BANI ABBASIYAH PERADABAN ISLAM DI BIDANG

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan pemerintahan yang
telah tumbang sebelumnya, yakni Dinasti Umayyah. Masa kekuasaan Dinasti ini
selama kurang lebih lima setengah abad, yaitu dari tahun 132 – 656 H / 750 –
1258 M. Selama ini sebanyak 37 khalifah silih berganti memimpin hingga
akhirnya tumbang dan digantikan oleh dinasti lain.
Di zaman pemerintahan dinasti ini, oleh George Zaydan dilukiskan sebagai
zaman keemasan Islam.1 Hal ini karena telah banyak perubahan dalam berbagai
bidang sebagai tanda keberhasilan dan kejayaan para penguasa dalam memutar
roda pemerintahan di Kufah dan sekitarnya sebagai wilayahnya. Salah satunya
adalah bidang Sosial dan Budaya. Dalam kehidupan bernegara, masalah sosial
berkenaan dengan masyarakat sama sekali tidak bisa dipisahkan. Masyarakat
sendiri adalah sekumpulan orang dalam wilayah tertentu yang berkumpul dan
berinteraksi / bekerjasama untuk mengatur diri dan bersatu dalam kesatuan
sosial.2 Dalam perkumpulan dan interkasi ini kemudian memunculkan apa yang
disebut budaya, yakni hasil cipta, karya dan karsa manusia yang didapat dan
dipelajari sebagai anggota masyarakat.3
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya Dinasti Abbasiyah?
2. Perkembangan apa saja yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dalam bidang
Sosial dan Budaya?
BAB II
1 Dalam beberapa literatur, nama sejarawan “George Zaydan” di tulis dengan “Jarji Zaydan”. Lihat A.
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1995) Hal. 212
2 Pengertian singkat ini menurut Ralph Linton. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar.
(Jakarta: Rajawali Press, 2013) hal. 22
3 Ibid., hal. 150

1

PEMBAHASAN
A. SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA DINASTI BANI ABBASIYAH
Pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan pemerintahan
dinasti Bani Umayyah yang telah digulingkannya. Dinamakan kekhalifahan
Abbasiyah karena para pendiri dan pengusa dinasti ini adalah keturunan Abbas
bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad. Sebelum menggulingkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah, para keluarga Abbas melakukan berbagai
persiapan dengan melakukan pengaturan strategi yang kuat. Karena menurut

Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas, bahwa perpindahan kekuasaan
dari satu penguasa ke penguasa yang lain memerlukan persiapan yang matang dan
dukungan dari masyarakat. Karena bila tidak, maka usaha untuk mengambil
kekuasaan tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan total.4
Perubahan secara revolusioner tanpa kesiapan jiwa dan dukungan kuat dari
rakyat hanya akan menimbulkan sia-sia dan tidak membawa hasil yang
maksilmal.oleh karena itu, Muhammad bin Ali meminta kepada pendukungnya
untuk membantu keluarga Nabi Muhammad SAW. Propaganda ini dilakukan
dengan cara yang sangat cermat sehingga banyak tokoh masyarakat dan tokoh
agama yang tertarik dengan propaganda tersebut.
Propaganda Muhammad bin Ali mendapat sambutan luar bisa dari masyarakat
terutama dari kalangan Mawali. Hal itu terjadi karena beberapa faktor:
1. Meningkatkan kekecewaan kelompok Mawali terhadap Dinasti Bani
Umayyah karena selama dinasti ini berkuasa mereka ditempatkan pada
posisi kelas dua dalam sistem sosial Sementara orang-orang Arab
menduduki kelas bangsawan.
2. Pecahnya persatuan antar suku bangsa Arab dengan lahirnya fanatisme
kesukuan antara Arab Utara, yakni Arab Mudhariyyah dengan Arab
Selatan, yakni Arab Himyariyah.
4 Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam: Untuk Madrasah Tsanawiyah kelas 2. (Semarang: Karya Thoha

