SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENERBITAN NOVE

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENERBITAN NOVEL DI INDONESIA
Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Ujian Kompre Mata Sejarah Sastra
Dosen Pengampu: Ahmad Bahtiar, M. Hum
Oleh
Khaerunia Amalah 11120130000161

A.

Sejarah Penerbitan Novel di Indonesia
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada 1440 M di Jerman merupakan tonggak bagi

sejarah perbukuan. Mulanya mesin itu digunakan untuk keperluan penggandaan dan penyebaran
Injil. Tapi kemudian berkembang tidak hanya buku keagamaan tetapi juga buku-buku
pengetahuan, sastra, dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri buku mulai beredar seiring dengan
datangnya orang asing, terutama Belanda, ke Indonesia.
Bentuk karya sastra novel masuk ke Indonesia akibat pengaruh kebudayaan Barat. Mendengar
kata novel, orang akan langsung mengkaitkan kata tersebut dengan cerita. Novel merupakan
cerita yang banyak mengupas kehiduopan manusia. Dalam dunia kesusastraan, novel
digolongkan ke dalam bentuk karya prosa.
Kesusatraan Indonesia mulai memasuki bentuk prosa kira-kira pada akhir abad ke 19.
Bentuk novel ini kemudian berkembang terus di Indonesia dan hingga saat ini banyak kita

jumpai novel-noevl Indonesia yang bermutu. Sejalan dengan perkembangan bentuk novel, maka
bidang penerbitan karya-karya ini juga mengalami kemajuan yang pesat.
1. Masa Sebelum Penjajahan
Berbicara tentang penerbitan buku di Indonesia tentu tak bisa dilepaskan dari budaya
tulis nusantara. Bangsa kita telah mengenal buku setidaknya sejak abad 14 M. Pada masa itu
khazanah perbukuan masih berupa naskah-naskah yang ditemukan dalam bentuk buku
maupun kumpulan lembaran daun lontar yang ditulis tangan. Materi yang ditulis pun beragam
mulai dari naskah resmi kerajaan (perjanjian, keputusan raja), karya sastra, babad (sejarah),
hingga ayat-ayat suci. Beberapa buku tersebut antara lain kitab Sutasoma karya Mpu Tantular
dan Nagarakertagama karya Mpu Prapanca pada abad 14. Kemudian pada abad 16 mulai
muncul penulisan kitab-kitab agama Islam di bidang fikih, tasawuf, teologi, dan etika untuk
1 Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016
1

digunakan sebagai bahan ajar di pesantren yang tersebar di nusantara, terutama di Jawa dan
Sumatra.
2. Masa Penjajahan
a. Penjajahan Belanda
Pada abad 17 VOC mendatangkan mesin cetak ke Hindia Belanda. Ini menjadi awal

bagi dunia percetakan di tanah air. Dengan mesin cetak tersebut VOC mencetak berbagai
macam publikasi mulai dari pamphlet, brosur, Koran dan majalah. Pada tahun 1744 VOC
menerbitkan surat kabar Bataviaasche Nouvelles di Batavia. kemudian pada tahun 1778
pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en
Watenschappen, perpustakaan yang berisi koleksi naskah dan karya tulis di bidang budaya dan
ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada waktu itu budaya membaca hanya dimiliki oleh kaum
penjajah, bangsawan, pemuka agama, dan sedikit kaum terpelajar.
Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (dalam hal
ini surat kabar) dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya
berlokasi di negeri Belanda. Pada saat yang sama percetakan buku juga dikelola oleh swasta,
dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun berselang,
percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno
& Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam pemasaran produknya. Baru
pada masa Bruyning Wijt, perusahaan percetakan buku ini mengalami kemajuan, karena
produk buku-buku mereka mulai dipublikasikan pula melalui iklan-iklan di surat kabar
(www.p3i-pusat.com.)
Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending (surat
pekabaran Injil) Protestan dilaporkan pertama kali datang ke Indonesia tahun 1831, dan
mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun 1850. Di sini mereka mencetak buku,
selebaran, dan surat kabar.

