KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI CAGAR ALAM

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG
SULAWESI UTARA DAN PELUANG POTENSINYA
Diah Irawati Dwi Arini1*, Margareta Christita1,
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jalan Tugu Adipura Raya, Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado – Sulawesi
Utara
1

*Corresponding author : No. tilp: +62 81228958880, Email: irawati.diah@gmail.com
______________________________________________________________________________________
ABSTRACT
Gunung Ambang Nature reserve is a conservation area located in North Sulawesi that hold the
biodiversity typical of Wallacea bioregion. In addition to the higher vegetation, this region also
has the potential diversities of macroscopic fungi. The purpose of this study is to identify the
fungal species diversity found in the Gunung Ambang σature reserve as well as it‘s potential
utilizing opportunities, considering that the information on species diversity of fungi in the
Wallacea region is very limited. This research was conduct using the Cruise Method by
identifying macroscopic fungi along the hiking trail of Gunung Ambang Nature Reserve. The
macroscopic fungi were observed based on the characteristics includes the color, diameter,

surface of the veil, the shape of the stem, the length and diameter of the stem, the presence or
absence of lamella or porous and ring, type of lamella and the type volva. The research also
identifies grow medium and the location where the fungus was found. Data were analyzed
descriptively qualitative. The results of the research identified 29 species of macroscopic fungi
that included to the division Ascomycota and Basidiomycota. It belongs to 16 families and 10
orders are Xylariales, Pezizales, Cantharellales, Agaricales, Auriculariales, Gloeophyllales,
Hymenochaetales, Phallales, Polyporales and Russulales. Based on the potential of use, it has
identified 10 types of mushrooms potentially as edible mushroom are Sarcoscypha maximus,
Craterellus strugosus, Craterellus sp., Lyophyllum loricatum, Lyophyllum sp., Marasmius
maximus, Plerotus sp., Auricularia sp., Microporus affinis, and Lactarius piperatus. Five types
were identified as medicinal fungi are Xylaria sp.1, Xylaria sp.2, Xylaria sp.3, Gleophyllum
sepiarrum, and Phallus tenuis. Based place to grow as much as 62% were found growing on
decaying wood and 38% found growing in the soil / litter.
Keywords: Macrofungi, Gunung Ambang Nature Reserve, potential, food, medicine
PENDAHULUAN
Dalam ekosistem hutan, jamur berperan sebagai dekomposer bersama dengan bakteri dan
protozoa yang memiliki peran dalam mendekomposisi bahan organik untuk mempercepat siklus
materi. Jamur membantu dalam menyuburkan tanah melalui penyediaan nutrisi bagi tumbuhan
sehingga hutan tumbuh dengan subur (Suharna, 1993). Jamur atau fungi merupakan organisme
terbesar kedua setelah serangga di dunia ini. Saat ini diperkirakan 150 juta atau tujuh jenis

didalamnya termasuk satu juta jenis makrofungi telah teridentifikasi (Li et al., 2012). Makrofungi
merupakan bagian dari kelompok fungi atau jamur yang memiliki tubuh buah dan dapat diamati
dengan mata langsung, lebih lanjut dijelaskan oleh Munir (2006) jamur makroskopis atau
makrofungi merupakan kelompok utama organisme pendegradasi lignoselulosa karena mampu

49

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

menghasilkan enzim-enzim pendegradasi lignoselulosa seperti selulase, ligninase, dan
hemiselulase, sehingga siklus materi dapat terus berlangsung.
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman spesies jamur makroskopis yang tinggi,
hal ini didukung oleh kondisi lingkungan Indonesia yang mempunyai iklim tropis basah. Beberapa
jenis jamur telah dimanfaatkan bahkan dibudidayakan sebagai bahan pangan maupun obatobatan seperti Pleurotus ostreatus dan Auricularia spp. Menurut Permana et al. (2016)
keanekaragaman makrofungi di alam sebagai jamur pangan telah dikonsumsi manusia sejak
beratus-ratus tahun yang lalu sebagai pangan spesial yang memberikan kenikmaatan citarasa
karena nilai gizinya yang tinggi. Namun demikian, sampai saat ini data maupun literatur
mengenai keanekaragaman jamur makroskopis dan manfaatnya di Indonesia pada umumnya
masih sangat terbatas termasuk spesies jamur yang berasal dari kawasan Wallacea yang dikenal
dengan endemisitas spesies yang tinggi.