Putra, 2005) Hal. 34

2

3. Timbulnya kekecewaan kelompok agama terhadap pemerintah dinasti
Bani Umayyah yang dianggap sekuler. Mereka menginginkan pemimpin
negara yang memiliki pengetahuan, wawasan dan integritas keagamaan
yang mumpuni.
4. Perlawanan dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas
kekuasaan yang pernah dirampas Dinasti Bani Umayyah. Mereka tidak
mudah melupakan peristiwa Karbala yang menewaskan keturunan Ali bin
Abi Thalib.
Untuk melancarkan propaganda tersebut, mereka mengangkat 12 orang
propagandis yang disebar di berbagai daerah, seperti Kufah, Khurasan, Makah
dan beberapa tempat strategis lainnya. Di antara isu yang dikembangkan dalam
propaganda tersebut adalah masalah keadilan yang selama itu diterapkan oleh
pemerintah pusat Bani Umayyah yang bermarkas di Damaskus.
Melihat posisinya semakin terpojok, akhirnya Marwan bin Muhammad,
penguasa terakhir dari Dinasti Bani Umayyah menyelamatkan diri dari kejaran
massa yang sedang marah menuju ke wilayah Mesir. Di Mesir inilah, tepatnya di

Fustat, Marwan bin Muhammad terbunuh pada tahun 132 H / 750 M. 5
Masa kekuasaan Dinasti ini selama kurang lebih lima setengah abad, yaitu
dari tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Selama ini sebanyak 37 khalifah silih
berganti memimpin, mulai dari masa pemerintahan Abu Abbas as-Saffah (132
H/750 M) hingga masa pemerintahan al-Mu’tashim (656 H/1258 M).6 Tetapi para
sejarawan mengklasifikasikan periode Abbasiyah berbeda-beda. Al-Khudri, guru
besar Ilmu Sejarah dari Universitas Mesir (Egyptian University) membagi ke
dalam lima masa, yaitu:
1.

Masa kuat-kuasa dan bekerja membangun, berjalan 100 tahun lamanya,

2.

dari 132 s/d 232 H.
Masa berkuasanya panglima-panglima Turki, berjalan 100 tahun lamanya,
dari 232 s/d 334 H.

5 Ibid. Hal. 35-36
6 Ibid. Hal. 37


3

3.

Masa berkuasanya Bani Buyah (Buwayhid), berjalan 100 tahun lamanya,

4.

dari 334 s/d 447 H.
Masa berkuasanya Bani Saljuk (Seljuqiyak), berjalan 100 tahun lamanya,

5.

dari 447 s/d 530 H.
Masa gerak balik kekuasaan politik khalifah-khalifah Abbasiyah dengan
merajalelanya para panglima perang, selama 125 tahun, dari 530 H.
Sampai musnahnya Abbasiyah di bawah serbuan Jengiz Khan dan putrana
Hulagu Khan dari Tartar pada tahun 656 H.7


Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah as-Saffah. Mengutip
dari Philip K. Hitty, bahwa masa keemasan (Golden Prime) Abbasiyah terletak
pada 10 khalifah. Hal ini berbeda dengan Badri Yatim, yang memasukkan 7
khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah, sedangkan Harun Nasution hanya
memasukkan 6 khalifah ke dalam kategori khalifah yang memajukan Abbasiyah.
Kesepuluh khalifah tersebut adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

As-Saffah: 750
Al-Manshur: 754
Al-mahdi: 775
Al-hadi: 785
Ar-Rasyid: 786

6.
7.

8.
9.
10.

Al-amin: 809
Al-ma’mun: 813
Al-mu’tashim: 833
Al-watsiq: 842
Al-mutawakkil: 8478

B. PERKEMBANGAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
1.

Unsur warga negara
Kehidupan sosial pada zaman daulah Abbasiyah adalah sambungan dari

zaman sebelumnya, yaitu zaman daulah Umayyah.9 Masyarakat yang menjadi
warga negara dinasti Abbasiyah terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan
agama. Perbedaan ras, etnis dan agama tidak menjadi penghambat bagi dinati
Abbasiyah untuk mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan. Salah seorang

sejarawan bernama George Zaydan dalam bukunya Tamadun al-Islam
7 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2008) Hal. 127 -128
8 Ibid., hal. 129
9 A. Hasjmy, Sejarah .... Hal. 243

