SIASAT RAKYAT DI GARIS DEPAN GLOBAL POLI

SI ASAT RAKYAT DI GARI S DEPAN GLOBAL:
POLI TI K RUANG PASAR DAN PEM EKARAN DAERAH
DI TANAH PAPUA
Oleh : I Ngurah Suryawan

Abstract

Local community in Papua struggle hard to resist human and natural
resources against global capitalist power. Competition to gain access
to political and economic resources is unavoidable. Indegenous
people can hardly compete with the migrants in getting access to
economic resources which resulted in the marginalisation of this
group. Political economic spaces such as market, bureaucracy and
investment from multinational companies shows clearly the
displacement of the indegenous people. A clear portrait of their
displacement is reflected in how the indegenous women in Papua
struggle to get access to the market to sell their products. At Sanggeng
market in Manokwari, W est Papua for example, Papuan women
spread their agricultural products on the ground, while three-storey
building with kiosks in it is occupied by migrant traders. Meanwhile
in Jayapura, local women have to compete with multinational

company - Gelael Supermarket. This article discusses how political
economic spaces including markets and new municipalities and
districts turn into stages for local and global power battle and flare
ethnic seggregation in Papua for economic benefits.
Kata kunci: masyarakat lokal, perbatasan, ruang public, ruang
politik, global kapital

1.

Pendahuluan

Pada awal tahun 2012, saya sempat mengunjungi Pasar Gelael
Jayapura. Dari sore hingga malam, mama-mama Papua sibuk berjualan.
Dari sore hari mama-mama Papua berdatangan entah darimana memenuhi
halaman di depan pasar swalayan Gelael. Lantai pertama adalah swalayan
dan di lantai dua berdiri megah KFC. M ama-mama Papua berdatangan
dengan membawa barang dagangan berupa sayur-sayuran, sirih pinang,

62


Siasat Rakyat di Garis Depan Global:
Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

buah-buahan, patatas, ubi dan lainnya. Dengan menggendong karungkarung, para mama ini mulai menggelar tikar dan alas seadanya untuk
kemudian menggelar dagangannya. Sebagian dari mereka saya perhatikan
mulai mengeluarkan barang dagangan dari karung kemudian menggelarnya
dalam bagian-bagian kecil. Sementara saya melihat orang-orang berbaju
seragam pegawai negeri keluar masuk Supermarket Gelael dan KFC.
M ereka berlama-lama berbelanja di dalam supermarket. Ada beberapa
orang yang tampak bercengkrama di KFC.
Khusus di Kota Jayapura, perjuangan SOLPAP (Solidaritas Pedagang
Asli Papua) mulai bergulir sejak 2008 menuntut pembangunan pasar bagi
mereka. Serangkaian pertemuan dilakukan dengan Pemkot, DPRD dan
DPRP, bahkan ketika itu sampai harus dialokasikan dana mencapai
Rp 1 M ilyar lebih untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Dari
Pansus tersebut dibentuk lagi 3 Kelompok Kerja (Pokja), yakni Pokja
Desain dan Konstruksi, Pokja Lokasi, dan Pokja Dana atau pembiayaan.
Namun, dalam pertemuan dengan Pemkot 10 Oktober 2008, Pemkot
mengaku tidak memiliki dana untuk itu dan menegaskan itu menjadi
tanggung jawab Pemprov. Pada tanggal 14 Oktober 2008 SOLPAP

mencoba mengirim proposal, namun tidak mendapat tanggapan. Akhirnya
pada tanggal 14 September 2009 barulah mama – mama pedagang asli
Papua bisa bertemu dengan Gubernur. 1
Pada tanggal 30 M aret 2010, ratusan massa yang terdiri dari mamamama Papua mendatangi gedung Dewan. Gerimis tidak menciutkan
semangat mereka melakukan yel-yel dari Pasar Pharaa menuju gedung
Dewan yang berjarak sekitar 3 Km itu. M eski sempat dihadang oleh Satpol
PP di pagar masuk Kantor Bupati Gunung M erah Sentani, rombongan
mama-mama Papua yang dikoordinir oleh Ibu Betty W arweri ini berhasil
masuk ke dalam gedung DPRD Sentani. M ama-mama ini juga membawa
beberapa spanduk dan pamphlet yang memuat aspirasi mereka. “Hapuskan
sistem monopoli dagang komoditas asli Papua”, “Hentikan praktek

Lihat “Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam papuawoman.blogspot.
com/2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html. (Diakses 20 Oktober 2010).