Cagar Alam Gunung Ambang merupakan satu dari kawasan konservasi yang berada Sulawesi
bagian Utara dan menyimpan keanekaragaman hayati khas bioregion Wallacea. Memiliki empat
tipe ekosistem yaitu hutan dataran rendah, hutan pegunungan, gunung api serta ekosistem
danau. Secara administratif CA. Gunung Ambang berada di dua kabupaten yaitu Bolaang
Mongondow dan Minahasa Selatan. Kawasan ini ditetapkan menjadi cagar alam berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.359/Kpts/Um/6/1978 dengan luas kawasan seluas 8.638
ha. Namun, setelah dilakukan rekonstruksi dan pemancangan, tata batas mengalami perubahan
menjadi ± 22.132 ha. Awal mula penetapan kawasan ini bertujuan untuk melindungi satwa khas
Sulawesi yaitu anoa atau Bubalus depresicornis. Jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan ini
diantaranya Calamus spp. dan Bambusa spp. yang merupakan vegetasi penyusun hutan. Pada
daerah hutan primer didominasi oleh Ficus, dari Suku Arecaceae serta dari Marga Adinandra dan
Palaquium (Embo et al., 2015). Selain vegetasi tingkat tinggi, kawasan ini juga memiliki berbagai
keanekaragaman jenis jamur karena didukung oleh kondisi iklimnya. Namun informasi mengenai
keanekaragaman jenis jamur makrofungi khususnya di kawasan ini belum pernah ada. Tujuan
dari penelitian ini adalah mengidentifikasi keanekaragaman jenis jamur yang terdapat di CA.
Gunung Ambang serta peluang potensi pemanfaatannya.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di CA. Gunung Ambang yang merupakan rangkaian dari kegiatan
eksplorasi flora dan fauna Balai Penelitian Kehutanan Manado yang dilaksanakan pada tahun

2008-2009. Peta lokasi penelitian dijelaskan pada Gambar 1.

50

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

Gambar 1. Lokasi Penelitian CA. Gunung Ambang
Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan terdiri atas alkohol 70%, amplop spesimen, kotak spesimen, kertas
koran, plastik spesimen, kamera digital, GPS, parang, pisau, peta kawasan, kaliper, lembar isian
data, dan alat tulis menulis.
Prosedur Penelitian
Pengumpulan data jenis jamur dilakukan dengan metode jelajah (Cruise method) (Rugayah dan
Pratiwi, 2004) di sepanjang jalur tracking wisata di CA. Gunung Ambang. Jamur yang ditemukan
diambil gambar sebagai dokumentasi dan diamati warna tubuh jamur. Pengamatan makroskopis
isolat makrofungi meliputi bentuk dan warna tudung, permukaan tudung, tipe tudung, diameter
tudung, bentuk tangkai, panjang dan diameter tangkai, ada atau tidaknya lamella atau porus dan
cincin, tipe lamella, tipe volva. Selain jenis dicatat pula tempat tumbunya.
Analisa Data
Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan indetifikasi jenis dan potensi menggunakan

beberapa literatur diantaranya Carlile et al. (Boa (2004), First nature (2014), Anonymous (2016a)
dan Anonymous (2016b).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Makrofungi
Kehidupan makrofungi umumnya bersifat spesifik, masing-masing makrofungi membutuhkan
karakteristik faktor lingkungan yang berbeda. Tipe vegetasi menjadi faktor determinan bagi
keberadaan dan pertumbuhan makrofungi. Vegetasi secara langsung berkontribusi sebagai
substrat dan sumber materi organik bagi pertumbuhan makrofungi. Iklim mikro yang diciptakan
akan menentukan kelembaban udara yang sangat berperan penting bagi pertumbuhan
makrofungi (Prasetyaningsih & Rahardjo, 2015).

