisubjek, menjadipermasalahandalampembelajaranmatematika di sekolahmenengah. Olehkarenaitu, diperlukanadanyaupayaperbaikanpembelajaran yang mengubah proses pembelajarandariparadigmamengajar yang berpusatpada guru
menjadiparadigmabelajaryang berpusatpadasiswa,
diantaranyayaitudenganpembelajaranproblem posing.Penelitian yang berbentuk kuasieksperimendengandesainpretes-postesini,menerapkanpembelajaran problem
posing tipe pre-solutiondan problem posing tipe within-solutionuntukmengetahui
dan sekaligus membandingkan kontribusi keduanya terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematisdan kemandirian belajar siswa.
SebanyakduakelasdariseluruhkelasIX di suatuSMP di
Bandung,diambildenganteknikpurposive
sampling,untukdijadikansampelpenelitian.Kelaseksperimenpertamamemperolehpe
mbelajaranproblem posingtipepre-solution,
dankelaseksperimenkeduamemperolehpembelajaranproblem posingtipewithin-solution.Instrumenyang
digunakan,terdiridarisoalteskemampuankoneksimatematis,skalakemandirianbelaja r,danlembarobservasiaktivitassiswadalampembelajaran.Hasilpenelitianmemperlih atkanbahwa kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutiondan
peningkatannya, ternyata tidak berbeda dengan siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe within-solution.Selain itu, hasil penelitian memperlihatkan bahwakemandirian belajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutionlebih baik daripada siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe
within-solution.
KataKunci:KemampuanKoneksi Matematis, KemandirianBelajar, Problem Posing, Problem PosingTipePre-Solution,Problem PosingTipeWithin-Solution
(2)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
AND SEL-REGULATED LEARNING OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS Diana Utami
1103391
ABSTRACT
The fact of low ability in the TIMSS mathematical connections and not optimal self-regulated learning student as a result of the learning process that puts students as objects rather than as a subject, become a problem in learning mathematics in secondary schools. Therefore, it is necessary to change the learning improvement efforts of learning-centered teaching paradigm to a paradigm of teacher-centered learning students, among which the learning problem posing. Research in the form of a quasi experimental design with these postes-pretes, implement a learning problem posing with pre-solution posing and within-solution posing to know and compare the contributions both of a mathematical connection ability and self-regulated of student learning. A total of two classes of the entire class IX in a junior high school in Bandung, taken by purposive sampling technique, for the research sample. The first experimental class acquired the learning pre-solution posing and the second experimental class acquired the learning within-solution posing. The instrument used, consisting of mathematical connection ability test item, the scale independent learning, and observation sheets of students in learning activities. The results showed that the mathematical connection ability students learning math using pre-solution posing and it’s improvement, it is no different with students learning math using within-solution posing. In addition, the results showed that self-regulated of students learning math using pre-solution posing better than students learning math using within-solution posing.
Keyword: Mathematical Connections Ability, Self-Regulated Learning, Problem
(3)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
(4)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. RumusanMasalah ... 7
C. TujuanPenelitian ... 7
D. ManfaatPenelitian ... 8
E. DefinisiOperasional... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
A. KemampuanKoneksiMatematis ... 11
B. KemandirianBelajar ... 13
C. Problem Posing ... 15
1. Problem PosingTipePre-Solution ... 23
2. Problem PosingTipeWithin-Solution ... 24
D. HubunganantaraKemampuanKoneksiMatematis, Keman- dirianBelajar, danProblem PosingTipePre-Solution ... 26
E. HubunganantaraKemampuanKoneksiMatematis, Keman- dirianBelajar, danProblem PosingTipeWithin-Solution ... 27
F. HipotesisPenelitian ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
A. DesainPenelitian ... 31
B. PopulasidanSampel ... 32
C. InstrumenPenelitian... 32
1. SoalTesKemampuanKoneksiMatematis ... 32
a. AnalisisValiditas ... 33
b. AnalisisReliabilitas ... 35
c. AnalisisDayaPembeda ... 36
d. AnalisisIndeksKesukaran ... 37
2. SkalaKemandirianBelajar ... 39
3. LembarObservasiKegiatanSiswadalamPembelajaran ... 41
(5)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
a. Data PretesKemampuanKoneksiMatematis ... 48
1) Deskripsi Data PretesKemampuanKoneksi Matematis ... 48
2) UjiNormalitasdanData PretesKemampuan KoneksiMatematis ... 49
3) UjiPerbedaan Data PretesKemampuanKoneksi Matematis ... 50
b. Data PostesKemampuanKoneksiMatematis ... 51
1) Deskripsi Data PostesKemampuanKoneksi Matematis ... 51
2) UjiNormalitasdanHomogenitasVariansData PostesKemampuanKoneksiMatematis ... 52
3) UjiPerbedaan Data PostesKemampuanKoneksi Matematis ... 54
c. Data N-GainKemampuanKoneksiMatematis ... 55
1) Deskripsi Data N-GainKemampuanKoneksi Matematis ... 56
2) UjiNormalitasdanHomogenitasVarians Data N-Gain KemampuanKoneksiMatematis ... 57
3) UjiPerbedaan Data N-GainKemampuanKoneksi Matematis ... 59
2. HasilPenelitianKemandirianBelajar ... 60
a. Deskripsi Data KemandirianBelajar ... 60
b. UjiPerbedaan Data KemandirianBelajar ... 61
3. HasilObservasiAktivitasSiswadalamPembelajaran ... 62
B. Pembahasan ... 66
1. KemampuanKoneksiMatematis ... 67
2. KemandirianBelajar... 73
3. ObservasiAktivitasSiswadalamPembelajaran ... 75
BABVKESIMPULAN DAN SARAN ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
(6)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMPUniversitas
Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan yang berkualitas menjadi penentu keberhasilan suatu bangsa dalam menghasilkan manusia-manusia yang unggul di bidangnya. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan ketatnya daya saing di era globalisasi, menuntut suatu bangsa untuk memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu manusia-manusia yang diantaranya memiliki wawasan yang luas, skills yang tinggi, dan kepribadian yang matang. Keberhasilan tecapainya SDM yang berkualitas tersebut, tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan di suatu bangsa.
Matematika memiliki peranan yang penting dalam perkembangan IPTEK.Perkembangan teknologi modern didasari oleh penguasaan matematika yang kuat sejak dini, terutama dalam membentuk kemampuan berpikir yang lebih maju. Matematika merupakan alat untuk mengembangkan cara berpikir yang sangat diperlukan, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam kemajuan IPTEK (Hudojo, 2003: 40). Reys, et al. (Tim MKPBM, 2001: 19) mengatakan bahwamatematika adalah telaah mengenai pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat. Matematika merupakan studi pola dan hubungan, bahasa, cara dan alat berpikir, aktivitas, ilmu pengetahuan yang berkembang secara dinamik (Suryadi, 2012: 36-37). Kline (Tim MKPBM, 2001: 19) mengemukakan bahwa matematika membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa matematika sangat penting dan berguna sebagai cara, alat, bahasa, pola pikir, dan pelayan ilmu pengetahuan lain, yang mendasari perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Hasil survei yang dilakukan oleh The Trends in International Mathematics
and Science Study (TIMSS) Tahun 2011 memperlihatkan bahwasiswa-siswa
(7)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dites, dalam hal prestasi matematika. Rata-rata skor prestasi matematika yang dicapainya adalah sebesar 386, sementara rata-rata skor idealnya adalah500. Soal yang dikembangkan pada studi TIMSS Tahun 2011 untuk kelas delapan tersebut mencakup ranah kognitif pengetahuan (knowing) sebesar 35%, penerapan (applying) sebesar 40%, dan penalaran (reasoning) sebesar 25%. Adapun, ranah isi dari soal yang diujikan, meliputi bilangan sebesar 30%, aljabar sebesar 30%, geometri sebesar 20%, serta data dan peluang sebesar 20%.
Koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan berpikir matematis yang harus dikuasai siswa dalam pembelajaran matematika.Pembelajaran matematika merupakan salah satu komponen dari pendidikan matematika.Departemen pendidikan nasional (Depdiknas, 2006) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika meliputi:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tujuan pembelajaran matematika yang ditetapkan Depdiknas tersebut sejalan dengan lima kemampuan standar dalam pembelajaran matematika yang ditetapkan oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) Tahun 2000, yang meliputi: pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), dan representasi (representation). Menurut Sumarmo (2005), kemampuan-kemampuan yang ditetapkan NCTM di atas, disebut daya matematis (mathematical power). NCTM Tahun 2000 mengatakan bahwa siswa yang mampu mengaitkan ide-ide matematis akan memiliki pemahaman matematis yang
(8)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
semakin dalam dan bertahan lama, karena siswa memiliki kemampuan koneksi matematis, yaitu mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan konteks selain matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Jadi, jelaslah bahwa koneksi matematis merupakan kemampuan berpikir matematis yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika sebagai tolak ukur keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika.
Hasil penelitian tentang koneksi matematis siswa berikut ini memberikan dugaan gambaran tentang keadaannya di lapangan.Ruspiani (Kurniawan, 2011) mengemukakan bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematis siswa sekolah menengah kurang dari 60 pada skor 100, yaitu 22,2% untuk koneksi matematis dengan pokok bahasan lain, 44,9% untuk koneksi matematis dengan bidang studi lain, dan 37,3% untuk koneksi matematis dengan kehidupan keseharian. Nasir (2008) mengatakan bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematis siswa sekolah menengah kurang dari 60 pada skor 86, yaitu 46,2% untuk koneksi matematis dengan pokok bahasan lain, 59,9% untuk koneksi matematis dengan bidang studi lain, dan 67,3% untuk koneksi matematis dengan kehidupan keseharian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keadaan koneksi matematis siswa sekolah menengah di lapangan masih harus ditingkatkan
Suasana belajar harus melibatkan siswa secara aktif.Pembelajaran matematika harus dipusatkan pada siswa (student-centered). Pembelajaran yang berpusat pada siswa, tentunya akan dapat mengaktifkan siswa, dikarenakan aktivitas kelas akan lebih banyak didominasi oleh siswa. Hudojo (2003:123) mengatakan bahwa agar proses belajar matematika dapat terjadi, siswa dituntut untuk terlibat secara aktif di dalam menemukan konsep-konsep. Siswa yang terlibat aktif dalam aktivitas pembelajaran akan mampu memahami bahan yang dipelajarinya (Suryadi, 2012). Jadi, jelaslah bahwa keterlibatan siswa untuk ikut aktif berpartisipasi dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan demi terciptanya proses pembelajaran yang efektif .
Kemandirian menjadi sebuah tuntutan bagi individu anak-anak dan remaja, terutama dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. Individu yang memiliki kemandirianakan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
(9)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
menjadi pribadi yang dewasa dalam menyikapi berbagai persoalan hidup, dan menjadi individu yang dapat memilih jalan hidupnya dengan lebih mantap, sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena kemandirian memiliki dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka kemandirian perlu ditanamkan sejak dini di lingkungannya, sesuai dengan kemampuan usia. Di bangku sekolah, kemandirian lebih difokuskan dalam aktivitas pembelajaran, dan salah satunya adalah dalam pembelajaran matematika.
Kemandirian belajar siswa merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan siswa dalam belajar matematika.Siswa tidak hanya dibekali dengan kemampuan berpikir matematis, tetapi siswa juga perlu dibekali dengan kemampuan untuk belajar mandiri.Hargis (Sumarmo, 2004) mengatakan bahwa kemandirian belajar yang tinggi mampu membuat individu untuk belajar lebih baik, memantau, mengevaluasi, mengatur belajar dan waktunya secara efektif dan efisien, mampu menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya, dan memperoleh skor tinggi dalam sains. Sebagai kebiasaan dan sikap belajar berkualitas yang tinggi, kemandirian belajar dalam proses pembelajaran matematika memiliki karakteristik utama, yaitu: (1) Menganalisis kebutuhan belajar matematika, merumuskan tujuan, dan merancang program; (2) Memilih dan menerapkan strategi belajar, (3) Memantau dan mengevaluasi diri terhadap penerapan strategi, memeriksa hasil, serta memperoleh umpan balik (Sumarmo, 2004).
Hasil penelitian tentang kemandirian belajar siswa dalam mata pelajaran matematika berikut ini memberikan dugaan gambaran tentang keadaannya di lapangan.
Tabel 1.1Perbandingan antara Skor Skala dan Skor Netral Kemandirian Belajar Siswa di Sebuah Sekolah Menengah
No. Indikator
Kemandirian Belajar Siswa Skor Skala Skor Netral 1. Berinisiatif belajar dengan
atau tanpa bantuan orang lain.
(10)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2. Mendiagnosa kebutuhan
belajarnya sendiri. 2,48 3,75
3. Merumuskan/memilih tujuan
belajar. 2,99 3,15
4. Memilih dan menggunakan
sumber belajar. 2,79 3,04
5. Memilih strategi belajar 2,99 3,04
6. Mengevaluasi hasil belajar. 2,86 2,65 7. Memandang kesulitan
sebagai tantangan. 2,80 3,25
8. Konsep diri. 2,78 3,25
Hasil penelitian Astuti (2009)berdasarkan Tabel 1.1, memperlihatkan bahwa hampir semua indikator kemandirian belajar siswa di sebuah sekolah menengah, skor skalanya lebih kecil dari skor netralnya.Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keadaan kemandirian belajar siswa sekolah menengah dalam mata pelajaran matematika di lapangan masih harus ditingkatkan.
Pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa.Pembelajaran yang baik harus mampu memberdayakan siswa dalam proses belajar mengajar dan menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika. Pembelajaran yang baik juga harus dapat menciptakan kebermaknaan dalam proses pembelajarannya, sehingga pengetahuan tidak sekedar diterima begitu saja sebagai sesuatu yang dihafal, tetapi pengetahuan itu dikonstruksi (dibentuk) oleh siswa sendiri, melalui pengalaman-pengalamannya dalam proses pembelajaran. NCTM Tahun 1989 (Suryadi, 2012: 26) mengatakan bahwa belajar bermakna merupakan landasan utama bagi terbentuknya koneksi matematika.Pembelajaran matematika yang berfokus pada keaktifan siswa (student-centered) adalah pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, karenapendekatan tersebutdapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan secara aktif dalam proses belajar mereka sendiri.
Problem posing merupakan pembelajaran yang mampu memberdayakan
siswa dalam proses pembelajaran matematika. Pemilihan dan penerapan pembelajaran problem posing akan mengubah cara belajar siswa yang semula pasif ke arah yang lebih aktif dalam membentuk pengetahuan matematikanya,
(11)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
sehingga pembelajaran akan menjadi lebih terpusat pada kegiatan belajar siswa, sedangkan guru berfungsi sebagai pengajar dan memotivasi siswa untuk membuat masalah dan menyelesaikan masalah, memberikan bimbingan dan bantuan saat dibutuhkan. Pembelajaranproblem posing menuntut siswa untuk ikut aktif berpartisipasi dalam pembelajaran matematika, seperti merumuskan masalah dan menyelesaikan masalah tersebut, sehingga siswa diberikan keleluasaan untuk belajar secara mandiri (Siswono, 2000a, 2000b). Brown dan Walter (Ramdhani, 2012)menyatakan, …”Problem posing can give one a chance to develop independent thinking processes”.Pernyataan tersebut memiliki makna bahwaproblem posing memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan proses berpikirnya secara mandiri dalam menyelesaikan masalah, dalam hal ini masalah matematika. Jadi, problem posing merupakan suatu pembelajaran yang dapat membangun struktur kognitif dan kemandirian belajar siswa, sehingga dapat memberdayakan siswa dalam proses pembelajaran dan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Beberapa ahli menganjurkan agar problem posing digunakan dalam kurikulum matematika (Irwan, 2011).Schoenfeld (1992) dan NCTM (2000), menyatakan aktivitas yang dirancang sendiri oleh siswa dalam problem posing dapat merangsangseluruh kemampuan siswa, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik.Problem posing juga memuat inti dari aktivitas matematika, termasuk aktivitas ketika siswa membangun masalah sendiri (English, 1998; Brown & Walter, 2005).Beberapa pendapat para ahli tersebut menunjukkan bahwa problem posing adalah penting dalam kurikulum matematika.
