SURAU DAN LANSEKAP Dan BUDAYA

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Surau adalah salah satu bangunan yang menunjukkan kekhasan
yang tercipta dalam proses perkembangan budaya Minangkabau. Surau Tuo
adalah surau yang tertua atau surau yang pertama kali dibangun oleh
masyarakat saat menjadikan Islam sebagai agama mereka. Setiap kaum
(suku) memiliki surau sendiri untuk beribadah, dan mengajarkan adat dan
agama kepada anak laki–laki, bahkan lelaki yang beranjak dewasa
diharuskan tidur di surau untuk mengembangkan karakter kepemimpinan.
Aktivitas surau dikepalai oleh seorang pemimpin adat yang mengurusi
urusan agama (alim ulama). Hal ini bermula sejak dikeluarkan Piagam
Marapalam yang melambangkan persetujuan kaum adat dan kaum agama.
Piagam Marapalam adalah piagam perjanjian antara kaum adat dengan
kaum agama untuk berdamai dan saling menjaga satu dengan yang lainnya,
melangkah beriringan membangun dan mengarahkan kehidupan masyarakat
Minangkabau (Direktori Minangkabau 2012:32). Perkembangan masyarakat
selanjutnya menjadikan Islam sebagai agama mayoritas bahkan hingga saat
ini.

Saat ini surau telah ditinggalkan oleh masyarakat, mereka telah
menyesuaikan diri dengan beribadah ke mushalla. Perbedaan surau dengan

2

mushalla tampak pada penggunaannya. Surau digunakan oleh kaum yang
mendirikannya oleh karena itu orang Minangkabau menyebutnya dengan
surau kaum sedangkan mushalla bersifat lebih umum, bisa digunakan oleh
semua kaum/suku.
Surau menjadi salah satu komponen identitas yang diwariskan
turun temurun sesuai adat. Komponen identitas yang lain adalah: Rumah
Adat, Pandam Pakuburan (komplek makam) dan Luak (pemandian). Empat
bangunan tersebut merupakan kesatuan komplek Rumah Gadang yang saat
ini sudah ditinggalkan oleh generasi penerus Minangkabau (Zulkarnaini,
1996:40). Empat komponen memiliki fungsi yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya. Fungsi ini dijalankan oleh tigo tungku sajarangan
(pemimpin adat) yang terdiri dari: Penghulu bertugas menjalankan dan
menjaga fungsi adat, Alim Ulama menjalankan dan menjaga fungsi agama,
dan Cerdik Pandai menjalankan dan menjaga hubungan bermasyarakat.
Surau menjadi lembaga pengajaran untuk menjalankan fungsi tungku tigo

sajarangan. Surau menjadi tempat berkumpul lelaki Minangkabau dan
mengembangkan keterampilan hidup: mengolah sawah dan ladang,
berkomunikasi dan berdagang serta mengajarkan ajaran islam: sholat,
membaca alquran dan perkara ibadah lainnya, semua itu ditambah dengan
pelestarian adat dan tradisi: silat, petatah-petitih, musik dan tari tradisional.
Kondisi geografis Minangkabau terdiri dari pedalaman dan
pesisir. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah pedalaman yang

3

menjadikan lingkungan alam sebagai sumber penghidupan. Berada di bawah
kaki gunung Marapi dengan Pariangan sebagai Nagari tertua. Perbukitan
dan lembah menjadi lahan sawah basah milik kaum (suku). Sungai-sungai
yang mengalir menuju Danau Singkarak menjadi daerah hunian awal
masyarakat. Seiring waktu masyarakat membangun sarana: balai adat,
mesjid, pasar, sekolah dan kantor pemerintah nagari. Sarana tersebut
didukung oleh prasarana: jalan, jembatan, pintu air dan selokan.
Nagari Balimbing adalah salah satu nagari tertua di Sumatera
Barat dan tertulis di dalam tambo Minangkabau. Nagari Balimbing
dikelilingi oleh Batang Bangkaweh yang turun dari puncak Gunung Marapi.

