REVOLUSI MENTAL DALAM PERSPEKTIF islam
REVOLU“I MENTAL DALAM PER“PEKTIF1
Oleh Aprinus Salam
Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM
0.
Saya diminta untuk membicarakan berbagai kemungkinan hubungan dan
sinergitas revolusi mental dan upaya pemberdayaan industri kreatif masyarakat.
Tentu ini pembicaraan yang menarik dan penting, tetapi sekaligus problematis.
Untuk itu, kita perlu membicarakan konsepnya, preseden historis kulturalnya, dan
kondisi-kondisi situasional yang telah dan tengah berlangsung.
1.
Re olusi Me tal dikonseptualisasikan sebagai upaya sengaja (sadar) dan drastis
mengubah kondisi mental, meliputi cara berpikir, karakter dan kepribadian, dari
satu kondisi tidak kondusif ke kondisi kondusif. Kondisi mental yang dianggap
kondusif tersebut adalah suatu mental yang sigap dan tangkas menghadapi
berbagai perubahan, memiliki kemandirian dan kemerdekaan pribadi, rasional
dan luas dalam berpikir, tahan terhadap godaan-godaan yang melanggar norma
dan etika, mau bekerja keras membangun kedaulatan politik, ekonomi, dan
budaya bangsanya/negaranya.
2.
Dalam lapis dan spektrum yang luas, tujuan dari suatu proses berkehidupan dan
berkebudayaan adalah suatu usaha bersama, dalam suatu bangsa dan negara
tertentu, berdasarkan potensi-patensi yang dimilikinya, berdasarkan kemampuan
akal, budi, dan kreativitasnya, menuju suatu kehidupan yang indah,
membahagiakan, dan memakmurkan. Artinya, posisi re olusi e tal , adalah
salah satu upaya atau cara menuju ke arah tujuan berkehidupan dan
berkebudayaan tersebut.
3.
Persoalannya, tidak mudah mengubah kondisi mental itu secara drastis. Banyak
hal yang perlu diperhitungkan, terutama nilai-nilai dan norma budaya yang
menjadi tempat berpijak seseorang atau masyarakat dalam menjalankan
kehidupannya. Hal lain yang peru diperhitungkan kondisi geografis, komposisi
besaran dan struktur penduduk, agama, dan preseden-preseden sejarah budaya
masyarakat bersangkutan.
Amerika, berdasarkan preseden historis dan kulturalnya, harus berperang
(internal) sekitar 100 tahun, yang memakan korban jutaan jiwa, sehingga, dalam
1
Tulisan pengantar untuk Seminar Nasional di FSSR UNS Solo, 22 Desemer 2014.
prosesnya, bangsa Amerika sangat berhati-hati membangun karakter bangsanya,
dan terus enerus berporses, dan jadilah seperti bangsa Amerika sekarang. Dengan
berbagai kekurangan, kita tahu bahwa Amerika merupakan negara paling kuat,
paling maju, paling makmur, dan mungkin paling kreatif di dunia.
Beberapa negara di Eropa, yang telah memiliki universitas pada sekitar abad ke10-11, perlu perang puluhan dan ratusan tahun di antara sesama mereka, dan
memakan korban jutaan jiwa, dalam berbagai maksud membangun dan
mempertahankan karakter bangsa mereka. Perang-perang tersebut membentuk
karakter mental mereka menjadi manusia-manusia tangguh. Jerman, Inggris, dan
Perancis berdiri di depan sebagai negara-negara terkemuka di dunia. Bukan saja
perekonomian mereka kuat, tetapi banyak temuan orisinal dan kreatif yang
ditemukan oleh warganya dan banyak hal yang kita tiru dari ba gsa Eropa
tersebut.
Pada tahun 1500-an sebelum Masehi, Cina telah memiliki kerajaan besar. Dalam
rentang ratusan tahun, Cina mengalami horeg internal ratusan tahun. Jutaan
nyawa punah. Bangsa Cina berjuang keras (mungkin terlalu keras) mengatasi
berbagai masalah dalam dirinya. Berbagai peraturan dibuat dan ditegakkan
dengan keras. Bahkan siapa yang ketahuan meludah sembarangan, akan dihukum
atau didenda satu sampai dua juta rupiah (bila dirupiahkan), tanpa ampun. Kini,
orang Cina bisa membuat apa saja sehingga muncul ungkapan; Tuhan
menciptakan manusia, selain itu buatan Cina.
Dalam cara yang lain, Cina menerapkan hukuman mati bagi para koruptor
sehingga hampir sekitar 13.000 an orang dihukum mati per tahun untuk menekan
atau
e bas i karakter korup ba gsa tersebut. Sekarang, Cina telah keluar
dari 20 negara paling korup di dunia, yang sebelumnya termasuk 5 negara paling
korup. Jepang, yang berujung pada restorasi meiji, sebelumnya telah memakan
korban ratusan ribu orang untuk mengubah bangsanya menjadi modern dan
maju dalam koridor budaya Jepang. Korea Selatan dan Singapura menerapkan
aturan yang ketat dalam berbagai praktik ekonomi sehingga dalam beberapa hal
cukup sukses membangun kemajuan negara. Khusus untuk Korea Selatan,
industri kreatif mereka, katakanlah begitu, bisa menyumbang ke negaranya lebih
dari 200 trilyun per tahun.
Sebaliknya, India tidak banyak melakukan perubahan. Di negara ini masih terjadi
perang-perang secara internal dan telah berjatuhan jutaaan nyawa. Sebagai
akibatnya, pada tahun 2008, terdapat 200 juta orang kelaparan di berbagai
wilayah India. Sekitar 550 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Cerita yang
lebih kurang senada terdapat di negara-negara Afrika. Kita tahu, sejumlah negara
Afrika hingga hari ini masih hidup dalam kemelaratan, kelaparan, dan
kedaruratan. Apa yang terjadi di negara bersangkutan? Kondisi-kondisi apa yang
menyebabkan terjadi atau tidak terjadinya perubahan (tidak adanya revolusi
mental?) Pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, bagaimana dengan
Indonesia?
4.
Sebetulnya, preseden historis-kultural Indonesia tak kalah panjang. Pada abad ke
6-7, kita telah memiliki kerajaan yang cukup besar, Sriwijaya. Di Jawa, kita
disisakan sedikit pengetahuan tentang ilmu pengetahuan teknologi abad ke-8,
Borobudur. Akan tetapi, kita tahu, Sriwijaya, sebagai satu sistem politik, sosial,
ekonomi, dan kultural, hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Pada abad
ke-13, kita juga memiliki kerajaan yang lebih besar, Majapahit. Sangat miskin
informasi dan ilmu pengetahuan Majapahit yang sampai ke kita. Setelah itu,
kerajaan-kerajaan di Indonesia sibuk mengurus dirinya masing-masing. Beberapa
masih eksis hingga sekarang, terutama kerajaan Kesultanan Mataram.
Kita juga mengalami berbagai peperangan, baik internal kerajaan-kerajaan di
Nusantara, ketika melawan penjajahan, dan perang-perang antaretnis, perang
politik internal (misalnya peristiwa 1965 dan 1998), dan sebagainya. Banyak
konflik lebih sebagai ambisi-ambisi merebut sumber-sumber ekonomi dan
prestise kekuasaan. Filosofi dan ideologi
u pu g berkuasa menyebabkan
jangkauan pandangan sejarah bangsa Indonesia tidak cukup panjang ke depan,
dan ingatan kolektifnya juga pendek. Tampaknya pengaruh agama dan nilai-nilai
kultural cukup berpengaruh bahwa dunia ini fana, dunia ini cuma tempat untuk
mampir ngombe, sehingga tidak perlu serius-serius amatlah dengan kehidupan
duniawi.