51

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

Hasil penelitian di sepanjang jalur pengamatan mengidentifikasi sebanyak 29 spesies jamur
makroskopis yang termasuk ke dalam dua divisi yaitu Ascomycota dan Basidiomycota.
Ascomycota terdiri dari dua kelas yaitu Sordariomycetes dan Pezizomycotina, dua ordo yaitu
Xylariales dan Pezizales, terdiri dari dua famili yaitu Xylariaceae yang memiliki tiga spesies dan
Sarcoscyphaceae yang terdiri dari satu spesies. Sedangkan Basidiomycota terdiri dari satu kelas

yaitu Agaricomycetes dan delapan ordo yakni Cantharellales, Agaricales, Auriculariales,
Gloeophyllales, Hymenochaetales, Phallales, Polyporales dan Russulales. Terdiri dari 14 famili
dan 25 spesies. Jika dilihat dari jumlah spesies berdasarkan divisi menunjukkan Basidiomycota
memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan divisi Ascomycota, hal ini dijelaskan
oleh Santoso (2004) bahwa spesies jamur makroskopis yang paling sering ditemukan adalah dari
divisi Basidiomycota. Hal ini disebabkan, sebagian besar anggota dari divisi Ascomycota
umumnya bersifat mikroskopis dan hanya sebagian kecil bersifat makroskopis atau memiliki
tubuh buah (Dwidjoseputro, 1978). Keanekaragaman jenis jamur makrofungi yang ditemukan di
CA. Gunung Ambang selelngkapnya disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Keanekaragaman jenis jamur makrofungi yang ditemukan di CA. Gunung Ambang
Divisi

Kelas

Ordo

Famili

Spesies
Xylaria sp.1


Ascomycota

Sordariomycetes

Xylariales

Xylariaceae

Xylaria sp. 3
Pezizomycotina

Pezizales

Sarcoscyphaceae

Cantharellales

Cantharellaceae
Cortinariaceae

Lyophyllaceae

Marasmiaceae
Agaricales
Basidiomycota

Xylaria sp.2

Psathyrellaceae

Sarcoscypha maximus
Craterellus sp.
Craterellus strugosus
Dermocybe sp.
Lyophyllum loricatum
Lyophyllum sp.
Marasmiellus candidus
Marasmius maximus
Corprinus lagopus
Pholiota squarossa


Agaricomycetes
Strophariaceae

Kuehneromyces sp.
Hypholoma sp.

52

Tricholomataceae

Plerotus sp.

Mycenaceae

Mycena sp.
Auricularia sp.1

Auriculariales


Auriculariaceae

Gloeophyllales

Gloeophyllaceae

Gleophyllum sepiarrum

Hymenochaetales

Hymenochaetaceae

Hymenochaete rubiginosa

Phallales

Phallaceae

Phallus tenuis


Auricularia sp.2

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

Microporus affinis
Microporus sp.1
Polyporales

Polyporaceae

Microporus sp.2
Oligoporus sp.
Trametes sp.

Russulales

Russulaceae

Lactarius sp.
Lactarius piperatus

Divsi Ascomycota yang dijumpai terdiri empat spesies yaitu Xylaria sp. 1, Xylaria sp. 2. dan
Xylaria sp. 3 yang termasuk dalam ordo Xylariales dan Sarcoscypha maximus yang masuk ke
dalam ordo Pezizales. Menurut Hansen & Pfister (2006) ordo Pezizales banyak ditemukan
tumbuh di tanah maupun di batang kayu, namun kebanyakan tumbuh pada tanah dengan pH
yang tinggi.
Basidiomycota tersebar secara luas di seluruh dunia, berdasarkan morfologinya Basidiomycota
memiliki

anggota

mikrofungi

dan makrofungi.

