PROBLEMATIKA PEMELIHARAAN ANAK PADA PERK

PROBLEMATIKA PEMELIHARAAN ANAK PADA
PERKARA PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
Edi Gunawan1
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang problematika pemeliharaan anak terhadap perkara
perceraian. Menurut hukum Islam, apabila terjadi perceraian, hak pemeliharaan
anak jatuh ke tangan ibu apabila anak itu belum mencapai umur mumayyiz. Hal
itu disebabkan karena ibu dianggap lebih bisa memberikan kasih sayang
dibanding ayah. Ibu juga dianggap lebih bisa mengerti dan memahami kebutuhan
dan keinginan anak daripada ayah. Terlebih lagi jika anak itu masih sedang
menyusui. Begitu juga hukum positif, menegaskan bahwa anak yang belum
mumayyiz, maka pemeliharaannya jatuh ke tangan ibu. Sedang nafkahnya
ditanggung oleh ayahnya. Sedangkan apabila anak itu sudah mumayyiz, maka
diberikan hak kepada anak tersebut untuk memilih ikut ibu atau ayayhnya. Namun
apabila terjadi perebutan anak di Pengadilan, hendaknya ditempuh dengan
langkah persuasif, yakni dengan cara kekeluargaan dan bijaksana, serta tetap
memperhatikan adat istiadat masyarakat setempat. Akan tetapi jika pendekatanpendekatan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka ditempuh cara
secara paksa untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan agama tentang
hadhanah tersebut.
Kata Kunci: Problematika, Pemeliharaan Anak, Perceraian, Hukum Islam


A. PENDAHULUAN
Mendambakan pasangan hidup merupakan fitrah kemanusian dan
dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama
mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara kaum Adam dan kaum Hawa untuk
saling kenal mengenal. Kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya perkawinan dan berakhirlah kerisauan pria dan wanita menjadi
ketentraman atau “sakinah”. Demikian dijelaskan QS. Ar-Rum: 21
    



  
     
   

1

Penulis adalah Dosen Tetap pada Jurusan Syariah STAIN Manado

Terjemah : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir2.
Hubungan antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri
adalah hubungan kemitraan. Oleh karena itu, kalimat ini memberi kesan bahwa
laki-laki sendiri belum mampu hidup tanpa perempuan, demikian pula sebaliknya.
Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja maka kereta tidak bisa
berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah
maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.
Dalam studi atau kajian hukum Islam kontemporer, banyak hal yang
menyebabkan munculnya pertanyaan,

apakah hukum Islam bisa dan perlu

diperbaharui dan diubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan perubahan zaman?.
Menurut Akhmad Minhaji, diantara penyebabnya adalah adanya kekaburan
istilah-istilah yang digunakan dalam kaitan dengan hukum Islam. Istilah-istilah
tersebut antara lain syariah3 dan fikih4.
Kekaburan penggunaan istilah ini dapat dilihat dalam literatur barat

misalnya, istilah Islamic Law dalam penjelasannya digunakan sebagai padanan
dari istilah syariah dan fikih. Artinya ketika istilah Islamic Law dipakai itu bisa
berarti syariah dan bisa juga fikih yang dimaksudkan. Hal ini terjadi pula pada
literatur bahasa lain, seperti droit musulman dalam bahasa Prancis, Islamistise
recht dalam bahasa Belanda, Islam Bakuku dalam bahasa Turki, dan hukum Islam
dalam bahasa Indonesia5.
2

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 1990. h. 664.
Syariah adalah ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh adanya nalar
manusia, syairah adalah wahyu Allah secara murni yang bersifat tetap, tidak bisa berubah dan
tidak boleh diubah oleh siapa pun kecuali oleh Yang Maha Mutlak yakni Allah itu sendiri. Lihat
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994, h. 104
4
Fikih adalah daya upaya manusia dalam memahami dan menginterpretasi ajaran wahyu
Allah atau hukum yang terdapat di dalam Alquran, karena fikih hanya merupakan interpretasi dan
pemahaman yang bersifat zanni, maka kebenarannya bersifat relatif. Fikih terikat oleh situasi dan
kondisi yang melingkupinya, sehingga fikih senantiasa berubah seiring dengan berubahnya waktu
dan tempat. Lihat Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1997. h. 7.
5
Akhmad Minhaji, Reformasi Hukum Islam, Jurnal Aula vol. III, No.2, 1994, h. 67.
3

Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran dan
literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Alquran adalah kata syariah, fikih,
hukum Allah dan yang seakar dengannya, atau yang biasa digunakan dalam
literatur hukum dalam Islam adalah syariah Islam, fikih Islam, dan hukum syara’6.
Dengan demikian kata hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia yang
agaknya diterjemahkan secara harfiah dari term Islamic Law dari literatur barat.
Adapun definisi dari hukum Islam itu sendiri setidaknya ada dua pendapat
yang berbeda di kalangan para ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia. Hasbi
ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam memberikan definisi hukum
Islam dengan “ koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat7. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini
mendekati kepada makna fikih.
Sementara Amir Syarifuddin memberikan penjelasan bahwa “ apabila kata
hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku

manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk yang
beragama Islam. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah
hukum yang berdasarkan wahyu Allah, sehingga hukum Islam menurut ta’rif ini
mencakup hukum syariah dan hukum fikih, karena arti syariah dan fikih
terkandung di dalamnya8.
Manusia sebagai makhluk sosial melakukan interaksi sosial yang diikuti
fitrah kemanusiaan yaitu ingin melangsungkan dan melestarikan hidup dengan
lawan jenis yakni melalui perkawinan. Dari perkawinan tersebut, manusia
berharap akan lahir generasi baru sebagai penerus kehidupan keluarga. Namun
dalam membina generasi, manusia berharap bahwa kelak generasi mereka atau
anak-anak merekaakan tumbuh sebagai anak yang berguna, cerdas, pintar, shaleh

6
7

Faturrahman Djamil, op.cit., h. 11.
Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993., h.

21.
8


Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, Cet. I; Padang: Angkasa
Raya, 1990., h. 19.

dan berbakti pada kedua orang tua. Akan tetapi harapan ini tidak tercapai jika
kedua orang tua mereka bercerai.
Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan
martabat orang tua kelak apabila ia dewasa, menjadi anak yang shaleh dan
shalehah yang selalu mendoakannya apabila ia meniggal dunia. Berangkat dari
pemikiran inilah baik ayah maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama
berkeinginan keras untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya agar dapat
membimbing langsung dan mendidiknya agar kelak kalau anak-anak sudah
dewasa dapat tercapai apa yang dicita-citakannya itu. Demikian pula anak-anak
yang telah lahir dari perkawinan itu, selalu ingin dekat orang tuanya, rasanya sulit
untuk berpisah karena mereka selalu ingin dilindungi dan diberikan kasih sayang
oleh kedua orang tuanya sampai mereka dapat berdiri sendiri dalam mengarungi
bahtera kehidupan di dunia ini9.
Perceraian yang terjadi antara suami istri yang telah memiliki anak tidak
saja mengakibatkan terputusnya hubungan antara keduanya (suami dan istri), akan
tetap berimplikasi buruk terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup anak

tersebut. Di sisi lain kadang anak yang tadinya diharapkan sebagai sosok yang
berguna tetapi justru menjadi sengketa antara kedua belah pihak dengan alasan
bahwa mereka masing-masing lebih berhak memelihara anak tersebut.
Eksisitensi Pengadilan Agama di Indonesia adalah dalam rangka
mengupayakan terwujudnya suasana perikehidupan yang aman dan kerukunan
antar warga Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu, Pengadilan Agama
harus tetap konsisten terhadap prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, ketertiban dan
kepastian hukum dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap
perubahan sosial dan pergeseran nilai yang terjadi di tengah kehidupan
masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu penegetahuan dan teknologi.
Undang-undang yang berhubungan dengan proses perceraian dan
pemeilharaan anak telah diatur, sehingga kasus-kasus yang muncul dapat
berpedoman pada aturan tersebut. Meskipun dalam kenyataan yang ditemui di
9

Abdul Manan, Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama, Mimbar Hukum; Jakarta: PT. Tomasu, 1999., h. 65.