Terjadi beberapa perubahan penting dalam diri warga Indonesia ada tahun 1900a . Terlepas itu sebagai hasil politik etis pe jajah , tetapi ta pak ya, kalau bisa
disebut, ada semacam revolusi mental yang terjadi pada sejumlah elite orang
Indonesia. Dalam konteks itu, keterdidikan menjadi pemicu revolusi mental.
Maka terjadi berbagai aktivitas yang penting yang dipelopori sejumlah elite,
terlaksana berbagai Konggres, termasuk konggres Pemuda, Budaya, dan
sebagainya. Sejumlah orang mendirikan partai-partai politik, sindikat-sindikat
ekonomi, organisasi budaya, dan seterusnya. Dan kemudian, Indonesia merdeka.
Ternyata Indonesia tidak siap mengisi kemerdekaan. Soekarno, yang lebih
berpikir politis, ekonominya kedodoran, negara inflasi hingga 600%. Terjadi
kemiskinan dan kelaparan di sejumlah tempat. Tidak ada perubahan penting pada
masa-masa itu. Pemerintahan tidak stabil, warga tidak sempat duduk untuk
berpikir dan berkarya. Dalam bidang seni, sastra dan budaya, pada masa itu
adalah masa-masa yang memprihatinkan. Soekarno ditumbangkan.
Pada masa Soeharto, pembangunan memang berjalan dan cukup banyak
ke ajua . Aka tetapi, “oeharto e ilih jala berbahaya dala kebijaka -
kebijakan ekonominya. Terbukti, pada tahun 1998 Soerhato menyerah. Bukan itu
saja, Soeharto juga memilih jalan runyam bagi arah dan kreativitas warga
Indonesia. Kita tahu, berbagai proses berpikir, kebebasan, kemandirian, dan
kedaulatan warga untuk menjadi warga merdeka relatif dipasung. Padahal, halhal itu tak pelak merupakan amunisi penting bagi proses-prosses mentalitas dan
karakter yang kondusif, kreatif, dan berdaulat.
Alhasil, kondisi kita hari-hari ini adalah sekitar 8 juta-an orang masih hidup
sebagai pengangguran (pada usia produktif), sekitar 28 juta orang hidup di bawah
garis kemiskinan (data 2013). Indonesia masih termasuk 10 negara paling korup di
dunia, kekayaan Indonesia dipegang oleh sekitar 5% para elit dan penguasa
ekonomi, di sejumlah daerah masih ada beberapa kelaparan,
index
pembangunan SDM ada di posisi 113-115 (dari sekitar 140 negara yang diindex),
birokrasi kita masih berbelit-belit dan menyebalkan, konsumtivisme masih
merajalela, orang memilih berobat ke Singapura daripada di rumah sakit
Indonesia, jalan-jalan semakin padat dan macet, kriminalitas meningkat, membeli
pakaian yang penting mahal, dan kita adalah orang yang memiliki sejumlah gejet
yang hanya dipakai untuk selfie, dan bernarsis-ria di Face Book, Instagram, dan
Path, dan seterusnya.
Dan untuk itu, untuk mengatasi masalah itu, katanya, (kembali) kita
membutuhkan revolusi mental, bukan revolusi fisik, karena kalau revolusi fisik,
akan terbunuh (kembali) ribuan orang.
5.
Secara kultural, ada hal-hal menarik. Orang Minang, jika ingin mengembangkan
karier dagangnya, mereka hijrah ke kota lain untuk mencari nafkah. Sebagian
besar orang Minang sukses di perantauan. Sejumlah orang Minang menjadi orang
penting di pusat pemerintahan. Orang Batak juga banyak yang memiliki
keberanian untuk hijrah dan sebagian dari mereka menjadi pengacara yang topmarkotop. Walaupun dengan alasan yang sedikit berbeda dengan orang Minang,
Orang Makasar dan Bugis, dan Madura, dalam cara dan maksud yang lebih kurang
sama, pindah ke kota/tempat lain untuk mencari kehidupan yang layak. Sebagian
besar mereka sukses di perantauan dan kesuksesan itu mereka ciptrakan di
kampung halaman mereka. Yusuf Kalla dan Jenderal Andi Yusuf merupakan
representasi dari mereka.
“eju lah ora g terpaksa
e jadi TKI/TKW di negari lain, untuk memperbaiki
kehidupan mereka. Menjadi TKI/TKW (termasuk orang Jawa) tentu membutuhkan
keberanian dan ketabahan mental. Banyak yang sukses di antara mereka, tetapi
tidak urung banyak yang gagal dan mengalami penyiksaan. Apakah hijrah mereka
dalam beberapa hal setara dengan tindakan revolusi mental?
Orang dan budaya Jawa yang kita kenal dan dipahami (katakanlah yang berporos
Yogya da “olo), pu ya filosofi , alon alon waton kelakon, mangan orang
mangan sing penting ngumpul, dan sebagainya. Artinya, walau tidak banyak,
orang Jawa yang bersedia menjadi TKI/TKW, mereka yang menjadi TKI/TKW
sudah melakukan revolusi mental yang luar biasa dan habis-habisan. Bahkan
mereka siap untuk berkorban menjadi dan demi apa saja, asal ada perbaikan
terhadap ekonomi keluarga mereka. Akan tetapi, mereka menjadi TKI/TKW
karena sangat terpaksa karena negara tidak mampu memperkerjakan dan
memberi kelayakan hidup.
Dalam perspektif budaya, secara umum budaya-budaya di Indonesia (terutama
Jawa) basis nilainya adalah keharmonisan, kebersamaan, bukan progresifitas.
Artinya, kemenonjolan, bahkan prestasi, jika itu dianggap mengganggu harmoni,
e gga gu kebersa aa , ora g Ja a bersedia e galah da
e eka
berbagai keinginannya untuk tidak terlihat menonjol dan berprestasi. Walaupun
nilai-nilai tersebut sudah bergeser adanya, tetap saja orang Jawa masih banyak
yang merasa tidak nyaman dengan kemenonjolan diri.
Sebagai mayoritas warga Indonesia, tentu orang Jawa yang paling menyangga
beban Indonesia. Daya tahan dan kemapanan filosofi dan etik orang Jawa
menyebabkan mereka berdiri sebagai center of excellent orang Indonesia. Tidak
terhitung prestasi yang telah dibuat orang Jawa. Satu kelebihan orang Jawa yang
paling signifikan, dalam hubungannya dengan revolusi mental dan kreativitas,
adalah sikap nrima, yang bisa diterjemahkan secara sangat luas. Apa dan siapa
saja diterima oleh Jawa tanpa konlik yang mengganggu, karena mereka memang
nrima apa adanya. Kelak, kondisi ini menjadi preseden penting bagi porses-proses
kreatif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa secara kultural kebudayaan kita tidak cukup
mengajarkan kita menjadi sosok yang mandiri. Tidak dari kalangaan orang kaya
ataupun miskin, nilai dan ideologi sayang anak tampak menjadi berlebihan
sehingga banyak orang Indonesia pada saatnya tidak siap untuk mandiri, bukan
saja secara ekonomi, juga politik dan budaya. Pengakuan dan legitimasi kultural
terhadap hierarki tua muda, senior yunior, orang baru orang lama, menyebabkan
proses regenerasi relatif terhambat. Sebagai resikonya, kita tahu bahwa
independensi, kemandirian, dalam masyarakat nyaris menjadi barang langka.