Problem posing digunakan pada tiga bentuk kegiatan kognitif yang
bersifat matematis, yaitu problem posing tipe pre-solution, problem posing tipe
within-solution, dan problem posing tipe post-solution.Bentuk pertama dan kedua
inilah yang akanditeliti dalam penelitian ini.
Problem posing tipe pre-solution posing adalah perumusan atau pengajuan
masalah dari suatu situasi stimulus yang diberikan.Suatu situasi stimulus yang diberikan, dapat berupa gambar, pernyataan, dan sebagainya.Problem posing tipe
(12)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
within-solution posing adalah kegiatan merumuskan atau menyatakan kembali
masalah dari suatu masalah supaya menjadi lebih mudah diselesaikan, atau dengan kata lain pengajuan masalah oleh siswa sebagai penyederhanaan dari masalah yang sedang diselesaikan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul "Perbandingan antara Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing Tipe Pre-Solution dan Tipe
Within-Solutiondalam Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian
Belajar Siswa SMP".
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang masalah. Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutionlebih baik daripada siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem
posing tipe within-solution?
2. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutionlebih baik daripada siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem
posing tipe within-solution?
3. Apakah kemandirian belajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutionlebih baik daripada siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe
within-solution?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah. Tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Menganalisiskemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutiondan siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe
(13)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2. Menganalisis peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe
pre-solutiondan siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe within-solution.
3. Menganalisis kemandirian belajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutiondan siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe within-solution.
D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi siswa, diharapkan dapat membantu meningkatkan kemampuan koneksi dan kemandirian belajar siswa serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi guru matematika, diharapkan dapat membantu kesulitan guru dalam mengajar dan dapat memberi alternatif cara dalam memberikan bahan ajar kepada siswa dalam pembelajaran, sebagai upaya meningkatkan kemampuan koneksi dan kemandirian belajar siswa.
3. Bagi peneliti lainnya, sebagai sumbangan pemikiran, sekaligus sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran dalam upaya peningkatan kualitas siswa dalam proses pembelajaran.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional yang disajikan dalam penelitian ini bertujuanuntuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan.
Definisi operasionalnya, yaitu:
1. Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan untuk membuat/melihat hubungan/keterkaitan konsep matematika dengan matematika (antar topik dalam matematika), matematika dengan bidang ilmu lain, dan matematika dengan kehidupan nyata.
Kemampuan koneksi matematis yang dikembangkan adalah sebagai berikut: a. Mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur
(14)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu b. Memahami hubungan antar topik matematika;
c. Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari.
2. Kemandirian belajar adalah proses merancang dan memantau proses afektif dan kognitif diri sendiri secara saksama dalam menyelesaikan tugas akademik, yang memiliki indikator-indikator sebagai berikut:(1) Berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; (2) Mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; (3) Merumuskan/memilih tujuan belajar; (4) Memilih dan menggunakan sumber belajar; (5) Memilih strategi belajar; (6) Mengevaluasi hasil belajar; (7) Memandang kesulitan sebagai tantangan; dan (8) Konsep diri.
3. Problem posing adalah suatu pembelajaran yang menekankan pada kegiatan
melalui merumuskan atau mengajukanmasalah oleh siswa. Tahapan problem posing adalah sebagai berikut:
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; b. Guru memberikan materi;
c. Siswa diberikan gambar, pernyataan, masalah, penyelesaian masalah, dan lain-lain;
d. Siswa mengajukan masalah berdasarkan gambar, pernyataan, masalah, penyelesaian masalah, dan lain-lain;
e. Siswa menyelesaikan masalah.
4. Problem posing tipe pre-solutionadalah perumusan atau pengajuan masalah
dari suatu situasi stimulus yang diberikan.Suatu situasi stimulus yang diberikan, dapat berupa gambar, pernyataan, dan sebagainya.
Tahapan problem posingtipe pre-solutionadalah sebagai berikut: a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;
b. Guru memberikan materi;
c. Siswa diberikan situasiuntuk mengajukan masalah. Situasi tersebut dapat berupa gambar, pernyataan, dan sebagainya;
d. Siswa mengajukan masalah berdasarkan situasi, yaitu situasi yang berupa gambar, pernyataan, dan sebagainya;
(15)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu e. Siswa menyelesaikan masalahyang diajukan.
5. Problem posing tipe within-solutionadalah kegiatan merumuskan atau
menyatakan kembali masalah supaya masalah tersebut menjadi lebih mudah diselesaikan, atau dengan kata lain pengajuan masalah oleh siswa sebagai penyederhanaan dari masalah yang sedang diselesaikan.
Tahapan problem posingtipe within-solutionadalah sebagai berikut: a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;
b. Guru memberikan materi;
c. Siswa diberikan masalah yang memerlukan penyelesaian;
d. Siswa mengajukan masalah berdasarkan masalah yang memerlukan penyelesaian tersebut;
(16)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
A. Desain Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk melihat hubungan sebab-akibat dari dua jenispembelajaran terhadap aspek kemampuan koneksi matematis dan kemandirian belajar siswa dari dua subjek yang berbeda.Subjek yang diteliti terdiri dari dua kelas, masing-masing diberikan pembelajaran/perlakuan yang berbeda.Kelas eksperimen 1 (X1) diberikan pembelajaran/ perlakuandengan
problem posing tipe pre-solutiondan kelas eksperimen 2 (X2) diberikan
pembelajaran/ perlakuan denganproblem posing tipe within-solution.Subjek penelitian tersebut tidak dipilih secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya, yang didasarkan bahwa kelas yang ada telah terbentuk sebelumnya dan tidak mungkin dilakukan pengelompokkan siswa secara acak.Berdasarkan pertimbangan tersebut, dengan demikian desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kuasi eksperimen (quasi
experimental design). Kuasi eksperimen dalam penelitian ini, menggunakan
pretes-postes untuk kemampuan koneksi matematis dan postes untuk kemandirian belajar siswa.
Desain penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
OX1O
O X2 O
dengan:
O= Pretes, postes.
X1 =Perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan problem posingtipe
pre-solution.
X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan problem posing tipe
(17)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
B. Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 52 Bandung, dengan populasinya adalah seluruh siswa kelas IX pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014.Sampel penelitiannya adalah dua kelas dari kelas IX, yang ditetapkan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penetapan sampel berdasarkan pertimbangan.Penetapan sampel didasarkan pada hasil pertimbanganguru bidang studi matematika yang mengajar di kelas IX dan peneliti sendiri.Beberapa pertimbangan dari penetapan populasi dan sampel, diantaranya:
1. Penelitian ini cocok diterapkan pada materi tentang geometri. Di awal semester ganjil pada tingkat sekolah menengah, materi tersebutdapat ditemukan pada materi SMP kelas IX, yaitu materi Bangun Ruang Sisi Lengkung (BRSL).
2. Siswa kelas IX dinilai dapat sudah selayaknya dewasa dalam memikul tanggung jawab.
3. Kelas yang dipilih adalah kelas yang jadwal pelajaran matematikanya memiliki beberapa kesamaan hari.
4. Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung (BRSL) dapat lebih awal diterapkan pada kedua kelas tersebut.
5. Dua kelas yang dijadikan penelitian, diperkirakan memiliki karakteristik dan tingkat kemampuan matematis yang tidak jauh berbeda.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri darisoal tes kemampuan koneksi matematis, skala kemandirian belajar, dan lembar observasi aktivitassiswa dalam pembelajaran.
1. Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis
Soal tes untuk mengukur kemampuan koneksi matematis ini merupakan instrumen dalam bentuk tes, dan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pretes dan postes, yang disusun dalam bentuk uraian.
