PROSES PENDIRIAN DAN FASE FASE DAULAH AB

PROSES PENDIRIAN DAN FASE-FASE DAULAH ABBASIYAH
1.1.Sistem Politik dan Pemerintahan dan Fase-Fasenya
Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri
Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah.
Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar
pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik.
Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani
Umayyah di dalam masalah sosial dan pilitik diskriminasi.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa
pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat
perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada
saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian
dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.
Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu:
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum
mawalli.
b. Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, ang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi,
sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut
agama lain.
c. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus
dikembangkan.

d. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia.[1]
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
a. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
b. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
c. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

d. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
e. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada

dasarnya

tidak

ada


perbedaan

mendasar

dalam

pembagian

tahapan

pemerintahanAbbasiyyah di atas, namun hanya didasarkan pada perbedaan sudut pandangyang
dipakai. Periodesasi di atas menggambarkan situasi politik Abbasiyah, dimana terdapat 2 unsur
luar yang mendominasi kekuasaan masa Abbasiyyah[2].
1.2.Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Sastra
Pada masa-masa awal berdirinya berdirinya bani abbasiyah, khitobah atuu pidato menjadi
genre sastra yang laris. Fenomena ini terjadi dimotori oleh para kholifah Abbasiyah yang amat
piawai dalam menyampaikan pidato. Akhirnya berkembang pada saat itu pidato-pidato dengan
macam-macam motif, seperti politik, agama atau yang lain. Sehingga marak saat itu penggunaan
kalimat-kalimat ithnab daripada yang berbentuk ijaz. Diantara para orator saat itu adalah AsSuffah, Al-Mansyur, Kholid bin Sofwan.[3]

Namun seiring kebijakan pemerintahan Abbasiyyah yang menerima keterbukaan dengan
budaya bangsa, maka berubahlah kultur sastra Arab. Akibat dipengaruhi oleh bangsa Buwaih,
sastra tulis lebih diminati daripada sastra oral. Ada yang berbentuk prosa ada tang berbentuk
syi’ir, Adapun macam-macam keduanya ini akan diterangkna secara rinci pada bab selanjutnya.
Namun hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa pada masa berkembangnya sastra tulis ini
banyak terjadi kekeliruan berbahasa di tengah masyarakat akibat pergumulan yang kuat bangsa
Arab dengan bangsa ajam (non Arab)[4]. Sastra oral pun semakin melemah Bahkan diceritakan,
para khotib Khutbah juma’at atu hari raya saat itu harus memakai teks,tidak lagi langsung seperti
pada masa-masa awal berdiri bani Abbasiyyah[5].
2. KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN MASA DAULAH ABBASIYYAH
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani
Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif

dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam.[6]
Pada permulaan daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal,
seperti: sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non-fomal yang disebut Ma’ahid.
Baru pada masa pemerintahan Haru Ar-Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti
Darul Hikmah yang kemudian dilanjutkan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak

melahirkan sajana dan ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan daulah abbasiyah dan umat
islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai kum muslimin menyerap khasanah
ilmu dari luar tanpa batas.
Adapun beberapa bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu dan tokohtokoh intelektual yang mengkaji ilmu pengetahuan tersebut, yaitu;
2.1.Bidang Ilmu Agama (Ilmu Naqli)
a. Bidang Ilmu Tafsir
Ibnu Jarir At-Thobari, dengan tafsirnya sebanyak 30 jilid
Ibnu Athiyah Al-Andalusi (Abu Muhammad Ibnu Athiyah)
Abu Muslim Muhammad bin Nashr Al-Isfahany wafat 322 H dengan kitab tafsirnya 14 jilid
As-Suda yang mendasarkan Penafsirannya pada Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan para sahabat
lainya.
b. Bidang Ilmu Hadis
Imam Buchori (wafat 256 H) yang menulis hadits dengan menjaring antara hadits shohih
dan tidak shohih, dan kitabnya al-Jami’ As-Shohih.
Imam Muslim (wafat 261 H) dengan kitabnya Shohih Muslim
Imam AL-Hakim MUhamad Ibnu Hibban (wafat 354 H) dengan kitabnya Mustadrok Al-Taqsim
wa Al-Anwa
Imam Malik (wafat 179 H) yang terkenal dengan kitab hadisnya Al-Muwatta
Imam Syafi’I dengan kitab Musnadnya
c. Bidang Ilmu Kalam

