KONFLIK INTRAPERSONAL DALAM MEMELUK AGAM

KONFLIK INTRAPERSONAL DALAM MEMELUK AGAMA PADA REMAJA
DENGAN ORANG TUA YANG BERBEDA AGAMA

Oleh
Dessya Natascha Y

Fb_scha@yahoo.com
Lusy Asa Akhrani
Yoyon Supriyono

ABSTRACT
The aim of this research is to describe intrapersonal conflict of embracing religion in
adolescent with inter-religion parents. This research tries to explain factors that caused
religious doubt which forced emergence of the intrapersonal conflict among their religion,
type of intrapersonal conflict they were faced, and the effects of intrapersonal conflict
through their life. The data collection method in this phenomenological-qualitative research
was done by performing interviews, observations and documentations towards four subjects.
The subjects are four adolescents with interfaith marriage parents, the age is about 19 – 23
years old, and currently having study for Bachelor Degree. The results has shown that three
of four subjects are having intrapersonal conflicts embraces to their religion that were
caused by factors such as religion conversion, the religion education in family, and the role

of same sex parents. Subjects are having intrapersonal conflict type in different issue. Type of
intrapersonal conflicts on this research consists of approach-approach conflict and
approach-avoidance conflict.
Keywords : Conflict, Religion, Adolescent, Intrapersonal Conflict, Inter-religion marriage
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai konflik intrapersonal
dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama. Penelitian ini
berusaha menjelaskan mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya keraguan
dalam memeluk agama yang akhirnya menimbulkan konflik intrapersonal, tipe konflik
intrapersonal seperti apa yang mereka alami, serta bagaimana dampak konflik terhadap
kehidupan mereka. Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif-fenomenologis ini
menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan melibatkan empat
subyek penelitian. Subyek pada penelitian ini adalah remaja dengan orang tua yang berbeda
agama, berusia antara 19-23 tahun, berada dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh
pendidikan Strata 1. Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyek
mengalami konflik intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti adanya konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta
peran orang tua yang berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyek
penelitian berada dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflik
intrapersonal yang dialami ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflik
mendekat-mendekat.

Kata kunci : Konflik, Agama, Remaja, Konflik Intrapersonal, Pernikahan Beda Agama

1

LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan di bidang teknologi modern telah
mendatangkan kemajuan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya kemajuan dalam
bidang komunikasi. Majunya komunikasi berarti pula telah membuka kesempatan yang lebih
besar kepada anggota-anggota dari golongan masyarakat, baik yang namanya suku, ras,
maupun agama untuk berinteraksi dari anggota-anggota masyarakat dari luar golongannya.
Interaksi tersebut bukanlah hal yang mustahil bila terlahir perkawinan antar suku, ras, bahkan
antar agama (Surbakti, 2009).
Sebuah pernikahan tidaklah lepas dari kehadiran seorang anak di dalamnya, maka
persoalan lain yang akan timbul di dalam sebuah pernikahan beda agama adalah setelah anakanak mereka lahir. Menerapkan pendidikan agama pada anak diantara dua keyakinan yang
berbeda juga dapat memicu timbulnya konflik dalam keluarga, dimana mungkin masingmasing menginginkan sang anak mengikuti agama dari satu pihak saja dan semuanya itu
tergantung kepada kesepakatan masing-masing pasangan sebelum atau setelah memutuskan
menikah beda agama.
Ketika anak masih kecil, mereka hanya mengalami kebingungan-kebingungan dalam
kebiasaan ataupun tata cara ibadah kedua orang tuanya yang berbeda. Karena anak dalam
usia yang lebih muda belum memikirkan mengenai perbedaan agama yang ayah dan ibunya

anut. Tapi ketika mereka semakin tumbuh menjadi seorang remaja, pola pikirnya juga akan
semakin berkembang, maka akan banyak muncul pertanyaan yang diajukan seorang remaja
mengenai kondisi keagamaan di dalam keluarganya. Mengapa agama kedua orang tuanya
berbeda, mengapa agamanya tidak sama dengan salah satu agama orang tuanya, apakah
agama yang ia peluk ini sudah benar, mengapa ada berbagai macam perbedaan nilai dan
aturan dari kedua agama yang ada di dalam keluarga yang membingungkan, hingga
pertanyaan mengapa ada perbedaan tata cara dalam meyakini keEsaan Tuhan (Jalaluddin,
2010).
Hasil penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) terhadap mahasiswa Middleburg College,
disimpulkan bahwa dari remaja berusia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang
mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan,
keadaaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Hal yang serupa ditemukan ketika ia
meneliti hal yang sama terhadap 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik
dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima.
Remaja yang kehidupan lingkungan dengan orang tua yang menganut agama yang
sama, maka kebimbangan pada masa remaja itu akan berkurang. Remaja akan merasa gelisah
2

dan kurang aman apabila agama atau keyakinannya berlainan dari agama atau keyakinan
orang tuanya. Keyakinan dan keteguhannya menjalankan ibadah serta memelihara nilai-nilai