4

mengatakan bahwa pada masa dinasti Bani Abbasiyah masyarakat terbagi
menjadi dua kelas sosial, yaitu:
a) Kelas khusus yang terdiri dari:
1) Khalifah
2) Keluarga Khalifah, yaitu Bani Hasyim
3) Para pembesar negara, seperti menteri, gubernur dan para pejabat
negara lainnya
4) Para bangsawan yang bukan Bani Hasyim, yaitu kaum Quraisy pada
umumnya
5) Para petugas khusus seperti anggota tentara, para pembantu istana
b) Kelas umum yang terdiri dari:
1) Para seniman
2) Para ulama’, fuqaha dan pujangga

3) Para saudagar dan pengusaha
4) Para tukang dan petani
Dengan demikian, maka kelas-kelas sosial yang tumbuh dan berkembang
pada masa itu lebih disebabkan oleh status sosial ekonomi dan latar belakang
kultural serta latar belakang etnis. Hal ini terbukti posisi kelas atas yang masih
dimiliki oleh kelompok masyarakat yang berasal dari masyarakat Arab
keturunan Quraiys, termasuk strata sosial politik dan kekuasaan yang ada saat
itu.
Oleh karena itu, sebenarnya bila dilihat dari strata sosial yang ada, tidak
terjadi perkembangan yang sangat berarti dalam konteks perubahan sosial.
Sebab nyatanya, kelompok penguasa dan etnis minoritas yang berasal dari
keturunan Arab Quraisy, masih menempati strata sosial tertinggi dalam sistem
sosial kemasyarakatan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, warga negara terdiri dari
berbagai suku bangsa dan agama yang tinggal di wilayah pemerintahannya.
Unsur-unsur tersebut antara lain berasal dari Afrika Utara, Mesir, Syam,
Jazirah Arabia, Irak, Persia, India, Turki dan sebagainya.
Warga negara yang berasal dari berbagai suku bangsa tersebut bersatu
dalam satu ikatan yang sama, yaitu Islam dan berada dalam satu wilayah


5

kekuasaan, yaitu pemerintahan dinasti Abbasiyah.10 Dari sini kemudian
terjalin menjadi satu kerajaan yang disebut sebagai Mamlakah Islamiyah.11
Kelas sosial lain yang ada pada waktu itu adalah kelas budak. Kelas ini
selalu ada dalam setiap lapisan sosial masyarakat Islam saat itu. Banyak hal
yang menyebabkan munculnya kelas sosial ini, seperti adanya peperangan.
Mereka yang kalah, harta yang mereka bawa menjadi harta rampasan perang,
juga diri mereka sendiri. Karena itu wajar kalau kemudian banyak
bermunculan kelas-kelas sosial ini.12
2.

Golongan Taulid
Sebagai akibat dari percampuran bangsa-bangsa dalam daerah-daerah

Kerajaan Islam, terutama kota-kota besarnya, maka terjadi pula perkawinan
campuran antara unsur-unsur bangsa tersebut yang menyebabkan lahir anakanak percampuran darah, yang disebut dengan Taulid.
Dalam periode Abbasiyah I terjadi banyak perkawinan campuran yaitu
antara pria Arab dengan wanita turuna bukan Arab. Dalam taraf pertama, yang
banyak melakukan hal ini adalah para khalifah, panglima, gubernur, menteri

dan pembesar; kemudian barulah menyusul para saudagar, seniman dan
sebagainya.
Dari perkawinan campuran inilah muncul satu unsur negara baru, yaitu
unsur orang peranakan atau taulid. Mereka mempunyai ciri khas dalam
kepribadiannya, sehingga banyak para khalifah dari golongan ini, seperti
Musa al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-Makmun dan lain-lain. Golongan taulid ini
sangat menonjol; mereka mempunyai banyak keistimewaan dalam bentuk
tubuh, kecerdasan akal; kecakapan berusaha, keahlian berorganisasi dan
bersiasat serta terkemuka dalam segala bidang.
3.