Yang paling berjasa dalam menciptakan ilmu kalam adalah kaum Mu’tazilah karena
mereka adalah pembela gigih terhadap Islam dari serangan Yahudi, Nasrani dan Watsani. Jadi
sebagian besar tokoh ilmu kalam adalah dari kaum Mu’tazilah, diantaranya:

Washil Ibnu Atho’
Abu Huzail Al-Allat
Abu Hasan al-As’ari
d. Bidang Ilmu Tasawuf
Tokoh-tokoh dalam bidang ilmu ini kebanyakan adalah seorang yang zahid yang tekun
beribadah dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, serta meninggalkan kesenangan
dunua.
Zahid yang ternama masa dinasti ini antara lain:
Al-Tsauri (wafat 135 H) bertempat di Kuffah
Robia’al al-Adawiyag (wafat 185 H) di Basrah
Ibrahim bin Adam (wafat 162 H), mantan penguasa dari Persia
Syaqiq Al-Balkhi (wafat 194 H) Murid Ibbrahim bin Adam
Ja’far Shodoq (wafat 148 H) dari Madinah
f. Bidang Ilmu Fiqh
Daulat Abbasiyah merupkan masa keemasan tamadun Islam yang telah melahirkan ahliahli hukum (Fuqoha’) yang tersohor dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqihnya, mereka
adalah imam mazhab 4 yaitu: Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad

Ibnu Hambal.
2. 2. Bidang Ilmu Akal (Ilmu Aqli)
a. Ilmu Kedokteran
Ar-Rozi, tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan Measles. Dia juga
orangpertama yang menyusun kedoteran anak.
Ibnu Shina, dengan bukunya Al-Qinun Al-Thib yang dikenal de barat dengan “The Canon Of
Mediore”
Al Ibnu Rabban, dokter pertama yang terkenal dengan bukunya Firdaus Al-Hikmah
b. Ilmu Filsafat
Al-Hindi, buku karangannya sebanyak 236 judul. Selain itu Ia juga menulis ulasan-ulasan atas
buku Aristotels yang berbeda, diantarany, pengantar atau menulis logika menurut pikirannya
endiri.

Al-Farabi, guru dari Ibnu Shina dan Ibnu Rusyd. Ia memiliki karya sebanyak 12 buah,
diantaranya banyak tentang filsafat, logoka, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles.
Al-Ghozali, sebesar tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan. Teorinya
yang terkenal tentang kelemahan akal dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah.
Ibnu Rusyd, ahli filosof Aristoteles. Dia mengarang kitab Tahafufh Al-Tahafuth sebagai bentuk
bantahan terhadap karya Al-Ghazali Tahafut Al-Falasifah

c. Ilmu Astronomi
Al-Battani, yang berhasil membuat daftar tabel Sinus, tangen, dan Kotangen dari 0-90 derajat
secara cermat.
Al-Biruni, cendekiawan dan sainitis Islam terkemuka masa kejayaan Islam. Sarjana yang paling
besar sepanjang masa.
Al-Fazhari, orang pertama yang mengerjakan astrolog.
Al-Farghani, karya yang utama yaitu al-mudkhila Ilmu Hayai Al-Aflal.
d. Ilmu Hitung
Al-Khawarizmi, kitabnya berjudul kitabul jama’ wa al Tafria yang menerangkan seluk
belukangka-angka termasuk angka nol.
Umar Al-Khayyan, seorang ahli matematika sekaligus astronom dan penyair ternama.
e. Ilmu Geografi Dan Sejarah
Baladlari, sejarawan terkenal dengan kitabnya Futuh al-Buldan yang ditulis dengan gaya yang
mengagumkan dan menjadi tanda bagi kemajuan yang cemerlang akan semangat sejarah.
Al-Mashudi, sejarawan dan ahli georafi, kitabnya Muruj al-Dahab wa Madan al-Jawahar adalah
catatan tentang pengalaman pengembaraannya dan mengamatannya.
f. Ilmu Kimia
Jabir bin Hayyan, ahli kimia dari kuffah yang merupakan bapak modern . dia mendirikan sebuah
leboraturium di Kuffah dan berhasil menemukan beberapa bahan kimia dan menulis sejumlah
buku tentang kimia[7].

