MENDUDUKAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEK N

MAKALAH
Di sampaikan pada
Kongres Nasional – I Pemuda Dayak Indonesia
Palangka Raya, GPU Palampang Tarung, Selasa 04 Agustus 2015
09.00 – 10.00 WIB

MENDUDUKAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEK
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Disusun oleh:

SABRAN ACHMAD
RENHART JEMI
email: aserjemi15@gmail.com

DEWAN ADAT DAYAK
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
PALANGKA RAYA
2015
Sabran Achmad & Renhart Jemi


Page 1

I.

PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara kesatuan, tetapi berbeda bila kita melihat sistem
pemerintah daerah dalam negara Indonesia yang telah mengambil sistem dan prinsip
federal yaitu otonomi daerah. Sistem federal dimana kekuasan sisa berada di berada di
daerah. Sedangkan sistem negara kesatuan adalah kekuasan asli atau sisa berada di
pemerintah pusat sehingga dialihkan kedaerah. Dinamika otonomi daerah berkembang
sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang (masa reformasi) telah
mengalami perubahan-perubahan naik turun sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
pemerintah yang silih berganti. Selama prosesnya otonomi daerah tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan. Tetapi malah banyak masalah yang timbul dalam pelaksanaanya
karena kadang tidak senergisnya sistim pemerintah daerah, baik antar kabupaten/kota
dengan provinsi dan sebaliknya. Otonomi daerah merupakan sebuah proses bernegara
yang tidak pernah tuntas serta mengalami dinamika secara terus menerus. Karena
adanya tuntutan baru selalu timbul sesuai dengan kebutuhan, serta adanya koreksi atas
kelemahan formulasi pada beberapa faktor perubahan lingkungan baik didalam dan

diluar sistem pemerintahan.
Desentralisasi merupakan lokomotif demokrasi lokal yang mampu menciptakan
raja-raja kecil di daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang memiliki kekuasaan di daerah
yang dipimpinya. Sementara rakyat didaerah tidak mempunyai kekuasaan, untuk
menyeimbangi kekuasan

yang dimiliki oleh pemerintah

daerah

khusus atas

kebijakannya yang tidak memihak kepada masyrakat. Sehingga menimbulkan
ketidakadilan, ketimpangan sosial serta pelayanan umum yang tidak sesuai harapan
masyarakat. Para raja-raja kecil didaerah mempunyai logika kekuasaan selalu
mengambarkan dominan kelompok terkuat dan menekan kelompok yang lemah, serta
menampilkan kekuatan daerah dengan jiwa atau motivasi penaklukan. Berdasarkan itu
maka perlunya diulas permasalah tersebut di makalah ini.

Sabran Achmad & Renhart Jemi


Page 2

II. SELAYANG PANDANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
2.1. Zaman Belanda
Tahun 1900, pelaksanaan otonomi daerah pada waktu penjajahan Belanda,
dimana bersifat monopolistik dan sentralistik. Kekuasaan eksekutif, yudikatif dan
legislatif semuanya berada di tangan Gubernur-Jenderal, yang merupakan wakil raja
Belanda. Pembagian wilayah administrasi oleh pemerintah belanda menerapkan sistem
dekonsentrasi yang dikenal dengan Gewesten, afdelingan, onderafdelingan.
Tahun 1903 pemerintah Kerajaan Belanda mengelukan suatu peraturan dikenal
dengan suatu Wethoudende Decentralisatie van het bestuur in Nederlandsch Indie
(Desentralisasi Pemerintahan di Hindia Belanda), yang dikenal dengan sebutan
Decentralisatiewet 1903 (Desentralisasi 1903). Undang-undang tersebut mengandung
makna bahwa suatu daerah dapat membentuk daerah otonomi dan lembaga perwakilan
rakyatnya seperti DPRD, di luar lembaga otonom. Dimana lembaga sebelumbya
Swapraja

dan


desa

yang

berdasakan

hukun

adat.

Dinamika

desentralisasi

pemerintahan Hindia Belanda berkembang menjadi Politik Etis dalam mengembangkan
daerah otonom. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905
dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undangundang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie (provinsi),
regentschap (kabupaten), stadsgemeente (kota), dan groepmeneenschap yang
semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang
merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).

