TELEVISI DAN KHALAYAK MENGKRITISI DIALOG
TELEVISI DAN KHALAYAK: MENGKRITISI DIALOG
YANG DETERMINISTIK DAN MONOLOG (PERSPEKTIF
FILSAFAT MEDIA)
Robby H. Abror*
ABSTRAK
Industri kebudayaan berhasil merampas kesadaran khalayak. Dengannya televisi
menjadi fenomena kultural sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya
menjamah khalayak di dalam rumah. Hiburan yang disuguhkannya dapat
berinteraksi dengan khalayak dalam hegemoni kulturalnya yang kokoh, bahkan
seringkali dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Berdasarkan angka rating, industri
televisi seringkali terjebak pada kejar tayang dan iklan, sehingga mengabaikan
kode etik jurnalistik. Dengan televisi, khalayak menjadi penonton pasif dan
terasing. Adalah tugas filsafat mendorong khalayak untuk terus melawan sisi gelap
televisi agar lebih terang dan bermoral.
Kata Kunci: televisi, khalayak, kultur
Pendahuluan
Televisi secara etimologis berasal dari gabungan dua kata, yaitu
―jauh‖ (tele, Yunani) dan ―penglihatan‖ (visio, Latin). Televisi merupakan
medium yang dapat dinikmati oleh khalayak (audience) dari jarak jauh,
sebentuk perangkat elektronik untuk menerima dan mereproduksi citra dan
suara dari gabungan sinyal audio dan video (Dictionary of Media Studies,
2006: 235). Kemunculannya dalam sejarah ditemukan melalui proses yang
*
Dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. e-mail: [email protected]
109
panjang dari riset ilmiah para ahli dalam teknologi listrik, telegraf, fotograf
dan gambar bergerak. Berdasarkan jenisnya saja, saat ini televisi layar datar
telah diproduksi dalam bentuk LCD (liquid crystal display/penampil kristal
cair), LED (light-emitting diode/diode pancaran cahaya) ataupun Plasma tv,
dan dipastikan akan berkembang lebih canggih lagi dalam waktu tidak lama
lagi. Pendek kata, televisi dapat disebut sebagai salah satu produk teknologi
yang paling mengagumkan, baik ditilik dari aspek jenis, isi ataupun kajian
terhadapnya yang berkembang secara signifikan.
Atas dasar itulah, televisi menjadi sangat mempesona, sehingga
begitu banyak orang merasa terhibur dengannya. Pelbagai program menjubeli
layar kaca tanpa jeda dan merampas perhatian khalayak untuk menontonnya.
―Kotak ajaib‖ itu tampak begitu perkasa untuk menghibur siapa saja.
Karenanya, ia menjelma menjadi semacam industri informasi dan hiburan.
Tetapi televisi tidak saja menyuguhkan informasi, lebih dari itu ia dapat
memproduksi kesenangan, kebencian dan kepanikan bagi khalayak dengan
sentuhan konstruksi ataupun distorsi atas realitas dalam apa yang sering
disebut sebagai ―industri hiburan‖ atau ―pabrik pencitraan‖. Ia menjadi
‗malaikat‘ yang menyelamatkan orang banyak untuk dapat merasa (ny)aman
dalam keimanannya melalui literasi media, tetapi sebaliknya ia juga bisa
menjadi ‗setan‘ yang menyesatkan karena merasakan kehampaan ruhani dan
penggerusan daya kritis yang tercipta dalam arus berita yang tak lagi dapat
terbendung.
Arus deras informasi dan hiburan tersebut mau tidak mau dapat
menyeret khalayak dalam pengasingan diri yang berlangsung terus-menerus,
dalam situasi asing dimana kesadaran dilenyapkan dan kritisisme dengan
demikian dikubur hidup-hidup. Di satu sisi, khalayak dipaksa menikmati
televisi dalam keintimannya yang bodoh, palsu dan dangkal. Tetapi di sisi
110
lain, khalayak dapat merasakan kehadirannya sebagai sesuatu yang
bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya, sehingga televisi seolah-olah telah
menjadi barang yang wajib adanya bagi kebutuhan rumah tangga. Saya
masih percaya jika ada orang yang mengatakan, bahwa belum lengkap
rasanya bila tidak terdapat televisi di dalam rumah. Meskipun saat ini, tidak
harus memiliki televisi dalam ujud yang sebenarnya, karena menonton
televisi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon genggam ataupun
komputer. Televisi benar-benar telah mengisi keseharian kita dengan serbuan
hiburannya yang tiada henti. Sebagaimana digambarkan oleh Graeme Burton
(2011: 2) bahwa televisi merupakan fenomena kultural sekaligus medium
dimana sepenggal aktivitas budaya menjamah khalayak di dalam rumah.
Televisi dapat berinteraksi dengan khalayak dalam hegemoni kulturalnya
yang kokoh, bahkan seringkali dengan sikapnya yang acuh tak acuh.
Ketika mengurai penjelasannya dalam The Disappearence of
Childhood, Neil Postman (2009: 150) menegaskan bahwa televisi berwatak
bias terhadap citraan visual yang menantang. Menurutnya, tidak penting
bahwa seorang pembaca berita televisi menangkap makna dari apa yang
diberitakan, banyak dari mereka bahkan tidak bisa menampilkan mimik yang
sesuai dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Yang penting adalah bahwa
khalayak menyukai wajah-wajah mereka, para pembaca berita televisi hampir
semuanya muda dan cantik. Bahkan ia mengkritisi pelbagai acara televisi
yang tidak lain adalah sebuah pertunjukan, sebuah dunia rekayasa dan fantasi
yang ditata secara hati-hati untuk menghasilkan suatu rangkaian efek khusus
sehingga khalayak hanya bisa tertawa, menangis atau terpaku (Postman,
2009: 154).
Apa yang dikritisi Postman benar adanya, berdasarkan angka rating,
industri televisi seringkali terjebak pada kejar tayang dan iklan, sehingga
111
mengabaikan kode etik jurnalistik. Dalam wacana publik, televisi menjadi
bahan kajian dan pembicaraan luas yang tak pernah tuntas, terutama jika
sudah mengarah pada efek negatif yang ditimbulkannya. Kecaman berlimpah
ditimpakan pada televisi, karena berdasarkan penelitian dan survei yang
banyak dilakukan di seluruh dunia membuktikan bahwa televisi lebih banyak
menimbulkan dampak negatifnya daripada positifnya. Meskipun kecaman
banyak dilontarkan, hal itu tidak mengurangi aktivitas penyiaran televisi
untuk terus menambah program-program variatif yang lebih menarik lagi
untuk ditonton. Seperti sudah dimafhumi, bahwa aktivitas menonton adalah
hak semua orang. Persoalannya adalah bagaimana proses dialog yang imbang
dan kritis dapat dilakukan oleh khalayak terhadap televisi? Kalau begitu,
televisi mau diapakan atau bagaimana seharusnya sikap khalayak
terhadapnya?
Teknologi yang Mengerti Anda
Arus deras kecaman, kalau boleh dibilang kritik, terhadap televisi
dapat diterima dengan akal sehat, setidaknya sampai batas tertentu dimana
televisi telah kelewat batas dengan kemampuannya untuk menumpulkan dan
memanipulasi kesadaran massa. Lepas dari itu, arus balik pembelaan yang
setimpal terhadap televisi dapat memberikan wacana tanding yang berbeda.
Logika atas televisi dikemukakan dengan gigih oleh Dominique Wolton
(2007: 81) yang mengakui televisi sebagai ―kemenangan tanpa legitimasi‖.
Baginya, televisi mempunyai kekuatan dan kelemahannya sekaligus.
Kekuatan televisi terletak pada kepopulerannya, sedangkan kelemahannya
terletak pada kenyataan bahwa dia tidak memiliki legitimasi di kalangan elite
kultural.
112
Tak dapat disangkal bahwa semua orang tahu benda apa itu. Tidak
berhenti sampai di situ, televisi telah mendorong nalar-nalar kritis untuk
memberondongnya dengan perspektif dan tafsir yang menohok. Kajiankajian mutakhir memperbincangkan televisi dengan lebih ―sadis‖. Sebagian
di antara para kritikus menyebut benda itu sebagai sampah, tidak penting,
merusak generasi muda dan tempat bagi tumbuh dan suburnya selera
kapitalis. Apa mau dikata, itulah kenyataan yang dihadirkan oleh televisi
yang tengah dan terus menjamah hidup kita sehari-hari. Di balik kecaman
dan kritik terhadapnya, televisi diam-diam masih dilirik dan dipergunjingkan
di pelbagai forum ilmiah. Bahkan karenanya, lahir banyak karya popular dan
berbobot sebagaimana memenuhi dapur wacana cultural studies.
