Artikel AKTIVA TAK BERWUJUD DAN PENGARUH

Artikel: “AKTIVA TAK BERWUJUD DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERUSAHAAN”
Disusun Oleh : Kelompok 2 (Kelas E)
Eric Lauwrentz (1613021)
Sirliandy Putra Pangiawan (1613003)
Deresya Setiawati Tandiare (1613002)
TUGAS AKHIR AKUNTANSI KEUANGAN I
Semester III
Jurusan Akuntansi - Universitas Atma Jaya Makassar
2017/2018

Latar Belakang
Setiap Entitas pasti memiliki aktiva tak berwujud yang digunakan untuk kegiatan
operasional perusahaan. Aktiva tak berwujud adalah hak, hak istimewa dan keuntungan
kompetitif yang timbul dari pemilikan suatu aktiva yang berumur panjang, yang tidak memiliki
wujud fisik tertentu. Bukti pemilikan aktiva tak berujud bisa berupa kontrak, lisensi atau
dokumen lain. Dimana Aktiva tak berwujud merupakan bagian dari Aset Nonlancar lainnya yang
di neraca diklasifikasikan dan disajikan sebagai Aset Lainnya.
Entitas sering kali mengeluarkan sumber daya maupun menciptakan laibilitas dalam
perolehan, pengembangan, pemeliharaan atau peningkatan sumber daya tidak berwujud, seperti
ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak

kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan merek dagang.
Aktiva tak berwujud merupakan non-monetary asset yang tidak memiliki wujud fisik yang
terdapat dalam neraca perusahaan, yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Dalam
melakukan analisa terhadap aktiva tak berwujud terdapat berbagai kesulitan, seperti kapan aktiva
tak berwujud diakui serta bagaimana penilaian, pengukuran, dan pelaporannya dalam neraca
perusahaan.
Seiring dengan tuntutan seluruh pihak yang menginginkan adanya perlakuan akuntansi yang
memadai untuk aktiva tak berwujud, maka pada tanggal 24 Juni 2000 Ikatan Akuntan Indonesia

(IAI) menerbitkan Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (ED PSAK) No. 19
Revisi 2000 tentang Aktiva Tak Berwujud.
Oleh karena itu, setiap orang yang akan dan telah berkecimpung dalam dunia profesi
akuntan selayaknya dapat benar-benar memahami konsep aktiva tak berwujud, perlakuan
akuntansinya, dan penyajiannya dalam laporan keuangan.

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah mencoba melihat sejauh mana perlakuan akuntansi
untuk aktiva tak berwujud telah ditetapkan dalam Standar Akuntansi Keuangan dan
implementasinya dalam dunia nyata melalui analisa kasus atas merek dagang; apakah perlu
ditampilkan dalam neraca.

DEFINISI AKTIVA TAK BERWUJUD
Ada beberapa definisi mengenai aktiva tak berwujud, di antaranya:
1. Menurut FASB
FASB dalam SFAC 6 tentang Element of Financial Statement, mendefinisikan aktiva sebagai
probable future economic benefits obtained or controlled by a particular entity as a resuit of past
transactions or events. Definisi ini berlaku bagi aktiva berwujud dan aktiva tak berwujud. Aktiva
berwujud adalah aktiva yang memiliki bentuk fisik, sementara aktiva tak berwujud adalah aktiva
yang tidak memiliki bentuk fisik. Aktiva tak berwujud umumnya dikarakteristikkan oleh hak
atau keuntungan yang serupa.
2. Menurut IASC
Pengertian aktiva tak berwujud menurut IAS 38 adalah non-monetary asset without physical
substance held for use in the production of supply o f goods or service, for rental to others, or for
administrative purposes.
3. Menurut PSAK
Aktiva tak berwujud menurut PSAK 19 Revisi 2000 dapat didefinisikan sebagai aktiva nonmoneter yang tidak memiliki wujud fisik, yang digunakan untuk memproduksi barang atau jasa,
yang memberikan hak ekonomi dan hukum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan
tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi aktiva yang lain.

