PENGARUH DANA ALOKASI UMUM DAU DANA ALOK

1

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU),
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN
ASLI DAERAH (PAD) DAN PENDAPATAN
DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)
TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL
(Studi Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2012)

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Ekonomi Pada Fakultas Ekonomi Program Studi Akuntansi
Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Disusun Oleh :

Siti Aisyah
31401204620

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI

2014

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama

: Siti Aisyah

NIM

: 31401204620

Jurusan : Akuntansi
Fakultas : Fakultas Ekonomi UNISSULA Semarang
menyatakan bahwa skripsi dengan judul :
“Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional Bruto
(PDRB) Terhadap Alokasi Belanja Modal” dan diajukan untuk di uji pada
tanggal:
12 September 2014

Adalah hasil karya saya
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak
terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara
menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang
menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain yang saya
akui seolah olah sebagai tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau
keseluruhan yang saya salin, tiru, atau yang saya ambil dari tulisan orang lain
tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.
Saya bersedia menarik skripsi yang saya ajukan, apabila terbukti bahwa saya
melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain yang seolah-olah
tulisan saya sendiri. Dan saya bersedia bila gelar dan ijasah yang diberikan
universitas dibatalkan.
Semarang, 12 September 2014
Yang membuat pernyataan,
Siti Aisyah
31401204620

HALAMAN MOTO
 Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi
Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa

Dalam kesempitan hidup ada kekuasaan ilmu
 Hidup memerlukan pengorbanan
Pengorbanan memerlukan perjuangan
Perjuangan memerlukan ketabahan
Ketabahan memerlukan keyakinan
Keyakinan menentukan kejayaan
Kejayaan menentukan kebahagiaan
 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap.” (QS (Al-'Asyr) 94:5-8)
 “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
(kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).

Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta, semoga aku
selalu berbakti kepadanya menjadi anak yang soleha, amien...

ABSTRAK

Pelaksanaan desentralisasi fiskal selain memberikan kewenangan pada
Pemerintah Daerah juga mempengaruhi kemampuan daerah untuk memenuhi
kepentingan publik sehingga penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah dan Produk
Domestik Regional Bruto terhadap Alokasi Belanja Modal di Provinsi Jawa
Tengah periode tahun 2010-2012. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus.
Selanjutnya dalam penelitian ini, hanya berfokus meneliti data keuangan Provinsi
Jawa Tengah periode tahun 2010- 2012. Metode analisis dalam penelitian ini
menggunakan uji regresi yang dilakukan dengan menguji efek dari variabel
independen ke variabel dependen. Analisis yang digunakan dalam penelitian
adalah analisis kuantitatif. Dengan mengunakan alat analisis kuantitatif yaitu uji
asumsi klasik dan uji regresi linier berganda. Berdasarkan pengujian dan
pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengujian uji asumsi
klasik, yang terdiri dari uji multikoliniaritas, uji heteroskedastisitas, uji
autokorelasi dan uji normalitas ternyata semua variabel bebas berpengaruh positif
dan signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan hasil pengujian regresi linier
berganda yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, DanaAlokasi Khusus,
Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik Regional Bruto yang merupakan
variabel bebas secara simultan atau (uji F) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap anggaran Belanja Modal di Provinsi Jawa Tengah. Dan secara parsial

atau (uji t) menunjukkan bahwa hanya Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli
Daerah yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran Belanja Modal
sedangkan Produk Domestik Regional Bruto dan Dana Alokasi Khusus tidak
berpengaruh signifikan terhadap anggaran Belanja Modal.
Kata Kunci: Dana Alokasi Umum , Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli
Daerah, Produk Domestik Regional Bruto dan Belanja Modal.