Seperti

juga

umumnya

nagari-nagari

di

sekitar Gunung Marapi,

pemandangannya sangat indah. Kekhususan di Nagari Balimbing yang
sudah sulit ditemui di Nagari-nagari lain, yaitu adatnya yang relatif masih
asli dan masih berdirinya rumah-rumah adat yang berusia ratusan tahun.
Salah satu ciri khas Nagari Balimbing adalah keberadaan rumah adat asli
Minangkabau yang telah diakui oleh Pemda sebagai Obyek Wisata Rumah
adat ini yaitu Rumah Adat Kampai Nan Panjang telah berusia lebih dari 300
tahun dan dibangun sama sekali tanpa menggunakan paku.
Nagari Balimbing adalah salah satu nagari di sepanjang sungai

menuju Danau Singkarak. Nagari di sepanjang sungai disebut tujuah

4

langgam di hilia1 (Zulkarnaini, 1996: 40). Masyarakat hidup dan tinggal di
pinggiran sungai melakukan penyesuaian dengan lahan. Surau-surau pun
dibangun mengikuti alur sungai untuk memudahkan kaum. Surau dan
sungai menghasilkan lansekap alam dan lansekap budaya yang khas di
Minangkabau. Lansekap alam ditampakkan oleh penyesuain lahan yang
berteras – teras sedangkan lansekap budaya terlihat dengan semangat
kekeluargaan (kaum) dan gotong-royong (basamo – samo). Kekeluargaan
dan gotong-royong selalu dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat:
mencari penghidupan, mengolah sawah dan ladang, mendirikan surau,
upacara kelahiran dan kematian serta pernikahan.
Kawasan pinggiran Sungai Bengkawas didirikanlah surau tuo
yang menjadi penanda kawasan rumah gadang dan saksi aktivitas
kehidupan urang kampuang (penduduk). Sungai Bengkawas merupakan
sumber air bagi masyarakat setempat sekaligus pendukung pekerjaan.
Bertani, berkebun dan beternak merupakan mata pencaharian mayoritas di
Nagari Balimbing. Hasil bumi pun dibawa ke pasar yang berada tepat di

pusat nagari yaitu: Jorong Kinawai. Nagari ini memiliki lima jorong:
Padang Pulai, Balimbing, Sawah Kareh dan Bukittamasu.
Masyarakat setiap hari mengolah sawah dan ladang. Mencari
rumput dipinggiran sawah dan sungai untuk ternak mereka, beristirahat

1

Adalah nagari-nagari yang berada di sepanjang sungai menuju Danau Singkarak. Aliran sungai berasal
dari Gunung Marapi. tujuah langgam di hilia juga menjadi bukti pembagian daerah sejak lama. Istilah ini
berasal dari sejarah tutur Minangkabau

5

sejenak untuk makan dan sholat kemudian melanjutkan aktivitas hingga
menjelang sore. Sebelum magrib, urang kampuang pergi bersama-sama ke
sungai dan pemandian untuk membersihkan badan dan pakaian kemudian
pulang dan bersiap untuk menunaikan sholat Maghrib. Aktivitas seperti ini
dilakukan berulang setiap harinya.
Nagari Balimbing termasuk nagari yang terkenal di Kabupaten
Tanah Datar karena masih alami (natural), memegang teguh adat dan agama

serta disegani karena rasa persaudaraan di perantauan. Semua aktivitas
untuk menjaga keaslian dan menjaga tradisi diajarkan setelah Isya oleh
paman dan kemenakan laki-laki yang beranjak dewasa.
Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat menyebar dan
meninggalkan Komplek Rumah Gadang. Rumah Gadang hanya menjadi
tempat untuk menghelat upacara adat dan perkawinan, Pandam Pakuburan
dikunjungi saat sanak saudara meninggal dunia dan dikebumikan, surau
ditinggalkan karena semakin sepi dan tidak ada kemenakan yang belajar
kepada paman tentang adat, tentang agama dan tentang hubungan
bermasyarakat. Luak (tempat mandi) lengang dikalahkan oleh pemandian
yang lebih bersih dan aman. Semua aktivitas berubah perlahan seiring
dengan perkembangan zaman.
Masyarakat Nagari Balimbing dalam kehidupannya tidak lepas
dari aktivitas yang berkaitan dengan adat dan budaya yang mereka anut.
Menurut Mak Haji zaman keemasan Surau Tuo Kaum Piliang adalah pada