Pada akhir abad 19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang
Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan
terbitan lainya sebelum kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam
bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Mereka juga menerbitkan koran yang tumbuh
subur. Salah satu penerbitan milik orang Tiong Hoa yang tercatat adalah milik Tan Khoen
Swie dengan nama sama dengan pemiliknya di Kediri (indonesiabuku.com). Sebagaimana
2

dilaporkan majalah Tempo, penerbit Tan Khoen Swie ini pernah menerbitkan buku Gatolotjo
dan Dharmagandoel yang pernah dilarang beredar pada masa Orde Baru karena dianggap
melecehkan ajaran agama tertentu. Sementara percetakan milik Indo-Eropa sebagian besar
menerbitkan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.
Penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu telah dimulai kira-kira
pada seperempat terakhir abad ke-19. Menurut Doris Jedamski, The Count of Monte Cristo
karya Alexandre Dumas telah beredar luas dalam bahasa Melayu pada tahun 1894 sampai
1899. Penerjemahan ini mendapat sukses besar di kalayak pembaca bumiputra (Arsya, 2012).
Beberapa dekade sebelum itu, novel-novel Eropa lainnya seperti Robinson Crusoe dan
Sherlock Holmes juga telah diterjemahkan dan diterbitkan terjemahannya oleh penerbitpenerbit swasta. Robinson Crusoe diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Hikajat
Robinson Crusoe yang terbit pada tahun 1875 oleh seorang Belanda bernama Adolf von de
Wall.

Perkembangan karya-karya terjemahan terus membaik. Masih menurut Doris
Jedamski, pada seperempat pertama abad ke-20, pembaca-pembaca Indonesia sudah bisa
membaca The Three Musketeers, Scralet Pimpernel, Ivanhoe, Tarzan, Sinbad, dan Gulliver,
serta pahlawan-pahlawan Karl May dan Baron Munchhausen dalam bahasa Melayu. Segera
saja karya-karya terjemahan ini dapat ditemukan hampir di seluruh kepulauan. Penerjemahan
dan penerbitan karya-karya terjemahan pada awal abad ke-20 ini, berbeda dengan masa
sebelumnya, dilakukan oleh orang-orang indo China dan orang-orang bumiputra sendiri di
luar afiliasi pemerintah kolonial.
Sastra Melayu Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka
pada tahun 1918. Golongan Tionghoa yang hidup lebih makmur dibandingkan golongan
bumiputra, mampu membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur.
Pada zaman Jepang pers Melayu-Tionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di
penerbitan milik Tionghoa ini kemudian tumbuh sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus,
antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya
Student Hidjo.
Tahun 1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan.
Sebelumnya, setiap penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa sebelum
dicetak. Peraturan baru menerapkan sensor represif, yakni menindak dan membatasi barang
3


cetakan setelah diedarkan. Ini menimbulkan akibat positif berupa maraknya berbagai terbitan,
termasuk buku dan majalah.
b. Pembentukan Balai Pustaka
Meskipun dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang, tonggak
penerbitan buku secara masal baru terjadi tahun 1908 dengan pembentukan Commissie Voor
de Inlandsche Chool en Voklslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) melalui keputusan pemerintah
No 12 tanggal 14 Sepetember 1908.
Kemunculan Komisi Bacaan Rakyat tersebut salah satunya karena pemerintah kolonial
menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan Indo-China dan bumiputra rendah
mutunya, karya populer picisan yang bisa merusakkan mental bumiputra.
Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka dan mulai mencetak
ratusan karya, mulai dari buku dalam berbagai bahasa. Puluhan karya sastra pribumi
berbahasa Melayu terbit, seperti Siti Noerbaja karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar, Salah Asuhan-Abdul Muis, Lajar Terkembang - Sutan Takdir Alisjahbana,
Atheis - Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak yang lainnya. Setelah empat tahun
pendiriannya, Balai Pustaka memiliki mesin cetak sendiri untuk keperluan seluruh
terbitannya.
Namun, setelah maraknya penerjemahan karya asing pada perempat pertama abad ke20 itu, Balai Pustaka mulai melakukan penerjemahan-penerjemahan novel-novel Eropa ke
dalam bahasa Melayu. Karya-karya yang diterjemahkan Balai Pustaka berbeda dengan karya
terjemahan penerbit-penerbit di luar kanon yang lebih banyak menerbitkan cerita-cerita

detektif, kisah-kisah kepahlawanan, dan roman-roman populer lainnya.
Penerjemahan novel-novel asing ini berimbas kepada perkembangan kesastraan di
tanah Hindia sendiri. Pada dekade tahun 1930-1940, muncul dengan semarak roman-roman
picisan di berbagai kantong-kantong kesastraan di daerah. Menurut Soedarmoko, di Padang,
Medan, Bukittingi, Gorontalo, Solo, muncul terbitan-terbitan berkala yang memuat romanroman picisan. Roman-roman ini dianggap berada di luar kanon kesastraan Hindia Belanda
(Arsya, 2012).
Roman-roman ini pada umumnya memiliki kesamaan tema garapan dan plot atau alur
narasi dengan kebanyakan novel-novel terjemahan di atas. Cerita-cerita kepahlawanan dan
detektif adalah warna umum dari roman-roman picisan ini yang nampaknya diadopsi oleh
4

karya-karya terjemahan. Hal tersebut tidak terjadi tanpa sebab. Pada masa itu pemerintah
kolonial Belanda menerapkan aturan yang ketat terhadap seluruh buku dan barang cetakan
yang beredar di masyarakat. Sebagai lembaga buatan Hinda Belanda, tidaklah mengherankan
jika buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak ada yang memuat masalah politik apalagi kritik
terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dominasi Balai Pustaka berdampak pada tersingkirnya
karya-karya sastra dari penulis pribumi, peranakan Tionghoa, dan Indo-Eropa yang sudah
beredar jauh sebelum Balai Pustaka beredar.
Selain Balai Pustaka milik pemerintah kolonial, ada juga penerbitan milik kaum
bumiputra dengan berdirinya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in

Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Selain itu ada juga
percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang menerbitkan Mata Gelap (Mas
Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram) yang
menerbitkan Koran Si Tetap (Yusuf et.al. 2010:44). Penerbit-penerbit milik kaum bumiputra
tersebut memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputra. Sehingga dalam
kurun waktu 1920-1926 mulai menjamur ‘bacaan liar’ di kalangan bumiputra yang
menumbuhkan semangat pergerakan.
c. Penjajahan Jepang
Memasuki zaman Jepang, penerbitan buku-buku sastra yang bernada “anti Belanda”
lebih berkembang. Menurut sejarawan Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993),
penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada digunakan oleh tentara Jepang untuk
kepentingan propaganda. Sehingga seluruh karya yang dihasilkan pada saat itu harus sesuai
dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa Belanda, Cina,
dan Indonesia dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang. Surat kabar Tjahaya Timoer
yang mencoba kritis pada pemerintah Jepang langsung dibredel. Selanjutnya diganti oleh
Jepang dengan menerbitkan surat kabar Asia Raja. Pada 8 Desember 1942 Jawa Shinbun
sebagai surat kabar berbahasa Jepang terbit untuk pertama kalinya. Dua surat kabar itulah
yang menjadi rujukan berita bagi surat kabar-surat kabar di Jawa.
Melalui Pusat Kebudayaan yang didirikan Jepang, seniman dan sastrawan Indonesia
dipaksa untuk menghasilkan karya-karya sastra yang menunjang politiknya. Sebagai contoh,

Tjinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar dan Palawidja karya Marah Halim, yang keduanya
diterbitkan

oleh

Balai

Pustaka.

Pengarang-pengarang
5

Indonesia

menyampaikan

ketidakpuasaannya melalui tulisan-tulisan mereka yang bersifat simbolik. Hal ini nyata dalam
puisi dan drama karya pengarang-pengarang Indonesia pada masa itu. Sedangkan penerbitan
novel sukar untuk lolos dari sensor Jepang dan hanya sedikit saja novel sastra yang
diterbitkan pada zaman ini. Balai Pustaka dan Pustaka Rakyat tetap menjalankan fungsinya

sebagai penerbit karya sastra, walaupun jumlah novel yang diterbitkannya jauh lebih sedikit.
3. Era Kemerdekaan
Hingga 1950 industri penerbitan buku Indonesia didominasi oleh Balai Pustaka
disamping mulai munculnya penerbit buku nasional seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat
(sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di Jakarta,
Ganaco di Bandung dan lain-lain. Balai Pustaka pasca kemerdekaan hingga tahun 1950
berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar.
Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan Dari Ave
Maria ke Djalan Lain ke Roma; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer
dengan Dia Jang Menjerah dan Bukan Pasar Malam; Mochtar Lubis dengan Si Djamal.
Selain karya anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor
Dostojevsky, John Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit Balai
Pustaka rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar
buku yang cetak ulang dari tahun sebelumnya.
a. Orde Lama
Tahun 1950-an adalah periode kemunculan penerbit swasta nasional. Sebagian besar
berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan
idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah
penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan beroperasi di Indonesia.
Pemerintah orde lama waktu itu mendirikan Yayasan Lektur. Yayasan tersebut

memiliki dua fungsi utama yaitu untuk mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan
mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan
penerbitan nasional dapat meningkat dengan pesat. Perkembangan industri penerbitan buku,
telah mendorong pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 17 Mei 1950 yang pada
waktu itu hanya beranggota 13 penerbit.

6

Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi
semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong
pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi
subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan
menjual buku-bukunya dengan harga murah. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 melonjak naik menjadi 600an lebih. Lagi-lagi sebagian besar penerbit terkonsentrasi di Jawa.
b. Era Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari
peralihan dari orde lama ke orde baru adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam
bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus.
Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami
kemunduran.

Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri,
kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan oleh pemerintah. Keadaan
tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke
tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang
dibutuhkan di pasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan bukubuku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.
Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah
penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Tercatat bukubuku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya,
tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku
Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, kemudian Era Baru, Pemimpin Baru tidak bisa
dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian
kekuasaan pada tahun 1966.
4. Penerbitan Novel Indonesia Tahun 1970-1980
Dunia penerbitan novel di negeri kita selama periode 1970-1980 cukup memberikan
sumbangan yang berarti dalam sejarah dunia penerbitan karya-karya sastra di Indonesia. Masa
krisis dalam dunia penerbitan karya sastra khususnya novel sekitar tahun 60an dengan
7

puncaknya tahun 1970, secara berangsur-angsur mencapai kemajuan yang menggembirakan
pada tahun-tahun berikutnya.
Kemajuan diawali dengan berdirinya penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1971, yang
menerjunkan diri khusus dalam bidang penerbitan buku-buku sastra, termasuk novel. Sejalan
dengan perkembangan sastra itu sendiri, pada tahun 1973 penerbit Gramedia mulai
menerbitkan novel pop, yaitu Karmila, yang sebelumnya pernah dimuat dalam bentuk cerita
bersambung di harian Kompas. Setelah novel ini, menyusul novel-novel lainnya seperti
Cintaku di Kampus Biru, Badai Pasti Berlalu, dsb. Penerbitan novel bertambah semarak
dengan adanya sayembara penulisan fiksi yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
majalah Kartini, Femina, Gadis dan lain-lainnya. Juga penilaian buku fiksi yang
diselenggarakan oleh Yayasan Buku Utama menambah gairah pengarang dan penerbit dalam
memproduksi novel. Para penerbit banyak yang menyusul jejak kedua penerbit itu. Mereka
berusaha keras untuk mendapatkan naskah dan menerbitkannya.
Pemerintah melihat kompleksnya masalah industri buku apalagi hal itu menyangkut
berbagai dan lintas sektor seperti pendidikan, perindustrian, perdagangan, dan keuangan. Oleh
karena itu melalui Keppres No 5 Tahun 1978, Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan
dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) yang bertugas melakukan berbagai kajian dan
merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang perbukuan nasional. Badan ini pulalah yang
melakukan kajian perbukuan secara nasional dan mengidentifikasi perlunya Undang-Undang
untuk mengatur perbukuan secara nasional.
5. Masa Reformasi dan Setelahnya
Tahun 1997, BPPBN menyusun draf awal UU tentang perbukuan nasional tetapi tidak
ditindak lanjuti sampai Badan ini dibubarkan. BPPBN dirasakan kurang fungsional dalam
mengatasi berbagai masalah serta lebih berfokus pada kajian-kajian dan rekomendasi
kebijakan serta tidak melakukan kegiatan operasional. Pada tahun 1999 sesuai dengan salah
satu rekomendasi hasil Kongres Perbukuan Nasional tahun 1995, dibentuk Dewan Buku
Nasional (DBN) yang diketuai oleh Presiden RI dengan sejumlah Menteri dan wakil
masyarakat perbukuan sebagai anggotanya. Namun dewan ini juga tidak berfungsi dengan
optimal karena masing-masing anggotanya sudah memiliki tugas dan kewajiban lain yang

8

lebih pokok. Pada akhirnya dewan tersebut dibubarkan pada November 2011 oleh Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara.
Sebelumnya, pada tahun 1987 pemerintah melalui Keppres No. 4 Tahun 1987
dibentuk Pusat Perbukuan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fungsi
dari Pusat Perbukuan ini adalah untuk mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong
industri perbukuan dan melanjutkan upaya membuat Rancangan Undang-Undang Sistem
Perbukuan. Namun sebelum UU tersebut berhasil disusun, Pusat Perbukuan tersebut
disatukan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan dengan lingkup kerja yang semakin
sempit. Pusat tersebut sekarang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku pendidikan
yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan sekolah.
Era reformasi tahun 1999 dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di
segala bidang mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, tanpa kecuali politik perbukuan. Pada
tahun itu pula pemerintah mencabut peraturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Aturan
tersebut sebenarnya dikhususkan bagi perusahaan penerbitan pers. Namun secara tidak
langsung pencabutan aturan tersebut mendorong semakin banyak orang maupun lembaga
mengekspresikan pendapatnya, yang salah satunya dengan cara menerbitkan buku.
Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement
on Tariff and Trade pada tahun 1994, dan ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995,
membawa konsekuensi pengurangan peran pemerintah dalam bisnis penyediaan barang dan
jasa, termasuk pengadaan buku pelajaran.
Pada masa Orde Baru, pengadaan buku pelajaran dilakukan oleh pemerintah melalui
penerbit Balai Pustaka yang berstatus BUMN. Buku pelajaran mulai dari sekolah dasar hingga
SLTA wajib menggunakan buku terbitan Balai Pustaka. Sedangkan buku pelajaran dari
penerbit swasta hanya sebagai buku pelengkap saja.
Sebagai akibat dari penandatanganan perjanjian perdagangan bebas, pemerintah
mencabut peraturan tersebut dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sejak saat itu jumlah
penerbit baru terus bertambah dan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Pada saat itu pula
mulai muncul berbagai masalah dalam bisnis perbukuan. Misalnya tentang distribusi buku
pelajaran, para penerbit menghubungi langsung para guru pengampu pelajaran agar menyuruh
siswanya membeli buku tersebuat. Selanjutnya para guru tersebut mendapatkan imbalan
tertentu dari penerbit.
9