1

63

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76


pendatangan orang non Papua menguasai meja-meja dan los-los di pasar
baru Sentani”, “Dagangan lokal khusus untuk pedagang asli Papua” 2
Saat mengunjungi Kota Timika, ibukota Kabupaten M imika Provinsi
Papua akhir Oktober 2011, saya sempat mengunjungi pasar Timika. M amamama dari Suku M ee hanya terlihat segelintir dibandingkan pedagangpedagang dari luar Papua. M ama-mama yang saya temui menjual hasilhasil bumi yang menurut pengakuan mereka dipetik langsung dari kebun.
M eskipun telah disediakan lapak semen yang permanen, mama-mama ini
lebih memilih menggelar dagangan yang telah dikelompokkan beralas
noken (tas) karung atau plastik. Beberapa di antara mereka menjual nokennoken yang dipajang berjejer. Beberapa di antaranya adalah noken
bermotif bendera bintang kejora dengan tulisan “W ets Papua”. Seorang
teman dari Suku M ee yang menemani saya berbincang dalam Bahasa M ee
kepada mama-mama (mereka). Terlihat mama-mama di samping saya
tertawa lepas sambil sa pu (saya punya) teman menjelaskan bahwa kata
yang benar adalah “W est Papua” di atas bendera bintang kejora. 3
Pasar, sebagai sebuah ruang sosial, bisa menjadi cermin dari
masyarakat tempatan. Dari pasar, beragam persoalan bisa teruraikan. Salah
satunya yang kelihatan paling kentara adalah persoalan akses ekonomi,
perjuangan mama-mama Papua, dan jika ditelisik lebih dalam bisa
menguraikan kompleksitas persoalan kesehatan, pendidikan, politik lokal,
kekerasan dalam rumah tangga. Kompleksitas persoalan itulah yang kini
terjadi di Tanah Papua. Beragam persoalan muncul silih berganti, yang jika

ditelisik lebih mendalam akan menggambarkan persoalan yang saling
terkait. Satu keputusan akan membawa implikasi yang kompleks pada
berbagai persoalan. Artikel ini berusaha mengeksplorasi kondisi pasar
tradisional di Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan W osi di Kota
M anokwari, Papua Barat dan posisi mama-mama Papua dalam merebut
akses berjualan di pasar tersebut.
M unculnya daerah-daerah administratif baru serta dana Otsus
menjadi “ruang” bagi mama-mama Papua untuk memperjuangkan
identitas, akses mereka terhadap pasar dan keberlangsungan hidup mereka

2 Lihat
“Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam http://www.kabarindonesia.
com/berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=20100330221832.
Diakses 22 Oktober 2010.
3
Catatan lapangan di pasar Kota Timika, Oktober 2011.

64

Siasat Rakyat di Garis Depan Global:

Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

dengan berjualan di pasar tradisional. Namun sayangnya, kehadiran dana
Otsus belum juga memberi keberpihakan pada perjuangan mama-mama
Papua agar mendapatkan fasilitas pasar. Artikel ini membahas bagaimana
ruang-ruang publik termasuk pasar dan daerah-daerah baru sebagai hasil
dari pemekaran daerah menjadi arena baru perebutan kekuasaan ekonomi
politik yang dimainkan oleh para elit-elit lokal dengan mengatasnamakan
“rakyatnya” masing-masing, pemerintah Indonesia, para pendatang yang
mengadu nasibnya di Tanah Papua, dan jejaring investasi global dalam
berbagai bentuk dan “wajah-wajahnya” yang saling menipu untuk
memanfaatkan peluang, keuntungan, dan kekuasaannya.
Artikel ini menggunakan pendekatan reflektif untuk memfasilitasi
transformasi sosial yang terjadi di masyarakat. M etodologinya adalah
mengedepankan proses reflektif yang transformatif yang terlibat dengan
subjek studinya untuk bersama-sama mengorganisasi diri, berefleksi, dan
bersama-sama bergerak menuju sejarah baru dalam hidup masing-masing.
Refleksi yang ditawarkannya adalah membuka jalan penelitian alternatif
transformatif partisipatoris. Penelitian ini melibatkan si peneliti secara
partisipatoris ke dalam subjek penelitiannya. Partisipasi observasi