Bahkan hanya untuk menyatakan pendapat saja kita mengalami ketakutan, takut
berbeda, takut tidak direstui, takut dinilai tidak pas, atau bahkan khawatir dinilai
bodoh. Dalam konteks ini revolusi mental sungguh mendapat tantangan yang
serius. Butuh keberanian luar bisa untuk dan dalam diri kita mempraktikkan
kriteria revolusi mental.
Memang, adalah kenyataan bahwa sudah banyak pula orang Indonesia yang
mengalami loncatan, baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Bahwa kisah
orang miskin menjadi pengusaha sukses, orang biasa menjadi politisi handal, atau
seseorang bisa menjadi intelektual bermartabat, bukan cerita baru di Indonesia.
Secara khusus, fenomena Jokowi memperlihatkan bahwa sekarang siapa saja,
dari kelas sosial apa saja, bisa menjadi orang paling top di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Jokowi, yang pada tanggal Mei
4 e ulis Re olusi
Me tal di Kompas, karena ia dulu-dulu telah melakukan revolusi mental?
Apakah Jokowo layak disebut sebagai contoh orang yang telah melakukan
revolusi mental itu sendiri. Apa indikatornya?
Beberapa kasus yang bersifat individual (bukan kultural), mungkin tak pelak bisa
disebut sebagai seseorang yang mengambil tindakan radikal mengubah strategi
hidupnya, atau mungkin pada tataran tertentu disebut revolusi metal. Seseorang
yang merasa dihina karena ditolak calon mertua karena dianggap dari keluarga
miskin, maka bisa jadi orang tersebut akan mengubah kinerja hidupnya menjadi
seorang pembelajar dan pekerja keras hingga sukses menjadi orang. Akan saya
buktikan bahwa saya layak mendapatkan anak Bapak/Ibu. Akan saya buktikan
bahwa bapak/Ibu menyesal telah menolak saya .
Misal lain, tersebutlah seorang laki-laki yang telah berkeluarga, yang hobinya
mabuk dan berjudi, tanpa disadari uangnya habis, padahal anaknya (tidak
ketetahui apakah anak satu-satunya atau tidak) dalam keadaan sakit. Karena
tidak punya uang si laki-laki tadi tidak mau dan tidak mampu mengobati anaknya.
Nyawa di tangan Tuhan, tetapi yang jelas anak laki-laki pemabuk/penjudi tadi
meninggal tidak terobati. Istrinya kecewa dan minta cerai. Si laki-laki pemabuk
dan penjudi itu demikian terpukul, dan suatu malam ia berjanji mengubah
mentalitas dirinya demikian drastis untuk menjadi orang baik-baik, dan
mengabdikan dirinya dengan bekerja keras untuk masa depan yang cerah.
Kisah di atas tentu kadang seperti dongeng. Akan tetapi, kita tahu bahwa kisah
seperti itu ada. Berbagai versi cerita yang bersifat individul mungkin beratus dan
beribu ragam kejadian. Masalahnya apakah seseorang untuk mendapatkan
revolusi mental, ia harus dihina dulu, ia harus menjadi pesakitan lebih dahulu, ia
harus tersiksa dan disiksa dulu, ia harus di-kapok-kan lebih dahulu?
6.
Dalam kenyataan sosial, baik karena tekanan historis dan/ataupun dorongan
modernitas dan kapitalisme telah bertumbuhan pula jenis mentalitas baru yang
dimungkinkan oleh modernisasi dan kapitalisme untuk memiliki harapan dan citacita baru yang lebih mengakomodasi tuntutan masyarakat baru tersebut. Dalam
praktiknya, terjadi permisifikasi berbagai tindakan dan prilaku sehingga segala
cara boleh ditempuh untuk mengejar harapan dan cita-cita tersebut.
Bagi masyarakat modern dan kapitalis, dan Indonesia tidak bisa dibantah adalah
bagian dari negara seperti itu, telah mengondisikan masyarakat terlibat aktif
untuk percaya bahwa kekuasaan bukan pada kekuatan dan ketangguhan mental,
tetapi pada ketangguhan modal. Orang menjadi tangguh, kalau modal kuat dan
banyak. Sebagai akaibatnya, sangat mungkin masyarakat percaya bahwa mental
bisa dibeli. Sesuai dengan konsep di atas, kondisi mental bisa disetel sesuai
dengan kebutuhan, sesuai dengan wani piro.
Kondisi itu perlu diperhitungkan dengan asumsi bahwa kesetiaan, kedisiplinan,
kejujuran, kerja keras, bahkan resionalitas dan pengetahuan, bisa dibeli dan
dikondisikan oleh modal. Kita mendapat informasi bahwa banyak orang hebat
Indonesia bekerja di luar negeri karena mendapat gaji yang besar dan fasilitas
yang memadai. Itu juga mengimplikasikan bahwa gaji di Indonesia kecil dan
fasilitas tidak memadai. Kita mendapat cerita bahwa banyak orang bekerja asalasalan, terpaksa korupsi dan manipulatif, karena kita tahu sama tahu bahwa
pendapatan kita kecil sekali, tidak sesuai dengan profesionalitas pekerjaan kita.
Pertanyaannya, apakah jika di Indonesia orang digaji besar dengan fasilitas
memadai, lantas bisa dipastikan mereka tidak korupsi dan bekerja dengan baik.
Jawabannya ternyata juga tidak. Lantas dimana kesalahannya?
Pendidikan, yang diharapkan bisa menjadi tempat persemaian revolusi mental,
hingga kini terbukti lebih sebagai ajang formal untuk mendapatkan modal
simbolik daripada suatu tempat pengakumulasi pengetahuan. Pendidikan formal
diharapkan berperan terhadap perubahan-perubahan mental dan kontrol
terhadap arah dan tujuan kebudayaan menjadi tak kunjung berdaya. Bahkan,
pendidikan kini tidak lebih berposisi sebagai agen kapitalisme, dan ke depan
justru memperkuat bangunan dan sistem kapitalisme itu sendiri. Hal itu juga
sudah diingatkan oleh para pemikir, terutama yang paling mutakhir adalah
Bourdieu.
Itulah sebabnya, di samping itu, telah pula terjadi pe be tuka
ilai-nilai lain
dalam kehidupan kita yang bisa disebut sebagai mental pragmatis. Tujuan
kegunaan yang diorientasikan pada kepentingan pasar jauh lebih penting sebagai
bahan kalkulasi seseorang atau masyarakat dalam menjalani masa depan.
Artinya, perlu diperhitungkan berbagai kekuata ideologis ya g e gatur da
mengkonstruksi struktur, komposisi, dan relasi-relasi dalam masyarakat (dan
negara) sehingga berbagai peluang terjadinya revolusi mental seperti merangkak
ke jalan buntu.
Kekuatan media (penghiburan), sebagai salah satu agen kapitalisme, berpengaruh
penting terhadap pembentukan mentalitas. Acara-acara atau program hiburan
populer disaksikan dengan hiruk-pikuk, dan mimpi menjadi populer, artis, musisi
terkenal, adalah mimpi yang mulai banyak digandrungi. Mungkin untuk
mendapatkannya, akan terjadi apa yang juga disebut sebagai revolusi mental.
Akan tetapi, tujuannya jelas berbeda dengan revolusi mental yang
dikonseptualisasikan.