6

1940-1990, saat itu surau adalah satu-satunya tempat untuk berkumpul dan
bermain, belum ada rumah-rumah seperti sekarang. Sepanjang malam surau

penuh dengan kegiatan: mengaji, belajar adat dan musyawarah. Berdasarkan
pengalaman serta pengamatan di lapangan, aktivitas ritual adat dan budaya
yang dilakukan masyarakat Nagari Balimbing yang menunjukkan pertalian
adat dan agama adalah sebagai berikut:
1. Khatam Al-Qur‟an
Lingkungan adat Minangkabau yang mengamalkan falsafat adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, begitu juga bagi masyarakat
Nagari Balimbiang upacara khatam Al-Qur‟an merupakan acara yang
sejalan dengan adat istiadat yang lazim dilaksanakan. Khatam Al-Qur‟an
dalam lingkungan masyarakat sering disebut dengan Tamaik Kaji. Acara ini
bertujuan untuk memberikan motivasi pada anak-anak agar lebih giat belajar
agama di surau. Surau merupakan lembaga yang menaungi kegiatan anak
kemenakan dalam suku dan kampung untuk dapat belajar lebih intensif dan
terkoordinir secara baik.
Upacara ini sering disebut alek sahari, dilaksanakan di surau
yang kepanitiaannya melibatkan orang kampung dalam suatu jorong.
Upacara ini bersifat kampung dan dimeriahkan dengan arak-arakan rebana.
Alek katam kaji ini dilaksanakan apabila anak-anak yang belajar mengaji,
telah menamatkan pelajaran dan telah menamatkan Al-Qur‟an, yang
dilengkapi dengan pelajaran-pelajaran lainnya seperti rukun shalat dan


7

pelajaran fiqih lainnya. Anak-anak yang mengikuti upacara ini akan diarak
mengelilingi kampung-kampung dalam jorong. Kemudian pelaksanaan di
rumah masing-masing tergantung dari kemampuan keluarga tersebut dengan
mengundang keluarga dekat, keluarga jauh, dan lain sebagainya.

2. Adat Kematian
Upacara kematian adalah suatu kegiatan yang dilakukan
masyarakat untuk menyelenggarakan jenazah orang yang telah meninggal
dunia. Apabila seorang anggota keluarga meninggal dunia, maka kerabat
dan orang lain datang tanpa undangan. Sesuai dengan ungkapan kata-kata
adat karajo baiak baimbauan, karajo buruak baambauan. Maksudnya
adalah kehadiran masyarakat dalam upacara yang direncanakan adalah
melaui undangan, sedangkan dalam upacara yang tidak direncanakan
masyarakat datang sendiri tanpa diundang. Biasanya pemberitahuannya
dengan cara memukul bedug atau melalui pengumuman dengan
menggunakan microphone di surau atau di masjid.
Apabila seorang laki-laki meninggal dunia di rumah istrinya, ia di

jemput oleh kemenakan untuk dibawa ke rumah keluarga ibunya dan
seterusnya dilaksanakan upacara kematian secara Islam. Upacara kematian
dilakukan di dua tempat yaitu di rumah dan di kuburan kaum yang telah
ditetapkan. Dalam rumah mayat dibaringkan di atas kasur di ruang tengah
dengan kepala menghadap kiblat. Setelah sampai pada waktunya sesuai