dilakukan untuk membangun argumentasi dan teori dari data-data
lapangan yang diperoleh si peneliti bersama dengan subjek penelitiannya.
Si peneliti menggunakan metode reflektif dengan bersama-sama subjek
penelitian membangun pola relasi untuk bersama-sama merumuskan
persoalan yang terjadi dan memberikan argumentasinya. M etode penelitian
ini tergolong penelitian alternatif transformastif partisipatoris yang percaya
bahwa kenyataan itu bersifat partisipatif yang diciptakan oleh (hubungan)
pikiran dan lingkungan yang ada. Inilah yang disebut dengan “subyektifitas
kritis” yang terjadi melalui transaksi partisipatoris dengan lingkungan.
M etode penelitian etnografi yang akan dihasilkan dalam penelitian ini
memuat proses reflektif dari temuan bebas nilai yang obyektif. Dalam
bahasa Laksono (2009: 4), peneliti maju bersama komunitas yang ditelitinya
dalam proses sosial-budaya menjalin sejarah (baru). Dengan demikian,
metode penelitian ini menjadikan studi antropologi menjadi bagian dari
gerakan sosial komunitasnya dan dituntut berpartisipasi dalam
menciptakan sejarah yang menyatu dengan komunitas di mana studi
berlangsung.

65


KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76

2.

Pasar Sanggeng dan W osi di Kabupaten M anokwari, Papua Barat 4

M emasuki Pasar Sanggeng M anokwari, Papua Barat pada suatu sore di
bulan September 2009, saya melihat sebuah “garis pembatas” yang jelas.
Banyak kesan, kisah, dan kompleksitas yang dapat saya tangkap. Pasar
Sanggeng berada di pinggiran pantai, di mana pasar ikan menjadi satu di
dalamnya. M emasuki ruas jalan Pasar Sanggeng dari jalan umum, saya
sudah disapa dengan tawa mama-mama yang menggelar dagangan hasil
buminya. Berjejer mama-mama berdagang dengan alas plastik dan koran
yang mulai basah. Beragam hasil bumi dijual hanya beralas koran atau
karung mulai dari berbagai jenis sayur, pisang, cabai sampai ubi kayu dijual
dalam kelompok. Sebagai contoh, cabai atau sayur yang sudah
dikelompokkan dan diikat dijual dengan harga Rp. 3000 - Rp. 5000
Demikian pula hasil kebun lainnya diikat-ikat untuk dijual.
Sore itu suasana pasar sangat ramai. M ama-mama Papua menggelar
barang-barangnya di depan kios-kios triplek yang disewa untuk pedagang

yang sepertinya berasal bukan dari Papua. Ketika memasuki Pasar
Sanggeng, saya melihat di kios triplek semi permanen ada penjual
gorengan, di sebelahnya penjual mie ayam dan soto ayam. Berseberangan
jalan ada pedagang-pedagang baju, VCD dan DVD bajakan yang juga
didominasi oleh para pedagang pendatang. Di ujung pasar ada pasar ikan
dan terminal angkutan kota. Bersebelahan dengan Pasang Sanggeng,
terdapat Pasar Tingkat, yang sering disebut “pasting” tiga lantai yang
didominasi oleh para pedagang pendatang yang juga berjualan berbagai
jenis pakaian, peralatan elektronik, VCD dan DVD bajakan dan yang
lainnya. Saya juga melihat beberapa sudut pasar yang didominasi oleh
tukang cukur dan penjual emas di lantai dasar Pasar Tingkat Sanggeng. Saat
naik ke lantai tiga pasar, saya melihat penjual batik-batik Papua tetapi
berasal dari Sulawesi dan Jawa.