Dapat dikatakan bahwa televisi benar-benar hadir penuh kesenangan,
sebab dia membantu jutaan orang di seluruh dunia untuk menikmati hidup
ini, memperoleh hiburan yang mereka sukai dan memahami dunia dengan
lebih baik. Wolton (2007: 82) bahkan tidak segan-segan menyindir para
kritikus televisi dengan menegaskan bahwa keliru jika dikatakan bahwa
penonton televisi menjadi korban dari apa yang ditontonnya, dan jika mereka
menjadi korbannya itu karena mereka ingin menjadi korban. Intinya, jangan
salahkan televisinya. Bahwa menonton itu bukan berarti secara paksa tunduk
pada apa yang ditontonnya. Apa jadinya hidup kita tanpa televisi yang jelasjelas dapat dipergunakan untuk mengakses dunia dan memahaminya?
Seseorang bebas mendapatkan informasi terkini tentang apa saja yang aktual
untuk dibicarakan. Wolton memuji televisi sebagai sesuatu keberhasilan yang
hebat, nyata dan menjadi tantangan bagi masyarakat terbuka. Meskipun ada
yang mengeluhkan buruknya berbagai program televisi, toh dia tetap ditonton
juga.
113
Sekedar menyebut salah satu contoh di antara acara televisi yang
menarik adalah film anak-anak. Begitu sore tiba, anak-anak sudah siap di
depan televisi untuk menyaksikan film yang sedang mereka tunggu-tunggu.
Mereka tampak sangat menikmati saat menonton film kartun anak-anak yang
berjudul Avatar the Legend of Aang. Pada faktanya, tak hanya anak-anak,
tetapi orang dewasa pun juga terkagum-kagum dengan petualangan tokoh
Aang.
Menilik ceritanya, bahwa sebenarnya istilah ―avatar‖ itu berasal dari
bahasa Sanskerta, yaitu Avatāra, yang berarti ―turun‖. Dalam mitologi
Hindu, para dewa memanifestasikan dirinya dengan turun menjelma ke dunia
untuk mengembalikan keseimbangan di muka bumi setelah mengalami
zaman kejahatan, dan mereka disebut Sang Avatar . Aksara Cina yang muncul
di atas kata ―Avatar‖ pada pembukaan cerita berarti ―Perantara Tuhan yang
turun ke dunia fana‖. Avatar: The Legend of Aang (bahasa Indonesia: Avatar,
pengendali angin terakhir; dikenal sebagai Avatar: The Last Airbender di
Amerika Serikat dan beberapa negara) adalah sebuah serial animasi televisi
Amerika yang ditayangkan oleh jaringan televisi Nickelodeon. Selain film
itu, anak-anak juga akrab dengan film Spongebob Squarepants dan Dora the
Explorer yang diputar berulang kali pada pagi dan sore hari.
Menonton film anak-anak sekilas tampaknya cuma membuang-buang
waktu saja, tetapi ada satu hal yang menarik bahwa film anak-anak
kenyataannya juga menarik dan layak ditonton oleh orang dewasa. Ada
makna tersendiri tatkala menikmati film ini. Tak perlu pemahaman yang
cukup soal sejarahnya, siapapun dengan bebas dapat menarik kesimpulan
kalau avatar memang layak untuk ditonton. Dalam konteks ini, avatar dapat
mewakili salah satu model hiburan di televisi.
114
Bahkan dua filsuf Jerman terkemuka, Adorno dan Horkheimer juga
menaruh perhatian khusus pada film kartun, misalnya ketika mereka
mengkritisi Donald Bebek dalam hubungannya dengan kenikmatan dalam
kekerasan di kehidupan nyata para khalayaknya yang sudah mulai terbiasa.
Respon kritis duet filsuf mazhab Frankfurt tersebut tertuang dalam bukunya
Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments
(Adorno dan
Horkheimer, 2002: 110).
Di samping kenikmatan terhadap tayangan tersebut, harus diakui
bahwa kemudian akan muncul persoalan baru, misalnya bagaimana bila
seseorang telah kecanduan menonton pelbagai hiburan lainnya di televisi?
Adakah cara terbaik yang dapat dilakukan agar khalayak yang terdampak
tontonan televisi dapat bersikap kritis terhadap media yang satu ini?
Barangkali memang benar apa yang pernah dikatakan oleh Neil
Postman (1985) bahwa televisi menjadi sarana ampuh yang dapat menghibur
diri kita sampai mati. Setiap saat kita dapat menonton televisi dan menikmati
segala macam programnya. Bahkan saat ini setiap orang dapat menonton
televisi di manapun dia mau, di dalam mobil atau dari layar hand phone.
Televisi siap menemani penonton setianya selama dua puluh empat jam
penuh setiap hari.
Kalau televisi begitu kuasa menutup lobang waktu senggang khalayak
dengan berbagai programnya, maka tidak heran jika hegemoni televisi
terhadap khalayak begitu nyata. Jika khalayak bersikap pasif, maka televisi
secara bebas dapat membentuk lingkungan sosial dan intelektual khalayak
dalam pola satu arah.
Karenanya, agar tidak terjebak dalam ―teror‖ televisi yang tiada henti,
Postman mencoba membedakan terlebih dahulu antara teknologi dengan
115
medium, setidaknya untuk memahami tentang apakah televisi itu. Ia
mengibaratkan teknologi seperti otak, sedangkan medium itu adalah
pikirannya. Teknologi hanyalah sebuah mesin. Medium adalah suatu
lingkungan intelektual dan sosial yang diciptakan oleh mesin (Postman,
1985: 84-85). Jadi untuk menjawab apakah televisi itu, Postman lebih
menitikberatkan pembicaraannya pada keyakinannya bahwa televisi sebagai
teknologi bukan sebagai medium.
Dengan
menempatkan
televisi
dalam
pengertian
teknologi,
memungkinkan khalayak untuk terhindar dari posisi terdampak televisi
secara pasif dan mengambil posisi aktif untuk memberikan respon balik yang
kritis pada setiap tayangannya. Jika pada posisi medium, perangkap aforisme
McLuhan menjadi sulit untuk dilepaskan.
Apa yang dipikirkan Postman merupakan tafsir kritis atas aforisme
atau diktum determinisme teknologis Marshall McLuhan yang terkenal: the
medium is the message (medium adalah pesan). Setiap medium, menurut
Postman (1985: 10), seperti halnya bahasa, seharusnya memungkinkan
adanya suatu model wacana yang unik denan menyediakan orientasi yang
baru bagi pemikiran, ekspresi, dan sensibilitas. Hal ini dimaksudkan agar
tidak rancu antara pesan dengan metafora. Sehingga, logis bagi Postman, the
medium is the metaphor.
Lebih keras daripada Postman, Raymond Williams menyindir
rumusan McLuhan yang tidak lebih dari sebentuk formalisme yang
sederhana. Menurutnya, karya McLuhan menempatkan medium televisi
sebagai sesuatu yang mendeterminir: dari determinisme teknologis merembet
kepada determinisme sosial dan budaya.
116
Uraian inilah yang menggarisbawahi prinsip utama Williams (1990:
1) untuk mengawali bukunya kata-kata: ―televisi telah mengubah dunia kita.‖
Bagi Williams, ada dua pandangan penting mengenai teknologi televisi.
Yang pertama ialah pandangan determinisme teknologis yang mengatakan
bahwa televisi dan berbagai teknologi baru telah menciptakan manusia
modern beserta situasinya. Televisi adalah hasil temuan riset ilmiah dan
teknik. Kekuatan televisi sebagai media berita, hiburan dan komunikasi
sosial begitu besar sehingga mampu mengubah berbagai bentuk relasi sosial
kita. Sedangkan yang kedua yaitu pandangan teknologi sebagai gejala yang
televisi sebagai medium atau gejala-gejala dari suatu proses perubahan sosial
yang berlangsung. Dengan kata lain, setiap teknologi adalah produk samping
dari suatu proses sosial yang tidak ditentukan oleh teknologi tersebut
(Williams, 1990: 3-5).
Di luar kedua pandangan besar tersebut masih terbuka ruang yang
luas untuk menghadirkan suatu bentuk penafsiran yang lain yang
memungkinkan pandangan yang lebih terbuka dan objektif tentang teknologi
televisi.
Dampak Televisi: Pembodohan dan Pengasingan
Setidaknya pandangan yang diwakili oleh Postman dan Williams di
atas memberikan bekal bagi setiap aktivitas menonton dari khalayak untuk
lebih kritis dan tidak menerima serta merta medium televisi yang
deterministik. Karena di dalam medium ini banyak sekali hal-hal yang
mendeterminir wacana publik dalam proses sosial dan budaya.