Perlakuan akuntansi untuk aktiva tak berwujud seringkali masih menimbulkan kesulitan
dalam teori akuntansi. Kesulitan ini meliputi pemberian definisi aktiva tak berwujud, dan yang

paling utama adalah adanya ketidakpastian mengenai pengukuran nilai dan masa manfaat dari
aset tersebut.
Pada tingkat semantik, aktiva tak berwujud harus dilaporkan sedemikian rupa sehingga
memungkinkan adanya real world interpretation. Pandangan umum bahwa aktiva tak berwujud,
sebagaimana halnya dengan aset yang lain, merupakan hak atas keuntungan di masa depan, yaitu
apabila pengeluaran untuk memperoleh aktiva tak berwujud mempunyai keuntungan potensial di
masa depan, maka pengeluaran ini seharusnya diperlakukan sebagai suatu asset sampai
keuntungan di masa depan tidak dapat diharapkan lagi. Karena aktiva tak berwujud biasanya
tidak mempunyai current marketprice, maka deskripsinya dalam bentuk satuan moneter juga
menjadi tidak memadai. Adanya deskripsi dalam pengungkapan sifatnya akan memungkinkan
interpretasi yang lebih baik. Pada tingkat behavioral cenderung lebih menekankan adanya
pelaporan aktiva tak berwujud dalam neraca untuk memudahkan pengambilan keputusan oleh
investor dan kreditur.
KARAKTERISTIK AKTIVA TAK BERWUJUD
Aktiva yang paling penting bagi banyak perusahaan besar di dunia bukanlah persediaan,
peralatan, gedung kantor ataupun kendaraan operasional dengan harga milyaran, melainkan citra
merek. Kita menghadapi ekonomi yang didominasi oleh penyedia informasi atau jasa, dan aktiva
utamanya bersifat tidak berwujud.
Aset tak berwujud mempunyai tiga karakter utama.
1. Teridentifikasi.

Agar teridentifikasi, aset tak berwujud harus dapat dipisahkan dari perusahaan(dapat dijual
atau ditransfer), atau berkembang dari kontrak atau perjanjian legal dimana keuntungan secara
ekonomi mengalir ke perusahaan.
2. Tidak berfisik.
Aset berwujud seperti property, pabrik, dan peralatan mempunyai bentuk fisik.Aset tak
berwujud, sebaliknya, derive memperoleh nilai mereka dari hak istimewa (the rightsand
privilages) yang diberikan kepada perusahaan yang memakainya.

3. Bukan aset keuangan.
Aset seperti deposito bank, piutang, dan investment obligasi jangka panjang dan saham juga
termasuk tidak mempunyai substansi fisik. Bagaimanapun, asetkeuangan memperoleh nilai
dari hak istimewa (right) untuk menerima kas atau setara kas dimasa depan. Aset keuangan
tidak terklasifikasi sebagai tak berwujud. Dalam kebanyakan kasus, aset tak berwujud
memberikan keuntungan lebih dari satu periode. Oleh karena itu, perusahaan biasanya
mengklasifikasikannya sebagai Aset tidak lancar.
MASALAH AKTIVA TAK BERWUJUD (Penilaian, Penyusutan dan Penurunan Nilai
Aktiva Tak Berwujud)
Pada umumnya, perusahaan mengklasifikasikan aktiva tak berwujud sebagai aktiva jangka
panjang. Jenis aktiva tak berwujud yang paling umum dilaporkan adalah paten, hak cipta,
waralaba atau lisensi, merek dagang, dan goodwill.