Pemerintah Hindia Belanda juga mengikat satu persatu kerajaan yang ada di Indonesia
pada waktu itu, dalam bentuk kontrak politik dan dagang. Sehingga masyarakat pada
waktu itu dihadapkan kepada dua administrasi pemerintahan. Sisitm pemerintahan
Belanda dan Kerajaan di Indonesia waktu tersebut ditampilkan pada Gambar 1.

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 3

Gambar 1. Sistim pemerintahan Belanda di wilayah Indonesia
(Sumber: Sarap, 2011)
2.2 Kekuasan Jepang
Pemerintahan Jepang yang singkat yaitu sekitar tiga setengah tahun (1942-1945)
berada di Indonesia. Menerapkan sistem dekonsentrasi dan sentralistik pada sistim
pemerintahanya. Perubahan-perubahan kecil seperti penamaan daerah dan pejabatnya
serta nama lembaga kemiliteran digantikan ke dalam Bahasa Jepang seperti kaigun
(pasukan angkatan laut), rikugun (Pasukan angkatan darat), Nippon Banzai (hidup
Jepang), Saikosikikan (Gubernur Jendral), Gunseikan (kepala Staff). Jepang membagi
Hindia Belanda menjadi 3 kekuasaan militer. Petama, Sumatera di bawah Komando
Panglima Angkatan Darat XXV (Rikugun) yang berkedudukan di Bukuttinggi. Kedua,

Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI (Rikugun) yang
berkedudukan di Jakarta. Keempat, daerah-daerah lainnya di bawah Komando
Panglima Angkatan Laut (Kaigun) yang berkedudukan di Makasar. Dengan pembagian
wilayah ini, maka pusat pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer yang
dilaksanakan oleh Komandan Angkatan masing-masing dengan sebutan Gunseikan.
Sistem administrasi pemerintahan adopsi dari Jepang ini bisa terlihat ketika kekuasaan
berada di bawah satu tangan, yaitu Saikoksikin (Gubernur Jendral).
Pemerintah Jepang banyak melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 4

bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
Sistim pemerintah otonomi pada kekuasaan Jepang di Indoensia ditampilkan pada
Gambar 2.


Gambar 2. Sistim pemerintahan pada waktu kekuasan Jepang
(Sumber: Sarap. 2011)
2. 3 Masa kemerdekaan (Setelah kemerdekaan)
2.3.1 Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi,
mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerahdaerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam
yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 5

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera
saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
2.3.2.


Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU

Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.
Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
2.3.3.

Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah

swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluasluasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

2.3.4.

Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959

menitikberatkan

pada

kestabilan

dan

efisiensi

pemerintahan

daerah,

dengan


memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah
tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 6

2. 3. 5.

Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan


politik

polisional

di

daerahnya,

menyelenggarakan

koordinasi

antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan
tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan
kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
2. 3. 6.

Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah,
yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut
tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
2.3.7.

Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut:

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 7

1) Sistem

ketatanegaraan

Indonesia

wajib

menjalankan

prinsip

pembagian

kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan
masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
2. 4 Masa Reformasi
Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
Daerah, yang dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini
menyatakan :
1. Memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan
provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah.
2. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi
terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota.
3. Hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin
dipertegas dan diperjelas.

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 8

III. PEMBAGIAN KEKUASAAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH,
BERDASARAKAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAH DAERAH
3.1 Dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah yaitu:







Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg
Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
NKRI.
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
Pembagian kekuasan antara pemerintah pusat dengan daerah berdasarkan

Peraturan Pemerintah No 32 serta perubahan Peraturan pemerintah No 32 Tahun 2014
tentan Pemerintah Daerah. Pembagian kekuasan antara pemerintah pusat dan daerah
ini.