lapangan dalam kasus seperti ini masih terdapat sengketa yang masing-masing
pihak berkehendak untuk memelihara anak tersebut. Bahkan dari personalitas

keislaman, mereka tidak memperhatikannya sehingga masih terdapat umat Islam
dalam menempuh keadilan dengan mengajukan kepada Pengadilan Negeri.
Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama membawa
perubahan besar terhadap kedudukan dan kewenangan peradilan agama. Lembaga
peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan semu”, tetapi sudah
diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang kedudukannya
sejajar dengan lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan dalam pasal
10 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman. Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama maka secara yuridis normatif ketatanegaraan peradilan agama dijadikan
sebagai institusi lembaga kekuasaan kehakiman yang diposisikan sebagai
subsistem dari sistem peradilan nasional yang berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai lembaga pengadilan negara tertinggi10.
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama mempunyai dua aspek yang ingin diraih11. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa hukum Islam di Indonesia berada pada tiga tempat, yaitu
pertama, tersebar dalam kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para fuqaha ratusan
tahun yang lalu, kedua berada dalam peraturan perundang-undangan negara yang
memuat hukum Islam seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Presiden No 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan sebagainya, ketiga terdapat
10

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006., h.

11
11

1) Memordenisasi peradilan agama sehingga menjadi suatu lembaga peradilan yang
disegani dan mempunyai kharisma dalam sistem hukum modern, 2) menyediakan dan
menempatkan peradilan agama sejajar dan setingkat dengan lembaga peradilan yang lain, sebagai
bagian dari keseluruhan struktur peradilan di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang ini,
peradilan agama diharapkan dapat menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan
berbangsa dalam suatu ekosistem, sehingga lembaga peradilan agama di samping berfungsi
sebagai social institution (institusi sosial) juga berfungsi sebagai legal institution (legal institusi).
Abdul Manan, op.cit., h. 11

dalam berbagai putusan hakim yang telah berbentuk yurisprudensi. Dalam

pelaksanaan ketiga sumber hukum Islam tersebut sering terjadi kontroversi antara
fikih dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara fikih dan
putusan Pengadilan Agama, antara putusan-putusan Pengadilan Agama dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku12.
Dalam kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung masalah hak
pemeliharaan anak, namun konsep fikih ini bisa tidak dapat diterapkan karena
harus tunduk pada putusan hakim, sementara hakim dalam menganalisis hukum
materilnya juga berpedoman pada ruang fikih tertentu, tetapi kenapa bisa
demikian ? itulah yang perlu dikaji dan dianalisis lebih jauh berdasarkan
wewenang Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian,
maka ibu berhak atas hadhanah anak yang belum mumayyiz atau belum berumur
21 tahun, sedangkan semua biaya kebutuhan anak ditanggung oleh ayah.
Pemeliharaan anak bagi yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah dan ibunya. Ini bukan berarti suatu hal yang mutlak,
karena dalam kasus tertentu bisa saja hakim menyerahkan hak hadhanah tersebut
kepada ayah. Kasus seperti ini memerlukan penafsiran yang mendalam dari
hakim.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadhanah
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Hadhanah menurut
bahasa berarti mendekap, memeluk, mengasuh, atau merawat13. Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, secara etimologis hadhanah berarti di samping atau
berada di bawah ketiak. Sedangkan secara terminologis, hadhanah berarti merawat

12

Abdul Manan, loc.cit.
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia al-Munawwir, (Yogyakarta:
Pesantren al-Munir, 1984), h. 295
13

dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya
karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri14.
Perkawinan merupakan akad yang sangat kuat yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah di
antara sesama anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak ). Manakala pasangan suami
istri telah mampu mewujudkan jalinan kasih sayang dan kedamaian dalam rumah
tangganya, maka kemungkinan besar pasangan tersebut secara kooperatif akan
mampu menunaikan misi perkawinan berikutnya, yaitu melahirkan keturunan
(anak) yang berkualitas, tumbuh dan berkembang menjadi anak sematawayang
yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa15. Hal tersebut juga dijelaskan dalam
QS. Al-Furqan; 74








   






  

Terjemah: Dan orang-orang yang berkata “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa”16
Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan
martabat orang tua kelak apabila ia dewasa, menjadi anak yang shaleh dan
shalehah yang selalu mendoakannya apabila ia meninggal dunia. Berangkat dari
pemikiran inilah, baik ayah maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama
berkeinginan untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya, agar dapat
membimbing langsung dan mendidiknya agar kelak kalau anak-anak sudah
dewasa dapat tercapai apa yang dicita-citakan. Demikian pula anak-anak yang
14

Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1990),
h. 415. Dipengertian yang lain, hadhanah berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti
menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu pada waktu menyusukan
meletakkan anak dipangkuannya, dan melindunginya dari segala yang menyakitinya. Satria Efendi
M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan
Pendekatan Ushuliyah, (Cet. I; Jakarta: PT. Prenada Media, 2004).
15
Abun Bunyamin, Hadhanah dan Problematikanya ( Suatu Analisis Terhadap
Pemegang Hadhanah dalam Kaitannya dengan Kepentingan Anak ), ( Jurnal Mimbar Hukum;
Jakarta: PT. Tomasu, 1999), h. 24
16
Departemen Agama, op.cit, h. 569

telah lahir dari perkawinan itu, selalu ingin dekat dengan orang tuanya, rasanya
sulit untuk terpisah karena mereka selalu ingin dilindungi dan diberikan kasih
sayang oleh kedua orang tuanya sampai mereka dapat berdiri sendiri dalam
mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini.
2. Hadhanah dalam Pandangan Hukum Islam
Ash-Sha’ani menjelaskan bahwa dalam hukum Islam pemeliharaan anak
disebut dengan “ al-Hadhīnah” yang merupakan masdar dari “al-Hadhanah” yang
berarti mmengasuh atau memelihara bayi (hadhanah as-Shabiyyah)17. Pada
dasarnya hadhanah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian
teerhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang
menyangkut dengan hartanya, hadhanah adalah perkara mengasuh anak, dalam
arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan
wanita pengasuh18. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa itu adalah hak ibu.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa asuhan seorang
ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu, syarat-syarat pengasuh, dan hak-hak
atas upah.
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat
anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal, apakah hadhanah
itu menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi
dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu,
sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama,
hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak19. Bahkan menurut
Wahbah al-Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan
anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau
kepentingan anak.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa hadhanah adalah melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang
Lihat Ash-Sha’ani, Subūlussalam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad Jilid III,
( Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 819
18
Muhammad Jawad Mughniyyah, Al Fiqh ‘ala madzhalib al Khamsah, diterjemahkan
oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff dengan judul Fiqh Lima Mazhab, ( Cet. XVII;
Jakarta: Lentera, 2006), h. 415.
19
Abdul Aziz Dahlan, op.cit, h. 415.
17

sudah besar tetapi belum mumayyiz, tanpa perintah daripadanya. Menyediakan
sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusak
jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup
dan dapat memikul tanggung jawab apabila ia sudah dewasa20.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak
melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal lain terutama
tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu,
dan juga syarat-syarat orang yang berhak menjadi pengasuh. Selama tidak ada hal
yang menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus
melaksanakan hadhanah, kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk
melaksanakan hadhanah, maka hak hadhanah berpindah ke tangan orang lain
dalam kerabat ibu garis lurus ke atas. Apabila kerabat ibu dalam garis lurus ke
atas berhalangan, maka yang lebih berhak adalah kerabat ayah dari anak tersebut,
terutama kerabat dalam garis lurus ke atas. Manakala anak yang masih itu sama
sekali tidak punya kerabat di antara muhrim-muhrimnya itu atau mempunyai
kerabat tetapi tidak cakap bertindak hukum untuk melaksanakan hadhanah, maka
Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas menjadi ibu
pengasuh dari anak-anak tersebut21.
Menurut Imam Syafi’i, hak atas penguasaan anak itu berturut-turut adalah
ibu, ibunya ibu, dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah
ahli waris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah dan
seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka adalah ahli waris si anak pula,
jika kerabat ibu tidak ada, demikian pula kerabat ayah, maka selanjutnya hak
hadhanah berpindah kepada keluarga pihak ibu dan disusul kerabat-kerabat dari
pihak ayah si anak. Sedangkan di kalangan mazhab Maliki hak asuh itu berturutturut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya ke atas, saudara-saudara
perempuan sekandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara
perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan sekandung,

20
Sayyid Sabiq, Fikhus Sunnah, diterjemahkan oleh Moh. Thalib dengan judul Fiqh
Sunnah, (Jilid VIII; Bandung: PT. Al-Ma’Arif, 1996), h. 160
21
Abdul Manan, Problematika......., op.cit, h. 67.