Akuisisi aktiva tak berwujud dicatat pada biaya pembelian, dan seluruh pengeluaran yang
diperlukan untuk membuat aktiva tersebut siap digunakan. Apabila aktiva tersebut diperoleh
dengan menggunakan saham atau ditukarkan dengan aktiva lain, biaya aktiva tak berwujud
tersebut adalah sebesar nilai pasar wajar aktiva tak berwujud yang diterima. Apabila beberapa
aktiva tak berwujud, atau gabungan dari aktiva tak berwujud dan aktiva berwujud, dibeli
berdasarkan pembelian keranjang, maka biayanya dicatat sebesar nilai pasar wajar atau nilai jual
relatif.
Perlakuan akuntansi untuk berbagai jenis aktiva tak berwujud
Jenis
a.Aktiva tak
Berwujud yang
dapat
diidentifikasi
secara
terpisah ( hak paten, merek
dagang, dan biaya organisasi )

b.Aktiva tak berwujud yang tidak
dapat
diidentifikasi

secara
terpisah ( goodwill )

Cara Akuisisi
Pembelian
a.Di kapaitalisasikan
biaya akuisisi.
b. Diamortisasi selama
hukum atau estimasi
manfaat mana yang
singkat
dengan
maksimum 40 tahun

Dibuat secara internal
pada
umur
masa
lebih
umur


a.Dibebankan
atau
dikapitalisasi tergantung pada
aktiva tak berwujud tertentu.
b. Jika dikapitalisasi, akan di
amortisasi sebagai aktiva tak
berwujud yang dibeli.
a. Dibebankan pada saat
terjadinya.
b. Tidak tersedia pilihan untuk
pengkapitalisasian, sehingga
tidak akan ada amortisasi

Sama seperti aktiva lainnya, aktiva tak berwujud juga memiliki umur manfaat yang terbatas
dan tidak terbatas. Untuk aktiva tak berwujud yang meiliki batas umur manfaat, perusahaan
umumnya mengamortisasi aktiva tersebut dengan pembebanan sistematis selama umur
manfaatnya. Umur manfaat ini harus mencerminkan periode-periode di mana aktiva-aktiva
tersebut memberikan kontribusi terhadap arus kas. Faktor –faktor untuk menentukan umur
manfaat diantaranya adalah :

1. Perkiraan penggunaan aktiva tersebut oleh perusahaan
2. Perkiraan umur manfaat aktiva lainnya yang terkait dengan umur manfaat aktiva tak
berwujud tersebut
3. Persyaratan hukum, undang-undang, dan kontrak yang akan membatasi umur manfaat
suatu aktiva tak berwujud
4. Persyaratan hukum, undang-undang, dan kontrak yang akan memperpanjang umur
kontrak aktiva tersebut tanpa biaya besar
5. Dampak dari keusangan, permintaan, persaingan, dan faktor-faktor ekonomi yang lain,
seperti stabilitas industry, kemajuan teknologi, kebijakan legislatif, yang berakibat pada
ketidakpastian atau perubahan lingkungan peraturan, dan perubahan pada jalur distribusi
6. Tingkat beban pemeliharaan yang diperlukan untuk mendapatkan arus kas yang
diharapkan dari aktivitas tersebut
Jumlah beban amortisasi untuk aktiva tak berwujud dengan umur manfaat yang terbatas
harus mencerminkan pola konsumsi atau pola pemakaian aktiva tersebut oleh perusahaan, jika
perusahaan itu dapat dengan pasti menentukan polanya. Ketika perusahaan mengamortisasi
lisensi-lisensi produknya, perusahaan harus menunjukkan biaya itu sebagai beban. Kredit harus
dilakukan ke akun aktiva yang sesuai maupun kea kun akumulasi amortisasi yang terpisah.
Jumlah aktiva tak berwujud yang akan diamortisasi adalah biaya dikurangi nilai sisa. Nilai sisa
yang dimaksud diasumsikan nol, kecuali pada akhir umur manfaatnya.
Sebuah aktiva tak berwujud dikatakan memiliki umur yang tidak terbatas apabila tidak ada

faktor hukum, perundangan, kontrak, persaingan atau faktor-faktor lainnya yang membatasi
umur manfaat dari sebuah aktiva tersebut. Maksudnya, tidak ada batas yang dapat diperkirakan