(18)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Pedoman pemberian skor tes kemampuan koneksi matematis yang digunakan menurut Cai, Lane, & Jakabcsin (1996), disajikan dalam Tabel 3.1 berikut ini.
Tabel 3.1 Pedoman Pemberian Skor Tes Kemampuan Koneksi Matematis
Kemampuan Menjawab Soal Skor
Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya
memperlihatkan ketidakpahaman tentang konsep, sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa.
0
Hanya sedikit dari penjelasan yang benar. 1 Penjelasan secara matematis masuk akal, namun
hanya sebagian lengkap dan benar. 2
Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis, atau
terdapat sedikit kesalahan bahasa. 3
Penjelasan secara matematis masuk akal dan jelas,
serta tersusun secara logis dan sistematis. 4
Uji tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran, dilakukan terhadap soal tes kemampuan koneksi matematis, dengan maksud agar diperoleh soal yang baik, yang layak untuk dijadikan instrumen penelitian. Soal tes kemampuan koneksi matematis yang telah disusun, selanjutnya diujicobakan oleh peneliti kepada siswa kelas X di suatuSMAuntuk dilakukan uji validitas empirik, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukarannya.
a. Analisis Validitas
Kriteria dalam validitas empirik digunakan untuk menentukan tinggi rendahnya koefisien validitas alat evaluasi yang dibuat melalui perhitungan koefisien korelasi.Koefisien validitas yang digunakan, dapat diperoleh melalui perhitungan korelasi produk momen memakai angka kasar, atau dengan melalui perhitungan korelasi menggunakan metode rankdari Spearman-Brown.
(19)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu ( )( )
2 2 2 2
[ ( ) ][ ( ) ]
XY X Y
rXY
N X N Y
N X Y
. (Suherman, 2003)
dengan:
XY
r = Koefisien korelasi antara variabel X danY.
X = Skor masing-masing butir soal.
Y = Skor total.
N = Banyaknya peserta tes.
Rumus korelasi rank dari Speraman-Brown, yaitu:
2 2 6 1 ( 1) XY d r N N
. (Suherman, 2003)dengan:
XY
r = Koefisien korelasi antara variabel X dan Y.
X = Skor masing-masing butir soal.
Y = Skor total.
d = Selisih rank (ranking) antara X dan Y .
N = Banyaknyapeserta tes.
Signifikansikoefisien korelasi, selanjutnya diuji melalui hipotesis, sebagai berikut:
0
H :i 0
1
H : i 0
Kriteria pengujiannyapada taraf signifikansi = 0,05, adalah tolakH , 0 jika P-value (Sig.)< 0,05, selain itu H diterima. 0
Kriteria intrepretasi koefisien validitas, disajikan pada Tabel 3.2 berikut ini.
Tabel 3.2 KriteriaInterpretasi Koefisien Validitas
Nilai r XY Interpretasi
0,90rXY 1,00 Sangat tinggi
(20)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
0,40rXY 0,70 Sedang
0,20rXY 0,40 Rendah
XY
r 0,20 Sangat rendah
Tabel 3.3 menyajikan hasil perhitungan dan analisis validitas dari hasil uji coba soal tes kemampuan koneksi matematis.
Tabel 3.3 HasilPerhitungan dan AnalisisValiditas Uji Coba Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis No.
Butir
XY
r Uji Signifikansi r XY
Nilai r XY Interpretasi Sig. Kesimpulan
1a 0,60 Sedang 0,000
0,05
Valid
1b 0,51 Sedang 0,001 Valid
2 0,72 Tinggi 0,000 Valid
3 0,76 Tinggi 0,000 Valid
4 0,76 Tinggi 0,000 Valid
5 0,78 Tinggi 0,000 Valid
7 0,58 Sedang 0,000 Valid
8 0,67 Sedang 0,000 Valid
b. Analisis Relialibilitas
Reliabilitas alat evaluasi adalah suatu kondisi konsisten terhadap hasil yang diberikan oleh suatu alat ukur, walaupun dilakukan oleh orang, waktu dan tempat yang berbeda (Suherman & Kusumah, 1990:167).Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas adalahdengan rumus Alpha Cronbach, yang dinyatakan sebagai berikut:
2
11 1 2
1
i t
s n
r
n s
. (Suherman, 2003) dengan:11
r = Reliabilitas instrumen. n = Banyak butir soal.
(21)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2
i
s = Jumlah variansi skor tiap butir soal.
2
t
s = Varians skor total.
Kriteria interpretasi reliabilitas, disajikan pada Tabel 3.4 berikut ini. Tabel 3.4 KriteriaInterpretasi Tingkat Reliabilitas
Nilai r 11 Interpretasi
11
r 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah 0,20 r11 0,40 Derajat reliabilitas rendah 0,40 r11 0,70 Derajat reliabilitas sedang 0,70 r11 0,90 Derajat reliabilitas tinggi 0,90 r11 1,00 Derajat reliabilitas sangat tinggi
Hasil perhitungan nilai reliabilitas r hasil uji coba soal tes kemampuan 11
koneksi matematis yang diperoleh adalahsebesar 0,81, dengan interpretasi bahwa soal tes kemampuan koneksi matematis tersebut secara keseluruhan memiliki derajat reliabilitas yang tinggi.
c. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal untuk membedakan antara testi (siswa) yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang bodoh.Pengertian tersebut didasarkan pada asumsi Galton, bahwa suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai, rata-rata, dan yang bodoh, karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari ketiga kelompok tersebut.
Daya pembeda setiap butir soal tes dapat diketahui melalui langkah-langkah berikut.Langkah pertama yang dilakukan adalah mengurutkan perolehan skor seluruh siswa, dari skor tertinggi ke skor terendah. Langkah kedua, diambil 27% siswa yang skornya tinggi, yang disebut kelompok atas, dan 27%, siswa yang skornya rendah, yang disebut kelompok bawah. Langkah ketiga, digunakan rumus berikut:
-
Skor maksimum ideal butir soal
A B
A
JB JB
DP
JS
.
(22)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
A
JB = Jumlah skor dari siswa kelompok atas.
B
JB = Jumlah skor dari siswa kelompok bawah.
A
JS = Banyaknya siswa kelompok atas.
Kriteria interpretasi daya pembeda yang digunakan, disajikan pada Tabel3.5 berikut ini.
Tabel 3.5 KriteriaInterpretasi Daya Pembeda
Nilai DP Interpretasi
0,70DP1,00 Sangat baik
0,40DP0,70 Baik
0,20DP0,40 Cukup
0,00DP0,20 Jelek
DP0,00 Sangat jelek
Tabel 3.6 menyajikan hasil perhitungan dan analisis daya pembeda dari hasil uji coba soal tes kemampuan koneksi matematis.
Tabel 3.6 Hasil Analisis Daya Pembeda Uji Coba Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis
No. Butir Nilai DP Interpretasi
1a 0,53 Baik
1b 0,65 Baik
2 0,68 Baik
3 0,63 Baik
4 0,40 Cukup
5 0,83 Sangat baik
6 0,53 Baik
7 0,60 Baik
d. Analisis Indeks Kesukaran
Tingkat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut Indeks Kesukaran (IK). Bilangan tersebut adalah bilangan real pada interval 0,00 sampai dengan 1,00.
Indeks kesukaran butir tes (IK) dapat diketahui melalui langkah-langkah berikut.Langkah pertama yang dilakukan adalah mengurutkan perolehan skor
(23)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
seluruh siswa, dari yang skor tertinggi sampai skor terendah. Langkah kedua, diambil 27% siswa yang skornya tinggi, yang disebut kelompok atas, dan 27%, siswa yang skornya rendah yang dsebut kelompok bawah. Langkah ketiga, digunakan rumus berikut:
( ) Skor maksimum ideal butir soal
A B
A B
JB JB
IK
JS JS
.
dengan:
A
JB = Jumlah skor dari siswa kelompok atas.
B
JB = Jumlah skor dari siswa kelompok bawah.
A
JS = Banyaknya siswa kelompok atas.
B
JS = Banyaknya siswa kelompok bawah.