ABSTRACT
The implementation of fiscal decentralization in addition to give authority to
local governments also influence the ability of regions to meet the public interest.
The aim of this study is to examine the influence of
General allocation fund,
special allocation fund, regional own revenue, brutto regional domestic product to
the Capital Budget Appropriation in Central Java Province in 2010-2012. This
research was field study research. The analysis used in the research was
quantitative analysis. The quantitative analysis tools were classic assumption test
and multiple linear regression test. Based on the examination and discussion, it
could be concluded that the classical assumption test, which consists of
multikoliniaritity test, heteroscedasticity, autocorrelation test and the test of
normality test which is all independent variable positive and significant impact

on the capital expenditure budget. While the results of multiple linear regression
test consisting of General Allocation Fund, Special Allocation Fund, Regional
own Revenue and Brutto Regional Domestic Product which is simultaneous or
independent variable (F test) and a significant positive effect on capital
expenditure budget in the province of Central Java. And partially or (t test)
showed that only the General Allocation Fund and the Local Revenue had positive
and significant impact on the budget, while Capital Expenditure Brutto Regional
Domestic Product and the Special Allocation Fund had no significant effect on the
capital expenditure budget.
Keywords: General allocation fund, special allocation fund, regional own
revenue, brutto regional domestic product, and capital expenditur

KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan RahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap
Alokasi Belanja Modal”.
Penulisan Skipsi ini telah melibatkan banyak pihak yang tentunya
dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu dan dengan penuh keikhlasan
memberi informasi yang dibutuhkan. Adapun pihak-pihak yang telah ikut

membantu dalam proses penulisan Skripsi ini adalah:
1.

Ibu Olivia Fachrunnisa, SE.,M.Si.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Sultan Agung.

2.

Bapak Rustam Hanafi ,SE.,M.Sc., Akt, CA selaku Ketua Jurusan Program
Studi Akuntansi Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

3.

Bapak Hendri Setyawan ,SE,MPA selaku dosen pembimbing selaku
pembimbing yang senantiasa membimbing materi dalam proses penyusunan
Skripsi ini.

4.

Bapak, Ibu, kakak, adik dan sahabat terima kasih atas doa, dukungan dan

semangatnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak
yang berkepentingan.
Semarang, 12 September 2014
Peneliti

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.....................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI.......................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...........................................


iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.........................................................

iv

HALAMAN MOTO......................................................................................

v

ABSTRAKSI.................................................................................................

vi

KATA PENGANTAR.................................................................................... viii
DAFTAR ISI..................................................................................................

ix


DAFTAR TABEL.......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................

xiv

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................

xv

BAB I

PENDAHULUAN..........................................................................

1

1.1

Latar Belakang.......................................................................

1


1.2

Rumusan Masalah..................................................................

9

1.3

Tujuan Penelitian...................................................................

10

1.4

Manfaat Penelitian.................................................................

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

12

2.1

Landasan Teori.......................................................................

12

2.1.1 Teori Keagenan......................................................................

12

2.1.2 Desentralisasi Fiskal di Indonesia..........................................

14

2.1.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).............

16

2.1.4 Dana Alokasi Umum..............................................................

19

2.1.5 Dana Alokasi Khusus............................................................

22

2.1.6 Pendapatan Asli Daerah........................................................

24

2.1.7 Produk Domestik Regional Bruto.........................................

28

2.1.8 Pengalokasian Anggaran Belanja Modal..............................

31

2.2

Penelitian Terdahulu ..............................................................

32

2.3

Hubungan Logis Antara Variabel dan Perumusan Hipotesis.

33

2.3.1 Hubungan Antara DAU terhadap Pengalokasian Anggaran .
Belanja...................................................................................

34

2.3.2 Hubungan Antara DAK terhadap Pengalokasian Anggaran .
Belanja...................................................................................

35

2.3.3 Hubungan Antara PAD terhadap Pengalokasian Anggaran . .
Belanja...................................................................................

36

2.3.4 Hubungan Antara PDRB terhadap Pengalokasian Anggaran
Belanja...................................................................................

37

Kerangka Pemikiran...............................................................

39

BAB III METODE PENELITIAN................................................................