Sedang untuk perkembangan bahasa dan sastra akan dibahas tersendiri pada bab
berikutnya.
3. PERKEMBANGAN SASTRA PADA MASA DAULAH ABBASIYYAH

3.1. Syi’ir
Perkembangan syi’ir pada masa shodrul islam bersumber dari penduduk arab. Periode
Abbasiyah dikenal sebagai zaman intelektual dan sastra terkaya di arab. Pada saat ini sastra Arab
mencapai standar yang tinggi dan kompleksitas. Baghdad, ibukota baru bagi pemerintah
Abbasiyah dan salah satu kota megah abad pertengahan dunia, menjadi pusat pembelajaran
setiap jenis kehidupan intelektual termasuk sastra[8].
Tujuan- tujuan syi’ir:
1. Madah
Bentuk puisi ini digunakan untuk memuji seseorang dengan segalamacam sifat dan kebesaran
yang dimilikinya seperti kedermawaan dan keberanian maupun ketinggian budi pekerti
seseorang. Biasanya para penyair menggunakan puisi ini untuk memuji para kholifah, menteri
dan para petinggi lainnya.pada masa ini penyair yang masyhur yaitu Basyar ibn barda, Abu
Nawas, Marwan ibn abu hafshoh, Abu tamaam, dan bahtary.
Contoh madah dari Ibnu Rum :

‫ تشابهت منكم الخلق و الخلق‬# ‫كل الخصائل التى فيكم محاسنكم‬

‫ حمل و نورا و طاب العود و الورق‬#

‫كأنكم شجر الترج طاب معا‬

2. Hijaa’
Jenis puisi ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan menyebutkan
keburukan orang itu.biasanya ini terjadi dalam suatu peperangan. Seperti yang dikatakan da’bal
al khozaa’I kepada kepada kholifah mu’tasim ibn rusydi ketika tsamin menjadi kholifah pada
masa abbasiyah.

‫و لم تأتنا عن ثامن لهم كتب‬
‫ب‬
‫خيار إذا ع دبدوا وثامنهم كل ب‬
‫للنك ذو ذنب و ليس له ذنب‬

‫كلوك بنى العباس فى الكتب سبعة‬

#

# ‫كذالك أهل الكهف فى الكهف سبعة‬

#

‫و إدنى لعلى كلبهم عن رتبة‬

3. Ghazal
Ialah suatu bentuk puisi yang didalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya, puisi ini juga
menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa saja yang berhubungan dengan
kisah percintaan. Seperti,

‫ وجزى الله كل خير لسان‬#

‫ل جزى الله دمع عينى خيرا‬

‫ ورأيت اللسان ذا كتمان‬#

‫ندم دمعى فليس يكتمم شيئا‬
‫ فاستددلوا عليه بالعنوان‬# ‫كنت مثل الكتاب أخفاه طدي‬

4. Rotsa’
Yaitu jenis puisi yang digunakan untuk mengingat jasa seseorang yang sudah meninggal

dunia.seperti Qosidah Abi Tamam ,

‫ و أصبح فى شغل عن السفر السففبر‬#
‫تودفيت المال بعد محدمد‬
‫ تقوم مقام النصر إن فاته الصبر‬# ‫فتةى مات بين الضرب و الطعن ميتةة‬
5. Wasiat
Yaitu jenis puisi yang berisi nesihat seseorang yang akan meninggal dunia atau akan berpisah
kepada seseorang yang dicintainya dalam rangka permohonan untuk mengerjakan sesuatu.
Contoh dari wasiat yaitu,