Dengan demikian, terlalu bersahaja bila mengaitkan revolusi mental dengan
pengembangan industri kreatif jika itu dimaksudkan dan dengan mendapatkan
modelnya seperti Korea Selatan. Industri kreatif tidak membutuhkan revolusi
mental seperti yang dikonsptualisasikan. Akan tetapi, revolusi mental bisa dimulai
dengan proses-proses kreatif.
7.
Berdasarkan keterangan di atas, agak sulit mencari dan mendapatkan basis
kultural untuk melakukan sesuatu yang disebut revolusi mental, dan mungkin
juga tidak penting. Preseden perang, horeg, gonjang-ganjing, cheos, dan berbagai
konflik memang didahului oleh satu kondisi degradisi dan ketimpanganketimpangan relasi ataupun struktur dalam masyarakat. Akan tetapi, hal itu tidak
bisa dikatakan sebagai akibat atau dampak, bahkan mungkin bertentangan
dengan revolusi mental, jika itu direferensikan sebagai satu tindakan drastis
dalam mengatasi keadaan yang tidak kondusif.
Sebaliknya, revolusi mental bisa saja merupakan satu kondisi pra atau pasca
horeg dan gonjang-ganjing dalam diri seseorang, atau suatu masyarakat, yang
diharapkan setelah itu terjadi kestabilan yang kondusif. Kepada mereka yang
merasa kapok, terhadap berbagai preseden yang membuat kehidupan menjadi
kacau-balau, banyaknya kelaparan dan kemiskinan, banyaknya kekerasan dan
krimitalitas, dan kondisi mental itu secara per orangan atau kolektif berusaha
dilestarikan dan dipertahankan, demi satu tatanan kehidupan yang nyaman,
indah, makmur, dan membahagiakan.
Terlepas dari sulitnya mencari basis kultural rovolusi mental, tuntutan revolusi
mental juga membebaskan negara dari tuntutan moralnya menjaga dan
mempertahankan mutu kemanusiaan warganya. Bagaimanapun, negaralah yang
memiliki kekuasaan, yang memiliki aparat hukum represif dan ideologis, sehingga
negara justru memiliki perluang besar untuk menyelenggarakan revolusi
moralnya. Negaralah yang seharusnya lebih dituntut untuk menegakkan revolusi
moralnya, sehingga revolusi mental warga/rakyat dapat bermunculan dengan
sendirinya. Untuk itu negara perlu melakukan strategi pembangunan berbasis
moral
Revolusi mental terkesan bersifat kultural, dan dalam konotasi dan konteks lokallokal bagi setiap negara atau bangsa. Tentutan revolusi mental tidak bisa dikenai
secara merata untuk berbagai masyarakat di Indonesia. Cita-cita, mimpi-mimpi,
dan ideologi masyarakat/warga berbeda-beda. Artinya, perlu upaya
u i ersalisasi ko septual ya g a pu e gatasi hal-hal yang bersifat kultural
dan lokal. Benang merah universalisasi itu terdapat pada nilai-nilai kebajikan yang
diakui semua agama, semua suku-bangsa dan budaya-budaya lokal yang berbedabeda.
8.
Efek positif dari preseden kultural bangsa Indonesia, seperti telah disinggung
terutama untuk kasus Jawa, terbentanglah taman safari demikian luas dan
beragam berbagai budaya, tradisi-tradisi lokal, dan berbagai tradisi dari berbagai
belahan dunia. Dalam konteks ini kreativitas kita ditantang (kembali) untuk
melakukan berbagai revitalisasi tradisi dan budaya tersebut, apakah itu
bersumber pada tradisi dan budaya lokal-lokal, bisa pula bersumber dari Islam,
Kristen, Hindu, Katholik, dan Budha, bisa dari Belanda, Cina, Arab, atau berbagai
tradisi dan budaya dari Barat lainnya.
Memang, terdapat sejumlah polemik yang menyebabkan strategi kebudayaan
Indonesia tidak berjalan secara sinergis. Biarlah hal itu tetap berjalan sebagai
proses dinamis berbangsa. Akan tetapi, dalam proses-proses kreatif, revolusi
mental untuk melakukan tindakan dan sikap-sikap demi proses penciptaan yang
terus menerus baru dan otentik perlu direalisasikan secara terprogram,
sistematis, dan aktual. Dalam posisi dan situasi inilah relasi-relasi revolusi mental
dan industri kreatif menemukan tempat berpijaknya.
Kita tahu, sekitar 15 tahun belakangan ini hal-hal tersebut telah mulai berjalan
dan terus berjalan. Salah satu puncak dari proses industri kreatif tersebut bisa
kita lihat pada sejumlah pameran tradisi dan budaya di sejumlah kota. Beberapa
kota bahkan telah memamerkan industri kreatif mereka berupa karnaval-karnaval
dan festival-festival. Terlihat dalam pameran karnaval dan festival tersebut, suatu
otentisitas kreatif yang canggih dan kompleks, sebagai perpaduan berbagai tradisi
dan budaya.
Hal yang perlu diatur dan dilembagakan adalah bagaimana memanfaatkan
semaksimal mungkin museum-museum, ruang atau gedung-gedung publik, dan
berbagai tempat wisata lain, dan disinergiskan dengan berbagai kerja industri
kreatif. Jika hal ini dapat berlangsung secara terorganisir, sistematis, dan
terprogram, saya membayangkan dalam waktu dekat kinerja industri kreatif kita
akan berefek secara langsung dengan kinerja ekonomi masyarakat.
9.
Masalahnya, dunia dengan (cepat) terus berjalan. Terjadi atau tidak terjadinya
revolusi mental, jumlah penduduk bertambah besar dan menuntut penanganan
dan antisipasi yang serius karena kemampuan alam mengakomodasi kebutuhan
manusia semakin terbatas. Dalam berbagai kendala dan keterbatasan, tentu
revolusi mental sangat dibutuhkan, untuk dan justru ketika dunia memasuki
suatu keruwetan kontestasi terhadap penguasaan dan pengamanan sumbersumber ekonomi dan alam.
Beberapa kecencerungan mengembirakan tak pelak harus terus menerus
didorong, yakni ketika munculnya kesadaran (dan dalam beberapa hal bisa
disebut sebagai revolusi mental kolektif), bahwa ke depan berbagai bentuk kerja
sama dunia semakin didambakan. Negara-negara kuat dan maju semakin sadar
bahwa negara berkembang tidak bisa secara terus menerus dijadikan pasar.
Negara-negara maju dan kuat juga mulai menempatkan nagara lain sebagai mitra
untuk sejahtera secara internasional.
Proses-proses demokrasi yang semakin menyebar ke segala lini, ketika kekuasan
tidak lagi terkesan angker, hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai proses transformasi diri, baik dalam konteks revolusi mental,
ataupun sesuatu yang lebih bersifat kreativitas yang menuju ke arah universalitas.
Dengan demikian, negara juga berkewajiban untuk menjaga demokrasi agar
peluang transformasi diri bermuara pada tujuan-tujuan kebudayaan.
Indonesia, singkat kata, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia, tidak hanya membutuhan revolusi mental, revolusi
moral, dan berbagai revolusi lain. Dari semua itu, hal yang paling mendesak
dilakukan sekarang adalah, duduk, diam, membaca, dan berpikir, dan tidak
melakukan apa-apa (Zizek, 2009: 10-11). Jika kita bisa melakukan ini sebulan saja,
ini suatu perlawanan yang luar biasa, terhadap apapun, lebih dari apa yang
dimungkinkan oleh revolusi mental.