4 Lihat juga I Ngurah Suryawan, “Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika
Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas
I lmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 15, Nomor 2, November 2011
(140-153) dan I Ngurah Suryawan, Jiwa yang Patah (Yogyakarta: Pusbadaya UNI PA dan
Kepel Press, 2012)


66

Siasat Rakyat di Garis Depan Global:
Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

Gambar 1
Para pedagang mama-mama Papua di bagian paling belakang dari Pasar W osi,
Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat (foto: I Ngurah Suryawan)

Jalan menyusuri Pasar Sanggeng masih dari tanah, sehingga ketika
musim hujan, air menggenang dimana-mana. Saya kemudian menuju pasar
ikan. Seikat berisi empat ekor ikan kecil-kecil dijual seharga Rp. 20.000.
Suasana sore itu gaduh sekali. Perahu-perahu yang bersandar tampak sibuk
menurunkan banyak ember-ember ikan. Saat si nelayan bersiap
menurunkan hasil tangkapannya, para pedagang yang sudah tampak
menunggu lama di pinggiran pantai berebut untuk mendapatkannya. Di
ujung dalam pasar adalah terminal angkutan kota yang menjadi salah satu
pusat kesibukan jalur transportasi dalam Kota M anokwari. Saat bergegas
menuju terminal, saya dihadang oleh seorang lelaki Papua. “Bos, minta
uangnya.” Sontak saja saya terkejut. Saya melihat matanya sudah memerah,

dan jalannya sempoyongan. Saya menduga ia sudah dalam keadaan mabuk.
Sepanjang ruas jalan menuju Pasar Sanggeng, ojek-ojek dan angkutan
kota yang disebut “taksi” tampak hilir mudik. Di depan “pasting”, tampak
berjejer pengojek menunggu antrian. Saya perhatikan banyak dari mereka
bukanlah orang asli Papua. Ojek yang saya tumpangi menuju kos berasal
dari Sulawesi Toraja. Sebut saja namanya Azhar (32). Ia mengaku baru tiga
tahun merantau ke M anokwari mengikuti saudaranya. Sebelum menjadi
tukang ojek, Azhar sempat menjadi pegawai di sebuah perusahaan rokok
hanya dengan gaji Rp. 600 ribu. “M ana cukup uang itu di M anokwari mas.
Kalau di Jawa 5 ribu sudah dapat nasi ayam, di sini (M anokwari), bakso pun
mungkin sekarang tidak dapat,” ungkapnya.

67

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76

3.

Politik Ruang “Gula-Gula” Otsus dan Pemekaran Daerah

Ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia,
ingatan kekerasan dan penderitaan akibat ulah TNI/Polri, keterpinggiran
dan diskriminasi dalam pembangunan membuat tuntutan merdeka (M )
seakan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk meredam aspirasi merdeka ini,
kebijakan politis Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia. Sugandi (2008: 6-7) memberikan pemahaman
komprehensif dan kronologis tentang munculnya otonomi khusus untuk
Papua. Dengan meningkatnya ketegangan, pada tanggal 26 Februari 1999
Presiden B.J. Habibie menerima sebuah delegasi yang disebut dengan “Tim
100” yang merupakan perwakilan dari masyarakat Papua yang
mengekspresikan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari Negara
Indonesia. Sebagai tanggapan dari permintaan ini dan untuk memperkuat
integritas teritorial NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),
pemerintah membuat UU (Undang-undang) No 45/99 tentang pemekaran
Irian Jaya (sekarang Papua) menjadi Provinsi Irian Jaya Tengah dan
Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat), Kabupaten Paniai,
M imika dan Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini diikuti dengan
penunjukan Dokter Herman M onim sebagai Gubernur Irian Jaya Tengah
dan Brigjen.M ar. (Pensiunan TNI) Abraham Artaruri sebagai Gubernur
Irian Jaya Barat berdasarkan Keputusan Presiden RI No 327/M /1999,
tanggal 5 Oktober 1999. Kebijakan di atas ditolak oleh pelbagai kelompok
masyarakat di Papua yang diperlihatkan dengan sebuah demonstrasi besar,
termasuk pendudukan gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
Propinsi Irian Jaya dan kantor Gubernur di Dok II, Jayapura pada tanggal
14-15 Oktober 1999. Salah satu alasan penolakan ini adalah bahwa
kebijakan ini diambil tanpa konsultasi dengan masyarakat lokal.
Pada tanggal 19 Oktober 1999, Sidang Umum Sesi ke 12 dari M PR
(M ajelis Permusyawaratan Rakyat) melalui Ketetapan M PR No.
IV/M PR/1999 yang mendukung bentuk otonomi daerah dalam kerangka
NKRI diikuti dengan langkah-langkah strategis guna menanggapi keluhankeluhan di Papua termasuk menghormati berbagai macam dan keragaman
kehidupan sosial dan budaya di dalam masyarakat Papua. Lebih jauh,
sidang ini juga dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
Hak Asasi M anusia di Papua melalui proses-proses pengadilan yang jujur
dan adil. Sejak saat itulah keluhan-keluhan orang asli mulai Papua
ditanggapi (baca: dinegosiasikan dan dikompromikan). Pada periode ini,