Basidiomycota mikro

adalah

kelompok

Basidiomycota yang karpnya halus, berukuran mikroskopis, dan sebagian besar merupakan
patogen pada tanaman yang bersifat saprobik (Roossheroe et al.,2014). Pada penelitian ini, divisi
Basidiomycota yang ditemukan terdiri dari delapan ordo. Ordo Cantharellales hanya terdiri dari
satu famili yaitu Cantharellaceae, terdiri dari dua spesies yaitu Craterellus sp. dan Craterellus
strugosus. Ordo Russulales terdiri dari satu famili yaitu Russulaceae dan dua spesies Lactaris sp.
dan Lactarius piperatus. Ordo Auriculariales terdiri satu famili dua spesies yaitu famili
Auriculariaceae, spesies Auricularia sp1. Dan Auricularia sp2. Umumnya Famili Auriculariaceae
memiliki tubuh buah berbentuk seperti telinga, transparan dan permukaannya licin seperti gelatin,
berwarna cokelat. Jamur ini tidak memiliki tangkai dan hidupnya berkoloni dan menempel pada
kayu mati.
Ordo Gloeophyllales, Hymenochaetales dan Phallales hanya terdiri satu famili dan satu spesies
yaitu Gleophyllum sepiarrum, Hymenochaete rubiginosa dan Phallus tenuis. Ordo Polyporales
hanya dijumpai satu famili yaitu Polyporaceae yang terdiri dari lima spesies yaitu Microporus
affinis, Microporus sp1., Microporus sp2., Oligoporus sp. dan Trametes sp. Famili Polyporaceae
banyak ditemukan di tempat-tempat lembab dan sebagian besar anggota keluarga ini memiliki
hymenium (lapisan subur) dalam pori-pori vertikal dibawah payung, tetapi beberapa dari mereka
memiliki insang seperti struktur pori-pori yang memanjang membentuk labirin. Sebagian besar
anggota famili ini memiliki bubuk spora putih yang menyukai tempat-tempat yang lembab dengan
naungan kanopi yang lebat dan sering ditemukan pada substrat serasah maupun kayu hutan
serta memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi yang kurang untuk mendukung
pertumbuhannya (Suhardiman 1995; Muhlisin, 2008). Menurut Hawksworth (2001) Polyporales
mempunyai sifat mendominasi suatu ekosistem dan disebut sebagai spesies kosmopolitan dan
dependent genera.

53

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

Spesies dari ordo Agricales memiliki jumlah famili terbanyak yaitu tujuh famili yaitu
Cortinariaceae,

Lyophyllaceae,

Marasmiaceae,

Psathyrellaceae,

Strophariaceae,

Tricholomataceae dan Mycenaceae dan 11 spesies yaitu Dermocybe sp., Lyophyllum loricatum,
Lyophyllum sp., Marasmiellus candidus, Marasmius maximus, Corprinus lagopus, Pholiota
squarossa, Kuehneromyces sp., Hypholoma sp., Plerotus sp. dan Mycena sp. Hawksworth
(2001) menjelaskan bahwa spesies dari ordo Agaricales merupakan spesies makrofungi yang
mempunyai lamela/gill.
Penelitian yang terkait dengan keanekaragaman jenis jamur makrofungi di bioregion Wallacea
juga pernah dilakukan di Cagar Alam Tangale Gorontalo, hasil penelitian

berhasil

mengindentifikasi sebanyak 17 spesies jamur mikroskopis yang masuk ke dalam delapan famili
dimana famili Polyporaceae memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu sembilan spesies terdiri dari
genus Fomes, Micropurus, Polyporus, dan Lentinus (Santoso et al., 2013).

A

B

E

F

I

M
Gambar 2.

54

C

J

D

G

H

K

L

P ; (D).
(A). XylariaN sp.1; (B). Xylaria sp.2; O(C). Sarcoscypha maximus
Microporus affinis; (E). Hypholoma sp.; (F). Phallus tenuis; (G). Marasmiellus
candidus ; (H). Dermocybe sp.; (I). Auricularia sp.; (J). Corprinus lagopus;
(K). Trametes sp.; (L). Lactarius piperatus; (M). Plerotus sp.; (N). Xylaria
sp.3; (O). Hymenochaete rubiginosa; (P). Marasmius maximus.

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

Berdasarkan tempat tumbuhnya ditemukan dua kelompok yaitu makrofungi yang tumbuh di tanah
atau serasah di lantai hutan sebesar 38% dan makrofungi yang tumbuh pada batang kayu lapuk
sebesar 62%. Pada umumnya jamur yang tumbuh di kayu lapuk terutama yang divisi
Basidiomycota merupakan pendegradasi utama lignin dan lignoselulosa pada kayu, dan juga
merupakan penyebab terjadinya kerusakan atau kebusukan akar (Jensen et al., 2001). Jenis
jamur yang tumbuh di kayu dan telah terbukti menyebabkan busuk coklat seperti jenis
Gleophyllum spp.