‫ من الحسن حتى كاد أن يتكلما‬# ‫أتاك الربيع الطل فبق يختال ضاحكا‬
‫ أوائل ورد كدن بالمس بنودما‬# ‫و قد ندبه الننيبروز فى غسق الدجى‬
‫ث حديثا كان أمس مكدتما‬
‫ يب د‬# ‫يفلدتقها برد النــــــدى فكـــــأ ندنه‬
6. Siyasah
Puisi ini berisi tentang politik pada masa Abasiyah

‫ من دون تيم و عففو الله مدتسع‬# ‫إدن الخلفة كانت إرث والدكم‬
‫ و ما لهم فى إرثكم طمع‬#

‫و ما لل علدى فى إمامرتكم‬

‫ قول النصيحة إدن الحدق مستمبع‬# ‫العدم أولى من ابن الع دلم فاستمعوا‬
7. Zuhud dan Hikmah
Contoh dari zuhd dan hikmah yaitu,

‫ صديقك لم بلق ادلذى ل تعاتبه‬# ‫إذا كنتم فى كل المور معاتبا‬
‫ مقارف ذنب مدرةة و مجانبه‬# ‫فعش واحدا أو صل أخاك فإنه‬
[9] ‫ ظمئت و ا دبي الناس تصفو مشاربه‬# ‫أذا أنت لم تشرب مرارا ة على القذى‬
3.2. Penyair Pada Masa Abbasiyah
Pada masa ini, kehidupan puisi sangat berkembang, ini dapat dilihat dari banyaknya para
penyair ternama yang muncul ke permukaan. para penyair saling berlomba-lomba dalam
mendapatkan kesenangan dari raja dengan cara memuji dan mengagungkan mereka dengan

dendangan puisi yang indah. Puisi yang didendangkan oleh penyair memberikan dampak yang
berarti bagi penguasa, karena nama mereka akan dikenal oleh masyarakat. karena itulah para
penguasa pun berlomba-lomba dalam memberikan imbalan kepada penyair. Dengan ini,
perkembangan penyair pun berkembang semakin pesat, ditambah dengan luasnya ilmu
pengetahuan kaum muslimin pada masa itu, dan daya khayal berkembang pula. Selain untuk
kepentingan seni, puisi pun digunakan sebagai alat manuver politik, melalui perantaraan penyair,
golongan politik meningkatkan ketenaran namanya di mata lawan politiknya.
Perkembangan sastra dapat dilihat dari banyaknya penyair yang dikenal sampai saat ini,
penyair pada masa ini lebih banyak dibandingkan dengan masa Umayah, karena kebebasan pada
saat ini lebih berkembang dibandingkan pada masa Umayah. Selain yang telah disebutkan di
muka tentang keterpengaruhan lingkungan, dan juga adanya perkembangan daya khayal
masyarakat, kebebasan dalam mencurahkan pikiran dan kehidupan yang cenderung damai ikut
serta dalam memicu perkembangan puisi. Perkembangan ini dapat dilihat dengan munculnya
penyair ternama, yaitu:
1.

Abu Nuwas
Selain sebagai pengarang 'Seribu Satu Malam, oleh orang-orang Eropa-bahkan di
Indonesia-ia dikenal sebagai seorang hakim, sahabat sekaligus sebagai pelawak yang tidak hentihentinya membuat raja kewalahan akan kepintarannya. Padahal dalam kenyataannya ia adalah
seorang penyair yang handal. Ia dilupakan bahwa ia adalah penyair terhebat pada masanya,
bahkan melebihi kehebatan al-Mutanabi, dan kejeniusannya dalam berpuisi tidak kalah dengan
penyair terdahulu. Puisinya yang terkenal adalah khamriyat.