68

Siasat Rakyat di Garis Depan Global:
Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

B.J. Habibie digantikan oleh K.H. Abdurahman W ahid sebagai Presiden.
M PR kemudian mengeluarkan Ketetapan M PR No. IV/M PR/2000
mengenai rekomendasi-rekomendasi kebijakan dalam menerapkan
peraturan Otsus (Otonomi Khusus) untuk Aceh dan Papua dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang relevan. Setelah
menampung pelbagai diskusi yang bertempat di dalam dan luar Papua
mengenai Otsus dan mendapat masukan-masukan positif, DPR RI (Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) setuju untuk mengubah RUU
(Rancangan Undang-Undang) mengenai Otonomi Khusus untuk Propinsi
Papua menjadi UU (Undang-Undang). Berdasarkan inilah Presiden K. H.
Abdurahman W ahid mengesahkan UU No. 21/2001 mengenai Otonomi
Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua yang ditujukan untuk meningkatkan
layanan-layanan umum, mempercepat proses pembangunan dan pendayagunaan keseluruhan penduduk Provinsi Papua, khususnya masyarakat asli
Papua.
Selain Otsus Papua, keinginan Pemerintah Indonesia di Jakarta untuk
melakukan “demam pemekaran” di Tanah Papua terlihat jelas. M endagri
(M enteri Dalam Negeri) saat itu, M ardiyanto saat melantik lima penjabat
bupati di lima kabupaten baru di daerah Pegunungan Tengah, Papua (Lani
Jaya, Puncak, Yolimo, Nduga, dan M amberamo Tengah) menyatakan
bahwa pemekaran masih sangat diperlukan Papua (Papua Pos, 23 Juni
2008; Brata, 2008: 6). Pernyataan M endagri saat itu jelas memberikan kesan
bahwa pemerintah Indonesia masih membuka pintu bagi usulan-usulan
baru pemekaran daerah di Tanah Papua. M enurut M endagri, ada dua
alasan utama mengapa pemekaran di Papua sangat dibutuhkan. Pertama,
kondisi Papua yang begitu luas dan kedua untuk memperpendek rentang
kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Hampir semua
pemekaran daerah menggunakan argumentasi kesejahteraan masyarakat
sehingga bukan hal yang spesifik Papua. Di lain pihak, dari sisi luasnya
wilayah, Papua memang jauh lebih luas ketimbang wilayah lain di
Indonesia. Kalau pertimbangan ini digunakan secara bebas, di atas kertas
akan ada begitu banyak daerah di Papua.
Argumen memendekkan rentang kendali pelayanan pemerintah
adalah argumen yang juga disodorkan oleh para elite lokal. Dalam hal ini
ada proses pendekatan oleh politisi lokal Papua ke pihak pusat di Jakarta
melalui DPR, yang kemudian menerbitkan undang-undang pembentukan
unit-unit daerah yang baru. Desentralisasi dan Otsus memang membuka