Referensi:
Zizek, Slavoj. 2009. First As Tragedy, Then As Farce. London: Verso.
Oleh Aprinus Salam
Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM
0.
Saya diminta untuk membicarakan berbagai kemungkinan hubungan dan
sinergitas revolusi mental dan upaya pemberdayaan industri kreatif masyarakat.
Tentu ini pembicaraan yang menarik dan penting, tetapi sekaligus problematis.
Untuk itu, kita perlu membicarakan konsepnya, preseden historis kulturalnya, dan
kondisi-kondisi situasional yang telah dan tengah berlangsung.
1.
Re olusi Me tal dikonseptualisasikan sebagai upaya sengaja (sadar) dan drastis
mengubah kondisi mental, meliputi cara berpikir, karakter dan kepribadian, dari
satu kondisi tidak kondusif ke kondisi kondusif. Kondisi mental yang dianggap
kondusif tersebut adalah suatu mental yang sigap dan tangkas menghadapi
berbagai perubahan, memiliki kemandirian dan kemerdekaan pribadi, rasional
dan luas dalam berpikir, tahan terhadap godaan-godaan yang melanggar norma
dan etika, mau bekerja keras membangun kedaulatan politik, ekonomi, dan
budaya bangsanya/negaranya.
2.
Dalam lapis dan spektrum yang luas, tujuan dari suatu proses berkehidupan dan
berkebudayaan adalah suatu usaha bersama, dalam suatu bangsa dan negara
tertentu, berdasarkan potensi-patensi yang dimilikinya, berdasarkan kemampuan
akal, budi, dan kreativitasnya, menuju suatu kehidupan yang indah,
membahagiakan, dan memakmurkan. Artinya, posisi re olusi e tal , adalah
salah satu upaya atau cara menuju ke arah tujuan berkehidupan dan
berkebudayaan tersebut.
3.
Persoalannya, tidak mudah mengubah kondisi mental itu secara drastis. Banyak
hal yang perlu diperhitungkan, terutama nilai-nilai dan norma budaya yang
menjadi tempat berpijak seseorang atau masyarakat dalam menjalankan
kehidupannya. Hal lain yang peru diperhitungkan kondisi geografis, komposisi
besaran dan struktur penduduk, agama, dan preseden-preseden sejarah budaya
masyarakat bersangkutan.
Amerika, berdasarkan preseden historis dan kulturalnya, harus berperang
(internal) sekitar 100 tahun, yang memakan korban jutaan jiwa, sehingga, dalam
1
Tulisan pengantar untuk Seminar Nasional di FSSR UNS Solo, 22 Desemer 2014.
prosesnya, bangsa Amerika sangat berhati-hati membangun karakter bangsanya,
dan terus enerus berporses, dan jadilah seperti bangsa Amerika sekarang. Dengan
berbagai kekurangan, kita tahu bahwa Amerika merupakan negara paling kuat,
paling maju, paling makmur, dan mungkin paling kreatif di dunia.
Beberapa negara di Eropa, yang telah memiliki universitas pada sekitar abad ke10-11, perlu perang puluhan dan ratusan tahun di antara sesama mereka, dan
memakan korban jutaan jiwa, dalam berbagai maksud membangun dan
mempertahankan karakter bangsa mereka. Perang-perang tersebut membentuk
karakter mental mereka menjadi manusia-manusia tangguh. Jerman, Inggris, dan
Perancis berdiri di depan sebagai negara-negara terkemuka di dunia. Bukan saja
perekonomian mereka kuat, tetapi banyak temuan orisinal dan kreatif yang
ditemukan oleh warganya dan banyak hal yang kita tiru dari ba gsa Eropa
tersebut.
Pada tahun 1500-an sebelum Masehi, Cina telah memiliki kerajaan besar. Dalam
rentang ratusan tahun, Cina mengalami horeg internal ratusan tahun. Jutaan
nyawa punah. Bangsa Cina berjuang keras (mungkin terlalu keras) mengatasi
berbagai masalah dalam dirinya. Berbagai peraturan dibuat dan ditegakkan
dengan keras. Bahkan siapa yang ketahuan meludah sembarangan, akan dihukum
atau didenda satu sampai dua juta rupiah (bila dirupiahkan), tanpa ampun. Kini,
orang Cina bisa membuat apa saja sehingga muncul ungkapan; Tuhan
menciptakan manusia, selain itu buatan Cina.
Dalam cara yang lain, Cina menerapkan hukuman mati bagi para koruptor
sehingga hampir sekitar 13.000 an orang dihukum mati per tahun untuk menekan
atau
e bas i karakter korup ba gsa tersebut. Sekarang, Cina telah keluar
dari 20 negara paling korup di dunia, yang sebelumnya termasuk 5 negara paling
korup. Jepang, yang berujung pada restorasi meiji, sebelumnya telah memakan
korban ratusan ribu orang untuk mengubah bangsanya menjadi modern dan
maju dalam koridor budaya Jepang. Korea Selatan dan Singapura menerapkan
aturan yang ketat dalam berbagai praktik ekonomi sehingga dalam beberapa hal
cukup sukses membangun kemajuan negara. Khusus untuk Korea Selatan,
industri kreatif mereka, katakanlah begitu, bisa menyumbang ke negaranya lebih
dari 200 trilyun per tahun.
Sebaliknya, India tidak banyak melakukan perubahan. Di negara ini masih terjadi
perang-perang secara internal dan telah berjatuhan jutaaan nyawa. Sebagai
akibatnya, pada tahun 2008, terdapat 200 juta orang kelaparan di berbagai
wilayah India. Sekitar 550 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Cerita yang
lebih kurang senada terdapat di negara-negara Afrika. Kita tahu, sejumlah negara
Afrika hingga hari ini masih hidup dalam kemelaratan, kelaparan, dan
kedaruratan. Apa yang terjadi di negara bersangkutan? Kondisi-kondisi apa yang
menyebabkan terjadi atau tidak terjadinya perubahan (tidak adanya revolusi
mental?) Pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, bagaimana dengan
Indonesia?
4.
Sebetulnya, preseden historis-kultural Indonesia tak kalah panjang. Pada abad ke
6-7, kita telah memiliki kerajaan yang cukup besar, Sriwijaya. Di Jawa, kita
disisakan sedikit pengetahuan tentang ilmu pengetahuan teknologi abad ke-8,
Borobudur. Akan tetapi, kita tahu, Sriwijaya, sebagai satu sistem politik, sosial,
ekonomi, dan kultural, hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Pada abad
ke-13, kita juga memiliki kerajaan yang lebih besar, Majapahit. Sangat miskin
informasi dan ilmu pengetahuan Majapahit yang sampai ke kita. Setelah itu,
kerajaan-kerajaan di Indonesia sibuk mengurus dirinya masing-masing. Beberapa
masih eksis hingga sekarang, terutama kerajaan Kesultanan Mataram.
Kita juga mengalami berbagai peperangan, baik internal kerajaan-kerajaan di
Nusantara, ketika melawan penjajahan, dan perang-perang antaretnis, perang
politik internal (misalnya peristiwa 1965 dan 1998), dan sebagainya. Banyak
konflik lebih sebagai ambisi-ambisi merebut sumber-sumber ekonomi dan
prestise kekuasaan. Filosofi dan ideologi
u pu g berkuasa menyebabkan
jangkauan pandangan sejarah bangsa Indonesia tidak cukup panjang ke depan,
dan ingatan kolektifnya juga pendek. Tampaknya pengaruh agama dan nilai-nilai
kultural cukup berpengaruh bahwa dunia ini fana, dunia ini cuma tempat untuk
mampir ngombe, sehingga tidak perlu serius-serius amatlah dengan kehidupan
duniawi.