agama dalam hidupnya sehari-hari menolong remaja dari kebimbangan (Daradjat, 2003).
Akan menjadi lebih mudah ketika remaja tersebut hidup dalam keluarga dengan satu agama,
karena prinsip-prinsip dan berbagai ajaran agama yang diajarkan oleh orang tuanya akan
berada dalam satu atap sehingga mampu meminimalisir kebingungan tentang agama mereka.
Sedangkan pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama akan muncul apa yang
disebut dengan konflik intrapersonal, dimana seorang remaja dihadapkan pada dua pilihan
yang sama kuatnya. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih diantara
beberapa pilihan kemudian merasa bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan, namun
juga tetap harus menerima konsekuensi dari pilihannya tersebut. Dalam hal ini adalah,
konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda
agama. Pada masa ini akan terjadi berbagai macam kebingungan, pertimbangan, keraguan
hingga konflik diri yang bisa terjadi dan berpengaruh kepada bagaimana ia menjalani
hidupnya ke depan nanti. Perlu banyak pertimbangan-pertimbangan matang, keyakinan diri
mengenai agama dirasa paling cocok dengan seorang individu tanpa ada pengaruh ataupun
paksaan dari pihak lain.
Hal ini yang menjadi alasan mengapa sebenarnya remaja yang tengah berada dalam
konflik intrapersonal dalam memeluk agama dengan orang tua yang berbeda agama perlu
mendapat perhatian lebih untuk menghindari munculnya berbagai macam kebingungan yang
berakhir pada stress ataupun perilaku negatif lainnya. Karena jika ada suatu peristiwa yang
bisa mengganggu tahap perkembangan seseorang di masa remaja, nantinya juga akan

menghambat tahap perkembangan yang selanjutnya. Menurut Hunt & Metcalf (Novelita,
2011) konflik intrapersonal bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik
dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu
yang bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah bagaimanakah gambaran konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja
dengan orang tua yang berbeda agama?
C. Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah gambaran konflik
intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama

3

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik Intrapersonal
Menurut Lewin (Collone dan Eliana, 2005) situasi konflik dapat dijelaskan sebagai
suatu keadaan dimana ada daya-daya yang saling bertentangan arah dan dalam kekuatan yang
kira-kira sama. Ada beberapa jenis kekuatan menurut Lewin (Sarwono, 2002) yang bertindak
seperti vektor, yakni:

1. Kekuatan pendorong (driving force): menggerakkan, memicu terjadinya lokomosi /
tingkah laku ke arah yang ditunjuk oleh kekuatan itu.
2. Kekuatan penghambat (restraining force): halangan fisik atau sosial menahan
terjadinya lokomosi / tingkah laku, mempengaruhi dampak dari kekuatan pendorong
3. Kekuatan kebutuhan pribadi (forces corresponding to a persons needs):
menggambarkan keinginan pribadi untuk mengerjakan sesuatu.
4. Kekuatan pengaruh (induced force): menggambarkan keinginan dari orang lain
(misalnya orang tua atau teman) yang masuk menjadi region lingkungan psikologis.
5. Kekuatan non manusia (impersonal force): bukan keinginan pribadi tetapi juga
bukan keinginan orang lain. Ini adalah kekuatan atau tuntutan dan fakta atau objek.
Lewin (Sarwono, 2002) mendefinisikan konflik sebagai situasi di mana seseorang
menerima kekuatan-kekuatan yang sama besar tetapi arahnya berlawanan. Konflik
intrapersonal terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak
mungkin dipenuhi sekaligus dan bimbang mana yang harus dipilih. Kedua pilihan yang ada
sama-sama memiliki akibat yang seimbang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri
seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan
kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bila terjadi di antara dorongan dan

tujuan
4. Terdapatnya aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuan-tujuan
yang diinginkan.
Menurut Hunt & Metcalf (Novelita, 2011) konflik intrapersonal adalah konflik yang
terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu
bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan
kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi

4

dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental
hygiene) individu yang bersangkutan.
Bentuk dari konflik intrapersonal menurut Lewin (Sarwono, 2002) antara lain sebagai
berikut:
1. Konflik mendekat-mendekat (approach to approach conflict). Merupakan konflik
yang terjadi karena harus memilih dua alternatif yang berbeda tapi sama-sama
menarik atau sama baik kualitasnya. Dalam tipe konflik ini, yaitu apabila dua
kebutuhan (atau lebih) yang muncul bersamaan, keduanya mempunyai nilai positif
bagi seseorang (P). Konflik terjadi jika daya menuju ke G1+ sama kuatnya dengan
daya menuju ke G2+. Kekuatan salah satu daya akan meningkat jika valensi wilayah

yang dituju menguat dan jarak psikologis menuju wilayah itu berkurang. Jika hal
tersebut terjadi, maka konflik ini terselesaikan.

G1 +

P

G2 +

Gambar 1.
Konflik intrapersonal mendekat-mendekat (approach to approach conflict)

2. Konflik mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict).
Dalam konflik ini jika P menghadapi nilai positif dan nilai negatif pada kebutuhan
yang muncul secara bersamaan. Sebagian daya mengarahkan P pada G1+, namun
sebagian daya lain menghambat P sehingga mengarah G2-. Adanya keadaan
keseimbangan (equlibrium), dan menyebabakan konflik mendekat-menjauh menjadi
konflik yang stabil.

P


G1 +

G2 -

Gambar 2.
Konflik intrapersonal mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict)

3. Konflik menghindar-menghindar (avoidance to avoidance conflict). Konflik yang
terjadi karena sesorang mempunyai perasaan dan kebutuhan di antara dua valensi
negative yang sama-sama dihindari. Dalam tipe konflik ini, kedua kebutuhan P
berada di antara dua valensi negatif yang sama kuat dan muncul dalam kondisi yang
bersamaan. Konflik terjadi bila daya menjauh dari GI- sama kuatnya dengan daya
menjauh dari G2-.
5

G1 -

P


G2 -

Gambar 3.
Konflik intrapersonal menghindar-menghindar(avoidance to avoidance conflict)

B. Agama
Secara terminologi definisi agama menurut Departemen Agama (Khotimah, 2006)
adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa berpedoman kitab suci
dan dipimpin oleh seorang nabi. Sedangkan

menurut Mukti Ali (Khotimah, 2006)

mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan
hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Menurutnya ciri-ciri agama itu adalah:
a. Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa
b. Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa
c. Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa
d. Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan
petunjuk