kemudian anak perempuan saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga ke bibi
dari pihak ibu dan ayah. Mazhab Hanafi mengatakan hak itu secara berturut-turut
dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan
sekandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan
seayah, anak perempuan dari saudara perempuan sekandung. Kemudian anak
perempuan dari saudara perempuan seibu, dan demikian seterusnya hingga pada
bibi dari pihak ibu dan ayah22.
Lain halnya dengan mazhab Hambali, hak asuh itu berturut-turut berada
pada ibu, ibunya ibu, ayah, ibunya ayah, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara
perempuan sekandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah,
saudara perempuan ayah sekandung, saudara perempuan ayah seibu, dan
seterusnya.
Hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Oleh
karena itu, orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai
kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi, di antaranya:
a. Berakal sehat, karena orang yang akalnya tidak sehat tidak diperkenankan
merawat anak;
b. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baliq dan berakal, tidak terganggu
ingatannya, sebab hadhanah merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab.
Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan
ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah23.
c. Mempunyai kemampuan dan keahlian. Oleh karena itu, orang yang rabun
matanya atau tunanetra, mempunyai penyakit menular, usia lanjut, dan
mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun mereka kerabat
anak kecil itu sendiri, dilarang menjadi orang yang melaksanakan hadhanah.
d. Amanah dan berbudi luhur, karena orang yang curang tidak aman bagi anak
yang diasuhnya, karena tidak jarang seorang anak akan meniru kelakuan
curang orang yang mengasuhnya;
22
23

Muhammad Mughniyyah, op.cit, h. 415
Satria Efendi M. Zein, op.cit, h. 172

e. Beragama Islam, para ulama mazhab berbeda pendapat tentang ini, mazhab
Imamiyah dan Syafi’iyah tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh
anak-anak

yang

beragama

Islam,

sedangkan

mazhab

lainnya

tidak

mensyaratkan hal yang demikian itu. Demikian juga para ahli hukum Islam di
kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki
yang mengasuh menggugurkan hak asuhan24. Sedangkan menurut Satria
Efendi, orang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Seorang
nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas
mengasuh termasuk ke dalam usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik,
dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua25.
f. Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu anak yang diasuh itu kawin lagi dengan
laki-laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.
g. Merdeka atau bukan budak, seorang biasanya sangat sibuk dengan urusanurusan majikannya yang sulit ditinggalkan26.
Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan
baik, jika kedua orang tua saling bekerjasama dan saling membantu. Hal ini dapat
dilakukan dengan baik jika keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah
dan mawaddah27.
Hadhanah berhenti apabila anak yang diasuh itu sudha tidak lagi
memerlukan pelayanan dari pengasuhnya, ia sudah dewasa dan dapat berdiri
sendiri, misalnya sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya 28.
Menurut para imam mazhab seperti Imam Hanafi mengatakan, masa asuhan
adalah tujuh tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun untuk anak
perempuan. Imam Syafi’i mengatakan tidak ada batasan tertentu bagi asuhan.
Anak tetap bisa tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan
apakah ia tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada
tingkatan kemampuan memilih ini, dia disuruh memilih apakah tinggal bersama

24

Abdul Manan, op.cit, h. 67
Satria Efendi, op.cit, h. 173
26
Abdul Manan, op.cit, h. 68
27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op.cit, h. 295
28
Abdul Manan, op.cit, h. 68

25

ibu atau ayahnya. Kalau seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya,
maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya
disiang harinya agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila anak itu
perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama
ibunya disiang dan malam hari. Tetapi bila si anak memilih tinggal bersama ibu
atau ayahnya, maka dilakukan undian, bila anak diam (tidak memberikan pilihan)
dia ikut bersama ibunya29.
3. Hadhanah dalam Hukum Positif
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, telah
disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas merupakan rangkaian
dari hukum perkawinan di Indonesia. Akan tetapi hukum penguasaan anak itu
belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Oleh
karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan
efektif. Sehingga para hakim di lingkungan peradilan agama pada waktu itu masih
mempergunakan hukum hadhanah yang disebut dalam kitab-kitab fiqih ketika
memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dan Inpres
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah
hadhanah menjadi hukum nasional di Indonesia dan peradilan agama diberi
wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya30.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dijelaskan bahwa:
Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban akan
berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