40

2.4

3.1

Jenis Penelitian ......................................................................

40

3.2

Variabel dan Definisi Operasional Variabel...........................

40

3.2.1 Variabel Dependen (Y): Pengalokasian Anggaran Belanja . .
Modal.....................................................................................

40

3.2.2 Variabel Independen (X)........................................................

41

3.2.3.1 DAU (Dana Alokasi Umum)..............................................

41

3.2.3.2 DAK (Dana Alokasi Khusus)..............................................

41

3.2.3.3 PAD (PendapatanAsli Daerah)............................................

42

3.2.3.4 PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto)..................

43

3.3

Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel............................

43

3.4

Jenis dan Sumber data............................................................

44

3.5

Metode Pengumpulan Data....................................................

44

3.6

Metoda Analisis Data.............................................................

44

3.6.1 Statistik Deskriptif.................................................................

45

3.6.2 Pengujian Asumsi Klasik.......................................................

46

3.6.2.1 Uji Normalitas.....................................................................

46

3.6.2.2 Uji Multikolonieritas...........................................................

46

3.6.2.3 Uji Heteroskedastisitas........................................................

47

3.6.2.4 Uji Autokorelasi..................................................................

48

3.6.3 Pengujian Hipotesis..............................................................

48

3.6.3.1 Koefisien Determinasi (R2).................................................

49

3.6.3.2 Uji Simultan ......................................................................

49

3.6.3.3 Uji t (Uji Parsial)................................................................

50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................

51

4.1

Deskripsi Sampel ..................................................................

51

4.2

Statistik Deskriptif.................................................................

51

4.3

Analisis Data ......................................................................

54

4.3.1 Uji Asumsi Klasik..................................................................

54

4.3.1.1 Uji Normalitas....................................................................

54

4.3.1.2 Uji Multikolonieritas..........................................................

55

4.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas.......................................................

56

4.3.1.4 Uji Autokorelasi..................................................................

57

4.3.2 Pengujian Hipotesis...............................................................

58

4.3.2.1 Koefisien Determinasi (R2).................................................

58

4.3.2.2 Uji Simultan (Uji F)............................................................

59

4.3.2.3 Uji t (Uji Parsial)................................................................

60

4.4

......................................................................

62

BAB V PENUTUP.........................................................................................

68

Pembahasan

5.1

Kesimpulan.............................................................................

68

5.2

Keterbatasan

......................................................................

69

5.3

Saran

......................................................................

69

5.4

Implikasi

......................................................................

70

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL

2.1

Penelitian Sebelumnya.....................................................................

4.1

Deskripsi Variabel Penelitian Jawa Tengah 2010-2012 ...................

4.2

Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov .............................................

4.3

Uji Multikolonieritas........................................................................

33
TABEL
52
TABEL
55
TABEL

56
TABEL

4.4

Uji Heteroskedastisitas.....................................................................

4.5

Uji Autokorelasi Model Regresi.......................................................

4.6

Koefisien Determinasi......................................................................

4.7

Uji Model F......................................................................................

4.8

Uji Model t.......................................................................................

57
TABEL
58
TABEL
59
TABEL
59
TABEL
60

DAFTAR GAMBAR
Halaman
GAMBAR 2.1
39

Kerangka Berfikir.............................................................................

DAFTAR LAMPIRAN

Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011
Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010 s/d 2012
Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2010
Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2011
Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2012
Hasil Regresi Linier

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan perimbangan antara pemerintah dan daerah, menjadi kunci
pokok keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, karena daerah memerlukan
sumber-sumber

keuangan

guna

membiayai

belanja

daerah.