Perjuangan antara Arab dengan Mawali

10 Murodi. Sejarah... hal 86-88
11 A. Hasymi. Sejarah ... hal. 244
12 Murodi. Sejarah... hal 88-89

6

Satu hal lagi yang berkecamuk dalam kehidupan sosial di zaman daulah
Abbasiyah, yaitu pertarungan merebut pengaruh dan kedudukan antara
Muslimin turunan Arab dengan Muslimin bukan Arab (Mawali).
Pertarungan antara mereka terkadang dianggap seru dan mengakibatkan
hal-hal yang tidak baik dalam pertumbuhan kebudayaan. Orang-orang Arab
merasa dirinya berhak dalam segala bidang kehidupan karena Islam dan
Nabinya turun di tengah-tengah mereka tidak begitu senang karena orang
Muslim turunan lain banyak mendapat kesempatan, sementara orang Muslim
trurunan Mawaly, terutama Persia, merasa dirinya lebih maju dari orang-orang
Arab dan berjasa dalam pembentukan Daulah Abbasiyah, ingin supaya mereka
menguasai segala bidang kehidupan bangsa. Dari sini, maka berbangkitlah
rasa kebangsaan kaum, rasa keagungan asal keturunan dan rasa kemegahan
bangsa.13
4.

Islamisasi Masyarakat
Sebanyak 5.000 orang Kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo mengikuti

perintah khalifah al-Mahdi untuk masuk Islam. Proses konversi secara normal
berjalan lebih gradual, damai dan bersifat pasti. Kebanyakan konversi yang
dilakukan oleh penduduk taklukan didorong oleh motif kepentingan individu,
agar terhindar dari pajak dan sejumlah aturan lain yang membatasi, agar
mendapat pretise sosial dan pengaruh politik, serta menikmati kebebasan dan
keamanan yang lebih besar. Penduduk Persia baru beralih ke agama Islam
pada abad ketiga setelah wilayah itu dikuasai Islam. Sebelumnya mereka
menganut zoroaster.14
C. PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
1. Seni Bangunan dan Arsitektur
a) Arsitektur Masjid
13 A. Hasymi. Sejarah ... hal. 245-246
14 Dedi Supriyadi. Sejarah ... hal. 135

7

Masjid merupakan bangunan tempat ibadah umat islam paling menonjol
dari Arsitektur islam. Oleh karena itu, masjid merupakan arsitektur Islam yang
tidak ada tandingannya. Arsitektur Islam yang berkembang pada masa Dinasti
Abbasiyah masih mengacu pada perkembangan arsitektur Islam pada masamasa sebelumnya, yakni masa nabi, Khulafa’ur Rasyidun dan Bani Umayyah.
Salah satu masjid yang dirikan pada masa pemerintahan Bani Abbas
adalah bangunan masjid Samarra, di Bagdad. Masjid ini sangat indah yang
mewakili keindahan seni arsitektur pada zamannya.masjid ini dilengkapi
dengan sahn, sebuah lengkungan menyerupai bentuk piring. Sekeliling pinggir
sahn dilengkapi dengan serambi-serambi. Pada setiap sudut masjid didirikan
mercu berbentuk bulat yang terbuat dari batu bata. Umumnya masjid tidak
menggunakan daun pintu, begitu juga masjid Samarra. Pintu-pintu terbuka ini
berujung satu titik. Dengan demikian, terlihat barisan pintu yang berbentuk
kerucut.15
Yang terpenting dari gaya dan seni arsitektur Masjid Samarra adalah tiangtiang yang di pasang beratap lengkung. Tiang-tiang tersebut dibangun
menggunakan batu bata dengan bentuk segi delapan dan didirikan di atas
dasar segi empat. Kemudian dasar-dasar ini ditopang oleh tiang-tiang dari
marmer bersegi delapan. Kemudian disambungkan ke bagian lain dengan
mempergunakan logam atau besi berbentuk lonceng. Masjid ini merupakan
bangunan yang memiliki seni arsitektur sangat megah pada zamannya.
Selain Masjid Samarra, masjid IbnuThulun juga memiliki keistimewaan
dari segi seni bangunan atau arsitekturnya. Masjid ini didirikan pada tahun
876 M oleh Ahmad bin Thulun, salah seorang penguasa di wilayah Mesir.
b) Penataan Kota
Seni bangunan islam masih mempunyai ciri khas dan gaya tersendiri, yang
terwujud dalam bentuk pilar, lengkung kubah, hiasan lebih bergantung