29
30

Muhammad Jawad Mughniyyah, op.cit, h. 417
Abdul Manan, op.cit, h. 69

Pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) atau
belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
(2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa:
Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya meninggal.
Pasal ini memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua adalah
mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, membekali dengan ilmu
pengetahuan untuk menjadi bekal mereka dihari dewasanya. Secara khusus
Alquran menganjurkan kepada ibu agar menyusui anak-anaknya secara sempurna
(sampai usia dua tahun). Namun Alquran juga mengisyaratkan kepada ayah atau
ibu supaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan sama
sekali Alquran tidak menginginkan ayah atau ibu menderita karena anaknya.
Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab terhadap anaknya, maka
tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 23331
31

Ayatnya adalah

   
     
    














    

Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menegaskan bahwa
tanggung jawab pemeliharaan anakmenjadi beban yang harus dipenuhi suami
sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian
kepada para ibu-ibu melekat di dalam tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini
diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain
yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar
perempuan yang menyusui secara makruf32.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di
atas dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun
perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian.
Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua
memelihara meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani),
pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang), dan pembelanjaan dalam
arti yang luas, yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat sosial ekonomi orang tua si anak33. Ketentuan ini sama dengan konsep
      





     
   
     
   





  
Terjemah: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
32
33

Ahamd Rafiq, op.cit, h. 237
Abdul Manan, lop.cit

hadhanah dalam hukum Islam, bahwa orang tua berkewajiban memelihara anakanaknya semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.
Selain dari hal tersebut di atas, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 106
dikemukakan bahwa;
(1) Orang tua berkewajiban mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa
atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau
menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan
dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuai kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut dalam ayat (1) di atas34.
Kompilasi

Hukum

Islam

juga

telah

melakukan

antisipasi

jika

kemungkinan seorang bayi disusukan oleh seorang perempuan yang bukan ibunya
sebagaimana yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 104, yaitu:
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.
Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan
kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau
walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dari dua tahun dengan persetujuan ayah dan
ibunya35.
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui
anaknya tetapi dapat diganti dengan susu formula (susu kaleng) atau anak
disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan
dengan hal yang termuat dalam QS. Al-Baqarah: 233 sebelumnya yang menjadi
acuan dalam hal pemeliharaan anak.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 dikemukakan
bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat dari itu adalah:

34
35

Abdurrahman, op.cit, h. 138-139
Ibid.

(1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.
(2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
(3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Dalam ketentuan pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab
pemeliharaan anak yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan.
Pasal ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang
menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu
Pengadilan Agama dapat menentukan lain selain dengan keyakinannya. Dalam
kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci
dalam hal antara suami istri terjadi perceraian. Yaitu;
(1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 21 tahun
adalah hak ibunya.
(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya36.
Dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz
dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan
kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal
ini sejalan dengan bunyi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 34 ayat
(1), menjelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan
memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah
tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang
kebetulan diberi beban untuk melaksanakan hadhanah kepada anak-anaknya dapat
36

Ibid, h. 138

menuntut biaya hadhanah tersebut kepada Pengadilan Agama setempat agar
menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang
dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama37. Jadi pembayarannya itu
dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak
mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,
maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama.
Adapun alasan yang dapat mencabut kekuasaan orang tua adalah orang tua
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, dan orang tua berkelakuan sangat
buruk38.
M. Yahya Harahap juga menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan orang tua itu atau
sama sekali tidak mungkin melaksanakannya, boleh saja disebabkan karena
dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu yang lama, sakit uzur atau gila,
dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya.
Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh
sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh
yang baik39.
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,
maka terhentilah kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada
anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja,
maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan
mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar
pengadilan. Dengan demikian ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan
terhadap anak tersebut, ibunya yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan
anak tersebut. Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawina, pasal 42
ayat (2) menjelaskan bahwa meskipun kekuasaan pemeliharaan orang tua/ ayah
kepada anaknya dicabut, kewajiban orang tua/ayah memberikan biaya
pemeliharaan kepada anaknya tetap harus dilaksanakan.
37