Semenjak

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahaan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan, Undang-Undang tersebut
memisahkan fungsi Pemerintahaan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut,
menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan
(Halim, 2001; Halim & Abdullah, 2006). Peraturan perundang-undangan tersebut
secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik
di dalam pemerintahan.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan dasar
dalam pedoman Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di
Indonesia, dokumen anggaran daerah sering disebut Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kota dan kabupaten. APBD
mempunyai peranan penting bagi pembangunan daerah, karena APBD merupakan
implementasi dari kebijakan fiskal dan sekaligus operasionalisasi pelaksanaan

program-program pemerintah daerah. Seluruh penerimaan dan pengeluaran
Pemerintahaan Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan jasa pada tahun
anggaran yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk, 2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 proses penyusunan
anggaran melibatkan dua pihak yaitu eksekutif (Pemerintahaan Daerah) dan
legislatif (DPRD), dimana masing-masing melalui sebuah tim atau panitia
anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana operasionalisasi daerah yang
mempunyai kewajiban membuat draf/rancangan APBD. Sedangkan legislatif
bertugas mengesahkan rancangan APBD dalam proses ratifikasi anggaran.
Penyusunan anggaran daerah diawali dengan membuat kesepakatan antara
eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan
Plafon Anggaran yang menjadi pedoman dalam penyusunan anggaran pendapatan
dan anggaran belanja. Dalam pembuatan rancangan APBD yang sesuai dengan
kebijakan umum APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran pihak eksekutif
menyerahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama
sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah. Dalam prespektif keagenan, hal
tersebut merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi
legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Darwanto dan
Yustikasari, 2007).
Desentralisasi fiskal yang dimiliki pemerintah daerah memberikan
kewenangan yang besar kepada daerah tersebut untuk menggali potensi yang ada
sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam
rangka pelayanan publik. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,

salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki

dengan

melakukan perbaikan manajemen kualitas jasa (service quality management),
yaitu upaya meminimalisi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan
harapan konsumen (Bastian, 2010). Dengan demikian, Pemerintah Daerah
harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena
belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk
memberikan

pelayanan

kepada

publik. Darwanto dan Yustikasari (2007)

menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan untuk
hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah daerah
seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat
tersebut menyatakan bahwa pengalokasian anggaran belanja modal untuk
kepentingan publik sangatlah penting. Untuk dapat meningkatkan pengalokasian
belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap
pangalokasian belanja modal, seperti pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintahaan Daerah, Pemerintahaan
Pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil pada pemerintah
daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi dan desentralisasi fiskal. Dengan
adanya dana transfer dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dituntut untuk

menjalankan roda pemerintahan secara efektif dan efisien dalam meningkatan
pelayanan publik.
Kemampuan keuangan yang tidak sama di masing-masing daerah dalam
mendanai kegiatannya, menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam mengatasi
ketimpangan fiskal tersebut yaitu dengan pemerintah memberikan alokasi dana
yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana
Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan
dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaran urusan pemerintahaan
(Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Dengan adanya transfer dana dari pusat
tersebut diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang
didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya.
Pemerintahaan

Pusat

memberi

pendelegasian

wewenang

kepada

Pemerintahan Daerah disertai dengan pengalihan dana, sarana dan prasana serta
Sumber Daya Manusia (SDM). Pengalihan dana diwujudkan dalam bentuk dana
perimbangan yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber
dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional yang telah ditetapkan. Pemanfaatan DAK diarahkan
pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan
sarana dan prasarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk

pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Dengan
adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi belanja modal,
karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna
meningkatkan pelayanan publik.
Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi mendorong
Pemerintah Daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola
sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat
untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi
perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Salah
satu indikator utama keberhasilan pembangunan ekonomi ditandai dengan
meningkatnya produktivitas dan pendapatan perkapita penduduk sehingga terjadi
perbaikan kesejahteraan. Namun yang terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi
tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal, hal tersebut dapat dilihat
dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan dengan total anggaran
belanja daerah.
Dalam pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal
merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis.
Anggaran yang sebenarnya bertujuan memenuhi kebutuhan publik terhadap
sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun,
dengan adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam
penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan

menjadi tidak efektif dalam mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat
(Keefer dan Khemani, 2003 dalam Halim 2004).
Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti
infrastruktur dan peralatan diharapkan mampu menciptakan produktivitas
perekonomian di masyarakat, karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi
pula produktivitas perekonomian. Seharusnya pemerintah daerah dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik melakukan perubahan komposisi belanja,
karena selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang
relatif kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja
hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang produktif seperti untuk melakukan
aktivitas pembangunan pelayanan publik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine
(1994) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa penerimaan
pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program–program pelayanan publik.
Kedua hasil penelitian diatas ini menyiratkan pentingnya pengalokasian belanja
untuk berbagai kepentingan publik.
Fenomena praktik dalam penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh
eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith dan
Bertozzi, 1998 dalam Darwanto dan Yustikasari 2007). Eksekutif mengajukan
anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun
nonfinansial. Sementara Darwanto dan Yustikasari (2007) maupun Putro (2010),
menyatakan bahwa anggaran juga digunakan oleh legislatif untuk memenuhi selfinterestnya. Hal ini berarti banyak anggaran belanja daerah tidak digunakan untuk
belanja modal melainkan untuk belanja yang lainnya.

Menurut rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
dalam www.seknasfitra.ord (diakses Februari 2014) menunjukkan bahwa beban
belanja pegawai pada APBN memang semakin berat. Pada RAPBN 2012, belanja
pegawai merupakan alokasi belanja tertinggi, sebesar Rp. 215,7 triliun. Bahkan
mengalahkan belanja subsidi yang selama ini mendominasi. Potret yang sama
terjadi di daerah. Hasil analisa FITRA pada APBD 2011, terdapat 124 daerah yang
beban belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah diantaranya mencapai
70%. Analisis Kemenkeu juga menunjukan, belanja pegawai terbesar di
Kabupaten Demak dengan mencapai 89%.
Di Jawa Tengah komposisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Jateng 2013 juga dinilai tidak ideal, sebab perbandingan antara alokasi
belanja tidak langsung dengan belanja langsung memiliki perbedaan yang tinggi,
yakni 73,43 % dan 26,57 % . Sebelumnya atau pada tahun 2012, perbandingan
belanja tidak langsung dibandingkan belanja langsung ialah 60% dan 40%
(www.suaramerdeka.com, akses Januari 2014).
Belanja tidak langsung di antaranya untuk belanja pegawai sedangkan
belanja langsung meliputi berbagai kebutuhan pembelanjaan sarana prasarana
masyarakat seperti perbaikan jalan dan jembatan. Semakin besarnya anggaran
belanja tidak langsung ini menjadikan masyarakat kurang bisa merasakan dampak
APBD secara optimal.
Komposisi anggaran idealnya harusnya berbalik, di mana belanja langsung
bisa lebih besar. Komposisi anggaran yang tidak ideal dapat membuat pemerintah
daerah sulit untuk melaksanakan pembangunan karena kurangnya dana untuk

membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, padahal dalam anggaran belanja
daerah, pemerintah daerah juga mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah
pusat.
Dari latar belakang diatas menjelaskan bahwa pengalokasian anggaran
belanja modal untuk kepentingan publik sangatlah penting maka dari pemanfaatan
belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif seperti aktivitas
pembangunan. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Darwanto dan
Yustikasari (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli
daerah, dan dana alokasi umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Tuasikal (2008) menunjukkan bahwa
variabel dana alokasi umum, dana alokasi khusus, pendapatan asli daerah
berpengaruh positif terhadap belanja modal, namun

pendapatan domestik

regional bruto tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugiartiana (2012) yang
memperoleh hasil bahwa

pada variabel pertumbuhan ekonomi (PDRB)