69

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76

peluang terjadinya praktik-praktik pemburuan rente ekonomi-politik.
Timmer (2007; Brata, 2008:8) menyimpulkan bahwa “kekacauan” di Papua
bukanlah sekedar kondisi yang diciptakan oleh Jakarta atau suatu
penelantaran; ini adalah suatu kondisi yang menyodorkan kesempatankesempatan bagi orang-orang di Papua yang tahu betul bagaimana harus
memainkan sistem. Kesimpulan ini jelas menunjukkan bahwa justru elit
lokal Papua telah memanfaatkan kesempatan yang ada sedemikian rupa
untuk kepentingan mereka sendiri.
Kesempatan-kesempatan pemekaran memungkinkan posisi-posisi
baru dalam birokrasi dan kekuasaan lokal yang diperebutkan oleh elit-elit
lokal yang secara terus menerus mengusulkan pemekaran daerah.
Sementara otsus memungkinkan perluasan korupsi-korupsi sistemik sampai
ke kampung-kampung dengan jaringan elit lokal korupsi. Semuanya bisa
“disesuaikan” (istilah kelompok kelas menengah di Papua untuk
menunjukkan semua aturan bisa dimainkan dan dinegosiasikan). Hadirnya
Otsus dan pemekaran daerah yang dicita-citakan untuk kesejahteraan
rakyat Papua telah “dicuri” oleh elit lokal Papua untuk kepentingan pribadi
dan kelompoknya. Saya jadi teringat celoteh seorang anak muda Papua,
“Tidak ada yang susah di republik ini.”

4.

Refleksi: Bangsa di Garis Depan

Apa yang selama ini sudah saya baca, Papua mengalami masalah
pendekatan yang kompleks. Kompleksitas itu menyasar pada produksi
pengetahuan tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak
memanusiakan Bangsa Papua. Penjajahan secara produktif dalam cara
berpikir itu telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian
teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan
dengan massif dalam kerangka “pembangunan masyarakat tertinggal”. Oleh
karena itu tidak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak
berbudaya, bodoh, terbelakang, terasing, barbar. “Indonesia dorang”
merancang secara sistematis menempatkan Bangsa Papua kehilangan
kebudayaannya. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan
Indonesia dan “terasing” serta tidak dinamis.
Pendekatan semacam itu tentu mengabaikan hati, perasaan,
pergolakan, kepedihan, siasat, dan resistensi yang dialami Bangsa Papua.

70

Siasat Rakyat di Garis Depan Global:
Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

Kompleksitas sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas
bangsa Papua seolah terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969
menjadikan Tanah Papua sebagai objek pembangunan dengan
penyeragaman di segala bidang tanpa pengakuan pada perdebatan sejarah,
status politik dan juga beragamnya budaya di Tanah Papua. Pendekatan
keamanan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan melahirkan tragedi
kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih ini. Sejarah ingatan atas
penderitaan (memoria passionis) menjadi pengikat yang paling ampuh
untuk “melawan kehadiran Indonesia” yang tak akan lekang ditelan jaman.
Pasca reformasi 1998, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua serta Inpres Nomor 1
Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan
kekuasaan terhadap tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan,
pendidikan, dan investasi modal melalui perusahaan multinasional semakin
menjepit dan meminggirkan Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri.
M enegakkan identitas Papua di tengah semua kepungan itu sungguh
sebuah perjuangan yang rumit. Kelokan-kelokan tajam, transformasi, dan
siasat Bangsa Papua menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian yang
sungguh sangat penting untuk dicermati.
Kompleksitas persoalan itulah yang terjadi kini di Tanah Papua.
Beragam persoalan muncul silih berganti, yang jika ditelisik lebih
mendalam akan menggambarkan sebuah gambaran persoalan yang
menunjukkan saling keterkaitan. Satu keputusan akan membawa implikasi
yang kompleks pada berbagai persoalan. Sebagaimana telah diungkapkan
sejak semula, pemekaran daerah dengan munculnya daerah-daerah baru
dan administratif serta dana Otsus menjadi “ruang” bagi mama-mama
Papua untuk memperjuangkan identitasnya, akses mereka terhadap pasar
dan keberlangsungan hidup mereka dengan berjualan di pasar tradisional.
Namun sayangnya, kehadiran dana Otsus belum juga memberi
keberpihakan pada perjuangan mama-mama Papua agar mendapatkan
fasilitas pasar dan yang terpenting adalah pemberdayaan untuk persaingan
ekonomi dengan penduduk lainnya yang mengadu nasib di Tanah Papua.
Pemberdayaan ekonomi mama-mama Papua, terutama pemahaman
ekonomi modern dan kebijakan afirmasi (keberpihakan) terhadap usaha
mama-mama Papua wajib untuk dilakukan.