Memberikan

wewenang

kepada

kepala

daerah

untuk

mengelola

sistim

pemerintahanya berdasarkan peraturan dan undang-undang yang berlaku di NKRI.
Sebenranya otonomi daerah itu bertitik tumpu pada pemerintah kabupaten atau kota,
dimana kekuasaan pemerintah berada di wilayah kabupaten dan kota, tidak berada
pada Gubernur. Sehingga bupati/walikota lebih dominan dalam memaplikasikan
kekuasanya pada sistim pemerintahan, tanpa memperhatikan kebijakan gubernur.
Sehingga terjadinya suatu tidak ada koordinasi dan kerjasama yang sinergis antara
pemerintah kabupaten dan provinsi. Didalam pelaksanaannya cukup rumit dan kadangkadang tidak sejalan dalam pelaksanaan.
Disebabkan peran bupati/walikota didalam sistim pemerintahnya menjalankan visi
dan misi partai yang mengusungnya. Contohnya 13 kab dan 1 kota di Kalimantan
Tengah, mempunyai 13 bupati dan 1 walikota mempunyai visi dan misi yang berbeda
dalam

menjalankan sistim pemerintahanya. Disamping itu tiap kabupaten/kota

memiliki lembaga legislatif dan eksekutif juga melaksanakan visi dan misinya. Sehingga
terjadinya tumpang tidih kepentingan antara pimpinan daerah, lembaga eksekutif dam
legislatif. Akhirnya program pembangunan yang dilaksanakan oleh pimpinan daerah
Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 9

belum maksimal dicapai. Sehingga otonomi daerah tidak relevan dan tidak sesuai
dengan PP 32 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah.
Otonomo daerah yang dilaksakasnakan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah yang sangat ditentukan
oleh konfigurasi politik nasional yang berkembang. Bila perkembangan politik di pusat
(Jakarta) yang dinamis dan berkembang ke demokratis, sangat mengtungkan
terbentuknya iklim demokratis

di daerah yang merupakan penyokong demokrasi

didaerah. Sebaliknya bila Jakarta cenderung bersifat otoriter sehingga menciptakan
pemerintah yang sentralistik, yang berdampak pada perkembangan pembagunan dan
demokrasi daerah tidak berkembang dan baik. Menurut Chalid (2005), kendala
pelaksanaan otonomi didaerah adalah :
1. Mentalitas birokrasi daerah belum siap dan berubah.
2. Hubungan antara intitusi pusat dan daerah belum berjalam maksimal.
3. Sumber daya manusia berlum siap
4. Perebutan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan
penguasaan aset.
5. Keinginan pemerintah pusat untuk menjadikan desa sebagai unit politik,
disamping sebagau unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial
budaya yang otonom.

3.2 Jalan Keluarnya
1. Titik tumpu kewenagan jangan di kabupaten/kota dan ditarik ke propinsi, ada
beberapa kewenangan yang di miliki oleh kab/kota.
2. Semua penjabat negara/buapti/walikota/gubernur tidak menjabat sebagai ketua
atau pengurus partai

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 10

3.3 Kajian UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah
No.
Kajian
UU No. 32 Tahun 2004
UU No 23 Tahun 2014
1.
Asas-asas
1. asas
kepastian 1. Kepastian hukum;
pemerintahan daerah
hukum;
2. Tertib penyelenggara
2. asas
tertib negara;
penyelenggara
3. Kepentingan umum;
negara;
4. Keterbukaan;
3. asas
kepentingan 5. Proporsionalitas;
umum;
6. Profesionalitas;
4. asas keterbukaan
7. Akuntabilitas;
5. Asas
8. Efisiensi;
proporsionalitas
9. Efektivitas; dan
6. Asas profesionalitas 10. Keadilan.
7. Asas akuntabilitas
8. Asas efisien
9. Asas efekti
2.

Kekuasaan anatara
pusat dan daerah

Sabran Achmad & Renhart Jemi

1.
2.
3.
4.
5.

Politik luar negeri
Keamanan
Hukum
Pertahanan
Moneter dan fiksal
nasional
6. Agama
a

1. Politik luar negeri
2. Keamanan
3. Hukum
4. Pertahanan
5. Moneter dan
nasional
6. Agama

fiksal

Page 11

3.

4.