2.

Al-Mutanabby
Nama aslinya adalah Abu Thayib Ahmad bin Husin al-Mutanabby. Lahir sekitar tahun
915 M. Dia dijuluki dengan al-Mutanabby karena ia berpura-pura menjadi nabi. Ia mempunyai
hafalan yang kuat. Semenjak kecil ia belajar bahasa Arab dari orang-orang Badui, sehingga ia
memiliki bahasa yang murni dan indah. Kehidupannya penuh dengan ancaman dan hasutan. Ia
meninggal dalam sebuah perkelahian dengan salah satu musuhnya Fatik bin Abu Jahal.

3.

Abu al-A'la al-Ma'ary
Dilahirkan sekitar tahun 973 M., sebuah kota di Syiria yang berjarak sekitar 20 mil dari
Damaskus. Dapat dikatakan bahwa kehidupannya teramat tragis baginya. Ketika kecil ia
terserang oleh cacar yang mengakibatkannya buta. Kemudian ditinggal ibunya yang amat

dicintainya. Dua kejadian dalam kehidupannya yang sempat membuatnya kesepian dalam gelap
dan kesendirian. Hal inilah yang sedikit banyak mempengaruhi bait-bait puisinya.
4.

Abu al-Atahiyah
Tidak seperti rivalnya, ia berasal dari Kufah, sebelum mengabdi kepada khalifah, masa
mudanya ia bekerja sebagai penjual tembikar. Karena kehebatannya, Harun al-Rasyid pernah
memberinya 50.000 dirham. Kekhasan puisinya adalah pesismistik, selian itu juga banyak
dipengaruhi oleh doktrin-doktrin agama. Ini dapat dilihat dalam salah satu puisi ternamanya
yaitu zuhd, yang berisi tentang kebangkitan, dan juga kehidupan yang akan datang[10].
3.3.Prosa
Pada zaman Bani Abbasiyah, surat menyurat menjadi semakin penting dalam rangka
penyelenggaraan sistem pemerintahan yang semakin kompleks. Dalam genre prosa, muncul
prosa pembaruan (‫ )النثر التجديدي‬yang ditokohi oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik
yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah
Seribu Satu Malam (‫)ألف ليلة و ليلة‬. Dalam dunia puisi juga muncul puisi pembaruan yang
ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul Atahiyah.
Masa Bani Abbasiyah sering disebut-sebut sebagai Masa Keemasan Sastra Arab. Karena
Islam juga eksis di Andalusia (Spanyol), maka tidak ayal lagi kesusastraan Arab juga
berkembang disana. Pada zaman Harun Al-Rasyid, berdiri Biro Penerjemahan Darul Hikmah.
Namun hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa pada masa ini banyak terjadi kekeliruan
berbahasa di tengah masyarakat akibat pergumulan yang kuat bangsa Arab dengan bangsa ajam
(non Arab).
Gaya pertengahan tidak ketinggalan zaman secara tiba-tiba. Sejumlah penulis besar tetap
mengikuti gaya pertengahan ini meskipun gaya saj’ baru sudah mendapat dasar di sekitar
mereka. Saj’ terdiri dari prosa yang frase-frasenya berirama dalam kelompok dari dua atau lebih
bagian. Syarat-syaratnya antara lain adalah kata-katnya harus indah dan merdu, tiap frase
beriramanya mengandung makna yang berbeda, frase beriramanya memenuhi persyaratan
tawazun, frase sesudahnya harus selalu lebih pendek dari pada frase sebelumnya. Badi’ di lain
pihak, yang mengandung saj’ dan lain-lain, dapat menjadi banyak bentuk. Sebagaian ahli sastra
menyebutkan 14 ragam badi’dan sebagian lagi menyebutkan dua kali lipat dari itu atau lebih.
Badi’ terdiri dari penciptaan frase yang identik dalam struktur suku kata, terkadang dalam bentuk