mempunyai korelasi yang tinggi terhadap variabel independen lainnya, maka
variabel tersebut harus dihapuskan/dihilangkan, pada variabel pendapatan asli
daerah memiliki hasil bahwa variabel PAD tidak berpengaruh positif terhadap
belanja modal dan pada variabel dana alokasi umum memperoleh hasil bahwa
DAU berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap belanja modal. Dari
hasil penelitian terdahulu tersebut menggambarkan bahwa adanya kontradiksi

hasil yang berbeda yang telah dilakukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian
kembali terhadap variabel tersebut.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Sugiartiana (2012) yaitu untuk
membuktikan pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) Terhadap Alokasi Belanja Modal.
Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini peneliti menambahkan variabel
independen yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). Penelitian ini dilakukan pada
lingkup lokasi yang lebih luas yaitu wilayah Provinsi Jawa Tengah. Peneliti
menggunakan periode penelitian 2010-2012, karena dengan menggunakan data
tiga tahun terakhir dari penyusunan penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi yang relevan untuk kondisi belanja modal saat ini.

1.2 Rumusan Masalah
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia memakai system terpusat,
dimana segala sesuatu diputuskan dan ditentukan oleh pemerintah pusat, dengan
demikian daerah-daerah wajib patuh dan tunduk pada pemerintah pusat, oleh
karena itu perkembangan daerah sangat tidak merata. Sedangkan pada masa
Reformasi bergulir, dijalankan sistem otonomi daerah dimana daerah berhak
mengatur daerahnya sendiri dengan batasan-batasan tertentu.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dimana pemerintah pusat wajib menjaga

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka Pemerintah
pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum
(DAU) untuk membiayai pembangunan pemerintah daerah, disamping hal itu
Pemerintah Daerah diharapkan mampu mencari sumber dana sendiri berupa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membantu pembiayaan pada Belanja
Daerah.
Berdasarkan pada perbedaan hasil penelitian sebelumnya (Darwanto dan
Yustikasari (2007) , Tuasikal (2008) dan Sugiartiana (2012) , serta keterbatasan
yang ditemui dalam penelitian sebelumnya, maka pertanyaan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal ?
2. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal ?
3. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal ?
4. Apakah PDRB berpengaruh terhadap anggaran belanja modal ?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan bukti empiris pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU)
terhadap anggaran belanja modal.

2. Memberikan bukti empiris pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK)
terhadap anggaran belanja modal.
3. Memberikan bukti empiris pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap anggaran belanja modal.
4. Memberikan bukti empiris pengaruh PDRB terhadap anggaran belanja
modal

1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat diantaranya :
1. Bagi Pemerintahan Daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi pentingnya mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki daerah
untuk peningkatan kualitas pelayanan publik demi kemajuan daerah.
2. Bagi penelitian selanjutnya, sebagai sumber referensi dan informasi untuk
memungkinkan penelitian selanjutnya tentang topik ini.
3. Bagi akademik memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan untuk
dijadikan bahan pembelajaran. Serta sebagai bahan referensi dan data
tambahan bagi penelitian-penelitian lainnya yang tertarik pada bidang
kajian ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori
2.1.1

Teori Keagenan
Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan

sebuah persetujuan (kontrak) di antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen,
dimana prinsipal

memberi

wewenang

kepada

agen

untuk

mengambil

keputusan atas nama prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976 dalam McCue dan
Prier). Hubungan prinsipal dan agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan
seseorang mempunyai pengaruh kepada yang lain yaitu ketika seseorang sangat
bergantung pada tindakan orang lain, dimana ketergantungan tersebut diwujudkan
dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai
tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.
Hubungan antara eksekutif/birokrasi dengan legislatif/kongres dinyatakan
sebagai self-interest model (Johnson, 1994). Dalam hubungan tersebut pihak
legislatif ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan
konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Oleh karena itu agar legislator
terpilih kembali, mereka mencari cara dalam program dan projects yang mereka
buat supaya mereka menjadi poluler di mata konstituennya. Sebagai birokrat
dalam rangka mengembangkan agency-nya, mereka mengusulkan programprogram yang bisa mendatangkan benefit untuk pemerintah. Dalam hal tersebut
apabila semua pihak dapat bertemu dalam kepentingan yang sama, maka