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, pemerintah Indonesia saat
ini secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Buddha dan Khong Hu Cu atau Confusius (Hosen, 2005).
C. Remaja
Masa remaja adalah masa transisi / peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial
(Papalia, Olds & Feldman, 2001). Hall mengemukakan bahwa usia masa remaja berkisar
antara 12 sampai dengan 23 tahun (Santrock, 2007). Sedangkan definisi masa remaja menurut
Sri Rumini & Siti Sundari (Rahmantyo, 2012) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung
antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22
tahun bagi pria. Desmita (Rahmantyo, 2012) juga menyampaikan gagasannya mengenai
batasan usia remaja yaitu, batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah
antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanyadibedakan atas tiga, yaitu:
12-15 tahun = masa remaja awal, 16-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 19-21 tahun =
masa remaja akhir.
6

Pada masa ini, ciri perubahan perkembangan remaja ditandai dengan :
1. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak
menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
2. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi
Pikunas (Yusuf, 2001) menyebutkan bahwa munculnya tugas-tugas perkembangan
pada remaja bersumber pada faktor-faktor berikut :
1. Kematangan fisik
2. Tuntutan masyarakat secara kultural
3. Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri
4. Tuntutan norma / agama
D. Perkembangan Jiwa Keagamaan Remaja
James Fowler (Santrock, 2007) mengatakan bahwa perkembangan religius berfokus
pada motivasi untuk menemukan makna hidup, baik di dalam maupun di luar konteks agama.
Fowler (Santrock, 2007) mengajukan enam tahap perkembangan religius yang berkaitan
dengan teori perkembangan Erikson, Piaget dan Kohlber :
1. Tahap 1. Iman Intuitif-proyektif atau intuitive-projective faith (masa kanak-kanak
awal). Usia 3-7 tahun. Setelah bayi belajar mempercayai pengasuhnya (perumusan
Erikson) mereka menemukan gambaran intuitifnya sendiri mengenai apa yang baik
dan jahat. Ketika anak-anak mulai memasuki tahap praoperasional seperti dalam
teori Piaget, dunia kognitif mereka mulai terbuka terhadap berbagai kemungkinan
baru. Benar dan salah dilihat menurut konsekuensi bagi dirinya sendiri. Anak-anak
mulai percaya akan adanya malaikat dan hal-hal gaib.
2. Tahap 2. Iman mistis-literal atau mythical-literal faith (masa kanan-kanak
pertengahan dan akhir). Usia 7-12 tahun. Ketika anak-anak mulai memasuki tahap
praoperasional konkret menurut Piaget, mereka mulai bernalar secara lebih logis,
konkret namun tidak abstrak. Mereka memandang dunia secara lebih teratur. Anakanak usia sekolah mengintepretasikan kisah-kisah religius secara literalis, dan
pandangan mereka mengenai orang tua yang memberikan hadiah untuk kebaikan
yang dilakukan dan memberikan hukuman untuk keburukan yang dilakukan.
3. Tahap 3. Iman sintesis-konvensional atau synthetic-conventional faith (transisi
antara masa kanak-kanak dan remaja, remaja awal). Usia 12-20 tahun. Pada tahap ini
remaja

mulai

mengembangkan

pemikiran

operasional

formal

dan

mulai

mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari mengenai agama ke dalam suatu
sistem keyakinan yang koheren. Meskipun iman sintesis konvensional lebih abstrak
7

dibandingkan dua tahap sebelumnya, remaja muda masih cenderung patuh terhadap
keyakinan religius orang lain (sebagaimana dinyatakan dalam tahap moralitas
konvensional menurut Kohlber) dan belum mampu menganalisis ideologi alternatif
secara memadai. Benar salahnya perilaku seseorang ditinjau menurut apakah
perilaku itu membahayakan relasi atau mengenai apa yang akan dikatakan orang
lain.
4. Tahap 4. Iman individuatif-reflektif atau individuative-reflective faith (transisi masa
remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Usia 20-35 tahun. Menurut Fowler ditahap
ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap
kondisi religiusnya. Tahap ini seringkali didahului oleh pengalaman dimana orang
muda mulai bertanggung jawab akan kehidupannya sendiri dan mereka harus
memperluas usahanya untuk mengikuti rangkaian kehidupan tertentu. Individu mulai
dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: “Apakah saya sebaiknya mendahulukan
kepentingan saya sendiri atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih
dahulu?” atau “Apakah doktrin agama yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau
relatif sesuai dengan keyakinan saya?”

Menurut Fowler, pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang
nilai-nilai dan ideologi religius individu yang sering kali muncul di lingkungan
sekolah atau kampus merupakan hal yang penting untuk mengembangkan iman
individuatif-reflektif.
5. Tahap 5. Iman konjungtif atau conjunctive faith (masa dewasa pertengahan). Usia
35-45 tahun. Menurut Fowler, jumlah orang dewasa yang memasuki tahap ini hanya
sedikit. Tahap ini lebih terbuka terhadap paradoks dan mengandung berbagai sudut
pandang yang saling bertolak belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran
seseorang mengenai keterbatasan mereka.
6. Tahap 6. Iman universal atau universal faith (masa dewasa pertengahan atau dewasa
akhir). Usia > 45 tahun. Menurut Fowler, tahap tertinggi dari perkembangan religius
yang melibatkan transendensi dari system keyakinan tertentu untuk mencapai
penghayatan kesatuan dengan semua keberadaan dan komitmen untuk mengatasi
berbagai rintangan yang memecah belah kesatuan dengan orang lain. Fowler
menganggap hanya sangat sedikit orang yang bisa mencapai tahap perkembangan
religius yang tertinggi ini. Tiga orang yang menurut Fowler bisa mencapai tahap ini
adalah Mahatma Gandhi, Bunda Theresa dan Martin Luther King, Jr.
Peneliti mengemukakan bahwa agama memiliki sejumlah dampak positif bagi remaja
(Santrock, 2007). Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja
8

menduduki masa progresif. Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa
faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut Starbuck
(Jalaluddin, 2010) adalah:
1. Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya
sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama pada
masa ini mulai timbul, selain masalah kebudayaan, social, ekonomi dan norma
kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menujukkan 85%
remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya sedangkan 40%
remaja Protestan tetap taat pada ajaran agamanya.
Dari hasil ini dinyatakan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif
lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.
Sebaliknya agama yang ajarannya kurang koservatif, dogmatis dan agak liberal akan
mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka
banyak

menginggalkan

ajaran

agamanya.