Sekedar contoh, sebut saja dunia selebritas misalnya, semakin
dikupas makin tak pernah tuntas, berita yang sepertinya tak pernah ada habishabisnya. Memang benar televisi benar-benar setia setiap saat menghibur
117
khalayak sampai mati. Suguhan tontonan yang dilakukan oleh para selebritas
di televisi, baik dalam acara reality show, infotainment dan soap opera cukup
menguras dan menyedot perhatian dan waktu khalayak. Kita semua sebagai
khalayak, baik dalam pengertian aktif maupun pasif, membenci atau
menggandrungi selebritas, mau atau tidak mau, pasti pernah terlintas dalam
benak kita tentang nama-nama selebritas ternama. Secara tidak langsung kita
telah mengkonsumsi berita dan hiburan yang mereka suguhkan di sepanjang
hari dalam kehidupan kita. Kita telah menjadi konsumen berita infotainmen
yang menghibur itu.
Kegandrungan masyarakat pada dunia selebritas yang demikian besar,
mengusik nalar sehat kita untuk mengungkapkan lebih dalam lagi tentang
realitas yang sesungguhnya di balik ketenaran para selebritas tersebut. Salah
satu sisi yang menarik dicermati dari para selebritas ialah seperti dipaparkan
oleh Boorstin, bahwa mereka membangun kapasitasnya untuk ngetop,
sebenarnya bukan dengan jalan pencapaian sesuatu yang hebat, melainkan
dengan cara membedakan kepribadian mereka dari yang lain, yaitu dari para
kompetitor mereka di arena publik (Graeme Turner, 2004: 5).
Tindakan membedakan kepribadian dari yang lain tersebut dilakukan
dengan memunculkan keunikan atau tingkah pola yang belum pernah
dilakukan oleh selebritas manapun sebelumnya. Tingkah pola itu dapat
disebut sebagai peran atau memerankan dirinya dengan membedakan diri
dari orang lain. Dalam banyak hal, cara membedakan diri inilah yang
membuat seseorang tidak menjadi diri mereka sendiri. Dalihnya tidak lain
karena tuntutan peran. Dengan demikian, seseorang bisa memainkan peran
menjadi antagonis, protagonis, melankolis, banci, jagoan, dan sebagainya.
Tergantung dari cara bagaimana kepribadian itu ―dibentuk‖. Jadilah para
selebritas tersebut sebagai publik figur.
118
Kepribadian baru yang unik itulah yang melahirkan sosok
―fenomenal‖
di
dalam
pergunjingan
khalayak.
Seolah-olah
sudah
membudaya bahwa menu gossip sehari-hari yang mereka obrolkan
bertemakan tentang selebritas. Karenanya, massa tak dapat membendung rasa
ingin tahu mereka tentang sosok selebritas yang sudah menjadi publik figure,
apalagi yang tengah santer digosipkan dalam infotainment. Oleh karenanya,
begitu sebuah berita tentang seorang artis mencuat ke permukaan dan
menjadi bahan gosip dalam acara infotainment, masyarakat sebagai khalayak
akan setia menemani layar kaca sampai berita yang mereka dapatkan dinilai
telah cukup, atau mungkin sekedar ingin tahu saja. Bahkan belum cukup
rasanya kalau hanya menonton berita infotainment di televisi, sehingga
mereka pun rela membelanjakan uang mereka untuk membeli majalah dan
tabloid yang berkaitan dengan selebritas. Rasa keingintahuan, penasaran dan
ketagihan inilah yang menciptakan situasi dan kondisi alam berpikir
masyarakat kita, bahkan juga gaya hidup (life style) yang dikonstruksi oleh
media televisi.
Televisi menyuguhkan setidaknya ada tiga yang paling penting
berdasarkan kategori program acara selebritas, yaitu: (1) infotainment; (2)
reality show (termasuk juga talk show), dan (3) soap opera . Sekedar contoh,
dalam infotainment ditayangkan beberapa tayangan gosip seperti: Insert
TransTV, Silet, Ada Gosip, Celebriti Update, Espresso ANTV, Kasak Kusuk,
Kassel TPI, Kroscek, Obsesi Global TV dan Silet. Sedangkan dalam Reality
Show ada: Dangdut Mania, Indonesian Idol, KDI, Mamamia, Stardut, Super
Soulmate dan Super Twin, dalam Talk Show ada: Belum cukup Gede,
Ceriwis, Dorce Show, Empat Mata, Hitam Putih, dan Silat Lidah. Kemudian
dalam Soap opera misalnya ada: Office Boy (OB) di RCTI dan Kejar Tayang
di Trans TV.
119
Di channel Trans TV saja, acara gosip selebritas yang dinamai Insert
ditayangkan sampai tiga kali dalam sehari dimulai hari Senin-Minggu, yaitu
pada jam 06.30 (Insert Pagi), Insert Siang jam 11.00 (Insert Siang), dan jam
16.30 (Insert Sore). Ini berarti, seperti halnya waktu makan kita bisa diatur
oleh televisi sedemikian pastinya. Menonton acara Insert menjadi hal biasa
bagi keluarga, hal itu dapat diibaratkan seperti makan tiga kali dalam sehari.
Demikian padat dan pesatnya perkembangan acara hiburan di televisi
sehingga memasuki ruang dan waktu khalayak terlalu dalam. Televisi
menghibur dengan berbagai tayangan, yang seperti kata Adorno dan
Horkheimer membodohkan. Kesenangan yang ditawarkan media hanyalah
berupa kebohongan-kebohongan semata, bahkan lebih dari itu, televisi
mempunyai dampak pengasingan. Penting dipahami bahwa media televisi
pada kenyataannya dapat mengasingkan diri khalayak dari kehidupan
nyatanya dan memperlakukan semua penonton sama tanpa terkecuali (Keith
Tester, 1994: 57).
Dialog Media Televisi Selalu Monolog
Apa yang diuraikan oleh Postman dan Williams sebenarnya
menegaskan bahwa media televisi berimplikasi terhadap nilai moral dan
khususnya budaya. Medium televisi yang deterministik membenarkan
penciptaan dan perubahan nilai moral dan budaya dalam masyarakat. Jauh
sebelum Postman dan Williams mengkritisi determinisme teknologis, Adorno
dan Horkheimer telah lebih dulu menyamakan media dengan barbarianisasi
kemanusiaan, nilai seni, sastra dan semua hal lain yang seharusnya punya
makna penting. Menurut mereka, kesenangan yang ditawarkan televisi tidak
lain hanyalah berupa kebodohan-kebodohan.
120
Rekan mereka yakni salah satu filsuf masyhur dari Mazhab Frankfurt,
Herbert
demikian
Marcuse
itu
menyebutkan
pada
dasarnya
bahwa
kesenangan-kesenangan
yang
adalah
sebentuk
yang
penindasan
membahagiakan atau apa yang sering dikenal sebagai ‖desublimasi represif‖.
Budaya industri membuat kita tidak bisa berimajinasi tentang adanya
kemungkinan perbedaan kualitatif yang signifikan, misalnya bagaimana
membedakan antara seorang selebritas dengan dirinya sendiri sebelum
menggenggam ketenarannya. Bahwa beberapa hubungan sebab dan akibat
serta aksi dan respon diasumsikan terdapat dalam hubungan antara televisi
dan khalayak.
Ketika membahas tentang media dalam bab The Culture Industry:
Enlightenment as Mass Deception, Adorno dan Horkheimer (2002: 128-136)
menegaskan bahwa dialog media televisi betul-betul sebuah monolog pada
pihak budaya industri. Setidaknya ada tiga persoalan penting yang mereka
berdua rumuskan: pertama, bahwa budaya industri melihat dan menciptakan
khalayak tunggal, kedua, khalayak monolitik yang tunggal dari budaya
industri ini adalah massa yang pasif dan ketiga, bahwa massa khalayak
tunggal masing-masing individu merasa asing dengan individu lainnya. Bagi
mereka, media komunikasi modern punya dampak pengasingan, bukan
sekedar paradoks intelektual. Media mengubah kita menjadi individu yang
terasing. Media melakukan hal ini pada semua orang tanpa kecuali. Paradoks
yang mereka sorot mempunyai dua komponen: pertama, paradoks itu berarti
kita mengalami media itu seorang diri, dan kedua, ia berarti media
memperlakukan kita seolah-olah kita semua sama. Media memiliki dampak
menurunkan level semua individu, sehingga dari sudut pandang budaya
industri, semua individu tersebut betul-betul sama dalam semua hal penting.