konsensus di antara legislator dan birokrat merupakan keniscayaan, bukan
pengecualian.
Scott (2000) dalam Bangun (2009) menjelaskan bahwa teori keagenan
merupakan

cabang

dari game theory

yang mempelajari

suatu

model

kontraktual dimana mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat
kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal.
Prinsipal

pendelegasian

pertanggungjawaban

atas pengambilan keputusan

kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal
diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
Dalam kenyataannya, wewenang yang diberikan prinsipal kepada
agen sering mendatangkan masalah karena tujuan prinsipal berbenturan
dengan tujuan pribadi agen. Dengan kewenangan yang dimiliki, manajemen bisa
bertindak dengan hanya menguntungkan dirinya sendiri dan mengorbankan
kepentingan prinsipal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan informasi
yang dimiliki oleh keduanya, sehingga timbul adanya asimetri informasi
(asymmetric

information). Mursalim

(2005)

dalam

Bangun

(2009)

menyatakan bahwa informasi yang lebih banyak dimiliki oleh agen dapat
memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan

keinginan

kepentingan

Sedangkan bagi

untuk

memaksimalkan utiliti (self-interest).

dan

prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan
oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.

2.1.2.Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah
adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga
pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan kota memiliki pemahaman
yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada
pemerintah pusat.
Desentralisasi yang terfokus pada tingkat kabupaten dan kota berada pada
level ketiga setelah pemerintah pusat dan provinsi. Beberapa pengamat
menyarankan bahwa desentralisasi harus dilaksanakan pada tingkat provinsi
karena provinsi dianggap lebih memiliki kapasitas yang besar untuk menangani
seluruh tanggung jawab yang dilimpahkan dari pada kabupaten dan kota.
Walaupun demikian, sudah tidak menjadi rahasia umum bahwa pemerintah pusat
merasa tidak diuntungkan secara politis jika harus membentuk pemerintahan
otonom provinsi yang kuat.
Menurut pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan
urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f.

Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.

Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j.

Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;
l.

Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Pada hakikatnya, terdapat tiga prinsip dalam implementasi otonomi daerah
di Indonesia (Sri Rahayu, 2010), yaitu:
1. Desentralisasi, yaitu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada kabupaten/kota sehingga otonomi lebih dititik beratkan
pada daerah tersebut.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dan pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

2.1.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pembentukan pemerintahan di daerah pada prinsipnya adalah untuk lebih
memberdayakan peran serta pemerintah dan masyarakat di daerah dalam
pembangunan wilayah. Mardiasmo (2004:59) menyatakan bahwa tujuan utama
penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik
dan memajukan perekonomian daerah.
Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 16 tentang Keuangan
Negara disebutkan bahwa:
1. APBD merupakan pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun
dengan peraturan Daerah.
2. APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, Anggaran Belanja, dan Pembiayaan.
3. Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
4. Belanja Daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 1 tentang
Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009 menyebutkan bahwa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan

tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Menurut Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 22 ayat 1, struktur APBD merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari: Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan Daerah.
Halim (2007) menyatakan bahwa APBD merupakan rencana kerja
pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode
waktu tertentu (satu tahun) serta merupakan salah satu instrument utama
kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan
besar pendapatan dan pengeluaran, membantu dalam pengambilan keputusan dan
perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan
datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat
untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja.
Pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan tanggung jawab Kepala
Daerah atas pelaksanaan APBD sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Pada UndangUndang Nomor 17 pasal 6 Tahun 2003 presiden selaku kepala pemerintahan
memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan itu antara lain: diserahkan kepada Bupati
selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan
mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Penganggaran memerlukan kerjasama para pimpinan satuan kerja

dalam organisasi pemerintahan. Struktur organisasi satuan kerja menunjukkan
tanggung jawab setiap pelaksana anggaran. Setiap pelaksana bertanggung jawab
untuk menyiapkan dan mengelola elemen anggarannya masing - masing.
Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) selaku Pengguna Anggaran
menyusun Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan. Laporan keuangan
tersebut harus disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah yang menyusun
laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan
daerah.