dalam periode waktu dimana aktiva tersebut dapat memberikan arus kas. Untuk aktiva yang tidak
memiliki batas umur manfaat tidak diamortisasi. Perusahaan harus menguji apakah aktiva tak
berwujud dengan umur tak tervatas tersebut mengalami penurunan. Pengujian penurunan untuk
penurunan untuk aktiva tak berwujud dengan umur tak terbatas ini berbeda dengan yang dipakai
untuk aktiva tak berwujud dengan umur terbatas, dalam hal bahwa hanya pengujian nilai wajar
saja yang dilakukan. Aktiva tak berwujud dengan umur tak terbatas tidak akan pernah gagal
dalam pengujian pemulihan arus kas tak berdiskonto karena arus kas dapat diperpanjang ke masa
depan secara tidak terbatas.
JENIS-JENIS AKTIVA TAK BERWUJUD
Akuntansi untuk aktiva tak berwujud bergantung pada umur aktiva tak berwujud tersebut,
baik terbatas maupun tidak terbatas. Aktiva tak berwujud dikategorikan menjadi enam, yaitu:
1. Pemasaran aset tidak berwujud yang terkait (marketing-related intangible asset)
2. Pelanggan aset tidak berwujud yang terkait (customer-related intangible asset)
3. Artistik aset tidak berwujud yang terkait (artistic- related intangible asset)
4. Kontrak aset tidak berwujud yang terkait ( contract- related intangible asset)
5. Teknologi aset tidak berwujud yang terkait ( technology-related intangible asset)
6. Goodwill


1.

Aktiva Tak Berwujud yang Terkait dengan Pemasaran
Aktiva tak berwujud yang terkait dengan pemasaran, digunakan di dalam pemasaran atau

promosi produk atau jasa. Aktiva tak berwujud yang terkait dengan pemasaran adalah merek
dagang atau nama dagang. Merek atau nama dagang adalah simbol yang membedakan atau
mengidentifikasi suatu perusahaan atau produk tertentu dengan produk lainnya. Baik terdaftar
maupun tidak, hak untuk menggunakan merek dagang atau nama dagang secara eksklusif berada
pada pengguna awal selama masa penggunaannya. Sehingga perusahaan yang menggunakan
merek dagang atau nama dagang yang telah dietetapkan dapat menganggapnya memiliki umur
yang tidak terbatas.

Jika suatu perusahaan memperoleh merek dagang atau nama dagang, maka biaya yang dapat
dikapitalisasi adalah harga pembelian. Jika suatu merek dagang atau nama dagang dikembangkan
oleh perusahaan tersebut, maka biaya yang dapat dikapitalisasi termasuk biaya pengacara, biaya
pendaftaran, biaya perancangan, biaya konsultasi, dan biaya lainnya. Jika total biaya merek
dagang atau nama dagang tidak signifikan, maka biaya tersebut dapat dibebankan. Kebanyakan
umur merek dagang atau nama dagang adalah tidak terbatas. Oleh sebab itu, perusahaan tidak

perlu mengamortisasi biayanya.
2. Aktiva Tak Berwujud yang Terkait dengan Pelanggan
Aktiva tak berwujud yang terkait dengan pelanggan pada umumnya diperoleh dari interaksi
dengan pihak luar perusahaan. Contohnya adalah daftar pelanggan, catatan pesanan atau catatan
produksi, dan hubungan dengan pelanggan yang terikat kontrak maupun yang tidak terikat
kontrak.
3. Aktiva Tak Berwujud yang Berhubungan dengan Seni
Contoh dari aktiva tak berwujud yang berhubungan dengan seni adalah hak kepemilikan atas
naskah drama, karya sastra, karya music, gambar-gambar, foto, dan materi video dan
audiovisual. Hak cipta melindungi hak kepemilikan tersebut. Hak cipta adalah hak yang
diberikan pemerintah kepada para penulis, pelukis, pemusik, pematung, dan seniman lain atas
kreasi dan ekspresi mereka. Hak cipta ini diberikan selama umur penciptanya dan memberikan
kepada pemilik, atau pewarisnya, hak eksklusif untuk memproduksinya ulang dan menjual suatu
pekerjaan artistik atau yang dipublikasikan. Hak cipta tidak dapat diperbaharui. Biaya untuk
memperoleh dan mempertahankan suatu hak cipta dapat dikapitalisasi, tetapi biaya penelitian
dan pengembangan yang terlibat harus dibebankan pada saat terjadinya.
4. Aktiva Tak Berwujud yang Berhubungan dengan Kontrak
Aktiva tak berwujud yang terkait dengan kontrak adalah nilai dari hak yang timbul dari
perjanjian-perjanjian tertentu. Bentuk umum jenis aktiva tak berwujud tersebut adalah waralaba
atau franchise. Waralaba atau franchise adalah perjanjian kontraktual, di mana pemilik waralaba
memberikan hak kepada pemegang waralaba untuk menjual produk atau jasa tertentu, untuk
menggunakan merek dagang atau nama dagang tertentu, atau melakukan fungsi-fungsi tertentu.