Hal

ini

menunjukkan

bahwa

perkambangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
2. Perkembangan perasaan
Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan
yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong
dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya remaja yang kurang
mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi
dorongan seksual yang mana pada masa ini merupakan masa kematangan seksual. s
3. Pertimbangan sosial
Corak keagamaan pada remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial.
Dalam kehidupan keagamaan mereka akan timbul konflik antara pertimbangan
moral dan material, dimana remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena
kehidupan duniawi dipengaruhi oleh kepentingan akan materi, maka para remaja
jiwanya cenderung bersifat materialistis.
4. Perkembangan Moral
Perkembangan moral pada remaja berititik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja biasanya meliputi :
1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan
pribadi
2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik
9

3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral
5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat
5. Sikap & minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagmaaan boleh dikatakan sangat kecil
dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka.
6. Ibadah
Berdasarkan kesimpulan Ross dan Oskar Kupky (Jalaluddin, 2010) didapatkan
bahwa hanya sekitar 17% remaja yang mengatakan bahwa ibadah bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% diantaranya menganggap bahwa
ibadah hanyalah media untuk bermeditasi.
E. Faktor Peneyebab Keraguan Beragama pada Remaja
Hasil penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) terhadap mahasiswa Middleburg College,
disimpulkan bahwa dari remaja berusia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang
mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan,
keadaaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Hal yang serupa ditemukan ketika ia
meneliti hal yang sama terhadap 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik
dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima.
Analisis penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) menjelaskan bahwa penyebab
timbulnya konflik dan keraguan itu antara lain adalah faktor :
1. Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
a. Kepribadian

mempengaruhi

penafsiran

seseorang

mengenai

kondisi

keagamaannya akan sifat Tuhan dan agamanya itu sendiri.
b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan
dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya
lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Tapi sebaliknya, dalam
kualitas dan kuatintas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping
itu, keraguan wanita lebih bersifat alami, sedangkan pria bersifat intelek.
2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, aliran kepercayaan yang kadangkadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini
dapat menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja. Demikian pula tindaktanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama.
10

3. Pernyataan kebutuhan manusia
Manusia memiliki sifat senang dengan yang sudah ada, namun memiliki
dorongan rasa keingintahuan. Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan
memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari
kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau
ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yangtelah dimilikinya
akan timbul keraguan.
4. Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu
menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang
dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang
terpelajar akan lebih kritis terhadap agamanya, terutama yang banyak mengandung
ajaran yang berisfat dogamatis.
6. Percampuran antara agama dan mistis
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak disadari tindak
keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik.
Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilemma yang kabur bagi para remaja.
Selanjutnya, menurut Jalaluddin (2010) secara individu sering pula terjadi keraguan
yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai : (1) Kepercayaan, menyangkut masalah
ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai
Trinitas. (2) Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat
suci agama. (3) Alat perlengkapan keagaamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam
Kristen. (4) Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan. (5) Pemuka agama, biarawan &
biarawati. (6) Perbedaab aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen) atau mazhab
(Islam)
Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnya konflik keagamaan
dalam diri para remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang
baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan salah. Konflik keagamaan ini ada beberapa
macam, diantaranya : (1) Konflik keagamaan yang terjadi antara percaya dan ragu. (2)
Konflik keagamaan yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide
keagamaan serta lembaga keagamaan. (3) Konflik keagamaan yang terjadi oleh pemilihan
11

antara ketaatan beragama atau sekularisme. (4) Konflik keagamaan yang terjadi antara
melepaskan kebiasaan masa lalau dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas
petunjuk Ilahi
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Model pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fenomenologi.
Adapun subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak empat orang.
Yaitu remaja dengan orang tua yang berbeda agama, berusia antara 19-23 tahun, berada
dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh pendidikan Strata 1. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
peneliti, seperti data hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan
dijadikan subyek dalam penelitian dan dengan melakukan observasi langsung. Sedangkan
sumber data sekunder di sini bisa diperoleh dari wawancara dengan narasumber pendukung
yang dapat berasal dari orang terdekat subjek penelitian seperti orang tua, saudara atau teman
dekat. Selain itu sumber data sekunder juga bisa berupa dokumentasi yang diperoleh ketika
melakukan penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis
data kualitatif menurut Moustakas yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan dalam anlisis
data penelitian ini adalah : (1) Transkrip, (2) Horisonalisasi, (3) Thematic Portrayal, (4)
Mentranskripkan data secara individual, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Individual
textural description dan individual structural description. (5) Composite, penggabungan
deskripsi dari masing-masing subjek menjadi satu, yang terdiri dari dua bagian composite
textural description dan composite structural description. (6) Sintesis, menganalisis data hasil
deskripsi dikaitkan dengan teori.
ANALISIS & HASIL
Tabel 1. Perbandingan hasil penelitian keempat subyek
Dimensi

Agama orang tua
(A/I)
Agama subyek
(dulu / saat ini)

Hasil
MG

IG

IE

RA

Islam / Katolik

Kristen / Islam

Islam / Katolik

Katolik / Islam

Katolik --> Islam

Islam

Katolik --> Islam

Katolik --> Islam

12

Keluarga

demokratis, modern,
orang tua memiliki
latar belakang
pendidikan yang
baik, cukup terbuka

