TATA KELOLA TENURIAL KEHUTANAN DALAM PER

Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB; MK Forestry Governance

TATA KELOLA TENURIAL KEHUTANAN DALAM PERSPEKTIF SYARIAH ISLAM
Oding Affandi NIM E.161140031
Prodi Ilmu Pengelolaan Hutan
PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan di Indonesia tidak dapat dipungkiri telah menjadi sorotan berbagai pihak mulai
dari tingkat lokal, nasional, hingga global. Terdapat berbagai isu krusial dan mendasar yang menjadi
permasalahan pengelolaan hutan di Indonesia seperti penegakan hukum yang lemah, kapasitas
kelembagaan manajemen hutan pada level tapak yang lemah, carut marutnya dokumen legalitas dalam
pengelolan, tumpang tindih kebijakan, tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi) hingga
permasalahan tenurial kehutanan1 yang melahirkan berbagai macam konflik multidimensi. Maladi (2013)
menambahkan bahwa kondisi permasalahan kehutanan diperparah ketika orientasi pembangunan
kehutanan menggunakan sistem ideologi ekonomi pasar (kapitalisme).
Terkait permasalahan tenurial, Afif (2005) menyatakan bahwa masalah tenurial mau tidak mau
akan terkait dengan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan menyangkut persoalan
kekuasaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan tenurial tidak hanya Negara tetapi juga komunitas
itu sendiri. Dengan demikian persoalan legitimasi dari klaim tenurial terkait dengan kebijakan Negara
dan persoalan kultural yang berkembang dalam masyarakat. Kebijakan negara biasanya kemudian
diterjemahkan kedalam suatu aturan hukum. Aturan hukum inilah yang kemudian mengatur mana klaim
yang legal maupun yang illegal. Aturan hukum negara mengatur hak-hak warganegara (perempuan dan

laki-laki ataupun suatu badan hukum) untuk memperoleh akses dan mengontrol sebidang tanah dan
sumber-sumber alam didalam wilayah negara. Persoalannya adalah, kadang-kadang aturan hukum
negara ini tidak mengadopsi atau bahkan bertolakbelakang dengan praktek-praktek sehari-hari dan
kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam masyarakat. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa
permasalahan tenurial secara umum disebabkan karena adanya ketidakpastian penguasaan lahan
(tenure security) serta benturan atas konsep kepemilikan lahan (tenure right) antara yang bersifat de
jure2 dan de facto3.
Kondisi de facto ini penting untuk diketahui karena kehidupan sehari-hari suatu masyarakat
berlangsung dalam kondisi de facto ini, yang jika diabaikan oleh negara maupun oleh mereka yang
memegang hak de jure, dapat memunculkan konflik. Namun demikian jika kita lihat lebih jauh,
sesungguhnya akar permasalahan tenure tersebut berasal dari ekses sistem kapitalisme yang melegalkan
kebebasan kepemilikan. Dalam sistem ini berlaku prinsip survival of the fittest atau the might is right
(siapa yang kuat, dia yang bertahan dan siapa yang kuat dialah yang benar). Pada akhirnya bangunan
sosial masyarakat seperti tradisi, norma, kearifan lokal , pengetahuan lokal, dipaksa berhadapan dengan
budaya kapitalisme “hutan”, “kebun”, maupun “tambang” yang didukung oleh struktur negara
(penguasa) yang pro pengusaha konglomerat. Dan tidak jarang, agar terlihat elegan dan konstitusional,
tidak segan-segan mereka membuat peraturan (de jure), seperti terkait izin usaha pemanfaatan hasil
hutan, kebun, maupun tambang, yang melegalkan tujuan mereka.

KONDISI TENURIAL KEHUTANAN

Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2009), luas hutan Indonesia hanya tersisa 46,3% atau setara
dengan 88 juta ha, dimana 10,8 ha juta merupakan hutan gambut. Sementara hutan yang hilang
(deforestasi) di Indonesia diperkirakan mencapai 1,5 juta ha per tahun (FWI, 2011). Nasib hutan di

1 Kartodihardjo (2014) mengistilahkan “tenurial kehutanan” dengan “agraria kehutanan”. Istilah agraria kehutanan
digunakan karena memandang bahwa hutan menjadi bagian dari sumber-sumber agraria yang mempunyai fungsi
sosial, ekonomi maupun lingkungan hidup. Ia bukan hanya hutan negara, tetapi juga hutan dengan alas hak pribadi
(hutan hak) maupun komunitas (hutan adat).
2 Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang
dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa.
3Istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan,
dikenal dan berlaku, berdasarkan hukum atau aturan yang telah dipraktekkan oleh masyarakat selama ini (Contoh
kepemilikan lahan berdasarkan praktek-praktek adat setempat).
1

Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB; MK Forestry Governance

Indonesia, bak telur di ujung tanduk alias sungguh memprihatinkan. Hasil kajian terbaru FWI (2014),
pada periode 2009-2013, negeri ini kehilangan tutupan hutan alian mengalami deforestasi sebesar 4,5
juta ha atau 1,13 juta ha per tahun. Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan

Papua, mengalami deforestasi terparah. Riau urutan pertama seluas 690 ribu ha, disusul Kalteng 619 ribu
ha, Papua 490 ribu ha, Kaltim 448 ribu ha dan Kalbar 426 ribu ha.
Sementara itu menurut Kementerian Kehutanan RI dalam RKTN tahun 20114, pada saat ini tercatat
hutan negara seluas 130,68 juta Ha, dimana telah ditetapkan seluas 14,24 juta Ha (10,9%). Itupun
dengan kondisi di semua fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) terdapat hak-hak pihak ketiga yang
berupa izin-izin tambang dan kebun, hutan adat dan hutan/lahan hak perorangan. Sementara itu, hampir
seluruh rencana tata ruang senantiasa menginginkan konversi hutan seluas 5%-24% dari luas kawasan
hutan di propinsi untuk pembangunan non kehutanan serta mengkomodir keberadaan ribuan desa yang
sudah ada di dalamnya. Disamping itu, keberadaan perkembangan izin tambang di dalam hutan negara
bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga berada di hutan lindung seluas 3,8 juta Ha, yang rawan terjadi
kerusakan lingkungan. Jumlah dan luas usaha pertambangan di hutan negara yang telah berproduksi
terus mengalami peningkatan dan di akhir 2013 mencapai 681 perusahaan dengan luas 461 ribu Ha.
Adapun jumlah dan luas tambang di hutan negara yang sedang melakukan eksplorasi tercatat berjumlah
552 perusahaan dengan luas 2,9 juta Ha.
Berdasarkan RKTN Kemenhut tahun 2011 tersebut pada tahun 2030 hutan negara tersebut akan
menjadi 112,33 juta Ha atau sekitar 18,35 juta Ha akan dialokasikan bagi penggunaan non kehutanan.
Perubahan kawasan hutan seluas 18,35 juta Ha yang telah direncanakan itu pada dasarnya
mengakomodir kerusakan hutan maupun alih fungsi yang terjadi secara riil di lapangan, legal atau illegal.
Secara nasional hutan bekas tebangan (log over area) di hutan produksi yang tidak dikelola secara
intensif sudah seluas 42,26 juta Ha (32 %), selain itu dari seluruh hutan negara seluas 22,5-24,4 jt Ha

sudah menjadi desa/kampung. Artinya, pengurangan luas hutan negara yang dicanagkan dalam RKTN itu
lebih untuk mengakomodir hutan negara yang sudah tidak berhutan karena berbagai sebab. Itupun
hanya sepertiga dari luas hutan negara yang sudah tidak berhutan tersebut.
Baru-baru ini Pemerintah melalui Perpres No. 16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, melebur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di dalam struktur kelembagaan Kementerian yang baru ini, isu
tenurial di kawasan hutan menjadi salah satu arus utama. Hal ini secara tersurat tertuang dalam Perpres
ini, dimana dalam Pasal 30 dan 31 menguraikan bahwa KLHK melalui Direktorat Jenderal Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan mempunyai tupoksi terkait “penyelenggaraan penanganan konflik
pengelolaan hutan, pemolaan kawasan perhutanan sosial, peningkatan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan hutan, penanganan tenurial dan hutan adat, serta komunikasi publik dan peran serta
masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. Selain itu, Pemerintah melalui
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Januari 2015 juga membentuk Tim Penanganan
Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TP2KLHK) melalui Permen Nomor:
24/Menhut-II/2015. Tim yang melibatkan organisasi masyarakat sipil ini bertugas untuk menampung dan
menganalisis kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang disampaikan oleh masyarakat dan
menyiapkan langkah-langkah penanganannya.

PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN
Kartodihardjo (2014), menyatakan bahwa berdasarkan kenyataan di lapangan (de facto),

kerusakan hutan setidaknya disebabkan oleh 4 hal yaitu: status hutan negara tidak legitimate,
penguasaan SDA oleh swasta/pemegang izin, terdapat mekanisme formal untuk melakukan konversi
hutan, serta kebijakan perizinan yang dijalankan bukan sebagai alat pengendalian. Adapun penjelasan
penjelasan ke empat hal tersebut adalah sebagai berikut:
1) Legalitas hutan negara. Status legal kawasan hutan negara yang dilakukan melalui proses
pengukuhan kawasan hutan oleh Panitia Tata Batas (PTB) 5 hanya secara umum menghasilkan Berita
4 Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No 49/2011.
5 Selama ini Panitia ini diketuai oleh Bupati dan beranggotakan UPT Kementerian Kehutanan (BPKH), BPN dan
dinas-dinas di daerah serta Camat dan Kepala Desa. Pembiayaan panitia ini oleh Kementerian Kehutanan. Saat ini,
melalui Peraturan Menteri Kehutanan No 25/2014, terdapat perubahan dimana BPKH sebagai ketua panitia dan
keanggotaan Kepala Desa dihilangkan
2

Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB; MK Forestry Governance

2)

3)

4)


Acara Tata Batas (BATB) yang ditanda-tangani panitia itu, tetapi adanya klaim terhadap hutan negara
tidak diselesaikan. Akibatnya hutan negara yang sudah legal tidak legitimate, dalam arti masih tidak
diakui keabsahan legalitasnya itu. Tanpa adanya legitimasi itu, alih fungsi dan kerusakan terus
terjadi, baik akibat perkembangan penduduk maupun izin-izin tambang dan kebun secara illegal.
Penguasaan hutan oleh swasta. Kebijakan dan skema perizinan secara umum mengharuskan para
calon pemegang izin—hutan, tambang, kebun—mencari sendiri calon lokasi izin di dalam wilayah
yang telah dialokasikan Pemerintah. Dengan demikian, swasta harus mempunyai informasi akurat
tentang lokasi itu, karena akan menentukan kelayakan usahanya. Pemerintah/Pemda melakukan
verifikasi ketepatan lokasi izin tersebut, namun dalam prakteknya informasi yang digunakan sangat
terbatas. Akibatnya, hampir setiap lokasi izin masih terdapat konflik penggunaan atau pemanfaatan
hutan oleh pihak lain, termasuk adanya pemukiman, kebun dan lahan-lahan pertanian masyarakat
adat/lokal.
Di sisi lain, legalitas hak atas hutan/tanah bagi warganegara—masyarakat adat/lokal—untuk
mendapatkan ruang hidup, praktis tidak difasilitasi Pemerintah/Pemda. Sementara itu dalam proses
penetapan hutan negara secara hukum, legalitas hak atas hutan/tanah menjadi persyaratan yang
harus dipenuhi dan persyaratan demikian ini tidak dipunyai masyarakat. Jalan lain bagi masyarakat
adat/lokal untuk mendapat hak/akses terhadap pemanfaatan hutan melalui skema izin—dalam
bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa—untuk mendapatkan legalitas
tidak dapat dipenuhi akibat persyaratan administrasi dan mahalnya pengurusan izin. Dalam 10

tahun terakhir komposisi pemanfaatan hutan antara usaha besar dan kecil tidak berubah, dan kini
komposisi itu dengan angka 97% untuk usaha besar dan 3% untuk usaha kecil.
Konversi hutan by design. Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHKHA), hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan tambang melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IUPPKH),
secara de facto telah mewujudkan konversi hutan alam secara sistematis. Peran IUPHHK-HA dalam
menghasilkan kayu bulat selama 10 tahun terakhir telah digantikan oleh IUPHHK-HT dan dalam
waktu yang sama terjadi peningkatan usaha tambang (IUPPKH). Apabila ini terjadi akan terdapat
sekitar 39 juta Ha hutan produksi yang tidak ada pengelolanya, atau secara defacto terjadi open
access. Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha tambang bekerja di hutan produksi
Mempermainkan fungsi Izin. Perizinan pada dasarnya adalah suatu proses untuk dapat melakukan
tindakan tertentu yang dilarang, namun dengan izin, hal yang dilarang itu menjadi sah dilakukan.
Dengan demikian, substansi izin itu adalah pengendalian yang harus dilakukan, untuk tujuan sosial,
lingkungan, ekonomi secara adil, oleh pihak yang berwenangan atau pihak pemberi izin (Lihat juga
Siombo, 2014). Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa
di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan,
pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan,
terdapat biaya suap/peras.