71

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76

Di sisi lain, kekuatan birokrasi Negara (baca: pemerintah pusat dan
daerah serta aparatusnya) berkolaborasi dengan kuasa investasi global
untuk menguasai jaringan-jaringan ekonomi makro yang merangsek
ekonomi rakyat hingga ke titik nadir. Pengakuan dan tindakan afirmatif
(pemihakan) terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong
para birokrat dan politisi untuk meraih simpati menjelang perebutan
kekuasaan. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan ruko,
hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah masyarakat lokal
menjadi perkebunan kelapa sawit hingga coklat. Pasar tradisional tempat
mama-mama Papua berjualan minim sekali untuk terjamah anggaran dana
Otsus atau APBD. “Pejabat dong (mereka) hanya pikir perut sendiri saja.
Tong (kita) hanya bisa lihat bagaimana dong baku tipu (mereka saling tipu)
sampeeeee dana habis.” keluh mama-mama di pasar yang saya dengar.
Kompleksitas masyarakat lokal hari ini diantaranya adalah posisi
mereka di tengah himpitan penetrasi modal yang mengeksploitasi sumber
daya alam dan sumber daya manusia. Tangan-tangan eksploitasi tersebut
dipraktikkan dengan sangat massif oleh perusahaan transnasional dalam
bentuk jejaring kuasa kapital global. Di tengah terjangan tersebut, kisahkisah pelantunan identitas budaya masyarakat lokal berada di garda depan
(frontier). Pada ruang-ruang interkoneksi jejaring kuasa politik global dan
budaya masyarakat lokal ini akan terlihat fragmen-fragmen siasat manusia
memanfaatkan peluang ekonomi politik dan juga lantunan-lantunan kisah
penegakan identitas budayanya.
Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) manusia di
garis depan (frontier) inilah yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005)
disebut dengan friksi (friction), ruang “hampa makna” manusia di tengah
interkoneksi global. M anusia-manusia bersiasat saling tikam, baku tipu
memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan kuasa
global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion
dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal
dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas. Pada
ruang-ruang inilah, masyarakat lokal berada di ruang hampa makna, ketika
penegakan identitas tidak bisa serta merta mendaku kepada tanahnya yang
telah dikuasai kuasa modal global.
Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat
terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi

72

Siasat Rakyat di Garis Depan Global:
Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

menjadi komoditas yang diceritakan, “diomongkosongkan”, dilebihlebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas
bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan
rakyat terus menerus tanpa henti.
Pengakuan terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya
masyarakat lokal tertelan kuasa global kapital. Jauh di kampung-kampung
pegunungan Papua, pembangunan infrastruktur jalan menembus daerahdaerah terisolir. Alih fungsi lahan yang dimiliki masyarakat lokal disulap
menjadi perkebunan dan kelapa sawit ratusan hektar. Introduksi program
transmigrasi menggerus tanah-tanah adat untuk pemukiman penduduk dan
daerah pertanian. Dengan dana otonomi khusus, pembangunan
infrastruktur terus digenjot tanpa henti.
Posisi masyarakat lokal langsung bertemu dengan kekuatan ekonomi
global. Berbagai perubahan sosial pun terjadi begitu cepat. Relasi-relasi
baku tipu ekonomi politik yang “mengalahkan” masyarakat setempat
menjadi cerita yang begitu biasa diungkapkan. Kisah-kisah keterbelakangan yang bertemu dengan simbol modernitas bernama industri
kapitalisme internasional bagai kisah ironis yang menyesakkan dada.
Puncak-puncak kemewahan yang ditunjukkan perusahaan M NC
berhadapan dengan kondisi masyarakat lokal, yang sebenarnya mempunyai
hak di atas tanah mereka. Gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas
mewah berdampingan dengan rumah-rumah papan sederhana masyarakat
lokal. Pada relasi-relasi itulah yang terjadi bukan hanya penjajahan dalam
bentuk penetrasi ekonomi global, tapi lebih dalam kepada penjajahan
secara produktif dalam cara berpikir yang dilakukan industri ekonomi
global yang menggandeng pemerintah daerah dalam melakukan
intervensinya.
Saya kemudian teringat bagaimana siasat dan perjuangan mama-mama
Papua mendapatkan akses ke pasar untuk menjual produk hasil bumi dan
noken-noken beraneka motif. Di Pasar Sanggeng M anokwari misalnya,
mama-mama Papua menggelar dagangan berjejer di tanah, sementara pasar
tingkat yang menyediakan kios-kios dikhususkan untuk para pedagang
yang memiliki modal besar untuk membayar sewa kios. Begitu juga yang
terjadi di Pasar Timika Kabupaten M imika dan Pasar Gelael Jayapura.