Ibu sangat dominan,
modern

Ayah lebih
dominan, sering
terjadi pertengkaran

Ibu dominan, ayah
kaku & agak kolot
karena pendidikan
yang rendah

Pengaruh agama
orang tua di
dalam keluarga
Pendidikan
agama dari
orang tua

Ayah = Ibu

Ayah < Ibu

Ayah > Ibu

Ayah < Ibu

Ibu (Katolik), tapi dulu
saat memeluk Katolik.
Sekarang setelah
memeluk islam Ayah
tetap pasif

Ibu (Islam)

Tidak pernah

Ibu, baik Katolik /
Islam, Ibu selalu
berperan lebih besar

Jarang

Kadang-kadang

Jarang

Sering

Intensitas ibadah
Toleransi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Biasa

Kepribadian

Terbuka, keras
kepala

Terbuka, santai /
cuek

Terbuka, ceplasceplos

Agak tertutup, lebih
berhati2

Religiusitas
subyek
Kenyamanan
dengan agama

Rendah

Sedang

Rendah

Tinggi

Katolik

Islam

Tidak yakin

Islam

Faktor yang
membuat ragu
dalam memeluk
agama

kesalahan pemuka
agama, ajaran,
budaya

-

Kurangnya
pendidikan agama,
aturan ibadah,
perbedaan aliran
agama

Eksistensi Tuhan,
perbedaan ajaran &
keyakinan antara
agama baru & lama

Konversi agama

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tipe perk moral

Submissive

Adaptive

Submissive

Konflik
keagamaan

Katolik VS Islam |
Kebiasaan masa lalu
VS saat ini

Konflik
Intrapersonal

approach VS
avoidance | approach
VS approach

Dampak pd
kehidupan

skeptis terhadap
agama saat ini,
sangat kritis, sering
terlibat pertengkaran
dengan org lain
mengenai agama

Percaya VS Ragu

-

Submissive  Self
directive
Katolik VS Islam |
Kebiasaan masa lalu
VS saat ini

approach VS
avoidance

approach vs
avoidance

Merasa cemas
dengan kondisi
agama & kehidupan
masa depannya
karena pendidikan
agama yang minim
dari orang tua

lebih kritis &
berusaha mendalami
agamanya saat ini
dengan sering
berdialog dengan
guru spiritualnya

DISKUSI
Berdasarkan teori Fowler mengenai enam tahap perkembangan religius yang berkaitan
dengan teori perkembangan Erikson, Piaget dan Kohlber, disimpulkan bahwa keempat
subyek saat ini tengah berada pada tahap Iman individuatif-reflektif atau individuativereflective faith (transisi masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Menurut Fowler
ditahap ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap
kondisi religiusnya.
Individu mulai dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: “Apakah saya sebaiknya
mendahulukan kepentingan saya sendiri atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih

13

dahulu?” atau “Apakah doktrin agama yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau relatif
sesuai dengan keyakinan saya?”. Hal ini terlihat pada keempat subyek yang mulai bertanggung

jawab pada kehidupan religiusnya. Mereka juga mulai mempertanyakan ajaran dan doktrin
agamanya apakah sudah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi hal ini paling jelas ditemukan
pada MG dan RA yang sangat kritis terhadap ajaran agamanya. Dalam memeluk agamanya
saat ini, ia biasanya tidak mau menerima mentah-mentah entah itu doktrin ataupun fatwa
yang dihadapkan padanya. Hal ini membuat MG terkadang dianggap keras kepala oleh
orang-orang sekitarnya.
Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan
rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut Starbuck (Jalaluddin, 2010)
adalah:
1. Pertumbuhan pikiran dan mental.
Hal ini terlihat di dalam perbandingan antara keluarga MG dengan keluarga RA. Di
dalam keluarga MG yang lebih liberal dan mengedepankan keterbukaan dan toleransi
yang tinggi dengan agama lain pada akhirnya justru mendorong MG untuk semakin
kritis terhadap ajaran agamanya. Sedangkan di dalam keluarga RA peran ibu sangat
dominan dalam menularkan agamanya yang lebih konservatif membuat ia lebih taat
dalam menjalankan agamanya. Suasana keagamaan yang diterapkan di dalam keluarga
RA pada dasarnya sudah konservatif & dengan ayah yang otoriter. Baik itu dulu, saat
semua anggota keluarga masih memeluk Katolik, atapun saat ini.
2. Perkembangan perasaan
Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup
yang religius pula. Perkembangan perasaan ini sangat terlihat pada subyek RA, dimana
ia mengaku sebagai individu yang religius yang akhirnya mendorong kehidupan RA ke
arah yang religius pula, seperti menggunakan hijab, mengikuti pengajian, senang
melakukan dialog agama dan berkonsultasi dengan pemuka agama. Sedangkan MG, IG,
dan IE mengaku tidak religius dan belum taat dalam menjalankan agamanya.
3. Pertimbangan sosial
MG dan RA sama-sama terlibat aktif dalam komunitas keagamaannya saat masih
memeluk Katolik. Tapi saat ini, keempat subyek memiliki kesamaan tidak lagi terlibat
aktif dalam kegiatan komunitas keagamaan di sekitarnya. MG beralasan bahwa ia
merasa banyak menemukan ketidakcocokan dengan komunitas agama Islam yang
terkesan mengeksklusifkan karena membatasi interaksi dengan mereka yang nonmuslim.
14