Kriteria interpretasi indeks kesukaran yang digunakan, disajikan pada Tabel 3.7 berikut ini.
Tabel 3.7 KriteriaInterpretasi Indeks Kesukaran
Nilai IK Interpretasi
IK= 1,00 Terlalu mudah
0,70IK1,00 Mudah
0,30IK0,70 Sedang
0,00IK0,30 Soal sukar
IK = 0,00 Terlalu sukar
Tabel 3.8 menyajikan hasil perhitungan dan analisis indeks kesukaran dari hasil uji coba soal tes kemampuan koneksi matematis.
Tabel 3.8 Hasil Analisis Indeks Kesukaran Uji Coba Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis
No. Butir Nilai IK Interpretasi
1a 0,74 Mudah
1b 0,58 Sedang
2 0,51 Sedang
3 0,51 Sedang
4 0,25 Sukar
(24)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6 0,69 Sedang
7 0,48 Sedang
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil perhitungan dan analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran dari hasil uji coba soal tes kemampuan koneksi matematis,disajikan pada Tabel 3.9 sebagai berikut:
Tabel 3.9 Hasil Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Indeks KesukaranUji Coba Soal Tes Kemampuan Koneksi Matematis
No. Butir
Validitas (rXY)
Reliabilitas (r11)
Daya Pembeda (DP)
Indeks Kesukaran
(IK)
Keterangan
1a 0,60 Sedang 0,81 Derajat reliabilitas tinggi 0,53 Baik 0,74
Soal mudah Digunakan
1b 0,51
Sedang
0,65 Baik
0,58
Soal sedang Digunakan
2 0,72
Tinggi
0,68 Baik
0,51
Soal sedang Digunakan
3 0,76
Tinggi
0,63 Baik
0,51
Soal sedang Digunakan
4 0,76
Tinggi
0,40 Cukup
0,25
Soal sukar Digunakan
5 0,78
Tinggi
0,83 Sangat baik
0,51
Soal sedang Digunakan
6 0,58
Sedang
0,53 Baik
0,69
Soal sedang Digunakan
7 0,67
Sedang
0,60 Baik
0,48
Soal sedang Digunakan
2. Skala Kemandirian Belajar
Skala kemandirian belajar digunakan untuk mengukur kemandirian belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika. Instrumen skala ini berupa lembaran angket yang diberikan ke kelas PPPSdan ke kelas PPWSpada akhir penelitian/ perlakuan pembelajaran.
Kemandirian belajar siswa diperoleh melalui angket berbentuk skala Likert, yang disusun dan dikembangkan berdasarkan indikator-indikator sebagai
(25)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
berikut: (1) Berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; (2) Mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; (3) Merumuskan/memilih tujuan belajar; (4) Memilih dan menggunakan sumber belajar; (5) Memilih strategi belajar; (6) Mengevaluasi hasil belajar; (7) Memandang kesulitan sebagai tantangan; dan (8) Konsep diri.
Respon pada pernyataan dalam skala sikap yang diujicobakan, berupa data kualitatif yang berbentuk kriteriafrekuensi (seberapa sering atau seberapa tidak sering), yaitu“Sangat Sering (SSr)”, “Sering (Sr)”, “Kadang (Kd)”, “Jarang (Jr)”, dan “Sangat Jarang (SJr)”.Data kualitatif tersebut selanjutnya dikonversikan menjadi data kuantitatif.Padarespon siswa terhadap pernyataan positif, tiap kriterianyadiberi skor, yaitu kriteria”Sangat Sering (SSr)” diberi skor 5, kriteria”Sering (Sr)” diberi skor 4, kriteria ”Kadang (Kd)” diberi skor 3, kriteria
”Jarang (Jr)” diberi skor 2, dan kriteria ”Sangat Jarang (SJr)” diberi skor 1, sedangkan pada respon siswa terhadap pernyataan negatif, tiap kriteriadiberi skor sebaliknya.
Tabel3.10 SkorAngket Skala Sikap Pernyataan Skor Pilihan Respon
SSr Sr Kd Jr SJr
Positif (+) 5 4 3 2 1
Negatif(-) 1 2 3 4 5
Angket skala kemandirian belajar yang telah disusun, selanjutnya diujicobakan oleh peneliti kepada siswa kelas X di suatuSMAuntuk dilakukan uji validitas empirik dan reliabilitasnya, agar layak untuk dijadikan instrumen penelitian. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan cara yang sama seperti pada instrumen soal tes kemampuan koneksi matematis.
Skala kemandirian belajar yang layak dijadikan sebagai instrumen penelitian terdiri dari 27 pernyataan.Hasil perhitungan dan analisis validitas dari hasil uji coba skala kemandirian belajaryang terdiri dari 35 pernyataan menunjukkan bahwa terdapat 8 pernyataan yang tidak
(26)
valid.Pernyataan-Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pernyataan yang tidak valid tersebut meliputi pernyataan nomor 4, 9, 10, 16, 24, 26, 27, dan 35.Nilai reliabilitas r dari 35 pernyataan tersebut adalah sebesar0,90, 11
dengan interpretasi bahwa skala kemandirian belajar tersebut secara keseluruhan memiliki derajat reliabilitas yang sangat tinggi.Jadi, skala kemandirian belajar yang layak dijadikan instrumen penelitian, terdiri dari 27 pernyataan, yang meliputi pernyataan nomor 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. Hasil perhitungan dan analisis validitas dan realibilitas uji coba skala kemandirian belajar, secaralengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran B.
3. Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran ini berupa lembar observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas belajar siswa selama diterapkannya pendekatan pembelajaran, baik pembelajaran yang menggunakan
problem posing tipe pre-solution, maupun pembelajaran yang menggunakan problem posing tipe within-solution.
Data hasil penilaian lembar observasi aktivitas siswa yang diperoleh selama penelitian adalah berupa data dalam empat kriteria penilaian, yaitu
kriteria”Sangat Baik” diberi skor 4, kriteria”Baik” diberi skor 3, kriteria ”Cukup” diberi skor 2, dan kriteria ”Kurang” diberi skor 1. Hasil observasi untuk beberapa kali pertemuan, selanjutnya dihitung nilai rata-ratanya dan dipersentasekan.
D. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes kemampuan koneksi matematis dan skala kemandirian belajar, selanjutnya dianalisis melalui uji statistik, yang diawali dengan analisis statistik deskriptif, sedangkan hasil observasiaktivitas siswadalam pembelajaran, dianalisis secara statistik deskriptif. Perhitungan data statistik dalam penelitian ini menggunakan SoftwareMicrosoft
Office Excel dan SPSSuntuk memudahkan proses perhitungan data statistik.
1. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematis
Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data, selanjutnya diolah melalui tahapan sebagai berikut:
(27)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
a. Memberikan skor jawaban siswa, sesuai dengan alternatif jawaban dan pedoman pemberian skor yang digunakan.
b. Menghitung besar peningkatan kemampuan koneksi matematis setiap siswadengan mengggunakan gain ternormalisasi sebagai berikut:
Skor postes% Skor pretes% g =
100% Skor pretes%
. (Hake, 2002)
dengan Skor postes% dan Skor pretes% berturut-turut adalah persentase skor postes setiap siswa dan persentase skor pretes setiap siswa.
Rata-rata gain ternormalisasi yang dinyatakan oleh Hake (2002), selanjutnya dihitungmelalui rumus:
<Skor postes>% <Skor pretes>% <g> =
100% <Skor pretes>%
.
dengan <Skor postes>% dan <Skor pretes>% berturut-turut adalah persentase rata-rata skor postes kelas dan persentase rata-rata skor pretes kelas.
Interpretasi <g> melaluikriteria interpretasi Hake (1999), disajikan pada Tabel 3.11 berikut ini.