121
Proses penurunan level khalayak ini secara khusus dapat dicermati
dengan sangat jelas dalam kasus pemujaan terhadap selebritas atau seorang
bintang film. Tren hidup selebritas, sebut saja contoh seorang bintang film,
memiliki mekanisme sosial yang sudah menyatu untuk menurunkan level
semua orang yang menonjolkan diri dengan cara apapun. Televisi dapat
mengisahkan kepada khalayak bahwa artis atau bintang film itu benar-benar
cantik dan memiliki kemampuan untuk ―menghipnotis‖ lawan jenisnya. Artis
atau bintang film sebagaimana dirasukkan oleh televisi telah menjadi contoh
yang harus khalayak ikuti. Di sinilah letak proses penurunan level itu, bahwa
jika selebritas itu tidak diikuti dengan baik sebagaimana gaya hidup dan
penampilan yang dicontohkan olehnya, maka kita akan menjadi orang yang
tidak menarik atau orang yang mempunyai penampilan seksual sangat jelek.
Kuno, ketinggalan jaman dan tidak mengikuti tren (unfashionable). Dengan
demikian, seperti kata Tester (1994: 60) bahwa semua khalayak direduksi
sampai ke tingkat dimana kita menjadi sama seperti selebritas yang satu atau
selebritas lainnya.
Media menantang semua yang menonjolkan diri sebagai sesuatu
yang berbeda darinya. Demi kepentingan media dalam membentuk dan
mempertahankan kepasifan dan ketradisionalan khalayak, semua perbedaan
sosial budaya, semua hubungan dan aktivitas yang spesifik dan semua
aktivitas yang menjadikan kita seperti sekarang, menjadi sesuatu yang akan
dimarjinalkan. Khalayak betul-betul dalam proses dibodohkan terus-menerus.
Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa televisi terus berusaha
membodohi kita dengan cara memaparkan kepada penontonnya agar
senantiasa terjaga untuk terus berusaha memperbaiki diri dalam rangka
menyerupai diri dengan tuntutan budaya industri. Karenanya, penonton
tergiring kesadarannya ke arah antusiasme untuk mencari, mengoleksi dan
122
membaca pelbagai buku manual tentang perbaikan diri atau biografi
selebritas untuk bisa mendapatkan tips agar menjadi orang yang sukses, atau
kita menyesuaikan diri dengan membuat alasan yang dibolehkan kolom
astrologi. Media televisi memperlakukan kita sebagai bagian dari massa, dan
memaksa kita untuk bertindak dan berpenampilan seperti orang lain.
Khalayak dikutuk untuk menubuhkan selebritas kesukaannya di
dalam nalar-nalar dan kesadarannya. Di hadapan media televisi, kita selalu
dalam ancaman pembodohan dan bayang-bayang kesenangan yang
berlangsung terus menerus. Kita begitu lemah di hadapan budaya industri,
akibatnya kita mengidolakan selebritas, khususnya ketika mereka muncul
sebagai tokoh yang perkasa. Tetapi tentusaja para selebritas juga menjadi
korban dari budaya industri. Dengan adanya media televisi, kita jadi lupa
bagaimana berbicara satu sama lain. Media televisi telah mengubah massa
khalayak menjadi sekumpulan individu yang terisolasi dan dengan demikian
media memainkan peran dalam meninggalkan ikatan moral
yang
menghubungkan kita bersama. Media telah menghancurkan ikatan solidaritas
sosial dan moral. Kemajuan membuat manusia ―terpisah-pisah‖. Khalayak itu
penting sebenarnya karena proses dehumanisasi yang dilancarkan dan telah
menimpa dirinya. Khalayak seharusnya menjadi teman dalam sebuah dialog.
Bukannya dialog, media malahan tidak melakukan apa-apa selain monolog
yang membuat individu tetap berada dalam keadaan khalayak terasing dari
yang lain. Media mengasingkan individu dari yang lainnya dalam pengertian
moral dan sosial sehingga membuat khalayak tak kuasa memberikan umpan
balik (Tester, 1994: 63-65).
Televisi telah melahirkan sebentuk hiburan yang menyebabkan
kerusakan moral atas kebudayaan. Industri hiburan atau dalam apa yang
sebut Adorno dan Horkheimer sebagai ―industri kebudayaan‖, telah
123
merampok kesadaran khalayak atau konsumen untuk dibius dalam programprogram yang penuh dengan omong kosong. Kekuataan posisi industri
kebudayaan sangat menentukan seberapa besar kebutuhan konsumen.
Bahkan lebih dari itu, sikap abai nalar kritis atas serbuan industri kebudayaan
dapat melumpuhkan konsumen dan membuatnya terdisiplinkan secara tak
sadarkan diri. Industri kebudayaan akan terus memberikan undangan terbuka
kepada khalayak untuk mengikuti kesenangan-kesenangan yang ditawarkan.
Dapat dibayangkan, khalayak lebih taat dan dapat mendengarkan dengan
baik pesan-pesan industri kebudayaan daripada pesan-pesan teologis
agamanya sendiri, lebih mau menyesuaikan diri dengan bujuk rayu televisi
daripada nasehat orang tua atau gurunya, lebih merasa iba dengan program
menghibur orang miskin yang cuma bersifat sementara itu daripada programprogram pengentasan kemiskinan yang lebih nyata dan berjangka panjang.
Dengan fakta itu, perlawanan terhadap industri kebudayaan dapat dikatakan
sebagai pekerjaan yang sia-sia. Apalagi melihat di antara mereka yang
terlibat langsung sebagai anggota komisi penyiaran pusat ataupun daerah
yang semakin mahir memainkan teori-teori media dan komunikasinya untuk
menjustifikasi pelbagai tayangan yang seharusnya dilarang atas dalih rating
atau tingkat kepuasan konsumen, rasionalisasi hiburan ataupun pemenuhan
kebutuhan publik. Inilah faktanya, bahwa industri kebudayaan benar-benar
telah menyebarkan kepalsuan atau kebohongan yang menyenangkan dan
diterima luas oleh banyak orang. Terkadang setiap kritikus televisi juga telah
tumbuh di kepalanya kemauan untuk ditindas oleh televisi. Pada saatnya,
kritik itu akan dibeli juga oleh media untuk diakunya sebagai bentuk
akomodasi dan keterbukaan, meskipun pada gilirannya, proyek utama media
tersebut adalah pengasingan dan pembodohan.
Kesimpulan
124
Terjadinya pengasingan dan pembodohan ini adalah konsekuensi dari
posisi televisi yang terlibat aktif menghibur khalayak. Dalam arti bahwa
televisi dapat dengan leluasa memberikan inspirasi atau model mulai dari
yang palign remeh temeh seperti menu sarapan terlezat sampai dengan gaya
hidup selebritas yang menggoda untuk diikuti. Inilah sebentuk upaya sapaan
atau respon televisi terhadap khalayak yang sebenarnya menipu. Industri
hiburan, dengan demikian, akan selalu menipu khalayak dengan janjijanjinya secara abadi. Kesenangan yang diberikan media itu tidak lain adalah
pengasingan tanpa batas. Yang perlu disadari justru adalah bahwa teks
televisi sebenarnya bersifat dialogis dan selalu memprovokasi respon dari
khalayaknya. Dialog teks televisi dapat dianggap serupa dengan ceramah
atau kuliah akademis. Sehingga dalam anggapan demikian, khalayak dapat
memberikan umpan balik kritis dalam perdebatan budaya yang secara tidak
langsung ditawarkan oleh dialog media itu yang senantiasa mentransmisikan
pesannya secara monolog. Industri kebudayaan akan selamanya dalam masa
kejayaannya selama nalar-nalar kritis khalayak lelah melakukan tugasnya
untuk terus melawan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, Theodor W. dan Max Horkheimer.
Enlightenment: Philosophical Fragments.
Stanford University Press
2002. Dialectic of
Stanford, California:
Dictionary of Media Studies .London: A & C Black, 2006
Burton, Graeme. 2011. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kajian
Televisi, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra
Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the
Age of Show Business. New York: Penguin Books
Postman, Neil. 2009. Selamatkan Anak-anak, terj. Sita Hidayah .
Yogyakarta: Resist Book
Tester, Keith. 1994. Media, Culture and Morality. London: Routledge
Turner, Graeme. 2004. Understanding Celebrity.(London, Thousand Oaks,
dan New Delhi: Sage
Williams, Raymond. 1990. Television: Technology and Cultural Form
(London: Routledge.