15 Murodi. Sejarah ... Hal. 89-90

8

(muqarnashat) yang menonjol bersusun di depan masjid dan di menara tempat
adzan atau di puncak pilar.
Pembangunan kota-kota baru dan pembaharuan kota-kota di seluruh
wilayah pemerintahan dinasti Abbasiyah telah membuka jalan bagi
pembangunan gedung-gedung, istana, masjid dan sebagainya. Di antara sekian
banyak kota yang dibangun dalam masa pemerintahan dinasti Abbasiyah
adalah sebagai berikut:
 Pembangunan Kota Baghdad
Setelah Abu ja’far al-Mansur dilantik menjadi khalifah (137 H/754 M), ia
merasa perlu membangun kota baru sebagai pusat pemerintahan. Dipilihlah
lokasi antara sungai Eufrat dan sungai Tigris. Lokasi ini dipilih karena
berudara segar dan alamnya yang indah. Selain itu mudah untuk menjalin
komunikasi dengan berbagai wilayah kekuasaan Bani Abbas dan menyimpan
sumber alam yang diperlukan bagi kebutuhan khalifah.
Untuk memimpin pembangunan kota ini, khalifah al-Mansur memberikan
kepercayaan penuh kepada dua arsitek terkenal, yakni Hajjaj bin Arthah dan
Amran bin Wadhdhah dengan tenaga kerja sebanyak 100.000 orang.
Arsitektur kota Baghdad berbentuk bundar, gaya baru dari seni bangunan
kota Islam. Di pusat kota dibangun Istana khalifah dan masjid jami’. Di
sekeliling istana dan masjid terdapat alun-alun, selain asrama pegawai, rumah
komandan dan pengawal serta rumah kepala polisi. Istana megah tersebut di
beri nama Qashru al-Dzahab (istana keemasan) yang luasnya sekitar 160.000
Hasta persegi. Dan Masjid Jami’ didepannya memiliki luas areal sekitar
40.000 hasta persegi. Istana dan Masjid tersebut merupakan simbol pusat
kota.
Dalam waktu yang singkat, Baghdad menjadi kota yang ramai dikunjungi
oleh berbagai lapisan masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu,
Sekitar tahun 157 H, khalifah al-Mansur membangun istana baru di luar kota
yang diberi nama Istana Abadi (Qashrul Khuldi).

9

Khalifah al-Mansur membagi kota Baghdad menjadi empat daerah, yang
masing-masing daerah dikepalai oleh seorang Naib Amir (wakil gubernur) dan
tiap-tiap daerah diberi hak mengurusi wilayah sendiri (otonomi daerah).
Selain itu, khalifah al-Mansur juga membangun kota satelit yang
mengitari Baghdad. Pembangunan ini disebabkan karena kota Baghdad telah
menjadi kota Internasional sehingga membutuhkan daerah atau kota yang
membantu pengembangan kota Baghdad. Kota-kota satelit itu antara lain
adalah kota rusahafah, yang dibangun di sebelah timur sungai tigris dan
berhadapan dengan kota baghdad. Selain itu ada kota Karakh yang dibangun
di sebelah selatan kota baghdad.
 Pembangunan Kota Samarra
Setelah Baghdad menjadi kota internasional, maka atas nasihat khalifah
al-Mu’tashim Billah merencanakan pembangunan kota baru untuk ibu kota
negara. Lalu dipilihlah tempat di sebelah timur Sungai Tigris yang berjarak 60
mil dari pusat Kota Baghdad. Pembangunan tersebut dimulai pada tahun 221
H yang kemudian dikenal dengan sebutan Kota Samarra. Kata ini berasal dari
kalimat Surra man ra-a yang artinya orang yang memandang pasti terpesona.
Seperti Kota Baghdad, kota ini juga dilengkapi dengan berbagai bangunan
utama dan bangunan pendukung lainnya, seperti istana, masjid jami’ dan
sebagainya. Kota ini menjadi kota terindah setelah Kota Baghdad.
2. Perkembangan Bahasa dan Sastra
Perkembangan seni bahasa (kesusastraan) baik puisi maupun prosa
mengalami kemajuan yang cukup berarti. Hal ini disebabkan oleh perhatian besar
bani Abbas dan juga para ahli bagian Seniman. Berikut uraian singkatnya:
a. Perkembangan Puisi
Berbeda dengan masa pemerintahan bani Umayah yang belum banyak
melahirkan sastrawan yang membawa aliran baru. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas terjadi perubahan dan perkembangan puisi dengan aliran baru
dalam sajak-sajaknya, baik dalam isi, ushlub, tema ataupun sasarannya.
10