Tabel 3.11 Kriteria Interpretasi <g>
<g> Interpretasi
0,7<(<g>) Tinggi
0,3 <(<g>) 0,7 Sedang
(<g>) 0,3 Rendah
c. Melakukan analisis statistik deskriptif data, seperti rata-rata dan sebagainya dari skor hasil pretes, postes, dan N-Gain kemampuan koneksi matematis pada masing-masing kelas eksperimen.
d. Melakukan uji normalitas dan homogenitasvariansdata pretes, protes, dan N-Gain kemampuan koneksi matematis siswa untuk masing-masing kelas eksperimen.
e. Melakukan uji perbedaan data pretes, postes, dan N-Gain kemampuan koneksi matematis. Uji perbedaan data yang digunakan adalah uji duapihak untuk data pretes dan uji satu pihak untuk data postes dan N-Gain. Jika sebaran
(28)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
databerdistribusi normal dan variansnya homogen, maka pengujiannya menggunakan uji-t independen dengan asumsi varians homogen. Jika sebaran data berdistribusi normal tapi variansnya tidak homogen, maka pengujiannya menggunakan uji-t independen dengan asumsi varianstidak homogen. Jikasebaran datatidak berdistribusi normal, maka pengujiannya digantikan dengan uji nonparametrik untuk dua sampel independen pengganti uji-t, yaitu uji Mann-Whitney.
2. Analisis Data Hasil Skala Kemandirian Belajar
Data yang diperoleh dari hasil angket skala kemandirian belajar, selanjutnya diolah melalui tahapan sebagai berikut:
a. Data kualitatif yang berbentuk kriteria frekuensi dikonversikan menjadi data kuantitatif yang berbentuk skala ordinal.Ruseffendi (1991) mengatakan bahwa perhitungan rata-rata dan simpangan baku tidak bisa berlaku dalam skala ordinal. Oleh karena itu, untuk mendeskripsikan data kemandirian belajar siswa pada masing-masing kelas eksperimen, dilakukan melalui analisis terbanyak atau modus, yaitu dengan melihat manakah yang paling banyak
muncul dari opsi “Sangat Sering (SSr)”, “Sering (Sr)”, “Kadang (Kd)”, “Jarang (Jr)”, dan “Sangat Jarang (SJr)”. Untuk menghitung persentase respon siswa, digunakan rumus berikut ini:
f
P = 100%
n
dengan:
P = Persentase respon. f = Frekuensi respon. n = Banyaknya responden.
b. Melakukan uji perbedaan data kemandirian belajar, melalui ujiMann-Whitneysebagai pengganti uji-t untuk dua sampel independen, karena data kemandirian belajar pada masing-masing kelas eksperimen merupakan data dengan skala ordinal.Uji perbedaan data yang digunakan adalah uji satupihak.
(29)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Data hasil penilaian lembar observasi aktivitas siswa yang diperoleh selama penelitian adalah berupa data dalam empat kriteria penilaian, yaitu kriteria”Sangat Baik” diberi skor 4, kriteria”Baik” diberi skor 3, kriteria”Cukup” diberi skor 2, dan kriteria ”Kurang” diberi skor 1. Hasil observasi untuk beberapa kali pertemuan, selanjutnya dihitung nilai rata-ratanya dan dipersentasekan. Untuk menghitung persentase ketercapaiannya, digunakan rumus berikut ini:
Q
Pk = 100%
R
dengan:
Pk = Persentase ketercapaian aktivitas. Q= Rata-rata skor kolektif yang diperoleh.
R = Skor maksimum ideal dari suatu aspek aktivitas, yaitu 4.
Pembuatan kriteria aktivitas siswa dalam pembelajaran (”Sangat Baik”,
”Baik”, ”Cukup”, atau ”Kurang”), selanjutnya dilakukan terhadap jumlah skor hasil pengumpulan data, melalui tahapan sebagai berikut:
a. Menghitung jumlah skor hasil pengumpulan data, yaitu jumlah skor dari aktivitas siswa selama enam pertemuan.
b. Menentukan jumlah skor kriterium dan kriteria jumlah skor hasil pengumpulan data.
Jumlah skor kriterium = Skor tertinggi suatu aspek aktivitasxBanyaknya
pertemuan yang diobservasixBanyaknya aspek
aktivitas yang diobservasi. = 4 x 6x 7
= 168
Penentuan kriteria jumlah skor hasil pengumpulan data, selanjutnya dilakukan secara kontinum, dimana pergerakan skala dimulai dari daerah unfavorable(-) sampai ke daerah favorable(+).
(30)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Gambar 3.1 Penentuan Kriteria Jumlah Skor Data Hasil Observasi Aktivitas Siswa selama Enam Pertemuan
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, serta tahap pembuatan laporan.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan diawali dengan penyusunan proposal dan pelaksanaan seminar proposal.Bahan ajar dikembangkan untuk kedua kelas eksperimen, dan bahan instrumen penelitian selanjutnyadisusun.Bahan instrumen selanjutnya diujicobakan dan hasilnya diolah sertadianalisis agar layak untuk dijadikan instrumen melalui uji tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran, untuk soal tes kemampuan koneksi matematis, serta uji validitas empirik dan reliabilitas untuk angket skala kemandirian belajar.Hasil validasi ujicoba yang tidak sesuai, selanjutnya direvisi.
2. Tahap Pelaksanaan
Masing-masing kelas eksperimen diberikan pretes untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam kemampuan koneksi matematis siswa.Pada kedua kelas eksperimen yang telah diberikan pretes, selanjutnya dilakukan kegiatan pembelajaran, yaitu pada kelaseksperimen 1 (X1), diberikan pembelajaran dengan
problem posing tipe pre-solutiondan pada kelas eksperimen 2 (X2), diberikan
pembelajaran dengan problem posing tipe within-solution. Masing-masing kelas yang telah diberikan perlakuan pembelajaran selama beberapa pertemuan, selanjutnya diberikan postes untuk mengetahui kemampuan akhir siswa dalam
Kurang Cukup Baik Sangat Baik
(31)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE-SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kemampuan koneksi matematis, danjuga diberikan angket skala kemandirian belajar siswa dalam matematika.
3. Tahap Pembuatan Laporan
Data yang diperoleh dari hasil pretes danposteskemampuan koneksi matematis, angket skala kemandirian belajar siswa dalam matematika, serta observasi, selanjutnya diolah, dianalisis, dibahas, dan disimpulkan dalam laporan hasil penelitian.
(32)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Berdasarkanhasilanalisistemuanpenelitian,
diperolehbeberapakesimpulandan saran berikutini.
A. Kesimpulan
Kesimpulanyang diperolehdalampenelitianiniadalahsebagaiberikut:
1. Kemampuankoneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutiontidak lebih baik daripada siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe
within-solution, dalam arti kemampuan koneksi matematis antara kedua kelas
tersebut adalah tidak berbeda.
2. Peningkatankemampuankoneksi matematis siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem posing tipe pre-solutiontidak lebih baik daripada siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan problem
posing tipe within-solution, dalam arti peningkatan kemampuan koneksi
matematis antara kedua kelas tersebut adalah tidak berbeda.
3. Kemandirianbelajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan
problem posing tipe pre-solutionlebih baik daripada siswa yang pembelajaran
matematikanya menggunakan problem posing tipe within-solution.
B. Saran
Saranyang dikemukakandalampenelitianiniadalahsebagaiberikut:
1. Pembelajaran matematika dengan problem posing, baik problem posing tipe
pre-solutionmaupun problem posing tipe within-solutiondalam penelitian ini,
dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa SMP dan menjadikan siswa menjadi mandiri dalam belajarnya. Oleh karena itu, pembelajaran tersebut sebaiknya digunakan untuk membantukesulitan guru dalammengajardandapatmemberialternatifcaradalammemberikanbahan ajar kepadasiswadalampembelajaran,
(33)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
sebagaiupayameningkatkankemampuankoneksidanmenjadikansiswamenjadim andiridalambelajarnya.
2. Penerapan pembelajaran matematika dengan problem posing tipe
within-solutiondalam penelitian ini, ternyata memiliki keterbatasan dalam alokasi
waktuketika siswa bekerja atau berdiskusi.Oleh karena itu,perlu disediakan waktu diskusi yang lebih banyak untuk siswa yang akan belajar dengan pembelajaran tersebut.