8

dengan yang direncanakan mayat dibawa ke tempat pemandian, kemudian
mayat dibawa ke dalam rumah dan dikafani. Setelah itu mayat dibawa ke
surau atau masjid untuk di shalatkan dan kemudian dibawa kekuburan kaum
untuk dimakamkan. Apabila telah di makamkan diletakkan batu dan
ditanamlah bungo rampai atau tumbuhan lainnya di atas kuburan tersebut
sebagai penanda kuburan.
Mambatu kubua merupakan kebiasaan yang telah dilaksanakan di
Nagari Balimbiang, upacara ini biasanya dilaksanakan sekitar tujuh hari
setelah kejadian kematian. Dalam pelaksanaan mambatua kubua ada nilai
kebersamaan dalam suka dan duka. Pelaksanaan pekerjaan mambatua kubua
dilakukan oleh orang laki-laki di pekuburan, bekerjasama dalam memagar
halaman kuburan dengan bambu dan memberi batu nisan. Penyelesaian

pekerjaan ini membutuhkan tenaga dan waktu yang cukup banyak, sehingga
kaum perempuan membawa berbagai jenis makanan untuk dimakan setelah
pelaksanakan pekerjaan mambatu kubua.
3. Adat Batagak Pangulu
Upacara malewakan gala atau menegakkan penghulu adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat nagari untuk
mengukuhkan sako (gelar pusaka) pada suatu kaum. Menegakkan sako
dapat dilakukan atas tiga hal seperti hiduik bakarelaan (mengganti penghulu
yang masih hidup), mati batungkek budi (mengganti penghulu yang sudah
meninggal dunia).

9

Malewakan gala bertujuan untuk memberitahukan kepada
masyarakat atas pelantikan pemimpin baru suatu kaum dan penghulu
tersebut akan memimpin nagari secara kolektif bersama dengan penghulu
lainnya. Seorang penghulu pada hakekatnya tumbuah dek batanam, tinggi
dek baanjuang, gadang dek baambak (tumbuh karena ditanam, tinggi
karena dianjung, besar karena digemburkan). Kepemimpinan penghulu
ditentukan oleh masyarakat kaumnya, perlu mendapatkan dukungan dari

anggota keluarganya untuk menjalankan roda pemerintahan keluarga kaum
dan nagari. Biasanya upacara pengangkatan penghulu dilakukan selama tiga
hari disertai dengan pertunjukan kesenian untuk menghibur tamu dan makan
bersama dengan cara menyembelih seekor kerbau dan kepalanya
digantungkan di tempat yang lebih tinggi sebagai tanda suksesnya kegiatan
ini. Semua keluarga dekat, keluarga jauh dan kerabat serta masyarakat
lainnya dalam nagari turut hadir memeriahkan terutama pada acara puncak
seperti mendengarkan pidato adat yang menyatakan tugas dan tanggung
jawab penghulu baru tersebut. Dalam pidato adat penghulu yang baru
diangkat tersebut menyatakan bahwa ia berjanji tidak menyimpang dari
kaedah adat dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Di Nagari Balimbiang pelaksanaan upacara ini bisanya dilakukan
di rumah gadang atau di lapangan. Namun pelaksanaannya lebih
diprioritaskan dilaksanakan di rumah gadang. Jika suatu kaum tidak