Wolton, Dominique. 2007. Kritik atas Teori Komunikasi: Kajian dari Media
Konvensional hingga era Internet, terj. Ninik R.S. Yogyakarta:
Kreasi Wacana
126
YANG DETERMINISTIK DAN MONOLOG (PERSPEKTIF
FILSAFAT MEDIA)
Robby H. Abror*
ABSTRAK
Industri kebudayaan berhasil merampas kesadaran khalayak. Dengannya televisi
menjadi fenomena kultural sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya
menjamah khalayak di dalam rumah. Hiburan yang disuguhkannya dapat
berinteraksi dengan khalayak dalam hegemoni kulturalnya yang kokoh, bahkan
seringkali dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Berdasarkan angka rating, industri
televisi seringkali terjebak pada kejar tayang dan iklan, sehingga mengabaikan
kode etik jurnalistik. Dengan televisi, khalayak menjadi penonton pasif dan
terasing. Adalah tugas filsafat mendorong khalayak untuk terus melawan sisi gelap
televisi agar lebih terang dan bermoral.
Kata Kunci: televisi, khalayak, kultur
Pendahuluan
Televisi secara etimologis berasal dari gabungan dua kata, yaitu
―jauh‖ (tele, Yunani) dan ―penglihatan‖ (visio, Latin). Televisi merupakan
medium yang dapat dinikmati oleh khalayak (audience) dari jarak jauh,
sebentuk perangkat elektronik untuk menerima dan mereproduksi citra dan
suara dari gabungan sinyal audio dan video (Dictionary of Media Studies,
2006: 235). Kemunculannya dalam sejarah ditemukan melalui proses yang
*
Dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. e-mail: [email protected]
109
panjang dari riset ilmiah para ahli dalam teknologi listrik, telegraf, fotograf
dan gambar bergerak. Berdasarkan jenisnya saja, saat ini televisi layar datar
telah diproduksi dalam bentuk LCD (liquid crystal display/penampil kristal
cair), LED (light-emitting diode/diode pancaran cahaya) ataupun Plasma tv,
dan dipastikan akan berkembang lebih canggih lagi dalam waktu tidak lama
lagi. Pendek kata, televisi dapat disebut sebagai salah satu produk teknologi
yang paling mengagumkan, baik ditilik dari aspek jenis, isi ataupun kajian
terhadapnya yang berkembang secara signifikan.
Atas dasar itulah, televisi menjadi sangat mempesona, sehingga
begitu banyak orang merasa terhibur dengannya. Pelbagai program menjubeli
layar kaca tanpa jeda dan merampas perhatian khalayak untuk menontonnya.
―Kotak ajaib‖ itu tampak begitu perkasa untuk menghibur siapa saja.
Karenanya, ia menjelma menjadi semacam industri informasi dan hiburan.
Tetapi televisi tidak saja menyuguhkan informasi, lebih dari itu ia dapat
memproduksi kesenangan, kebencian dan kepanikan bagi khalayak dengan
sentuhan konstruksi ataupun distorsi atas realitas dalam apa yang sering
disebut sebagai ―industri hiburan‖ atau ―pabrik pencitraan‖. Ia menjadi
‗malaikat‘ yang menyelamatkan orang banyak untuk dapat merasa (ny)aman
dalam keimanannya melalui literasi media, tetapi sebaliknya ia juga bisa
menjadi ‗setan‘ yang menyesatkan karena merasakan kehampaan ruhani dan
penggerusan daya kritis yang tercipta dalam arus berita yang tak lagi dapat
terbendung.
Arus deras informasi dan hiburan tersebut mau tidak mau dapat
menyeret khalayak dalam pengasingan diri yang berlangsung terus-menerus,
dalam situasi asing dimana kesadaran dilenyapkan dan kritisisme dengan
demikian dikubur hidup-hidup. Di satu sisi, khalayak dipaksa menikmati
televisi dalam keintimannya yang bodoh, palsu dan dangkal. Tetapi di sisi
110
lain, khalayak dapat merasakan kehadirannya sebagai sesuatu yang
bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya, sehingga televisi seolah-olah telah
menjadi barang yang wajib adanya bagi kebutuhan rumah tangga. Saya
masih percaya jika ada orang yang mengatakan, bahwa belum lengkap
rasanya bila tidak terdapat televisi di dalam rumah. Meskipun saat ini, tidak
harus memiliki televisi dalam ujud yang sebenarnya, karena menonton
televisi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon genggam ataupun
komputer. Televisi benar-benar telah mengisi keseharian kita dengan serbuan
hiburannya yang tiada henti. Sebagaimana digambarkan oleh Graeme Burton
(2011: 2) bahwa televisi merupakan fenomena kultural sekaligus medium
dimana sepenggal aktivitas budaya menjamah khalayak di dalam rumah.
Televisi dapat berinteraksi dengan khalayak dalam hegemoni kulturalnya
yang kokoh, bahkan seringkali dengan sikapnya yang acuh tak acuh.
Ketika mengurai penjelasannya dalam The Disappearence of
Childhood, Neil Postman (2009: 150) menegaskan bahwa televisi berwatak
bias terhadap citraan visual yang menantang. Menurutnya, tidak penting
bahwa seorang pembaca berita televisi menangkap makna dari apa yang
diberitakan, banyak dari mereka bahkan tidak bisa menampilkan mimik yang
sesuai dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Yang penting adalah bahwa
khalayak menyukai wajah-wajah mereka, para pembaca berita televisi hampir
semuanya muda dan cantik. Bahkan ia mengkritisi pelbagai acara televisi
yang tidak lain adalah sebuah pertunjukan, sebuah dunia rekayasa dan fantasi
yang ditata secara hati-hati untuk menghasilkan suatu rangkaian efek khusus
sehingga khalayak hanya bisa tertawa, menangis atau terpaku (Postman,
2009: 154).
Apa yang dikritisi Postman benar adanya, berdasarkan angka rating,
industri televisi seringkali terjebak pada kejar tayang dan iklan, sehingga
111
mengabaikan kode etik jurnalistik. Dalam wacana publik, televisi menjadi
bahan kajian dan pembicaraan luas yang tak pernah tuntas, terutama jika
sudah mengarah pada efek negatif yang ditimbulkannya. Kecaman berlimpah
ditimpakan pada televisi, karena berdasarkan penelitian dan survei yang
banyak dilakukan di seluruh dunia membuktikan bahwa televisi lebih banyak
menimbulkan dampak negatifnya daripada positifnya. Meskipun kecaman
banyak dilontarkan, hal itu tidak mengurangi aktivitas penyiaran televisi
untuk terus menambah program-program variatif yang lebih menarik lagi
untuk ditonton. Seperti sudah dimafhumi, bahwa aktivitas menonton adalah
hak semua orang. Persoalannya adalah bagaimana proses dialog yang imbang
dan kritis dapat dilakukan oleh khalayak terhadap televisi? Kalau begitu,
televisi mau diapakan atau bagaimana seharusnya sikap khalayak
terhadapnya?
Teknologi yang Mengerti Anda
Arus deras kecaman, kalau boleh dibilang kritik, terhadap televisi
dapat diterima dengan akal sehat, setidaknya sampai batas tertentu dimana
televisi telah kelewat batas dengan kemampuannya untuk menumpulkan dan
memanipulasi kesadaran massa. Lepas dari itu, arus balik pembelaan yang
setimpal terhadap televisi dapat memberikan wacana tanding yang berbeda.
Logika atas televisi dikemukakan dengan gigih oleh Dominique Wolton
(2007: 81) yang mengakui televisi sebagai ―kemenangan tanpa legitimasi‖.
Baginya, televisi mempunyai kekuatan dan kelemahannya sekaligus.
Kekuatan televisi terletak pada kepopulerannya, sedangkan kelemahannya
terletak pada kenyataan bahwa dia tidak memiliki legitimasi di kalangan elite
kultural.
112
Tak dapat disangkal bahwa semua orang tahu benda apa itu. Tidak
berhenti sampai di situ, televisi telah mendorong nalar-nalar kritis untuk
memberondongnya dengan perspektif dan tafsir yang menohok. Kajiankajian mutakhir memperbincangkan televisi dengan lebih ―sadis‖. Sebagian
di antara para kritikus menyebut benda itu sebagai sampah, tidak penting,
merusak generasi muda dan tempat bagi tumbuh dan suburnya selera
kapitalis. Apa mau dikata, itulah kenyataan yang dihadirkan oleh televisi
yang tengah dan terus menjamah hidup kita sehari-hari. Di balik kecaman
dan kritik terhadapnya, televisi diam-diam masih dilirik dan dipergunjingkan
di pelbagai forum ilmiah. Bahkan karenanya, lahir banyak karya popular dan
berbobot sebagaimana memenuhi dapur wacana cultural studies.