3. Penelitian ini hanya melihat perbandingan kemampuan koneksi matematis siswa dan peningkatannya, serta kemandirian belajar siswa dalam matematika, melalui penerapanproblem posing tipe pre-solutiondan problem posing tipe
within-solutionpada siswa, dengan tanpa memperhatikan tingkat kemampuan
siswanya dalam matematika (tinggi, sedang, dan rendah). Oleh karena itu, penelitian lanjutan perlu dilakukan terhadap siswa dengan memperhatikan tingkatkemampuansiswanya dalam matematika (tinggi, sedang, dan rendah).
(34)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
http://www.journal.unipdu.ac.id/index.php/gamatika/article/download/283 /249 [1 Desember 2013]
Astuti. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematik dan
Kemandirian Belajar Siswa pada Kelompok Siswa yang Belajar Reciprocal Teaching dengan Pendekatan Metekognitif dan Kelompok Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Biasa. Tesis Magister pada SPS
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company.
Bonoto, C. (2013). “Artifacts as Sources for Problem-Posing Activities”.
Education Studies in Mathematics, 37-55, DOI 10.1007/s10649-012-9441-7.
Brown, S.I. & Walter, M.I. (2005). The Art of Problem Posing (Third ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
BsY, B. (2010). "Pengembangan Kemandirian Belajar Berbasis Nilai untuk Meningkatkan Komunikasi Matematik". Jurnal Pendidikan Matematika
dan IPA [Online]. 1, (1), 11-22. Tersedia: http://jurnal.untan.ac.id/index.
php/PMP/article/download/148/148[21 Maret 2013]
Cai, J., Lane, S., & Jakabcsin, M. S. (1996). The Role of Open-Ended Task and
Holistic Scoring Rubrics: Assesing Student’s Mathematical Reasoning and Communication in Mathematics. Dalam P. C. Elliot & M. J Kenney (Eds).
Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond Reston, VA. The National Council of Teachers of Mathematics.
Christou, C., Mousoulides, N., Pittalis, M., Pitta-Pantazi, D., & Sriraman, B. (2005). "An Empirical Taxonomy of Problem Posing Processes".
ZDM-The International Journal on Mathematics Education [Online]. 37, (3),
149–158. Tersedia: http://cas.umt.edu/math/reports/sriraman/Int_Reviews_ Preprint_Cyprus_Sriraman.pdf [21 Maret 2013]
Darr, C. & Fisher, J. (2004). Self-Regulated Learning in The Mathematics Class. Paper presented at NZARE Conference, Turning the Kaleidoscope, Wellington, 24-26 November 2044. [Online]. Tersedia: http://www.nzcer. org.nz/pdfs/13903.pdf [20 Februari 2013]
(35)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
English, L.D. (1997). Promoting A Problem-Posing Classroom. Teaching
Children Mathematics. 172-179.
___________ . (1998). "Children’s Problem Posing within Formal and Informal Contexts". Journal for Research in Mathematics Education. 29, (1), 83 – 106.
Faizah, E.N. (2012). Pembelajaran Matematika Menggunakan Pendekatan
Problem Posing dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Fauzi, M.A. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan
Kemandirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Magister pada SPS
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Haji, S. (2011). "Pendekatan Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar". Jurnal Kependidikan Triadik [Online]. 14, (1), 55-63. Tersedia: http://repository.unib.ac.id/329/1/Judul%207%20Saleh%20Haji. pdf[21 Maret 2013]
Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/ Gain Scores. [Online]. Tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf. [12 November 2013]
___________. (2002). Relationship of Individual Student Normalized Learning
Gains in Mechanics with Gender, High-School Physics, and Pretest Scores onMathematics and Spatial Visualization. [Online]. Tersedia:http://physics.indiana.edu/~hake/PERC2002h-Hake.pdf.[12 November 2013]
Hamzah (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Bandung melalui Pendekatan Pengajuan Masalah. Disertasi Magister pada SPS UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Hargis, J. (http:/www.jhargis.com/). The Self-Regulated Learner Advantage:
Learning Science on The Internet.
Harpen, X.Y.V, & Presmeg, N.C. (2013). “An Investigation of Relationships between Students’ Mathematical Problem-Posing Abilities and Their
(36)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Mathematical Content Knowledge”. Education Studies in Mathematics, 117-132, DOI 10.1007/s10649-012-9456-0.
Hidayati, K. & Listyani, E. (2010). "Pengembangan Instrumen Kemandirian Belajar Mahasiswa". Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan [Online].
14, (1), 84-99. Tersedia: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/14110849
9_1410-4725.pdf [20 Februari 2013]
Hudojo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA.
Irwan. (2011). "Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Matematika". Jurnal Penelitian
Pendidikan [Online]. 12, (1), 1-10. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/file/
irwan.pdf[20 Februari 2013]
Iskandar, S. (2002). Penerapan Pendekatan Problem Posing (Penyajian Masalah)
dalam Pembelajaran Kimia SMU. Malang: JICA-IMSTEP UM.
Juhara & Jauhari, D.M. (1999). Analisis Kualitas Alat Evaluasi Matematika. Hand out. Bandung: Local Education Centre (LEC) Arjasari.
Kadir. (2005). "Pengaruh Pendekatan Problem Posing terhadap Prestasi Belajar Matematika Jenjang Pengetahuan, Pemahaman, Aplikasi, dan Evaluasi Ditinjau dari Metakognisi Siswa SMU di DKI Jakarta". Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan [Online]. Tersedia: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/
jurnal/115305230251.pdf[20 Februari 2013]
Kemdikbud (2012). Survei Internasional TIMSS. [Online]. Tersedia: http:// litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-timss [20 Februari 2013]
Kholiq, A. (2006). Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII A MTs
NU 01 Lebaksiu Kabupaten Tegal pada Pokok Bahasan Menghitung Luas Daerah Persegi Panjang dan Persegi Melalui Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Pre-Solution dalam Kelompok Kecil. Skripsi
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang. [Online]. Tersedia: http://koleksi.pustakaskripsi.com/dl.php?f=2309.pdf [20 Februari 2013]
Kline, M. (1973). Why Jonhny Can’t Add: The Failure of The New Math. New York : Vintage Books.
Kurniawan, Y. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan
(37)
Diana Utami, 2014
PERBANDINGAN ANTARA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING TIPE PRE -SOLUTION DAN TIPE WITHIN-SOLUTION DALAM PENINGKATANKEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Investigation di SMP Manba Ul Ulum Kota Tanggerang. Tesis Magister
pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Kusuma, D.A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan
Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia :
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/meningkatkan-kemampuan-koneksi-matematik.pdf. [8 April 2014].
Ladysa, D. (2012). Peningkatan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar
Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Inner Speech (MIS). Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Mahmudi, A. (2008). Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Makalah pada Seminar
Nasional Matematika di Jurusan Matematika FMIPA UNPAD Tanggal 31 Desember 2008.
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores.American Journal of Physics. 70, (), 1259-1268. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011
International Results in Mathematics. USA: TIMSS & PIRLS
International Study Center. [Online]. Tersedia: http://timssandpirls.bc.edu/ timss2011/downloads/T11_IR_ Mathematics_FullBook.pdf [21 Maret 2013]
Nasir, S. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah
Matematik Siswa SMA yang Berkemampuan Rendah melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
NCTM. (2000). Principles and Standars for Schools Mathematics. Reston, VA: NCTM
Nicolaou, A.A. & Philippou, G.N. (2007). "Efficacy Beliefs, Ability in Problem Posing, and Mathematics Achievement". Academic journal article from
Focus on Learning Problems in Mathematics [Online]. 29, (4), 308-317.
[Online]. Tersedia: http://www.self.ox.ac.uk/Conferences/2004_Nicolaou_ Philippou.pdf[20 Februari 2013]
Oktavien, Y. (2012). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan
Kemandirian Belajar Mahaiswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Investigasi. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak
(1)
Investigation di SMP Manba Ul Ulum Kota Tanggerang. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Kusuma, D.A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik dengan Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/meningkatkan-kemampuan-koneksi-matematik.pdf. [8 April 2014].