10

memiliki rumah gadang maka pelaksanaan dilakukan di rumah gadang
kaum lain yang dipinjam untuk pelaksanaan upacara tersebut.
I.2 RUMUSAN MASALAH
Perkembangan surau seiring dengan perkembangan nagari.
Sebaran surau dapat dijadikan bahan untuk merekonstruksi perkembangan
nagari. Surau adalah lembaga sejarah, lembaga pendidikan nagari di
Minangkabau (Hamka,1990: 55).
Surau pada awalnya seperti sekolah. Surau dikhususkan sebagai
pendidikan untuk anak laki-laki. Surau tidak serta merta menjadi pusat
ibadah dalam nagari. Nagari mempunyai mesjid untuk mengakomodasi
ibadah: sholat jumat, sholat eid, qurban dan zakat. Ibadah tersebut tidak bisa
dilaksanakan di surau karena pada hakikatnya surau hanya mengakomodir
kepentingan-kepentingan kaum atau suku mereka sendiri.
Surau menjadi perlambangan dan aset bagi kaum/suku di
Minangkabau. Surau dikepalai oleh seorang laki-laki yang disepakati oleh
anggota kaum dan menjadi pembantu Datuk/Penghulu sebagai menteri
agama. Selaiknya menteri agama, beliaulah nanti yang akan menjadi guru,
pengawas dan Pembina kegiatan adat dan agama di surau.
Penelitian tentang surau merupakan salah satu aplikasi tentang
arkeologi lansekap yang berangkat dari

pertanyaan:

Bagaimana peran

surau dalam pembentukan karakter lansekap budaya masyarakat Nagari
Balimbing pada 1940 - 1990?

11

I.3 TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan permasalahan di atas, tujuan penelitan ini
adalah:
1. Menjelaskan hubungan surau dengan rumah gadang, pandam
pakuburan, tapian mandi (luak)
2. Menjelaskan hubungan surau dengan lansekap budaya
(kehidupan sosial dan budaya)
I.4 LINGKUP PENELITIAN
a. Lingkup Wilayah
Penelitian tentang Surau ini difokuskan pada Nagari Balimbing,
Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Berikut adalah batasbatas Nagari Balimbing:
Utara berbatasan dengan Nagari Padang Magek
Selatan berbatasan dengan Nagari X Koto Diatas
Barat berbatasan dengan Nagari Simawang
Timur berbatasan dengan Nagari Rambatan
b. Lingkup kajian
Membahas lansekap budaya masyarakat nagari berdasarkan
data surau, rumah gadang, kondisi geografis. Hal ini terlihat
pada teknologi, sosiologi dan ideologi masyarakat
Perkembangan lansekap budaya Nagari Balimbing pada tahun
1940 – 1990

12

I.5 TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat merupakan
dinamika perubahan lansekap budaya. Faktor pembentuk perubahan ini:
manusia, kebutuhan hidup, lingkungan sosial dan lingkungan alam.
Selain faktor tersebut dinamika lansekap budaya dipengaruhi oleh
perkembangan sosial demografis, perkembangan ekonomi, dinamika
politik, sistem religi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Lutfi, 2014:
76)
Melnick (1983) dalam Fuji Rasyid (2008) merincikan terdapat 13
komponen yang merupakan identitas atau karakter lansekap budaya.
Komponen tersebut adalah:
1. Lansekap budaya dalam kelompok konteks
a. Sistem organisasi lansekap budaya
b. Kategori lahan secara umum
c. Aktivitas khusus dari penggunaan lahan
2. Lansekap budaya dalam kelompok organisasi (mikro)
a. Hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan
b. Tipe bangunan dan fungsi
c. Bahan dan teknik konstruksi
d. Skala kecil dari elemen
e. Makam atau tempat simbolik lainnya
f. Pandangan sejarah dan kualitas persepsi

13

3. Lansekap budaya dalam kelompok organisasi (makro)
a. Hubungan bentuk bangunan dari elemen mayor alami
b. Sirkulasi jaringan kerja dan polanya
c. Batas pengendalian elemen
d. Penataan tapak