Dapat dikatakan bahwa televisi benar-benar hadir penuh kesenangan,
sebab dia membantu jutaan orang di seluruh dunia untuk menikmati hidup
ini, memperoleh hiburan yang mereka sukai dan memahami dunia dengan
lebih baik. Wolton (2007: 82) bahkan tidak segan-segan menyindir para
kritikus televisi dengan menegaskan bahwa keliru jika dikatakan bahwa
penonton televisi menjadi korban dari apa yang ditontonnya, dan jika mereka
menjadi korbannya itu karena mereka ingin menjadi korban. Intinya, jangan
salahkan televisinya. Bahwa menonton itu bukan berarti secara paksa tunduk
pada apa yang ditontonnya. Apa jadinya hidup kita tanpa televisi yang jelasjelas dapat dipergunakan untuk mengakses dunia dan memahaminya?
Seseorang bebas mendapatkan informasi terkini tentang apa saja yang aktual
untuk dibicarakan. Wolton memuji televisi sebagai sesuatu keberhasilan yang
hebat, nyata dan menjadi tantangan bagi masyarakat terbuka. Meskipun ada
yang mengeluhkan buruknya berbagai program televisi, toh dia tetap ditonton
juga.
113
Sekedar menyebut salah satu contoh di antara acara televisi yang
menarik adalah film anak-anak. Begitu sore tiba, anak-anak sudah siap di
depan televisi untuk menyaksikan film yang sedang mereka tunggu-tunggu.
Mereka tampak sangat menikmati saat menonton film kartun anak-anak yang
berjudul Avatar the Legend of Aang. Pada faktanya, tak hanya anak-anak,
tetapi orang dewasa pun juga terkagum-kagum dengan petualangan tokoh
Aang.
Menilik ceritanya, bahwa sebenarnya istilah ―avatar‖ itu berasal dari
bahasa Sanskerta, yaitu Avatāra, yang berarti ―turun‖. Dalam mitologi
Hindu, para dewa memanifestasikan dirinya dengan turun menjelma ke dunia
untuk mengembalikan keseimbangan di muka bumi setelah mengalami
zaman kejahatan, dan mereka disebut Sang Avatar . Aksara Cina yang muncul
di atas kata ―Avatar‖ pada pembukaan cerita berarti ―Perantara Tuhan yang
turun ke dunia fana‖. Avatar: The Legend of Aang (bahasa Indonesia: Avatar,
pengendali angin terakhir; dikenal sebagai Avatar: The Last Airbender di
Amerika Serikat dan beberapa negara) adalah sebuah serial animasi televisi
Amerika yang ditayangkan oleh jaringan televisi Nickelodeon. Selain film
itu, anak-anak juga akrab dengan film Spongebob Squarepants dan Dora the
Explorer yang diputar berulang kali pada pagi dan sore hari.
Menonton film anak-anak sekilas tampaknya cuma membuang-buang
waktu saja, tetapi ada satu hal yang menarik bahwa film anak-anak
kenyataannya juga menarik dan layak ditonton oleh orang dewasa. Ada
makna tersendiri tatkala menikmati film ini. Tak perlu pemahaman yang
cukup soal sejarahnya, siapapun dengan bebas dapat menarik kesimpulan
kalau avatar memang layak untuk ditonton. Dalam konteks ini, avatar dapat
mewakili salah satu model hiburan di televisi.
114
Bahkan dua filsuf Jerman terkemuka, Adorno dan Horkheimer juga
menaruh perhatian khusus pada film kartun, misalnya ketika mereka
mengkritisi Donald Bebek dalam hubungannya dengan kenikmatan dalam
kekerasan di kehidupan nyata para khalayaknya yang sudah mulai terbiasa.
Respon kritis duet filsuf mazhab Frankfurt tersebut tertuang dalam bukunya
Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments
(Adorno dan
Horkheimer, 2002: 110).
Di samping kenikmatan terhadap tayangan tersebut, harus diakui
bahwa kemudian akan muncul persoalan baru, misalnya bagaimana bila
seseorang telah kecanduan menonton pelbagai hiburan lainnya di televisi?
Adakah cara terbaik yang dapat dilakukan agar khalayak yang terdampak
tontonan televisi dapat bersikap kritis terhadap media yang satu ini?
Barangkali memang benar apa yang pernah dikatakan oleh Neil
Postman (1985) bahwa televisi menjadi sarana ampuh yang dapat menghibur
diri kita sampai mati. Setiap saat kita dapat menonton televisi dan menikmati
segala macam programnya. Bahkan saat ini setiap orang dapat menonton
televisi di manapun dia mau, di dalam mobil atau dari layar hand phone.
Televisi siap menemani penonton setianya selama dua puluh empat jam
penuh setiap hari.
Kalau televisi begitu kuasa menutup lobang waktu senggang khalayak
dengan berbagai programnya, maka tidak heran jika hegemoni televisi
terhadap khalayak begitu nyata. Jika khalayak bersikap pasif, maka televisi
secara bebas dapat membentuk lingkungan sosial dan intelektual khalayak
dalam pola satu arah.
Karenanya, agar tidak terjebak dalam ―teror‖ televisi yang tiada henti,
Postman mencoba membedakan terlebih dahulu antara teknologi dengan
115
medium, setidaknya untuk memahami tentang apakah televisi itu. Ia
mengibaratkan teknologi seperti otak, sedangkan medium itu adalah
pikirannya. Teknologi hanyalah sebuah mesin. Medium adalah suatu
lingkungan intelektual dan sosial yang diciptakan oleh mesin (Postman,
1985: 84-85). Jadi untuk menjawab apakah televisi itu, Postman lebih
menitikberatkan pembicaraannya pada keyakinannya bahwa televisi sebagai
teknologi bukan sebagai medium.
Dengan
menempatkan
televisi
dalam
pengertian
teknologi,
memungkinkan khalayak untuk terhindar dari posisi terdampak televisi
secara pasif dan mengambil posisi aktif untuk memberikan respon balik yang
kritis pada setiap tayangannya. Jika pada posisi medium, perangkap aforisme
McLuhan menjadi sulit untuk dilepaskan.
Apa yang dipikirkan Postman merupakan tafsir kritis atas aforisme
atau diktum determinisme teknologis Marshall McLuhan yang terkenal: the
medium is the message (medium adalah pesan). Setiap medium, menurut
Postman (1985: 10), seperti halnya bahasa, seharusnya memungkinkan
adanya suatu model wacana yang unik denan menyediakan orientasi yang
baru bagi pemikiran, ekspresi, dan sensibilitas. Hal ini dimaksudkan agar
tidak rancu antara pesan dengan metafora. Sehingga, logis bagi Postman, the
medium is the metaphor.
Lebih keras daripada Postman, Raymond Williams menyindir
rumusan McLuhan yang tidak lebih dari sebentuk formalisme yang
sederhana. Menurutnya, karya McLuhan menempatkan medium televisi
sebagai sesuatu yang mendeterminir: dari determinisme teknologis merembet
kepada determinisme sosial dan budaya.
116
Uraian inilah yang menggarisbawahi prinsip utama Williams (1990:
1) untuk mengawali bukunya kata-kata: ―televisi telah mengubah dunia kita.‖
Bagi Williams, ada dua pandangan penting mengenai teknologi televisi.
Yang pertama ialah pandangan determinisme teknologis yang mengatakan
bahwa televisi dan berbagai teknologi baru telah menciptakan manusia
modern beserta situasinya. Televisi adalah hasil temuan riset ilmiah dan
teknik. Kekuatan televisi sebagai media berita, hiburan dan komunikasi
sosial begitu besar sehingga mampu mengubah berbagai bentuk relasi sosial
kita. Sedangkan yang kedua yaitu pandangan teknologi sebagai gejala yang
televisi sebagai medium atau gejala-gejala dari suatu proses perubahan sosial
yang berlangsung. Dengan kata lain, setiap teknologi adalah produk samping
dari suatu proses sosial yang tidak ditentukan oleh teknologi tersebut
(Williams, 1990: 3-5).
Di luar kedua pandangan besar tersebut masih terbuka ruang yang
luas untuk menghadirkan suatu bentuk penafsiran yang lain yang
memungkinkan pandangan yang lebih terbuka dan objektif tentang teknologi
televisi.
Dampak Televisi: Pembodohan dan Pengasingan
Setidaknya pandangan yang diwakili oleh Postman dan Williams di
atas memberikan bekal bagi setiap aktivitas menonton dari khalayak untuk
lebih kritis dan tidak menerima serta merta medium televisi yang
deterministik. Karena di dalam medium ini banyak sekali hal-hal yang
mendeterminir wacana publik dalam proses sosial dan budaya.