Ladysa, D. (2012). Peningkatan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Inner Speech (MIS). Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Mahmudi, A. (2008). Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Makalah pada Seminar Nasional Matematika di Jurusan Matematika FMIPA UNPAD Tanggal 31 Desember 2008.
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores.American Journal of Physics. 70, (), 1259-1268. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011
International Results in Mathematics. USA: TIMSS & PIRLS International Study Center. [Online]. Tersedia: http://timssandpirls.bc.edu/ timss2011/downloads/T11_IR_ Mathematics_FullBook.pdf [21 Maret 2013]
Nasir, S. (2008). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA yang Berkemampuan Rendah melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. NCTM. (2000). Principles and Standars for Schools Mathematics. Reston, VA:
NCTM
Nicolaou, A.A. & Philippou, G.N. (2007). "Efficacy Beliefs, Ability in Problem Posing, and Mathematics Achievement". Academic journal article from Focus on Learning Problems in Mathematics [Online]. 29, (4), 308-317. [Online]. Tersedia: http://www.self.ox.ac.uk/Conferences/2004_Nicolaou_ Philippou.pdf[20 Februari 2013]
Oktavien, Y. (2012). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Kemandirian Belajar Mahaiswa melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Investigasi. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
(2)
Permana, Y. & Sumarmo, U. (2007). "Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Instrumen Kemandirian Belajar Mahasiswa". Jurnal UPI EDUCATIONIST. 1, (2), 116-123.
Pittalis, M., Christou, C., Mousoulides, N., & Pitta-Pantazi, D. (2004). "A Structural Model for Problem Posing”. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Vol. 4, pp 49-56.
Puspitasari, N. (2010). Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Qohar, A. (2011). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Rahmatudin, J. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Search, Solve, Create, and Share untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis, dan Self Concept Siswa SMP Negeri 1 Kedawung. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Ramdhani, S. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Reys, R.E., Suydam, M.N., & Lindquist, M.M. (1984). Helping Children Learn Mathematics. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice-Hall
Rhee, C.R. & Pintrich, P.R. (2004). Teaching to Facilitate Self-Regulated Learning. Dalam J.Ee, A. Chang, & O.S. Tan (Eds.). Thinking About Thinking, What Educators Need to Know. (pp. 31-47). Singapore: McGraw-Hill Education.
Rohendi, D. & Dulpaja, J. (2013). "Connected Mathematics Project (CMP) Model Based on Presentation Media to the Mathematical Connection Ability of Junior High School Student". Journal of Education and Practice [Online].
4, (4), 17–22. Tersedia: http://www.iiste.org/Journals/index.php/JEP/ article/download/ 4512/4580 [21 Maret 2013]
Roheti, T. (2012). Pendekatan Problem Posing pada Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self
(3)
Esteem Siswa Sekolah Menengah Atas. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1991).Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tarsito.
_____________. (1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.
_____________. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.
_____________. (2006). Pengantar kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematik. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Schoenfeld, A.H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics, dalam Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan. Shunck, D.H., & B.J Zimmerman.(1998). Introduction to the Self Regulated
Learning (SRL) Cycle.
Silver, E.A. (1994). "On Mathematical Problem Posing". For the Learning of Mathematics.14,(1), 19-28.
Silver, E.A. & Cai, J. (1996). "An Analysis of Arithmetic Problem Posing by Midlle School Students". Journal for Research In Mathematics Education.27,(5), 521-539.
Silver, E.A., Mamona-Downs, J., Leung, S.S., & Kenny, P.A. (1996). "Posing Mathematical Problems: An Exploratory Study". Journal For Research in Mathematics Education [Online]. 27, (3), 293-309. Tersedia: http://www2. nsysu.edu.tw/leung/publication/journal/A5.pdf [21 Maret 2013]
Singer, F., M., Ellerton, N., & Cai, J. (2013). “Problem Posing Research in Mathematics Education: New Questions and Directions”. Education Studies in Mathematics, 1-7, DOI: 10.1007/s10649-013-9478-2.
Siregar, S.N. (2009). Pembelajaran Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah Dasar
(4)
(Studi Eksperimen pada Siswa Kelas IV di SDN Kota Bandung). Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Siswono, T. (2000a). Pengajuan Soal (Problem Posing) oleh Siswa dalam Pembelajaran Geometri di SLTP. Makalah pada Seminar Nasional Matematika. ITS Surabaya Tanggal 2 November 2000. [Online]. Tersedia:http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper00_posing2.pdf [20 Februari 2013]
__________. (2000b). Problem Posing: Sebuah Alternatif Pembelajaran yang Demokratis. Makalah, Universitas Negeri Surabaya. [Online]. Tersedia:http://freeninda1310.wordpress.com/2012/01/13/19/ [20 Februari 2013]
__________. (2002). Proses Berpikir Siswa dalam Pengajuan Soal. Makalah pada Konferensi Nasional Matematika. ITS Surabaya Tanggal 22-25 Juli 2002. [Online]. Tersedia:http://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper02_ berpikir2.pdf [20 Februari 2013]
Stoyanova E., & Ellerton N. F. (1996). “A Framework for Research into Students’ Problem Posing in School Mathematics”. In P. C. Clarkson (Ed.), Technology in Mathematics Education (pp. 518–525). Mathematics Education Research Group of Australasia: The University of Melbourne. Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito
Sugandi, A.I. (2011). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Pencapaian Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi dan Kemandirian Belajar Siswa SMA . Disertasi Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Sugiman. (2008). Koneksi Matematik dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama. Makalah di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. [Online]. Tersedia: http:// staff.uny.ac.id/sites/default/files/131930135/2008_Koneksi_Mat.pdf[20 Februari 2013]
Suherman, E.&Kusuma, Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.
Suherman, E.(2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika untuk Guru dan Mahasiswa Calon Guru Matematika. Bandung: UPI.
Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik.. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional. FPMIPA UNY Yogyakarta Tanggal 8 Juli 2004.
(5)
___________. (2005). Pengembangan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi SLTP dan SMU serta serta Mahasiswa Strata 1 (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Lemlit UPI: Tidak Diterbitkan.
___________. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik.
Surtini, Hardjo & Bajudjuri. (2003). Implementasi Problem Posing pada Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Cacah Siswa Kelas IV SD di Salatiga. Lembaga Penelitian-Universitas Terbuka.
Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: Rizqi Press.
Suryana, Y. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pengajuan Masalah Matematika untuk Penyelesaian Masalah Matematika melalui Pembelajaran Berbasis Masalah pada Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Susanah & Amin, S. (2008). "Implementasi Model Struktur Intelek dengan Pengajuan Masalah pada Materi Segi Empat". Jurnal Wahana.51, (2), 1-11.
Susanti, E.K., Sukestiyano, YL., & Sugiharti, E. (2010). "Efektivitas Pembelajaran Matematika dengan Metode Problem Posing Berbasis Pendidikan Karakter". Unnes Journal of Mathematics Education [Online].
1,(1), 13-18. Tersedia: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujme/article
/download/255/296 [21 Maret 2013]
Sutawidjaja, A. & Dahlan, J.A. (2011). Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Suyitno, A. (2010). Menggabungkan Model Pembelajaran Model Pembelajaran Problem Posing dan Mind Mapping yang dikemas dalam Kegiatan Lesson Study untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar dan Daya Serap Siswa dalam Belajar Matematika. Makalah pada Seminar Nasional Lesson Study. Tanggal 17 Juli 2010. [Online]. Tersedia: http://prosiding.ikippgrismg. ac.id/index.php/UMKPLS/SMLS/paper/viewFile/41/40[20 Februari 2013] Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA-UPI.
Uyanto, S.S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu
(6)
Woolfolk, A. (2007). Educational Psychology (Tenth Edition). Boston: Pearson. Yuniati, S. (2010). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Pembelajaran Problem Posing. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Yusmanita. (2012). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Metakognitif. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Zamnah, L.N. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self-Regulated Learning Melalui Pendekatan Problem-Centered Learning dengan Hands-On Activity. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.