Sehingga dalamhal tersebut, para sastrawan pada zaman ini mengungguli
keterampilan pada zaman sebelumnya.
Para penyair pada masa pemerintahan bani Umayah, masih kental dalam
keaslian warna Arabnya, sehingga mereka menghindari filsafat, bahkan apa
saja yang bukan asli Arab. Sedangkan sastrawan pada zaman pemerintahan
Bani Abbas telah melakukan perubahan kebiasaan tersebut. Mereka telah
mampu mengombinasikannya dengan sesuatu yang bukan berasal dari tradisi
Arab. Oleh karena itu wajar kalau kemudian pada masa pemerintahan Bani
Abbas banyak bermunculan penyair terkenal. Diantara mereka adalah sebagai
berikut :
1) Abu Nuwas (145-198 H) nama aslinya adalah Hasan bin Hani’. Seorang
penyair naturalis yang sangat perindu, pelopor, pembawa aliran baru
dalam dunia Sastra Arab
2) Abu ‘Athahiyah (130-211 H). Nama aslinya adalah Isma’il bin Qasim bin
Suwaid bin Kisan. Penyair ulung pembawa perubahan, melepaskan diri
dari ikatan lama, menciptakan gaya dan pengertian baru dalam dunia
sastra.
3) Abu Tamam (wafat 232 H) nama aslinya adalah Habib bin Auwas atbTha’i. Penyair ini terkenal dengan ratapannya. Memiliki kemampuan
menciptakan ungkapan-ungkapan yang dalam dan menyusun ushlub yang
menawan.
4) Da’bal al-khuza’i (wafat 246 H) nama aslinya adalah Da’bal bin Ali
Razin dari Khuza’ah. Penyair besar yang berwatak kritis. Hampir semua
karya sastra dan sastrawannya mendapat kritikan tajam darinya.
5) Al-Buhtury (206-285 H) nama aslinya adalah Abu Ubadah Walid al
Buhtury al-Quhthany ath-Tha’i. Penyair pemuja dan pelukis alam
mempesona.
6) Ibnu Rumy (221-283 H). nama aslinya adalah Abu Hasan Ali bin Abbas.
Penyair yang paling berani menciptakan tema-tema baru dan paling
mampu mengubah sajak-sajak panjang.
11

7) Al-Mutanabby (303-354 H) nama aslinya adalah Abu Thayib Ahmad bin
Husin al-Kufy. Ialah penyair istana yang haus hadiah, pemuja yang paling
handal.
8) Al-Mu’arry (363-449 H) nama aslinya Abu A’la al-Mu’arry. Penyair
berbakat yang berpengetahuan luas dan menjadi kesayangan ulama’, para
menteri dan para pejabat pemerintahan.

b. Perkembangan Prosa
Pada

masa

pemerintahan

dinasti

bani

Abbasiyah

telah

terjadi

perkembangan yang sangat menarik dalam bidang prosa. Hal itu disebabkan
karena dukungan para penguasa dan kemampuan personal para sastrawan.
Banyak buku sastra novel, riwayat, kumpulan nasihat, dan uraian-uraian sastra
yang dikarang atau disalin dari bahasa asing.
Diantara tokoh dan pengarang terkemuka pada zaman dinasti Abbas
adalah:
1) Abdullah bin Muqaffa (wafat 143 H). Ia telah merintis jalan baru
bagi pengarang prosa. Buku prosa yang dikarang diantaranya adalah
Kalilah wa Dimnah, kitab ini terjemahan dari bahasa sansekerta karya
seorang filosof India bernama Baidaba. Karya ini disalinnya ke dalam
bahasa arab dengan sangat bagus.
2) Abdul Hamid al-Katib. Ia dipandang sebagai pelopor seni
mengarang surat, sehingga cara-caranya mengarang surat kemudian
menjadi aliran yang memiliki banyak pengikut.
3) Al-Jahidh (wafat 255H). Merupakan pengarang prosa angkatan keuda
pada zaman Dinasti Abbasiyah. Semua karyanya memiliki nilai sastra
tinggi, sehingga menjadi bahasa rujukan dan bahan bacaan bagi para
sastrawan kemudian. Diantaranya adalah Kitabul Bayan Wat Tabyan,
Kitabut Taj, dan sebagainya.

12

c.