Franchise memperoleh hak untuk memanfaatkan ide-ide atau produk franchise dengan
menandatangani perjanjian waralaba. Jenis waralaba lainnya adalah perjanjian yang biasa
dilakukan oleh pemerintah kota dan penggunaan properti publik oleh suatu perusahaan bisnis.
Dalam hal ini, perusahaan yang dimiliki secara pribadi diijinkan untuk menggunakan properti
publik dan melakukan jasa-jasanya.
Waralaba dan lisensi dapat berlangsung selama periode waktu tertentu, selama periode yang
tidak terbatas, atau perpetual. Perusahaan yang telah mendapatkan hak waralaba atau lisensi,
mencatat suatu akun waralaba atau lisensi dalam pembukuannya, hanya jika terdapat biaya yang
diidentifikasi pada akuisisi hak pengoperasian. Biaya waralaba dengan umur yang terbatas harus
diamortisasi sebagai beban operasi selama umur waralaba tersebut. Perusahaan seharusnya tidak
mengamortisasi biaya waralaba dengan umur yang tak terbatas atau waralaba perpetual, tetapi
seharusnya mencatat sebesar biayanya. Pembayaran tahunan yang dilakukan perusahaan
berdasarkan perjanjian waralaba harus dicatat sebagai beban operasi dalam periode perjanjian
tersebut terjadi. Jumlah tersebut bukan merupakan aktiva karena tidak berhubungan dengan hak
masa datang untuk menggunakan property public.
5. Aktiva Tak Berwujud yang Terkait dengan Teknologi
Aktiva tak berwujud yang terkait dengan teknologi berhubungan dengan inovasi atau
kemajuan teknologi. Sebuah inovasi atau pengembangan dan penciptaan teknologi baru
membutuhkan hak paten untuk melindungi hak kekayaan intelektual seorang innovator. Paten
memberikan hak eksklusif kepada pemegangnya untuk menggunakan, membuat, dan menjual
suatu produk atau proses selama periode 20 tahun tanpa campur tangan atau pelanggaran dari
pihak lain. Dua jenis utama paten adalah paten produk, yang meliputi produk fisik aktual, dan
paten proses, yang mengatur proses untuk membuat produk.
6. Goodwill
Goodwill merupakan aktiva yang paling tidak berwujud dari aktiva tak berwujud lainnya
karena goodwill hanya dapat diidentifikasi pada bisnis secara keseluruhan. Satu-satunya agar
goodwill itu dapat dijual adalah dengan menjual bisnis secara keseluruhan.