Sementara itu Heilbroner (1991); Mustka (2005); dan Maladi (2013), menyatakan bahwa yang
menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter
kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu

(private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme. Jadi wajarlah jika dalam pengelolaan
hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH (sekarang
IUPHHK) yang diberikan oleh penguasa. Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan
kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) telah melahirkan sikap eksploitatif atas
sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas. Pernyataan ini diperkuat oleh Ormedo (1998)
dalam Hatta (2013) yang menyebutkan bahwa buku yang dibuat oleh Ormedo yang berjudul “Matinya
Ilmu Ekonomi” (The Death of Economic) telah membuat kejutan bagi para pemikir ekonomi. Ormedo
dalam bukunya memaparkan banyak bukti bahwa pemikiran ekonomi yang telah diterapkan selama
puluhan tahun di dunia kapitalis Amerka dan Barat, tidak mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi
atau menjelaskan mengapa terjadi kerusakan ekonomi di negara maju seperti Amerika dan Barat
Multifaktor yang menjadi pendorong utama permasalahan tata kelola kehutanan adalah peraturan
pemerintah yang tidak konsisten, konflik kepentingan antara Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan sektor lainnya, serta permasalahan tenurial yang melahirkan berbagai macam konflik
multidimensi (Giogio, dkk., 2012). Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan suatu alternatif
3

Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB; MK Forestry Governance

pembenahan tata kelola lahan hutan (forest tenure governance) yang menyeluruh dan sistematis, dari
hulu hingga hilir pada semua aspek tata kelola kehutanan.


TATA KELOLA TENURIAL DALAM PERSPEKTIF SYARIAH ISLAM
Hakim, dkk. (2013) menyatakan bahwa proses reforma agraria di kawasan hutan (forest tenure
reform) sangat terkait dengan peran negara, masyarakat lokal, dan pihak-pihak yan berkepentingan
terhadap lahan hutan. Hal tersebut disebabkan karena di areal/kawasan hutan terkandung berbagai
potensi, baik di atas lahannya maupun di bagian bawahnya dan potensi lahannya sendiri untuk kegiatan
usaha tani masyarakat yang dalam situasi dan waktu tertentu menjadi sumber konflik kepentingan
antara keinginan untuk memanfaatkan potensi hutan dengan mempertahankan perannya dalam
konservasi.
Dengan adanya Perpres No. 16/2015 kita berharap pemerintahan Jokowi, melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan lembaga/kementerian terkait, segera merealisasikan
program kerjanya sebagaimana tertuang dalam Nawacita yang terkait dengan bidang LHK, dan
khususnya yang terkait forest tenure reform, sehingga permasalahan tenurial bisa segera terselesaikan.
Peluang itu sangat besar karena setidaknya terdapat 2 Nawacita yang terkait dengan tenurial yaitu:
pertama, membangun Indonesia dari pinggiran. Penetapan wilayah adat merupakan mandat konstitusi
yang telah tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/ 2012 menyangkut hutan adat.
Demikian juga penetapan wilayah kelola rakyat lainnya seperti HKm, HD, HTR, dan HR harus betul-betul
menjadi komitmen politik pemerintah Jokowi melalui Nawacita yang menghendaki membangun sendi
perekonomian nasional dari pinggiran. Kedua, memperkuat kehadiran negara dalam melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum. Terkait dengan point pertama, pemeritah baik pusat maupun

daerah harus segera merealisaikan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah.
Target pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan 12,7 juta hektar kepada masyarakat adat dan
komunitas lokal sangat penting untuk penghormatan dan perlidungan hak, dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Daerah memegang peran sangat penting dalam hal ini untuk
menginisiasi dan membentuk peraturan daerah, mengorganisir dan memberikan pembinaan kepada
masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan,
disertai dengan program kerja dan pendanaan yang memadai. Implementasi program ini harus
terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah di BPN.
Agar target itu tercapai, pemerintah harus segera membuat regulasi (beserta operasionalnya)
serta membuat roadmap tentang distribusi 12,7 juta hektar wilayah kelola rakyat tersebut. Salah satu
cara yang bisa ditempuh adalah pemerintah membuat regulasi terkait dengan “kepemilikan lahan dan
kewajiban adanya pengelolaan atas lahan yang dimilikinya” (An-Nabhani,1990; Al-Maliki, 2009; Triono,
2011).
Mekanisme Penguasaan Tanah
Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama
perekonomian. Di beberapa negara feodal dimana tanah banyak dikuasai oleh tuan tanah, ketimpangan
kepemilikan dipecahkan dengan land reform. Jepang, Korea Selatan dan Taiwan adalah negara paling
intens dalam sejarah modern yang menjalankan land reform setelah perang dunia kedua. Land reform
dijalankan dengan tujuan menghapuskan, secara psikologis dan materiil¸tuan-tuan tanah yang menjadi
motor penggerak di belakang negara-negara ini untuk mengobarkan perang. Reformasi ini berdampak