Sekedar contoh, sebut saja dunia selebritas misalnya, semakin
dikupas makin tak pernah tuntas, berita yang sepertinya tak pernah ada habishabisnya. Memang benar televisi benar-benar setia setiap saat menghibur
117
khalayak sampai mati. Suguhan tontonan yang dilakukan oleh para selebritas
di televisi, baik dalam acara reality show, infotainment dan soap opera cukup
menguras dan menyedot perhatian dan waktu khalayak. Kita semua sebagai
khalayak, baik dalam pengertian aktif maupun pasif, membenci atau
menggandrungi selebritas, mau atau tidak mau, pasti pernah terlintas dalam
benak kita tentang nama-nama selebritas ternama. Secara tidak langsung kita
telah mengkonsumsi berita dan hiburan yang mereka suguhkan di sepanjang
hari dalam kehidupan kita. Kita telah menjadi konsumen berita infotainmen
yang menghibur itu.
Kegandrungan masyarakat pada dunia selebritas yang demikian besar,
mengusik nalar sehat kita untuk mengungkapkan lebih dalam lagi tentang
realitas yang sesungguhnya di balik ketenaran para selebritas tersebut. Salah
satu sisi yang menarik dicermati dari para selebritas ialah seperti dipaparkan
oleh Boorstin, bahwa mereka membangun kapasitasnya untuk ngetop,
sebenarnya bukan dengan jalan pencapaian sesuatu yang hebat, melainkan
dengan cara membedakan kepribadian mereka dari yang lain, yaitu dari para
kompetitor mereka di arena publik (Graeme Turner, 2004: 5).
Tindakan membedakan kepribadian dari yang lain tersebut dilakukan
dengan memunculkan keunikan atau tingkah pola yang belum pernah
dilakukan oleh selebritas manapun sebelumnya. Tingkah pola itu dapat
disebut sebagai peran atau memerankan dirinya dengan membedakan diri
dari orang lain. Dalam banyak hal, cara membedakan diri inilah yang
membuat seseorang tidak menjadi diri mereka sendiri. Dalihnya tidak lain
karena tuntutan peran. Dengan demikian, seseorang bisa memainkan peran
menjadi antagonis, protagonis, melankolis, banci, jagoan, dan sebagainya.
Tergantung dari cara bagaimana kepribadian itu ―dibentuk‖. Jadilah para
selebritas tersebut sebagai publik figur.
118
Kepribadian baru yang unik itulah yang melahirkan sosok
―fenomenal‖
di
dalam
pergunjingan
khalayak.
Seolah-olah
sudah
membudaya bahwa menu gossip sehari-hari yang mereka obrolkan
bertemakan tentang selebritas. Karenanya, massa tak dapat membendung rasa
ingin tahu mereka tentang sosok selebritas yang sudah menjadi publik figure,
apalagi yang tengah santer digosipkan dalam infotainment. Oleh karenanya,
begitu sebuah berita tentang seorang artis mencuat ke permukaan dan
menjadi bahan gosip dalam acara infotainment, masyarakat sebagai khalayak
akan setia menemani layar kaca sampai berita yang mereka dapatkan dinilai
telah cukup, atau mungkin sekedar ingin tahu saja. Bahkan belum cukup
rasanya kalau hanya menonton berita infotainment di televisi, sehingga
mereka pun rela membelanjakan uang mereka untuk membeli majalah dan
tabloid yang berkaitan dengan selebritas. Rasa keingintahuan, penasaran dan
ketagihan inilah yang menciptakan situasi dan kondisi alam berpikir
masyarakat kita, bahkan juga gaya hidup (life style) yang dikonstruksi oleh
media televisi.
Televisi menyuguhkan setidaknya ada tiga yang paling penting
berdasarkan kategori program acara selebritas, yaitu: (1) infotainment; (2)
reality show (termasuk juga talk show), dan (3) soap opera . Sekedar contoh,
dalam infotainment ditayangkan beberapa tayangan gosip seperti: Insert
TransTV, Silet, Ada Gosip, Celebriti Update, Espresso ANTV, Kasak Kusuk,
Kassel TPI, Kroscek, Obsesi Global TV dan Silet. Sedangkan dalam Reality
Show ada: Dangdut Mania, Indonesian Idol, KDI, Mamamia, Stardut, Super
Soulmate dan Super Twin, dalam Talk Show ada: Belum cukup Gede,
Ceriwis, Dorce Show, Empat Mata, Hitam Putih, dan Silat Lidah. Kemudian
dalam Soap opera misalnya ada: Office Boy (OB) di RCTI dan Kejar Tayang
di Trans TV.
119
Di channel Trans TV saja, acara gosip selebritas yang dinamai Insert
ditayangkan sampai tiga kali dalam sehari dimulai hari Senin-Minggu, yaitu
pada jam 06.30 (Insert Pagi), Insert Siang jam 11.00 (Insert Siang), dan jam
16.30 (Insert Sore). Ini berarti, seperti halnya waktu makan kita bisa diatur
oleh televisi sedemikian pastinya. Menonton acara Insert menjadi hal biasa
bagi keluarga, hal itu dapat diibaratkan seperti makan tiga kali dalam sehari.
Demikian padat dan pesatnya perkembangan acara hiburan di televisi
sehingga memasuki ruang dan waktu khalayak terlalu dalam. Televisi
menghibur dengan berbagai tayangan, yang seperti kata Adorno dan
Horkheimer membodohkan. Kesenangan yang ditawarkan media hanyalah
berupa kebohongan-kebohongan semata, bahkan lebih dari itu, televisi
mempunyai dampak pengasingan. Penting dipahami bahwa media televisi
pada kenyataannya dapat mengasingkan diri khalayak dari kehidupan
nyatanya dan memperlakukan semua penonton sama tanpa terkecuali (Keith
Tester, 1994: 57).
Dialog Media Televisi Selalu Monolog
Apa yang diuraikan oleh Postman dan Williams sebenarnya
menegaskan bahwa media televisi berimplikasi terhadap nilai moral dan
khususnya budaya. Medium televisi yang deterministik membenarkan
penciptaan dan perubahan nilai moral dan budaya dalam masyarakat. Jauh
sebelum Postman dan Williams mengkritisi determinisme teknologis, Adorno
dan Horkheimer telah lebih dulu menyamakan media dengan barbarianisasi
kemanusiaan, nilai seni, sastra dan semua hal lain yang seharusnya punya
makna penting. Menurut mereka, kesenangan yang ditawarkan televisi tidak
lain hanyalah berupa kebodohan-kebodohan.
120
Rekan mereka yakni salah satu filsuf masyhur dari Mazhab Frankfurt,
Herbert
demikian
Marcuse
itu
menyebutkan
pada
dasarnya
bahwa
kesenangan-kesenangan
yang
adalah
sebentuk
yang
penindasan
membahagiakan atau apa yang sering dikenal sebagai ‖desublimasi represif‖.
Budaya industri membuat kita tidak bisa berimajinasi tentang adanya
kemungkinan perbedaan kualitatif yang signifikan, misalnya bagaimana
membedakan antara seorang selebritas dengan dirinya sendiri sebelum
menggenggam ketenarannya. Bahwa beberapa hubungan sebab dan akibat
serta aksi dan respon diasumsikan terdapat dalam hubungan antara televisi
dan khalayak.
Ketika membahas tentang media dalam bab The Culture Industry:
Enlightenment as Mass Deception, Adorno dan Horkheimer (2002: 128-136)
menegaskan bahwa dialog media televisi betul-betul sebuah monolog pada
pihak budaya industri. Setidaknya ada tiga persoalan penting yang mereka
berdua rumuskan: pertama, bahwa budaya industri melihat dan menciptakan
khalayak tunggal, kedua, khalayak monolitik yang tunggal dari budaya
industri ini adalah massa yang pasif dan ketiga, bahwa massa khalayak
tunggal masing-masing individu merasa asing dengan individu lainnya. Bagi
mereka, media komunikasi modern punya dampak pengasingan, bukan
sekedar paradoks intelektual. Media mengubah kita menjadi individu yang
terasing. Media melakukan hal ini pada semua orang tanpa kecuali. Paradoks
yang mereka sorot mempunyai dua komponen: pertama, paradoks itu berarti
kita mengalami media itu seorang diri, dan kedua, ia berarti media
memperlakukan kita seolah-olah kita semua sama. Media memiliki dampak
menurunkan level semua individu, sehingga dari sudut pandang budaya
industri, semua individu tersebut betul-betul sama dalam semua hal penting.