Perkembangan Seni Musik
Pada umumnya orang Arab memiliki bakat musik, sehingga seni suara

atau seni musik menjadi suatu keharusan bagi mereka sejak zaman jahiliyah.
Setelah mereka masuk Islam, bakat musik terus berkembang dengan jiwa dan
semangat baru. Al-Qur’an dengan bahasanya yang sangat indah memberi
nafas baru bagi musik Arab. Hal ini terus berkembang pada masa Bani
Umayah hingga Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan dinasti bani Abasiyah, musik Islam mengalami
kejayaan. Karya dan pemikiran seniman merupakan bentuk rasa cinta mereka
terhadap Islam. Hal ini di awali dari:
 Penyusunan Kitab Musik
Kegiatan penerjemahan yang dilakukan umat Islam tidak hanya
terbatas dalam bidang ilmu pengetahuan, sains dan filsafat, tetapi juga
mencakup karya-karya musik. Diantara para pengarang karya kitab musik
adalah sebagai berikut:
1) Yunus bin Sulaiman (wafat 765 M) Beliau adalah pengarang teori
musik pertama dalam Islam. Karyanya dalam bidang musik sangat
bernilai, sehingga banyak musikus eropa yang meniru gaya
bermusiknya.
2) Khalil bin Ahmad (wafat 791 M). Beliau mengarang buku-buku teori
musik mengenai not dan irama. Karyanya kemudian dijadikan sebagai
bahan rujukan bagi sekolah-sekolah tinggi musik diseluruh dunia.
3) Ishak bin Ibrahim al-Mousuly (wafat 850 M). Ia telah berhasil
memperbaiki musik jahiliyah dengan sistem baru. Buku musiknya
yang terkenal adalah Kitabul Ilhan wal Ghanam. Dia juga mendapat
gelar sebagai Raja Musik (Imamul Mughanniyin).
4) Hunain bin Ishak (wafat 873 M). Ia telah berhasil menerjemahkan
buku-buku teori musik karangan Plato dan Aristoteles.
13

5) Al-Farabi. Selain sebagai seorang filosof, ia juga dikenal sebagai
seniman dan ahli musik. Karyanya banyak diterjemahkan kedalam
bahasa Eropa dan menjadi bahan rujukan bagi para seniman dan
pemusik Eropa


Pendidikan Musik
Para khalifah dan pembesar istana Bani Abbas memiliki perhatian
yang sangat besar terhadap musik. Untuk kepentingan itu, banyak
didirikan lembaga pendidikan musik. Sekolah musik yang paling baik
adalah sekolah musik yang didirikan oleh Sa’aduddin Mukmin (wafat
1295 M). Karyanya berjudul Syarafiya, menjadi bahan rujukan dan
dikagumi masyarakat music dunia barat.
Latar belakangnya penyebab maraknya lembaga pendidikan musik
bermunculan adalah karena kemampuan bermain musik menjadi salah
satu syarat untuk menjadi pegawai atau untuk memperoleh pekerjaan di
lembaga pemerintahan.16

BAB III
PENUTUP
A. KESIPULAN
Masa kekuasaan DinastiAbbasiyah adalah selama kurang lebih lima setengah
abad, yaitu dari tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Selama ini sebanyak 37
khalifah silih berganti memimpin hingga akhirnya tumbang dan digantikan oleh
dinasti lain. Telah banyak perubahan dalam berbagai bidang sebagai tanda
keberhasilan dan kejayaan para penguasa, Salah satunya adalah bidang Sosial dan
Budaya. Diantara perkembangannya yaitu:
1. Bidang Sosial Kemasyarakatan:
a) Adanya kelas sosial dan golongan Taulid
16 Ibid.

14

b) Perjuangan antara Arab dengan Mawali
c) Isamisasi masyarakat
2. Bidang Kebudayaan:
a) Perkembangan Puisi dan Prosa yang memunculkan gaya baru
b) Perkembangan Seni Musik:
 Penyususnan Kitab Musik
 Didirikannya sekolah musik

DAFTAR PUSTAKA

1. Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam: Untuk Madrasah Tsanawiyah kelas 2.
2005. Semarang: Karya Thoha Putra.
2. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam. 1995. Jakarta: Bulan Bintang.
3. Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. 2013. Jakarta: Rajawali
Press
4. Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. 2008. Bandung: Pustaka Setia.

15