Goodwill yang dihasilkan secara internal tidak boleh dikapitalisasi. Pengukuran komponen
goodwill sangat kompleks dan menghubungkan setiap biaya dengan manfaat masa depan yang
tidak dapat diestimasi secara rasional. Manfaat masa depan dari goodwill tidak memiliki
hubungan dengan biaya yang dikeluarkan dalam pengembangan goodwill tersebut. Goodwill
dapat muncul tanpa biaya khusus dalam pengembangannya. Sehingga karena tidak adanya
transaksi objektif dengan pihak luar yang telah dilakukan, maka subjektivitas bahkan
misrepresentasi dapat terjadi.
Goodwill hanya dicatat jika keseluruhan perusahaan dibeli. Karena goodwill merupakan
suatu penilaian yang bersifat going concern dan tidak dapat dipisahkan dari perusahaan secara
keseluruhan. Untuk mencatat goodwill, nilai pasar wajar dari aktiva berwujud bersih dan aktiva
tak berwujud yang dapat diidentifikasi, dibandingkan dengan nilai harga beli perusahaan yang
diperoleh. Perbedaannya dianggap sebagai Goodwill. Jadi, goodwill adalah nilai sisa kelebihan
biaya atas nialai wajar aktiva bersih yang dapat diidentifikasi yang diakuisisi.
Perusahaan yang mengakui goodwill dalam sebuah penggabungan usaha, menganggapnya
mempunyai

umur

yang

tidak

terbatas.

Oleh

karena

itu,

perusahaan

tidak

boleh

mengamortisasinya. Goodwill adalah aktiva tak berwujud yang paling besar dari neraca suatu
perusahaan dan komunitas investasi ingin mengetahui jumlah yang diinvestasikan pada goodwill
tersebut. Sehingga perusahaan harus menyesuaikan nilai tercatatnya ketika goodwill mengalami
penurunan nilai. Nilai goodwill pada akhirnya akan habis, sehingga perusahaan harus mencatat
goodwill ke dalam biaya selama periode yang terpengaruh. Amortisasi goodwill akan
membandingkan beban dengan pendapatan dengan lebih baik.
Goodwill Negatif atau dikenal dengan istilah Badwill, muncul ketika nilai pasar wajar aktiva
yang diperoleh lebih tinggi daripada harga beli aktiva yang terkait. Situasi ini timbul sebagai
hasil dari ketidaksempurnaan sebuah pasar. Dalam hal ini, penjual lebih baik menjual aktiva
tersebut secara individu daripada secara keseluruhan. Akan tetapi, situasi ini dapat terjadi jika
harga beli lebih rendah daripada nilai aktiva bersih yang dapat diidentifikasi, sehingga timbul
istilah kredit. Kredit ini dikenal sebagai goodwill negative atau kelebihan nilai wajar atas biaya
aktiva yang diperoleh, badwill, atau pembelian tersaing.

ANALISA KASUS : PERLUKAH MEREK DAGANG DITAMPILKAN
DALAM NERACA?
Berbagai nama merek dagang telah banyak beredar. Ratusan bahkan ribuan merek dagang
telah muncul untuk berbagai jenis produk, antara lain Aqua, Coca-Cola, Indomie, Rinso, dan
masih banyak lagi. Bahkan terkadang suatu merek dagang menjadi nama generic dari suatu
produk. Sebut saja Aqua, merek dagang minuman kemasan ini telah menjadi sebutan untuk
kategori produk air dalam kemasan.
Bagi para praktisi pemasaran, merek dagang semakin mutlak diperlukan. Apalagi bila
persaingan semakin ketat, maka pendekatan merek dagang sebagai bagian dari produk tidak
relevan lagi. Pada persaingan yang semakin ketat, peranan merek dagang menjadi kian penting
dimana akan tercipta brand awareness, brand association, perceived quality, dan pada akhirnya
membentuk brand lo yalty yang baik dan lancar.
Dengan begitu, dengan semakin ketatnya persaingan, maka usaha membangun merek dagang
juga harus direncanakan dengan baik. Hal ini tentu saja akan memerlukan anggaran besar,
bahkan mungkin juga jangka waktu yang lama. Merek dagang seperti Coca- Cola memiliki
awareness yang sangat tinggi pada kategori produknya tetapi juga mempunyai association yang
positif dan saling memperkuat.
Merek dagang yang baik harus dikelola dengan baik. Merek dagang menjadi aktiva tak
berwujud yang nilainya harus dapat dinyatakan dalam satuan moneter. Dalam Jurnal Financial
World disebutkan bahwa pengukuran ekuitas merek dagang bukan berdasarkan top of mind tetapi
berdasarkan kinerja keuangan produk-produk tersebut.
Jadi apakah merek dagang dapat dimasukkan dalam laporan keuangan — neraca - dalam suatu
perkiraan tersendiri? Hal ini masih menjadi perdebatan. Memperlakukan ekuitas merek dagang
sebagai aset merupakan isu yang kontroversial saat ini.
Beberapa pengukuran dan disclosure harus dipertimbangkan dalam era pemasaran untuk
mengukur nilai merek dagang. Akuntansi untuk merek dagang telah menjadi bahan studi bagi
pasar yang berkembang secara global, seperti Inggris, Australia, dan Kanada. Oleh karena itu,
profesi akuntan harus berani menerima tantangan baru, yaitu melakukan brainstorming
mengenai ide-ide tentang akuntansi merek dagang dalam tahun-tahun mendatang.