Peluang Potensi dan Pemanfaatan
Pemanfaatan jamur baik sebagai bahan pangan, obat-obatan dan bahan kosmetik telah
berlangsung sejak lama. Menurut sejarah Romawi atau Raja Pharoahs pada masa kerajaan
Mesir, jamur menjadi makanan raja, para bangsawan serta pasukan kerajaan yang dipercayai
memperpanjang umur, meningkatkan imunitas (Jahan et al., 2010). Berabad-abad bangsa China
dan dimasa kedinastian Jepang mempercayai jamur sebagai bahan pangan menyehatkan
dengan nilai gizi

tinggi serta properti medisinal (Rukmi & Sulchan, 1999). Keberadaan

makrofungi liar sebagai bahan pangan telah dimanfaatakan secara luas di seluruh dunia.
Tercatat bangsa Cina memanfaatkan jamur liar sebagai bahan pangan sejak ratusan tahun
sebelum masehi (Aaronson, 2000). Potensi dan lokasi tempat tumbuh makrofungi yang dijumpai
di CA. Gunung Ambang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Potensi dan lokasi tempat tumbuh makrofungi yang ditemukan di CA. Gunung Ambang
No.
Spesies
Tempat tumbuh
Potensi
1.
Obat
Xylaria sp.1
Kayu lapuk
2.

Xylaria sp.2

Kayu lapuk

Obat

3.

Xylaria sp. 3

Kayu lapuk

Obat

4.

Sarcoscypha maximus

Tanah/serasah

Pangan

5.

Craterellus sp.

Kayu lapuk

Pangan

6.

Craterellus strugosus

Kayu lapuk

Pangan

7.

Dermocybe sp.

Kayu lapuk

Non Pangan

8.

Lyophyllum loricatum

Tanah/serasah

Pangan

9.

Lyophyllum sp.

Tanah/serasah

Pangan

10.

Marasmiellus candidus

Tanah/serasah

Non Pangan

11.

Marasmius maximus

Tanah/serasah

Pangan

12.

Corprinus lagopus

Kayu lapuk

Non Pangan

13.

Pholiota squarossa

Tanah/serasah

Non Pangan

14.

Kuehneromyces sp.

Kayu lapuk

Non Pangan

15.

Hypholoma sp.

Tanah/serasah

Tidak teridentifikasi

16.

Plerotus sp.

Kayu lapuk

Pangan

17.

Mycena sp.

Kayu lapuk

Non Pangan

18.

Auricularia sp.1

Kayu lapuk

Pangan

55

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

19.

Auricularia sp.2

Kayu lapuk

Pangan

20.

Gleophyllum sepiarrum

Kayu lapuk

Obat

21.

Hymenochaete rubiginosa

Kayu lapuk

Non Pangan

22.

Phallus tenuis

Tanah/serasah

Obat

23.

Microporus affinis

Kayu lapuk

Pangan

24.

Microporus sp.1

Kayu lapuk

Tidak teridentifikasi

25.

Microporus sp.2

Tanah/serasah

Tidak teridentifikasi

26.

Oligoporus sp.

Kayu lapuk

Tidak Teridentfikasi

27.

Trametes sp.

Kayu lapuk

Tidak Teridentfikasi

28.

Lactarius sp.

Tanah/serasah

Non Pangan

29.

Lactarius piperatus

Tanah/serasah

Pangan

Berdasarkan potensi yang tersimpan dalam keragaman jenis makrofungi di hutan tropis dapat
dibagi menjadi dua yaitu edible fungi (jamur pangan) dan medicinal fungi (Jamur berpotensi
obat). Pada penelitian ini ditemukan 11 jenis atau setara dengan 38% makrofungi di CA. Gunung
Ambang yang berpotensi sebagai merupakan jamur pangan. Pada penelitian di CA. Gunung
Ambang ini juga ditemukan Pleurotus sp. yang merupakan jenis jamur tiram yang sudah sangat
populer dibudidayakan oleh masyarakat sebagai jamur pangan. Makrofungi berpotensi sebagai
jamur pangan umumnya memiliki tubuh buah dan batang yang cukup besar, berdaging serta
memiliki rasa yang enak. Anonymous (2013) menjelaskan bahwa spesies Pleurotus dapat
dijumpai hampir sepanjang tahun di dalam hutan pegunungan serta daerah dengan iklim yang
sejuk. Tubuh buah tumbuh pada pertengahan antara musim hujan dan kemarau. Setiap tubuh
buah memiliki performa yang sama satu sama lain dengan sebaran di berbagai sudut dan saling
bertumpukan (Permana et al., 2016). Persentase potensi pemanfaatan makrofungi yang dijumpai
di CA. Gunung Ambang disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Potensi pemanfaatan makrofungi CA. Gunung Ambang.