Terjadi beberapa perubahan penting dalam diri warga Indonesia ada tahun 1900a . Terlepas itu sebagai hasil politik etis pe jajah , tetapi ta pak ya, kalau bisa
disebut, ada semacam revolusi mental yang terjadi pada sejumlah elite orang
Indonesia. Dalam konteks itu, keterdidikan menjadi pemicu revolusi mental.
Maka terjadi berbagai aktivitas yang penting yang dipelopori sejumlah elite,
terlaksana berbagai Konggres, termasuk konggres Pemuda, Budaya, dan
sebagainya. Sejumlah orang mendirikan partai-partai politik, sindikat-sindikat
ekonomi, organisasi budaya, dan seterusnya. Dan kemudian, Indonesia merdeka.
Ternyata Indonesia tidak siap mengisi kemerdekaan. Soekarno, yang lebih
berpikir politis, ekonominya kedodoran, negara inflasi hingga 600%. Terjadi
kemiskinan dan kelaparan di sejumlah tempat. Tidak ada perubahan penting pada
masa-masa itu. Pemerintahan tidak stabil, warga tidak sempat duduk untuk
berpikir dan berkarya. Dalam bidang seni, sastra dan budaya, pada masa itu
adalah masa-masa yang memprihatinkan. Soekarno ditumbangkan.
Pada masa Soeharto, pembangunan memang berjalan dan cukup banyak
ke ajua . Aka tetapi, “oeharto e ilih jala berbahaya dala kebijaka -
kebijakan ekonominya. Terbukti, pada tahun 1998 Soerhato menyerah. Bukan itu
saja, Soeharto juga memilih jalan runyam bagi arah dan kreativitas warga
Indonesia. Kita tahu, berbagai proses berpikir, kebebasan, kemandirian, dan
kedaulatan warga untuk menjadi warga merdeka relatif dipasung. Padahal, halhal itu tak pelak merupakan amunisi penting bagi proses-prosses mentalitas dan
karakter yang kondusif, kreatif, dan berdaulat.
Alhasil, kondisi kita hari-hari ini adalah sekitar 8 juta-an orang masih hidup
sebagai pengangguran (pada usia produktif), sekitar 28 juta orang hidup di bawah
garis kemiskinan (data 2013). Indonesia masih termasuk 10 negara paling korup di
dunia, kekayaan Indonesia dipegang oleh sekitar 5% para elit dan penguasa
ekonomi, di sejumlah daerah masih ada beberapa kelaparan,
index
pembangunan SDM ada di posisi 113-115 (dari sekitar 140 negara yang diindex),
birokrasi kita masih berbelit-belit dan menyebalkan, konsumtivisme masih
merajalela, orang memilih berobat ke Singapura daripada di rumah sakit
Indonesia, jalan-jalan semakin padat dan macet, kriminalitas meningkat, membeli
pakaian yang penting mahal, dan kita adalah orang yang memiliki sejumlah gejet
yang hanya dipakai untuk selfie, dan bernarsis-ria di Face Book, Instagram, dan
Path, dan seterusnya.
Dan untuk itu, untuk mengatasi masalah itu, katanya, (kembali) kita
membutuhkan revolusi mental, bukan revolusi fisik, karena kalau revolusi fisik,
akan terbunuh (kembali) ribuan orang.
5.
Secara kultural, ada hal-hal menarik. Orang Minang, jika ingin mengembangkan
karier dagangnya, mereka hijrah ke kota lain untuk mencari nafkah. Sebagian
besar orang Minang sukses di perantauan. Sejumlah orang Minang menjadi orang
penting di pusat pemerintahan. Orang Batak juga banyak yang memiliki
keberanian untuk hijrah dan sebagian dari mereka menjadi pengacara yang topmarkotop. Walaupun dengan alasan yang sedikit berbeda dengan orang Minang,
Orang Makasar dan Bugis, dan Madura, dalam cara dan maksud yang lebih kurang
sama, pindah ke kota/tempat lain untuk mencari kehidupan yang layak. Sebagian
besar mereka sukses di perantauan dan kesuksesan itu mereka ciptrakan di
kampung halaman mereka. Yusuf Kalla dan Jenderal Andi Yusuf merupakan
representasi dari mereka.
“eju lah ora g terpaksa
e jadi TKI/TKW di negari lain, untuk memperbaiki
kehidupan mereka. Menjadi TKI/TKW (termasuk orang Jawa) tentu membutuhkan
keberanian dan ketabahan mental. Banyak yang sukses di antara mereka, tetapi
tidak urung banyak yang gagal dan mengalami penyiksaan. Apakah hijrah mereka
dalam beberapa hal setara dengan tindakan revolusi mental?
Orang dan budaya Jawa yang kita kenal dan dipahami (katakanlah yang berporos
Yogya da “olo), pu ya filosofi , alon alon waton kelakon, mangan orang
mangan sing penting ngumpul, dan sebagainya. Artinya, walau tidak banyak,
orang Jawa yang bersedia menjadi TKI/TKW, mereka yang menjadi TKI/TKW
sudah melakukan revolusi mental yang luar biasa dan habis-habisan. Bahkan
mereka siap untuk berkorban menjadi dan demi apa saja, asal ada perbaikan
terhadap ekonomi keluarga mereka. Akan tetapi, mereka menjadi TKI/TKW
karena sangat terpaksa karena negara tidak mampu memperkerjakan dan
memberi kelayakan hidup.
Dalam perspektif budaya, secara umum budaya-budaya di Indonesia (terutama
Jawa) basis nilainya adalah keharmonisan, kebersamaan, bukan progresifitas.
Artinya, kemenonjolan, bahkan prestasi, jika itu dianggap mengganggu harmoni,
e gga gu kebersa aa , ora g Ja a bersedia e galah da
e eka
berbagai keinginannya untuk tidak terlihat menonjol dan berprestasi. Walaupun
nilai-nilai tersebut sudah bergeser adanya, tetap saja orang Jawa masih banyak
yang merasa tidak nyaman dengan kemenonjolan diri.
Sebagai mayoritas warga Indonesia, tentu orang Jawa yang paling menyangga
beban Indonesia. Daya tahan dan kemapanan filosofi dan etik orang Jawa
menyebabkan mereka berdiri sebagai center of excellent orang Indonesia. Tidak
terhitung prestasi yang telah dibuat orang Jawa. Satu kelebihan orang Jawa yang
paling signifikan, dalam hubungannya dengan revolusi mental dan kreativitas,
adalah sikap nrima, yang bisa diterjemahkan secara sangat luas. Apa dan siapa
saja diterima oleh Jawa tanpa konlik yang mengganggu, karena mereka memang
nrima apa adanya. Kelak, kondisi ini menjadi preseden penting bagi porses-proses
kreatif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa secara kultural kebudayaan kita tidak cukup
mengajarkan kita menjadi sosok yang mandiri. Tidak dari kalangaan orang kaya
ataupun miskin, nilai dan ideologi sayang anak tampak menjadi berlebihan
sehingga banyak orang Indonesia pada saatnya tidak siap untuk mandiri, bukan
saja secara ekonomi, juga politik dan budaya. Pengakuan dan legitimasi kultural
terhadap hierarki tua muda, senior yunior, orang baru orang lama, menyebabkan
proses regenerasi relatif terhambat. Sebagai resikonya, kita tahu bahwa
independensi, kemandirian, dalam masyarakat nyaris menjadi barang langka.