Praktik tersebut membuat persaingan antarpenerbit semakin sengit. Mereka berlombalomba menurunkan harga buku atau menaikkan komisi untuk tenaga pendidik di sekolah agar
buku mereka yang digunakan. Praktik tersebut merusak harga pasaran buku pelajaran dan
menurunkan kualitas isi buku pelajaran.
Mengatasi persoalan buku pelajaran yang mahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan
mendanai penerbitan buku-buku pelajaran tertentu dengan menggunakan dana Bantuan
Operasi Sekolah. Kebijakan ini di satu sisi menguntungkan bagi sekolah-sekolah swasta atau
sekolah negeri dengan kemampuan finansial rendah. Namun dari segi bisnis, kebijakan
tersebut dianggap sebagai dominasi pemerintah terhadap pasar dan penerbit.
Selain buku pelajaran, ada beberapa fenomena menarik dalam pasang surut bisnis
perbukuan di Indonesia paska reformasi. Pertama, buku motivasi. Sekitar dekade 90-an di
Indonesia, khususnya Jawa, sedang marak fenomena Multi Level Marketing atau biasa dikenal
dengan sebutan MLM. Orang-orang tergiur dengan janji keuntungan yang besar dalam waktu
yang cepat. Kelompok-kelompok MLM biasanya memiliki jadwal pertemuan antarsesama
anggota. Salah satu kegiatan pertemuan tersebut adalah pemberian motivasi dari leader atau
anggota yang sudah mencapai level tinggi. Sekali sang leader mengatakan bahwa suatu
produk atau buku tertentu itu bagus, maka para downline akan segera mencari dan
membacanya. Itu sebabnya buku-buku motivasi dan MLM seperti Rich Dad Poor Dad,
Cashflow Quadrant, Skill with People, Berpikir dan Berjiwa Besar, Financial Revolution
marak diburu.
Kedua, tren fiksi Islami. Ditandai dengan kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta karya
Habiburrahman El-syirazi. Novel ini melejit salah satunya karena ekspos media massa. Pada
saat itu novel yang berlatar Negara Mesir tersebut dianggap menawarkan nuansa dan kisah
cinta yang tak biasa di Indonesia. Bahkan novel tersebut akhirnya dibuat versi film layar
lebar. Akibatnya, muncul karya-karya fiksi dengan tema serupa, desain muka yang mirip,
bahkan cara penulisan nama pengarangnya.
Ketiga, tren fiksi petualangan. Pada tahun 2005 ada satu novel sangat laris yaitu
Laskar Pelangi. Novel tersebut mengisahkan tentang perjalanan seorang anak kampung yang
berhasil mewujudkan impiannya untuk kuliah di luar negeri. Novel tersebut juga diproduksi
dalam versi film layar lebarnya pada tahun 2008, dan sukses. Kesuksesan Laskar Pelangi

10

tidak berhenti sampai di situ. Laskar Pelangi kemudian dibuat versi serial, pentas musikal, dan
diterjemahkan serta dipasarkan ke 20 negara di dunia.
Sebenarnya fiksi yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan tokohnya sudah
pernah booming di era 90-an, yang paling terkenal misalnya Balada Si Roy. Namun yang
membedakannya adalah Laskar Pelangi memberi inspirasi pembacanya tentang kondisi
pendidikan di Indonesia dan petualangan di luar negeri. Sejak saat itu juga banyak muncul
karya-karya fiksi yang menggambarkan suka duka hidup di negeri orang. Ada yang ditulis
keroyokan ada juga yang perorangan. Selain itu juga marak buku-buku saku berisi tips
bepergian ke luar negeri lengkap dengan rincian biaya yang diperlukan.
Terakhir, munculnya buku elektronik. Perkembangan teknologi selalu membawa
inovasi dan cara baru bagi manusia menikmati hal-hal tertentu, termasuk membaca buku.
Harga laptop atau netbook yang semakin terjangkau dan meningkatkan kesadaran masyarakat
atas kelestarian lingkungan memunculkan kebiasaan baru masyarakat yaitu membaca buku
elektronik. Meskipun mungkin kebiasaan ini baru diadopsi oleh kalangan ekonomi menengah
ke atas dan berpendidikan.
B.