121
Proses penurunan level khalayak ini secara khusus dapat dicermati
dengan sangat jelas dalam kasus pemujaan terhadap selebritas atau seorang
bintang film. Tren hidup selebritas, sebut saja contoh seorang bintang film,
memiliki mekanisme sosial yang sudah menyatu untuk menurunkan level
semua orang yang menonjolkan diri dengan cara apapun. Televisi dapat
mengisahkan kepada khalayak bahwa artis atau bintang film itu benar-benar
cantik dan memiliki kemampuan untuk ―menghipnotis‖ lawan jenisnya. Artis
atau bintang film sebagaimana dirasukkan oleh televisi telah menjadi contoh
yang harus khalayak ikuti. Di sinilah letak proses penurunan level itu, bahwa
jika selebritas itu tidak diikuti dengan baik sebagaimana gaya hidup dan
penampilan yang dicontohkan olehnya, maka kita akan menjadi orang yang
tidak menarik atau orang yang mempunyai penampilan seksual sangat jelek.
Kuno, ketinggalan jaman dan tidak mengikuti tren (unfashionable). Dengan
demikian, seperti kata Tester (1994: 60) bahwa semua khalayak direduksi
sampai ke tingkat dimana kita menjadi sama seperti selebritas yang satu atau
selebritas lainnya.
Media menantang semua yang menonjolkan diri sebagai sesuatu
yang berbeda darinya. Demi kepentingan media dalam membentuk dan
mempertahankan kepasifan dan ketradisionalan khalayak, semua perbedaan
sosial budaya, semua hubungan dan aktivitas yang spesifik dan semua
aktivitas yang menjadikan kita seperti sekarang, menjadi sesuatu yang akan
dimarjinalkan. Khalayak betul-betul dalam proses dibodohkan terus-menerus.
Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa televisi terus berusaha
membodohi kita dengan cara memaparkan kepada penontonnya agar
senantiasa terjaga untuk terus berusaha memperbaiki diri dalam rangka
menyerupai diri dengan tuntutan budaya industri. Karenanya, penonton
tergiring kesadarannya ke arah antusiasme untuk mencari, mengoleksi dan
122
membaca pelbagai buku manual tentang perbaikan diri atau biografi
selebritas untuk bisa mendapatkan tips agar menjadi orang yang sukses, atau
kita menyesuaikan diri dengan membuat alasan yang dibolehkan kolom
astrologi. Media televisi memperlakukan kita sebagai bagian dari massa, dan
memaksa kita untuk bertindak dan berpenampilan seperti orang lain.
Khalayak dikutuk untuk menubuhkan selebritas kesukaannya di
dalam nalar-nalar dan kesadarannya. Di hadapan media televisi, kita selalu
dalam ancaman pembodohan dan bayang-bayang kesenangan yang
berlangsung terus menerus. Kita begitu lemah di hadapan budaya industri,
akibatnya kita mengidolakan selebritas, khususnya ketika mereka muncul
sebagai tokoh yang perkasa. Tetapi tentusaja para selebritas juga menjadi
korban dari budaya industri. Dengan adanya media televisi, kita jadi lupa
bagaimana berbicara satu sama lain. Media televisi telah mengubah massa
khalayak menjadi sekumpulan individu yang terisolasi dan dengan demikian
media memainkan peran dalam meninggalkan ikatan moral
yang
menghubungkan kita bersama. Media telah menghancurkan ikatan solidaritas
sosial dan moral. Kemajuan membuat manusia ―terpisah-pisah‖. Khalayak itu
penting sebenarnya karena proses dehumanisasi yang dilancarkan dan telah
menimpa dirinya. Khalayak seharusnya menjadi teman dalam sebuah dialog.
Bukannya dialog, media malahan tidak melakukan apa-apa selain monolog
yang membuat individu tetap berada dalam keadaan khalayak terasing dari
yang lain. Media mengasingkan individu dari yang lainnya dalam pengertian
moral dan sosial sehingga membuat khalayak tak kuasa memberikan umpan
balik (Tester, 1994: 63-65).
Televisi telah melahirkan sebentuk hiburan yang menyebabkan
kerusakan moral atas kebudayaan. Industri hiburan atau dalam apa yang
sebut Adorno dan Horkheimer sebagai ―industri kebudayaan‖, telah
123
merampok kesadaran khalayak atau konsumen untuk dibius dalam programprogram yang penuh dengan omong kosong. Kekuataan posisi industri
kebudayaan sangat menentukan seberapa besar kebutuhan konsumen.
Bahkan lebih dari itu, sikap abai nalar kritis atas serbuan industri kebudayaan
dapat melumpuhkan konsumen dan membuatnya terdisiplinkan secara tak
sadarkan diri. Industri kebudayaan akan terus memberikan undangan terbuka
kepada khalayak untuk mengikuti kesenangan-kesenangan yang ditawarkan.
Dapat dibayangkan, khalayak lebih taat dan dapat mendengarkan dengan
baik pesan-pesan industri kebudayaan daripada pesan-pesan teologis
agamanya sendiri, lebih mau menyesuaikan diri dengan bujuk rayu televisi
daripada nasehat orang tua atau gurunya, lebih merasa iba dengan program
menghibur orang miskin yang cuma bersifat sementara itu daripada programprogram pengentasan kemiskinan yang lebih nyata dan berjangka panjang.
Dengan fakta itu, perlawanan terhadap industri kebudayaan dapat dikatakan
sebagai pekerjaan yang sia-sia. Apalagi melihat di antara mereka yang
terlibat langsung sebagai anggota komisi penyiaran pusat ataupun daerah
yang semakin mahir memainkan teori-teori media dan komunikasinya untuk
menjustifikasi pelbagai tayangan yang seharusnya dilarang atas dalih rating
atau tingkat kepuasan konsumen, rasionalisasi hiburan ataupun pemenuhan
kebutuhan publik. Inilah faktanya, bahwa industri kebudayaan benar-benar
telah menyebarkan kepalsuan atau kebohongan yang menyenangkan dan
diterima luas oleh banyak orang. Terkadang setiap kritikus televisi juga telah
tumbuh di kepalanya kemauan untuk ditindas oleh televisi. Pada saatnya,
kritik itu akan dibeli juga oleh media untuk diakunya sebagai bentuk
akomodasi dan keterbukaan, meskipun pada gilirannya, proyek utama media
tersebut adalah pengasingan dan pembodohan.
Kesimpulan
124
Terjadinya pengasingan dan pembodohan ini adalah konsekuensi dari
posisi televisi yang terlibat aktif menghibur khalayak. Dalam arti bahwa
televisi dapat dengan leluasa memberikan inspirasi atau model mulai dari
yang palign remeh temeh seperti menu sarapan terlezat sampai dengan gaya
hidup selebritas yang menggoda untuk diikuti. Inilah sebentuk upaya sapaan
atau respon televisi terhadap khalayak yang sebenarnya menipu. Industri
hiburan, dengan demikian, akan selalu menipu khalayak dengan janjijanjinya secara abadi. Kesenangan yang diberikan media itu tidak lain adalah
pengasingan tanpa batas. Yang perlu disadari justru adalah bahwa teks
televisi sebenarnya bersifat dialogis dan selalu memprovokasi respon dari
khalayaknya. Dialog teks televisi dapat dianggap serupa dengan ceramah
atau kuliah akademis. Sehingga dalam anggapan demikian, khalayak dapat
memberikan umpan balik kritis dalam perdebatan budaya yang secara tidak
langsung ditawarkan oleh dialog media itu yang senantiasa mentransmisikan
pesannya secara monolog. Industri kebudayaan akan selamanya dalam masa
kejayaannya selama nalar-nalar kritis khalayak lelah melakukan tugasnya
untuk terus melawan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, Theodor W. dan Max Horkheimer.
Enlightenment: Philosophical Fragments.
Stanford University Press
2002. Dialectic of
Stanford, California:
Dictionary of Media Studies .London: A & C Black, 2006
Burton, Graeme. 2011. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kajian
Televisi, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra
Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the
Age of Show Business. New York: Penguin Books
Postman, Neil. 2009. Selamatkan Anak-anak, terj. Sita Hidayah .
Yogyakarta: Resist Book
Tester, Keith. 1994. Media, Culture and Morality. London: Routledge
Turner, Graeme. 2004. Understanding Celebrity.(London, Thousand Oaks,
dan New Delhi: Sage
Williams, Raymond. 1990. Television: Technology and Cultural Form
(London: Routledge.
Wolton, Dominique. 2007. Kritik atas Teori Komunikasi: Kajian dari Media
Konvensional hingga era Internet, terj. Ninik R.S. Yogyakarta:
Kreasi Wacana
126