Perubahan sosial budaya di Minangkabau dapat dideteksi dari
tingkat terendah: taratak – dusun – koto - nagari. Taratak adalah tempat
bermula yang didiami oleh nenek moyang terdiri dari beberapa keluarga
yang “menatak” atau membuka lahan. Awal berkehidupan bersama yang
sifatnya jauh dari sederhana. Dusun adalah gabungan dari taratak. Masa
ini mulai didirikan rumah dan sumber penghidupan tetap. Koto adalah
gabungan

dari

Dusun,

dengan

persetujuan

bersama

dilakukan

pengelompokan berdasarkan kepada garis keturunan yang dihubungkan
secara adat. Permufakatan yang bulat inilah yang disebut Koto.
Masyarakat mulai berkembang lebih maju dari kehidupan Dusun, telah
membuat sawah dan ladang secara bersama-sama. Nagari merupakan
gabungan Koto. Biasanya gabungan dari 3 Koto yang dikenal: kapalo
koto, tangah koto dan ikua koto. (kepala kota, pusat kota, dan ujung
kota). Gabungan tersebut disusun menjadi kesatuan hukum yang disebut
“Nagari” dipaparkan dalam kata pusaka

14

Kok ketek balingka tanah – jikok gadang balingkua aua
Nagari bapaga undang – Kampuang bapaga buek
Kampuang baumpuak – suku bajeroan
Kecil hanya selingkar tanah – Berkembang menjadi serumpun
bambu
Nagari berpagar undang – kampung berpagar persetujuan
Kampung bertumpuk – Suku berlorong
Wilayah yang menganut sistem kekerabatan matrilinial dengan
segala keunikan sosial, ekonomi dan budaya dapat dijelaskan dengan
memperhatikan adat, kebiasaan, norma dan hukum serta kepercayaan
orang Minangkabau. Hal tersebut merupakan objek etnoarkeologi,
serangkaian gejala/fenomena sosial yang berkaitan satu dengan yang lain,
mempunyai wujud, makna, fungsi dalam mengisi bentang budaya sebagai
hasil interaksi adaptasi manusia dengan lingkungan alam.
Sumber referensi selanjutnya adalah buku pengantar pelajaran
Muatan Lokal: BAM (Budaya Alam Minangkabau) karya Zulkarnaini,
1996 menjelaskan tentang keunikan dan ciri khas orang Minangkabau:
penganut matrilinial, menggunakan hukum adat, sistem pendidikan anak
perempuan yang menjadi tanggung jawab ibu (bundo kanduang) di
rumah gadang dan sistem pendidikan anak laki-laki yang menjadi
tanggung jawab paman (mamak) di surau.

15

Sesuai dengan adat istiadat, laki-laki di Minangkabau memiliki
dua tanggung jawab: menjadi seorang Ayah dan menjadi seorang Paman
seperti yang disampaikan dalam petatah Minangkabau:
“kaluak paku kacang balimbiang
daun kangkuang lenggang – lenggangkan
tanam siriah jo gagangnyo
Anak dipangku kemenakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Ingek nagari kok binaso”
Menjadi ayah berarti memberikan yang terbaik untuk anak
(kebutuhan psikologis dan fisik). Perhatian, kasih sayang, rasa aman dan
nyaman. Kepala keluarga yang bertugas menjaga harmonisasi rumah
tangga. Bertanggung jawab kepada istri dan keluarga besar yang telah
menerima menjadi suami dan sumando (ipar)
Menjadi paman berarti menuntun kemenakan untuk menjaga
adat dan pusaka (Zulkarnaini, 1996: 88). Bertanggung jawab kepada
kaum (suku) untuk mewariskan adat istiadat, norma dan hukum,
keterampilan hidup, ajaran agama kepada anak laki-laki dari saudara
perempuan. Pelaksanaan kewajiban harus dilaksanaka dengan sungguhsungguh dengan menjadikan

masyarakat luas sebagai penilai atas

tanggung jawab tersebut.
Kehidupan bermasyarakat di Minangkabau diatur oleh adat. Adat
nan sabana adat, adat nan taradat, adat nan diadatkan, dan adat