sangat jauh dalam mempersamakan distribusi pendapatan di pedesaan dan turut menjaga perbedaan
pendapatan antara kota dan desa sehingga menjadi lebih sempit daripada negara lain. Akibat reformasi
ini, kekuatan kaum feodal menjadi hancur, meniadakan persewaan tanah pertanian dan membatasi
kepemilkan tanah garapan.
Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena
mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah
secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun
demikian, Islam juga tidak mengijinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar
kemampuan untuk mengelolanya. Karenanya, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam
memiliki karakteristik yang khas dengan adanya perbedaan prinsip dengan sistem ekonomi lainnya.
4

Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB; MK Forestry Governance

Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu (private
property) apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapat kandungan bahan
tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syariah, maka pemilik
tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun memindahtangankan secara waris, jual beli dan
pembelian. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa
ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara melindungi harta milik warga negara dan
melindunginya dari ancaman gangguan pihak lain.
Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dapat dilakukan dengan prinsip yang sama dengan
komoditas lainnya. Tanah dapat dikuasai dengan waris, hadiah, dan jual beli sebagaimana komoditas
lainnya pun dapat dilakukan dengan transaksi ini. Namun demikian, sistem ekonomi Islam juga telah
menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus yaitu menghidupkan tanah mati
dan pemberian oleh negara.
Kewajiban Pengelolaan Lahan Yang Dimiliki
Kewajiban mengelola lahan yag dimiliki secara umum berhubungan dengan menghidupkan
tanah mati (ihya’ul mawat) artinya mengelola atau menjadikan tanah mati agar siap ditanami. Yang
dimaksud tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak terdapat tandatanda apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Tanah mati yang telah
dihidupkan oleh seseorang akan menjadi milik orang bersangkutan. Oleh karena itu dalam konteks
kewajiban mengelola lahan ini sangat terkait dengan produksi, kontinuitas produksi, dan peningkatan
produsi sebagai solusi masalah tenurial. Dengan kata lain kepemilikan lahan itu juga disyaratkan adanya
pengelolaan seperti membuat batas, menanaminya (kegiatan pertanian, perkebunan, kehutananan),
membersihkan lahannya, membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dan lainlain.
Maka berkenaan dengan adanya kewajiban mengelola lahan yang dimiliki, pemerintah dapat
membuar regulasi yang menekankan kepada empat hal yaitu: Pertama, kebijakan menghidupkan tanah
mati (tanah terlantar atau tidak produktif). Pemerintah mengizinkan siapa saja yang memiliki
kemampuan untuk menghidupkan tanah yang tidak produktif dengan cara mengelola/menggarapnya,
yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik
orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. berikut: “Siapa saja yang
menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari). Kedua,
kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah (tanah produktif) yang ditelantarkan oleh
pemiliknya selama 3 (tiga) tahun. Artinya adanya kewajiban bagi pemilik lahan untuk mengelola tanah
mereka agar produktif. Bahwa kepemilikan identik dengan produktivitas dan prinsipnya, memiliki berarti
berproduksi (man yamliku yuntiju). Maka dari itu, tidak membenarkan orang yang memiliki lahan tetapi
lahannya tidak produktif. Dalam politik ekonomi Islam ditetapkan bahwa “siapa saja yang
menelantarkan (tidak ada kegiatan pengelolaan) lahan miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut,
maka hak kepemilikannya gugur dan negara berhak mengalihkan kepemilikannya kepada orang lain
yang sanggup mengelolanya”. Pada suatu saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berbicara di atas
mimbar: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang
memagari (baca memiliki) tanah tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah (menelantarkannya)
selama tiga tahun”.
Ketiga, kebijakan Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat. Hal ini
didasarkan pada apa yang dilakukan Rasulullah saw., sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika
berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau.
Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara terkait dengan tanah yang pernah
dimikili/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang—karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran
oleh pemiliknya—diambilalih oleh negara, lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Keempat, kebijakan subsidi Negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah diwajibkan oleh
negara untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya
modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka.
Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana
dari Kas Negara secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap
tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.
5

Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB; MK Forestry Governance

PENUTUP
Demikianlah beberapa pandangan Islam tentang tata kelola tenurial kehutanan. Kalau kita
perhatikan ternyata tata kelola lahan kehutanan sebagai salah satu bidang tidaklah terlepas dengan
bidang-bidang lainnya seperti pertanian, industri, perdagangan, pertanahan dan sektor lainnya.
Lemahnya pembangunan sektor kehutanan selama ini terjadi karena sektor kehutanan dianggap sebagai
sektor yang berdiri sendiri dan terpisah dari sektor lainnya. Padahal secara faktual ia sangat erat
hubungannya dengan sektor-sektor lainnya. Karenanya adalah suatu keharusan untuk menjadikan sektor
kehutanan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai sektor kehidupan lainnya.
Islam sebagai sebuah prinsip ideologi (pandangan hidup) telah menjadikan bahwa kehutanan,
pertanian, dan sektor lainnya adalah bagian integral dari persoalan manusia yang harus dipecahkan dan
diatur dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah Islam ketika membahas satu sektor (misal kehutanan) maka
ia dibahas sebagai bagian integral dari dari berbagai bidang kehidupan lainnya. Dan yang lebih penting
lagi bahwa pembahasan Islam tentang politik pertanahan diarahkan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pokok manusia dan upaya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.
Bacaan Pendukung
Afif S. 2005. Tinjauan Atas Konsep “Tenure Security”, dengan Beberapa Rujukan Pada Kasus-Kasus di
Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Transformasi WACANA Edisi 20. Tahun VI 2005. Insist Press. Hal 227249
Al-Maliki A. 2009. Politik Ekonomi Islam. Al Azhar Press, Bogor
An-Nabhani T. 1990. An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Perekonomian dalam Islam). Darul
Ummah, Beirut
FWI. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. Forest Watch Indonesia, Bogor
FWI. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia, Bogor
Giorgio BI, Purba C, Steni B, Tresya D, Dewantama M, Hartati C, Apriani I, Putri A. 2012. Potret
Pelaksanaan Tata Kelola Hutan. Sebuah Studi Mendalam Di Provinsi Kalimantan Tengah dan Nusa
Tenggara Barat. Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia, Jakarta
Hakim I, Wibowo LR. 2013. Forest Tenure Reform. Pengalaman di Beberapa Negara dalam Hakim I,
Wibowo LR. 2013 (Editor) Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. PUSPIJAK, Bogor
Hatta ZM. 2013. Isu-isu Kontempore Ekonomi dan Keuangan Islam. Suatu Pendekatan Institusional. Al
Azhar Freshzone Publishing, Bogor
Heilbroner RL. 1991. Hakikat dan Logika Kapitalisme (The Nature and Logic of Capitalism). Penerjemah
Hartono Hadikusumo. LP3S, Jakarta
Kartodihardjo H. 2014. Agraria Kehutanan: Kondisi, Masalah-Akar Masalah, dan Rekomendasi. Makalah
pada Diskusi Forum Ilmu Pengelolaan Hutan, Fahutan IPB. Dramaga, Bogor, 22 Nopember 2014.
(Naskah ini pernah disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Kompas, di Jakarta).
Maladi Y. 2013. Kajian Hukum Kritis Alih Fungsi Lahan Hutan Berorientasi Kapitalis. Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 13 No. 1 Januari 2013. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman. Hal 109-123
Mustika. 2005. Menjinakkan Liberalisme : Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan. Pustaka Pelajar.
Siombo MR. 2014. Tanggung Jawab Pemda Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup Kaitannya Dengan
Kewenangan Perizinan Di Bidang Kehutanan Dan Pertambangan. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14
No. September 2014. Fakultas Hukum. Universitas Jendral Soedirman. Hal 394-405
Triono DC. 2011. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Jilid I Falsafah Ekonomi Islam. IRTIKAZ, Yogyakarta.

6