Adapun metode yang digunakan dalam menilai merek dagang, merek dagang tidak dapat
dipisahkan dari pandangan perusahaan dan dari bentuk aktiva tak berwujud lainnya seperti paten,
trademark dan business channel. Suatu merek dagang yang sudah diperkenalkan dan sudah
terkenal memang betul-betul memiliki nilai ekonomis. Namun hamper tidak mungkin
memisahkan nilai ekonomis yang khusus meskipun menggunakan sense of accounting yang kuat.
Kekuatan merek dagang terdiri dari berbagai faktor. Masalah timbul ketika
menentukan bagian yang overvalue dalam membagikan secara adil untuk merek dagang. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan ketidakmungkinan pembagian merek dagang dari aktiva tak berwujud
lainnya. Dalam penilaian untuk tujuan administrasi internal pun sulit untuk dipisahkan karena
nilai merek dagang merupakan jumlah total faktor-faktor yang membangunnya. Fakta tersebut
menunjukkan adanya kekurangan alat untuk mengukur nilai merek dagang secara obyektif yang
menjadikan akuntansi merek dagang sebagai sebuah isu yang kontroversial. Untuk itu
dibutuhkan alat evaluasi untuk brand equity.
Merek dagang mempunyai berbagai kekuatan dan nilai yang berbeda dalam suatu pangsa
pasar. Merek dagang yang kuat mempunyai brand equity yang tinggi. Makin tinggi ekuitas
merek dagang maka makin tinggi pula loyalitas konsumen pada merek dagang tersebut.
Demikian juga dengan brand awareness, persepsi kualitas, asosiasi terhadap kekuatan
merek dagang dan aset lainnya, seperti paten, trademark dan business channel makin tinggi.
Sebuah merek dagang merupakan aset yang dapat diubah sebagai pengganti harga atau dalam
nilai uang dari bentuk aktiva lainnya. Perusahaan-perusahaan dapat tumbuh atas kepemilikan dan
pengembangan portfolio merek dagang yang kuat.
Sebuah pengukuran nilai ekuitas merek dagang adalah harga premi merek dagang acuan
dikalikan volume tambahan yang bergerak melebihi rata-rata sebuah merek dagang acuan.
Ekuitas sebuah merek dagang seharusnya tidak hanya mencerminkan nilai kapitalisasi dari
keuntungan tambahan dari penggunaan merek dagang pada saat ini tetapi juga nilai potensial
pengembangan ke produk lain.
Ekuitas sebuah merek dagang seharusnya tidak hanya mencerminkan nilai kapitalisasi
dari keuntungan tambahan dari penggunaan merek dagang pada saat ini tetapi juga nilai potensial
pengembangan ke produk lain.
Sebuah studi menyatakan bahwa brand equity value perusahaan Marlboro sebesar $31
milyar, Coca Cola $24 milyar dan Kodak $13 milyar. Merek dagang superpower yang