16

salingka nagari (adat istiadat). Sistem bermasyarakat dijelaskan dalam
kata pusaka:
“ Nagari baampek suku – dalam suku babuah paruik
Kampuang diagiah batuo – rumah dibari batungganai”
maksudnya, Nagari harus memiliki empat jenis suku yang berlainan,
setiap suku akan berkembang biak dari waktu ke waktu. Perkembangan
suku menghasilkan tetua suku yang akan menjadi tetua kampung. Suku
mempunyai Rumah Gadang sebagai tempat tinggal dan berkeluarga.
Rumah Gadang dikepalai oleh saudara laki-laki tertua yang disebut
tungganai (Idrus, 1991: 115).
Rumah Gadang pun mempunyai unsur yang berfungsi untuk
menjaga adat dan pusaka, memelihara anak kemenakan, mengajarkan
dan membina

karakter untuk bermasyarakat kelak. Unsur tersebut

adalah:
* Bundo Kanduang: perempuan tertua yang bertugas mengajari dan
membina anak perempuan tentang adat, agama dan hidup bermasyarakat.
* Tungganai: laki-laki yang bertugas mengajari kemenakan (anak lakilaki dari saudara perempuan) tentang adat, agama, dan hidup
bermasyarakat. Datuak mengajari tentang adat, Malin mengajari tentang
agama.

Keduanya

pun

bergantian

mengajarkan

tentang

bermasyarakat. (Kerapatan Adat Nagari Balimbing, 1994: 40)

hidup

17

Idrus Hakimy, Dt. Rajo Penghulu dalam Pegangan Penghulu,
Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat (1991: 125)
menjelaskan Filosofi adat Minangkabau adalah Alam takambang jadi
Guru, dimaknai sebagai belajar kepada alam. Belajar pada fenomena dan
gejala yang tampak. Terlihat dari diri sendiri, terlihat dari orang lain,
tampak dari lingkungan dan ditampakkan oleh Allah. Filsafah adalah roh
dan semangat yang diturunkan turun-temurun yang menjadi kunci
sebagai penanda „keminangkabauan‟ seorang anak Minangkabau.
„keminangkabauan‟ adalah kedalaman dan kepahaman seorang anak
Minangkabau terhadap kebudayaan mereka sendiri. Memahami budaya
materil dan non materil serta lingkungan kampung halaman mereka.
Memahami tentang persukuan dan persaudaraan, mendalami adat dan
agama kemudian pandai bermasyarakat serta paham dengan Komplek
Rumah Gadang milik nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan.

I.6 RIWAYAT PENELITIAN
Berikut adalah beberapa tulisan akademis yang pernah membahas
tentang Minangkabau dan segala aktivitas budaya didalamnya:
Tulisan akademis tentang surau pertama kali dimunculkan oleh
antropolog UGM dalam Surau dan Perubahan Sosial Masyarakat
Minangkabau (Studi Kasus di Kanagarian Taram. Kecamatan Harau.

18

Kabupaten 50 Kota) oleh Yudhiani, Walan dan Prof. Syafri Sairin yang
mengupas tentang pengaruh-pengaruh surau pada masa kolonial.
Tahun 1999 sebuah tulisan tentang akulturasi antara Adat dan
Agama dibukukan dalam Perjalanan Kesenian Indang dari Surau ke
Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau di Padang Pariaman, Sumatera
Barat oleh Ediwar dan Dr. Sri Hastanto, S.Kar. Penelitian beliau
mengindikasikan bahwa setiap kesenian dan permainan, keterampilan
anak nagari ditanam dan dipupuk melalui pendidikan di Surau.
Dua tulisan tentang Surau kembali diselesaikan dalam gelar
Master di Universitas Gadjah Mada melalui Witrianto dan T. Ibrahim
(2000) menjelaskan bahwa Surau adalah Lembaga Pendidikan bagi
Kaum. Mereka diajari adat dan agama di Surau kemudian setelah
(membaca dan menulis) mengenal huruf latin, pembelajaran dipusatkan
di Sekolah dalam Dari Surau ke Sekolah : Sejarah Pendidikan di Padang
Panjang 1904 – 1942.
Lazuardi dan Prof. Dr. I Made Bandem, 2000 mengupas
akulturasi nilai adat dan agama dengan judul Ratik Saman di Surau
Kapeh, Sungai Janiah, Baso, Agam. (Sebuah Aktivitas Budaya Islam
Minangkabau). Ratik adalah sebutan bagi orang Minangkabau untuk
berzikir dengan mengucap kalimat Tahlil dengan menggelengkan kepala
sesuai dengan lafadz La-ila-ha-illallah. Sampai saat ini budaya ini masih
digunakan dalam syukuran dan doa bersama di Sumatera Barat.