4. Perkembangan Moral
Perkembangan moral pada remaja berititik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada keempat subyek ialah :
a. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
Tiper perkembangan ini terlihat pada kondisi keagamaan RA saat ini. RA
memutuskan untuk semakin taat dalam menjalankan ibadah dan agamanya karena
pertimbangan pribadi.
b. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Tipe
perkembangan moral ini terlihat pada subyek IG dimana ia lebih suka mengikuti
alur kehidupan beragama di lingkungan sekitarnya, cenderung menjauhi konflik
dan jarang mengadakan kritik.
c. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. RA
meski berusaha taat dalam menjalankan agamanya, masih sering menemukan
beberapa hal keraguan di dalam agamanya yang kemudian muncul menjadi
pertanyaan-pertanyaan baru terhadap suatu ajaran agama di dalam Islam. IE juga
berada pada tipe perkembangan moral ini karena ia mengakui adanya keraguan
terhadap ajaran moral & agamnya, apakah sudah benar atau belum.Tipe moral ini
juga paling terlihat pada subyek MG yang seringkali tampak terang-terangan
menujukkan ketidakyakinan bahkan ketidaksetujuannya pada beberapa ajaran
agama Islam yang ia anggap tidak cocok dengan pola pikirnya. Beberapa
kebiasaan atau budaya dalam lingkup agamanya saat ini di dalam masyarakat
juga tidak sedikit yang dinilai MG tidak masuk akal karena terlalu banyak
melarang dan dianggap kurang bertoleransi terhadap agama lain.
5. Sikap & minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaaan boleh dikatakan sangat kecil
dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
memperngaruhi mereka. MG, IE, dan RA adalah tiga subyek yang dari kecil dibesarkan
dengan agama yang berbeda dengan yang ia peluk saat ini. Mereka bertiga dididik oleh
ibunya dengan agama yang berbeda dengan yang mereka peluk saat ini. Mereka
mengakui merasakan kondisi yang cukup memberatkan terlebih lagi ketika baru saja
melakukan konversi agama.
Keempat subyek menujukkan sikap dan minat yang berbeda dalam memeluk agama.
Sejak kecil MG terbiasa dan nyaman dengan kehidupan Katolik mengikuti ibunya,
sehingga saat MG menunjukkan minatnya terhadap agama Katolik karena ia sudah
15

terbiasa dan merasakan kococokan terhadap ajaran yang ada di dalam Katolik.. RA
sama seperti MG, pada awalnya terbiasa dan nyaman dengan kehidupan Katolik
mengikuti ibunya. Hal ini membuat RA cukup kesulitan dalam beradaptasi dengan
budaya dan kehidupannya yang baru sebagai seorang Muslim.

Namun dengan

lingkungan agama Islamnya yang lebih kuat, serta ketertarikannya pada ajaran Islam,
menyebabkann RA sudah mulai menggeser keyakinan dan kenyamanannya menuju
pada Islam.
Sedangkan untuk IG, satu-satunya subyek yang memeluk agama yang sama sejak ia
lahir sikap dan minatnya dalam memeluk agama hanya ia tujukan kepada agamanya
saat ini yaitu Islam, tanpa ada pertimbangan untuk memeluk agama lain sama sekali.
6. Ibadah
Berdasarkan kesimpulan Ross dan Oskar Kupky, didapatkan bahwa hanya sekitar
17% remaja yang mengatakan bahwa ibadah bermanfaat untuk berkomunikasi dengan
Tuhan. Perkembangan ibadah ini paling terlihat pada RA, dimana ia menjadi satusatunya subyek yang sungguh-sungguh berpendapat bahwa ibadah adalah salah satu
sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik dan keraguan itu antara lain
adalah:
1. Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
Kepribadian mempengaruhi penafsiran seseorang mengenai kondisi keagamaannya
akan sifat Tuhan dan agamanya itu sendiri. MG merupakan pribadi yang keras kepala
dalam mempertahankan pendapatnya, ia juga sering terlibat perdebatan dengan orang
lain mengenai pandangan terhadap aturan atau ajaran di dalam agamanya. Ia juga
memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan agama orang-orang disekitarnya.
2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
Keraguan yang dialami MG dan RA salah satunya disebabkan oleh kesalahan
pemuka agama dalam menerangkan ataupun memberi jalan dalam menjelaskan aturan,
ajaran di dalam agama mereka.
Ketika RA mempertanyakan eksistensi Tuhan dan Trinitas ajaran agama Katolik, ia
merasa tidak puas dengan jawaban yang diajukan Romonya, karena tidak menjelaskan
hal tersebut dengan penjelasan yang bisa RA mengerti. Lalu saat RA sudah memeluk
agama Islampun, ia masih sangat kritis terhadap ajaran dan aturan agama Islam,
mengenai muhrim, ibadah dsb. Tetapi pada tahap ini ia bertemu dengan sosok pemuka
agama (ustad dalam keluarganya) yang ia anggap bisa memberikan jawaban-jawaban
16

yang bisa ia terima atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini yang menyebabkan
keraguan RA dalam memeluk agamma mulai berkurang.
Sedangkan MG yang juga memiliki banyak pertanyaan mengenai agamanya, tidak
memiliki panutan dalam melakukan dialog agama untuk menjawab pertanyaanya,
sehingga keraguan yang tidak terjawab ini, justru semakin memperbesar konflik yang
MG alami dalam memeluk agama.
3. Pernyataan kebutuhan manusia
Keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan
pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran
agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah
dimilikinya akan timbul keraguan.
MG menemukan banyak hal yang tidak sejalan dengan pikirannya pada ajaran Islam,
ia juga mengakui lebih nyaman dalam memeluk Katolik. Sedangkan IE pernah terbesit
untuk mencari tahu mana agama yang paling baik untuk dirinya agar ia memiliki
pegangan hidup. Lalu RA juga berusaha mencari tahu mana agama yang terbaik
untuknya dengan cara membandingkan agama yang ia peluk sebelumnya dan saat ini
untuk menemukan kenyamanan dan terjawabnya semua pertanyaan yang ia miliki
dalam memeluk agama.
4. Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu
menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. MG, IE dan RA
memiliki kesamaan yaitu sama-sama pernah memeluk agama Katolik sejak kecil, lalu
melakukan konversi agama hingga akhirnya memeluk agama Islam seperti sekarang.
Mereka bertiga merasakan perubahan kebiasaan dan ritual ibadah yang dirasa
memberatka, terutama untuk MG dan RA. RA juga menceritakan bahwa ia memiliki
begitu banyak pertanyaan mengenai agama barunya ketika melakukan konversi agama.
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang
dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang
terpelajar akan lebih kritis terhadap agamanya, terutama yang banyak mengandung
ajaran yang berisfat dogamatis. Dari keempat subyek, MG adalah remaja yang terlihat
paling aktif dan cerdas diantara lainnya. Karena itulah, pola pikir MG jauh lebih kritis
terhadap ajaran agama yang ia terima di sekitar lingkungannya. Terlebih lagi mengenai