Lima Pilar Industri Perbukuan di Indonesia
Berdasarkan kenyataan di lapangan, industri perbukuan di Indonesia setidaknya melibatkan

5 pihak yaitu penerbit, percetakan, distributor, toko buku, dan konsumen pembaca. Masingmasing memiliki dinamika tersendiri yang secara ringkas akan dibahas berikut ini. Sayangnya
untuk menyusun analisis yang komprehensif mengenai industri buku di Indonesia tidaklah
mudah karena minimnya data baik kuantitatif maupun kualitatif yang terdokumentasi.
a. Penerbit
Tidak ada data yang pasti tentang berapa jumlah penerbit yang masih beroperasi.
Namun berdasarkan data dari IKAPI setidaknya terdapat 793 penerbit di seluruh
Indonesia. IKAPI merupakan asosiasi penerbit buku terbesar di Indonesia. Namun dari
sekian jumlah itu, 90% penerbit berlokasi di Jawa. Sementara 10% sisanya tersebar di
berbagai pulau. Hal ini menunjukkan bahwa industri perbukuan masih sangat tidak
merata.
Jumlah penerbit yang cukup besar itu ternyata tidak menjamin tingginya
produksi judul buku baru yang diterbitkan. Menurut IKAPI (2010) jumlah judul buku
11

baru yang diterbitkan rata-rata 12.000 judul per tahun termasuk terjemahan dan cetak
ulang. Jumlah ini masih jauh di bawah Malaysia yang rata-rata menerbitkan 13.000
judul per tahun. Apalagi jika dibandingkan dengan India yang mencapai 25.000 judul
per tahun (kompas.com). Begitu pula jumlah cetak per judulnya relatif masih rendah
yaitu 2000-3000 eksemplar per judul buku.
Selain penerbit yang tergabung dalam IKAPI, ada juga penerbit yang
tidak/belum bergabung. Biasanya mereka ini adalah penerbit-penerbit skala kecil
dengan pegawai yang sedikit. Bahkan ada penerbit yang hanya dijalankan oleh dua
orang saja. Hal ini terjadi karena memang usaha penerbitan tidak membutuhkan
investasi yang mahal dan sangat mudah pengurusannya.
Dilihat dari konten buku yang diterbitkan, IKAPI mengelompokkan 5 jenis
penerbitan yaitu penerbitan jenis buku agama, buku umum, buku pelajaran, buku
perguruan tinggi (PERTI) dan buku anak-anak/remaja dengan komposisi 17,95% buku
agama (319 perusahaan), 13,96% buku perguruan tinggi (248 perusahaan), 10,35%
buku anak-anak/remaja (184 perusahaan), buku umum 8,67% ( 154 perusahaan) dan
buku pelajaran 4,45% (79 perusahaan).
b. Percetakan
Industri penerbitan baik fiksi maupun nonfiksi tidak bisa dilepaskan dari bisnis
percetakan. Dalam kondisi ideal sebuah industri buku, antara bisnis penerbitan dan
percetakan seyogyanya terpisah. Namun jikalau pada kenyataannya kedua bisnis
tersebut bergabung menjadi satu juga tidak menjadi masalah. Lazimnya hanya lembaga
penerbitan yang sudah mapan saja yang memiliki percetakan sendiri dengan alasan
lebih ekonomis. Sementara bisnis percetakan yang masih baru biasanya memulai
usahanya dengan melayani jasa berbagai macam percetakan. Dilihat dari struktur
industrinya, bisnis penerbitan dan percetakan tidak jauh beda. Aturan perijinan untuk
usaha percetakan dan penerbitan juga bisa dikatakan mirip. Maka tak heran jika para
pelaku usaha percetakan juga menjalankan usaha penerbitan.
c. Distributor
Secara ekonomi, pihak distributor merupakan unit bisnis yang seharusnya
mendapatkan keuntungan paling besar dari rantai industri buku. Pasalnya distributor
tidak memerlukan modal awal yang tinggi dibanding pelaku penerbitan, percetakan,
12