Kewenangan provinsi Kewenangan Provinsi
Kewenangan Provinsi:
dan kabupaten/kota
1.
Perencanaan
& 1. Urusan Pemerintahan
pengendalian
yang lokasinya lintas
pembangunan
Daerah kabupaten/kota;
2.
Perencanaan, 2. Urusan Pemerintahan
pemanfaatan
dan yang penggunanya lintas
pengawasan tata ruang
Daerah kabupaten/kota;
3.Penyelengaran
3.. Urusan Pemerintahan
ketertiban umum dan yang
manfaat
atau
kententraman
dampak negatifnya lintas
masyarakat
Daerah kabupaten/kota;
4. Penyedian sarana dan dan/atau
prasarana umum
4.. Urusan Pemerintahan
5. Penanganan
bidang yang penggunaan sumber
kesehatan
dayanya lebih efisien
6. Penyelenggaran
apabila dilakukan oleh
pendidikan dan alokasi Daerah Provinsi.
sumber daya manusia
potensial
7. Penanggulangan
sosial
lintas
Kewenangan Kab/kota
kabupaten/kota
1. Urusan Pemerintahan
8. Ketanagakerjaan
yang lokasinya dalam
9. Pengembangan
Daerah
koperasi dan UKM
kabupaten/kota;
10. Pengedalian
2. Urusan Pemerintahan
lingkungan hidup
yang
penggunanya
11. Petanahan
litas
dalam
Daerah
kab/kota
kabupaten/kota;
12. Pelayanan penduduk
3. Urusan Pemerintahan
dan catatan sipil
yang manfaat atau
13. Pelayanan admintasi
dampak
negatifnya
umum pemerintah
hanya dalam Daerah
14. Pelayanan admintasi
kabupaten/kota;
penanaman
modal
dan/atau
termasuk
lintas
4..Urusan Pemerintahan
kab/kota
yang
penggunaan
15. Pelayanan
dasar
sumber dayanya lebih
lainya
efisien
apabila
dilakukan oleh Daerah
kabupaten/kota.
Hubungan
kepala
1. kepala daerah bersama 1. kepala daerah bersama
daerah dengan DPRD
DPRD
menetapkan
DPRD
menetapkan
perda.
perda
2. Terkait APBD
2. Terkait APBD
3. Terkait Renstra pemda 3. Menyusun dan

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 12

4.

5.

Masalah
pemilihan
kepala daerah

Terkait pengangkatan
dan
pemberhentian
kepala daerah.

satu pasangan calon
yang
dilaksanakan
secara
demokratis
berdasarkan
asas
langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.

mengajukan
rancangan Perda
tentang RPJPD dan
rancangan Perda
tentang RPJMD
kepada DPRD untuk
dibahas bersama
DPRD, serta
menyusun dan
menetapkan RKPD;
4. Terkait pengangkatan
dan
pemberhentian
kepala daerah.
satu pasangan calon
yang
dilaksanakan
secara
demokratis
berdasarkan
asas
langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.

Sumber: Zulianto (2015)
DAFTAR PUSTAKA
Chalid, P. 2005. Otonomi Daerah, Masalah, Perbedayaan dan Konflik. Kemitraan.
Jakarta
Hakim, M.L. 2013. Otonomo Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Studi Komparasi Otonomi Daerah Sebelum dan Sesudah perubahan
UUD 1945). [Skripsi]. Ilmu Hukum Fakultas Sya’riah dan Hukum Universitas Islam
Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Kustiawan. 2012. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Tim Pengelola Jurnal Perbatasan FISIP UMRAH. Universitas
Maritim Raja Ali Haj. P 312-321.
Manar, D. G. 2008. Otonomi Daerah Dalam Kerangka Sumber Daya Manusia: Di
Antara Harapan dan Kenyataan. Disampaikan pada Studium General 2008
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro,
Semarang, 18 November 2008.
Nadir, S. 2013. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemebrdayaan
Masyarakat Desa. Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013. P. 82-98
Rangawino, B. 2003. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah Di Indonesia.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Bandung. P. 1-24.
Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 13

Sarap. S.S. 2011. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia. Diakses dari
http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-otonomidaerah-di.html. Pada tanggal 13 Juli 2015
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah.
Zulianto. A. 2015. Perbandingan UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah. Diakses dari
http://arisnada.blogspot.com/2015/04/perbandingan-uu-no-32-tahun-2004dengan.html. pada tanggal 14 Juli 2015.

Sabran Achmad & Renhart Jemi

Page 14