Abdul Manan, Problematika....., op.cit, h. 70-71
Ibid, h. 71
39
M. Yahya Harahap, op.cit, h. 216
38

Jika kekuasaannya dicabut dari kedua orang tuanya, maka berdasarkan UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 50 ayat (1) menjelaskan bahwa
pelaksanaan penguasaan anak akan diurus oleh seorang wali yang ditunjuk. Jadi
perwalian (voogdy) itu terjadi sebagai akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua
(onderlyke match) terhadap anak-anaknya. Bisa juga terjadi apabila kedua orang
tuanya meninggal dunia, maka hal yang demikian ini anak harus berada di bawah
perwalian. Umumnya dalam masyarakat patrilinier, anak yang ditinggal kedua
orang tuanya langsung berada dalam perwalian kerabat dari orang tua laki-laki,
sedangkan pada masyarakat matrilinier, maka anak yang ditinggal kedua orang
tuanya langsung berada di bawah perwalian keluarga ibunya. Sedangkan
masyarakat yagn berstelsel parental, maka anak yang ditinggal kedua orang
tuanya itu berada di bawah salah satu kerabat ayah atau kerabat ibunya40.
Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu adalah sama dengan
kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak-anak tersebut, yaitu
meliputi dari pribadi dan harta benda yang berada di bawah perwaliannya.
Pengangkatan wali ini dapat dilaksanakan dengan surat wasiat oleh orang tuanya
dan juga dapat dengan pengangkatan oleh pengadilan sebagaimana yang
ditentukan oleh UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 53 (2),
mengatakan bahwa perwalian anak yang ditetapkan oleh pengadilan disebabkan;
(1) Apabila anak-anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
(2) Apabila mereka tidak berada di bawah kekuasaan wali karena wali yang
ditetapkan semula telah dicabut haknya, oleh karenanya pengadilan harus
menunjuk orang lain menjadi wali.
(3) Bisa juga karena orang tua anak ini telah dicabut haknya menjalankan
kekuasaan orang tua sedangkan wali yang ditunjuk belum dapat menjalankan
kewajibannya41.
Seseorang yang telah ditunjuk oleh hakim menjadi wali, maka ia harus
menerima penunjukan itu dengan sebaik-baiknya, kecuali peraturan perundang-

40
41

Abdul Manan, Problematika, loc.cit.
Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

undangan membolehkan ia dibebaskan dari penunjukannya sebagai wali, di
antaranya;
1. Mereka yang berada di luar negeri untuk kepentingan negara.
2. Anggota tentara yang masih aktif.
3. Mereka yang mencapai umur 60 tahun.
4. Mereka yang sering terganggu oleh penyakit atau kesusahan yang berat.
5. Mereka yang sudah menjadi wali untuk anak yang lain.
6. Ia sendiri mempunyai anak lebih dari lima orang.
7. Laki-laki yang setelah menerima penunjukan wali, kemudian ia menikah lagi
dengan wanita lain42.
Otoritas kekuasaan wali sebagaimana telah diuraikan di atas sama dengan
tugas dan kewajiban kekuasaan orang tua, yakni:
1. Memelihara diri pribadi dari anak-anak yang berada di bawah perwaliannya.
2. Memelihara terhadap harta kekayaan anak yang berada di bawah perwaliannya.
3. Harus menghormati agama yang dianut oleh anak yang berada di bawah
perwaliannya, sama sekali tidak dipekenankan memaksa si anak untuk pindah
agama agar sama dengan agama wali asuh anak tersebut43.
Terhadap harta kekayaan si anak, wali mempunyai kewajiban;
1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.
2. Mencatat semua perubahan ysng terjadi atas harta benda anak yang berada di
bawah perwaliannya.
3. Mempertanggungjawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dari
kelalaian dan kesalahan wali.
4. Dilarang memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang
dimiliki anak yang berada di bawah kekuasaan wali, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya44.
Apabila dalam kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik, atau mempunyai i’tikad tidak baik dalam mengurus harta
benda anak-anak yang berada di bawah perwaliannya, maka hak perwaliannya
42