Laporan

Keuangan

tersebut

oleh

PPKD

disampaikan

kepada

Gubernur/Bupati/Walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD. Selanjutnya laporan keuangan pemerintah daerah ini disampaikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambatlambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Penyusunan APBD merupakan kegiatan pertama dan utama dalam proses
anggaran. Proses penyususnan anggaran dimulai dari eksekutif dalam hal ini
Bappeda, Dinas Keuangan dan BPKD. Biro Keuangan serta institusi yang terkait
dalam perencanaan pembuatan draf/ rancangan oleh suatu komite atau panitia
yang kemudian akan diserahkan kepada legislatif untuk dibahas dan disepakati
bersama pemerintah. Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk
kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi
pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Pengalokasian sumber daya ke dalam belanja modal (capital expenditure)
merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis.
Anggaran yang diberikan pemerintah daerah secara cuma-cuma dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum. Namun,
adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses
penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering
tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (Keefer dan
Khemani, 2003 dalam Putro, 2010). Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah,
anggaran belanja modal sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka
panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari
belanja modal tersebut. Hal ini berarti bahwa kebijakan belanja modal harus
memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah
daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut.

2.1.4. Dana Alokasi Umum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum
merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu alat bagi pemerintah
pusat untuk mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia dengan tujuan
mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak
antara Pusat dan Daerah, yang telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan

antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar
25% dari Penerimaan Dalam Negeri).
Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan
kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini
sesuai dengan prinsip fiscal gap yang dirumuskan oleh Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan yang sejalan dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah
(Propinsi, Kabupaten dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan
konsep fiscal gap, di mana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh
kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan
begitu DAU dapat digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena
kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan
konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang
relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya
sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
Dalam pengaturan keuangan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke kabupaten dan
kota yang disebut dengan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana
Alokasi Umum merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang

diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan
antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa
daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah
yang kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan
kemampuan penyediaan pelayanan publik antar Pemerintah Daerah di Indonesia
(Kuncoro, 2004).
DAU yang dibagikan kepada daerah berasal dari APBN dengan tujuan
untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan nilainya minimum 25%
dari anggaran rutin dalam APBN. Dana ini dialokasikan 10% untuk provinsi dan
90% untuk Kabupaten / Kota.
Hal tersebut bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah dalam mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah
melalui penetapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi
daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal yang
merupakan selisih antara kebutuhan daerah dan potensi daerah. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ditegaskan kembali mengenai formula
celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi daerah yang
potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi
DAU relatif kecil begitu pula sebaliknya. Secara implisit, prinsip tersebut
menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

2.1.5.Dana Alokasi Khusus
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi
Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dalam
website www.depkeu.djpk.go.id kebijakan DAK bertujuan :
1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan
di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan
sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan
urusan daerah.
2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir
dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/ terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori
daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata.
3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan
diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di
bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.
4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan
prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur.
5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan
lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan
khusus di bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta

meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sarana dan prasarana
dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di
bidang infrastruktur.
6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak
pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan
khusus di bidang prasarana pemerintahan.
7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari
DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/ Lembaga
dan kegiatan yang didanai dari APBD.
8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan
daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen
Pekerjaan

Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen

Kesehatan.
Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan,
pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan
umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
Dengan adanya

pengalokasian

pengalokasian anggaran

belanja

DAK
modal,

diharapkan
karena

dapat
DAK

mempengaruhi
cenderung

akan

menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan
publik.

2.1.6.Pendapatan Asli Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1, “Pendapatan
Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di
dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berl