17

aturan serta fatwa-fatwa yang MG anggap tidak masuk akal dan mengganggu
kehidupan beragama antar manusia.
Konflik intrapersonal adalah konflik personal atau konflik diri yang terjadi dalam diri
seseorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada (Wirawan,
2010). Konflik intrapersonal terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua
keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus dan bimbang mana yang harus dipilih.
edua pilihan yang ada sama-sama memiliki akibat yang seimbang.
Sedangkan konflik keagamaan yang dialami subyek, diantaranya:
a. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu yang dialami subyek IE.
b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide
keagamaan serta lembaga keagamaan yang dialami subyek MG.
c. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan
keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. Konflik yang dialami oleh RA dan
MG, dimana ia harus beradaptasi dengan agama dan kebiasaan barunya setelah ia
melakukan konversi agama dari Katolik menjadi Islam. Mereka berusaha untuk
melepaskan masa lalunya dan menerima kehidupan keagamaan yang baru.
Bentuk konflik intrapersonal dalam memeluk agama yang dialami subyek berdasarkan
bentuk konflik menurut Lewin (Sarwono, 2002) adalah :
a. MG.
Konflik mendekat-mendekat (approach to approach conflict). Konflik yang terjadi
karena dua kebutuhan bervalensi positif yang muncul bersamaan. Konflik intrapersonal
mendekat-mendekat yang dialami MG berada pada ranah konflik keagamaan diantara
pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagaman. Baik itu agamannya
yang lama, yaitu agama Katolik, maupun agamanya saat ini yaitu Islam, keduanya
masing-masing memiliki valensi positif.
Konflik intrapersonal lain yang MG alami adalah, mengenai konfik antar
melepaskan kebiasaan masa lalu dan membiasakan diri dengan kebiasaan agama saat
ini. Konflik ini adalah konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict)
dimana kebiasaan agama lama adalah valensi negatif, sementara kebiasaan baru adalah
valensi positif. Meski sudah memeluk agama Islam sejak SMP, tapi MG seringkali
masih membanding-bandingkan ajaran agama Katolik yang dulu ia peluk yang ia
anggap sangat penuh cinta kasih dibandingkan dengan ajaran agama Islam yang saat ini
ia anut.

18

Pada konflik yang dialami MG, banyaknya ajaran dalam Islam yang tidak cocok
untuknya menjadi kekuatan pendorong untuk memunculkan keraguan dalam memeluk
agama yang ia alami. Namun, rasa bersalah dan “tidak enak” kepada orang tuanya
menjadi vector penghambat MG untuk melakukan konversi agama (lagi) menjadi
Katolik. Dimana kekuatan kebutuhan pribadi MG akan rasa nyaman dengan agama
Katolik mendorongnya untuk melakukan sesuatu, tapi pada akhirnya ditekan oleh
adanya kekuatan pengaruh dari orang tuanya, dalam hal ini Ibunya, agar MG memeluk
agama Islam. Selain itu rasa yakin MG bahwa agama Islam sebenarnya adalah agama
yang paling benar dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan meski banyak hal di dalam
Islam yang tidak ia setujui, menunjukkan adanya Impersonal force (kekuatan non
manusia) yang ikut di dalam konflik intrapersonal yang MG alami. Sehingga pada saat
yang sama MG dihadapkan pada dua valensi berbeda yang menimbulkan ketegangan
karena terjadi saling tarik menarik antara kedua hal tersebut.
b. IE
Konflik mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict). Konflik yang
terjadi karena seseorang berada dimana ia tertarik dan menolak tujuan yang sama arena
mengalami valensi positif dan negative pada saat yang sama.
IE mengalami konflik intrapersonal mendekat-menghindar, sehubungan diantara
perasaan ingin memeluk agama Islam dan menjalani sepenuhnya namun juga berusaha
menjaga perasaan ibunya yang berbeda agama. Ingin mempelajari agama Islam dengan
lebih baik adalah valensi positif di tengah konflik yang tengah IE alami. Sedangkan
keengganannya terhadap reaksi ibunya yang berbeda agama adalah valensi negatif.
Sehingga pada saat yang sama IG dihadapkan pada dua valensi berbeda yang
menimbulkan ketegangan karena terjadi saling tarik menarik antara kedua hal tersebut.
Kondisi ini menyebabkan IE menjadi enggan untuk mendalami Islam dengan lebih
baik, hanya mengikuti arus kehidupannya tanpa melakukan upaya terhadap kondisinya
saat. ini.
Kasus IE, yang menjadi kekuatan pendorong yang paling utama adalah
ketidakharmonisan kedua orangtuanya mengenai toleransi kehidupan beragama di
dalam keluarga.