56

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

Jamur potensi obat ditemukan sebanyak lima jenis atau setara dengan 17%. Makrofungi dengan
potensi obat telah lama dimanfaatakan penduduk dunia sebagai alternatif penyembuhan.
Makrofungi yang berpotensi obat mengandung senyawa-senya yang terbukti sebagai anti tumor,
immunimoduating, anti oksidan, antiviral, anti kolesterol, anti bakteri, anti parasit, sebagai bahan
detoksifikasi tubuh, dan anti diabetik (Waser, 2010). Beberapa makrofungi dari famili xilariacea
telah diteliti berpotensi tahan terhadap bakteri patogen dan sel kanker yang menyerang manusia
(Ramesh et al., 2015). Pada penelitian ini makrofungi yang termasuk dalam kategori inedible atau
tidak dapat konsumsi sebanyak 28%. Makrofungi yang dikategorikan sebagi bukan jamur pangan
adalah makrofungi yang rasanya yang tidak enak dan sebagian lain merupakan makrofungi yang
beracun. Sebanyak 17% makrofungi pada penelitian ini belum teridentifikasi pada potensi
makrofungi seperti tersebut sebelumnya, hal ini disebabkan beberpa jenis makrofungi yang
ditemukan belum dapat teridentifikasi hingga tingkat species. Pada penelitian ini tidak dilakukan
identifikasi secara mikroskopis dengan menumbuhkan isolat jamur secara in-vitro sehingga tidak
dapat dilakukan pengamatan bentuk dan ukuran spora serta penampakan hifa pada fase filamen.

KESIMPULAN
Teridentifikasi sebanyak 29 jenis makrofungi yang ditemukan di Kawasan CA. Gunung Ambang
yang terbagi ke dalam dua divisi yaitu Ascomycota dan Basidiomycota. Ascomycota terdiri dari
dua kelas yaitu Sordariomycetes dan Pezizomycotina, dua ordo dan famili yaitu Xylariaceae dan
Sarcoscyphaceae dan empat species. Basidomycota terdiri satu kelas yaitu Agaricomycetes,
delapan ordo dan 14 famili yang terdiri dari 25 species. Berdasarkan ordo, Agaricales memiliki
jumlah spesies terbanyak, berdasarkan famili, Polyporaceae memiliki spesies terbanyak yaitu
lima spesies. Berdasarkan tempat tumbuhnya terbagi menjadi 38% tumbuh pada tanah/serasah
dan 62% ditemukan pada kayu lapuk. Identfikasi terhadap potensi pemanfaatan makrofungi
menunjukkan sebanyak 11 jenis atau 38% makrofungi berpotensi sebagai jamur pangan
diantaranya spesies Lyophyllum loricatum, Marasmius maximus, Lactarius piperatus. Sebanyak
lima jenis atau 17% berpotensi sebagai obat yaitu jenis Xylaria sp., Gleophyllum sepiarrum dan
Phallus tenuis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya disampaikan kepada Prof. Ohtani dari Kochi
University yang telah bersedia membantu dalam mengindentifikasi spesies makrofungi. Kepada
teman-teman peneliti dan teknisi Balai Penelitian Kehutanan Manado yang telah membantu
proses pengambilan data serta Bapak Julius Runtunuwu selaku Kepala Resort Cagar Alam
Gunung Ambang yang bersedia menjadi pemandu selama penelitian.