maupun toko buku sekalipun. Distributor bisa mendapatkan 20-40% dari harga jual
buku tanpa perlu mengeluarkan modal sebanyak penerbit. Sehingga banyak orang yang
tertarik untuk berbisnis sebagai distributor buku.
Secara umum ada 3 jenis distributor yang beroperasi di Indonesia. Pertama
distributor yang dijalankan oleh perusahaan penerbitan itu sendiri. Kedua, distributor
yang mengambil buku dari penerbit-penerbit ke toko buku dan pembaca. Terakhir, toko
buku yang menjual ke konsumen.
Kenyataan bahwa banyak penerbit yang mendistribusikan bukunya sendiri
membuat persaingan bisnis di level ini menjadi tidak sehat. Rupanya penerbit tidak mau
kehilangan potensi keuntungan dari jalur distribusi ini. Oleh karena itu dalam peraturan
pemerintah yang baru mengatur persoalan distribusi buku yaitu bahwa toko merupakan
jalur terakhir distribusi buku dari penerbit. Artinya bahwa penerbit tidak diperbolehkan
menjual langsung kepada pembaca. Sebenarnya tujuan dari peraturan pemerintah
tersebut adalah membatasi agar mata-rantai industri buku tidak dimonopoli oleh
penerbit. Sehingga peluang usaha untuk para penyalur buku tetap terbuka.
Namun kenyataannya di lapangan, penerbit banyak yang berkelit dengan
berbagai cara untuk memaksimalkan keuntungan. Masih banyak penerbit yang langsung
mendatangi calon pembeli (misalnya buku pelajaran). tak sedikit perusahaan penerbit
besar mendirikan toko-toko buku untuk mengakali peraturan pemerintah yang
mengharuskan penjualan buku melalui toko buku.
d. Toko Buku
Memperhatikan perkembangan toko buku dalam industri buku Indonesia, situasi
saat ini sangat tidak kondusif bagi perkembangannya. Saat ini jumlah toko buku terus
menyusut meskipun dalam skema yang diinginkan Pemerintah berada dalam posisi yang
strategis dan menentukan.
Tidak sesuainya praktek dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah
merupakan biang keladi hancurnya toko buku. Keterangan Gabungan Toko Buku
Indonesia (GATBI), sebagaimana dilaporkan KPPU, menyatakan bahwa sebelumnya
jumlah toko buku berada di atas 2000. Tetapi saat ini jumlah tersebut menyusut menjadi
hanya sekitar 700-800 saja.

13

Penyusutan lebih banyak diakibatkan oleh tidak adanya penegakan hukum
terhadap penerbit yang secara langsung memasarkan buku ke konsumen. Kasus ini
banyak terjadi untuk buku pelajaran di sekolah (yang sesungguhnya dilarang
berdasarkan kebijakan). Padahal buku teks pelajaran sekolah merupakan bagian terbesar
dari pasar buku di Indonesia saat ini.
Jadi yang terjadi saat ini, persaingan antar toko buku mungkin justru melemah.
Tetapi persaingan dengan jaringan distribusi penerbit justru banyak terjadi. Dipastikan
toko buku akan kalah bersaing, mengingat buku-buku teks pelajaran hanya dimiliki oleh
penerbit dengan jumlah terbatas, serta mampu melakukan pendekatan terhadap level
penentu buku yang akan digunakan di sekolah.
e. Konsumen/Pembaca
Kemajuan industri buku bisa dijadikan salah satu indikator peningkatan
kemampuan literasi masyarakat. Jika melihat banyaknya penerbit buku yang ada di
Indonesia, kita boleh sedikit bangga. Namun apakah itu berarti menunjukkan minat baca
masyarakat yang juga semakin meningkat? Kita perlu cari tahu.
Berdasarkan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang
yang punya minat baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Kondisi tersebut
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan minat baca terendah dari 52
negara di Asia Timur.
Di samping rendahnya minat baca, problem yang lain adalah tidak meratanya
persebaran buku bacaan di Indonesia. Data IKAPI terbaru tahun 2011 menunjukkan
bahwa 70 persen distribusi buku fiksi maupun nonfiksi terserap di pulau Jawa dan Bali.
Di samping karena sebagian besar penerbit berproduksi di pulau Jawa, hal ini juga
disebabkan tingginya biaya pengiriman buku ke luar Jawa (indonesiabuku.com).
C.

Sistem Distribusi Novel Indonesia
Menyebarluaskan novel maupun bahan pustaka lainnya agar sampai di tangan pembaca,

merupakan pekerjaan yang tidak begitu mudah. Penerbit harus mempunyai sistem distribusi yang
tepat dan cermat. Promosi baik dan terarah, cara penjualan yang tepat dan penggunaan saluran
distribusi secara efektif, akan menunjang keberhasilan distribusi novel. Untuk memasarkan suatu
14