19

I.7 METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
lansekap budaya. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mempelajari
perubahan budaya, rekonstruksi perilaku manusia dan lingkungan masa lalu.
Pendekatan ini dipilih untuk menjelaskan fenomena sosiokultural melalui gejala
budaya saat ini: adat dan tradisi, bangunan dan monumen dan budaya materi
lainnya (Kramer, 2001: 1)
Berwawasan spasial artinya menilai sosiokultural beracuan kepada
lingkungan sekitar dan tinggalan budaya materi yang tetap memegang adat dan
tradisi: melakukan upacara adat, upacara keagamaan, dan ritus sosial (kelahiran,
pernikahan, kematian). Memperhatikan kondisi lansekap alam dan lansekap
budaya untuk membantu interpretasi kemudian menghadirkan dalam bentuk
gambar, foto dan peta untuk mempermudah penjelasan.
Metode ini juga didukung oleh kajian pustaka terlebih dahulu untuk
menyusun strategi survei dan observasi, wawancara bersama pemimpin adat,
konsultasi bersama ahli BPCB Batusangkar dan berkolaborasi dengan pihak
yang dianggap kompeten dan membantu menajamkan akurasi data primer
maupun sekunder.
I.7.1 Tahap Pengumpulan Data
Data dibagi menjadi data primer: surau, rumah gadang, dan
lingkungan sekitar. Data sekunder: sejarah masyarakat, konsep surau,
pengaruh surau, serta aspek teknologis, sosiologis, dan ideologis.

20

Data tersebut diperoleh dari survei, inventarisasi dan dokumentasi
kemudian wawancara, studi pustaka serta konsultasi bersama BPCB.
I.7.2 Deskripsi
Data kemudian dijelaskan dalam deskripsi bangunan, konsep
bangunan, aspek teknologis, sosiologis, dan ideologis yang tampak
pada kebiasaan, norma dan hukum, adat istiadat. Deskripsi
lingkungan sekitar surau dan rumah gadang pun digambarkan
melalui peta, foto dan gambar.
I.7.3 Analisis
Analisis dilakukan secara bertahap dan berjenjang. Deskripsi data
akan dianalisis dengan pendekatan lansekap budaya. Analisis
lansekap budaya terbagi menjadi: dinamika lansekap budaya
(Jeremy,1997); relasional-kontekstual surau dengan rumah gadang,
relasional-kontekstual

surau

dengan

pandam

pakuburan

dan

relasional-kontekstual surau dengan luak. Variabel yang dianalisis
adalah bagaimana hubungan antara surau dengan komponen (Rumah
Gadang, Pandam Pakuburan, dan Luak/Batang Bengkawas)
menggambarkan aspek teknologis, sosiologis dan ideologis
I.7.4 Sintesis
Merupakan tahap penggabungan pendekatan yang digunakan.
Menuangankan hasil analisis lansekap budaya dan etnoarkeologi

21

untuk dipadukan menjadi sebuah interpretasi terhadap perubahan
peran surau, perubahan lansekap budaya dan sosial masyarakat objek
penelitian.
I.7.5 Kesimpulan
Tahap kesimpulan adalah tahap akhir yang dilakukan dalam
penelitian. Hasil pengolahan dan analisis dijelaskan dengan data
pendukung untuk menjawab rumusan dan mencapai tujuan
penelitian. Penarikan kesimpulan berisikan tentang relasionalkontekstual antara surau dengan rumah gadang, pandam pakuburan
dan luak. fungsi surau terhadap pembentukan lansekap budaya.