Bahkan hanya untuk menyatakan pendapat saja kita mengalami ketakutan, takut
berbeda, takut tidak direstui, takut dinilai tidak pas, atau bahkan khawatir dinilai
bodoh. Dalam konteks ini revolusi mental sungguh mendapat tantangan yang
serius. Butuh keberanian luar bisa untuk dan dalam diri kita mempraktikkan
kriteria revolusi mental.
Memang, adalah kenyataan bahwa sudah banyak pula orang Indonesia yang
mengalami loncatan, baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Bahwa kisah
orang miskin menjadi pengusaha sukses, orang biasa menjadi politisi handal, atau
seseorang bisa menjadi intelektual bermartabat, bukan cerita baru di Indonesia.
Secara khusus, fenomena Jokowi memperlihatkan bahwa sekarang siapa saja,
dari kelas sosial apa saja, bisa menjadi orang paling top di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Jokowi, yang pada tanggal Mei
4 e ulis Re olusi
Me tal di Kompas, karena ia dulu-dulu telah melakukan revolusi mental?
Apakah Jokowo layak disebut sebagai contoh orang yang telah melakukan
revolusi mental itu sendiri. Apa indikatornya?
Beberapa kasus yang bersifat individual (bukan kultural), mungkin tak pelak bisa
disebut sebagai seseorang yang mengambil tindakan radikal mengubah strategi
hidupnya, atau mungkin pada tataran tertentu disebut revolusi metal. Seseorang
yang merasa dihina karena ditolak calon mertua karena dianggap dari keluarga
miskin, maka bisa jadi orang tersebut akan mengubah kinerja hidupnya menjadi
seorang pembelajar dan pekerja keras hingga sukses menjadi orang. Akan saya
buktikan bahwa saya layak mendapatkan anak Bapak/Ibu. Akan saya buktikan
bahwa bapak/Ibu menyesal telah menolak saya .
Misal lain, tersebutlah seorang laki-laki yang telah berkeluarga, yang hobinya
mabuk dan berjudi, tanpa disadari uangnya habis, padahal anaknya (tidak
ketetahui apakah anak satu-satunya atau tidak) dalam keadaan sakit. Karena
tidak punya uang si laki-laki tadi tidak mau dan tidak mampu mengobati anaknya.
Nyawa di tangan Tuhan, tetapi yang jelas anak laki-laki pemabuk/penjudi tadi
meninggal tidak terobati. Istrinya kecewa dan minta cerai. Si laki-laki pemabuk
dan penjudi itu demikian terpukul, dan suatu malam ia berjanji mengubah
mentalitas dirinya demikian drastis untuk menjadi orang baik-baik, dan
mengabdikan dirinya dengan bekerja keras untuk masa depan yang cerah.
Kisah di atas tentu kadang seperti dongeng. Akan tetapi, kita tahu bahwa kisah
seperti itu ada. Berbagai versi cerita yang bersifat individul mungkin beratus dan
beribu ragam kejadian. Masalahnya apakah seseorang untuk mendapatkan
revolusi mental, ia harus dihina dulu, ia harus menjadi pesakitan lebih dahulu, ia
harus tersiksa dan disiksa dulu, ia harus di-kapok-kan lebih dahulu?
6.
Dalam kenyataan sosial, baik karena tekanan historis dan/ataupun dorongan
modernitas dan kapitalisme telah bertumbuhan pula jenis mentalitas baru yang
dimungkinkan oleh modernisasi dan kapitalisme untuk memiliki harapan dan citacita baru yang lebih mengakomodasi tuntutan masyarakat baru tersebut. Dalam
praktiknya, terjadi permisifikasi berbagai tindakan dan prilaku sehingga segala
cara boleh ditempuh untuk mengejar harapan dan cita-cita tersebut.
Bagi masyarakat modern dan kapitalis, dan Indonesia tidak bisa dibantah adalah
bagian dari negara seperti itu, telah mengondisikan masyarakat terlibat aktif
untuk percaya bahwa kekuasaan bukan pada kekuatan dan ketangguhan mental,
tetapi pada ketangguhan modal. Orang menjadi tangguh, kalau modal kuat dan
banyak. Sebagai akaibatnya, sangat mungkin masyarakat percaya bahwa mental
bisa dibeli. Sesuai dengan konsep di atas, kondisi mental bisa disetel sesuai
dengan kebutuhan, sesuai dengan wani piro.
Kondisi itu perlu diperhitungkan dengan asumsi bahwa kesetiaan, kedisiplinan,
kejujuran, kerja keras, bahkan resionalitas dan pengetahuan, bisa dibeli dan
dikondisikan oleh modal. Kita mendapat informasi bahwa banyak orang hebat
Indonesia bekerja di luar negeri karena mendapat gaji yang besar dan fasilitas
yang memadai. Itu juga mengimplikasikan bahwa gaji di Indonesia kecil dan
fasilitas tidak memadai. Kita mendapat cerita bahwa banyak orang bekerja asalasalan, terpaksa korupsi dan manipulatif, karena kita tahu sama tahu bahwa
pendapatan kita kecil sekali, tidak sesuai dengan profesionalitas pekerjaan kita.
Pertanyaannya, apakah jika di Indonesia orang digaji besar dengan fasilitas
memadai, lantas bisa dipastikan mereka tidak korupsi dan bekerja dengan baik.
Jawabannya ternyata juga tidak. Lantas dimana kesalahannya?
Pendidikan, yang diharapkan bisa menjadi tempat persemaian revolusi mental,
hingga kini terbukti lebih sebagai ajang formal untuk mendapatkan modal
simbolik daripada suatu tempat pengakumulasi pengetahuan. Pendidikan formal
diharapkan berperan terhadap perubahan-perubahan mental dan kontrol
terhadap arah dan tujuan kebudayaan menjadi tak kunjung berdaya. Bahkan,
pendidikan kini tidak lebih berposisi sebagai agen kapitalisme, dan ke depan
justru memperkuat bangunan dan sistem kapitalisme itu sendiri. Hal itu juga
sudah diingatkan oleh para pemikir, terutama yang paling mutakhir adalah
Bourdieu.
Itulah sebabnya, di samping itu, telah pula terjadi pe be tuka
ilai-nilai lain
dalam kehidupan kita yang bisa disebut sebagai mental pragmatis. Tujuan
kegunaan yang diorientasikan pada kepentingan pasar jauh lebih penting sebagai
bahan kalkulasi seseorang atau masyarakat dalam menjalani masa depan.
Artinya, perlu diperhitungkan berbagai kekuata ideologis ya g e gatur da
mengkonstruksi struktur, komposisi, dan relasi-relasi dalam masyarakat (dan
negara) sehingga berbagai peluang terjadinya revolusi mental seperti merangkak
ke jalan buntu.
Kekuatan media (penghiburan), sebagai salah satu agen kapitalisme, berpengaruh
penting terhadap pembentukan mentalitas. Acara-acara atau program hiburan
populer disaksikan dengan hiruk-pikuk, dan mimpi menjadi populer, artis, musisi
terkenal, adalah mimpi yang mulai banyak digandrungi. Mungkin untuk
mendapatkannya, akan terjadi apa yang juga disebut sebagai revolusi mental.
Akan tetapi, tujuannya jelas berbeda dengan revolusi mental yang
dikonseptualisasikan.