hasil karya, dibutuhkan serentetan promosi yang diharapkan akan menunjang pemasran benda
itu.
Istilah promosi menurut Datus C. Smith, mecakup semua cara yang digunakan penerbit
untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa telah terbit suatu buku dan penerbit berusaha
merangsang orang agar membelinya. Promosi buku, dalam hal ini novel, dapat ditempuh dengan
mempergunakan iklan, poster, katalog/selembaran, resensi, spanduk, mengirimkan novel sebagai
hadiah kepada lembaga atau individu/tokoh terkenal, yang pendapatnya dapat mempengaruhi
masyarakat. Kebanyakan penerbit memilih mengunakan sara promosi pada surat kabar,
selembaran maupun mengirimkan ke media massa dengan harapan diresensi.
Cara promosi dengan mempergunakan katalogus/selembaran merupakan cara yang paling
sederhana dalam mempromosikan novel di Jakarta. Penerbit dapat menyebarkan kedua media
tersebut kepada agen, toko buku maupun kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika banyak penerbit yang melakukan hal ini.
Usaha penerbit untuk mengirimkan novel diterbitkannya kepada media massa dengan
harapan diresensi, merupakan usaha spekulasi penerbit. Media massa yang secara periodikal
memuat resensi, antara lain: Suara Karya, Pelita, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana,
Tempo, Kartini, Femina, Gadis dan Puteri. Penerbit yang kebetulan mempunyai media seperti
Gramedia dengan Kompas-nya, Variasi Jaya dengan Kartini dan Puteri-nya, Gaya Favorit Press
dengan Femina dan Gadis-nya, dapat mengusahakan promosi untuk novel-novel yang
diterbitkannya melalui resensi. Sedangkan penerbit novel yang tidak mempunyai media seperti
ini, usaha mengirimkan novel ke media massa, tidak selalu menjamin pemuatan resensi, kecuali
kalau ada kerjasama dengan media-media tertentu.
Melalui promosi dengan menggunakan spanduk merupakan sara yang dapat menarik
perhatian khalayak ramai dalam waktu singkat. Salah satu penerbit yang menggunakan cara
promosi ini adalah penerbit Cypress. Pemasangan spanduk ini biasanya dilakukan untuk
pengarang tertentu, yaitu hanya untuk karya pengarangnya yang sudah dikenal masyarakat dan
diperkirakan karyanya akan laris.
Pengiriman novel sebagai hadiah kepada lembaga atau tokoh terkemuka, merupakan salah
satu cara yang juga dipakai untuk mempromosikan novel. Beberapa lembaga/instansi penting
yang mendapatkan hadiah dari penerbit-penerbit novel. Yayasan Idayu, yang menerbitkan
terbitan berkala Berita Bibliografi, mendapat perhatian besar dari penerbitan karena mereka
15

memuat semua judul-judul yang dikirimkan oleh penerbit.selanjutnya adal dari Perpustakaan
Museum Pusat dan Pusat Pembinaan Perpustakaan (P3) para penerbit mengirimkan novelnya
kepada kedua instansi ini karena mereka juga mendokumentasikan terbitannya. P3 menerbitkan
Bibliografi Nasional Indonesia, yang kala terbitanya triwulan-an. Bibliografi ini tidak dapat
dijadikan sebagai alat promosi, karena judul-judul yang terdaftar, mungkin sudah tidak berada
dalam peredaran. Perpustakaan Museum Pusat juga mendaftar buku-buku baru yang diterimanya
ke dalam Daftar Buku Tambahan, hal ini juga ditujukan hanya untuk pemakai perpustakaan saja
bukan sebagai alat promosi.

16

Daftar Pustaka
Arsya, Deddy. 2012. “Penerjamahan Karya Asing pada Zaman Belanda”. Inioke.com edisi 15
Mei 2012. tersimpan dalam http://www.inioke.com/Rubrikasi/1315-Penerjamahan-KaryaAsing-pada-Zaman-Belanda-.html diakses pada 10 November 2016.
Angela. 2006. Tidak Ada Buku yang Menumpuk di Gudang. Koran Tempo Edisi 28 Juli 2006.
Tersimpan dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Amarudin, Bandelan. 2005. Penerbit dengan Barokah Tinggi. Ruang Baca Koran Tempo 15 Mei
2005. Tersimpan dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2009. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung:
Titian Ilmu.
Djaja, Tamar, 1955. Roman Pitjisan. Jakarta: Buku Kita.
Hifzhillah, Tasyriq. 2004. Penerbit Baru, Penulis Baru. Harian Suara Merdeka 21 November
2004. Tersimpan dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Jassin, H.B. 1969. Kesusastraan Indonesia di masa Djepang. Djakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, M.J. dan Nugroho S. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Suyono S.J. et.al. 2006. “Jejak Boekhandel Tan Khoen Swi”. Majalah Tempo 7 Agustus 2006.
Tersimpan dalam http://indonesiabuku.com/?p=12754 diakses pada 10 November 2016.
Yusuf, Iwan A. et.al. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan
Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media dan FES Indonesia.

17