Abdul Manan, op.cit, h. 73
Ibid.
44
Ibid, h. 75
43

dapat dicabut. Prosedur dan tata cara pencabutan tersebut dengan cara
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama setempat. Dalam Undangundang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 35 disebutkan bahwa;
1. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya.
2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang
lain sebagai wali.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 109 dikemukakan bahwa
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum
dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali
tersebut

pemabuk,

penjudi,

pemboros,

gila

dan/atau

melalaikan

atau

menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang
yang berada di bawah perwaliannya 45. Hal itu dilakukan karena anak merupakan
amanah yang harus dijaga. Tidak diperbolehkan diberikan hak asuh anak kepada
orang yang dianggap tidak cakap dan tidak mampu untuk menjaga dan
memberikan jaminan keselamatan kepada anak, baik itu keselamatan terhadap
fisik, mental dan harta benda anak tersebut.

C. PENUTUP
1.

Dalam sebuah rumah tangga rukun dan damai, masalah hadhanah pada
prinsipnya merupakan hak dan kewajiban kedua orang tua si anak. Apabila
kedua orang tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak
hadhanah, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pngadilan agama
dapat memindahkan hak hadhanah kepada lainnya yang mempunyai hak
hadhanah pula. Dalam hal terjadi perceraian, hadhanah bagi anak yang belum
mumayyiz adalah hak ibunya, jika tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
hadhanah, maka hadhanahnya beralih kepada kerabat terdekat yang
memenuhi syarat, sebagaimana yang disyaratkan pasal 156 Kompilasi Hukum
Islam. Sedangkan hadhanah bagi anak yang sudah mumayyiz diberikan hak
opsi untuk memilih di antara ibu atau ayahnya, akan tetapi hak opsi tersebut
tidak bersifat mutlak. Artinya bahwa pilihan si anak dapat dikabulkan
45

Abdurrahman, op.cit, h. 139

sepanjang

yang

dipilihnya

memiliki

kemampuan

untuk

menjamin

keselamatan jasmani dan rohani si anak.
2.

Dalam proses penyelesaian perkara mengenai pemeliharaan anak di
pengadilan agama, maka tidak semua anak itu berada di bawah hak asuh
seorang ibu, walaupun pada dasarnya telah diatur oleh undang-undang,
namun ada juga hak pemeliharaan anak diberikan kepada ayahnya karena
dianggap seorang ibu tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai seseorang
yang dapat diberikan hak pemeliharaan anak, walaupun pada dasarnya proses
penyelesaian perkara pemeliharaan anak lebih banyak dimenangkan oleh piha
ibu.

3.

Pelaksanaan eksekusi tentang hadhanah hendaknya ditempuh dengan langkah
persuasif, yakni dengan cara kekeluargaan, dengan penuh hikmat dan
bijaksana, serta tetap memperhatikan adat istiadat masyarakat setempat. Akan
tetapi jika pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan
baik, maka ditempuh cara secara paksa untuk melaksanakan eksekusi putusan
pengadilan agama tentang hadhanah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. III; Jakarta: CV.
Akademika Pressindo, 2001.
Al-Habsyi Bagir Muhammad, Fikih Praktis Menurut Alquran, Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, t. Cet; Bandung: PT. Mizan, 2002.
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
Al-Jauziyah Qayyim Ibnu, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Al-Munawwir Warson Ahmad, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, t. Cet;
Yogyakarta: Pesantren Al-Munir, 1984.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. III;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata, Cet. V; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Arifin Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ash-Shiddieqy Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Ash-Shan’ani, Subulussalam, terjemahan Abu Bakar Muhammad jilid III;
Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Cet. I; Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
Barakatullah Halim Abdul dkk, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang
Terus Berkembang, Cet. I; Pustaka Pelajar, 2006.
Bunyamin Abun, Hadhanah dan Problematikanya ( Suatu Analisis Terhadap
Pemegang Hadhanah dalam Kaitannya dengan Kepentingan Anak ),
Mimbar Hukum, t. Cet; Jakarta: PT. Tomasu, 1999.

Dahlan Aziz Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe,
1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Fuad Mahsun, Hukum Islam di Indonesia ( dari Nalar Partisipatoris hingga
Emansipatoris ), Cet. I; Yogyakarta: LKIS, 2005.
Efendi M Zein Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyya, Cet. I; Jakarta:
PT. Prenada Media, 2004.
Halim Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Ciputat Press,
2005.
-----------------, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Cet. I;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25