huruf tanpa tanda dikritikalnya, tetapi berbeda dalam makna. Contoh terbaik saj’ dan badi’ádalah
seperti berikut:
1.Korespondensi kekhalifahan
Korespondensi kekhalifahan dipercayakan kepada dewan atu sekertaeis istana. Penulis
terkenal anatara lain: Abu Al Fado Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al
Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).
2.Essay sastra
Essay sastra disusun disusun penulisnya untuk melukiskan perbincangan, melaporkan
pidato, menuturkan kisah, atau menguraikan tema keislaman, moral, atau kemanusiaan. Yang
termashur antara lain Risalah Al Ghufron (pengampunan) yang ditulis oleh Abu Al A’la Al
Ma’arri (w 449H/ 1059M), yang melukiskan suatu perbincangan imajiner dengan penghuni surga
dan penghuni neraka. Rízala ini memprakarsai gaya tulisan yang segera tersebar sampai ke Eropa
di mana Dante melahirkan Divina Comedia-nya yang meniru risalah ini.
3.Maqamat
Badi al-Zaman al-Hamadzani dikenal sebagai pencipta maqamah, sejenis anekdot dramatis
yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan
puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Sebagai contoh, kisah-kisah bebahasa Spanyol dan
Italia yang bernuansa realis atau kepahlawanan memperlihatkan kedekatan yang jelas dengan
mahqamah Arab.
Tidak lama sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang
kemudian dikenal dengan Alfi Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Ini adalah
karya Persia klasik, berisi beberapa kisah dari India. Karakteristiknya yang beragam telah
mengilhami lahirnya ungkapan konyol para kritikus sastra modern yang memandang kisah
“Seribu Satu Malam” sebagai kisah-kisah Persia yang dituturkan dengan cara Buddha oleh ratu
Esther kepada Haroun Alraschid di Kairo selama abad ke-14 Masehi. Kisah ini menjadi begitu
populer di kalangan masyarakat Barat, karena telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di
belahan bumi Eropa serta pencetakan berulang-ulang. Selain prosa-prosa tersebut, juga terdapat
beberapa puisi klasik, contohnya Abu Nawas yang mampu menyusun lagu terbaik tentang cinta
dan arak. Siapa yang tidak kenal dengan cerita Aladin dan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan
Empat Puluh Penyamun, dan Sindbad si Pelaut.

Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik
puncak dari berkesenian—ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten
terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Bani Abbasixah inilah prosa berkembang
subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama. Bermunculanlah para
sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik pusi maupun prosa. Dari yang ahli sebagai
penyair (seperti Abu Nuwas), pembuat novel dan riwayat (asli maupun terjemahan), hingga
pemain drama.
Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan kontribusi penting
bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan
sastra di Eropa era Renaisans. Salah seorang ahli sastrawan yang melahirkan prosa-prosa jenius
pada masa itu bernama Abu Uthman Umar bin Bahr al- Jahiz (776 M – 869 M) – cucu seorang
budak berkulit hitam.
Berkat prosa-prosanya yang gemilang, sastrawan yang mendapatkan pendidikan yang
memadai di Basra. Irak itu pun menjadi intelektual terkemuka di zamannya. Karya terkemuka
Al-Jahiz adalah Kitab al-Hayawan, atau ‘Buku tentang Binatang’ sebuah antologi anekdotanekdot binatang – yang menyajikan kis`h fiksi dan non-fiksi. Selain itu, karya lainnya yang
sangat populer adalah Kitab al-Bukhala, ‘Book of Misers’, sebuah studi yang jenaka namun
mencerahkan tentang psikologi manusia.
Pada pertengahan abad ke-10 M, sebuah genre sastra di dunia Arab kembali muncul.
Genre sastra baru itu bernama maqamat, Sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh
seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh
Badi’ al- Zaman al-Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang
diciptakannya, hanya masih tersisa dan bertahan 42 maqamat[11].