menduduki 10 besar dunia yaitu Coca Cola, Kelloggs, McDonald’s, Kodak, Marlboro, American
Express, Sony, Mercedez Benz, dan Nescafe. Bahkan perusahaan produk makanan terbesar
dunia membayar $4,5 miliar untuk membeli Rowntree atau 5 kali lebih besar dari nilai bukunya.
Namun, perusahaan-perusahaan itu tidak menunjukkan brand equity dalam neracanya. Hal ini
disebabkan oleh estimasi yang terus berubah-ubah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perlakuan akuntansi untuk aktiva tak berwujud seringkali masih menimbulkan kesulitan
dalam teori akuntansi. Kesulitan ini meliputi pemberian definisi aktiva tak berwujud, dan yang
paling utama adalah adanya ketidakpastian mengenai pengukuran nilai dan masa manfaat dari
aset tersebut. Ciri yang melekat pada aktiva tak berwujud ini justru menyebabkan perdebatan
yang tidak kunjung usai tentang bagaimana seharusnya pengakuan, pencatatan, serta pengukuran
terhadap aktiva tak berwujud dilakukan.
Dalam rangka menciptakan suatu standar yang dapat diterima, badan penetapan standar
harus hati-hati menyeimbangkan pertimbangan mengenai relevance dan reliability, dan juga
informativeness of fincmcial statements. Pada kenyataannya badan penetapan standar enggan
untuk mengakui hal-hal yang berkaitan dengan aktiva tak berwujud sebagai aktiva, terutama bagi
beberapa aktiva yang ditimbulkan dari aktivitas seperti penelitian dan pengembangan. Hal ini
disebabkan karena pengakuan semacam itu akan mengakibatkan inkonsistensi dalam kriteria
pengakuan aktiva dan memberikan kemungkinan lebih besar kepada pihak manajemen untuk
memberikan informasi yang salah melalui pengakuan aktiva yang meragukan atau bahkan tidak
ada.
Kontroversi yang masih banyak diperdebatkan adalah apakah merek dagang perlu
ditampilkan dalam neraca perusahaan. Bagi para praktisi pemasaran, merek dagang semakin
mutlak diperlukan. Apalagi bila persaingan semakin ketat, maka pendekatan merek dagang
sebagai bagian dari produk tidak relevan lagi. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa beberapa
pengukuran dan disclosure harus dipertimbangkan dalam era global marketing untuk mengukur
nilai merek dagang. Akuntansi untuk merek dagang bahkan telah menjadi bahan studi bagi pasar
yang berkembang secara global, seperti Inggris, Australia, dan Kanada. Oleh karena itu, profesi
akuntan harus berani menerima tantangan baru, yaitu melakukan brainstorming mengenai ide-ide
tentang akuntansi merek dagang dalam tahun-tahun mendatang.

Jadi, dengan perkembangan pesat yang terjadi yang berhubungan dengan aktiva tak
berwujud, maka standar akuntansi untuk aktiva tak berwujud yang semakin berkembang dengan
segala pro dan kontranya hendaknya dapat menjadi panduan untuk seluruh pihak yang terkait
dengan keberadaan aktiva tak berwujud ini.
Terutama untuk di Indonesia, profesi akuntan harus waspada terhadap dampak PSAK 19,
perkembangan aktiva tak berwujud harus senantiasa diantisipasi meliputi perlakuan akuntansi
atas biaya software (yang kemungkinan sebagian besar nanti tidak dapat dikapitalisasi), biayabiaya perintisan (biaya pendirian, pra-operasi), biaya periklanan, dan biaya pelatihan yang
berdasarkan PSAK ini tidak bisa dikapitalisasi

DAFTAR PUSTAKA
Kieso, E Donald, Weygandt, J Jerry dan Warfield, D. Terry, 2007. Intermediate
Accounting ,Edisi16e, 111 River Street, Hoboken, NJ: WILEY
Ikatan Akuntan Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan per 1 April 2002. Jakarta:
Salemba Empat.
Ni Putu Setia Devi Astini. 2015. RESUME ”ASET TAK BERWUJUD” Tersedia di
https://www.academia.edu/28273406/Akuntansi_Keuangan_I__Aset_Tak_Berwujud

Diakses

pada tanggal 27 Desember 2017.
International Accounting Standard Committee (IASC). Intangible Assets. IASC Exposure
Draft E60.