57

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

DAFTAR PUSTAKA
Aaronson, S. 2000. Fungi. In K. F. Kiple, & K. C. Ornelas, The Cambridge History of Food (pp.
313-336). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Anonymous. 2013. Diakses 20 Juli 2016 dari http://www.fao.org/ess/top/community.html
Anonymous.
2016a.
The
Mushrooms.
Retrived
25
Juli
2016
from
http://www.rogersmushrooms.com/gallery/DisplayBlock~bid~5817~source~gallerychoos
erresult.asp
Anonymous. 2016b.The Journal of Wild Mushrooming. Retrived 25 Juli 2016 from
http://www.mushroomthejournal.com/.
Boa, E. (2004). Wild Edible Fungi : A Global Overview of Their Use and Importance for People.
Rome: FAO.
Carlile, M. J., S.C. Watkinson,. & G.W. Gooday. (2004). The Fungi. London: Academic Press.
Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi, Edisi Kedua. Bandung: Penerbit Alumni.
Embo, A.A., R. Koneri, Saroyo, dan A. Papu. 2015. Inventarisasi Jenis Pohon pada Cagar Alam
Gunung
Ambang,
Sulawesi
Utara.
Diakses
20
Juli
2016
dari
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo.
First Nature. 2014. Retrieved 20 July 2916 from www.first-nature.com/fungi/id-guide.php.
Hansen, K. and D. Pfister. 2006. Systematics of the Pezizomycetes--the operculate
discomycetes. Mycologia, 98(6), 1029–1040.
Hawksworth, D. 1990. The fungal dimension of biodiversity: Magnitude, significance and
conservation. Mycological Research , 95: 641-655.
Jahan, σ., M. Moonmoon and MMI Shah. 2010. Grower‘s respons to Mushrooms Cultivation
Technologies Disseminated by Mushroom Development Project. Agri.Soc.Sci J. 6: 96100.
Jensen, K. A., K.J. Houtnam, Z.C. Ryan, and K.J. Hemmel. 2001. Pathways for Extracellular
Fenton Chemistry in the Brown Rot Basidiomycete Gloeophyllum trabeum. Applied and
Environemtal Microbiology, 67(6): 2705–2711.
Li, S., T. Zhu, G. Li dan H. Zhu. 2012. Diversity of Macro-Fungal Community in Bfeng Gorge Core
Giant Panda Habitat in Cina. African Journal Biotechnology, 11(8) : 1970-1976.
Muhlisin. 2008. Identifikasi Jamur Makroskopis Di Hutan Sekitar Kampus Universitas Jambi.
Skripsi Sarjana Strata Satu Fakultas Biologi Universitas Jambi.
Munir, E. 2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi Alternatif untuk
Pelestarian Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang
Mikrobiologi FMIPA USU. USU Repository. Medan.
Permana, D.R., N. Rahman, dan M. Kurniadi. 2016. Keanekaragaman Makrofungi sebagai Jamur
Pangan dan Perbedaan Karakteristik Habitat Media Alami. Prosiding Seminar Nasional
Biodiversitas 7 November 2015. Solo : Kelompok Studi Biodiversitas Program Studi
Biologi FMIPA UNS.
Prasetyaningsih, A dan D. Rahardjo. 2015. Keanekaragaman dan Potensi Makrofungi Taman
Nasional
Gunung
Merapi.
Diakses
20
Juli
2016
dari
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/1626
Ramesh, V., K. Santosh., T.D. Anand., V. Shanmugaiah., S. Kotamraju., C. Karunakaran., and A.
Rajendran. 2015. Novel Bioactive Wild Medicinal Mushroom--Xylaria sp. R006
(Ascomycetes) against Multidrug Resistant Human Bacterial Pathogens and Human
Cancer Cell Lines. Int J. Med Mushrooms, 17(10):1005-17
Roosheroe, I. G., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2014. Mikologi Dasar dan Terapan . Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rugayah, W dan Pratiwi. 2004. Pedoman Data Keanekaragaman Flora. Bogor : Pusat Penelitian
Biologi LIPI.
Rukmi, I dan M. Sulchan. 1999. Aspek Gizi dan Biomedik Jamur Cendawan. Dalam Media
Medika Indonesiana Vol 34, Nomor I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Santosa, A. A., W.D. Uno, dan S.R. Rahman. 2013. Identifikasi Jamur Makroskopis di Cagar
Alam Tangale Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Retrieved April 21, 2016, from

58

Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, Surabaya 3 September 2016

KIM
Fakultas
Matematika
dan
IPA:
hhtp://
kim.ung.ac.id/index.php/KIMFMIPA/article/download/3712/3688.
Santoso. 2004. Biologi dan Kecakapan Hidup. Bandung: Ganeca Exact.
Suharna, N. 1993. Keberadaan Basidiomycetes di Cagar Alam Bantimurung, Karaenta dan
Sekitarnya, Maros, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH 1993.
Bogor: Puslibang Biologi LIPI.
Waser, S. P. 2010. Medicinal Mushroom Science : History, Current Status, Future Trends,
Unsolved Problem. International Journal of Medicinal Mushroom, 12 (1) :1-16.

59