Dengan demikian, terlalu bersahaja bila mengaitkan revolusi mental dengan
pengembangan industri kreatif jika itu dimaksudkan dan dengan mendapatkan
modelnya seperti Korea Selatan. Industri kreatif tidak membutuhkan revolusi
mental seperti yang dikonsptualisasikan. Akan tetapi, revolusi mental bisa dimulai
dengan proses-proses kreatif.
7.
Berdasarkan keterangan di atas, agak sulit mencari dan mendapatkan basis
kultural untuk melakukan sesuatu yang disebut revolusi mental, dan mungkin
juga tidak penting. Preseden perang, horeg, gonjang-ganjing, cheos, dan berbagai
konflik memang didahului oleh satu kondisi degradisi dan ketimpanganketimpangan relasi ataupun struktur dalam masyarakat. Akan tetapi, hal itu tidak
bisa dikatakan sebagai akibat atau dampak, bahkan mungkin bertentangan
dengan revolusi mental, jika itu direferensikan sebagai satu tindakan drastis
dalam mengatasi keadaan yang tidak kondusif.
Sebaliknya, revolusi mental bisa saja merupakan satu kondisi pra atau pasca
horeg dan gonjang-ganjing dalam diri seseorang, atau suatu masyarakat, yang
diharapkan setelah itu terjadi kestabilan yang kondusif. Kepada mereka yang
merasa kapok, terhadap berbagai preseden yang membuat kehidupan menjadi
kacau-balau, banyaknya kelaparan dan kemiskinan, banyaknya kekerasan dan
krimitalitas, dan kondisi mental itu secara per orangan atau kolektif berusaha
dilestarikan dan dipertahankan, demi satu tatanan kehidupan yang nyaman,
indah, makmur, dan membahagiakan.
Terlepas dari sulitnya mencari basis kultural rovolusi mental, tuntutan revolusi
mental juga membebaskan negara dari tuntutan moralnya menjaga dan
mempertahankan mutu kemanusiaan warganya. Bagaimanapun, negaralah yang
memiliki kekuasaan, yang memiliki aparat hukum represif dan ideologis, sehingga
negara justru memiliki perluang besar untuk menyelenggarakan revolusi
moralnya. Negaralah yang seharusnya lebih dituntut untuk menegakkan revolusi
moralnya, sehingga revolusi mental warga/rakyat dapat bermunculan dengan
sendirinya. Untuk itu negara perlu melakukan strategi pembangunan berbasis
moral
Revolusi mental terkesan bersifat kultural, dan dalam konotasi dan konteks lokallokal bagi setiap negara atau bangsa. Tentutan revolusi mental tidak bisa dikenai
secara merata untuk berbagai masyarakat di Indonesia. Cita-cita, mimpi-mimpi,
dan ideologi masyarakat/warga berbeda-beda. Artinya, perlu upaya
u i ersalisasi ko septual ya g a pu e gatasi hal-hal yang bersifat kultural
dan lokal. Benang merah universalisasi itu terdapat pada nilai-nilai kebajikan yang
diakui semua agama, semua suku-bangsa dan budaya-budaya lokal yang berbedabeda.
8.
Efek positif dari preseden kultural bangsa Indonesia, seperti telah disinggung
terutama untuk kasus Jawa, terbentanglah taman safari demikian luas dan
beragam berbagai budaya, tradisi-tradisi lokal, dan berbagai tradisi dari berbagai
belahan dunia. Dalam konteks ini kreativitas kita ditantang (kembali) untuk
melakukan berbagai revitalisasi tradisi dan budaya tersebut, apakah itu
bersumber pada tradisi dan budaya lokal-lokal, bisa pula bersumber dari Islam,
Kristen, Hindu, Katholik, dan Budha, bisa dari Belanda, Cina, Arab, atau berbagai
tradisi dan budaya dari Barat lainnya.
Memang, terdapat sejumlah polemik yang menyebabkan strategi kebudayaan
Indonesia tidak berjalan secara sinergis. Biarlah hal itu tetap berjalan sebagai
proses dinamis berbangsa. Akan tetapi, dalam proses-proses kreatif, revolusi
mental untuk melakukan tindakan dan sikap-sikap demi proses penciptaan yang
terus menerus baru dan otentik perlu direalisasikan secara terprogram,
sistematis, dan aktual. Dalam posisi dan situasi inilah relasi-relasi revolusi mental
dan industri kreatif menemukan tempat berpijaknya.
Kita tahu, sekitar 15 tahun belakangan ini hal-hal tersebut telah mulai berjalan
dan terus berjalan. Salah satu puncak dari proses industri kreatif tersebut bisa
kita lihat pada sejumlah pameran tradisi dan budaya di sejumlah kota. Beberapa
kota bahkan telah memamerkan industri kreatif mereka berupa karnaval-karnaval
dan festival-festival. Terlihat dalam pameran karnaval dan festival tersebut, suatu
otentisitas kreatif yang canggih dan kompleks, sebagai perpaduan berbagai tradisi
dan budaya.
Hal yang perlu diatur dan dilembagakan adalah bagaimana memanfaatkan
semaksimal mungkin museum-museum, ruang atau gedung-gedung publik, dan
berbagai tempat wisata lain, dan disinergiskan dengan berbagai kerja industri
kreatif. Jika hal ini dapat berlangsung secara terorganisir, sistematis, dan
terprogram, saya membayangkan dalam waktu dekat kinerja industri kreatif kita
akan berefek secara langsung dengan kinerja ekonomi masyarakat.
9.
Masalahnya, dunia dengan (cepat) terus berjalan. Terjadi atau tidak terjadinya
revolusi mental, jumlah penduduk bertambah besar dan menuntut penanganan
dan antisipasi yang serius karena kemampuan alam mengakomodasi kebutuhan
manusia semakin terbatas. Dalam berbagai kendala dan keterbatasan, tentu
revolusi mental sangat dibutuhkan, untuk dan justru ketika dunia memasuki
suatu keruwetan kontestasi terhadap penguasaan dan pengamanan sumbersumber ekonomi dan alam.
Beberapa kecencerungan mengembirakan tak pelak harus terus menerus
didorong, yakni ketika munculnya kesadaran (dan dalam beberapa hal bisa
disebut sebagai revolusi mental kolektif), bahwa ke depan berbagai bentuk kerja
sama dunia semakin didambakan. Negara-negara kuat dan maju semakin sadar
bahwa negara berkembang tidak bisa secara terus menerus dijadikan pasar.
Negara-negara maju dan kuat juga mulai menempatkan nagara lain sebagai mitra
untuk sejahtera secara internasional.
Proses-proses demokrasi yang semakin menyebar ke segala lini, ketika kekuasan
tidak lagi terkesan angker, hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai proses transformasi diri, baik dalam konteks revolusi mental,
ataupun sesuatu yang lebih bersifat kreativitas yang menuju ke arah universalitas.
Dengan demikian, negara juga berkewajiban untuk menjaga demokrasi agar
peluang transformasi diri bermuara pada tujuan-tujuan kebudayaan.
Indonesia, singkat kata, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia, tidak hanya membutuhan revolusi mental, revolusi
moral, dan berbagai revolusi lain. Dari semua itu, hal yang paling mendesak
dilakukan sekarang adalah, duduk, diam, membaca, dan berpikir, dan tidak
melakukan apa-apa (Zizek, 2009: 10-11). Jika kita bisa melakukan ini sebulan saja,
ini suatu perlawanan yang luar biasa, terhadap apapun, lebih dari apa yang
dimungkinkan oleh revolusi mental.
Referensi:
Zizek, Slavoj. 2009. First As Tragedy, Then As Farce. London: Verso.