73

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76

Bangsa Papua berada di garis depan pertarungan kekuatan politik
global dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Tanah
Papua. M enghadapi situasi tersebut, strategi pembangunan dan serangkaian
kebijakan politik struktural pemerintah menjadi “jauh dari bayangan” dan
bahkan menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang menipu. M enjadi
penting dipikirkan adalah bagaimana Bangsa Papua menghadapai situasi
yang memarginalisasi? Oleh sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia
menjadi penting dikemukakan. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung
dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan
cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini sangat berbeda dengan strategi
yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk
menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi kebijakan
dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan praktik
keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia
dan (politik) kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang
menipu. Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi
kuasa yang dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan
tertentu.
Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang
refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri
manusia yang terus berubah. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi
kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah
substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga
demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial.

Referensi
Aditjondro, George, 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian
Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
Al Rahab, Amiruddin, 2010. Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan
Separatisme, Jakarta: Komunitas Bambu, Imparsial dan Foker LSM Papua.
Chauvel, Richard, 2005. Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and
Adaptation. W ashington: East-W est Center
---------, 2008. “Rules in Their Own Country?: Special Autnonomy and Papuan
Aspirations Have been Thwarted by Jakarta and Hampered by the

74

Siasat Rakyat di Garis Depan Global:
Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua

Administrative Fragmentation Sponsored by Local Politians,” dalam Inside
Indonesia.
De Certeau, Michel, 1984. The Practice of Everyday Life, California: University of
California Press.
Giay, Beny, 2000. Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi
Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Els-ham Papua.
Hommers, Paulus L, 2003. “Kontroversi dalam Kasus Pemekaran Provinsi di
Papua” dalam Jurnal Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Cenderawasih Vol. 1, No. 3, Desember 2003.
Laksono, P.M, 2009. “Intervensi PGR dalam Reformasi Pemerintahan di Papua
dari Perspektif Sosial Budaya” (paper tidak diterbitkan)
---------, 2009. Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu:
Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Mangunwijaya, Y.B, 1987. Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (Sebuah Novel Sejarah),
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Sumule, Agus, 2003. Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek.
Manokwari: Yayasan Topang.
Suryawan, I Ngurah, 2012. Jiwa yang Patah. Yogyakarta: Pusbadaya UNIPA dan
Kepel Press
Suryawan, I Ngurah, 2011. “Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika
Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua”, Jurnal Ilmu Sosial dan
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Volume
15, Nomor 2, November 2011 (140-153)
Tebay, Nales, 2009. Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP.
Timmer, Jaap, 2007. “Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua” (h.
596-625) dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Kliken dibantu oleh
Ireen Karang-Hoogenboom (eds), Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Buku
Obor dan KITLV-Jakarta.
Tsing, A.L, 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection, Princeton and
Oxford: Princeton University Press.
W idjojo, Muridan, dkk, 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving
the Past and Securing the Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.

75

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 62-76

I nternet

“Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam http://papuawoman.blogspot.com/
2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html. (Diakses 20 Oktober 2010).
“Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam http://www.kabarindonesia.com/
berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=2010033022
1832. (Diakses 22 Oktober 2010)

76