Sedangkan kekuatan kebutuhan pribadi IE kepada ajaran dan

keinginan memeluk agama yang benar untuk dirinya membuat ia ingin melakukan
sesuatu terhadap kondisi agamanya yang tidak jelas.
IE ingin mendalami agama yang ia peluk saat ini secara utuh dan benar. Ia pernah
mencoba untuk menujukkan identitas dan niatnya sebagai Muslim dengan mencoba
19

menggunakan jilbab. Namun hal ini harus terhambat disebabkan kekuatan penghambat
berkenaan dengan perasaan bersalah IE kepada ibunya jika ia nantinya berusaha
memahami atau memeluk Islam secara seutuhnya. Ditambah lagi adanya kekuatan
pengaruh dari ibunya yang menujukkan ketidaksetujuan pada IE untuk menggunakan
jilbab yang akhirnya menyebabkan IE merasa mengalami konflik antara ingin menjadi
Muslim dengan benar dan menuruti serta menjaga perasaan ibunya.
Konflik intrapersonal lain yang ia alami adalah konflik antara percaya dan ragu
terhadap ajaran agamanya. Pada konflik ini, IE juga mengalami konflik mendekatmenghindar. Valensi positif di sini adalah rasa percaya terhadap ajaran agama,
sedangkan keraguan bertindak sebagai valensi negative.
IE sering bertanya pada dirinya sendiri apakah agama yang ia peluk sudah benar.
Apakah yang ia lakukan sudah benar. Namun tidak berusaha mencari tahu dan
mendalami agamanya dengan lebih baik lagi karena takut menyakiti hati ibunya. Hal ini
menyebabkan IE cukup terganggu dengan konflik yang ia alami. IE juga sering merasa
gamblang dan tidak memiliki pegangan hidup, hingga merasa cemas dengan masa
depannya.
Keinginan IE yang ingin memahami agamanya dengan sungguh-sungguh dalam
memeluk agama di sini sebagai kekuatan pendorong IE untuk memahami ajaran
agamanya dengan baik dan benar. Namun minimnya pendidikan agama yang diberikan
oleh orang tuanya sejak kecil, terutama ayahnya yang seagama dengan IE namun dirasa
tidak pernah memberikan pendidikan agama sama sekali kepada IE menjadi kekuatan
peghambat dan kekuatan pengaruh, sehingga IE tidak bisa belajar untuk mendalami
agama yang ia peluk dengan lebih baik lagi. Yang akhirnya mendorong munculnya
konflik intrapersonal antara percaya dan ragu terhadap ajaran agama yang ia peluk.
c. RA
Konflik intrapersonal mendekat-menjauh (approach-avoidance) yang dialami RA
berada pada ranah konflik keagamaan dimana ia berusaha melepaskan kebiasaan masa
lalunya dengan kehidupan beragamanya yang baru, yang saat ini RA anggap sebagai
agama yang paling sempurna. RA harus membiasakan diri dengan susah payah setelah
ia melakukan konversi agama dari Katolik menjadi Islam. Beradaptasi dan menerima
agama barunya adalah valensi positif, sedangkan membiasakan diri untuk terlepas dari
kebiasaan lama hidup beragamanya adalah valensi negative, sehingga kondisi ini
disebut konflik intrapersonal mendekat-menjauh.

20

Kekuatan pendorong pada konflik intrapersonal yang dialami RA adalah adanya
konversi agama yang dilakukan ibunya setelah melakukan perceraian, untuk kembali
memeluk agama Islam. Namun ketaatannya pada agamanya yang lama, juga menjadi
kekuatan penghambat karena membuat RA merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan ajaran dan aturan agama yang baru di dalam Islam, terlebih lagi mengenai
pelaksanaan ibadah. Kekuatan kebutuhan pada RA adalah keinginan untuk memeluk
agama dengan baik dan sempurna, karena pada dasarnya dia adalah remaja yang taat.
Lalu ketaatan dan kereligiusan sosok ibu dalam memeluk agama Islam, serta adanya
tokoh agama Islam yang dianggap sebagai guru spiritual di dalam keluarga, menjadi
kekuatan pengaruh pada konflik RA yang akhirnya semakin mendorong RA untuk terus
beradaptasi dan lebih mendalami ajaran agamanya yang baru sebagai muslim yang taat.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyek mengalami konflik
intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya
konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta peran orang tua yang
berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyek penelitian berada
dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang dialami
ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflik mendekat-mendekat.
Remaja yang memiliki salah satu orang tua yang cenderung lebih konservatif dalam
menjalankan dan mengajarkan agamanya, berpengaruh pada mereka untuk lebih tetap taat
pada ajaran agamanya serta meminimalisir munculnya konflik intrapersonal dalam memeluk
agama. Kondisi perkembangan jiwa keagamaan remaja juga sangat dipengaruhi oleh peran
orang tua yang berjenis kelamin sama di dalam hidup mereka. Remaja yang pernah
melakukan konversi agama mengalami konflik intrapersonal yang lebih besar daripada
subyek yang hanya memeluk satu agama sejak kecil tanpa pernah melakukan konversi
agama. Keempat subyek yang dibesarkan dengan dua lingkungan beragama yang berbeda
membentuk mereka menjadi individu yang sangat bertoleransi terhadap agama lain di dalam
kehidupan sehari-hari.
SARAN
Pasangan yang memutuskan untuk melakukan pernikahan berbeda agama diharapkan
mendiskusikan mengenai keputusan beragama anak-anak mereka sedini mungkin. Sebaiknya
anak hanya memeluk salah satu agama orang tua sejak kecil. Orang tua juga sebaiknya
memberikan pendidikan agama kepada anak mereka sejak dini dari satu pihak orang tua saja

21

baik itu untuk ritual, kebiasaan, dan ajaran-ajaran yang diberikan orang tua tentang agama
mereka agar tidak semakin menimbulkan keraguan dan konflik dalam memeluk agama.
Jika di tengah jalan anak dari pasangan berbeda agama akhirnya melakukan konversi
agama mengikuti agama orang tuanya yang lain atau agama yang sama sekali baru.
Sebaiknya dalam memeluk agamanya yang baru, para remaja ini mendapat pengetahuan yang
baik dan jelas yang bisa menjawab keraguan dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang
agama yang baru